Anda di halaman 1dari 22

Nama : Faiz Muamad Hikam

Npm : 3122017
Dosen : Dr. Ishak Syairozi, M.Pd.i
Tugas : RESUME STUDI NASKAH TAFSIR

(PERTEMUAN 1)

PENGERTIAN TAFSIR DAN BENTUK PENAFSIRAN AL QUR'AN

1. Pengertian studi naskah tafsir


Studi naskah tafsir adalah bidang studi yang berfokus pada analisis dan pemahaman tafsir tertulis
terhadap Al-Qur’an. Bidang studi ini melibatkan pemeriksaan manuskrip komentar-komentar ini
untuk lebih memahami asal-usul, penulis, dan isinya. Berikut beberapa poin penting tentang
kajian naskah tafsir berdasarkan hasil pencarian:
• Studi naskah tafsir melibatkan analisis komentar tertulis tentang Al-Qur’an
• Fokus bidang studi ini adalah untuk lebih memahami asal usul, penulis, dan isi komentar-
komentar ini
• Studi naskah tafsir melibatkan pemeriksaan naskah tafsir ini
• Bidang studi ini penting untuk memahami sejarah dan perkembangan tafsir Al-Qur’an di
Indonesia
• Studi naskah tafsir sering kali dipelajari sebagai bagian dari kurikulum studi Alquran yang
lebih besar

2. Metode Penafsiran
Ada beberapa metode penafsiran Al-Quran, antara lain:
• Metode Tahlili (Analitik): Metode ini melibatkan analisis teks Alquran kata demi kata dan
mengkaji tata bahasa, sintaksis, dan konteks untuk memahami makna setiap ayat secara
detail.
• Metode Ijmali (Global): Metode ini melibatkan merangkum makna setiap ayat secara
ringkas dan mudah dipahami.
• Metode Muqarin (Komparatif): Metode ini melibatkan membandingkan ayat-ayat Alquran
yang berbeda satu sama lain, serta dengan Hadits dan teks Islam lainnya, untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang maknanya.
• Metode Maudhu’i (Tematik): Metode ini melibatkan kajian teks Al-Qur’an secara tematis,
dengan fokus pada topik atau tema tertentu untuk memperoleh pemahaman yang lebih
mendalam tentang maknanya.
Metode-metode ini digunakan oleh para ulama dan ahli di bidang kajian Al-Qur’an untuk
menafsirkan dan memahami makna teks Al-Qur’an. Setiap metode mempunyai kekuatan dan
kelemahannya masing-masing, dan para sarjana dapat menggunakan kombinasi metode tersebut
untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang teks Al-Quran.

3. Ruang lingkup studi naskah tafsir


Ruang lingkup kajian mushaf tafsir bisa berbeda-beda tergantung fokus penelitiannya. Beberapa
bidang studi yang mungkin meliputi:

1|Page
• Ruang Lingkup Akademik : Memahami ruang lingkup akademis dari istilah tafsir hadis
merupakan hal yang penting bagi yang mempelajarinya. Hal ini dapat melibatkan kajian
terhadap sejarah perkembangan tafsir hadis, serta konteks akademisnya saat ini.
• Metodologi penelitian : Ruang lingkup penelitian tafsir dapat meliputi perumusan dan
pendefinisian masalah penelitian, pengembangan kerangka pengajuan hipotesis, dan
perumusan pertanyaan penelitian.
• Tafsir tekstual : Kajian tafsir dapat difokuskan pada penafsiran teks Alquran itu sendiri. Hal ini
dapat melibatkan analisis bahasa dan makna ayat-ayat tertentu, serta memeriksa konteks
sejarah dan budaya di mana ayat-ayat tersebut diturunkan
• Analisis naskah : Peneliti juga dapat fokus pada analisis naskah tafsir tertentu. Hal ini dapat
mencakup survei dan analisis dokumen-dokumen tafsir yang ditemukan di suatu wilayah
tertentu, serta penyajian hasil analisisnya.
Secara keseluruhan, ruang lingkup kajian naskah tafsir bisa sangat luas, mencakup berbagai topik
yang berkaitan dengan penafsiran teks Alquran dan konteks sejarahnya.

4. Etika dalam penafsiran


Diantara etika yang menjadi ahli adalah sebagai berikut :
• Berniat baik dan bertujuan benar, sebab amal perbuatan itu bergantung pada niat.Orang
yang mempunyai ilmu-Ilmu syari’at hendaknya mempunyai tujuan dan tekad
• Membangun kebaikan umum, berbuat baik kepada Islam dan membersihkan diri
darinyatujuan-tujuan duniawi agar Allah meluruskan langkahnya dan
memanfaatkannyailmunya sebagai sebuah keikhlasannya.
• Berakhlak baik, karena mufassir bagai seorang pendidik yang didikannya tidakakan
berpengaruh ke dalam jiwa tanpa ia menjadi panutan yang diikuti dalam halakhlak dan
perbuatan mulia. Kata-kata yang kurang baik terkadang menyebabkansiswa enggan memetik
manfaat dari apa yang didengar dan dibacanya, bahkanterkadang dapat memecahkan jalan
pikiran.
• Ikhlas, hendaknya hanya brniat karena Allah, mengharap ridha-Nya tidakmengharapkan
kemuliaan dan kehormatan.
• Akidahnya bersih. Orang yang akidahnya telah berubah dan mempercayai rasio.Kemudian ia
membawa lafal-lafal Al-Qur’an dengan rasionya. Mereka tidakmengikuti para sahabat dan
para tabi’in. Apabila orang ini menafsirkan Alquran ia Menakwilkan ayat-ayat yang berbeda
dengan fahamnya yang salah. Lalu diaselewengkan sampai sesuai dengan madzhab (faham)
nya. Hal seperti ini tidak bisadipakai sandaran dalam mencari kebenaran, bagaimana orang
bisa menemukan sesuatu darinya.

2|Page
(PERTEMUAN 2)

TAHAPAN DAN PROSES TURUNNYA AL-QUR'AN

1. Tujuan Kehadiran Alquran

Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai


petunjuk bagi manusia dan penjelasan- penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara
yang hak dan yang bathil)... (QS. 2:185)

Alquran diturunkan pada masyarakat Arab saat itu adalah untuk meluruskan patologi sosial
masyarakat Arab dan sebagai kitab petunjuk bagi seluruh umat manusia. Tata nilai masyarakat Arab
sudah sedemikian parahnya sehingga perlu adanya kitab petunjuk untuk meluruskan kondisi
tersebut. Tata nilai dan perubahan yang dibawa oleh Alquran mampu memberikan pengaruh yang
cukup mendalam pada diri orang Arab sehingga Islam mampu membangun tatanan baru
masyarakat yang kokoh berlandaskan Alquran. Politheisme dan paganisme dirubah menjadi
monotheisme, fanatik kesukuan dirubah menjadi persamaan dan persaudaraan, penindasan
menjadi keadilan sosial.Tantangan dan patologi sosial selalu ada dan selalu akan muncul mengiringi
perjalanan hidup manusia. Hal ini berkaitan erat dengan potensi yang ada dalam diri manusia yaitu
potensi destruktif dan konstruktif Sebab itu, manusia tidak boleh ditinggalkan tanpa petunjuk dan
harus terus dibimbing. Dan Alquranakan selalu menjadi kitab petunjuk dalam membimbing
manusia di mana pun dan kapan pun terjadi patologi sosial.

Alquran adalah suatu ajaran yang berkepentingan terutama untuk menghasilkan sikap
moral yang benar bagi tindakan manusia. Tindakan yang benar, apakah itu tindakan politik
keagamaan ataupun sosial, dipandang Alquran sebagai ibadah (pengabdian terhadap Allah).Karena
itu, Alquran mengutamakan semua penekanan moral dan faktor-faktor psikologis yang melahirkan
kerangka berfikir yang benar bagi tindakan. Hal ini sesuai dengan tujuan utama Alquran yakni
menegakan sebuah tata aturan masyarakat yang adil, berdasarkan etika dan dapat bertahan di
muka bumi ini.

2. Latar Historis Turunnya Alquran

Dan Demikianlah kami menurunkan Al Quran dalam bahasa Arab, dan kami Telah
menerangkan dengan berulang kali, di dalamnya sebahagian dari ancaman, agar mereka bertakwa
atau (agar) Al Quran itu menimbulkan pengajaran bagi mereka. (QS. Thaha [20]: 113)

Bermula dari sebuah kawasan yang bernama jazirah Arabia 15 abad yang lalu manusia
Muhammad lahir sebagai pengemban risalah dari Allah Swt. Jazirah Arabia terletak di Asia Barat
Daya, daerahnya terbentang luas dalam bentuk padang pasir dengan daerah perbatasan di sebelah
Utara adalah negeri Syam, sebelah Timur dibatasi oleh Teluk Persi dan di sebelah Selatan dibatasi
oleh dua lautan yaitu laut Hindia dan laut Merah." Jazirah Arabia terbagi menjadi dua bagian
penting yaitu Arabia Utara dan Arabia Selatan.Arabia Utara adalah penduduk yang menetap pada
suatu perkampungan di daerah Yaman, Hadramaut, dan pemukiman seputar pantai.Kehidupan
mereka lebih maju karena mereka menetap (tidak berpindah-pindah) sehingga memudahkan untuk
membangun sebuah peradaban.Bahasa yang mereka gunakan pun lebih bagus dan lebih teratur.
Sementara itu Arabia Selatan ditempati oleh masyarakat yang hidupnya berpindah-pindah
(nomaden) mendiami daerah Hijaz dan Najd." Arabia dengan padang pasimya merupakan daerah
panas dan kering. Keadaan ini berimplikasi pada pola dan sistem kehidupan yang mereka jalani.

