Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH AGAMA TENTANG SUMBER-SUMBER SYARIAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah AGAMA

Dosen Pengajar : Musta’in Zahruddin, M.Pdl

DISUSUN OLEH :

MUHAMAD CECEP NURKHOLIS

24052220051

PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO

FAKULTAS TEKNIK

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas segala berkat-Nya
penulis dapat mengerjakan makalah yang berjudul “ Sumber-sumber
syariah”. Dan dengan kerendahan hati dan penuh rasa hormat penulis banyak
mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang turut andil dalam
menyelesaikan tugas makalah ini.

Akhir kata penulis ucapkan terimakasih kepada yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini dan semoga Alloh SWT melimpahkan karunianya.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Dan penulis
ucapkan permohonan maaf jika dalam penulisan makalah ini masih terdapat
banyak kesalahan baik dalam teknis penulisan maupun materi yang
disampaikan. Sehingga kritik dan saran sangat kami harapkan untuk membantu
pembuatan makalah yang lebih baik lagi.

Garut, 19 Desember 2020

Penyusun

M.Cecep Nurkholis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama Islam adalah agama yang diturunkan Allah melalui Malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad SAW, sebagai pemberi contoh pada manusia tentang apa-apa yang diperintahkan
Allah melalui firman-Nya, yaitu Alquran. Oleh karena itu segala hukum dan aturan dalam
Islam diatur dalam Alquran dan dijelaskan oleh sunnah atau hadist Nabi.
Sumber hukum syariat Islam adalah Al-Quran dan Al-Hadist. Sebagai hukum dan ketentuan
yang diturunkan Allah swt, syariat Islam telah menetapkan tujuan-tujuan luhur yang akan
menjaga kehormatan manusia.
Para ulama menyepakati ada 4 sumber hukum Islam. Dalam moraref atau portal
akademik Kementerian Agama dalam tulisan bertajuk Asas-asas Hukum Kewarisan dalam
Islam karya M Naskur disebutkan sumber hukum Islam yaitu Al-qur’an,Hadist,Ijma dan
Qiyas.
B. Rumusan Masalah

1. Jelaskan apa yang dimaksud al-qur’an!


2. Apa sebabnya Al-Qur’an merupakan sumber yang pertama dari syari’ah?
3. Sebutkan apa saja isi al-quran?
4. Apa yang dimaksud sunnah dan ra’yu?
5. Jelaskan penggunaan ra’yu di dalam memahami al-quran dan assunnah!
C. Tujuan Penulisan Makalah

a. Untuk mengetahui arti dari al-qur’an


b. Untuk mengetahui sebab Al-quran menjadi sumber syariah
c. Untuk mengetahui isi al-qur’an
d. Untuk mengetahui manfaat penggunaan ra’yu
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-qur’an

Al-quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW secara
mutawatir (bersambung) dengan perantaraan Malaikat Jibril, dan berpahala bagi orang yang
membacanya. Demikianlah makna Alquran sebagaimana dijelaskan oleh Subhi As-Salih
dalam kitabnya Mabahits fi 'Ulum Al-Qur'an dan Jalaluddin As-Suyuthi dalam Al-Itqan fi
'Ulum Al-Qur'an, serta Manna' al-Qattan dalam Mabahits fi 'Ulum Al-Qur'an.

Al-quran berisi tentang berbagai hal, mulai dari masalah ibadah, amaliyah (perbuatan)
manusia, hari akhir, kisah-kisah umat terdahulu, kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada
rasul-rasul-Nya, sejarah, serta ilmu pengetahuan. Pengertian Alquran menurut istilah dan
bahasa adalah :

 Secara bahasa (etimology) – Alquran berasal dari bahasa arab dengan asal kata qara
a– yaqri u – qur a nan. Quran berasal dari kata qur a nan yang artinya bacaan.
 Secara istilah ( terminology)– Alquran adalah perkataan Allah yang disampaikan melalui
perantara Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dalam bahasa arab yang tertulis di dalam
mushaf, diawali dengan surat Al Fatihah dan di akhiri dengan surat An Nas, yang
diriwayatkan secara mutawatir dan ibadah ketika membacanya.

