Oleh:
David Christian Pratama, S.KH
NIM. 210130100111083
Oleh:
David Christian Pratama, S.KH
NIM. 210130100111083
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................1
1.3 Tujuan........................................................................................................2
1.4 Manfaat..........................................................................................................2
BAB II TINJAUAN KASUS.................................................................................3
2.1 Sinyalemen dan Anamnesa............................................................................3
2.2 Pemeriksaan Fisik dan Gejala Klinis.............................................................3
2.3 Diagnosa Banding..........................................................................................4
2.3.1 Helminthiasis..........................................................................................4
2.3.2 Johne’s disease (Paratuberculosis)..........................................................5
2.3.3 Right-Sided Chronic Heart Failure.........................................................5
2.4 Diagnosa dan Prognosa..................................................................................5
2.5 Penanganan dan Terapi..................................................................................5
BAB III PEMBAHASAN......................................................................................7
3.1 Problem of Approach (POA).........................................................................7
3.2 Etiologi...........................................................................................................8
3.3 Patofisiologi...................................................................................................9
3.4 Gejala Klinis................................................................................................10
3.5 Diagnosis dan Prognosis..............................................................................10
3.7 Pencegahan...................................................................................................11
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................13
4.1 Kesimpulan..................................................................................................13
4.2 Saran.............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................14
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Sapi kasus fascioliasis......................................................................3
Gambar 3.1 PoA helminthiasis pada sapi kasus..................................................7
Gambar 3.2 Cacing F. hepatica dan F. gigantica.................................................8
Gambar 3.3 Siklus hidup Cacing F. gigantica.....................................................9
Gambar 3.4 Infestasi F. gigantica menyebabkan penurunan berat badan dan
edema submandibular............................................................................................10
Gambar 3.5 Penanganan sapi kasus fascioliasis..................................................11
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1
Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari Provinsi Friesland Barat dan Holland
Utara yang beriklim sedang (temperate) dengan empat musim, yaitu musim semi,
musim panas, musim gugur dan musim dingin. Sapi FH memiliki kemampuan
memprouksi susu tinggi dengan kadar lemak lebih rendah dibandingkan bangsa
sapi perah lainnya. Produksi susu sapi perah FH di negara asalnya mencapai 6000-
8000 kg/ekor/laktasi, sedangkan di Inggris sekitar 35% dari total populasi sapi
perah dapat memproduksi hingga 8069 kg/ekor/laktasi (Arbel et al,. 2001). Sifat
sapi perah umumnya tenang, jinak dan mudah beradaptasi. Oleh karena itu, di
Indonesia banyak dipelihara sapi FH baik skala perusahaan maupun peternakan
kecil (Ratnasari dkk., 2019).
Kebutuhan pangan terutama sumber protein hewani seperti halnya susu akan
semakin meningkat, seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan
pertumbuhan tingkat kemakmuran rakyat. Konsumsi susu tahun 2010 sekitar 11,9
liter per kapita per tahun atau total nasional 1,2 juta ton, diperkirakan akan
menjadi sekitar 5 juta ton pada tahun 2020. Produktivitas sapi perah di Indonesia
rata-rata kurang dari 10 liter per hari, sekalipun menggunakan bibit sapi perah
unggul yang mampu berproduksi 15-20 liter susu per hari. Rendahnya produksi
susu disebabkan oleh beberapa faktor antara lain rendahnya kualitas pakan. Salah
satu upaya perbaikan kondisi persusuan dalam negeri yaitu dengan cara perbaikan
kualitas pakan ternak sapi perah (Sumihati dkk., 2011).
Lambung sapi relatif rentan terhadap benda asing. Sapi tidak menggunakan
bibirnya untuk mengecap dan merasakan pakannya, tetapi menggunakan suatu
proses yang disebut dengan memamah-biak (langsung memasukan pakan ke
lambung dengan mengunyah secara minimal, kemudian mengembalikannya ke
mulut untuk dikunyah kembali) (Anwar et al., 2013). Saat ini, lingkungan sudah
tercemar dengan sampah. Hal ini tidak dapat dihindari seiring dengan
bertambahnya populasi manusia sehingga bertambah banyak pula kebutuhan akan
kehidupan yang praktis seperti penggunaan plastik. Sampah 2 plastik tidak seperti
sampa organik yang mudah didaur ulang oleh mikroorganisme (Nugusu et al.,
2013).
