Anda di halaman 1dari 18

PENGANTAR ILMU TAUHID

Makalah Dibuat dalam Rangka Perkuliahan Studi Pendidikan Agama Islam


di Bawah Bimbingan Bapak Ibu Hasanah, M.A.

Oleh:
Via Nadita 18171058
Dea Nabila Zulkia 18171042
Taufik Akbar 18171032
Fauzan Hawari 18171076

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ABULYATAMA
ACEH BESAR
2018
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik
Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi
agung kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjuknya
untuk kita semua dan yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat, yang
merupakan sebuah pentunjuk yang paling benar yakni Syariah agama Islam yang
sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh alam
semesta.
Kami ucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada setiap pihak
yang telah mendukung serta membantu kami selama proses penyelesaian makalah
ini hingga rampungnya makalah ini.
Demikianlah yang dapat kami haturkan, kami berharap supaya makalah
yang telah kami buat ini mampu memberikan manfaat kepada setiap pembacanya.

Aceh Besar, 05 Oktober 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER ..............................................................................................................i

KATA PENGANTAR .......................................................................................ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................iii

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Tauhid ....................................................... 1

B. Sumber Tauhid ............................................................................................. 5

C. Urgensi dan Tingkatan Tauhid..................................................................... 9

D. Manfaat Tauhid ............................................................................................ 13

E. Tujuan Tauhid .............................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................15

iii
BAB I
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Tauhid


1. Pengertian Tauhid
Tauhid secara epistemologi berasal dari kata wahhada–yuwahhidu
yang artinya menjadikan sesuatu tunggal atau esa. Sedangkan
secara terminologi, Tauhid berarti mengesakan Allah dalam mencipta,
menguasai, dan mengatur dunia, serta menyerahkan peribadahan hanya
kepada, meninggalkan penyembahan kepada selain-Nya, dan
menetapkan Asmā’ al-Husnā (nama-nama Allah yang indah) dan Shifat
al-Ulyā (sifat-sifat Allah yang tinggi) bagi-Nya dan mensucikan-Nya
dari kekurangan dan cacat.
Menurut Imam al-Asy’ari, tauhid berarti mengesakan Allah SWT
dalam dzat, sifat, dan perbuatan-Nya. Hal itu berarti bahwa Allah
adalah Maha Esa dalam berbagai dimensi dari ketiga aspek tadi.
Menurut Imam Al-Haramayn, makna tauhid adalah meyakini keesaan
Allah, yang penjelasannya ditujukan untuk membuktikan secara
argumentatif keesaan Allah SWT dan bahwa tidak ada Tuhan selain-
Nya. Sedangkan menurut Syech Husain Affandi al-Jisr al-Tharablusy,
ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas atau membicarakan bagaimana
menetapkan aqidah (agama Islam) dengan menggunakan dalil-dalil
yang meyakinkan.
2. Ruang Lingkup Tauhid
a. Ma’rifatul Mabda’
Ruang pembahasan ilmu tauhid yang pertama yaitu Ma’rifatul
mabda’. Yaitu suatu ilmu membahas tentang keberadaan dzat Allah
dan hal-hal yang berhubungan dengan Allah serta qadla’ dan qadar-
Nya, yang terangkum dalam pembahasan rukun iman, yakni iman
kepada Allah dan iman kepada qadha’ dan qadar.
1) Iman Kepada Allah

1
Iman kepada Allah adalah percaya sepenuhnya akan
kebenaran keberadaan Allah SWT tanpa keraguan sedikitpun.
Serta, mentaati dan menjalankan segala perintah-Nya serta
menjauhi segala larangan-Nya dengan sepenuh hati dengan
penuh rasa rendah diri, cinta, harap dan takut kepada-Nya.
Allah adalah wajīb al-wujūd dan tak ada batasan bagi
kesempurnaan-Nya. tidak ada manusia yang sanggup
mengetahui dzat Alla SWT karena dzat Allah swt tidak lah
tersusun dari unsur, tidak terbatas. Karena itu mustahil bagi
manusia mengetahui dzat Allah, akal manusia tidak akan
sanggup mencapai hakekat Allah. Allah memiliki beberapa
karakter sifat, antara lain sifat wajib, sifat mustahil dan sifat
jaiz.
Af’āl adalah perbuatan Allah SWT. Segala yang ada di
dunia ini adalah perbuatan Allah SWT. Untuk mengetaui
tentang af’āl Allah, diperlukan melakukan syuhud (memandang)
dan meyakini bahwa segala perbuatan kita baik perbuatan yang
baik maupun perbuatan yang buruk adalah berasal dari Allah.
2) Iman Kepada Qadha’ dan Qadar
Qadar ialah masdar dari kata qadarat is-sya’u artinya
kepastian sesuatu. Aqdarahu qadran artinya, kepastian itu
berhasil dengan pemastiannya. Iman kepada qadla dan qadar
berarti bahwa seseorang mempercayai dengan sepenuh hati
bahwa Allah SWT telah telah mentakdirkan segala makhluk
baik takdir yang baik maupun takdir yang buruk. Allah SWT
berfirman:
‫َّر فَ َه َدى‬ ِ َّ ِ َّ
َ ‫الذي َخلَ َق فَ َس َّوى ﴿ٕ﴾ َوالذي قَد‬
Yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya)
dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi
petunjuk.1