3|Page
Orang-orang badawah adalah orang-orang pedalaman yang terdiri dari berbagai suku dan
kehidupannya selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dan tidak pernah menetap
pada satu darah. Mereka selalu mencari daerah yang subur untuk ditempati dan apabila tempat
tersebut tidak subur lagi mereka pun pindah untuk mencari tempat lain. Mereka hidup dalam
tenda-tenda yang dirancang sedemikian rupa untuk melindungi diri dari terik sinar matahari di
musim panas dan cuaca lembab pada musim dingin.. Kendaraan mereka adalah unta yang dipakai
untuk barang-barang. Unta memang binatang yang disediakan khusus untuk daerah padang pasir.
Binatang ini mampu mengarungi gurun selama 17 hari tanpa minum, karena punya persediaan air
dalam tubuhnya. Dan ia pun siap melayani majikannya dengan kekuatan yang dimilikinya. Karena
kehidupan yang selalu berpindah- pindah dan selalu mencari daerah yang subur untuk ditempati
maka kekuatan fisik sangat penting Selain itu terbatasnya daerah subur mengakibatkan pertikaian
antara suku yang satu dengan suku yang lainnya untuk mendapatkan daerah yang mereka inginkan.
Peperangan menjadi hal yang biasa di kalangan mereka, bahkan menjadi ajang olah raga yang
digemari.

Masyarakat Arab terdiri dari berbagai suku atau kabilah. Salah satu kabilah yang paling terkenal
yang tinggal di kota Makkah adalah suku Quraisy. Mereka terkenal karena kemahirannya dalam
berdagang serta karena merekalah yang mengendalikan ka'bah. Ka'bah sebelum Islam, sudah
merupakan tempat yang penting sebagai pusat kegiatan keagamaan.Orang-orang berdatangan
untuk berziarah setahun sekali dari berbagai pelosok Arab, baik yang jauh maupun yang dekat."
Makkah merupakan kota yang cukup teratur engan sistem pengaturan kota yang baik. Terlebih pada
masa kepemimpinan Qushay telah dibentuk dewan-dewan yang bertanggungjawab pada tugasnya
masing- masing. Hijabah adalah bagian pemegang kunci Ka'bah, Siqayah bagian yang menyediakan
air dan makanan untuk para peziarah, Rifädlah adalah bagian yang mengumpulkan dana dari si kaya
untuk yang miskin, Qamariyyah dan Syamsiyyah adalah bagian yang menetapkan kalender
berdasarkan perhitungan bulan dan matahari dan Dar al- Nadwah adalah balai sidang. Kehidupan
keagamaan penduduk Arabia bervariasi, tetapi yang paling banyak di antara mereka terutama orang
Makkah adalah paganisme yakni menyembah berhala.Di bagian Arab pedalaman (badawah)
mereka menganut animisme yaitu percaya kepada kekuntan alam.Mereka menyembah bulan dan
bintang, bahkan mereka juga menyembah para leluhurnya. Di Makkah mereka lebih senang
menyembah berhala sebagai tuhannya. Berhala-berhala tersebut mereka beri nama tersendiri,
bahkan terkadang masing-masing kabilah memiliki berhala andalan untuk disembah. Diantara
berhala-berhala mereka adalah Latta, Uzza, Manat."Qolas, Rudho, Riam, dan lain-lain."Akan tetapi,
selain. mereka mempercayai hal-hal tersebut di atas. mereka juga mempercayai adanya Allah.
Tuhan atau Dewa sebagai suatu kekuatan transenden yang menguasai kehidupan mereka.
Penyembahan mereka terhadap berhala adalah sebagai sarana yang dapat mengantarkan doa
mereka kepada Allah tersebut. Selain itu agama-agama yang dianut sebelum Islam juga sudah
mengajarkannya. seperti Judaisme, Zoroaster, dan Kristen."2 Namun kepercayaan ini tidak begitu
populer

Jurnal:

Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur'an dan Tafsir 1,1 (Juni 2016),

4|Page
(PERTEMUAN 3)

ASBABUN NUZUL, MACAM KAIDAH DAN FAIDAHNYA

Defenisi Asbab an-Nuzul

Kalimat asbab an-nuzul merupakan susunan kata idhafah (kompositum) yang terdiri dari kata
asbab dan an-nuzul. Kata asbab adalah bentuk jamak (plural) dari sabab yang berarti sebab, sedangkan
an nuzul adalah bentuk masdar dari kata nazala yang berarti turun. Dalam konteks alQur’an, kata asbab
an-nuzul ini secara harfiyah dapat berarti sebab-sebab turun al-Qur’an. Bila dicermati pengertian
harfiyah ini dapat menimbulkan kesan bahwa dalam proses turunnya ayat alQur’an berlaku hukum
kausalitas, yakni turunnya ayat-ayat al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW dilatar belakangi oleh
sebab-sebab tertentu dan jika sebab itu tidak ada, maka alQur’an itu tidak diturunkan. Kesan seperti
ini dapat dipahami dari defenisi yang dikemukakan oleh Zarkasyi. Kadag-kadang terjadi sesuatu sebab
yang berupa pertanyaan atau peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat al-Qur’an. Defenisi di atas
akan dapat berimplikasi teologis yang lebih jauh. Umpamanya dikalangan penganut aliran Ahlu al-
Sunnah, yang meyakini bahwa al-Qur’an itu sebagai suatu yang qadim, dan jika dihubungkan dengan
sebab atau fenomena yang terjadi ketika turunnya ayat di masa Nabi Muhammad SAW memunculkan
pertanyaan apakah sebab itu juga termasuk sesuatu yang qadim? Pengertian qadim di sini adalah
alQur’an dimaknai dengan kalam Allah yang azali dan inilah yang qadimsementara sebab tentu saja
bukanlah qadim.

Untuk memperkuat bahwa sebab itu bukan lah qadim, maka defenisi asbab an-nuzul
dimodifikasi agar terhindar dari adanya anggapan seperti disebut di atas. Ulama yang tampil
memberikan penjelasan tentang defenisi asbab an-nuzul adalah Imam As-Suyuthi (w. 911 H)
mengemukakan defenisi sebagai berikut: Defenisi asbab an-muzul yang terpilih adalah: "sesuatu" yang
pada hari- hari terjadinya maka ayat al-Qur'an diturunkan Dalam implementasinya penunjukkan asbab
an-nuzul yang dilakukan olch para ulama mufassirun) adalah yang bersumberkan kepada riwayat-
riwayat yang dihimpun dalam kitab Lubab an- Nuqul karya Suyuthi dan dalam kitab Asbab an-Nuzul
karya Imam al- Wahidi. Dalam kitab tersebut terungkap bahwa "sesuatu itu adalah al-haditsah
(peristiwa) yang bersifat perseorangan yang terjadi di masa Nabi SAW dan juga al-as'ilah (pertanyan-
pertanyaan) yang ditujukan oleh seseorang kepada Nabi SAW. Dapat dipahami bahwa asbab an-nuzul
menurut pandangan Imam as- Suyuthi hanya merupakan latar belakang turunnya al-Qur'an, bukan
sebab yang menyebabkan turunnya.

Hanya saja ulama ini tidak menjelaskan interaksi antara peristiwa atau pertanyaan itu dengan
ayat yang diturunkan kemudian, schingga kita tidak mengetahui, apakah menurut pendapatnya asbab
an-nuzul itu harus tergambar dalam ayat atau tidak Ashab an-muzul adalah "sesuatu" yang pada hari
terjadinya turun satu ayat atau beberapa ayat al-Qur'an untuk membicarakannya menjelaskan
hukumnya. Atau Formulasi defenisi asbab an- nuzul yang dirumuskan oleh imam az- Zarqani di atas
menyebutkan bahwa sebab itu bisa berupa peristiwa peristiwa yang terjadi di zaman Nabi SAW atau
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada beliau. Sedangkan ayat-ayat al-Qur'an yang turun ketika
itu berkaitan dengan penjelasan hukum terhadap peristiwa yang terjadi atau jawaban hukum atas
pertanyaan tersebut. Karena itu asbab an-nuzul mesti tergambar dalam ayat al-Qur'an, dan peristiwa-
peristiwa yang terjadi di zaman Nabi SAW, tapi ayat tidak ada menyinggung dalam al-Qur'an tidak bisa
disebut asbab an-mazul. Berdasarkan dikemukakan di defenisi yang atas dapat disimpulkan bahwa
ayat-ayat al- Qur'an itu ada yang turun pakai sebab dan ada pula yang diturunkan tanpa pakai sebab

5|Page
turun (asbab an-nuzul). Sebagai konsekwensi logisnya tentu saja banyak ayat-ayat al-Qur'an yang tidak
bisa dipahami kandungannya disebabkan tidak ada dijumpai sebab turunnya. Dan secara kuantitatif
jumlah ayat yang tidak ada pakai sebab seperti yang dikemukakan kriterianya oleh imam az-Zarqani
Menanggapi maksud asbab an- nuzul di atas sekaligus mencarikan pemecahan masalah terhadap
kesulitan memahami kandungan ayat yang tidak pakni sebab turun dikemukakan oleh scorang tokoh
pendiri Neo- Modernisme Islam, yaitu Fazlur Rahman. Menurutnya asbab an-muzul dengan pengertian
yang dikemukakan oleh ulama terdahulu itu merupakan asbab an-nuzul mikro, yang dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an mesti dibantu dengan asbab an-nuzul makro, yakni latar belakang
yang berupa situasi historis masyarakat Arab ketika diturunkan ayat al-Qur'an."

