Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

AKAD HIBAH dan WAKALAH


Dosen Pengampu : Dr. Budi Sudrajat. M.A

Disusun Oleh :
Kelompok 12
 Erin Febrina Herdayati (211430038)
 Anggit Sapitri (211430059)
 Irgi Miftahur Rizki (211430062)
 Muhammad Nahrudin (211430066)

Semester/Kelas : 3B
Mata Kuliah : Ayat dan Hadis Ekonomi

JURUSAN ASURANSI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
TAHUN AKADEMIK 2022-2023
A. Pengertian Hibah

Secara bahasa, dalam kamus Al-Munjid, hibah berasal dari akar kata wahaba - yahabu-
hibatan, berarti memberi atau pemberian. Dalam Kamus al-Munawwir kata "hibah" ini
merupakan mashdar dari kata (Wahab) yang berarti pemberian. Demikian pula dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia berarti pemberian dengan sukarela dengan mengalihkan hak atas
sesuatu kepada orang lain.

B. Ayat Al-Quran Tentang Hibah


 QS. Al- Baqarah : 177

‫َّلْيَس ٱْلِبَّر َأن ُتَو ُّلو۟ا ُو ُجوَهُك ْم ِقَبَل ٱْلَم ْش ِرِق َو ٱْلَم ْغ ِر ِب َو َٰل ِكَّن ٱْلِبَّر َم ْن َء اَم َن‬
‫َٰٓل‬
‫ِبٱِهَّلل َو ٱْلَيْو ِم ٱْل َء اِخ ِر َو ٱْلَم ِئَك ِة َو ٱْلِكَٰت ِب َو ٱلَّنِبِّيۦَن َو َء اَتى ٱْلَم اَل َع َلٰى ُحِّبِهۦ َذ ِو ى‬
‫ٱْلُقْر َبٰى َو ٱْلَيَٰت َم ٰى َو ٱْلَم َٰس ِكيَن َو ٱْبَن ٱلَّس ِبيِل َو ٱلَّسٓاِئِليَن َو ِفى ٱلِّر َقاِب َو َأَقاَم‬
‫ٱلَّص َلٰو َة َو َء اَتى ٱلَّز َكٰو َة َو ٱْلُم وُفوَن ِبَع ْهِدِهْم ِإَذ ا َٰع َهُد و۟ا ۖ َو ٱلَّٰص ِبِر يَن ِفى ٱْلَبْأَس ٓاِء‬
‫َٰٓل‬ ‫َٰٓل‬
‫َو ٱلَّضَّرٓاِء َو ِح يَن ٱْلَبْأِسۗ ُأ۟و ِئَك ٱَّلِذ يَن َص َد ُقو۟ا ۖ َو ُأ۟و ِئَك ُهُم ٱْلُم َّتُقوَن‬

“ Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan
tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-
malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-
orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-
orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah
orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. “
C. Tafsir Tentang Hibah
Dahulu telah dijelaskan benar-benar bahwasanya ke mana sajapun kita menghadapkan
muka, di sana adalah wajah Allah. Penentuan arah kiblat bukanlah berarti bahwa di tempat
yang dijadikan kiblat itu bersemayam Tuhan Allah. Kiblat hanya sekedar penyatuan arah
seluruh orang yang shalat, tanda nya mereka mengikuti satu disiplin. Sekarang diberi lagi
keterangan lebih mendalam:
“Bukanlah kebajikan itu lantaran kamu memalingkan mukamu ke arah timurdan
barat. Akan tetapi kebajikan itu ialah bahwa kamu percaya kepada Allah dan hari yang akhir
dan malaikat dan kitab dan Nabi nabi. ” (pangkal ayat 177). Artinya, meskipun telah kamu
hadapkan mukamu ke timur dan ke barat, ke Baitullah yang di Makkah atau ke Baitul Maqdis
dahulunya, belumlah berarti bahwa pekerjaan menghadap itu telah bemama kebajikan,
sebelum dia diisi dengan iman. Terutama bagi kamu orang Islam, menghadapmu ke timur
atau ke barat, menurut tempat kamu berdiri seketika kamu mengerjakan shalat. Misalnya kita
orang Indonesia arah ke barat dan orang Amerika arah ke timur, belumlah itu berarti suatu
kebajikan, kalau imanmu kepada yang mesti diimani masih saja goyah. Atau hendaklah
menghadapmu ke arah timur dan ke arah barat didorong oleh iman.
Dimulai terlebih dahulu dengan iman kepada Allah dan iman kepada hari akhirat,
sebab di sinilah letak kunci iman. Dan keduanya itu benar-benar menghendaki iman atau
kepercayaan. Apatah lagi Allah tidak nampak oleh mata dan tidak pula ada orang yang telah
pulang dari alam akhirat buat menceritakan keadaan di sana. Mana yang telah mati tidak ada
yang kembali hidup buat berceritera kepada kita tentang keadaan di sana. Sebab itu maka
keimanan kepada Allah benar-benar timbul dari keinsatan batin, demi setelah melihat bekas
nikmatNya atas diri dan bekas kuasaNya atas alam. Pintu gerbang iman pertama ialah
percaya kepada Allah dan yang percaya itu bukan saja akal atau ilmu, tetapi menimbulkan
dalam jiwa, taat, cinta dan setia, menghambakan diri dan patuh. Timbul cemas kalau-kalau
amal tidak diterima, dan timbul keinginan dan kerinduan akan diberiNya kesempatan melihat
wajahNya di hari akhirat itu.
Iman kepada Allah dan hari akhirat menjadi pendorong untuk berbuat kebajikan.
Moga-moga amal kita diridhai, iman kita diterima. Dia timbul dari pada ma‘rifat. Dia
menimbulkan cahaya di dalam hati (Nur). Dan dia menimbul kan semangat. Dia
menimbulkan pengharapan buat hidup, buat bekerja dan berjasa. Iman menimbulkan
dinamika dalam diri, sehingga bekerja tidak karena mengharapkan puji sanjung sesama
manusia. Dengan sendirinya iman kepada Allah dan hari akhirat menimbulkan iman kepada
apa yang berhubungan dengan itu. Yaitu iman kepada Malaikat, sebagai kekuatan yang telah
ditentukan Allah melaksanakan tugas di dalam alam ini. Apatah lagi Tuhanpun menyatakan
dalam sabdaNya bahwa Malaikat itu akan turun memberikan sokongan, sehingga kita tidak
merasa takut atau dukacita di dalam hidup ini, sebagai tersebut dalam surat Ha Mim as-
Sajdah (Surat 41, ayat 30). Dan dengan sendirinya menimbulkan kepercayaan akan kitab,
yaitu al-Quran yang telah datang sebagai wahyu akan menjadi tuntunan di dalam menempuh
jalan yang lurus, yang diridhai Allah. Dan dengan sendirinya kepercayaan kepada kitab
menyebabkan pula percaya kepada Nabi-nabi se- muanya, yang nama mereka telah
disebutkan di dalam kitab itu.
Kepercayaan hati atau iman ini, bukanlah semata-mata hafalan mulut, tetapi pendirian
hati. Dia membekas kepada perbuatan, sehingga segala gerak langkah di dalam hidup tidak
lain, melainkan sebagai akibat atau dorongan daripada iman. Seumpama apabila kita merasai
dan mengunyah-ngunyah semacam daun kayu , kita mengenal rasanya dan mengetahui
bahwa rasa yang ada pada daun itu, rasa yang demikian jugalah yang akan terdapat pada
uratnya, pada kulit batangnya, pada dahan dan rantingnya, apatah lagi pada buahnya. Sebab
daripada batang barangan tidaklah akan hasil buah delima. Dan daripada lalang tidaklah akan
keluar buah padi.
Kepercayaan akan adanya Malaikat adalah salah satu tiang lagi dari iman. Kita
mengetahui bahwa Rasul-rasul utusan Tuhan adalah manusia biasa, untuk menyampaikan
wahyu Tuhan kepada Rasul itu adalah Malaikat sebagai Utusan Tuhan yang ghaib. Rasul-
rasul itu sendiri yang mengatakan bahwa dia tidak menerima wahyu itu dengan langsung dari
Tuhan, melainkan memakai peran- taraan, itulah Malaikat. Yangdisebut juga dengan nama
Jibril.ataudisebut juga Ruh, atau Ruhul Amin (Ruh yang dipercaya), sebagai Muhammad juga
disebut Rusulul Amin. Dia disebut juga Ruhul Qudus, Roh Yang Suci. Dan lagi, kepercayaan
kepada Malaikat menimbulkan pula kekuatan dalam jiwa kita sendiri. Beberapa ayat di dalam
al-Quran menyatakan bahwa kepada manusia yang teguh imannya, kokoh pendiriannya di
dalam mempercayai Allah, akan turun Malaikat. Sehingga bertambah kekuatan semangatnya
menghadapi se- gala perjuangan hidup. Meskipun Malaikat yang turun ke dalam diri ummat
yang beriman itu tidaklah sama dengan Jibril yang turun kepada Nabi-nabi dan Rasul-rasul.
Apakah hakikat Malaikat itu? Tuhan sendirilah yang tahu. Tetapi apabila kita selidiki
peraturan dan perjalanan alam ini secara ilmiah, terutama tentang perseimbangan kekuatan
dalam alam, perseimbangan daya berat, sehingga bintang-bintang yang berjuta-juta di atas
lapangan cakrawala luas ini tidak pernah tetjatuh dan kacau, dapatlah kita yakini tentang
adanya daya-daya dan tenaga ghaib untukmengatur jalannya. Inipun dapat kita beri nama
dalam bahasa agama, yaitu Malaikat.
Orang yang mengakui percaya kepada adanya Malaikat, padahal dia pengecut,
bukanlah dia percaya sungguh-sungguh dari hati. Dia hanya menganut kepercayaan hatalan.
Sebab suatu kepercayaan membekas kepada hidup.
Demikian pula halnya dengan kepercayaan kepada Kitab. Yang dimaksud di sini ialah
satu kitab, yaitu al-Quran. Dengan menyebut satu kftab, telah terbawa kitab-kitab yang !ain,
yaitu Taurat, Zabur dan Injil. Sebab isi yang hakiki dari segala kitab itu telah tersimpul
kepada satu kitab, al-Quran. Percaya akan kitab ini artinya ialah mengetahui dan
mengamalkan isinya, menerima segala suruhan dan larangannya, menjunjung tinggi hukum-
hukum yang tertera di dalamnya. Dengan memegang teguh isi Kitab itu, keluarlah insan dari
gelap- gulita kepada terang-benderang petunjuk llahi. Dengan demikian tercapailah
kebajikan.
Kepercayaan kepada Kitab itu diiringi lagi dengan kepercayaan kepada Nabi-nabi
Utusan Allah. Sebagai seorang Muslim kita menjunjung tinggi seka- lian Nabi, sejak Adam
sampai kepada Muhammad s.a.w. Kepercayaan kepada Nabi-nabi menyebabkan kita harus
mengetahui peri-hidup daripada Nabi nabi itu. Bahwasanya mereka menyampaikan da‘wah
kebenaran llahi tidak selalu menemui jalan yang datar, bahkan menempuh berbagai kesulitan
dan kesuka- ran, menambah pula akan iman kita bahwa menegakkan amar perintah llahi di
dalam alam ini tidaklah semudah hanya menghafalnya. Percaya kepada Nabi- nabi
menimbulkan cita-cita di dalam hati kita hendak meneladan hidup Nabi- nabi, pengorbanan
mereka, penderitaan mereka di dalam menegakkan kebe naran.
Rukun iman mudah saja menghafalnya. Tetapi dengan telah menghafal rukun iman