Pengertian tersebut adalah hasil kesepakatan ulama yang menggambarkan apa itu Alquran.
Hal ini sama dengan firman Allah SWT berikut :

“Dan sesungguhnya Alquran ini benar-benar diturunkan oleh Rab semesta alam. Ia dibawa
turun oleh Ar Ruh Al Amin (Malaikat Jibril )kedalam hati mu ( Muhammad) agar kamu
menjadi salah seorang dari orang-orang yang memberi peringatan dengan bahasa arab
yang jelas”. (QS. Asy Syu’ara ayat 192-195 )
Alquran merupaka sumber pokok ajaran islam terlengkap yang diturunkan Allah kepada
manusia. Alquran mencakup segala sendi kehidupan manusia. Tidak hanya perkara yang
besar-besar, hal yang kecil sekalipun di jelaskan dalam Alquran dengan amat sempurna.
Kesempurnaan Alquran sebagai firman atau perkataan Allah sudah terjamin dan tidak
seorang pun yang dapat menirunya sehingga mustahil kalau Alquran adalah buatan atau
karangan manusia.

B. Sebabnya Al-qur’an merupakan sumber yang pertama dari syari’ah

Sebagai kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW., al-qur’an menjadi
sumber pendidikan Islam pertama dan utama. Al-qur’an merupakan petunjuk yang lengkap,
pedoman bagi manusia yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia dan bersifat unversal.
Keuniversalan ajarannya mencakup ilmu pengetahuan yang tinggi dan sekaligus merupakan
kalam mulia yang esensinya tidak dapat dimengerti, kecuali bagi orang yang berjiwa suci dan
berakal cerdas. Al-qur’an diturunkan Allah untuk menunjuki manusia ke arah yang lebih
baik. Firman Allah Swt.

“Dan kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (Al-qur’an) melainkan agar kamu dapat
menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perseliisihkan itu dan menjadi petunjuk dan
rahmat bagi kaum beriman.” (Qs.An-Nahl :64)

Al-qur'an merupakan wahyu Allah swt yang berisi petunjuk dan pedoman hidup kepada
umat manusia yang bersifat selamanya. Allah menurunkan Al-quran kepada umat manusia
melalui nabi Muhammad SAW sebagai kitab suci terakhir untuk dijadikan pedoman hidup.
Al-quran yang tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya mengandung petunjuk-petunjuk
yang dapat menyinari seluruh isi alam ini.

Sebagai kitab suci sepanjang zaman, Al-quran memuat informasi dasar berbagai masalah
termasuk informasi mengenai hukum, etika, science, antariksa, kedokteran dan sebagainya.
Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa kandungan Al-quran bersifat luas dan luwes.

Mayoritas kandungan Al-quran merupakan dasar-dasar hukum dan pengetahuan,


manusialah yang berperan sekaligus bertugas menganalisa, merinci, dan membuat garis besar
kebenaran Al-quran agar dapat dijadikan sumber penyelesaian masalah kehidupan manusia.

Pada zaman Rasulullah, sumber hukum Islam ada dua yaitu Al-quran dan As-Sunnah.
Rasulullah selalu menunggu wahyu untuk menjelaskan sebuah kasus tertentu, namum apabila
wahyu tidak turun, maka beliau menetapkan hukum tersebut melalui sabdanya, yang
kemudian dikenal dengan Hadits.

Sebagai sumber hukum Islam pertama dan utama, Al-quran berperan penting dalam rangka
penetapan hukum Islam terutama setelah meninggalnya Rasulullah SAW. Seperti kita ketahui
bahwa Al-quran merupakan buku petunjuk (hidayah) bagi orang-orang yang bertakwa yaitu
orang-orang yang percaya kepada hal ghaib, yang mendirikan shalat, yang menginfakkan
sebagain rizki mereka, dan yang meyakini adanya akhirat. Satu hal yang juga disepakati oleh
seluruh ummat Islam dan menjadi pembahasan pokok makalah ini ialah kedudukan Al-quran
sebagai sumber hukum Islam kapanpun dan dimanapun termasuk seharusnya di Indonesia.