Hewan ternak kemungkinan menelan benda asing karena mereka tidak dapat
membedakan bahan plastik, logam, kayu, karet dan batu dalam pakan dan tidak
benar-benar mengunyah pakan sebelum menelan. Benda asing akan menyebabkan
komplikasi yang berbeda sesuai dengan sifat benda asing dan cara masuk ke
2
dalam organ pencernaan. Benda asing adalah benda yang tidak seharusnya berada
di dalam organ maupun tubuh hewan. Benda asing dapat dikategorikan menjadi
dua, yaitu logam dan non-logam. Benda asing termakan oleh ternak akan
menyebabkan suatu gangguan atau penyakit akibat terganggunya fisiologis
terhadap organ. Salah satu penyakit yang disebabkan oleh benda asing adalah
indigesti (rumen impaction) (Abbadi, 2014).
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui cara mendiagnosis kasus Indigesti pada Sapi di Dokter Hewan
Ribut Hartono.
1.3.2 Mengetahui cara penanganan dan pencegahan kasus Indigesti pada Sapi di
Dokter Hewan Ribut Hartono.
1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan rotasi interna hewan besar di
Dokter Hewan Ribut Hartono yaitu mengetahui diagnosis, penanganan,
pengobatan, dan pencegahan kasus Indigesti pada Sapi.
3
BAB II
TINJAUAN KASUS
2.1 Sinyalemen dan Anamnesa
Jenis Hewan : Sapi
Ras : Peranakan Friesian Holstein
Jenis Kelamin : Jantan
Umur : 2.5 tahun
BCS : 3/5
Pemilik : Bapak Iyan
Daerah Kandang : Punten, Batu
Gambar 2.1 Sapi kasus Indigesti. A) Rambut tampak berdiri. B) Bottle jaw pada
mandibula (Dokumentasi Pribadi, 2023)
2.2 Anamnesa dan Temuan Klinis
Berdasarkan pemilik, sapi lemas, tidak bisa berdiri, nafsu makan dan minum
berkurang. Sapi diberi pakan konsetrat tetapi minim air minum. Feed banknya
terlihat masih penuh dan didalam feed bank ditemukan tali rafia dan potongan
plastik kecil-kecil (kopra). Temuan klinis menunjukkan sapi mengalami
kekurusan, anoreksia, deman, takikardi, dehidrasi dan distensi abdomen.. Sapi
mengalami dehidrasi yang ditandai dengan keringnya cermin hidung, kulit dan
bulu tampak kering serta bola mata tenggelam didalam rongga mata. Feses hanya
terbentuk sedikit, konsistensinya lunak seperti pasta, bercampur lendir, dan
berwarna gelap dengan bau yang menusuk. Awalnya ditandai dengan diare dan
pada keadaan lanjut dapat terjadi konstipasi.
2.3 Diagnosa Banding
Diagnosa banding dari kasus indigesti yaitu ketosis, retikuloperitonitis
4
traumatika, Left Displace Abomasum
2.3.1 Helminthiasis
2.3.1.1 Fascioliasis
Fasciola gigantica merupakan penyebab dari fascioliasis pada daerah yang
hangat, misalnya Afrika dan Asia. Fasciola ditularkan oleh siput Lymnae yang
sering ditemukan pada rerumputan. Fascioliasis terbagi menjadi infeksi akut,
subakut, dan kronis. Fascioliasis akut disebabkan karena F. gigantica yang
menembus parenkim hepar. Aktivitas tersebut dapat menimbulkan penurunan
fungsi hepar dan hemoragi. Gejala klinis muncul 5-6 minggu setelah ingesti
metaserkaria. Gejala klinis dari fascioliasis akut antara lain lemah, tidak aktif,
anoreksia, mukosa dan konjungtiva pucat serta edema, kesakitan saat dipalpasi
pada bagian hepar. Fascioliasis subakut menimbulkan gejala klinis berupa
penurunan berat badan dan membran mukosa yang pucat. Edema submandibular
juga dapat terlihat pada beberapa kasus. Fasciolisasis kronis tidak akan muncul
hingga beberapa minggu setelah infeksi akut. Sapi atau domba akan mengalami
penurunan berat badan, membran mukosa pucat, dan muncul edema
submandibular (bottle jaw) apabila terinfeksi fascioliasis kronis (Constable dkk.,
2016).