belumlah berarti bahwa orang telah beriman. lman itu bisa naik dan bertambah tambah tidak
ada batas, dan bisa juga menurun derjatnya dan hilang samasekali. Iman adalah perjuangan
hidup. Sebab akibat dari iman ialah kesanggupan memikul cobaan. Tidak ada iman yang
lepas dari cobaan. Itu kelak akan kita temui dalam penafsiran ayat-ayat pertama dari Surat al-
‘Ankabut (Surat 29).
Lanjutan ayat ialah ujian yang pertama dari Iman: “Dan memberikan harta atas cinta
kepadanya. ”
Inilah ujian yang pertama dari iman yang tersebut tadi, ujian untuk me-
nyempurnakan kebajikan. Mencintai harta adalah naluri manusia. Pada pokok asalnya
manusia itu telah dijadikan Allah dalam keadaan loba akan mengumpul harta banyak-banyak
dan kikir sekali buat mengeluarkannya kembali. Ini ditegaskan Tuhan di dalam Surat 70 (al-
Ma‘arij, ayat 19). Maka kalau iman tidak ada, manusia ini akan diperbudak oleh harta karena
nalurinya itu. Oleh sebab itu maka menurut penafsiran dari Abdullah bin Mas‘ud, banyak
orang memberi- kan hartabenda, berderma, berkurban, namun di dalam hati kecilnya terselip
rasa bakhil, karena dia ingin hidup dan dia takut akan kekurangan. Menurut riwayat dari al-
Baihaqi pernah seorang sahabat Rasulullah menanyakan mem- berikan harta di dalam ha!
sangat cinta kepadanya, sedang tiap-tiap kami ini memang mencintai hartabenda kami.
Rasulullah s.a.w. menjawab. ‘Memang! Kamu berikan, sedang ketika kamu memberikan itu,
hati kamu sendiri berkata, bagaimana kalau umur panjang, bagaimana kalau kita jatuh
miskin? Kemudian datanglah sambungan ayat, tentang siapa lagi yang patut di- bantu
(yangkedua): “Dan anak-anak Yatim. ”Tentanganakyatimkelakakan ditemui banyak ayat di
dalam al-Quran, baik terhadap anak yatim yang kaya, sebagai tersebut di ayat-ayat pertama
dari Surat an-Nisa’, ataupun a mk yatim yang miskin. Sampai Nabipun pernah bersabda
bahwa satu rumahtangga yang bahagia ialah rumahtangga yang memelihara anak yatim
dengan baik. Rumah itu akan diliputi oleh rahmat Allah. Niscaya pula anak yatim dari
keluarga terdekat (karib kerabat) lebih diutamakan dari yang lain.
Selanjutnya disebutkan pula yang ketiga: “Dan anak perjalanan. ”
Menurut tafsiran Ibnu Abbas, menurut riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim,
anak perjalanan ialah tetamu yang singgah menumpang bermalam ke rumah kaum Muslimin.
Menurut Mujahid yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, sama juga dengan itu, yaitu orang
musafir, di dalam perjalanan, lalu singgah menumpang ke rumah kita, maka selenggarakanlah
dia dengan baik. Beri makan dan tempat bermalam, dan kalau kita mampu berilah sokongan
belanja perjalanannya.
Keempat: “Dan orang-orang yang meminta.” Dalam adab sopan Islam, kalau belum
terdesak benar, janganlah minta bantu kepada orang; Sebab tangan yang di atas (memberi)
lebih mulia dari tangan yang di bawah (meminta atau menadah). Sebab itu kalau iman
seseorang telah mendalam, kalau tidak terdesak benar, tidaklah dia akan meminta. Oleh sebab
itu bagi seorang yang mampu, yang ingin berbuat kebajikan menurut ajaran Allah, kalau telah
sampai terjadi seorang meminta kepada kita, sekali-kali janganlah pengharapannya
dikecewakan. Makanya dia meminta kepada kita, sedang harga dirinya sebagai mu’min
merasa berat menadahkan tangan kepada sesama manusia meminta- minta, adalah karena dia
percaya bahwa permintaannya itu tidak akan di- kecewakan. Maka janganlah sampai air
mukanya jatuh karena harapannya dihampakan.
Khabarnya konon di negeri Islam Sudan rasa harga diri karena iman itu, walaupun
dalam keadaan melarat, masih dipelihara oleh setengah orang de- ngan sebaik-baiknya.
Pernah satu rumah tertutup saja sudah beberapa hari. Maka tetangga yang juga beriman
melihat keadaan yang demikian, telah membuka pintu rumah itu dengan paksa. Mereka
dapati seisi rumah, sejak dari kepala rumahtangga, sampai kepada isteri dan anak-anaknya
didapati sudah hampir mati kelaparan. Mereka bersedia mati lapar daripada menadahkan
tangan meminta-minta. Jiwa mereka belum jatuh karena kemiskinan.
Cerita seperti ini adalah hal yang jarang sekali terjadi. Adapun yang lebih banyak
kejadian di zaman kini ialah karena fakir orang bisa menjadi kafir. Oleh karena kemiskinan
perempuan muda pergi melacurkan diri dan orang laki-laki menjadi penghuni kolong
jembatan. Bertambah jauh orang dari bimbingan agama, bertambah kusut kehidupan mereka,
sehingga terjadilah di dalam masyarakat keadaan yang menyolok mata, perbedaan yang
terlalu menyolok mata di antara orang yang mampu dengan orang yang miskin, Agama Islam
mengajarkan betapa pentingnya shalat berjamaah, supaya di antara yang miskin dengan yang
kaya selalu dapat bertemu, dan yang kaya dapat membantu. Hadis Nabipun dengan tegas
mengatakan bahwa syarat daripada iman kepada Allah dan hari akhirat, satu di antaranya
ialah hubungan yang baik di antara bertetangga.
Di sini dapat dilihat dengan jelas bagaimana besar perbedaan ajaran Islam dengan
Sosia/isme. Bagi Islam, untuk memperbaiki masyarakat dan meratakan keadilan sosial,
hendaklah diperbaiki terlebih dahulu dasar sendi pertama sosial (masyarakat) itu. Dasar sendi
pertama ialah jiwa seseorang. Ditanamkan terlebih dahulu di jiwa orang seorang rasa Iman
kepada Allah dan Hari Akhirat, lalu iman itu mengakibatkan rasa kasih-sayang dan
dermawan. Kesadaran peribadi setiap orang dalam hubungannya dengan Allah, manusia,
alam sekitar dan kedudukan dirinya di tengah semuanya itu, di sanalah sumber Keadilan
Sosial. Sebab itu pernah tersebut di dalam suatu Hadis, bahwasanya jika ajaran ini telah
diamalkan, akan datang suatu masa tidak ada lagi orang yang berhak menerima zakat, karena
semua orang wajib berzakat. Dan ini pernah tercapai dalam masyarakat Islam, sebagai
disaksikan dalam sejarah Khalitah Umar bin Abdil Aziz.
Sosialisme ajaran Marx, tidak mengakui adanya Tuhan. Sebab itu tidak juga
mengakui adanya jiwa atau nyawa atau roh manusia. Bagi mereka orang seorang atau
peribadi tidak ada. Yang ada adalah masyarakat, sosial. Tinggi atau bobrok moral bukan soal;
yang soal ialah segala hajat keperluan setiap orang hendaklah diatur oleh masyarakat.
Masyarakat itu ialah pemegang tampuk kekuasaan, atau pemerintah negara. Orang seorang
akan senang hidupnya apabila alat produksi yang penting sudah dikuasai negara.
Sejak Revolusi Oktober 1917 ajaran Sosialisme semacam ini telah mulai dilancarkan
di Rusia. Maka naiklah kekuasaan kaum buruh dan tani, soko gurunya proletar. Kekuasaan
mesti dikuatkan dengan diktatur. Setelah di Rusia (Perang Dunia Pertama) mengikutilah
negara-negara sosialis yang lain sesudah Perang Dunia Kedua. Di Rusia telah 50 tahun
sampai sekarang dan negara- negara pengikutnya sudah ada yang 20 tahun. Yang nyata
bukanlah keadilan sosial yang merata menurut teori Karl Marx itu, tetapi kemiskinan
yangmerata di antara rakyat banyak, di antara masyarakat seluruhnya dan kekuasaan mutlak
pada partai yang berkuasa, yaitu kaum Komunis, dan tidak berhenti bunuh membunuh
sesama sendiri di dalam merebut kekuasaan itu.
Seorang Komunis bernama Milouan Jilas yang telah mengalami sendiri kegagalan
ajaran sosialisme itu menulis sebuah buku menguraikan bahwa hasil yang nyata dari
sosialisme itu ialah timbulnya “Kelas Baru”. Kelas Baru itu menurut Milovan Jilas ialah tuan-
tuan besar penguasa Komunis yang telah sampai ke puncak kekuasaan dengan menindas
orang banyak yang mereka namai rakyat, yang menurut kata mereka yang berkuasa itu,
mereka naik ialah atas nama rakyat itu. Maka dalam negeri-negeri komunis, dibagi-ratalah
kemis- kinan dengan adil terhadap rakyat. Adapun penguasa sendiri, saking adilnya, tidaklah