C. Isi dari Al-qur’an

Kitab suci Al-qur’an merupakan kitab yang diturunkan Allah Swt kepada Rasulullah saw
lewat perantara malaikat Jibril untuk disampaikan kepada manusia sebagai petunjuk dan
pedoman hidup yang benar. Al-qur’an secara historis tidak diturunkan dalam satu waktu
melainkan secara berangsur-angsur dengan sebab yang berbeda setiap ayatnya (asbabun
nuzul).

Sebagian ulama berpendapat bahwa Al-qur’an diturunkan dalam kurun waktu 22 tahun, 2
bulan, 22 hari. Tetapi ada pula yang sepakat bahwa waktu turunnya Al-Qur’an selama 23
tahun.

Kitab suci dengan 30 juz, 114 surah dan 6666 ayat tersebut diturunkan di dua kota yaitu
Makkah dan Madinah. Oleh sebab itu, para ulama menggolongkan ayat-ayat yang turun di
kota Makkah dengan sebutan Surah Makkiyah sedangkan yang turun di kota Madinah disebut
Surah Madaniyah.

Sebagai kitab yang memberi petunjuk kepada umat manusia, Al-Qur’an memiliki beberapa
pokok kandungan, di antaranya adalah:

1. Akidah

Akidah secara etimologi bermakna kepercayaan dan keyakinan. Adapun kandungan aspek
akidah dalam Al-qur’an adalah persoalan tauhid bahwa Allah Swt adalah yang maha segala-
galanya. Di samping itu, akidah di dalam Al-qur’an juga meliputi rukun iman seperti
keyakinan terhadap Allah, malaikat, rasul, kitab, hari kiamat serta qada dan qadar.
"Rasul (Muhammad saw) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (Al-qur’an) dari
Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), ”Kami tidak
membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.” Dan mereka berkata, ”Kami dengar
dan kami taat. Ampunilah kami Ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali.”
(QS. al-Baqarah : 285)

2. Ibadah dan Muamalah

Kandungan selanjutnya adalah persoalan ibadah (hubungan antara manusia dengan Allah
Swt) dan muamalah (hubungan antara manusia dengan manusia lainnya). Al-Qur’an memberi
petunjuk dan tata cara yang lengkap berkaitan dengan ibadah kepada Allah dan hubungan
antar manusia.

3. Persoalan hukum

Hukum Allah Swt yang tertuang di dalam Al-Qur’an tentu merupakan hukum yang paling
adil. Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam harus selalu merujuk kepada Al-Qur’an dalam
menetapkan hukum tertentu.

Hal ini sejalan dengan QS. An-Nisa ayat 105 yang artinya, "Sesungguhnya Kami telah
menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran agar kamu mengadili antara
manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi
penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang berkhianat."

4. Sejarah dan kisah umat terdahulu

Selain mengandung perintah, Al-Qur’an juga menceritakan kejadian umat terdahulu agar
kita dapat mengambil pelajaran dari masa lalu. Salah satu contoh adalah yang tertulis dalam
Surah Yusuf ayat 111 yang artinya,"Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat
pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Al-Qur’an) itu bukanlah cerita yang dibuat-
buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan
(sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.

5. Rujukan ilmu pengetahuan dan teknologi

Banyak ilmuwan yang telah membuktikan bahwa ilmu pengetahuan yang senantiasa
berkembang setiap zaman telah dibahas terlebih dahulu di dalam Al-Qur’an berabad-abad
yang lalu. Oleh sebab itu, apa yang ada di dalam Al-Qur’an harus selalu dijadikan rujukan
dalam penelitian ilmu pengetahuan termasuk teknologi.

D. Pengertian dari sunnah dan ra’yu


a. Sunnah

Sunnah (Arab: ‫ سنة‬sunnah, artinya "arus yang lancar dan mudah" atau "jalur aliran
langsung") dalam Islam mengacu kepada sikap, tindakan, ucapan dan
cara rasulullah menjalani hidupnya atau garis-garis perjuangan (tradisi) yang
dilaksanakan oleh rasulullah.

Sunah merupakan sumber hukum kedua dalam Islam, setelah Al-Quran. Narasi atau
informasi yang disampaikan oleh para sahabat tentang sikap, tindakan, ucapan dan
cara rasulullah disebut sebagai hadis. Sunah yang diperintahkan oleh Allah
disebut sunnatullah (hukum alam).