2.3.1.2 Ostertagiasis
Ostertagiasis disebabkan karena investasi nematoda dari genus Ostertagia.
Ostertagia ditransmisikan melalui ingesti dari larva infektif. Risiko penyakit
ditentukan oleh imunitas hospes, jumlah larva infektif yang terakumulasi pada
padang rumput, dan jumlah larva yang mengalami hipobiosis di dalam hospes.
Pedet lebih rentan terjangkit ostertagiasis daripada sapi dewasa. Ostertagiosis
pada sapi terjadi dalam dua bentuk klinis, yaitu tipe I dan tipe II. Gejala klinis
ostertagiosis tipe I yang ditemukan pada sapi antara lain penurunan berat badan
secara cepat, feses yang dikeluarkan bertekstur lembut dan menjadi sangat tipis
berwarna hijau gelap hingga kuning, rambut semakin panjang dan kering, serta
5
dehidrasi. Submandibular edema umum ditemukan pada ostertagiosis tipe II. Fase
terminal ostertagiasis dapat memunculkan gejala klinis berupa mata yang semakin
cekung akibat dehidrasi berat. Gejala klinis utama pada ostertagiosis tipe I
maupun II yaitu diare cair (Constable dkk., 2016; Taylor dkk., 2015).
2.3.2 Johne’s disease (Paratuberculosis)
Johne’s disease merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium avium paratuberculosis. Johne’s disease dapat menyebabkan
penurunan berat badan secara progresif hingga emasiasi, meskipun sapi yang
terjangkit masih tetap waspada dan memiliki nafsu makan yang baik. Penyakit ini
memiliki ciri-ciri berupa diare cair. Limfonodus intestinal biasanya membesar dan
pucat dan mengandung area granulomatosa. Pedet dapat terinfeksi secara in utero,
melalui kolostrum atau ingesti peroral (Blowey & Weaver, 2011).
2.3.3 Right-Sided Chronic Heart Failure
Ternak dengan gagal jantung kronis memiliki detak jantung yang selalu
meningkat, distensi vena, serta edema subkutan. Vena supervisial membesar dan
mudah terdeteksi, terutama pada vena jugularis bilateral. Edema subkutan
utamanya terjadi pada area brisket. Edema terkadang muncul pada bagian rahang
bawah dan memanjang hingga ventral midline. Pada kasus yang parah dapat
menunjukkan gejala berupa ascites.
2.4 Diagnosa dan Prognosa
Berdasarkan anamnesa, gejala klinis, dan pemeriksaan fisik yang telah
dilakukan, sapi tersebut didiagnosa dengan infeksi cacing Fasciola gigantica atau
disebut juga dengan Fascioliasis dalam bentuk infeksi kronis. Prognosa dari
infeksi ini adalah fausta.
2.5 Penanganan dan Terapi
Terapi kausatif dan suportif diterapkan untuk mengobati sapi kasus. Injeksi
Nitroxynil (Nitronix®) 2.5 mL/100 kgBB secara subkutan (SC) diberikan sebagai
terapi kausatif untuk anthelmintik. Agen antiinflamasi Dexamethasone (Glucortin-
20®) sebanyak 10 mL diberikan secara intramuskular (IM) sebagai terapi
simptomatik. Terapi suportif dilakukan dengan pemberian injeksi Biodin ® 10 mL
dengan kandungan berupa Adenosin Trifosfat (ATP), magnesium aspartate,
potassium aspartate, sodium selenite, dan vitamin B12.
6
7
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Problem of Approach (POA)
Bottle jaw
Helminthiasis Paratuberculosis
8
3.2 Etiologi
Berikut merupakan klasifikasi dari Fasciola sp (Taylor dkk., 2015).
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Trematoda
Subkelas : Digenea
Ordo : Echinostomatida
Famili : Fasciolidae
Genus : Fasciola
Penyebab terjadinya fascioliasis pada area tropis didominasi oleh F. gigantica
(Gambar 3.2). Fasciola merupakan cacing pipih yang berbentuk seperti daun.
Cacing dewasa dapat mencapai ukuran 7.5 cm dengan lebar 1.5 cm dengan tubuh
yang lebih transparan daripada F. hepatica. Cacing ini merupakan cacing
hemafrodit.