1 Q.S. Al-A’lā: 2-3

2
b. Ma’rifatul Wasithah
Ma’rifatul Wasithah membahas tentang utusan Allah seperti
Malaikat, Nabi/Rasul, dan Kitab Suci, yang terangkum dalam rukun
iman, yaitu iman kepada malaikat-malaikat Allah, iman kepada
kitab-kitab Allah, dan iman kepada Rasul Allah. Ia berfirman:
ِ َ‫اب الَّ ِذي نََّزَل َعلَ ٰى رسولِِو والْكِت‬
‫اب الَّ ِذي أَنْ َزَل ِم ْن‬ ِ َ‫َي أَيُّها الَّ ِذين آمنُوا ِآمنُوا ِِب ََّّللِ ورسولِِو والْكِت‬
َ َُ َ ُ ََ َ َ َ َ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
‫يدا‬
ً ‫ض ََلًًل بَع‬ َ ‫قَ ْب ُل ۚ َوَم ْن يَ ْك ُف ْر ِِب ََّّلل َوَم ََلئ َكتو َوُكتُبِو َوُر ُسلو َوالْيَ ْوم ْاْلخ ِر فَ َق ْد‬
َ ‫ض َّل‬
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada
Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.
Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka
sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.2
1) Iman Kepada Malaikat-Malaikat Allah
Secara umum pengertian iman kepada malaikat-malaikat
Allah SWT adalah percaya akan adanya malaikat. Malaikat
adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT dari cahaya.
Malaikat adalah makhluk yang tunduk dan patuh atas tugas dan
perintah Allah SWT yaitu untuk mengurus alam semesta ini.
Nabi Muhammad SAW bersabda :
Iman itu percaya kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, dan para rasul-Nya, serta kepada hari akhir dan
kepastian yang baik dan buruk daripada-Nya.3
2) Iman kepada Kitab-Kitab Allah
Iman kepada kitab-kitab Allah SWT adalah percaya bahwa
Allah telah meurunkan kitab-kitab Nya kepada para Nabi dan
Rasul Nya yang berisi tentang wahyu Allah SWT unutk
disampaikan kepada seluruh umat manusia didunia sebagai
pedoman hidup agar manusia tetap pada jalan yang benar dan

2 Q.S. An-Nisa : 136


3 Bukhari Muslim

3
diridloi oleh Allah SWT. Kitab-kitab Allah tersebut
diantaranya adalah : Taurat, Zabur, Injil dan Al-Qur’an.
3) Iman Kepada Rasul Allah
Beriman kepada rasul-rasul Allah merupakan rukun iman
keempat. Maksudnya ialah mempercayai bahwa Allah SWT
telah mengutus para Rasul-Nya untuk membawa syiar agama
dan membimbing umat pada jalan lurus dan diridhoi Allah.
Rasul-rasul ini mempunyai sifat diantaranya adalah sifat
shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah.
c. Ma’rifatul Ma’ad