Secara etimologi Sunah (‫ سنة‬sunnah, plural ‫ سنن‬sunan) adalah kata Arab yang berarti
"kebiasaan" atau "biasa dilakukan".[1] Secara istilah sunah adalah jalan yang di tempuh
oleh rasulullah dan para sahabatnya, baik ilmu, keyakinan, ucapan, perbuatan, maupun
penetapan. Para penganut Sunni juga disebut sebagai Ahl as-Sunnah wa'l-
Jamā'ah ("orang-orang dari tradisi dan pengikut (dari Muhammad)")
atau Ahlussunnah untuk singkatnya saja.

As-Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber dariNabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir
(penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’
(pensyari’atan) bagi ummat Islam

b. Ra’yu

Pengertian ra'yu Secara etimologi kata (ra'yu) berasal dari bahasa Arab yang berarti
“melihat”. Menurut Abû Hasan kata ra'yu memiliki arti: pengelihatan dan pandangan dengan
mata atau hati, segala sesuatu yang dilihat oleh manusia.
Ra'yu adalah salah satu cara umat Islam untuk menetapkan suatu hukum dari
permasalahan-permasalahan kontemporer yang belum didapati dalam Alquran dan
Hadis. Manusia memiliki akal yang mampu berfikir secara komprehensif dengan tetap
berpegang teguh pada Alquran dan Hadis sebagai bukti keabsahan hasil ra'yu. Namun
perlu digarisbawahi bahwa akal dan ra'yu memiliki perbedaan dalam pengertiannya.
Akal adalah subjek (alat/pelaku yang melakukan pemikiran), sedangkan ra'yu adalah,
suatu hasil/obyek dari proses pemikiran yang bertujuan untuk mencari
kebenaran/solusi dari suatu hukum yang tidak ada di dalam Alquran dan hadis.
Kata al-ra’yu berasal dari kata ra’a, yara’ ra’yan yang berarti memperlihatkan,
kemudian dari kata tersebut terbentuk kata ra’yun yang jamaknyaarā’u artinya
pendapat pikiran. Dalam Maqayis dikatakan bahwa ahl al-ra’yu adalah orang yang
berpegang kepada akal. Istilah al-ra’yu dalam Ilmu Ushul adalah mencurahkan segala
kemampuan dalam mencari hukum syara’ yang bersifat zanni, dengan menggunakan
rasio yang kuat dan yang bersangkutan merasa tidak mampu lagi mengupayakan lebih
dari itu.

E. Penggunaan ra’yu di dalam memahami al-qur’an dan assunah

 Batas penggunaan Ra’yu

Ra`yu dapat digunakan dalam dua hal, yaitu :

1. Dalam hal yang tidak ada hukumnya sama sekali.

2. Dalam hal yang sudah diatur dalam nash tetapi penunjukannnya terhadap hukum tidak
secara pasti.

 Kekuatan Hukum Hasil Temuan Nalar

Hukum hasil ra`yu mujtahid kekuatannya bersifat relatif (zhanni), karena tidak dapat
dipastikan oleh mujtahid itu sendiri bahwa itulah sebenarnya hukum Allah, karena Allah
tidak pernah menjelaskan demikian.

 Penggunaan Ra`yu sebagai sumber hukum Islam

Bentuk penggunaan ra`yu diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Dilihat dari segi orang yang menggunakannya, dibagi dua :

a. Penggunaan ra`yu secara kolektif atau ijtihad jama`i, yaitu hukum yang ditetapkan
didasarkan pada hal penalaran yang sama.
b. Penggunaan ra`yu secara perorangan ( ijtihad fardi ), yaitu apa yang dicapaioleh seseorang
mujtahid tentang hukum suatu masalah belum tentu sama dengan apa yang dapat dicapai oleh
mujtahid lain mengenai masalah yang sama.

Dari dua cara penggunaan ra`yu diatas, yang terkuat dari segi kebenaran atau terhindar dari
kesalahan adalah ijtihad jama`i. Cara penggunaan ijtihad jama`i disebut juga ijma`.

2. Dilihat dari segi ada tidaknya dasar rujukan ra`yu itu kepada nash al Qur`an atau Sunnah :

a. Ra`yu yang merujuk pada nash Qur`an dan Sunnah.

b. Ra`yu yang tidak merujuk pada nash Qur`an dan Sunnah

Yang terkuat dari segi pencapaian kebenaran dan terhindar dari kesalahan adalah ra`yu
yang merujuk pada nash al Qur`an dan Sunnah. Penggunaan ra`yu ini disebut qiyas.