Gambar 3.2 Cacing F. hepatica (a) dan F. gigantica (b) (Taylor dkk., 2015)
Siklus hidup cacing F. gigantica dapat dilihat pada Gambar 3.3. Cacing
dewasa bertelur di dalam ductus biliverus dan memasuki intestinum. Telur cacing
dikeluarkan melalui feses hospes, kemudian berkembang dan menetas menjadi
mirasidia bersilia dalam waktu 9-10 hari pada suhu 22-26 ℃. Mirasidium
memiliki masa hidup yang pendek dan harus menemukan siput yang cocok dalam
waktu tiga jam. Mirasidium kemudian berkembang menjadi sporokista, redia,
hingga serkaria di dalam hospes intermediet. Serkaria akan dikeluarkan oleh siput
dalam bentuk motil dan menempel pada permukaan yang kasar seperti bilah
rerumputan. Serkaria akan berubah menjadi bentuk kista yang disebut dengan
metaserkaria infektif. Perkembangan cacing dari bentuk mirasidium hingga
metaserkaria membutuhkan
9
waktu 6-7 minggu. Metaserkaria dapat termakan oleh hospes definitif dan keluar
dari bentuk kista di dalam intestinum tenue kemudian bermigrasi melalui dinding
intestinum melewati peritonium dan melakukan penetrasi ke dalam kapsul liver.
Cacing muda melalui parenkim liver dan memasuki duktus biliverus kecil dimana
selanjutnya mereka bermigrasi ke duktus yang lebih besar untuk menuju vesica
fellea, tempat untuk mencapai maturasi seksual. Proses tersebut dalam siklus
hidup
F. gigantica membutuhkan waktu sekitar 12 minggu. Periode prepaten F. gigantica
berjalan selama 13-16 minggu (Taylor dkk., 2015).
10
3.4 Gejala Klinis
Gejala klinis yang tampak pada sapi kasus adalah anoreksia, penurunan berat
badan, edema submandibular, konsistensi feses yang lembek serta pertumbuhan
bulu yang kering dan kasar. Berdasarkan gejala klinis pada sapi kasus, maka
fascioliasis pada kasus ini merupakan infeksi kronis. Menurut literatur, infeksi
kronis dari fascioliasis memiliki ciri-ciri seperti penurunan berat badan,
penurunan produksi susu, anemia, atau dalam beberapa kasus terbentuk edema
submandibular hingga ascites (Constable dkk., 2016).
a b
Gambar 3.4 Infestasi F. gigantica menyebabkan penurunan berat badan (a) dan edema
submandibular (b) (Scott dkk., 2011; Taylor dkk., 2015)
3.5 Diagnosis dan Prognosis
Diagnosis kasus fascioliasis pada sapi kasus dilakukan berdasarkan
sinyalemen, anamnesa, pemeriksaan fisik, dan gejala klinis. Berdasarkan literatur,
diagnosis fascioliasis pada fase awal dilakukan berdasarkan data epidemiologis
dan peningkatan konsentrasi serum glutamate dehydrogenase (GLDH) selama
cacing bermigrasi dan merusak parenkim liver. Sementara itu, fascioliasis kronis
didiagnosa dengan demonstrasi telur cacing dalam sampel feses. Penghancuran
epitelium duktus biliverus oleh cacing dewasa menyebabkan peningkatan
konsentrasi Gamma-glutamyl transferase (GGT). Uji ELISA spesifik cacing liver
juga dapat dilakukan, namun membutuhkan biaya yang mahal dan lebih
mendeteksi infeksi lampau daripada infeksi aktif (Scott dkk., 2011).
3.6 Terapi dan Penanganan
Terapi kausatif yang diberikan pada sapi kasus adalah dengan pemberian
Nitroxynil secara subkutan sebagai anthelmintik dengan dosis 2.5 mg/100 kgBB.