Ma’rifatul Ma’ad merupakan bagian dari ruang lingkup ilmu tauhid


yang membahas tentang hari kiamat, tanda-tanda hari kiamat serta
hikmah beriman kepada hari kiamat. Yang dimaksud hari kiamat
adalah hancurnya seluruh dunia beserta alam semesta ini dan seluruh
makhluk hidup yang ada didalamnya. Yang selanjutnya akan
berganti kepada alam yang baru yaitu akhirat. Beriman kepada hari
kiamat adalah percaya dengan sepenuhya bahwa alam dan segala
isinya akan dihancurkan oleh Allah dan semua makhluk yang ada
didunia akan mati, kemudian dibangkitkan dari alam
kuburnya untuk diperhitungkan segala amal kebaikan dan
kejahatannya dan hidup kekal di alam akhirat. Allah berfirman:
ِ ‫الصابِئِني من آمن ِِب ََّّللِ والْي وِم ْاْل ِخ ِر وع ِمل ص‬ ِ َّ ِ َّ ِ
‫اِلًا‬ َ َ ََ َْ َ َ َ ْ َ َ َّ ‫َّص َارى َو‬ َ ‫ادوا َوالن‬ُ ‫ين َى‬
َ ‫ين َآمنُوا َوالذ‬ َ ‫إ َّن الذ‬
ٌ ‫َجُرُى ْم عِْن َد َرّّبِِ ْم َوًَل َخ ْو‬
‫ف َعلَْي ِه ْم َوًَل ُى ْم ََْيَزنُو َن‬ ْ ‫فَلَ ُه ْم أ‬
Sesungguhnya orang-orang mukmin , orang-orang Yahudi, orang-
orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara
mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari akhir dan
beramal shalih, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka,
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.4

4 Q.S. Al Baqarah : 62

4
B. Sumber Tauhid

1. Al-Qur'an
Al-Qur'an al-Karim adalah pokok dari semua argumentasi dan
dalil. Al-Qur'an adalah dalil yang membuktikan kebenaran risalah Nabi
Muhammad dan dalil yang membuktikan benar dan tidaknya suatu
ajaran. Al-Qur'an juga merupakan kitab Allah terakhir yang menegaskan
pesan-pesan kitab-kitab samawi sebelumnya. Allah memerintahkan
dalam al-Qur'an agar kaum Muslimin senantiasa mengembalikan
persoalan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya
2. Hadis
Hadits adalah dasar kedua dalam penetapan akidah-akidah dalam
Islam. Tetapi tidak semua hadits dapat dijadikan dasar dalam menetapkan
akidah. Hadits yang dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah
adalah hadits yang perawinya disepakati, dan dapat dipercaya oleh para
ulama. Sedangkan hadits yang perawinya masih diperselisihkan oleh para
ulama, tidak dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah
sebagaimana kesepakatan para ulama ahli hadits dan fuqaha yang
mensucikan Allah dari menyerupai makhluk. Menurut mereka, dalam
menetapkan akidah tidak cukup didasarkan pada hadits yang
diriwayatkan melalui jalur yang dha'if, meskipun diperkuat dengan
perawi yang lain.
Al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi sebagaimana dikutip Syekh
Abdullah Al-Harary dalam kitabnya Sharihul Bayan menyatakan:

‫ص َّ ِم َن اًْلَ ََ ِاديْ ِ النَّبَ ِويَّ ِ الْ َم ْرفُ ْو َع ِ الْ ُمتَّ َف ِق َعلَ ى‬ ِ ِِ


َ ‫ص َِاٍِّ اَْو َعبع ٍِّ إًِلَّ صَا‬
ِ ِ ِ ِ ُ ‫ًلَ تَثْ ب‬
َ ‫الص َف ُِ ب َق ْول‬ّ ُ ُ
ِ‫ل فِي و‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ٌ َ‫تَ ْوثِْي ِق ُرَواََاال فَ َلَ َُْي تَ ُّع ِبل َّ عْيل َوًلَ ِبلْ ُم ِْفتَ لَ ل ِ ْْ تَ ْوثْي ِق ُرَوات و ََ َّْ لَ ْو َوَرَد إ ْس ن‬
ِ ِ
ْ ٌ َ‫اد فْي و تُْتَ ل‬
‫آخُر يَ ْع ِ ُدهُ فََلَ َُْيتَ ُّع بِِو‬ ِ
َ ٌ ْ‫َو َجاءَ ََدي‬
Sifat Allah tidak dapat ditetapkan berdasarkan pendapat seorang
sahabat atau tabi'in. Sifat Allah hanya dapat ditetapkan
berdasarkan hadits-hadits Nabi yang marfu', yang perawinya
disepakati dapat dipercaya. Jadi hadits dha'if dan hadits yang
perawinya diperselisihkan tidak dapat dijadikan hujjah dalam

5
masalah ini, sehingga apabila ada sanad yang diperselisihkan, lalu
ada hadits lain yang menguatkannya, maka hadits tersebut tidak
dapat dijadikan hujjah.