Jurnal:

Badr ad-Din Al-Zarkasyi, al- Burhan fi Ulum al-Quran, Edisi 2 (Isa al-Bab al-Halabi, 1972),

6|Page
(PERTEMUAN 4)

SURAT MAKIYAH DAN MADANIYAH (PENETAPAN, KARAKTER FUNGSI DAN PERBEDAANNYA)


A. Pemahaman Konstektual dan Histori Dalam Memahami Ayat-ayat Makiyah dan Madaniah Secara
Lebih mendalam

Dalam memahami suatu teks (khususnya Al qur’an), para ulama umumnya mengambil dua hal,
yaitu pendekatan kontekstual dan pendekatan tekstual. Pendekatan tekstual mengacu pada pendekatan
untuk mempelajari teks yang membuat pernyataan tentang teks. Pendekatan ini menitikberatkan pada
analisis aspek linguistik dalam memahami teks. Al-Qur'an ialah petunjuk dari Allah SWT yang diturunkan
pada Nabi Muhammad SAW, kandungan Al-Qur’an tidak bisa dipahami secara akurat kecuali melalui
sebuah pemahaman yang telah Rasulullah ajarkan kepada para sahabatnya. Sesudah Rasulullah wafat
para sahabat pun merasakan kebingungan didalam mempelajari atau memaknai ayat-ayat Al-Qur’an
sebab minimnya informasi/ajaran langsung dari Nabi, apalagi keadaan yang mereka alami tidak
tepat.Sama halnya pada saat Nabi Muhammad masih hidup bersama para sahabat, misalnya Umar bin
Khattab yang mencoba menunjukkan tujuan utama hukum syariah dengan mencoba menafsirkan ayat
tersebut pada ayat lain didalam Al-Qur’an “relatif dari setiap orang yang berhak atas
rampasan”.(Prayetno, 2018).

Memahami makna atau arti ayat Al-Qur’an dan mengamati serta mempelajari keterlibatannya
terhadap situasi ataupun peristiwa yang melatar belakangi ayat-ayat tersebut turun, atau sama halnya
dengan mengamati serta mempelajari berlandaskan konteks/situasi. Sehingga, pemahaman kontekstual
mengenai ayat Al-Qur’an sama halnya memahami Al- Qur’an berlandaskan hubungannya terhadap
kejadian-kejadian serta kondisi pada saat ayat Makkiyah dan Madaniyah diturunkan, dan tujuan ayat
tersebut diturunkan serta kepada siapa. Maka dari itu, Al-Qur’an berupaya didalogkan dengan realitas
masa kini, lewat studi kontekstualitas Al-Qur’an (Prayetno, 2018). Ayat makiyyah dan ayat madaniyah
memiliki konsteks historis yang berbeda. Namun perbedaan tersebut tidak terpisah dari sejarah nya,
ayat Makiyyah diturunkan di kota Mekah dan ayat Madaniyah diturunkan di kota Madinah, serta ciri-
ciri perbedaan dari dua ayat tersebut.

Perbedaan kontestual antara Makkiyah serta Madaniyah

1. Perbedaan pada konteks kalimat

a. Pada ayat Makkiyah banyak sekali digunakan konteks kalimat yang tegas serta lugas sebab yang
didakwahi kebanyakan tidak menerima atau menolak, maka dari itu konteks kalimat ayat
Makkiyah lebih tegas. Baca: Al-Qamar, Al- Mudatsir. Sementara untuk ayat Madaniyah lebih
banyak menggunakan konteks kalimat yang lembut dan lunak sebab objek yang didakwahi lebih
taat atau menerima (Hamdiah & Hanna, 2022).
b. Ayat-ayat Makkiyah kebanyakan merupakan ayat argumentif dan pendek, sebab orang yang
didakwahi kebanyakan tidak menepati atau mengingkari, akibatnya konteks dari ayat mengikuti
situasi yang ada. Sementara untuk ayat Madaniyah kebanyakan merupakan ayat yang panjang
dan menguraikan tentang hukum serta menjelaskan penggunaan uslub dengan jelas dan terang
(Hamdiah & Hanna, 2022).

2. Perbedaan pada materi pembahasan

a. Ayat-ayat Makkiyah kebanyakan mengandung penentuan aqidah serta tauhid yang tepat dan
benar, terkhusus yang berhubungan terhadap iman pada hari kebangkitan dan Tauhid
Uluhiyyah. Sementara kebanyakan ayat Madaniyah mengandung perincian masalah muamalah
serta ibadah sebab orang yang didakwahi telah mempunyai Tauhid dan Aqidah yang benar

7|Page
sehingga tentang muamalah dan ibadah mereka membutuhkan perincian (Hamdiah & Hanna,
2022).
b. Kebanyakan ayat Madaniyah menguraikan lebih detail tentang hukum-hukum jihad serta kaum
munafik dan seluruh persoalannya sebab kondisi menuntut demikian. Hal ini muncul pada saat
di syari’atkannya Jihad dan munculnya kemunafikan (Hamdiah & Hanna, 2022).
B. Urgensi Kedudukan Kajian Makiyyah Dan Madaniyah Bagi Pendidikan Islam

Dalam pemahaman dan penafsiran tentang pentingnya dan kedudukan Makkiyah dan
Madaniyah, berbagai pendekatan digunakan oleh para tokoh yang menjelaskan hal tersebut:

1. Al-Suyuthi, menggunakan pendekatan hukum dalam menentukan nasikh-mansukh dan


mukhashis-mujmal (Muhammad Misbahul Huda, 2020). Al-Suyuthi menjelaskan bahwa
pemahaman Makkiyyah-Madaniyyah memiliki manfaat dalam mengetahui ayat- ayat yang
mengutamakan atas ayat-ayat sebelumnya yang diturunkan dengan cara umum. Pemahaman
ulama klasik juga Al-Suyuthi cenderung didominasi oleh penyesuain fiqh, sehingga kajian
mengenai Makkiyyah dan Madaniyyah cuma berfokus atas penetapan hukum agama
(Handiyanto, 2014).
2. Mana’ Qathan, menggunakan pendekatan sejarah untuk memberikan keterangan mengenai
tempat, situasi dan waktu turunnya al-Quran (Muhammad Misbahul Huda, 2020). Para ulama
yang condong meluaskan cakupan dan juga faedah kajian Makiyyah dan Madaniyah ialah para
ulama yang datang belakangan serta datang belakangan. Mereka berusaha untuk menjelajahi
situasi , waktu, dan tempat yang terkait dengan penurunan surat dan ayat Al-Qur’an ,
kemudian dapat memperoleh deskripsi yang lengkap mengenai konteks pada saat itu. Selain
dari itu, mereka juga berusaha menguras fakta mengenai klasifikasi tematik, kronologi
penurunan dan mereka yang dituju oleh ayat-ayat Al-Quran -Quran. Melalui kajian Makkiyyah-
Madaniyyah, ilmuwan dapat memperoleh pemahaman mengenai kaitan antara konstruksi
teks Al- Quran dan konteks historis (Handiyanto, 2014).
3. Subhi al Sholih, menggunakan pendekatan komunikasi dan dakwah untuk memberikan sebuah
informasi mengenai strategi Al-Qur’an juga variasi komunikasi dalam menciptakan budaya
baru (Muhammad Misbahul Huda, 2020). alisis Makkiyyah- Madaniyyah menurut Subhi al-
Sholih dapat menyerahkan keterangan induktif mengenai cara yang digunakan oleh dakwah
Al-Quran dalam menciptakan adat baru untuk masyarakat Arab pada pada periodeode ke 7
(Handiyanto, 2014).

Jurnal:

Jurnal Ilmu Al Quran Dan Hadis, 2(2), 134–142. https://doi.org/10.54443/mushaf.v2i2.27

Carolus Borromeus Mulyatno. (2022). Jurnal Pendidikan Dan Konseling. Jurnal Pendidikan Dan
Konseling, 4, 1349–1358.

8|Page
(PERTEMUAN 5)

KAJIAN SEPUTAR ILMU-ILMU DALAM AL-QUR’AN

Ilmu-ilmu yang berkembang sekarang adalah hasil dari kemampuan manusia dalam berpikir
sebagaimana ia adalah khalifah dimuka bumi ini, firman Allah dalam al-Qur'an surat al-Baqarah [2]: 30.
Tidak perlu bertanya lagi kenapa manusia diciptakan, karena para malaikatpun menanyakan hal itu
dulu dan Allah juga sudah menjawabnya dalam ayat diatas. Tidak ada yang sebanding dengan ilmu
Allah sesungguhnya la Maha Mengetahui segala sesuatu. Allah telah mengutus rasul-rasul dan nabi-
nabinya dan penutupnya adalah Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaih Wassallam dan diturunkan
kepadanya Al-qur'an melalui malaikat Jibril. Untuk itu tinggallah bagi umat Islam sedunia untuk
berpegang teguh dengannya dan sunnah Nabi Muhammad. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-
Maidah [5]: 3...Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam itu sebagai agamamu..(potongan ayat) Dengan sangat
luas dan lengkapnya cakupan isi yang terkandung dalam al-Qur'an yang kalau dikaji dan semakin dikaji
maka semakin jelas apa yang dicari didunia ini. Sampai tidak ada seorangpun manusia yang dapat
mendatangkan bahkan satu ayat pun yang seperti al-Qur'an begitulah mu'jizat al-Qur'an. Ia adalah
kalam Allah. Apalagi ia adalah sumber dari segala sumber termasuk kedalamnya sumber ilmu
pengetahuan. Cakupannya sangatlah luas. Juga dalam al-Qur'an banyak sekali menyebutkan
pengungkapan kata ilmu dengan berbagai bentuk kata jadiannya. Maka dari itu peneliti ingin
mendeskripsikan tentang ilmu pengetahuan dalam perspektif al-Qur'an, apa urgensi menuntut ilmu
dan bagaimana menjadi seorang penuntut ilmu. Yang mana belum dikaji secara keseluruan oleh
penelitian terdahulu. Namun ada beberapa persamaan pada perspektif al-qur'an, dan perbedaan yang
mendasarnya pada pentingnya menuntut ilmu dan bagaimana menjadi seorang penuntut ilmu.Adapun
penelitian dan penemuan terdahulu yang lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu yang
temukan oleh Eva Iryani bahwa al-Quran dan ilmu adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan:
oleh Retna Dwi Estuningtyas yang menemukan Islam adalah bentuk agama yang mengajarkan
kaumnya untuk selalu belajar, memposisikan ilmu Ilmu pengetahuan dalam al-Quran memiliki empat
makna pengertiannya.