mendapat apa-apa yang bernama kemiskinan. Mereka biarkan mene- rima kekayaan dan
kemewahan dan berbagai tasilitas saja!
Apabila Islam memulai keadilan sosial itu terlebih dahulu dengan memper- baiki jiwa
seseorang, menegakkan satuperibadiyangmurnin, percayakepada Surat Al-Baqarah (Ayat
177)
39 9
Allah dan cinta kepada sesama manusia, dermawan dan sudi menafkahkan harta pada jalan
Allah, bukan berarti bahwa pemerintah Islam tidak mengon- trolnya. Orang yang enggan
mengeluarkan zakatnya bisa dirampas harta- bendanya. «•
Ibnu Hazm, mujtahid Andalusia yang besar, dan salah seorang pemuka dari Mazhab
Zahiri, mengeluarkan fatwa, bahwa apabila seorang terdapat mati kelaparan di dalam
kampung Islam, maka Imamul A‘zham (Penguasa Negara Tertinggi) harus menyelidiki seisi
kampung, apa sebab maka ada orang mati kelaparan di sana. Diselidiki siapa tetangganya,
siapa keluarganya terdekat yang harus bertanggungjawab. Kalau tjdak dapat juga dicari itu
maka seluruh isi kampung dikenakan denda di^at, yaitu ganti nyawa.
Dan faham Ibnu Hazm ini tidak dibantah oleh mujtahid yang lain.
Ijtihad Ibnu Hazm inipun sudahlah satu dasar pemikiran keadilan sosial dalam Islam.
Kelima: “Dan penebus hambasahaya. ” Sebagaimana telah kita maklumi di dalam
sejarah manusia hidup dalam dunia ini, sejak beribu-ribu tahun, telah terjadi ada manusia
yang dirampas kemerdekaannya, lalu mereka itu disebut budak, atau hambasahaya.
Perbudakan pada zaman purbakala itu terjadi karena adanya peperangan dan penaklukkan
suatu negeri. Penyerang yang menang menjadikan penduduk negeri yang ditaklukkan itu
menjadi budak. Dan apa juga di zaman purbakala perbudakan timbul oleh karena seseorang
terlalu banyak dan besar hutangnya kepada seseorang yang kaya, ialu dia menyerah- kan diri
buat diperbudak sebagai pembayar hutangnya. Oleh sebab itu maka Nabi Muhammad s.a.w.
seketika diutus Tuhan membawa ajaran Islam telah memdapati perbudakan itu. Padahal pada
hakikatnya, ajaran Islam yang berda- sar Tauhid dan kasih-sayang sesama manusia itu,
tidaklah menyukai perbu- dakan. Tidaklah masuk di akal kalau agama yang suci menyukai
pemerasan tenaga manusia oleh sesama manusia.
Oleh sebab itu membantras perbudakan dan mengembalikan kemerde- kaan manusia
adalah salah satu maksud utama dari Islam. Cuma cara atau taktik di dalam mencapai maksud
yang mulia itu, harus disesuaikan dengan keadaan ruang dan waktu, atau zaman dan makan
(tempat). Di zaman Rasulullah s.a.w. perbudakan itu ada dalam seluruh masyarakat, ada
dalam seluruh bangsa, diterima sebagai suatu kenyataan. Sebab peperangan-pepe- rangan
tidak berhenti-henti. Sejak sebelum Nabi s.a.w. diutus telah terjadi peperangan-peperangan
yang tidak putus-putus di antara bangsa Romawi dengan bangsa Persia. Dan lantaran itu
terjadi tawan-menawan, memperbudak atau diperbudak. Islam sendiripun mengalami
demikian. Dia berperangdengan musuh-musuhnya, dia memerangi dan diperangi. Dia
menawan dan ditawan. Maka kalau Nabi Muhammad s.a.w. menghapuskan perbudakan
secara lang- sung di waktu itu dengan tindakan sepihak tentu merugikan Islam. Tidak masuk
di fikiran sihat kalau musuh yang ditawan dibebaskan saja, padahal pihak kita yang ditawan
musuh tidak akan mereka lepaskan. Oleh sebab itu anjuran kebajikan yang dapat dilakukan
pada zaman itu ialah menganjurkan kepada yang empunya budak agar memerdekakan
budaknya. Memerdekakan budak adalah termasuk budi dan akhlak tertinggi dalam Islam.
Nanti pada ayat ayat yang lain selanjutnya akan didapat keterangan-keterangan yang lebih
panjang tentang memerdekakan budak. Banyak perbuatan salah menurut hukum. didenda
dengan memerdekakan budak. Seumpama menebus sumpah (al Maidah ayat 91), kaffarah
(denda) zhihar, yaitu menyerupakan punggung isteri dengan punggung ibu, sehingga isteri
tidak dapat dipergauli lagi (Surat al- Mujadalah ayat 3), kaffarah membunuh dengan tidak
sengaja dan kesilapan (Surat an-Nisa’ ayat 91), baik yang terbunuh itu sesama orang Islam
ataupun orang yang bukan Islam. Atau denda karena terlanjur bersetubuh dengan isteri di
siang hari bulan puasa (menurut Hadis Shahih). Dan lain lain sebagainya; denda dengan
memerdekakan budak.
Adapun dalam ayat ini bukanlah denda, tetapi anjuran mempertinggikan perbuatan
kebajikan dengan menyediakan harta untuk memerdekakan budak. Ada namanya budak yang
mukatab; yaitu seorang budak mengikat janji (kontrak) dengan tuan yang menguasainya,
bahwa kalau dia dapat mengganti kerugian tuannya itu, dengan membayar sekian, dia akan
dimerdekakan. Maka kalau ada seorang mumin yang mampu mendengar berita itu, hendaklah
dia menyediakan hartabendanya untuk membantu budak itu. Budak mukatab berhak
menerima zakat. Atau membeli seorang budak, lalu memerdekakan- nya. Ataupun memberi
hadiah kemerdekaan kepada seorang hambasahaya sendiri oleh karena jasa jasanya yang
telah diperbuatnya. Bahkan seorang budak perempuan, boleh dibayar maskawin (maharnya)
dengan menghadiah- kan kemerdekaan kepadanya. Sehingga dengan pemberian kemerdekaan
itu, si tuan yang telah menjadi suami itu tidak usah membayar mahar lagi. Kemerde- kaan
adalah hadiah yang paling tinggi!
Secara resminya sejak 100 tahun yang akhir ini tidak ada perbudakan lagi, karena
telah dihapuskan menurut uridang-undangbangsa bangsa. Tetapipepe- rangan-peperangan
masih berlaku, namun budak masih ada. Tawanan tawa- nan perang masih dikerahkan
menjadi budak, sebagai yang dilakukan Rusia terhadap beribu tawanan perang Jepang yang
dikirim ke Siberia. Sebab itu perbudakan belum hilang meskipun coraknya telah lain.
Lantaran itu per- juangan bangsa-bangsa menuntut kemerdekaan manusia. atau bangsa-
bangsa dari penjajahan, termasuklah kebajikan yang tertinggi jua adanya.
Setelah diterangkan dasar-dasar pada jiwa yang harus terlebih dahulu ditanamkan,
barulah lanjutan ayat berikutnya yang keenam: “Dan mendirikan shalat." Tegas di dalam ayat
ini bahwasanya shalat bukanlah semata-mata dikerjakan, melainkan didirikan. Artinya,
timbul dari dasar iman dan kesadaran. Tidaklah lagi orang merasa keberatan mendirikan
shalat itu, karena dia telah ditimbul daripada iman kepada Allah dan kasih-sayang kepada
sesama manu- sia; tidak lagi shalat karena semata-mata menghadap muka atau beralih paling
ke pihak^imur atau ke pihak barat. Tidak lagi shalat karena turut-turutan, atau tunggang-
tunggik ke atas ke bawah; berdiri, sujud, duduk dan lain sebagainya, padahal kosong daripada
iman. Niscaya shalatnya itu menghadap kiblat; itu sudah terang. Tetapi karena iman dan
kasih-sayang sudah terhunjam dalam jiwanya', maka bukan saja lagi mukanya yang
dihadapkannya kepada kiblat. melainkan batinnya yang terlebih dahulu dihadapkannya
kepadaTuhan, seba- gai dinyatakan di dalam doa pembukaan shalat:
“Aku hadapkan wajahku kepada Dia. Yang menciptakan semua langit dan bumi,
muka yang lurus lagi menyerah, dan tidaklah aku termasuk orang- orang yang
mempersekutukan yang lain dengan Tuhan.”
Di sinilah baru berarti shalat yang dia kerjakan. Shalat yang hidup bukan shalat yang
mati. Shalat yang khusyu' bukan shalat yang hanya kulit perbuatan. Seorang pujangga Islam,
Syaikh Mustata al-Ghalayini berkata: “Suatu amal hendaklah dngan ikhlas, sebab ikhlas
adalah jiwaamal. Amal yang tidak disertai ikhlas, adalah laksana bangkai. Ada kerangkanya
tapi tidak ada nyawanya.”
Di pangkal ayat sudah disebutkan bahwa memalingkan muka ke timur ataupun ke
barat, belumlah bernama kebajikan. Kebajikan ialah apabila jiwa terlebih dahulu diisi dengan
iman, dibuktikan dengan kasih-sayang kepada manusia, dan dengan demikian timbullah