Al-Hafizh al-Baihaqi juga mengutip dalam kitabnya al-Asma' wa


al-Shifat dari al-Hafizh Abu Sulaiman al-Khaththabi, bahwa sifat Allah
itu tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan nash al-Qur'an atau hadits
yang dipastikan keshahihannya.
a) Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah,
yaitu hadits yang mencapai peringkat tertinggi dalam keshahihan.
Hadits mutawatir ialah hadits yang disampaikan oleh sekelompok
orang yang banyak dan berdasarkan penyaksian mereka serta sampai
kepada penerima hadits tersebut, baik penerima kedua maupun
ketiga, melalui jalur kelompok yang banyak pula. Hadits yang
semacam ini tidak memberikan peluang terjadinya kebohongan.

b) Hadits Masyhur
Hadits masyhur dapat dijadikan argumentasi dalam menetapkan
akidah karena dapat menghasilkan keyakinan sebagaimana halnya
hadits mutawatir. Hadits masyhur ialah hadits yang diriwayatkan
oleh tiga orang atau lebih dari generasi pertama hingga generasi
selanjutnya. Al-Imam Abu Hanifah dan pengikutnya menetapkan
syarat bagi hadits yang dapat dijadikan argumentasi dalam hal-hal
akidah harus berupa hadits masyhur. Dalam risalah-risalah yang
ditulisnya dalam hal-hal akidah, Abu Hanifah membuat hujjah
dengan sekitar empat puluh hadits yang tergolong hadits masyhur.
Risalah-risalah tersebut dihimpun oleh al-Imam Kamaluddin al-
Bayadhi al-Hanafi dalam kitabnya, Isyarat al-Maram min 'Ibarat al-
Imam. Sedangkan hadits-hadits yang peringkatnya di bawah hadits
masyhur, maka tidak dapat dijadikan argumentasi dalam menetapkan
sifat Allah.

6
3. Ijma' Ulama
Ijma' ulama yang mengikuti ajaran Ahlul Haqq dapat dijadikan
argumentasi dalam menetapkan akidah. Dalam hal ini seperti dasar yang
melandasi penetapan bahwa sifat-sifat Allah itu qadim (tidak ada
permulaannya) adalah ijma' ulama yang qath'i. Dalam konteks ini, al-
Imam al-Subki berkata dalam kitabnya Syarh 'Aqidah Ibn al-Hajib:
‫ني بَ ْل‬ ِِ ٌ ‫ث فَإِذًا الْ َعا ََلُ ُكلُّوُ ََ ِاد‬
ُ َ‫ثال َو َعلَى َى َذا إِ ْْج‬
َ ْ ‫اع الْ ُم ْسلم‬ ْ ‫اض ُكلِّ َها‬
ُ ‫اِلُ ُد ْو‬ ِ ‫اْلََو ِاى ِر َواْأل َْعَر‬
ْ ‫ْم‬ َّ ‫اِ ْعلَ ْم أ‬
َ ‫َن َُك‬
‫اع الْ َقطْعِ َِّ اى‬ ِِ ِ ِ ِ َ َ‫ُك ِل الْ ِملَ ِل وَم ْن َخال‬
َ َ‫ْ َى َذا فَ ُه َو َكافٌر ل ُم َِفالََفتو اْ ِإل ْْج‬
ْ ‫ل‬ َ ّ
Ketahuilah sesungguhnya hukum jauhar dan 'aradh (Jauhar adalah
benda terkecil yang tidak dapat terbagi lagi. Sedangkan 'aradh adalah
sifat benda yang keberadaannya harus menempati benda lain) adalah
baru. Oleh karena itu, semua unsur-unsur alam adalah baru. Hal ini
telah menjadi ijma' kaum Muslimin, bahkan ijma' seluruh penganut
agama-agama (di luar Islam). Barangsiapa yang menyalahi kesepakatan
ini, maka dia dinyatakan kafir, karena telah menyalahi ijma' yang qath'i.
4. Akal

Dalam ayat-ayat al-Qur'an, Allah Ta’ala telah mendorong hamba-


hamba-Nya agar merenungkan semua yang ada di alam jagad raya ini,
agar dapat mengantar pada keyakinan tentang kemahakuasaan Allah.
Dalam konteks ini Allah berfirman:
ِ ‫السماو‬
ِ ‫ات َو ْاألَْر‬
‫ض‬ ِ ِ
َ َ َّ ‫أ ََوََلْ يَْنظُُروا ْ َملَ ُكوت‬
Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi.5
Allah juga berfirman:
ِ ِ ِ ‫سنُ ِري ِهم‬
‫اِلَ ُّق‬ َ َّ َ‫آَيتنَا ِْ ْاْلفَاق َوِْ أَنْ ُفس ِه ْم ََ َّ ْٰ يَتَ ب‬
ْ ُ‫ني ََلُْم أَنَّو‬ َ ْ َ
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan)Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri,
hingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur'an itu adalah benar.6