Ijma dan qiyas disepakati ulama sebagai dalil yang kuat dalam penemuan hukum fiqh
dalam al-Qur`an dan Sunnah yang tidak menjelaskan hukumnya secara pasti.

1 Metode Penentuan Hukum Menggunakan Ra`yu

a) Ijma’

1. Definisi Ijma’

Ijma’ merupakan kesepakatan umat setelah wafatnya Rasulullah terhadap suatu kasus
hukum dalam suatu masa. Jadi yang menentukan suatu hukum sudah menjadi Ijma’ atau
belum adalah para mujtahid (ahli- ijtihad) yang berkompeten dalam bidangnya. Pada
dasarnya ijma merupakan dalil rasional. Definisi klasik dan syarat esensial ijma’ sebagai
mana ditetapkan oleh ulama-ulama ushul, adalah sangat jelas bahwa tak kurang dari
konsensus universal sarjana-sarjana muslim dapat dianggap sebagai ijma’ yang meyakinkan.
Oleh karena itu tidak ada sedikitpun ruang bagi ketidaksepakatan atau ikhtilaf mengenai
konsep ijma’.

Secara etimologi ijma’ berasal dari kata Ajma’a, yujmi’u, ijma’atan, yang artinya
“bersetuju, bersatu pendapat, bersepakat”.dalam hal ini dapat di lihat dalam Al-Qur’an Surat
yusuf (12): 15:

Artinya: “Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur
(lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada
Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini,
sedang mereka tiada ingat lagi."

Adapun pengertian ijma dalam istilah teknis hukum atau istilah Syar’i terdapat perbedaan
rumusan. Perbedaan rumusan itu dapat di lihat dalam beberapa rumusan atau definisi ijma
sebagai berikut:

a. Al Ghazali, ijma` yaitu kesepakatan umat Muhammad SAW secara khusus atas sesuatu
urusan agama

b. Al Midi, ijma` yaitu kesepakatan sejumlah ahlul halli wal `Aqd ( para ahli yang kompeten
dalam mengurusi umat ) dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus.
Atau kesepakatan para mukallaf dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu
kasus.

c. Ulama Syi`ah, ijma` yaitu kesepakatan suatu komunitas karena kesepakatan mereka dalam
menetapkan hukum syara`.

d. Al Nazham, ijma` yaitu setiap perkataan yang hujjahnya tidak dapat dibantah.

e. Abdul Wahab Khallaf, ijma` yaitu consensus semua mujtahid muslim pada suatu masa
setelah Rasul wafat atassuatu hukum syara` mengenai suatu kasus.

f. Mayoritas ahli Ushul Fiqih, ijma’ adalah kesepakatan seluruh para mujtahid di kalangan
umat islam pada suatu masa ketika Rasulullah SAW wafat atas hukum syara’ mengenai suatu
kejadian.

2. Ijma’ sebagai sumber hukum

Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma` menempati salah satu dalil hukum
setelah al Qur`an dan Sunnah. Jadi, ijma` dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib
dipatuhi umat Islam.

Yang dimaksud dengan fungsi ijma’ disini adalah kedudukannya dihubungkan dengan dalil
lain, berupa nash atau bukan. Memang pada dasarnya ijma’ itu, menurut ulama ahlu sunnah
mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum dengan sendirinya. Dalam hal ini terlihat ada
dua pandangan yang berbeda mengenai kedudukan dan fungsi ijma’, dilihat dari sudut
pandangan masing-masing kelompok.
Dalam pandangan ulama yang berpendapat bahwa untuk kekuatan suatu ijma’ tidak
diperlukan sandaran atau rujukan kepada suatu dalil yang kuat, ijma’ itu berfungsi
menetapkan hukum atas dasar taufiq Allah yang telah dianugerahkan kepada ulama yang
melakukan ijma’ tersebut. Dalam pandangan ini tampak bahwa kedudukan dan fungsi ijma’
itu bersifat mandiri.