Menurut literatur, antitrematoda yang dapat digunakan sebagai flukisida antara
lain
11
diamphenetide, triclabendazole, rafoxanide, closantel, nitroxynil, clorsulon,
albendazole, dan oxyclozanide. Nitroxynil merupakan fasciolisida yang digunakan
untuk sapi dan domba. Trematosida ini sangat efektif untuk melawan cacing
dewasa
F. hepatica dan F. gigantica, namun tidak efektif untuk cacing dengan umur
kurang dari 6 minggu. Nitroxynil dapat diadministrasikan secara oral atau
intraruminal, namun lebih efektif melalui rute parenteral (SC dan IM) (Papich &
Riviere, 2017). Dosis nitroxynil untuk terapi terhadap F. gigantica adalah10
mg/kgBB secara SC (Constable dkk., 2016).
12
lingkungan.
13
Molluscisida seperti n-trityl morpholine dapat digunakan, namun tidak tersedia
secara komersil. Anthelmintik yang digunakan sebaiknya adalah obat yang efektif
melawan cacing dewasa maupun cacing muda (Constable dkk., 2016).
14
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan temuan kasus fascioliasis pada sapi di Alta Vet Clinic Malang,
dapat disimpulkan bahwa diagnosa terhadap kasus tersebut dilakukan berdasarkan
anamnesa, gejala klinis, dan hasil pemeriksaan fisik. Sapi kasus fascioliasis
menunjukkan gejala klinis berupa anoreksia, penurunan berat badan, rambut yang
kering dan kasar, serta munculnya edema submandibular atau “bottle jaw”.
Penanganan terhadap kasus fascioliasis pada sapi di Alta Vet Clinic Malang
diatasi dengan pemberian injeksi Nitroxynil secara subkutan dan injeksi
Dexamethasone serta Biodin® secara intramuskular. Kasus fascioliasis dapat
dicegah dengan pemberian anthelmintik secara rutin pada sapi.
4.2 Saran
Saran yang dapat diberikan kepada peternak yaitu sebaiknya peternak
melakukan pengobatan anthelmintik secara rutin kepada ternaknya untuk
mencegah terjadinya kasus helminthiasis, terutama fascioliasis.
15
DAFTAR PUSTAKA
Blowey, R., & Weaver, A. D. (2011). Color Atlas of Diseases and Disorders of
Cattle E-Book. Elsevier Health Sciences.
Constable, P. D., Hinchcliff, K. W., Done, S. H., & Gruenberg, W. (2016).
Veterinary Medicine: A textbook of the diseases of cattle, horses, sheep,
pigs and goats. Elsevier Health Sciences.
Fatmawati, M., & Herawati, H. (2018). Analisa Epidemiologi Kasus Helmintiasis
pada Hewan Kurban di Kota Batu. Indonesia Journal of Halal, 1(2), 125–
129.
Papich, M. G. (2015). Saunders Handbook of Veterinary Drugs - E-Book: Small
and Large Animal. Elsevier Health Sciences.
Papich, M. G., & Riviere, J. E. (2017). Veterinary Pharmacology and
Therapeutics. John Wiley & Sons.
Sardjono, T. W., Baskoro, A. D., Endharti, A. T., Fitri, L. E., Poeranto, S., &
Nugraha, R. Y. B. (2020). Helmintologi Kedokteran dan Veteriner: Edisi
Revisi. Universitas Brawijaya Press.
Scott, P., Penny, C. D., & Macrae, A. (2011). Cattle Medicine. CRC Press.
Taylor, M. A., Coop, R. L., & Wall, R. L. (2015). Veterinary Parasitology. John
Wiley & Sons.