Dalam membicarakan sifat-sifat Allah, sifat-sifat Nabi, para


Malaikat dan lain-lain, para ulama tauhid tidak hanya bersandar pada
penalaran akal semata. Mereka membicarakan hal tersebut dalamkonteks

5 QS. al-A'raf : 185


6 QS. Fushshilat: 53

7
membuktikan kebenaran semua yang disampaikan olehNabi dengan akal.
Jadi, menurut ulama tauhid, akal difungsikan sebagai sarana yang dapat
membuktikan kebenaran syara', bukan sebagai dasar dalam menetapkan
akidah-akidah dalam agama. Meski demikian, hasil penalaran akal yang
sehat tidak akan keluar dan tidak mungkin bertentangan dengan ajaran
yang dibawa oleh syara'.
Demikianlah faktanya bahwa masalah tauhid yang bersumber dari
Quran dan Hadits itu juga diperkuat dengan dalil-dalil aqli (rasional). Hal
demikian setidak-tidaknya karena dengan dua tujuan. Pertama, agar
sesiapa yang menentang masalah tauhid itu agar dapat menerima dan
segera meyakininya, atau setidaknya menghentikan penentangannya
tersebut. Mereka yang menentang ini adalah kelompok anti Tuhan atau
kelompok di luar Ahlussunnah wal Jama’ah yang cenderung
mempertanyakan dengan nada memojokkan. Kedua, agar mereka yang
masih ragu-ragu dapat segera hilang keraguannya, kemudian tumbuh
dalam dirinya suatu keyakinan yang mantap.
Terkait dengan metode Ahlussunnah wal Jama'ah yang
menggabungkan antara naql dengan akal tersebut, para ulama
memberikan perumpamaan berikut ini. Akal diumpamakan dengan mata
yang dapat melihat. Sedangkan dalil-dalil syara' atau naql diumpamakan
dengan Matahari yang dapat menerangi. Orang yang hanya
menggunakan akal tanpa menggunakan dalil-dalil syara' seperti halnya
orang yang keluar pada waktu malam hari yang gelap gulita. Ia membuka
matanya untuk melihat apa yang ada di sekelilingnya, antara benda yang
berwarna putih, hitam, hijau dan lain-lain. Ia berusaha untuk melihat
semuanya. Tetapi selamanya ia tidak akan dapat melihatnya, tanpa ada
Matahari yang dapat meneranginya, meskipun ia memiliki mata yang
mampu melihat. Sedangkan orang yang menggunakan dalil-dalil syara'
tanpa menggunakan akal, seperti halnya orang yang keluar di siang hari
dengan suasana terang benderang, tetapi dia tuna netra, atau
memejamkan matanya. Tentu saja ia tidak akan dapat melihat mana

8
benda yang berwarna putih, hijau, merah dan lain-lainnya. Ahlussunnah
Wal-Jama'ah laksana orang yang dapat melihat dan keluar di siang hari
yang terang benderang, sehingga semuanya tampak kelihatan dengan
nyata, dan akan selamat dalam berjalan mencapai tujuan.

C. Urgensi dan Tingkatan Tauhid


1. Pentingnya Tauhid
Pertama, orang yang bertauhid dan beriman kepada Allah dan
rasul-Nya pasti tahu mengapa Allah SWT menciptakannya sehingga ia
berada di atas jalan yang lurus, ia mengetahui dari mana awal dan ke
mana akhir hidupnya, jauh dari kebutaan dan kesesatan.
﴾ٕٕ﴿‫اط ُّم ْستَ ِقي ٍم‬
ٍ ‫أَفَمن َيَْ ِشِ مكِبِّا علَى وج ِه ِو أَى َد ٰى أ ََّمن َيَْ ِشِ س ِوَِّي علَى ِصر‬
َ ٰ َ َ ْ َْ ٰ َ ُ َ
Maka apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu
lebih banyak mendapatkan petunjuk ataukah orang yang berjalan
tegap di atas jalan yang lurus?7

Kedua, tauhid menjadikan hati manusia bersatu dengan Rabb yang


satu, satu kitab, satu risalah, dan satu kiblat, dan iman juga menjadikan
manusia saling mencintai dan bersaudara seperti firman Allah:

﴾٠١﴿ َ‫َللاَ لَعَ َّل ُك ْم ت ُ ْر َح ُمون‬ ْ َ ‫إِوَّ َما ْال ُمؤْ ِمىُونَ إِ ْخ َوة ٌ فَأ‬
َّ ‫ص ِل ُحوا بَيْهَ أَخ ََو ْي ُك ْم ۚ َواتَّقُوا‬

Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. Sebab itu


damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu
dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.8