Dalam pandangan ulama yang mengharuskan adanya sandaran untuk suatu ijma’, dalam
bentuk nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah) atau qiyas, maka ijma’ itu berfungsi untuk
meningkatkan kualitas dalil yang dijadika sandaran itu. Melalui ijma’, dalil yang asalnya
lemah atau zhanni mampu menjadi dalil yang kuat atau Qath’i, baik dalil itu berbentuk Nash
atau qiyas.

3. Rukun- Rukun Ijma’

Dalam definisi ijma telah disebutkan bahwa ia adalah : kesepakatan para mujtahid dari
umat islam pada suatu masa atas hukum syara’ tertentu. Dari definisi tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa ada 4 rukun ijma, antara lain:

a. Adanya sejumlah orang yang berkualitas sebagai mujtahid pada saat terjadinya suatu
peristiwa karena sesungguhnya kesepakatan tidak mungkin dapat tergambar kecuali pada
sejumlah pendapat, dimana masing-masing pendapat sesuai dengan pendapat lainya. Maka
kalau sekiranya pada suatu waktu tidak terdapat sejumlah para mujtahid, Misalnya tidak
ditemukan seorang mujtahid sama sekali, atau hanya di temukan seorang mujtahid, maka
tidak akan terjadi ijma’ pada waktu itu. Oleh karena inilah, maka tidak ada ijma’ pada masa
Rasulullah SAW, karena beliau sendiri yang menentukan hukum pada masa itu. Jumhur
ulama berpendapat bahwa suara orang awam tidak diperhitungkan untuk melangsungkan
suatu ijma`.

b. Adanya kesepakatan para mujtahid terhadap suatu hukum mengenai suatu kasus atau
peristiwa pada waktu terjadinya

c. Kesepakatan itu tercapai setelah terlebih dahulu masing-masing mujtahid mengemukakan


pendapatnya sebagai hasil dari usaha ijtihadnya, baik penyampaian pendapat masing-masing
mujtahid itu berbentuk ucapan, misalnya ia memberikan fatwa mengenai peristiwa itu, atau
berbentuk perbuatan, misalnya ia memberikan suatu putusan mengenainya baik masing-
masing dari mereka mengemukakan pendapatnya sendiri atau mereka menemukakan
pendapat mereka secara kolektif, misalnya para mujtahid di dunia Islam mengadakan suatu
konggres pada suatu masa terjadinya suatu peristiwa dan peristiwa itu dihadapkan kepada
mereka, setelah mereka bertukar orientasi pandangan, maka mereka seluruhnya sepakat atas
satu hukum mengenainya.

d. Semua mujtahid itu sepakat tentang hukum suatu masalah. Jika kebanyakan dari mereka
sepakat, maka kesepakatan yang terbanyak itu tidak dapat menjadi ijma’, meskipun amat
sedikit jumlah mujtahid yang menentang dan besar sekali jumlah mujtahid yang sepakat
karena sepanjang masih dijumpai suatu perbedaan pendapat, maka masih ditemukan
kemungkinan benar pada salah satu pihak dan kekeliruan pada pihak lainya. Oleh karena itu,
maka kesepakatan jumlah terbanyak tidak menjadi hujjah syar’iyah yang pasti dan meningkat
sehingga menurut mayoritas ulama, ijma’ ini tidak dapat dijadikan hujjah. Selain itu, ijma’
dilakukan tanpa memandang negeri mereka, kebangsaan mereka, ataupun kelompok mereka.
Maka kalau seandainya para mujtahid Makkah saja atau Madinah saja yang berijma’ atau
kalangan dari ahli bait saja, maka ijma’ ini tidak sah menurut syara’.

4. Macam-macam ijma

Adapun ijma ditinjau dari segi cara menghasilkanya, maka ia ada dua macam yaitu:

a. Ijma Sharih, yaitu: kesepakatan para mujtahid suatu masa atas hukum suatu kasus, dengan
cara masing-masing dari mereka mengemukakan pendapatnya secara jelas melalui fatwa atau
putusan hukum. Maksudnya bahwasannya setiap mujtahid mengeluarkan pernyataan atau
tindakan yang mengungkapkan pendapatnya secara jelas. Ijma’ ini merupakan ijma’ yang
hakiki dan ini merupakan hujjah syar’iyah dalam madzhab jumhur ulama. Dilalahnya bersifat
qath’i.