16
Lampiran 1. Pemeriksaan fisik sapi kasus fascioliasis
17
Kornea : jernih : jernih
Iris : normal : normal
Limbus : normal : normal
Pupil : normal : normal
Refleks pupil : terdapat refleks pupil terdapat refleks pupil
Vasa injectio : tidak ada
Hidung dan Sinus-Sinus : simetris, bersih, aliran udara bebas, tidak ada discharge
Leher
Perototan : tidak ada kelainan, normal
Trakea : tidak ada refleks batuk
Esofagus : teraba, kosong
Sistem Pernapasan
Inspeksi
Bentuk rongga thoraks : simetris
Tipe pernapasan : abdominal
Ritme : ritmis
Intensitas : sedang
Frekuensi : 20x/ menit
Palpasi
Penekanan rongga thoraks : tidak ada respon batuk, normal
Lapangan paru-paru : tidak ada perluasan, normal
Gema perkusi : normal (nyaring)
18
Auskultasi
Suara pernapasan : jelas
Suara ikutan antara in- dan :-
ekspirasi
Auskultasi
Frekuensi : 64x/ menit
Intensitas : normal
Ritme : normal
Suara sistolik dan diastolik : normal, terdengar jelas
Ekstra sistolik :-
Antara pulsus dan jantung :-
Abdomen dan Organ Pencernaan yang Berkaitan
Inspeksi
Bentuknya : simetris
Besarnya : tidak ada pembesaran
Palpasi
Epigastrikus : tidak ada respon sakit
Mesogastrikus : tidak ada respon sakit
Hipogastrikus : tidak ada respon sakit
Isi usus halus : tidak teraba
Isi usus besar : tidak teraba
Auskultasi
Peristaltik usus : terdengar
Anus
Kebersihan sekitar anus : kotor
Refleks spincter ani : normal
Glandula perianalis :-
Kebersihan daerah perianal : kotor
Urogenitalis :
Inspeksi :
Preputium : tidak terlihat
Penis : tidak terlihat
19
Gland Penis Ukuran : tidak terlihat
Bentuk : tidak terlihat
Sensitivitas : tidak terlihat
Warna : tidak terlihat
Kebersihan : tidak terlihat
Scrotum : simetris
Alat Gerak
Inspeksi
Perototan kaki depan dan : kokoh
belakang
Spasmus otot : ada
Tremor : tidak ada
Cara berjalan : normal
20
LOGBOOK ROTASI INTERNA HEWAN BESAR
Nama: Wardatun Nafisah (NIM. 220130100011019)
PPDH Gelombang 13 Kelompok 4
No Sinyalemen dan Anamnesa Pemeriksaan Fisik dan Diagnosa dan Treatment Dokumentasi
Penunjang
22/05/2023
1. Ras : Peranakan FH Terdapat leleran pada Diagnosa retensi placenta.
Jenis : Betina vulva berupa sisa placenta Flushing dengan antibiotik
Kelamin : 2 tahun yang belum bersih. oxytetracycline 20 ml/2 L
Umur : Pak Jamingan Mencoba eksplorasi Injeksi biodin,
Pemilik : Maduarjo, Ngajum, Malang saluran reproduksi namun dexamethasone, calcidex,
Alamat : cervix tidak terbuka dan oxytetracycline
Anamnesa sempurna. masing-masing 10 mL
Pertama kali partus pada tanggal 12 Mei 2023.
Terdapat riwayat kasus milk fever, hipokalsemia,
distokia maternal, lameness akibat trauma dan
retensi placenta.
Kasus retensi placenta awal pada tanggal 15 Mei
2023 dilaporkan uterus bersih dan diberikan
pengobatan berupa antibiotik dan vitamin.
Nafsu makan menurun dan makan harus disuap
dengan hijauan.
21
2. Ras : Peranakan FH Eksplorasi rektal untuk Bunting 9 bulan
Jenis : Betina mengetahui prediksi waktu
Kelamin : 2 tahun partus.
Umur : Pak Galih Teraba moncong fetus
Pemilik : Maduarjo, Ngajum, Malang Fetus sudah dalam posisi
Alamat : Bunting trimester akhir longitudinal anterior.
Anamnesa
23/05/2023
1. Ras : Peranakan FH Terlihat adanya leleran Dilakukan inseminasi
Jenis : Betina pada vulva buatan
Kelamin : 5 tahun (Partus 3x)
Umur : Pak Jono
Pemilik : Maduarjo, Ngajum, Malang
Alamat : Terdapat tanda-tanda birahi dari
Anamnesa pagi hari, pertama kali birahi
setelah partus
22
2. Ras : Peranakan FH Saat eksplorasi rektal Diagnosa endometritis.
Jenis : Betina diketahui uterus sapi Diduga karena placenta
Kelamin : 3 tahun (Partus 2x) membesar dan saat dalam uterus belum keluar
Umur : Pak Eko dipalpasi cairan berwarna secara sempurna atau
Pemilik : Maduarjo, Ngajum, Malang merah dengan konsistensi terjadi perlukaan saat
Alamat : 3/5 kental dan berbau busuk partus sehingga darah
BCS : Keluar leleran dari vulva sejak mulai keluar. terakumulasi dalam uterus
Anamnesa 3 hari yang lalu. dalam waktu yang lama
Pada hari pertama keluar leleran sehingga terjadi infeksi.