Rasulullah SAW bersabda:

‫اعى لَوُ َس ائُِر اْلَ َس ِد‬ ِ ِ ِ ُِ ‫مثَل امل ْؤِمنِني ِْ تَو ِاد ِىم وتَر‬
َ ‫اُح ِه ْم َوتَ َعاطُف ِه ْم َمثَ ُل اْلَ َسد إِ َذا ا ْش تَ َكى مْن وُ ُع ْ ٌو تَ َد‬َ َ ْ ّ َ َْ ُ ُ َ
‫لس َه ِر َواِلُ َمى َرَواهُ ُم ْسلِ ٌم َع ِن الن ُّْع َمان بْ ِن بَش ٍْي‬
ِ ِ َّ ‫ِِب‬

Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai,


saling menyayangi dan saling bersikap lemah lembut adalah

7 QS. Al-Mulk: 22
8 QS. Al-Hujurāt: 10

9
seperti satu tubuh, jika salah satu anggota tubuh merasakan sakit
maka semua anggota tubuh yang lain akan sulit tidur dan demam9

Masyarakat beriman adalah masyarakat yang melakukan ta’awun


(saling bekerja sama) dalam kebaikan dan taqwa dimana anggota
masyarakatnya saling melarang dari perbuatan dosa dan permusuhan,
semua berusaha untuk sukses menggapai ridha Allah, individunya merasa
takut untuk berbuat zhalim, mencuri, menipu, membunuh, berzina,
menyuap atau menerima suap, berdusta, dengki, ghibah atau perbuatan
jahat lain karena ia takut kepada Allah dan takut kepada hari di mana ia
harus berhadapan dengan Allah SWT untuk mempertanggungjawabkan
semua amalnya. Dan ketika kaum muslimin berpegang teguh dengan
tauhid mereka menjadi orang-orang yang terbaik seperti firman-Nya:

‫وف َوتَْن َه ْو َن َع ِن الْ ُمن َك ِر َوتُ ْؤِمنُ و َن ِِب ََّّللِ َولَ ْو َآم َن أ َْى ُل‬
ِ ‫او َْم رو َن ِِبلْمع ر‬
َُْ ُ ُ ِ َّ‫ُ للن‬
ِ ‫ُكن تم خي ر أ َُّم ٍ أُخ ِرج‬
ْ َ ْ َ َْ ُْ
ِ ِ ِ ِ َ‫الْ ِكت‬
﴾ٔٔٓ﴿‫اب لَ َكا َن َخْي ًرا ََّلُم ۚ ّمْن ُه ُم الْ ُم ْؤمنُو َن َوأَ ْكثَ ُرُى ُم الْ َفاس ُقو َن‬

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,


menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar,
dan beriman kepada Allah10

Ketiga, bila iman telah menyebar luas di masyarakat, maka


pastilah akan membuahkan amal shalih yang diridhai Allah swt sehingga
membuka berbagai pintu kebaikan dan mendatangkan pertolongan Allah
dalam menghadapi musuh-musuh mereka.
‫َخ ْذ َ ُىم ِصَا‬ ِ ٰ ِ ‫الس م ِاء و ْاألَر‬ ِ ٍ
َ َُ‫ض َولَك ن َك َّذبُوا ف‬ ْ َ َ َّ ‫َن أ َْى َل الْ ُق َر ٰى آ َمنُوا َواتَّ َق ْوا لََفتَ ِْنَ ا َعلَ ْي ِهم بََرَك ات ّم َن‬
َّ ‫َولَ ْو أ‬
﴾٦٩﴿ ‫ْسبُو َن‬ ِ ‫َكانُوا يك‬
َ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa,
Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu,
maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya11

9 HR. Muslim dari An-Nu’man bin Basyir


10 QS. Ali-Imran: 110
11 QS. Al-A’rāf: 96

10
ِ َّ
ْ ِّ‫نص ْرُك ْم َويُثَب‬
‫ُ أَقْ َد َام ُك ْم‬ ُ َ‫اَّللَ ي‬ ُ َ‫ين َآمنُوا إِن ت‬
َّ ‫نصُروا‬ َ ‫ََي أَيُّ َها الذ‬
Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah,
niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.12

Begitulah dulu kaum muslimin, sebelumnya mereka adalah orang-


orang yang lemah dan miskin, namun mereka beriman dan beramal
shalih hingga Allah membuka pintu-pintu keagungan di dunia untuk
mereka, Allah cukupkan mereka dengan karunia-Nya, dan Allah tolong
mereka dari musuh-musuh mereka dengan pertolongan yang gemilang.