b. Ijma Sukuti, yaitu: sebagian dari mujtahid suatu masa mengemukakan pendapat mereka
secara jelas mengenai suatu kasus baik melalui fatwa atau suatu putusan hukum, dan sisa dari
mereka tidak memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut, baik merupakan persetujuan
terhadap pendapat yang telah dikemukakan atau menentang pendapat itu. Ijma` sukuti
pengaruhnya terhadap hukum bersifat zhanni. Imam Syafi`i dan pengikutnya berpendapat
ijma` sukuti adalah bukan ijma` yang dipandang bukan sebagai sumber hukum, dengan
sendirinya tidak mempunyai kekeuatan hukum yang mengikat. Imam Ahmad, ulama
Hanafiyah, sebagian ulama Syafi`i, dan al Jubbai berpendapat bahwa ijma` sukuti adalah
ijma` yang mempunyai kekeuatan hukum yang mengikat sebagai hujjah. Dengan syarat
berlalunya masa penyampaian, semua mujtahid telah meninggal, dan tidak ada sanggahan.
Abu Hasyim berpendapat ijma` sukuti bukan ijma`, tetapi dapat menjadi hujjah dalam
menetapkan hukum. Jumhur menyatakan bahwa ijma’ ini tidak dapat dijadikan hujjah.

c. Kesepakatan dalam prinsip, yaitu para mujtahidberbeda pendapat dan menghasilkan


banyak pendapat yang berkembang namun mereka sepakat dalam satu hal tertentu yang
merupakan prinsip. Kesepakatan yang prinsip ini dapat dijadikan hujjah dan tidak boleh
mujtahid mengemukakan pendapat yang menyalahi pendapat orang banyak itu.

Dari segi penerimaan ulama terhadap ijma`, ulama membaginya :

1. Ijma` kaum muslimin, yaitu ijma` yang menyeluruh dan merata dilaksanakan oleh umat

Islam.

2. Ijma` para sahabat, ijma` ini dapat diterima semua pihak.

3. Ijma` ahlul `ilmu dalam segala masa, adalah pengertian ijma` secara umum.

5. Pendapat Ulama Tentang Persyaratan Ijma`

a. Kuantitas anggota ijma

Imam Haramain menetapkan kehujjahan ijma` melalui dalil `aqli. Ia berpendapat bahwa
jumlah ulama mujtahid untuk terlaksanya ijma` adalah jumlah yang mencapai batas
mutawatir, karena kehujjahan ijma` ditentukan terhindarnya dari kesalahan.

Menurut al Midi dan ulama Hambali tidak mensyaratkan jumlah mutawatir untuk terlaksanya
ijma`, karena kehujjahan suatu ijma`ditentukan oleh dalil naqli bukan dalil `aqli.

b. Berlalunya masa

Telah dijelaskan bahwa ijma` itu berlangsung berdasarkan kesepakatan ulama mujtahid
dalam suatu masa tertentu. Sebagian ulama menyatakan syahnya ijma` tidak perlu
mensyaratkan berlalunya masa.

Imam Ahmad Ibn Hambal, Ustadz Abu Bakar Ibn Fauraq, dan sebagian kecil ulama
Syafi`iyah berpendapat bahwa berlalunya masa atau punahnya peserta ijma` merupakan
syarat untuk kekuatan hujjah suatu ijma`.

Jumhur ulama berpendapat bahwa berlalunya masa dan meninggalnya peserta ijma` bukan
syarat kekuatan suatu ijma`, alasannya :
1. Dalil kehujjahan ijma` itu berasal dari al-Qur`an dan Sunnah. Keduanya tidak mewajibkan
berlalunya masa.

2. Hakikat ijma` itu adalah kesepakatan. Kekuatan hukum terletak pada kesepakatannya itu.

3. Para tabi`in berhujjah dengan ijma` pada masa generasi sahabat masih ada.

4. Mempersyaratkan berlalunya masa bagi kekuatan ijma` akan menyebabkan tidak


terlaksananya ketentuan hasil ijma` secara mutlak, padahal ia ketentuan yang mengikat.