Pertama, ilmu yang hanya diketahui oleh Allah (qs. Hud [11]: 14), kedua ilmu yang diwahyukan
kepada utusan-Nya (Nabi dan Rasul)( qs. al-Baqarah [2]: 145), ketiga ilmu pengetahuan yang
disandarkan ke para malaikat, yang hakekatnya Allah lah yang maha mengetahui (qs. Al- Baqarah
[2]:32), pengetahuan yang ada pada manusia (qs. Al-Qasas [28]: 78)". Surat al-a'raf [7]:187
menunjukan ilmu pengetahuan hanya Allah yang mengetahuinya dan surat al- mujadilah 58):11
menunjukan ilmu pengetahuan menjadikan penuntutnya berkedudukan tinggi di sisi Allah". Dalam
perspektif al-Quran, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul terhadap ciptaan
Allah yang lainnya dalam fungsinya sebagai khalifah". Ilmu dibedakan menjadi dua macam Pertama,
ilmu yang diperoleh melalui proses belajar dengan istilah al-'ilm kasbi; kedua, ilmu yang merupakan
anugerah Allah (tanpa proses belajar) yang sering disebut dengan istilah 'ilm ladunni atau mauhibah".
Secara ontologis ada dua alam yang disebutkan oleh Al-Qur'an, yaitu alam metafisik ("alam al-ghayb)
dan alam fisik atau yang tampak ('alam al-sahadah)", sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-
An'am [6]: 50 dan 59, juga terdapat pada Surat al-Qolam [68]: 47. Surat an-Nahl [16]: 77, dan yang
lainnya. Manusia mempunyai perspektif internal (perspektive faculty) yang dapat menerima
pengalaman tentang alam metafisik ('alam al-ghayb) yang dalam al-Qur'an disebut dengan hati atau
qalb " Pengetahuan dari wahyu kebenaran absolut atau haqq al-yaqin, pengetahuan pada rasio

9|Page
menghasilkan kebenaran rasionalisme (ilm al-yaqin), dan ilmu pengetahuan yang bersumber pada
indera mengahasilkan kebenaran empirisme ('ain al-yaqin) Ilm dan ma'rifah bukanlah jenis ilmu yang
sama, ilm dapat berupa praktek dan teoritik (science), sedangkan ma'rifah merupakan jenis ilmu yang
didapatkan dan dicapai melalui pengalaman hati atau fakultas internal yang dibimbing oleh wahyu
dalam mencapai kepuasan (al-nafs al- muthmainnah) 25.

Sains dan teknologi Islam berdasarkan al-Quran. Mengetahui ilmu sains dan teknologi
merupakan sumbangsih ilmu oleh para ulama Islam dahulu dan bukan dari orang- orang barat,
malahan mereka yang mengambil ilmu dari Islam". Beberapa sumbangan Islam dalam perkembangan
sains dan teknologi menurut Suyurno adalah ilmu botani, ilmu zoologi, ilmu biologi, bidang botani,
ilmu astronomi, matematik/ ilmu hisab, ilmu pengetahuan medis dan pembedahan, ilmu kimia, ilmu
kejuruteraan, ilmu geografi, ilmu geologi, ilmu fisika". Kemajuan Islam pada masa lampau dimulai
dengan kepemilikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Pembeda objek ilmu dalam sains modern
dan al-qur'an ialah dari segi cakupannya. Padangan objek ilmu pada Al-qur'an lebih luas sedangkan
pada sains modern lebih sempit terbatas pada yang bisa diuji oleh manusia saja".

Jurnal:

Hasan Ahmad Muhammad Alkaf, Attaqrirat Assadidah Fi Almasaail Almufidah (Riyadh: Maktabah Malik
Fahad)

Khusnul Khotimah, Paradigma Dan Konsep Ilmu Pengetahuan Dalam Al-Qur'an'. Episteme, 9.1 (2014),

10 | P a g e
(PERTEMUAN 6)

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU TAFSIR MASA KLASIK DAN MODERN

1. Periode pertama.

Zaman Rasul Allah s.a.w dan sahabat. Rasul s.a.w menyampaikan, menerangkan dan menjelaskan
isi al-Qur'an. Jika ada diantara para sahabat yang berselisih atau tidak mengarti mengenai kandungan
al-Qur'an, mereka merujuk langsung kepada Rasul saw mengenai makna sebuah ayat al-Qur'an
sekaligus penjelasannya. Setelah Rasul s.a.w wafat, para sahabat ra menafsirkan al-Qur'an dengan
sangat hati- hati walaupun mereka menyaksikan bagaimana dan bila serta mengapa ayat-ayat al-
Qur'an diturunkan dan walaupun mereka adalah (sangat fasih dan mahir dalam bertutur kata dan
berhujah).

Abu Bakar al-Siddiq ra misalnya mengatakan: Bumi mana yang akan memangkuku dan langit mana
yang menaungiku jika aku mengatakan di dalam kitab Allah apa yang tidak aku ketahui. Para sahabat
r.a menafsirkan al-Qur'an dengan berpegang kepada tafsiran yang disampaikan oleh Rasul saw kepada
mereka. Salah satu kelebihan mereka adalah mereka yang menyaksikan langsung bagaimana, bila dan
di mana ayat-ayat al-Qur'an turun kepada Rasul saw sehingga mereka sangat faham apa makna,
kandungan dan tujuan sesebuah ayat diturunkan Abdullah ibn Mas'ud ra mengatakan: "Demi Allah
yang tidak ada Tuhan selainNya, tidak ada ayat dari Kitab Allah yang diturunkan melainkan aku paling
mengetahui kepada siapa ia diturunkan dan dimana diturunkan.

Seandainya aku tahu adanya seseorang yang lebih mengetahui daripadaku tentang Kitab Allah
boleh sampai kendaraan ke tempatnya maka pasti aku akan mendatanginya", 13 Adapun yang paling
terkenal daripada para sahabat dan yang paling banyak mengetahui tafsir al-Qur'an serta paling
banyak meriwayatkan daripada Rasul s.a.w diantaranya adalah Ali ibn Abi Talib, Abdullah ibn Mas'ud,
Abdullah ibn Abbas dan Ubay ibn Kafab.Ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an, para sahabat ra
pertama-tama menclitinya dalam al-Qur'an sendiri, karena ayat-ayat al-Qur'an satu sama lain saling
menafsirkan. Setelah itu, mereka merujuk kepada penafsiran Rasul saw, sesuai dengan fungsi beliau
sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur'an. Sekiranya penjelasan tentang ayat tertentu tidak
ditemukan di dalam al-Qur'an dan hadis, maka para sahabat berijtihad. Rengkasnya, pada zaman
sahabat, ucapan, perbuatan, tindakan dan keputusan Rasul Allah saw dijadikan sandaran untuk
menafsirkan al-Qur'an. Dr. Muhammad Husain al-Dhahabi kemudian menyebutkan keistimewaan
tafsir pada zaman Rasul Allah saw dan para sahabat baik berhubungan dengan kuantitas maupun yang
berhubungan dengan metodologi dan cara mentafsir.

2. Periode kedua

masa tabiin. Setelah generasi sahabat, para tabiin menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an, hadis
Nabi dan pendapat para sahabat. Selain itu baru mereka mengembangkan penafsiran sendiri
berdasarkan ijtihad. Pada masa tabiin, tafsir belum merupakan sebuah disiplin ilmu yang berdiri
sendiri. Tafsir masih merupakan bahagian dari hadis. Ini menunjukkan dengan jelas bahwa tafsir
tidaklah sewenang-wenang namun selalu terkait dengan apa yang telah dilakukan oleh Rasul Allah
saw dan para sahabat. Berkata Imam Mujahid ra ulama tafsir kalangan tabi'in dan salah seorang murid
Ibn Abbas yang paling dipercayai: "Aku memperdengarkan al-Qur'an kepada Ibn Abbus sebanyak tiga
kali, dimana aku selalu berhenti di setiap ayat dan bertanya berkaitan dengan apa ayat ini dan
bagaimana maksud ayat ini" Para mufassir dari kalangan tabi in tersebar di berbagai lokasi. Tabi'in

11 | P a g e
Mekah separti sa id ibn Jubayr, Mujahid ibn Jabr, Ikrimah Maula ibn Abbas, Tawūs ibn Kaisan al-Yamani
dan "Aja ibn Abi Rabah meriwayatkan dari Ibn Abbas. Tabi in Madinah meriwayatkan daripada Ubayy
ibn Ka'ab, diantaranya: Zayd ibn Aslam, Abu al-Aliyah dan Muhammad ibn Ka'ab al-Qurazi. Tabiin Iraq
separti Alqamah ibn Qays, Masruq ibn al-Ajda, al-Aswad ibn Yazid, Murah al-Hamdani, "Amir al-
Sya'biy, Hasan al-Başri dan Qatadah al-Sadusi meriwayatkan daripada Abdullah ibn Mas'ud.Perjalanan
tafsir dari zaman sahabat dan tabi in kepada kita hanyalah melalui percatatan dan) ‫التأليف والتدوين‬
periwatan dan penyampaian) bukan melalai) ‫ الرواية والنقل‬pembukuan). Memang ada buku tafsir yang
sekarang sudah diterbitkan, yaitu Tafsir Mujahid, akan tetapi buku tafsir ini pada kenyataannya
bukanlah ditulis oleh al-Imam Mujahid sendiri akan tetapi dikumpulkan dan diriwayatkan oleh Abū
Bisyr Warqa ibn "Umar dan Humaid ibn Qays dari Ibn Abi Najih dan Isa ibn Maimun daripada Ibn Abi
Najih.