diduga birahi sehingga Penanganan kasus
dilakukan IB. dilakukan dengan flushing
Setelah dilakukan IB leleran uterus menggunakan
berwarna merah dan berbau larutan antibiotik
busuk keluar terus menerus. oxytetracycline dengan
Sudah pernah partus 2 kali dan konsentrasi 20 mL/2 L.
partus terakhir adalah 3 bulan Pengobatan dilakukan
yang lalu. dengan injeksi hormon
Tidak ada riwayat PGF 2a sebanyak 2 mL
retensi placenta. dan injeksi antibiotik
Nafsu makan masih baik. oxytetracycline dan
sulpidon masing-masing
10 mL.
23
3. Ras : Peranakan FH Dilakukan eksplorasi Sapi bunting 3 bulan
Jenis : Betina rektal untuk melihat status
Kelamin : 1.5 tahun (Sapi dara) kebuntingan sapi
Umur : Cak Jatmiko
Pemilik : Maduarjo, Ngajum, Malang
Alamat : 2.5/5
BCS : Sapi sudah diinseminasi buatan
Anamnesa pada tanggal 21/02/23 dan belum
menunjukkan gejala birahi setelah
di IB
24/05/2023
1. Ras : Peranakan FH Saat inspeksi ditemukan Diagnosa helminthiasis
Jenis : Jantan adanya bentukan bottle Berikan terapi berupa
Kelamin : 1.5 tahun (Poel 1 pasang) jaw pada rahang bawah. injeksi Nitroxynil 2.5
Umur : Pak Qadir Sapi memiliki rambut mL/100 kgBB secara SC
Pemilik : Ngaglik, Batu yang berdiri atau “jegrig”. sebagai flukisida dan
Alamat : 2.5 (BB: ±300 kg) Saat auskultasi jantung nematisida serta injeksi
BCS : Nafsu makan menurun diketahui irama jantung biodin dan dexamethasone
Anamnesa dan badan sapi kurus. ritmis dan tidak ada suara secara IM dengan masing-
Belum pernah diberikan ikutan (normal). masing dosis 10 mL
obat cacing. sebagai terapi suportif.
24
2. Ras : Peranakan FH Saat inspeksi ditemukan Diagnosa helminthiasis
Jenis : Jantan adanya bentukan bottle Berikan terapi berupa
Kelamin : 1.5 tahun (Poel 1 pasang) jaw pada rahang bawah. injeksi Nitroxynil 2.5
Umur : Pak Qadir Sapi memiliki rambut mL/100 kgBB secara SC
Pemilik : Ngaglik, Batu yang berdiri atau “jegrig”. sebagai flukisida dan
Alamat : 2.5 (BB: ±300 kg) Saat auskultasi jantung nematisida serta injeksi
BCS : Nafsu makan menurun diketahui irama jantung biodin dan dexamethasone
Anamnesa dan badan sapi kurus. ritmis dan tidak ada suara secara IM dengan masing-
Belum pernah diberikan ikutan (normal). masing dosis 10 mL
obat cacing. sebagai terapi suportif.
25/05/2023
1. Ras : Peranakan FH Dilakukan inspeksi untuk Diagnosa mastitis
Jenis : Betina melihat kondisi ambing. Diberikan injeksi calsium
Kelamin : 2 tahun (beranak 1x) Diketahui ambing cranial meloxicam dan biodin
Umur : Cak Margo dexter mengalami masing-masing sebanyak
Pemilik : Maduarjo, Ngajum, Malang pembengkakan. 10 mL. Seharusnya
Alamat : 2.5 diberikan terapi antibiotik,
BCS : Salah satu puting susu namun peternak menolak
karena susu tidak dapat
Anamnesa membesar dan bengkak, susu
disetorkan
menggumpal, produksi susu
menurun dari 15 L menjadi 12 L.
26/05/2023
25
1. Ras : Peranakan FH Sapi dalam posisi lateral Diagnosa hipokalsemia
Jenis : Betina recumbency. Dilakukan stadium 2 (advanced
Kelamin : 2.5 tahun (beranak 1x) reposisi tubuh sapi stage)
Umur : drh. Furqon menjadi posisi sternal Diberikan cairan intravena
Pemilik : Karangploso recumbency. Saat sternal Ringer Lactat 500 mL dan
Alamat :2 recumbency posisi leher 100 mL calsium serta
BCS : Sapi ambruk, kondisi bunting 7 sapi menjulur ke depan Dextrose 500 mL dan
dan membungkuk. Biodin® 100 mL.