Sebagian ulama merinci bahwa berlalunya masa dan meninggalnya semua peserta ijma`
merupakan syarat untuk ijma` sukuti, sedangkan untuk ijma` sharih tidak perlu persyaratan
tersebut.

c. Sandaran ijma`

Yaitu dalil yang kuat dalam bentuk nash al Qur`an dan Sunnah, baik langsung maupun tidak.

1. Hampir semua ulama berpendapat bahwa ijma` itu harus menunjuk pada sandaran yang
kuat, bukan hanya berdasar taufik dari Allah SWT. Alasannya, antara lain :

a. Tidak akan tercapai kebenaran tanpa adanya rujukan atau sandaran.

b. Nabi Muhammad tidak menetapkan hukum, kecuali dengan wahyu.

c. Mengemukakan pendapat dalam hal agama tanpa dalil adalah tindakan yang salah.

d. Bila mujtahid dapat menetapkan hukum tanpa sandaran secara perorangan maka tidak

perlu kesepakatan.

e. Produk hukum syar`i bila tidak disandarkan pada dalil, maka tidak diketahui dengan
hukum syara`. Keadaan demikian tidak dapat diterima.

2. Sebagian kecil ulama tidak mempersyaratkan adanya sandaran ijma`, alasannya :

a. Jika ijma` memerlukan sandaran dalil, berarti kekuatan ijma` terletak pada dalil. Ini sama
dengan tidak ada ijma` sebagai dalil syara` yang berdiri sendiri.

b. Cukup banyak ijma` yang tidak menyandarkan diri pada dalil. Contoh ijma` ulama tentang
pengambilan sewa pemandian umum.
Tentang qiyas dan ijtihad dijadikan sandaran ijma` ;

1. Jumhur ulama membolehkan qiyas dan ijtihad dijadikan sandaran ijma`.

2. Ulama Syi`ah dan Daud al Zhahiri berpendapat tidak boleh menjadikan qiyas atau ijtihad
sebagai sandaran ijma`, alasannya :

a) Bentuk qiyas berbeda-beda, pandangan ulama terhadapnya juga berbeda-beda.

b) Para sahabat selalu menetapkan hukum secara ijma` dengan sandaran al Qur`an dan

Sunnah.

3. Sebagian ulama berpendapat qiyas boleh dijadikan sandaran ijma`dengan qiyas yang
mempunyai `illat yang kuat
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sumber hukum Islam terdiri dari:

1. Al-Qur’an: firman Allah s.w.t. yang di turunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. secara
berangsur-angsur melalui malaikat Jibril, sebagai mukjizat dan pedoman hidup bagi umatnya
dan membacanya adalah ibadah. Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang pertama
dan paling utama.

2. As-Sunnah: hal-hal yang datang dari Nabi Muhammad SAW, baik itu berupa ucapan
(fi’liyah), perbuatan (qauliyah), ketetapan (taqririyah), sifat, kelakuan, perjalan hidup baik
sebelum Nabi diangkat menjadi Rasul atau sesudahnya. As-Sunnah merupakan sumber
hukum Islam yang kedua setelah al-Quran dimana ia memiliki fungsi terhadap al-Qur’an
yakni: Bayan Taqriri, Bayan Tasyri’ dan Bayan Tafsir.

3. Ra’yu (nalar): penggalian hukum dari Nash (al-Qur’an dan As-Sunnah) dengan
menggunakan akal pikiran manusia (rasio). Ada 2 metode dalam penggunaan ra’yu, yaitu:

a. Ijma’: kesepakatan seluruh para mujtahid di kalangan umat islam pada suatu masa ketika
Rasulullah SAW wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.

b.Qiyas: mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus
yang ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, dalam hukum yang
ada nashnya, karena persamaan kedua itu dalam illat hukumnya.
DAFTAR PUSTAKA

http://web.if.unila.ac.id/purmanailuswp/2015/05/11/al-quran-sebagai-sumber-hukum-islam/

https://almanhaj.or.id/2263-pengertian-as-sunnah-menurut-syariat.html

https://akurat.co/news/id-903794-read-bukan-cuma-perintah-ibadah-ini-5-pokok-penting-isi-
kandungan-alquran

http://ilma92.blogspot.com/2018/01/al-quran-sunnah-dan-rayu-ijma-dan-qiyas.html

Anda mungkin juga menyukai