shalat. Sebab shalat hendaklah timbul dari iman dan cinta kasih.
Kemudian datanglah lanjutan ayat (ketujuh): “Dan mengeluarkan zakat. ” Jaranglah
terpisah di antara mendirikan shalat dengan mengeluarkan zakat. Terlalu banyak kita bertemu
dengan ayat yang kembar itu, shalat dan zakat. Sebab shalat adalah alamat kepatuhan kepada
Tuhan dan zakat adalah kasih- sayang dalam masyarakat.
Tadi, sebelum menerangkan bahwa iman yang kokoh itu menimbulkan shalat yang
khusyu 1 , terlebih dahulu diterangkan betapa besarnya pengaruh iman untuk menimbulkan
kasih-sayang kepada sesama manusia, sehingga hati lapang dan hati pemurah mengeluarkan
harta yang dicintai untuk membantu keluarga dan fakir-miskin dan anak yatim dan
seterusnya. Sekarang setelah selesai menerangkan kepentingan mendirikan shalat sebagai
bukti iman, di- ulang pula sekali lagi. Yaitu mengeluarkan zakat; sekali lagi disebut
kemurahan hati mengeluarkan harta yang dicintai. Ada agaknya orang yang akan bertanya,
apa perlunya lagi menyebutkan mengeluarkan zakat, padahal tadi di atas sudah dijelaskan
bahwa alamat kebajikan ialah kemurahan hati mengeluarkan harta yang dicintai? Jawabnya
ialah bahwasanya ini bukan kata berulang. Mengeluar- kan harta yang amat dicintai, untuk
membantu keluarga terdekat dan fakir- miskin tidaklah tergantung kepada zakat saja.
Orangyang beriman dan berbuat kebajikan, akan senantiasa mengeluarkan harta yang
dicintainya, guna pem- bantu orang yang melarat, walaupun dia tidak wajib berzakat karena
syarat- syarat untuk berzakat, karena nishab harta dan bilangan setahun belum cukup.
Mengeluarkan zakat tiap tahun adalah minimum, ukuran paling rendah. Zakat adalah
kewajiban tertentu tiap tahun, kewajiban routin. Tetapi banyak lagi pintu lain di luar zakat,
yang timbul dari hati yang dermawan. Ada sadaqah Tathaw- wu\ sedekah sukarela yang tidak
wajib menurut hukum Fiqh, tetapi wajib menurut perasaan halus budiman. Ada orang yang
membagi sepiring nasi yang sedianya akan dimakannya sendiri, untuk fakir-miskin yang
mengharapkan bantuannya. Ada sedekah yang bernama hadiah, bernama hibah, bernama
ihsan dan ada yang bernama wakaf. Semuanya itu adalah dalam golongan mengeluarkan
harta yang dicintai tadi. Orang Islam wajib mengeluarkan zakat fithrah seketika puasa
Ramadhan telah selesai dikerjakan. Banyaknya hanya sekitar tiga seperempat liter atau dua
setengah kilo beras. Tetapi tidak ada halangan, malahan dianjurkan berfithrah satu karung
beras!
Dari deretan dua kata senafas, yaitu mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, kita
telah dapat intisari daripada ayat ini. Di pangkal ayat dikatakan bahwa semata-mata
memalingkan muka ke timur ataupun ke barat, artinya semata-mata hanya shalat tunggang-
tunggik, belum tentu seseorang berbuat baik. Dengan datangnya lanjutan ayat menyebut
mendirikan shalat, sekali lagi menjadi jelas bahwa shalat tetap wajib. Khususnya shalat lima
waktu, sebagai hasil dari iman. Kalau iman telah mendalam, dengan sendirinya orang tidak
merasa puas hanya dengan shalat lima waktu. Orangpun hendak mengiringinya dengan shalat
nawafil, shalat-shalat sunnat. Dan dengan datangnya kata me- ngeluarkan zakat ternyata pula
bahwasanya mengeluarkan harta yang dicintai dengan sukarela belumlah cukup. Hendaklah
dia dipandang sebagai kewajiban, yang berdosa kalau tidak dikeluarkan. Kalau tidak akan
sanggup mengeluarkan banyak, namun sekedar yang wajib karena nisabnya dan tahunnya
telah sampai, hendaklah dikeluarkan.
Di dalam sejarah pernah disebutkan seorang dermawan dan hartawan besar yang tidak
sempat berzakat. Itulah Ma‘an bin Zaaidah. Yang hidup menemui dua masa, yaitu ujung
pemerintahan Bani Umaiyah dengan pangkal pemerintahan Bani Abbas. Dia masyhur kaya
raya menurut ukuran zaman itu, dari perkebunan dan peternakan. Sumber kekayaannya amat
besar, dan selalu dia memberi orang hadiah, murah tangan, sehingga setelah tahun habis, dia
tidak dapat berzakat lagi. Karena harta yang akan dihitung nisabnya itu telah habis terlebih
dahulu. Dan tahun berganti, dan kekayaannya tumbuh lagi, dan didermakannya lagi.
Kemudian datanglah lanjutan ayat (kedelapan): “Dan orang-orang yang memenuhi
akan janji mereka apabila mereka telah berjanji. ” Janji kita ada dua macam. Pertama janji
dengan Tuhan. Kedua janji dengan manusia. Kehidupan ini seluruhnya diikat dengan janji.
Mengakui sebagai hamba dari Allah, artinya akan menepati janji dengan Allah. Naik saksi
bahwa Muhammad adalah Utusan Allah, artinya ialah janji bahwa awak akan mematuhi
segala perintah dan larangan Rasul.
Kedutf ialah janji dengan sesama manusia. Seluruh hidup kita ini adalah ikatan janji
belaka. Mendirikan suatu negara adalah suatu janji bersama hendak hidup dengan rukun,
kepentingan diriku terhenti bilamana telah bergabung dengan kepentingan kita bersama;
itulah negara. Perang dan damai di antara negara dengan negara adalah ikatan janji. Bahkan
akad-nikah seorang ayah ketika dia menyerahkan anak perempuannya kepada seorang laki-
laki untuk menjadi isteri orang itu, yang dinamai ijab, lalu, disambut dan diterima oleh si
laki-laki di hadapan dua saksi, yang dinamai qabul, adalah janjj, Seorang Khalitah atau
Amirul-MuYninin, gelar tertinggi dalam Daulah Islamiyah, ketika akan naik ke atas
singgasana kekuasaan, lebih dahulu berjanji dengan rakyat yang mengangkatnya; yaitu janji
yang dinamai ba‘iat. Seorang banyak meme- gang tangan Khalitah lalu mengucapkan janji
bahwa mereka akan taat-setia kepada beliau selama beliau masih menegakkan kebenaran dan
keadilan yang digariskan Allah dan Rasul. Dan diapun berjanji akan menjalankan itu dengan
segenap tenaga yang ada padanya. Maka kalau yang mengangkat mungkin, Khalitah berhak
menuntut pertanggungjawab mereka. Tetapi kalau Khalitah sendiri yang tidak setia
memegangjanji,Tuhan membuka kesempatan kepada yang mengangkat itu buat
mema’zulkannya, menurut sabda Nabi:
“Tidak ada ketaatan terhadap seorang makhlukpun pada sikap men- durhakai Khaliq. ”
Menilik hal ini dapatlah diambil kesimpulan bahwasanya Allah telah meng-
anugerahkan Hak hak Asasi kepada manusia, dengan memberikan akal ke padanya, untuk
menjadi Khalitah Allah di muka bumi, lalu manusia memilih suatu pemerintahan yang
mereka sukai, ialu mereka serahkan kekuasaan yang dianugerahkan Tuhan itu kepada salah
seorang yang mereka percayai bisa memikul amanat yang mereka berikan. Dengan syarat
bahwa orang itu akan tetap setia kepada Undang-undang Dasar Yang Maha Suci, yaitu
perintah Allah dan Rasul. Setelah orang itu menyerahkan kesediaannya, diapun dibai‘at.
Lantaran itu nyatalah bahwa teori kenegaraan yang dinamai oleh Jean Jeaques
Rousseau (1712-1778). “Contract Sosial”, oleh pengikut Nabi Muhammad s.a.w. telah
dipraktekkan pada tahun 632 M (11 H), dengan pengangkatan Khalitah Rasulullah yang
pertama, Saiyidina Abu Bakar as- Shiddiq. Yaitu 1080 tahun sebelum Rousseau lahir.
Maka seluruh kehidupan manusia di dunia ini adalah mata rantai belaka daripada
ikatan janji. Baik janji ke atas, yaitu kepada Tuhan, ataupun janji ke bawah kepada sesama
makhluk. Maka orang yang mengakui beriman, belum- lah dia mencapai kebajikan, meskipun
dia telah shalat, telah dermawan, telah mengeluarkan zakat, kalau dia tidak teguh memegang
janji.
Ada orang yang teguh memegang janjinya dengan manusia, tetapi rapuh janjinya
dengan Tuhan. Seumpama satu perkumpulan agama yang sedang musyawarat mengatur
siasat perjuangan Islam. Saking asyiknya rapat, teledor dia shalat ashar. Ada puia orang yang