3. Periode ketiga

tafsir mamasuki zaman kodifikasi. Periode ini dimulai di akhir pemerintahan Bani Umayyah dan
awal masa pemerintahan Abbasiyah. Demikianlah tafsir berkembang dan kitab-kitab yang dikarang
mulai menampakkan aliran-aliran yang berbeda-beda. Istilah-istilah ilmiah mulai terbakukan di dalam
ungkapan-ungkapan al- Qur'an, hingga akhirnya tampaklah warna filsafat dan sains dalam khazanah
tafsir, begitu pula gaya sufi dan berbagai aliran dan sekte mulai tampak dengan jelas Karya tafsir
termasuk yang paling tua yang sampai ke tangan generasi sekarang dan ditulis oleh pengarangnya
sendiri adalah sebahagian dari kitab al-Wujuh wa al- Nazair karya Muqatil ibn Sulaiman al-Balkhi
seorang tabi'i al-tabiin. Di dalam karya tafsirnya, Muqatil menyebutkan beberapa orang mufassir dari
kalangan tabi'in separti

Bagaimanapun, sejak dari abad pertama sampai abad ketiga hijriyah, dari berbagai kitab tafsir al-
Qur'an belum ada yang memuat tafsir al-Qur'an secara utuh. Penafsiran al-Qur'an secara keseluruhan
baru bermula pada abad keempat hijriyah. Ini pertama kalinya dipelopori oleh Ibn Jarir al-Tabari yang
menulis Jämf al-Bayan fi Tafsir al-Quran. Di dalam karyanya, al-Imam al-Tabari mengumpulkan berita
dari para pendahulunya yang berkaitan dengan al-Qur'an. Beliau menggunakan sistim isnad untuk
menafsirkan al-Qur'an dengan tujuan agar penafsiran itu tidak sewenang-wenang dan tetap
bersandar kepada penafsiran yang dapat dipertanggung jawabkan. Dalam menafsirkan al-Qur'an,
Imam al-Tabari mengumpulkan berbagai hadis, pernyataan para sahabat dan tabi'in dengan
menyebutkan riwayat dan sanadnya walaupun banyak dari riwayat dan sanad tersebut tidak sahih.
Akan tetapi hal tersebut menurut al-Zarqani tidak mencacatkan nilai ilmiah tafsir tersebut, justeru
dengan menyebut riwayat dan sanad beliau menyerahkan kepada pembaca untuk menilai kekuatan
sesebuah hadis dan riwayat yang beliau sebutkan dalam tafsirnya.

Jurnal:

al-Zurqani, Muhammad Abdu al-Azim, Manahil al Irfan 'Ulum al-Qur'an, Dür Kutub al- Ilmiyyah, Bayrit,
1996

12 | P a g e
(PERTEMUAN 7)

MASALAH TA’WIL DAN TAFSIR AL-QUR’AN

Pengertian Ta'wil

Kata ta'wil berasal dari kata al-awl, yang berarti kembali (ar-rujú') atau dari kata al- ma'al yang
artinya tempat kembali (al-mashir) dan al-aqibah yang berarti kesudahan. Ada yang menduga bahwa
kata ini berasal dari kata al-iyalah yang berarti mengatur (al-siyasah). Secara istilah, ta'wil berarti
memalingkan suatu lafal dari makna zahir kepada makna yang tidak zahir yang juga dikandung oleh
lafal tersebut, jika kemungkinan makna itu sesuai dengan al-kitab dan sunnah.

Pengertian Ta'wil Menurut Istilah :

• Al-Jurjani: ialah memalingkan lafad dari makna yang dhahir kepada makna yang muhtamil,
apabila makna yang mu'yamil tidak berlawanan dengan al-quran dan as-sunnah
• Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa: "Sesungguhnya takwil itu dalah ungkapan tentang
pengambilan makna dari lafazh yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan
menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafazh zahir."
• Menurut Wahab Khalaf: takwil yaitu memalingkan lafazh dari zahirnya, karena adanya dalil.
• Menurut Abu Zahra : takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zahir kepada makna
yang lain, tetapi bukan zahirnya Bentuk-Bentuk Ta'wil

Para ulama ushul merupakan kelompok yang paling mendalami kajian ayat-ayat AlQur'an, bila
dibandingkan dengan kelompok disiplin ilmu lainnya. Hal itu mereka lakukan untuk kepentingan
pengambilan hukum (istimbath al-ahkam), Sehingga kajian para ulama ushul merupakan kelanjutan
dari kajian para ulama bahasa dan hadith. Dari pendalaman kajian tersebut, mereka menemukan
beberapa bentuk ta wil, diantaranya mengkhususkan lafazh yang umum (takhshish al-umum),
membatasi lafazh yang mutlak (taqyid al-muthlaq), mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki
kepada yang majazi,atau dari makanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah.

1. Mengalihkan lafazh dari maknanya yang umum kepada yang khusus, dalam bahasa ushul
disebut takhshish al-umum (). Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah:228, yang
menerangkan bahwa wanita yang dithalaq oleh suaminya harus menjalani iddah (masa
tunggu) selama tiga kali masa haidh atau masa suci (thalathah quru"). Ayat ini berlaku umum,
baik istri yang sudah digauli maupun belum, haidh, monopouse, atau dalam kondisi hamil.
Kemudian ayat ini ditakhshish dengan ayat yang lain dalam QS. Al- Ahzab:49, yang
menerangkan bahwa wanita yang belum digauli tidak memiliki iddah (masa tunggu).
2. Mengalihkan lafazh dari maknanya yang mutlak (muthlaq) kepada yang terbatas (muqayyad),
dalam bahasa ushul disebut taqyid al-muthlaq (3). Seperti firman Allah tentang haramnya
darah dalam QS. Al-Maidah:3, menggunakan lafazh mutlak (muthlaq) kemudian dibatasi
(taqyid) dengan kata "mengalir" (masfuhan) dalam ayat yang lain yaitu QS. Al-An'am: 145,
sehingga yang diharamkan adalah darah yangmengalir.
3. Mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi. Seperti pada firman Allah
dalam QS.An-Nisa': 2 yang menerangkan untuk menyerahkan hartaharta milik anak yatim,
yaitu anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka baligh. Ayat ini bertentangan
dengan ayat berikutnya QS.An-Nisa': 6 yang menerangkan untuk menyerahkan harta-harta
milik anak yatim pada saat mereka telah baligh dan dewasa. Dengan ayat kedua ini, dapat

13 | P a g e
dipahami bahwa yang dimaksud dengan lafazh yatim pada ayat yang pertama bukan makna
hakiki (anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka baligh) tapi makna majazi
yaitu ketika mereka telah baligh dan dewasa.
4. Mengalihkan lafazh dari maknanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah

Syarat-syarat dan kaedah dalam pen-ta'wilan

Ketika seorang mu'awwil ataupun mufassir berhadapan dengan ayat yang maknanya
memerlukan pemahaman khusus dan lengkap, maka ia dibolehkan menta'wilkan ayat jika tafsir
dianggap belum mampu dipakai secara sempurna. Namun tidak semua ayat dapat dita wilkan, karena
dalam ta'wil harus memperhatikan syarat serta kaedah yang berlaku di dalamnya. Jika memenuhi
syarat maka berlakulah ta'wil, namun jika ternyata syaratnya tidak terpenuhi maka mengalihkan lafazh
kepada suatu makna tidak boleh dilakukan karena bertentangan dengan maksud ayat itu sendiri.

"Ta'wil terhadap teks-teks suci al-Qur'an tidak boleh dilakukan secara serampangan, Selain
harus memperhatikan makna lain yang terindikasi dari tiga komponen makna asal, yakni bahasa
(lughawi), kebiasaan penggunaan ("urfiy), dan kebiasaan pemikik syara' (syar'i), muawwil ketika ingin
beralih dari makna zhahir sebuah lafazh kepada makna lain juga harus memperhatikan syarat-syarat
yang telah ditetapkan Syarat yang paling penting adalah makna lafazh muawwal adalah termasuk
makna yang memang dikandung oleh lafazh itu sendiri, dan ditunjukkan dengan satu dilalahnya, baik
secara verbal (manthuq) maupun konseptual (mafhum), dan dalam waktu yang sama harus sesuai
dengan makna asal peletakan bahasa, kebiasaan dan syara'.

Dalam masalah aturan dan syarat-syarat sahnya ta'wil, para ulama telah meletakkan kaidah-
kaidah ta'wil selain yang disebutkan di atas, di antaranya sebagai berikut:

• Lafazh yang ingin dita'wil adalah lafazh ambigu dan bisa dita'wil. Oleh karena itu lafazh
mufassar dan lafazh muhkam tidak bisa di ta'wil karena keduanya telah memiliki makna yang
jelas 37 Misalkan, lafazhnya adalah lafazh umum yang dapat dikhususkan ditakhshish), atau
lafazh mutlak yang dapat diberi batasan (taqyid), atau lafazh bermakna ha hakiki yang dapat
diartikan secara makna metaforis (majazi), dan sebagainya. Maka, jika ta wil dilakukan pada
nash khusus (bukan nash umum), tidak diterima

Jurnal:

Ali Al-Awsi, Al-Thabathaba'i wa Manhajuh fi Tafsirih Al-Mizan, Taheran, Al-Jumhuriyyah Al-


Islamiyyah fi Iran, 1975.

14 | P a g e
(PERTEMUAN 8)

ETIKA MUFASIR DAN KAIDAH PENAFSIR

Pepatah Arab mengatakan qimatul mar’i akhlaquh, nilai seseorang terletak pada budi
pekertinya. Setinggi apapun derajat keilmuan seseorang jika tidak dihiasi dengan budi pekerti yang
luhur nilainya akan rendah di mata masyarakat, lebih-lebih di hadapan Sang Pencipta.Misi risalah Nabi
Muhammad juga tidak terlepas dari term akhlak mulia. Al-Qur’an sebagai rujukan umat Islam memiliki
kandungan yang secara global memiliki tiga kategori.