Anamnesa bulan
Terdapat luka dekubitus
pada bagian ekstremitas
yang menunjukkan bahwa
sapi ambruk sudah cukup
lama.
Detak jantung 48x/menit,
temperatur 36.8℃,
frekuensi pernapasan
20x/menit.
2. Ras : Peranakan FH Dilakukan eksplorasi Diagnosa kontrol retensi
Jenis : Betina pervaginal untuk melihat placenta
Kelamin : 3 tahun (beranak 2x) sisa placenta yang masih Diberikan terapi dengani
Umur : Cak Bagas tertinggal, kemudian sisa njeksi Biodin® dan
Pemilik : Karangploso placenta dikeluarkan dexamethasone secara IM
Alamat : 2.5 (BB: ±300 kg) dan diberikan bolus
BCS : Pasca partus, retensi placenta, Colibac® secara
transvaginal
Anamnesa anakan lahir prematur (usia 8
bulan), nafsu makan masih
menurun, hanya mau makan
konsentrat dan tidak mau makan
hijauan, sudah treatment retensi
placenta pada 24/05/23 namun
belum bersih secara sempurna
30/05/2023
26
1. Ras : Peranakan FH Terlihat adanya leleran Dilakukan inseminasi
Jenis : Betina pada vulva buatan
Kelamin : 7 tahun (beranak 5x)
Umur : Cak Wadi
Pemilik : Maduarjo, Ngajum, Malang
Alamat : 2.5
BCS : Sapi menunjukkan gejala birahi
Anamnesa (leleran bening keluar dari vulva)
pada hari ke-7 setelah gertak
birahi dengan hormon PGF 2a.
Inseminasi buatan ke-2
31/05/2023
27
1. Ras : Peranakan FH Dilakukan eksplorasi Diagnosa tidak bunting
Jenis : Betina rektal untuk pemeriksaan
Kelamin : 4 tahun (partus 2x) kebuntingan
Umur : Pak Irul (Choirul)
Pemilik : Pujon Kidul
Alamat : 2.5
BCS : Inseminasi buatan sudah tiga
Anamnesa kali terakhir tiga bulan yang lalu
04/05/2023
1. Ras : Peranakan FH Dilakukan pengecekan isi Diagnosa abses.
Jenis : Betina abses dengan trocar Penanganan dengan
Kelamin : 4 bulan menggunakan jarum 18G. pengeluaran isi abses
Umur : Cak Eko Diketahui isi abses hingga bersih. Abses
Pemilik : Ngajum, Malang merupakan massa kaseosa. diinsisi menggunakan
Alamat :3 blade. Setelah bersih
BCS : Abses pada extremitas cranial dilakukan flushing dengan
Povidone iodine dan
Anamnesa sinister, namun tidak pincang.
Oxytetracycline.
Nafsu makan baik. Sapi
Injeksi Oxytetracycline
mengalami demam. dan Biodin dengan dosis
masing-masing 5 mL.
08/05/2023
28
1. Ras : Peranakan FH Dilakukan eksplorasi Diagnosa distokia foetalis.
Jenis : Betina rektal diketahui sapi Setelah dilakukan traksi
Kelamin : 2 tahun (heifer) mengalami distokia dan retropulsi kemudian
Umur : Cak Eko foetalis dengan posisi fetus keluar namun dalam
Pemilik : Ngajum, Malang longitudinal posterior kondisi sudah tidak
Alamat :3 dorsosacral habitus bihip bernapas.
BCS : Sapi bunting 8 bulan, namun flexion. Injeksi dengan
Tidak ada refleks pada Oxytetracyclin, Sulpidon,
Anamnesa sudah mengalami pecah ketuban
anus fetus (pedet). dan Biodin masing-
dari pukul 11.00 hingga 14.00
Dilakukan pengambilan masing 10 mL.
fetus belum keluar. Di dalam darah untuk memastikan
kandang yang sama terdapat adanya Brucella abortus.
riwayat 2x abortus dan 1x Namun, hasil negatif.
endometritis.
29
30