teguh janjinya dengan Tuhan, shalat di awal waktu, tetapi anaknya tidak diberikan pendidikan
yang baik, atau isterinya tidak diberikan nafkah. Oleh sebab itu mungkir janji dengan
manusiapun berarti memungkiri janji dengan Allah.
Pernah terdengar berita bahwa di satu negara, pemhnpin tertinggi negara itu dituduh
melanggar Undang-undang Dasar negaranya. Lahi dia menjawab, bahwa dia hanya
bertanggungjawab kepada Tuhan saja, memang! Orang bertanggungjawab kepada Tuhan
saja, tetapi Tuhan pula yang memerintahkan dengan ayat yang tengah kita kaji ini, supaya dia
mempertanggungjawabkan pelanggarannya itu kepada sesama manusia yang telah mengikat
janji dengan- nya. Maka janji dengan sesama manusia pada hakikatnya adalah janji dengan
Allah jua, selama tidak rhenghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Lanjutan ayat (kesembilan): “Dan orang-orang yang sabardi waktukepa- yahan dan
kesusahan dan seketikapeperangan. ”Di sinilah kita bertemu kunci rahasia dari iman dan
kebajikan. Di dalam membina iman dan kebajikan, syaratnya yang utama ialah sabar. Mulut
bisa dibuka lebar buat menyerukan iman. Beribu ribu orang tampil ke muka menyerukan
iman, tetapi hanya berpuluh yang dapat melanjutkan perjalanan. Sebahagian terbesar jatuh ter
sungkur di tengah jalan karena tidak tahan menderita, karena tiada sabar. Di sini disebutkan
ujian pertama ialah kepayahan ; termasuk di dalamnya kemis kinan dan serba kekurangan.
Kurang sandang, kurang pangan. Kekurangan alat untuk berjuang, kekurangan belanja untuk
mengatasi kesulitan. Kadang- kadang bagai gunung kesulitan yang ditempuh, namun kita
mesti terus mene gakkan iman. Kesulitan dan rintangan kedua ialah kesusahan. Kesusahan
ialah lantaran penyakit. Baik penyakit rohani apatah lagi karena penyakit jasmani. Kadang
kadang seisi rumah yang tadinya hidup tenteram dan mempunyai rezeki yang lumayan, tiba
tiba tiang keluarga yang berusaha dithnpa sakit payah, ataupun langsung mati. Rencana
semuanya jadi gagal. Kesulitan yang ketiga ialah kesulitan yang dihadapi seketika
peperangan. Susunan hidup yang lama berubah samasekali. Dahulu kita jarang merasai itu.
Tetapi setelah sejak 1939, seketika bangsa Belanda mulai berperang, sampai tahun 1942
tentara Jepang merebut kuasa di negeri kita. Kemudian itu perjuangan kemerdekaan pada
tahun 1945, sampai pada perjuangan selanjutnya, kita telah mengerti apa artinya suasana
perang. Berapa banyaknya manusia yang jatuh imannya karena tidak sabar. Berapa
banyaknya timbul apa yang dinamai “orang kaya baru,” menangguk harta dari jalan yang
tidak halal. Mengambil keuntungan dari kesusahan orang lain. Berapa banyaknya orang yang
runtuh iman. hancur pendirian dan hilang lenyap nilai sebagai manusia. Maka orang yang
tidak sabar menghadapi serba-serbi kesusahan itu, tidaklah mereka akan mengerti apa yang
dinamai kebajikan.
Di datam saat susah itulah iman diuji. Orang yang beriman berpandangan jauh.
Mereka mempunyai kepercayaan bahwa keadaan tidak akan selalu begitu begitu saja.
Sesudah susah mestilah akan timbul kemudahan. Bahkan iman mengajarkan bahwa di dalam
susah itu selalu terdapat kemudahan. Tidak ada dalam dunia satu saatpun yang hanya semata
susah ataupun semata mudah. Pedoman kesusahan dan kemudahan tidaklah terletak di luar,
melain- kan di dalam diri kita sendiri.
Lantaran itu dapatlah dikatakan bahwasanya jalan kebajikan yang telah digariskan
dalam ayat, yaitu sejak daripada iman kepada Allah dan hari akhirat, kepada Malaikat dan
Kitab dan Nabi-nabi; sampai kepada kesudian berkurban, mengeluarkan hartabenda yang
dicintai untuk menolong orang-orang yang patut ditolong, sampai kepada mendirikan shalat
dengan khusyu' dan menge- luarkan zakat dengan hati rela, dan keteguhanmemegangjanji,
semua susunan itu akan runtuh belaka kalau tidak ada sendi utamanya, yaitu sabar.
Kita di dunia mempunyai banyak keinginan dan cita-cita. Kadang-kadang kita
mengharapkan sesuatu daripada Aliah dengan sangat rindu. Tetapi ka- dang-kadang kita lupa
kelemahan kita, bahwa kita yang diatur oleh Tuhan, bukan kita yang mengatur Tuhan. Kita
meminta segera hendaknya kesusahan hilang, dan kita meminta segera hendaknya permintaan
dikabulkan. Kalau kehendak kesegeraan itu tidak lekas dikabulkan, kitapun mendongkol.
Kitapun tidak sabar lagi. Maka yang menggagalkan kita bukanlah orang lain, melainkan diri
kita sendiri.
Ketahuilah bahwasanya tidak kurang daripada 98 ayat di dalam al-Quran yang menyebutkan
keutamaan sabar.
Sesudah semuanya itu diisi menurut tertibnya, barulah datang lanjutan ayat: “Mereka itulah
orang orang yang benar. ”
Artinya, isilah semuanya itu dengan tertib, mulailah dengan iman, turutilah dengan
rasa cinta kepada sesama manusia, dan iringilah lagi iman kepada Allah dengan shalat yang
khusyu, lalu berzakatlah bila telah datang waktunya dan teguhlah memegang janji, karena
binatang diikat dengan tali, sedang manusia diikat dengan katanya sendiri. Dan sabarlah
memikul tugas hidup itu semuanya. Kalau ini semuanya sudah diisi, barulah pengakuan iman
dapat diterima oleh Allah, dan barulah kita terhitung dan termasuk dalam dattar Tuhan
sebagai seorang yang benar, yang cocok isi hatinya dengan amalannya. Lalu di ujung ayat
menjelaskan lagi: “Dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (ujung ayat 177).
Kita sudah tahu arti asli dari takwa, yaitu pemeliharaan. Itulah orang yang selalu
memelihara hubungannya dengan Allah. Mereka selalu berusaha, se- hingga martabat
imannya bukan menurun, melainkan selalu mendaki kepada yang lebih tinggi.
Dengan penutup ayat menyebut bahwa itulah orang-orang yang bertakwa, menjadi
lebih jelaslah bahwasanya setiap saat kita wajib memelihara hubungan kita dengan Allah.
Tingkat iman kita harus diusahakan bertambah tinggi, jangan bertambah menurun. Pokok
hidup adalah keteguhan jiwa, kekuatan peribadi. Jangan sampai kita mengerjakan agama
hanya pada kulit saja. Shalat tunggak- tunggik, tetapi jiwa gelap. Sebab hanya karena
keturunan belaka. Banyak orang yang taat shalat, padahal tidak tahan kena cobaan. Ada orang
yang taat shalat, padahal dia bakhil; saku-sakunya dijahitnya, tidak mau menolong orang lain.
Banyak orang yang shalat, padahal pemungkir janji. Sebab inti kehidupan yang sejati tidak
diisinya, yaitu takwa. Ada juga orang yang kelihatan taat; selain 406 shalat dan puasa, diapun
berzikir, dia tekun i‘tikaf dalam mesjid. Tetapi setelah ditanyakan mengapa dia setaat itu, dia
menjawab karena dia mengharapkan pahala sekian dan sekian, untuk dirinya. Sebab itu cara
bertikirnya ialah untuk kepentingan dirinya sendiri, baik di dunia ataupun di akhirat.
Setelah direnungkan ayat 177 ini dengan seksama, teringatlah kita akan sebuah tafsir
yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas, menurut riwayat yang dirawikan oleh Ibnu Jarir, Ibnu
Abbas berkata:
“Ayat ini diturunkan di Madinah. Tajsirnya ialah bahwa Tuhan telah bersabda:
Kebajikan itu bukanlah semata-mata telah mengerjakan shalat. Tetapi kebajikan ialah apa
yang telah teguh (berurat berakar) di dalam hatimu, dari rasa taat kepada Allah. ”
Shalat lima waktu sudah nyata wajib. Dia adalah tiang agama. Kitapun dianjurkan
menambahnya dengan shalat-shalat sunnat yang berasal dariajaran Rasulullah. Tetapi ayat ini
telah memberi ketegasan, bahwa kewajiban menger- jakan tiang agama itu, yang kamu
kerjakan dengan susah-payah, akan tetapi tidak ada artinya untuk membangunkan kebajikan,
kalau rasa takwa tidak selalu dipupuk. Karena takwa itulah yang meninggikan akhlak,
menimbulkan budi pekerti, dermawan, peneguh janji dan sabar menderita.
D. Hadis Tentang Hibah

“Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: Saling memberi hadiahlah kamu
sekalian, niscaya kamu akan saling mencintai.”
Dari hadis tersebut, dapat dipahami bahwa setiap pemberian atau
hadiah merupakan suatu perbuatan baik yang dianjurkan karena pemberian
dapat menumbuhkan rasa saling mencintai dan juga dapat menghilangkan
kebencian antara sesama manusia khususnya antara pemberi dan penerima.
Karena hibah merupakan pemberian yang mempunyai akibat hukum
perpindahan hak milik, maka pihak pemberi hibah tidak boleh meminta
kembali harta yang sudah dihibahkanya, sebab hal itu bertentangan dengan
prinsip-prinsip hibah. Dengan membuat perumpamaan, Rasullah SAW mengatakan bahwa
kalau pihak pemberi hibah menuntut kembali sesuatu
yang telah dihibahkanya maka perbuatanya itu sama seperti anjing yang
menelan kembali sesuatu yang sudah ia muntahkan.
E. Pengertian Wakalah

Secara bahasa kata al-wakalah atau al-wikalah berarti al-Tafwidh (penyerahan,


pendelegasian dan pemberian mandat) seperti perkataan: Artinya: “aku serahkan urusanku
kepada Allah”. Secara terminologi (syara’) wakalah adalah sebuah transaksi dimana
seseorang menunjuk orang lain untuk menggantikan dalam mengerjakan
pekerjaannya/perkaranya ketika masih hidup.
F. Ayat Tentang Wakalah
 QS. Al- Kahfi : 19