• Bersifat i’tiqadiyah, sesuatu yang berhubungan dengan ideologi dan sistem kepercayaan.
• Bersifat ‘amaliyah, sesuatu yang berhubungan dengan perilaku dan interaksi, baik dengan
Tuhan, sesama manusia, dan alam beserta makhluk lain.
• Bersifat khuluqiyah, sesuatu yang berhubungan dengan etika dan tatakrama. Al-Qur’an sendiri
memberikan porsi etika dan akhlak dalam pembagian globalnya. Hal ini menunjukkan
perhatian Islam yang sangat tinggi dan urgensitas akhlak dalam semua aspek kehidupan.

Oleh sebab itu, seorang mufasir yang akan selalu bergaul, bersinggungan dan memfokuskan
objek kajiannya terhadap Kitab Suci sangat laik jika harus mematuhi etika-etika tertentu sebagai
karakter yang menghiasi perangai dan perilakunya. Menurut jumhur ulama, mushaf Al-Qur’an harus
ditulis dengan rasm usmani. Persoalan ini memang diperselisihkan oleh ulama. Ada yang mengatakan
bahwa penulisan Al-Qur’an adalah tawqifi, yaitu menuliskan dan meniru apa adanya dari gaya tulisan
yang ditulis pada masa sahabat Usman bin Affan. Ada juga yang berpendapat bahwa menulis mushaf
tidak mesti dengan rasm usmani, tetapi boleh juga dengan rasm imla’i. Semuanya mempunyai
alasannya masing masing. Imam Malik dan lainnya termasuk orang mengharuskan penulisan Al-Qur’an
dengan rasm pertama (al-katbah al-ula) (lihat As-Sayuthi, Al-Itqan, Beirut: Dar al-Fikr, hal. 167). Fatwa
ulama Al-Azhar pada tahun 1355 H mengaruskan pemakaian rasm usmani pada setiap penerbitan
mushaf (lihat Al-Hamd, Ghanim Qadduri, Rasm Al-Mushaf, Baghdad, 1982, hal. 609). Hemat penulis,
jika Al-Qur’an ditulis untuk buku pelajaran, tafsir, di majalah dan lainnya yang bukan berupa mushaf,
bisa menggunakan rasm imla’i atau istilahi. Namun jika ditulis di mushaf, lebih diutamakan memakai
rasm usmani. Hal ini karena beberapa pertimbangan, antara lain:

1. Demi menjaga keaslian, keotentikan dan kemurnian Al-Qur’an. Jika ditulis dengan rasm imla’i,
akan terjadi perubahan terus-menerus.
2. Bacaan (qira’at) yang sah adalah jika qira’at tersebut mengikuti rasm usmani, baik secara hakiki
atau masih mirip.
3. Mushaf yang ditulis dengan rasm usmani masih menyimpan bacaan-bacaan lain yang juga
mutawatir. Jika ditulis dengan rasm imla’i, bacaan-bacaan lain tidak tertampung lagi.
4. Dengan rasm usmani maka terjadi hubungan emosional antara kita dengan generasi awal, karena
seakan-akan kita membaca mushaf para sahabat.
5. Rasm usmani merupakan khazanah intelektual dan khazanah budaya yang sangat mahal untuk
ditinggalkan. Dengan rasm usmani kita bisa melihat sejarah tulisan pada generasi awal dan sejarah
penulisan Al-Qur’an pada masa itu. Hal ini bisa dijadikan lahan penelitian yang sangat berharga.

Jika sudah ditetapkan penulisannya dengan rasm usmani, maka yang harus diperhatikan
adalah rasm usmani menurut riwayat siapa? Apakah riwayat Abu ‘Amr ad-Dani atau Abu Dawud
Sulaiman bin Najah? Atau mengacu kepada kesepakatan keduanya? Sebab ada banyak perbedaan di
antara keduanya. Contoh yang konkret adalah mushaf Jamahiriyyah yang dicetak pada masa

15 | P a g e
pemerintahan Mu’ammar al-Qadzdzafi menggunakan riwayat Qalun dari segi bacaan dan
menggunakan riwayat ad-Dani dari segi rasm usmani-nya. Sementara mushaf riwayat Hafsh cetakan
Mujamma’ Malik Fahd di Madinah menggunakan rasm usmani dengan mengacu kepada kesepakatan
keduanya dan menarjihkan riwayat Abu Dawud pada banyak tempat.

Pada saat Zaid bin Tsabit menulis Al-Qur’an, baik pada masa Abu Bakar atau masa Usman,
beliau dan teman-temannya sangat hati-hati dalam menulis Al-Qur’an. Bacaan yang telah dinasakh
tidak akan dimasukkan, karena bacaan yang dinasakh tidak lagi disebut Al-Qur’an. Memasukkan
sesuatu yang bukan Al-Qur’an ke dalam Al-Qur’an akan membawa konsekuensi tersendiri. Atas dasar
ini juga para ulama generasi pertama tidak menyetujui adanya tanda-tanda selain ayat Al-Qur’an itu
sendiri, seperti pemberian tanda pada setiap sepuluh ayat (ta’syir), tanda titik (nuqath), penamaan
surah, dan lain sebagainya. Sahabat Ibnu Mas’ud pernah berkata:

Artinya: Janganlah mencampuradukkan Al-Qur’an dengan yang bukan Al-Qur’an. Berkata lagi:
sendirikanlah Al-Qur’an.

Abu Ruzain memberikan alasan tentang penulisan komentar pada awal surah bahwa surah ini
dimulai dengan ayat ini dan diakhiri dengan ayat ini. Aku khawatir ada orang yang menganggap bahwa
tulisan tersebut juga berasal dari langit. (Lihat Ibn Abi Dawud, dalam Al-Mashahif, Kairo: Muassasah
Qurthubah, hal. 138). Akan halnya dengan tafsir, maka seorang mufasir bisa saja ‘menyelang-nyelingi’
ayat dengan penafsirannya sebagaimana yang kita lihat dalam tafsir Al-Jalalain. Jika demikian maka
ayat-ayat Al-Qur’an harus dibedakan dengan tafsir, misalnya dengan memberikan tanda kurung
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.

Jurnal:

https://lajnah.kemenag.go.id/artikel/etika-penerbitan-al-qur-an-langkah-langkah-yang-perlu-
diperhatikan-bagian-3.html

16 | P a g e
(PERTEMUAN 9)

METODE TAFSIR MUQARRAN DAN TAFSIR MAUDHU

1. Tafsir Metode Muqaran.

Tafsir al-Muqaran adalah penafsiran sekolompok ayat al-Qur’an yang berbicara dalam suatu
masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau antara ayat dengan hadis baik dari
segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan segi-
segi perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan. Jadi yang dimaksud dengan metode Muqaran
ialah:

• membandingkan teks [nash] ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan
redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus
yang sama.
• membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan,
• membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.

Ciri utama metode ini adalah ”perbandingan”. Disinilah letak salah satu perbedaan yang prinsipil
antara metode ini dengan metode-metode yang lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan
dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau dengan hadis, perbandingan dengan pendapat para
ulama.

Langkah-langkah yang ditempuh ketika menggunakan metode at-tafsir al-muqaran menurut al-
Farmawi ada 4 cara, yaitu sebagai berikut:

• Mengumpulkan sejumlah ayat alquran.Seorang jika hendak membandingkan antara ayat yang
mempergunakan redaksi yang berbeda terhadap suatu masalah yang sama, atau menggunakan
redaksi yang mirip terhadap kasus yang berbeda, maka harus mengumpulkan sejumlah ayat al-
Quran kemudian membandingkannya. Begitu juga dengan membandingkan ayat dengan hadis,
mufassir juga harus mengumpulkan hadis-hadis yang mempunyai redaksi yang sama.
• Mengemukakan penjelasan para mufassir.Baik dikalangan ulama salaf maupun khalaf, baik tafsirnya
bercorak bi al-ma’tsur atau bi ar-ra’yi Langkah ini dilakukan seorang mufassir dengan cara
membaca, mentelaah serta meneliti sehingga dapat diketahui kecendrungan seorang mufassir
dalam penafsirannya.
• Membandingkan kecendrungan tafsir mereka masing-masing.
• Menjelaskan siapa diantara mereka yang menafsirkan.Penafsiran yang dipengaruhi-secara
subjektif- oleh mazhab tertentu, Penelitian terhadap kitab-kitab mufassir akan didapati
kecendrungan mufassir terhadap suatu mazhab atau suatu aliran teologi tertentu, dan dapat juga
diketahui tentang tidak sepahamnya atau bahkan menolak terhadap madzhab yang lainnya. Dari
sini mufassir akan mendapatkan gambaran yang jelas tentang berbagai penafsiran yang telah ada,
untuk kemudian memilih atau mengadakan penafsiran yang ia pandang lebih sesuai, lebih kuat dan
lebih tepat.dengan beberapa argumentasi yang dikemukakan, mufassir yang bersangkutan dapat
saja mengkompromikan berbagai penafsiran yang telah ada, atau memilih dan memperkuat salah
satu dari padanya, bahkan boleh jadi dia menolak semua tafsiran yang telah ada seraya
mengedepankan penafsiran dalam kaitan dengan soal-soal yang sedang dibahasnya .