2. Tingkatan Tauhid
a. Tauhid Zat Allah

Yang dimaksud dengan tauhid (keesaan) Zat Allah adalah, bahwa


Allah Esa dalam Zat-Nya. Kesan pertama tentang Allah pada kita
adalah, kesan bahwa Dia berdikari. Dia adalah Wujud yang tidak
bergantung pada apa dan siapa pun dalam bentuk apa pun. Dalam
bahasa Al-Qur'an, Dia adalah Ghani (Absolut). Segala sesuatu
bergantung pada-Nya dan membutuhkan pertolongan-Nya. Dia tidak
membutuhkan segala sesuatu. Allah berfirman:

Hai manusia, kamulah yang membutuhkan Allah. Dan Allah,


Dialah Yang Maha Kaya (tidak membutuhkan apa pun) lagi Maha
Terpuji.13

Arti dari Tauhid Zat Allah adalah bahwa kebenaran ini hanya satu,
dan tak ada yang menyerupai-Nya. Al-Qur'an memfirmankan:

Tak ada yang menyamai-Nya.14


Dan tak ada yang menyamai-Nya.15

12 QS. Muhammad: 7
13 QS. Fâthir: 15
14 QS. asy-Syûrâ: 11
15 QS. al-Ikhlâsh: 4

11
b. Tauhid dalam Sifat-sifat Allah
Tauhid Sifat-sifat Allah artinya adalah mengakui bahwa Zat dan
Sifat-sifat Allah identik, dan bahwa berbagai Sifat-Nya tidak terpisah
satu sama lain. Tauhid Zat artinya adalah menafikan adanya apa pun
yang seperti Allah, dan Tauhid Sifat-sifat-Nya artinya adalah
menafikan adanya pluralitas di dalam Zat-Nya. Allah memiliki segala
sifat yang menunjukkan kesempurnaan, keperkasaan dan ke-indahan,
namun dalam Sifat-sifat-Nya tak ada segi yang benar-benar terpisah
dari-Nya. Keterpisahan zat dari sifat-sifat dan keterpisahan sifat-sifat
dari satu sama lain merupakan ciri khas keterbatasan eksistensi, dan
tak mungkin terjadi pada eksistensi yang tak terbatas. Pluralitas,
perpaduan dan keterpisahan zat dan sifat-sifat tak mungkin terjadi
pada Wujud Mutlak.
c. Tauhid dalam Perbuatan Allah
Arti Tauhid dalam perbuatan-Nya adalah mengakui bahwa alam
semesta dengan segenap sistemnya, jalannya, sebab dan akibatnya,
merupakan perbuatan Allah saja, dan terwujud karena kehendak-Nya.
Di alam semesta ini tak satu pun yang ada sendiri. Segala sesuatu
bergantung pada-Nya. Dalam bahasa Al-Qur'an, Dia adalah
pemelihara alam semesta. Dalam hal sebab-akibat, segala yang ada di
alam semesta ini bergantung. Maka dari itu, Allah tidak memiliki
sekutu dalam Zat-Nya, Dia juga tak memiliki sekutu dalam
perbuatan-Nya. Setiap perantara dan sebab ada dan bekerja berkat
Allah dan bergantung pada-Nya. Milik-Nya sajalah segala kekuatan
maupun kemampuan untuk berbuat.
Manusia merupakan satu di antara makhluk yang ada, dan karena
itu merupakan ciptaan Allah. Seperti makhluk lainnya, manusia dapat
melakukan pekerjaannya sendiri, dan tidak seperti makhluk lainnya,
manusia adalah penentu nasibnya sendiri. Namun Allah sama sekali
tidak mendelegasikan Kuasa-kuasa-Nya kepada manusia. Karena itu