‫َو َك َذ ِلَك َبَع ْثَناُهْم ِلَيَتَس اَء ُلوا َبْيَنُهْم َقاَل َقاِئٌل ِم ْنُهْم َك ْم َلِبْثُتْم َقاُلوا َلِبْثَنا َيْو ًم ا َأْو‬
‫َبْع َض َيْو ٍم َقاُلوا َر ُّبُك ْم َأْع َلُم ِبَم ا َلِبْثُتْم َفاْبَع ُثوا َأَح َد ُك ْم ِبَو ِر ِقُك ْم َهِذِه ِإَلى اْلَم ِد يَنِة‬
‫َفْلَيْنُظْر َأُّيَها َأْز َك ى َطَع اًم ا َفْلَيْأِتُك ْم ِبِرْز ٍق ِم ْنُه َو ْلَيَتَلَّطْف َو ال ُيْش ِع َر َّن ِبُك ْم َأَح ًد ا‬
“ Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara
mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: “sudah berapa lamakah kamu
berada (disini?)”. mereka menjawab: “Kita berada (disini) sehari atau setengah hari”. berkata
(yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka
suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu
ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia
membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah
sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun. “
G. Tafsir Tentang Wakalah
“Dan demikianlah, Kami bangunkan mereka." (pangkal ayat 19). Artinya setelah
sampai menurut waktu yang ditakdirkan oleh Allah, mereka dibangun- kan oleh kehendak
Tuhan. “Sampai mereka tanya bertanya di antara mereka.” Artinya setelah semua sama
bangun dari tidur yang amat nyenyak itu, mereka pun tercengang-cengang. “Berkata seorang
di antara mereka: Berapa lama kamu tinggal (di sini)?” Meskipun dia berkata kamu kepada
teman-temannya, namun dirinya tidaklah terkecuali. “Mereka menjawab: “Kita telah tinggal
di sini satu hari atau setengah hari.” Mungkin dia menjawab demikian sebab dia mengingat
bahwa mereka masuk ke dalam gua itu hari masih agak pagi, sekarang mereka terbangun,
mereka lihat Matahari telah condong ke Barat, artinya sudah mulai petang, tetapi belum
senja.
Sedang bertanya-tanyaan itu tentu ada yang ragu menerima keterangan kawannya
mengatakan sehari atau setengah hari itu. Karena bertambah agak lama duduk berbincang
tentu bertambah menjalarlah penglihatan mata ke kiri dan ke kanan. Ketika kita masuk, nun
di sana! Masih rumput kecil, mengapa sekarang ada pohon besar? Sebab itu dia tidak dapat
menerima kalau dikata- kan kita di sini sehari atau setengah hari. Lantaran itu tersebut pada
lanjutan ayat: “Berkata (yang lain): “Tuhan kamulah yang lebih tahu berapa lama kamu
tinggal (di sini).” Jawaban seperti ini menunjukkan bahwa sebahagian mereka mulai sadar
bahwa mereka dalam gua ini lebih dari sehari atau setengah hari. Tetapi berapanya tidak ada
yang tahu. Maka terasalah perut mulai lapar. Lalu berkatalah seorang di antara mereka,
mungkin yang tertua. “Utuslah seorang di antara kamu dengan uang perakmu ini ke dalam
kota. maka hendaklah dia menilik mana makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia
membawakan sedikit makanan daripadanya. ”
Dengan susunan ayat ini jelas bahwa mereka menyembunyikan diri ke dalam ngalau
itu ada membawa uang perak. Memang sejak zaman purbakala orang telah memakai logam
alat pembayaran; baik berupa emas, atau perak ataupun tembaga. Di dalam museum yang
besar-besar di dunia ini ada di- kumpulkan orang alat-alat pembayaran zaman purbakala,
yang sejak zaman itu telah dihiasi muka uang itu dengan gambar raja yang sedang berkuasa.
Bawa- lah uang perak yang ada padamu itu ke tengah kota, beli makanan karena kita sudah
sangat lapar. Pilih makanan yang baik dan bersih, dan bawa kemari segera agak sedikit untuk
makanan kita bersama. Perintah yang begini hati-hati menunjukkan pula bahwa mereka
masih menyangka bahwa penduduk kota masih menyembah berhala. Sebab itu disuruhnya
supaya meneliti benar-benar makanan yang halal buat mereka. “Dan hendaklah dia berhati-
hati danjangan- lah dia menimbulkan curiga seorang pun tentang kamu.” (ujung ayat 19).
Ibnu Katsir dalam tafsirnya bahwa mereka dibangunkan itu, badan mereka sihat-sihat, wajah
mereka tak berobah, rambut mereka masih tetap hitam, tidak ada yang kurang suatu pun.
Sebab itu tidaklah heran jika mereka tanya ber- tanya. Perasaan mereka pun masih sebagai
akan mulai tidur, yaitu bahwa mereka dalam bahaya, sedang dikejar-kejar oleh kaki tangan
raja. Oleh karena perut mereka sudah sangat lapar, perlulah mencari makanan. Tetapi mesti
hati- hati. Karena ketahuan siapa meteka, kecelakaanlah yang akan menimpa. Dengan jelas
dikatakan selanjutnya oleh yang memimpin itu.

H. Hadis Tentang Wakalah


“Seorang laki-laki membawa seekor unta muda kepada Nabi SAW., ia
kemudian datang untuk minta dibayarkan. Beliau lalu berseru:” Berilah
(bayarlah) orang ini”. Mereka lalu meminta kepadanya unta muda, maka
mereka tidak mendapatkannya kecuali yang lebih tua. Beliau (Rasulullah)
kemudian bersabda: “berikanlah kepadanya”. Orang itu lantas berkata:
“bayarlah aku semoga Allah membayarmu”. Rasulullah (lalu) bersabda
“sesungguhnya orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang
paling baik dalam membayar”.
Al Qurthubi mengatakan: Hadis ini menunjukkan sahnya perwakilan orang
yang hadir dan sehat fisik, sesungguhnya Nabi SAW, memerintahkan sahabat-sahabat
agar mereka membayar unta muda yang menjadi kewajibannya, ini tak lain sebagai
perwakilan (madat) dari beliau kepada mereka, sekalipun pada waktu itu Nabi SAW
tidak sakit dan tidak dalam perjalanan.

Anda mungkin juga menyukai