17 | P a g e
2. Metode Tafsir Maudlu’i
AdalahSatu metode tafsir yang mufassirnya berupaya menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari
berbagai surah dan yang berkaitan dengan persoalan dan topik yang ditetapkan sebelumnya.
Kemudian penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi
satu kesatuan yang utuh. Metode ini di Indonesia dikenal dengan metode tafsir Tematik, yang
kemudian di kembangkan oleh Quraish Shihab, salah seorang pakar tafsir dan ilmu-ilmu al-Qur’an
kebanggaan masyarakat Indonesia.
Ada juga yang mendefenisikan sebagai sebuah metode penafsiran dengan cara menghimpun
seluruh ayat- ayat al-Quran yang membahas masalah tertentu dari berbagai surat yang
disesuaikan dengan masa turunnya, sambil memerhatikan sebab turunnya ayat seterusnya
menganalisa lewat ilmu bantu dari masalah yang dibahas sebagai konsep yang utuh dari al-Quran.
Adapun tafsir tematik secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
• Tematik berdasar surah al-Qur’an Tematik berdasarkan surah al-Qur’an adalah menafsirkan
al-Qur’an dengan cara membahas satu surah tertentu dari al-Qur’an dengan mengambil
bahasan pokok dari surat dimaksud.
• temati berdasar subyek. Tematik subjek adalah menafsirkan al-Qur’an dengan cara
menetapkan satu subjek tertentu untuk dibahas. Misalnya ingin mengetahui bagaimana
konsep zakat menurut Islam, metode tematik ini dapat digunakan.
3. langkah penerapan Metode Maudlu’i
Menurut Abdul Hay Al-Farmawiy dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-mawdhu’i secara
rinci menyebutkan ada tujuh langkah yang ditempauh dalam menerapkan metode tematik ini,
yaitu:
• Menetapkan masalah yang akan dibahas ( topik)
• Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah terseabut.
• Menyusun runtutan ayat sesuai masa 3. turunnya.disertai pengetahuan tentang azbabun
nuzulnya.
• Memahami kolerasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing masing.
• Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna.
• Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok pembahasan.
• Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun.

Ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (
umum) dan yang khash (khusus), muthlak dan muqayyad, atau yang pada lahirnya bertentangan,
sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan.

Jurnal:

sonielbalarjani.blogspot.com/2015/08/tafsir-maudhui-dan-muqarran.html?m=1

18 | P a g e
(PERTEMUAN 10)

METODE TAFSIR TAHLILI (KERAGAMAN PENERAPAN METODE TAHLILI)

1. Kemunculan Metode Tafsir Tahlili


Membahas kemunculan metode tafsir tahlili akan lebih jelas dan lugas apabila dikaitkan
dengan sejarah perkembangan tafsir terdahulu. Ada beberapa pendapat tentang tafsir pada masa
Nabi SAW. sebagian mengatakan bahwa tafsir pada masa Nabi dibagi menjadi dua cara, pertama
Nabi menjelaskan makna dari ayat tanpa didahului pertanyaan. Uqbah bin 'Amir dalam hadistnya
mengatakan aku mendengar rasulallah SAW diatas minbar membacakan surat al-Anfal ayat 60
kemudian beliau menjelaskan ayat tersebut (Hadist Akhrojahu Muslim), Kedua menjawab
pertanyaan sahabat-sahabatnya yang kesulitan dalam memahami maksud dari ayat al-Qur'an.
Demikian, Nabi Muhammad SAW tidak mendetail dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an
terhadap umatnya pada masa itu, dikarenakan al-Qur'an diturunkan menggunakan bahasa Arab
yaitu bahasa mereka dan para sahabat serta umat muslim saat itu menyaksikan turunnya al-
Qur'an ('Abdu, 1991). Akan tetapi walaupun al-Qur'an diturunkan menggunakan bahasa Arab
yaitu bahasa para sahabat, namun makna dari kata al-Qur'an dapat dimaknai dengan beberapa
makna dalam bahasa Arab (Al-Gattan, 1973, p. 325), Ibnu Qutaibah berkata bahwa sesungguhnya
bangsa Arab tidak sama dalam mengetahui apa yang ada di dalam al-Quran tetapi terdapat
sebagian dari mereka yang ahli di bidang masing-masing dalam memahami al-Quran. Perbedaan
pemahaman tersebut menjadi salah satu bukti bahwa penafsiran al-Quran telah dimulai sejak kali
pertama al-Quran diturunkan. Namun seperti penjelasan di atas bahwa Nabi menjelaskan makna
al-Qur'an hanya sesuai dengan kebutuhan pada saat itu atau hanya secara ijmall.
Berbeda pada zaman sahabat, penafsiran al-Quran menjadi lebih berkembang
dibandingkan pada zaman Nabi meskipun karakteristik tafsir Sahabat belum menjelaskan secara
mendetail karena ayat-ayat al- Quran masih jelas dan masih dipahami bagi kalangan mereka
(Rahman, 2021a). Dengan demikian, para mufasir menjelaskan secara singkat dan hanya
menjelaskan lafadz-lafadz yang kurang dipahami serta hukum-hukum yang bermasalah saat itu.
Salah satu mufasir klasik yang paling banyak menafsirkan al-Quran adalah Ibnu Abbas, hal itu
karena do'a Nabi Muhammad SAW (Ibrahim, 2020, p. 43). Dari paparan di atas, dijelaskan bahwa
tafsir pada masa Nabi dan Sahabat belum menggunakan metode tahlili yaitu menafsirkan ayat al-
Quran berurutan sesuai uratan dalam al-Quran. Namun demikian, penafsiran pada masa tersebut
dilakukan secara global atau imali, yang berarti tidak menjelaskan secara detail dan terperinci
karena kondisi masyarakat pada saat itu memahami bahasa Arab dan mengetahui sebab-sebab
diturunkannya ayat, untuk itu mereka relatif dapat memahami makna ayat-ayat al-Qur'an secara
benar dan tepal. Dengan demikian tidak salah apabila metode ijmali adalah metode yang pertama
kali digunakan pada penelitian tafsir al-Qur'an (Hujair, 2008). Namum Pada era tersebut, belum
dilakukannya pembukuan kitab-kitab tafsir (Al-Qattan, 1973). Pada masa kodifikasi yaitu abad
kedua hijriyah, mulai dibukukannya ilmu-ilmu islam termasuk tafsir. Hal tersebut disebabkan
karena banyak kitab-kitab yang hilang dan belum tersebarkan, karena hal tersebut banyak
perbedaan pendapat mengenai kitab tafsir pertama. Menurut Muhsin Abd Al-Hamid metode
tafsir tahlil muncul setelah dibukukannya ilmu-ilmu keislaman. Pada saat tersebut keilmuan
mengalami perkembangan yang sangat signifikan, mulai dari ilmu bahasa (nahwu, sharaf,
balaghah) dan ilmu-ilmu yang mendukung dalam penafsiran al-Quran. Contohnya buku Majaz al-
Qur'an yang ditulis oleh Abi Ubaidah yang menjelaskan tentang tafsir al-Qur'an secara keilmuan
bahasa secara murni (Ibrahim, 2020). Menurut para ulama, buku tafsir pertama yang

19 | P a g e
menggunakan metode tahlili adalah buku yang dikarang Muhammad bin Jarir al-Thabari. Imam
Suyuti menjelaskan bahwa buku karangan al-Thabari adalah buku paling agung dan mulia, karena
al-Thabari menjelaskan tafsir secara mendetail hingga dipaparkan perkataan sahabat, fabrin dan
ulama-ulama Pendapat Imam Suyuti disepakati oleh Imam al-Nawawi, beliau memaparkan
bahwasannya belum ditemukan kitab yang disusun serupa dengan kitab karangan al-Thabari
(Rokim, 2017).
Berangkat dari penjelasan di atas, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa kemunculan tafsir
dengan metode tahlill adalah ketika mulai meluasnya ruang analisa bahasa, istinbath hukum fiqih
dan ilmu-ilmu pendukung tafsir lainnya. Gambaran tersebut terlihat pada definisi tahlili
sebelumnya, yaitu menjelaskan al- Quran secara mendetail dan berurutan sesuai mushaf.
Perkembangan keilmuan Islam dari masa ke masa membangun kompleksitas pada kapasitas tafsir
tahili. Penulis sepakat dengan penjelasan sebelumnya bahwa secara teori dan teknik metode jmali
merupakan metode yang pertama kali digunakan, karena melihat pada sistem penjelasan yang
dilakukan oleh nabi Muhammad dan para sahabat. Namun jika ditinjau dari literasi-literasi tafsir
yang terdahulu, maka akan ditemukan metode fahili lah yang pertama kali muncul menjadi
sebuah kitab yang menjadi rujukan para mufasir setelahnya sampai saat ini, seperti tafsir karangan
al-Farra (W. 206 H/821 M). tafsir karangan Ibnu Majjah (W.237 H/851 H) dan tafsir karangan Imam
al-Thabari (W. 310 H/933 M) (Shihab, 1997, p. 73)
2. Dasar dan Urgensi Tafsir Tahlili
Melihat perkembangan masyarakat yang sangat sistematis menimbulkan jarak yang cukup
jauh akan sumber ilmu yang sebenarnya. Untuk itu, adanya beragam buku-buku pengetahuan
dengan corak yang berbeda-beda adalah salah satu indikasi yang memperlihatkan adanya
perhatian khusus dari para ulama untuk mengatasi ketertinggalan masyaarakat di era modern
yang jauh berbeda keadaannya dengan keilmuan pada zaman Nabi dan Sahabat. Dengan
demikian, pada zaman sekarang dapat ditemukan berbagai macam buku tafsir dengan berbagai
metode dan corak secara mudah (Rahman, 2016). Tidak lain yaitu untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat yang disesuaikan dengan kondisi dan kemampuannya pada saat ini. Dengan melihat
kondisi masyarakat tersebut, lahirlah tafsir yang menjelaskan secara detail dan sesuai urutan
dalam al-Quran (tahlil), karena penafsiran dengan menggunakan metode tahlili dianggap lebih
cocok dengan keadaan masyarakat. Penafsiran Metode Tahlil mengandung banyak faidah dan
tujuan yang tinggi sebagai berikut (Rokim, 2017):
• Metode ini menguraikan setiap ayat al-Qur'an secara terperinci dan menyeluruh, sehingga
dapat dipahami secara komprehensif bagi masyarakat awam.
• Pembaca dan peneliti terdorong untuk mempelajari dan menelaah lebih dalam tentang ilmu-
ilmu yang berkaitan dengan penafsiran al-Quran.
• Mendorong para pembaca dan peneliti untuk memperdalam pemikiran dengan menyelami
makna ayat dan meningkatkan kemampuan ber-istinbat, menentukan ragam makna yang
tepat dengan ayat serta membandingkan pendapat dari para ulama.
• Metode Tahili dapat digunakan sebagai rujukan atau pengantar dalam tafsir dengan metode
lain.