12
manusia tidak dapat bertindak dan berpikir semaunya sendiri,
"Dengan kuasa Allah aku berdiri dan duduk. "
d. Tauhid dalam Ibadah
Tauhid dalam ibadah merupakan masalah praktis, merupakan
bentuk "menjadi". Tingkatan-tingkatan tauhid di atas melibatkan
pemikiran yang benar. Tingkat keempat ini merupakan tahap menjadi
benar. Tahap teoretis tauhid, artinya adalah memiliki pandangan
yang sempurna. Tahap praktisnya artinya adalah berupaya mencapai
kesempurnaan. Tauhid teoretis artinya adalah memahami keesaan
Allah, sedangkan tauhid praktis artinya adalah menjadi satu. Tauhid
teoretis adalah tahap melihat, sedangkan tauhid praktis adalah tahap
berbuat. Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang tauhid praktis,
perlu disebutkan satu masalah lagi mengenai tauhid teoretis.
Masalahnya adalah apakah mungkin mengetahui Allah sekaligus
dengan keesaan Zat-Nya, keesaan Sifat-sifat-Nya dan keesaan
perbuatan-Nya, dan jika mungkin, apakah pengetahuan seperti itu
membantu manusia untuk hidup sejahtera dan bahagia; atau dan
berbagai tingkat dan tahap tauhid, hanya tauhid praktis saja yang
bermanfaat.
D. Manfaat Tauhid
Tauhid dapat memerdekakan umat manusia dari segala perbudakan dan
penghambaan kecuali kepada Allah SWT. Yang menciptakan dengan
bentuk yang sempurna. Tauhid dapat membantu dalam pembentukan
kepribadian yang kokoh, arah hidup menjadi jelas, dan tidak mempercayai
Tuhan kecuali hanya kepada Allah SWT. Kepada-Nya tempat menghadap,
baik dalam kesendirian atau di tengah keramaian orang, dan selalu
memohon kepada-Nya dalam keadaan sempit maupun lapang.
Tauhid dapat memberikan kekuatan jiwa kepada pemiliknya dengan penuh
harap kepada Allah SWT. Dan selalu bertawakal, ridha atas ketentuan-Nya,
dan sabar terhadap musibah. Tauhid yang baik dan benar dapat
menghilangkan sifat syirik (menyekutukan Allah) yang hatinya terbagi-bagi

13
untuk tuhan-tuhan dan sesembahan yang banyak, yakni sesaat menghadap
dan menyembah yang hidup, dan suatu saat menghadap dan menyembah
kepada yang mati. Dalam firman-Nya Allah menjelaskan:
Hai penghuni penjara, manakah yang lebih baik tuhan-tuhan yang
bermacam-macam itu, ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha
Perkasa?16
Tauhid sebagai pondasi manusia dalam menjalani perintah dan menjauhi
segala larangan-Nya, sebagai hamba yang mulia untuk membentuk pribadi
yang beriman dan bertaqwa.

E. Tujuan Tauhid
Tauhid bertujuan untuk memberikan pengetahuan dengan baik dan benar
tentang keyakinan seseorang kepada Allah. Dengan menggunakan dalil naqli
(Al-Quran dan Hadis), dan dalil aqli (rasio). Tauhid bertujuan untuk
menghilangkan keraguan terhadap Allah. Yang melekat pada hati seseorang
dari godaan setan, jin, dan manusia.
Tauhid bertujuan untuk meluruskan aqidah-aqidah yang menyeleweng dan
keliru, akibat kesalahfahaman dan pemalsuan hadits-hadits, yang pada saat
itu timbul sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri, dengan demikian
kemurnian pemahaman terhadap Allah. Kembali kepada Al-Quran dan
Hadis. Tauhid bertujuan untuk memantapkan keyakinan akan keesaan-Nya,
dan menumbuhkan kesadaran akan tugas, dan kewajibannya sebagai hamba
Allah SWT. apabila tauhid itu dapat diketahui, dipahami, dan diamalkan
dengan baik dan benar.
Tauhid bertujuan untuk menambah aqidah dan keimanan seseorang, karena
iman itu bisa bertambah, dan berkurang. Allah berfirman :
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila
disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabia dibacakan kepada
mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada
Tuhan-lah mereka bertawakal17

16 Q.S Yusuf ayat : 39


17 Q.S. Al-Anfal ayat: 2

14
DAFTAR PUSTAKA

Abudin, Nata. 2008. Metodologi Studi Islam. Rajawali Pers: Jakarta, 2008.

Asmuni, M. Yusran. 1999. Ilmu Tauhid. Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 1999

Hanafi, Ahmad. Theology Islam. 1979. Jakarta: Bulan Bintang

Khalili, Musthofa dan H.M. Kharwani. 2005. Tauhid Yogyakarta: Pokja


Akademik UIN Sunan Kalijaga

Mu’tahim, Muhammad K. 2007. La Tansa ya Musimin. Alifbata: Jakarta.

Mukhlisin. 2012. “Pendahuluan Ilmu Tauhid” dalam www.google.com. Diakses


pada 10 Oktober 2018, 8:04 WIB.

Tanpa penulis .2004. Syarh ‘Aqīdah Ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah. Beirut: Dar
al-Qudss

Tanpa penulis. t. th. Syarh Kasyf asy-Sybuhāt fī at-tauhīd,. Beirut: Dar


Jamilurrahman as-Salafī

15

Anda mungkin juga menyukai