Jurnal:

Metode Tafsir Tahlili dalam Menafsirkan Al-Qur'an: Analisis pada Tafsir Al-Munir

20 | P a g e
(PERTEMUAN 11)

HISTORI DAN BIOGRAFI ULAMA TAFSIR TERMASHUR DAN KARYANYA DI INDONESIA

Sejarah orang pertama yang menjadi mufasir Nusantara adalah 'Abd Ra'uf bin Ali al-Jawi al-
Fansuri al-Sinkili, atau yang sering dikenal dengan sebutan Abd al- Ra'uf Singkel. Beliau adalah seorang
mufasir berkebangsaan Melayu yang lahir di Singkel yaitu daerah pantai barat-laut Aceh pada tahun
1024 H/1615 M dan wafat pada tahun 1693 M. Kitab tafsirnya berjudul Tarjuman al-Mustafid. Kitab ini
merupakan kitab tafsir pertama berbahasa Melayu yang paripurna. Oleh karenanya, tidak heran jika
beliau diberi gelar 'Sakaguru Mufasir Nusantara." Selain ahli tafsir, Abdul Ra'uf Singkil juga sebagai
tokoh tasawuf di Nusantara. la mengajarkan dan menyebarkan tarekat Satariyah yang berasal dari
India.

Mufasir Indonesia selanjutnya adalah Abu Abd Allah Mu'thi Muhammad Nawawi bin Umar.
Beliau lahir di Tirtayasa, Serang, Banten, Jawa Barat, pada tahun 1813 M. Beliau wafat pada usia 84
tahun di Makakh al-Mukarramah, tepatnya pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Kitab tafsirnya
berjudul Tafsir al-Munir (Marah Labid). Kitab tafsir ini walaupun karya asli orang Indonesia, akan tetapi
bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab. Kitab ini terdiri dari dua jilid dan termasuk ke dalam tafsir
Ijmali." Prestasi Shaikh al-Nawawi Banten dapat dikatakan membanggakan, sebab ia memiliki karya
tidak kurang dari 115 karya dari berbagai bidang ilmu. Selain itu, ia juga orang Indonesia yang bisa
menjadi imam Masjidil Haram. Prestasi yang gemilang dari segi karya, rupanya juga didukung dari segi
nasab. Sebab, al-Nawawi juga memiliki nasab sampai kepada Nabi. Ila memiliki nasab sampai kepada
Maulana Hasanuddin Putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Keturunan ke-11 dari Sultan Banten. Syaih
Nawawi sebagai seorang tokoh dapat dikatakan berhasil dalam mendidik para muridnya. Terbukti dari
beberapa muridnya banyak yang menjadi tokoh ternama seperti K.H. Hasyim Asy'ari (Pendiri Nahdlatul
Ulama), KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), KH. Khalil Bangkalan dan sebagainya. Setelah
Shaikh Nawawi, pada tahun 1925 juga muncul karya tafsir Alqoerananoel Hakim Beserta Toejoean dan
Maksoednya. Kitab ini adalah karya dua orang yang bernama H. Ilyas dan Abdul Jalil. Tidak berselang
lama, pada tahun 1926 juga muncul karya tafsir yakni, Tafsir al-Qur'an al-Karim, yang ditulis oleh Jama
in bin 'Abd al-Murad. Namun Kitab ini hanya menafsirkan juz 1-3.9

Mufasir Indonesia masa era selanjutnya adalah Hasan bin Ahmad. Ia adalah keturunan
campuran Indonesia-India. Ibunya asli Indonesia sementara ayahnya dari India. Beliau lahir di
Singapura pada tahun 1887 M dan tutup usia pada umur 70 tahun di Bangil Pasuruan pada tanggal 10
November 1958. Karya tafsirnya berjudul Tafsir al-Furqan, yang terbit pada tahun 1956 M. Kitab ini
menafsirkan al-Quran secara lengkap dari al-Fatihah hingga al-Nas. Prestasi akademiknya dikatakan
membanggakan karena adanya pengaruh dari orang tuanya. Orang tua Hasan adalah seorang redaktur
majalah Nur al-Islam (sebuah majalah sastra Tamil). Selain sebagai penulis beberapa kitab berbahasa
Tamil, al-Hasan juga melakukan beberapa terjemahan dari bahasa Arab. Ibu Ahmad Hasan bernama
Muznah, yang berasal dari Palekat Madras, tetapi lahir di Surabaya. Setelah menikah, kedua orang tua
Ahmad Hasan menetap di Singapura. Ahmad Hasan, selain ahli tafsir, juga sebagai pendiri Pondok
Pesantren Persis di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Penyusunan tafsirnya diawali dengan menuliskan
tema-tema al-Qur'an atau indeks al-Qur'an lalu baru ditafsirkan mulai surat al-Fatihah hingga surat al-
Nas. 10.

21 | P a g e
Pada tahun tanggal 3 Muharram 1306 H, Indonesia memiliki kader baru. la bernama KH.
Ahmad Sanusi. Sanusi adalah orang Sunda. Sedangkan orang sekitar memanggilnya dengan sebutan
Ajengan Sanusi, Ajengan Cantayan, atau Ajengan Genteng. la seorang ulama berpengaruh abad 20 di
tanah Parahiayangan. Ia dilahirkan pada 3 Muharram 1306, di Cantayan, sebuah desa di Cibadak,
Sukabumi, sekitar 20 km arah Barat kota Sukabumi, Jawa Barat. la menulis kitab tafsir berjudul Raudlah
al-Irfan fi Ma'rifah al-Qur'an. Kitab ini merupakan tafsir yang menggunakan bahasa Sunda." Kitab ini
terdiri dari dua jilid. Jilid pertama berisi tafsir juz 1-15 sedangkan jilid kedua berisi tafsir juz 16-30.

pada tahun 1899 Indonesia memiliki mufasir bernama Mahmud Yunus. Mahmud Yunus
dilahirkan di Sungayang Batusangkar. Sumatera Barat, pada hari Sabtu 30 Ramadhan 1361 H atau 10
Ferbruari 1899 M, dan beliau meninggal pada tanggal 18 Januari 1993 M dalam usia 83 tahun.
Mahmud Yunus berpulang ke Rahmatullah di kediamannya di kelurahan Kebon Kosong. Kemayoran,
Jakarta Pusat. Kemudian ia dimakamkan di pemakaman UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kitab tafsirnya
berjudul Tafsir al-Qur'an al-Karim. Dari sisi muatannya, tafsir ini termasuk kedalam tafsir Ijmali.
Sementara dari sisi penulisannya, kitab ini ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa yang ditulis
dengan huruf Arab (pegon),13

Pada tahun 1355 H. di Binjai, Langkat Sumatera ada sebuah karya tafsir kolektif berjudul Tafsir
al-Qur'an al-Karim yang ditulis oleh tiga orang, yaitu H.A. Halim Hasan, H. Zainal Arifin 'Abbas, dan
Abdur Rahim Haitami, namun 14 kitab ini hanya sampai juz ketujuh. Selain tafsir kolektif. Syaikh Abdul
Halim Hasan juga memiliki tafsir karya sendiri dengan judul Tafsir Ahkam." Syaikh Abdul Halim Hasan,
dilahirkan di Binjai, Sumatera Utara, pada tanggal 15 Mei 1901 dan meninggal dunia pada usia 68 tahun
6 bulan, atau bertepatan pada hari Jum'at 14 November 1969. Setelah selesai melaksanakan shalat
Jumat di Masjid Raya Binjai, ia bermaksud untuk mengikuti shalat jenazah seorang ustaz M. Rasyid Nur
di Masjid Muhammadiyah Binjai. Ketika sedang di perjalanan, tiba-tiba ia jatuh sakit dan langsung
dibawa ke Rumah Sakit PNP II Bangkatan Binjai hingga pulang kerahmatullah.

Pada awal abad ke-20, Indonesia melahirkan mufasir baru. Ia adalah Hasbie Ash-Shiddieqy.
Beliau lahir pada tanggal 10 Maret 1964 di Lhokseumawe Aceh Utara. Al-Hajj Teungku Qadhi Chik
Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad Mas'ud dan Teungku Amrah adalah nama orang
tuanya. Ayah Hasbie adalah seorang ulama terkenal yang memiliki sebuah dayah (pesantren),
sementara ibunya adalah puteri Teungku Abdul Aziz, pemangku jabatan Qadhi Chik Maharaja
Mangkubumi Kesultanan Aceh waktu itu. Ia merupakan keturunan Abu Bakar Ash- Shiddiq yang ketiga
puluh tujuh. Oleh sebab itu gelar Ash-Shiddiq dijadikan nama keluarganya. Ketika berusia 6 tahun,
ibunya meningggal dunia. Sejak itu ia diasuh oleh bibinya. Teungku Syamsiah. Beliau menulis dua kitab
tafsir, yaitu Tafsir al- Nur (1953) dan Tafsir al-Bayan (1966). Untuk tafsir al-Nur, pertama kali terbit pada
tahun 1956. Penulisan tafsir dengan menggunakan bahasa non-Arab masih menjadi polemik pada saat
itu. Mengingat peraturan pemerintah Arab Saudi yang mengharamkan penulisan tafsir al-Qur'an
dengan bahasa Ajam (non-Arab). Namun ia tetap konsisten bahwa gagasannya tersebut adalah baik
bagi umat Islam. Akhimya penulisan tafsir tersebut dapat selesai. Sementara untuk Tafsir al-Bayan
berjumlah empat jilid dengan ketebalan 1749 halaman. 16

Jurnal:

https://jurnal.stiqsi.ac.id/index.php/AlIJaz/article/download/30/24/95

22 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai