Anda di halaman 1dari 29

Filsafat Ilmu

Dosen Pengampuh
Dr. Hasriyanti, S.Si, M.Pd.

Oleh :
Abd Rahmad Maskur
220023301021

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN GEOGRAFI


PASCA SARJANA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2022
Daftar Isi
Halaman Judul.............................................................................................................................i
Kata Pengantar............................................................................................................................ii
Daftar Isi....................................................................................................................................iii
Bab 1 Azaz-azaz Filsafat Ilmu Pengetahuan...............................................................................1
A. Pengertian Filsafat...........................................................................................................2
B. Ciri-ciri Berpikir Filsafat................................................................................................3
C. Beberapa Gaya Berfilsafat..............................................................................................3
D. Bidang Utama Filsafat....................................................................................................3
1. Metafisika..................................................................................................................4
2. Epistemology............................................................................................................6
3. Aksiologi.................................................................................................................11
Bab 2 Azaz-azaz Filsafat ilmu Pengetahuan.............................................................................15
A. Kelahiran dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan.........................................................15
B. Klasinkasi Ilmu Pengetahuan........................................................................................16
C. Filsafat Ilmu..................................................................................................................18
Bab 3 Filsafat Barat dan Perannya Dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan..........................22
1. Rasionalisme.................................................................................................................22
2. Empirisme.....................................................................................................................23
3. Kritisme.........................................................................................................................23
4. Idealisme.......................................................................................................................24
5. Positivism......................................................................................................................24
6. Fenomenologisme.........................................................................................................24
7. Strukturalisme...............................................................................................................24
8. Postmodenisme.............................................................................................................25
9. Non-Aliran....................................................................................................................25

ii
Kata Pengantar
Di dalam era kesejagatan saat ini, paling tidak ada tiga issu yang paling sering muncul dalam
wacana ilmu pengetahuan yaitu demokratisasi, lingkungan hidup dan hak-hak azasi manusia
(HAM). Kebermaknaan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dilepaskan pada sistem
budaya yang dianut oleh suatu masyarakat/ selanjutnya efektifitas suatu sistem bergantung
pada siapa yang mengendalikan sistem tersebut.
Pelanggaran terhadap hak azasi manusia, lingkungan hidup yang salah urus dan demokrasi
yang belum diaplikasikan secara sungguh-sungguh merupakan muara dari sistem kekuasaan,
oleh karena itu diskursus tentang etika politik dan kekuasaan merupakan keniscayaan.
Materi modul filsafat ilmu ini disarikan dari internship dosen filsafat ilmu se-Indonesia hasil
kerjasama Fakultas Filsafat UGM dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia pada bulan agustus 1998, diawali bahasan tentang
azas-azas filsafat, azas-azas ilmu pengetahuan, pemikiran filsafat barat abad pertengahan,
filsafat dewasa ini, dan peranannya dalam perkembangan ilmu pengetahuan, serta logika
sebagai metodologi berpikirfilsafat.
Sebagai bahan kuliah tentu buku ini masfli jauh dari kesempumaan, oleh karena itu
sumbangan pemikiran yang bersifat konstruktif dari para pembaca yang budiman sangat
diharapkan. Semoga buku ini dapat menjadi setitik ilmu dalam pengabdian pada keadilan,
kebenaran, dan kejujuran.

Makassar SubariYanto
Zainal Arifi

iii
BAB I
Azaz-azaz Filsafat Ilmu Pengetahuan
A. Pengertian Filsafat
Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu 3: philosophy, adapun istilah berasal dari bahasa Yunani;
philosophia, yang terdiri atas dua kata; philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik
kepada) dan sophos (hikmah, kebijaksanaan atau kebenaran, pengetahuan, keterampilan,
pengalaman praktis, intelegensi). Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan
atau kebenaran (love is wisdom). Orangnya disebut filosof dalam bahasa Arab disebut failsuf.
Harun Nasution mengatakan bahwa filsafat sebenarnya berasal dari bahasa Arab falsafa
dengan wazan (timbangan) fa'lala, fa'lalah dan fi'lal. Oleh sebab itu, kata benda dari falsafa
seharusnya falsafah dan filsaf. Di dalam kamus Indonesia banyak terpakai kata filsafat,
padahal bukan berasal dari bahasa Arab falsafah dan bukan dari bahasa Inggris philosophy.
Lebih jauh Harun Nasution berpendapat bahwa istilah filsafat berasal dari bahasa Arab
karena orang Arab lebih dulu datang sekaligus mempengaruhi bahasa Indonesia daripada
orang Inggris. Oleh karena itu, kata "filsafat" sebenarnya bisa diterima dalam bahasa
Indonesia. Sebab, sebagian kata Arab yang diindonesiakan mengalami perubahan dalam
huruf vokalnya, seperti masjid menjadi mesjid dan karamah menjadi keramat. Karena itu,
perubahan huruf a menjadi i dalam kata falsafah bisa ditolerir.
Lagi pula, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang
dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai segala yang ada,
sebab, asal, dan hukumnya.
Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam, baik dalam ungkapan maupun titik
tekanannya. Bahkan Hatta dan Langeveld mengatakan bahwa definisi filsafat tidak perlu
diberikan karena setiap orang memiliki titik tekanannya. Bahkan Hatta dan Langeveld
mengatakan bahwa definisi filsafat tidak perlu diberikan karena setiap orang memiliki titik
tekan sendiri dalam definisinya. Oleh karena itu, biarkan saja seseorang meneliti filsafat
terlebih dahulu kemudian menyimpulkan sendiri.
Berdasarkan watak dan fungsinya pengertian dari filsafat dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
1. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan
dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis (arti informal).
2. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang
sangat dijunjung tinggi (arti formal).
3. Filsafat adalah usaha untuk mendapat gambaran keseluruhan, artinya filsafat berusaha
mengkombinasikan hasil bermacam-macam sience dan pengalaman kemanusiaan sehingga
menjadi pandangan konsisten tentang alam (arti spekulatif).
4. Filsafat adalah analisa logis dari bahasa serta penjelasan arti tentang kata dan konsep.
Corak filsafat yang demikian ini dinamakan juga logocentrisme.
5. Filasafat adalah sekumpulan problema yang langsung, perlu mendapat perhatian dari
manusia dan dicarikan jawabannya.

B. Ciri-ciri berpikir filsafat


Berpikir kefilsafatan memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dari bidang ilmu lain.
Beberapa ciri berpikir kefilsafatan yang perlu diketahui antara lain
1. Radikal, artinya berpikir sampai ke akar - akarnya, sehingga sampai pada hakikat atau
subtansi yang dipikirkan.
2. Universal, artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum manusia. Kekhususan
berpikir filsafat menurut Jaspers terletak pada aspek keumumannya.
3. Konseptual, artinya merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman manusia,
misalnya apakah kebebasan itu?
4. Koheren dan konsisten (runtut). Koheren artinya dengan kaidah - kaidah berpikir logis.
Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi.
5. Sistematik, artinya pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling
berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud dan tujuan tertentu.
6. Komprehensif, artinya mencakup atau menyeluruh. Berpikir secara kefilsafatan merupakan
usaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
7. Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas, pemikiran filsafati boleh dikata merupakan
hasil pemikiran yang bebas, yakni bebas dari prasangka - prasangka sosial, historis cultural,
bahkan religious.
8. Bertanggung jawab, artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang yang berpikir
sekaligus bertanggungjawab terhadap hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati
nuraninya.
Kedelapan ciri berpikir kefilsafatan ini menjadikan filsafat cenderung berbeda dengan ciri
berpikir ilmu ilmu lainnya, sekaligus menempatkan kedudukan filsafat sebagai bidang
keilmuan yang netral terutama ciri ketujuh.
C. Beberapa gaya berpikir
Pertama, berfilsafat yang terkait erat dengan sastra. Artinya sebuah karya filsafat dipandang
memiliki nilai-nilai sastra yang tinggi. Contoh: Sartre tidak hanya dikenal sebagai penulis
karya filsafat tetapi juga seorang penulis novel, drama, scenario film.
Kedua, filsafat yang dikaitkan dengan sosial politik. Di sini filsafat sering diidentikkan
dengan praksis politik. Artinya sebuah karya filsafat dipandang memiliki dimensi konsep
Negara. dimensi ideologis yang relevan dengan.
Ketiga, filsafat yang terkait erat dengan metodologi artinya para filsuf menaruh perhatian
besar terhadap persoalan 1 persoalan metode ilmu sebagaimana yang dilakukan oleh
Descrates, Thomas Kuhn, Karl Popper. Descrates mengatakan bahwa untuk memperoleh
kebenaran yang pasti, kita harus memulai dengan meragukan segala sesuatu. Sikap yang
demikian dinamakan skeptic metodis.
Filsafat yang diidentikkan dengan metodologi keilmuan, paling tidak ditandai dengan tiga ciri
sebagai berikut:
a. Kajian filsafat diarahkan pada pencarian dan perumusan ide-ide atau gagasan yang bersifat
mendasar fundamental (fundamental ideas) dalam berbagai persoalan.
b. Pendalaman persoalan -persoalan serta isu-isu fundamental dapat membentuk cara berpikir
yang kritis (critical thought). Pendekatan filsafat dan keilmuan selalu mengutamakan sikap
mental yang netral serta intelektual, mengambil jarak, tidak cepat-cepat memihak pada
kepentingan-kepentingan tertentu.
c. Kajian filsafat secara otomatis akan membentuk mentalitas dan cara berpikir dan
kepribadian yang mengutamakan kebebasan intelektual (intelektual freedom), sikap toleran
terhadap berbagai pandangan dan kepercayaan yang berbeda serta terbatas dari dogmatis dan
fanatisme.
Keempat, berfilsafat yang dikaitkan dengan analisis bahasa, kelompok ini dinamakan mazhab
analitika bahasa dengan tokoh tokohnya antara lain; G.E. Moore dan Bertran Russel.
Kelima, berfilsafat yang dikaitkan dengan menghidupkan kembali pemikiran filsafat di masa
lampau. Di sini aktifitas filsafat mengacu pada penugasan sejarah filsafat.
Keenam, masih ada gaya ber filsafat lain yang cukup mendominasi pemikiran banyak orang,
terutama abad ke-20 ini yakni berfilsafat yang dikaitkan dengan filsafat tingkah laku atau
etika.

D. Bidang utama filsafat


Dari uraian tersebut di atas muncul berbagai istilah teknisi filsafati yang mengandung makna
khas, seperti : substansi, eksistensi, impressi, katagori. Istilah-istilah teknis filsafat muncul
dalam bidang-bidang utama filsafat yakni; metafisika, epistemology dan aksiologi.
1. Metafisika
Metafisika adalah filsafat utama dalam bidang filsafat yang paling utama. Metafisika adalah
cabang filsafat yang membahas persoalan tentang keberadaan (being) atau eksistensi
(exsistance). Archie J. Bahm mengatakan bahwa metafisikan merupakan suatu penyelidikan
pada masalah prihal keberadaan.
Dalam metafisika itu orang berupaya menemukan bahwa keberadaan itu memiliki suatu yang
"kodrati' yakni karakteristik umum sehingga metafisika menjadi suatu penyelidikan ke arah
kodrat eksistensi. Seorang metafisikus cenderung mengarahkan penyeleidikannya pada
karakteristik eksistensi yang universal seperti; katagori.
Istilah metafisika itu sendiri berasal dari Yunani meta ta physika yang dapat diartikan sesuatu
yang ada dibalik atau di belakang benda-benda fisik. Kendatipun demikian Aristoteles sendiri
tidak memakai istilah metafisika, melainkan proto philosophia (filsafat pertama).
Filsafat pertama ini memuat uraian tentang sesuatu yang ada di belakang gejala-gejala fisik
seperti gerak, berubah, hidup, mati. Metafisika dapat didefinisikan sebagai studi atau
pemikiran tentang yang terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau kebenaran. sifat
Aristoteles menyebut beberapa istilah yang maknanya dapat dikatakan setara dengan
metafisika yaitu: filsafat pertama (first philosophy), pengetahuan tentang sebab (knowledge
of cause), studi tentang “ada" sebagai “ada" (the study og being as being), studi tentang ousia
(being), studi tentang hal-hal abadi dan tidak digerakkan (the study of the eternal and
immobile), dan theology. Cristian wolff mengklasifikasikan metafisika sebagai berikut:
1) Metafisika umum (ontology), yakni bidang filsafat yang membicarakan tentang hal "ada"
seperti "being".
2) Metafisika khusus, terdiri dari; a) anthoropology, membicarakan tentang hakekat manusia,
b) cosmology, membicarakan tentang hakekat asal-usul alama semesta, dan c) theology,
membicarakan tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Esa.
Setiap prinsip dinamakan "pertama", sebab prinsip-prinsip itu tidak dapat dirumuskan ke
dalam istilah lain atau melalui hal lain yang mendahuluinya, misalnya istilah "prinsip
pertama" yang digunakan Aristoteles merupakan penjelasan mengenai alam semesta
"penggerakn yang tidak dapat digerakkan" dikatakan menjadi sebab dari segala gerak tanpa
dirinya digerakkan oleh hal ada yang lain. Itu berarti istilah tersebut menjelaskan semua
gerak, tetapi ia sendiri tidak membutuhkan penjelasan tentang dirinya sendiri (Sontaq,
Frederick, 1984:11).

Pertanyaan selanjutnya adalah; apakah metafisika itu ilmu ? Minimal ada dua jawaban yang
akan diperoleh. Pertama, metafisika tidak dapat dikatakan sebagai ilmu, manakal yang
dimaksud dengan ilmu itu sendiri adalah sesuatu yang bersifat pasti (fixed) dan final. Kedua,
metafisika dapat dikatakan sebagai ilmu, manakala yang dimaksud dengan ilmu itu adalah
suatu penyelidikan yang dikaitkan dengan sikap (attitude) dan metode tertentu.
Menurut Bahm (1986:6-7) bahwa suatu kegiatan baru dapat dikatakan sebuah ilmu manakala
mencakup enam karakteristik;1) problem (problems), 2) sikap (attitude), 3) metode (method),
4) aktifitas (problems), 2) sikap (attitude), 3) metode (method), 4) aktifitas (activity), 5)
pemecahan (solution), dan 6) pengaruh (effect).
Problem dalam arti bahwa suatu kegiatan ilmiah haruslah bertitik tolak dari persoalan-
persoalan tertentu yang menarik perhatian seseorang. Tanpa suatu problem tak aka nada ilmu.
Sikap ilmiah mengakibatkan rasa ingin tahu (curiosity), keinginan pada keyakinan yang
tertunda sampai seluruh bukti diperoleh, terus menerus berhadapan dengan rintangan yang
tak dapat begitu saja diatasi. Sikap dalam arti orang yang tertarik pada persoalan tertentu
harus memiliki sikap tertentu pula dalam menghadapi persoalan itu tadi.
Metode dalam arti bahwa persoalan yang menarik perhatian itu akan diselesaikan menurut
cara-cara tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan. Metode haruslah menyesuaikan diri
dengan obyek material, bukan sebaliknya, kata Popper.
Aktivitas artinya seluruh proses yang terjadi dalam menghadapi persoalan, merupakan suatu
kegiatan yang jelas dan terencana. Karena aktivitas ilmu merupakan dasar untuk membangun
ilmu; dan kemajuan pengetahuan ilmiah sangat tergantung pada kemampuan (ability),
keterampilan (skill), usaha (effors) dan kesadaran moral (moral conscientiousness) sang
ilmuan sendiri
Pemecahan berangkat dari hipotesis atau teori yang dibentuk sebagai prinsip umum atau
hukum-hukum. Ketika hipotesis tidak terbukti secara langsung, maka jalannya hipotesis atau
pemecahan tentative merupakan suatu yang dipostulasikan dan diujikan.
Pengaruh, pada akhirnya merupakan suatu bagian dari suatu rangkaian ilmiah yang
memperlihatkan sejauhmana pengaruh ilmu terhadap kehidupan masyarakat, dan iika
tindakan masyarakat berbeda dari biasanya, karena mereka percaya dan bertindak atas dasar
kesimpulan yang dikemukakan oleh para ilmuwan, maka setiap perbedaan sikap itu
merupakan konsekuensi praktis dari masing-masing ilmu.
Beberapa peran metafisika dalam ilmu pengetahuan yaitu : Pertama, metafisika mengajarkan
cara berpikir yang cermat dan tidak kenal lelah dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Sebab seorang metafisika selalu mengembangkan pemikirannya untuk menjawab persoalan-
persoalan yang bersifat enigmatic (teka teki). Persoalan-persoalan semacam itu menuntut alur
pikir yang serius dan sungguh-sungguh.
Kedua, metafisika menuntut orisinalitas yang sangat diperlukan bagi ilmu pengetahuan.
Artinya, seorang metafisikus senantiasa berupaya menemukan hal-hal baru yang belum
pernah diungkap sebelumnya. Sikap semacam ini menuntut kreativitas dan rasa ingin tahu
yang besar terhadap suatu permasalahan Pematangan sikap semacam ini akan mendidik
seorang untuk selal berkiprah pada lingkup penemuan (contest of discovery), bukan lingkup
pembenaran semata (contects of justification).
Ketiga, metafisikan memberikan bahan pertimbangan yang matang bagi pengembangan ilmu
pengetahuan, terutama pada wilayah presupposition (pranggapan praanggapan). Sehingga
persoalan yang diajukan memiliki landasan berpijak yang kuat
Keempat, metafisika juga membuka peluang bagi terjadinya perbedaan visi di dalam melihat
realitas, karena tidak ada kebenaran yang benar-benar absolute. Hal ini akan terjadinya visi
ilm pengetahuan berkembang menurut remifikasi (percabangan yang sangat kaya dan
beraneka ragam), sebagaimana yang terliaht dalam perkembangan ilmu pengetahuan dewasa
ini.

2. Epitemologi
Bidang kedua filsafat adalah epistemology atau teon pengetahuan. Epistemology berasal dari
Yunani "episteme" dan "logos". "Episteme" artinya pengetahuan (knowledge), "logos" artiny
teori. Dengan demikian epistemology secara etimologi berarti teon pengetahuan. Istilah-
istilah lain yang setara dengan epistemology adalah :
a) Kriteriologi, yakni cabang filsafat yang membicarakan ukuran benar atau tidaknya ilmu
pengetahuan.
b) Kritik Pengetahuan, yakni pembahasan mengenai pengetahuan secara kritis.
c) Gnosiology, yaitu perbincangan mengenai pengetahuan yang bersifat ilahiah (gnosis).
d) Logika material, yaitu pembahasan logis dari segi isinya, sedangkan logika formal lebih
menekankan pada segi bentuknya (Soemargono, 1987:5). Obyek formalnya adalah hakikat
pengetahuan. Setiap filsuf menawarkan aturan yang cermat dan terbatas untuk menguji
berbagai tuntutan lain yang menjadikan kita dapat memiliki pengetahuan, tetapi setiap
perangkat aturan harus benar-benar mapan. Sebab definisi tentang "kepercayaan",
"kebenaran" merupakan problem yang tetap dan terus menerus ada, sehingga teori
pengetahuan tetap merupakan suatu bidang utama dalam penyelidikan utama dalam
penyelidikan filsafat (Sontag, 1984:11).
Persoalan-persoalan penting yang dikaji dalam epistemology berkisar pada masalah; asal-usul
pengetahuan, peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan, hubungan antara pengetahuan
dengan keniscayaan, hubungan antara pengetahuan dengan kebenaran, kemungkinan
skpetisme universal, dan bentuk-bentuk perubahan pengetahuan yang berasal dari
konseptualisasi baru mengenal dunia. Semua persoalan tersebut di atas terkait dengan
persoalan-persoalan penting filsafat seperti; kodrat kebenaran, kodrat pengalaman dan makna
(Simon, 1994;123).
Semua pengetahuan hanya dikenal dan ada di dalam pikiran manusia, tanpa pikiran
pengetahuan tak akan eksis. Oleh karena itu keterkaitan antara pengetahuan dengan pikiran
merupakan sesuatu yang kodrat.
Menurut Bahm (1995:127) terdapat delapan hal penting yang berfungsi membentuk struktur
pikiran manusia, yaitu
a) Mengamati (observers); pikiran berperan dalam mengamati obyek obyek. Dalam
melaksanakan pengamatan terhadap obyek itu, maka pikiran haruslah mengandung
kesadaran. Kendatipun demikian pikiran seperti; pikiran bawah sadar (subconscious mind),
pikiran tanpa sadar (unconscious mind) dan berbagai level kejiwaan lainnya.
Kesadaran adalah suatu karakteristik atau fungsi pikiran. Kesadaran jiwa (consciousness) ini
melibatkan dua unsur penting, yakni kesadaran untuk mengetahui sesuatu (awareness) dan
menampakkan sesuatu obyek (appearance). Kodrat kesadaran untuk mengetahui sesuatu dan
menampakkan suatu obyek ini merupakan unsur hakiki dalam pengetahuan intuisi. Intuisi
senantiasa hadir dalam kesadaran. Sebuah pikiran mengamati apa saja yang Nampak. Hal -
hal yang diamati tadi disebut obyek. Pengamatan acapkali timbul dari rasa ketertarikan pada
obyek. Dengan demikian pengamatan ini melibatkan pula fungsi-fungsi pikiran lain.
b) Menyelidiki (inquires); ketertarikan pada obyek dikondisikan oleh jenis - jenis obyek yang
tampil. Obyek - obyek secara kodrati merupakan suatu cara penampakan, cara mereka
dipersepsi. Dikonsepsi, diingat, diantisipasi, baik secara sederhana maupun secara kompleks,
dinamika atau statikanya, perubahan atau ketetapannya, atau berkorelasi atau interelasi
dengan obyek obyek yang lain. Cara tumbuh dan berkembangnya obyek obyek tersebut, cara
kemungkinannya digunakan, konitasi nilai-nilai yang dikandungnya dan berbagai signifikansi
khusus, serta apakah obyek obyek itu melibatkan ungkapan ungkapan linguistic atau tidak.
Tenggang waktu atau durasi minat seseorang pada obyek itu sangat tergantung pada "daya
tariknya". Kehadiran dan durasi suatu minat biasanya bersaing dengan minat - minat lain,
sehingga paling tidak seseorang memiliki banyak minat pada perhatian yang terarah.
Minat minat ini ada dalam banyak cara. Ada yang dikaitkan dengan kepentingan jasmaniah,
permintaan lingkungan, tuntutan masyarakat, tujuan-tujuan pribadi, konsepsi diri, rasa
tanggung jawab, rasa kebebasan bertindak, dan lain lain. Minat terhadap obyek cenderung
melibatkan komitmen, kadangkala komitmen ini hanya merupakan kelanjutan atau menyertai
pengamatan terhadap obyek. Minatlah yang membimbing seseorang secara alamiah untuk
terlibat ke dalam pemahaman pada obyek - obyek.
c) Percaya (believes); manakakla suatu obyek muncul dalam suatu kesadaran. Biasanya
obyek - obyek itu diterima sebagai obyek yang menampak. Kata percaya biasanya
dilawankan dengan keraguan. Sikap menerima sesuatu yang menampak sebagai pengertian
yang memadai setelah keraguan, dinamakan kepercayaan. Orang yang mengembangkan rasa
keraguan dalam menerima kebenaran suatu obyek dinamakan "skeptikus".
d) Hasrat (desires); kodrat hasrat ini mencakup kondisi - kondisi biologis. psikologis, dan
interaksi dialetik antara tubuh dan jiwa. Jika pikiran dibutuhkan untuk aktualisasi hasrat,
maka kita dapat mengatakannya sebagai hasrat pikiran. Tanpa pikiran dibutuhkan untuk
aktualisasi hasrat, maka kita dapat mengatakannya sebagai hasrat pikiran. Tanpa pikiran tak
mungkin ada hasrat. Beberapa hasrat muncul dari kebutuhan jasmaniah, nafsu makan,
minum, istirahat, dan lain-lain. Beberapa hasrat bisa juga timbul dari pengertian yang lebih
tinggi seperti; hasrat diri, keinginan pada obyek - obyek, pada orang lain, kesenangan pada
binatang, tumbuh-tumbuhan, dan proses interaktif.
Hasrat juga timbul dari ketertarikan pada tindakan, pengaruh, pengendalian. Ketertarikan
pada kesenangan (melalui makan, belajar, bermain), dalam melupakan penderitaan (rasa
lapar, ketertutupan, ketidaktahuan). Hasrat dapat muncul dari ketertarikan pada kehormatan,
penghargaan, reputasi dan rasa keamanan. Hasrat biasanya melibatkan beberapa perasaan
puas, frustasi dan berbagai respon terhadap perasaan tersebut.
e) Maksud (intends); kendatipun sescorang memiliki maksud ketika akan mengobservasi,
menyelidiki, mempercayai dan berhasrat, namun sekaligus perasaannya tidak berbeda atau
bahkan terdorong ketika melakukannya. Perubahan kehendak dari intensitas minimal
kemaksimal, dari keinginan menerima hal-hal yang menampakkan akan menimbulkan
pengaruh juga.
f) Mengatur (organics): setiap pikiran adalah sesuatu organism yang teratur dalam diri
seseorang. Pikiran mengatur melalui kesadaran yang sudah menjadi. Kesadaran adalah suatu
kondisi dan fungsi mengetahui secara bersama. Pikiran mengatur melalui intuisi yaki melalui
kesadaran menampakkan dalam setiap kehadiran. Pikiran mengatur manakala ia mengatasi
setiap kehadiran. Pikiran mengatur manakala ia mengatasi setiap kehadiran melalui "gap"
ketidaktahuan dalam menampakkan untuk menghasilkan kesadaran lebih lanjut seperti rasa
bangun tidur.
Pikiran mengatur melalui panggilan untuk memunculkan obyek, dan berperanserta dalam
pembentukan obyek - obyek ini dari sesuatu yang mendorong untuk diatur melalui otak.
Pikiran mengatur melalui pengingatan dan mendukung penampakan pada obyek - obyek yang
hadir, minat dan proses. Pikiran mengatur melalui pengantisipasian, peramalan, dan
menjadikan kesadaran terhadap obyek - obyek yang diramalkan. Pikiran mengatur melalui
proses generalisasi, yaitu dengan mencatat kesamaan diantara berbagai obyek dan
menyatakan dengan tegas tentang kesamaan itu.
g) Menyesuaikan (adapts); menyesuaikan pikiran - pikiran sekaligus melalui pembatasan
pembatasan yang dibebankan pada pikiran melalui kondisi keberadaan yang tercakup dalam
otak dan tumbuh di dalam fisik, biologis, lingkungan sosial cultural dan keuntungan yang
terlihat pada tindakan, hasrat, dan kepuasan.
Kehidupan teridri atas kesiapan untuk menghadapi persoalan secara terus menerus dan
mencoba untuk memecahkannya. Beberapa solusi memperlihatkan rasa kepuasan selama
beberapa waktu. Akibatnya muncul kebiasaan, adat, dan intuisi dalam masyarakat. Beberapa
solusi mungkin hanya memuaskan sebagian, atau masa yang pendek, tetapi sebagian yang
lain mungkin dapat membuat frustasi, atau untuk waktu yang lebih panjang. Bahkan ada
solusi yang keseluruhannya menimbulkan frustasi.
h) Menikmati (enjoys); pikiran - pikiran mendatangkan keasyikan. Orang yang asyik
menekuni suatu persoalan, ia akan menikmati dalam pikirannya.

Perbincangan penting dalam epistemology juga terkait dengan jenis jenis pengetahuan. Paling
tidak ada dua macam pengetahuan, yaitu pengetahuan ilmiah dan pengetahuan non-ilmiah.
Pengetahuan ilmiah memiliki beberapa ciri pengenal sebagai berikut:
a) Berlaku umum, artinya jawaban atas pertanyaan apakah sesuatu hal itu layak atau tidak
layak, tidaklah tergantung pada faktor - subyektif. faktor
b) Mempunyai kedudukan mandiri (otonom), artinya meskipun faktor faktor di luar ilmu juga
ikut berpengaruh, tetapi harus diupayakan di luar ilmu juga ikut berpengaruh, tetapi harus
diupayakan agar tidak menghentikan pengembangan ilmu secara mandiri.
c) Mempunyai dasar pembenaran, artinya cara kerja ilmiah diarahkan untuk memperoleh
derajat kepastian sebesar mungkin.
d) Sistematik, artinya ada system dalam susunan pengetahuan dan dalam cara
memperolehnya.
e) Intersubyektif, artinya kepastian pengetahuan ilmiah tidaklah didasarkan atas intuisi -
intuisik serta pemahaman - pemahaman secara subyektif, melainkan dijamin oleh sistemnya
itu sendiri.

Pengetahuan merupakan suatu aktifitas yang dilakukan untuk memperoleh kebenaran..


pengetahuan dipandang dari jenis pengetahuan yang dibangun, dapat dibedakan sebagai
berikut :
a) Pengetahuan biasa (ordinary knowledge/common sense knowledge). Pengetahuan seperti
ini bersifat subyektif, artinya amat terikat pada subyek yang mengenal. Dengan demikian,
pengetahuan jenis pertama ini memiliki sifat selalu benar, sejauh sarana untuk memperoleh
pengetahuan itu bersifat normal atau tidak ada penyimpangan.
b) Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan obyek yang khas atau
spesifik dengan menerapkan metodologis yang khas pula, artinya metodologi yang telah
mendapatkan kesepatan diantara para ahli yang sejenis. Kebenaran yang terkandung dalam
pengetahuan ilmiah bersifat relative, karena kandungan kebenaran jenis pengetahuan ilmiah
selalu mendapatkan revisi dan diperkaya oleh hasil penemuan yang mutakhir. Kebenaran
dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian
yang paling akhir dan mendapatkan persetujuan (agreement) oleh para ilmuan sejenis.
c) Pengetahuan filsafati, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi
pemikiran filsafati. Sifat pengetahuan ini mendasar dan menyeluruh dengan model pemikiran
yang analitis, kritis dan spekulatif. Sifat kebenarannya adalah absolute intersubjektif.
Maksudnya ialah nilai kebenaran yang terkandung pada jenis pengetahuan filsafat selalu
merupakan pendapatan yang melekat pada pandangan dari seorang filsuf serta selalu
mendapatkan pembenaran dari filsuf yang lain yang menggunakan metodologi pemikiran
yang sama pula.
d) Pengetahuan agama, yaitu jenis pengetahuan yang didasarkan pada keyakinan dan ajaran
agama tertentu. Pengetahuan agama memiliki sifat dogmatis, artinya pernyataan dalam suatu
agama selalu didasarkan pada keyakinan yang digunakan untuk memahaminya itu. Implikasi
makna dari kandungan kitab suci itu dapat berkembang secara dinamik sesuai dengan
perkembangan. Waktu, tetapi kandungan maksud dari ayat kitab suci itu tidak dapat diubah
dan sifatnya absolut.
Pengetahuan dipandang atas dasar criteria karakteristiknya dapat dibedakan atas:
a) Pengetahuan indrawi, yaitu jenis pengetahuan yang didasarkan atas sense (indera) atau
pengalaman manusia sehari-hari.
b) Pengetahuan akal-budi, yaitu jenis pengetahuan yang didasarkan atas sense (indera) atau
pengalaman manusia sehari-hari.
c) Pengetahuan intuitif, jenis pengetahuan yang memuat pemahaman secara cepat. Intuisi
menurut Archie Bahm adalah nama yang kita berikan pada cara pemahaman kesadaran ketika
pemahaman itu berwujud penampakan langsung, la menegaskan bahwa tidak ada
pengintuisian tanpa melibatkan kesadaran, demikian pula sebaliknya
d) Pengetahuan kepercayaan atau pengetahuan otoratif, yaitu jenis pengetahuan yang
dibangun atas dasar kredibilitas seorang tokoh atau sekelompok orang yang dianggap
professional dalam bidangnya.

3. Aksiologi
Bidang utama ketiga adalah aksiologi, yang membahas tentang nilai. Istilah aksiologi berasal
dari kata axios dan logos. Axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal,
teori. Aksiologi artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteris dan status metafisik
dari nilai dalam pemikiran filsafat Yunani, studi mengenai nilai ini mendepan dalam
pemikiran Plato mengenai "idea" tentang kebaikan, atau yang lebih dikenal dengan Summum
Bonum.
Tokoh abad pertengahan, Thomas Aquinas, membangun pemikiran tentang nilai dengan
mengidentifikasi filsafat Aristoteles tentang nilai tertinggi dengan penyebab final (causa
prima) yaitu Tuhan Yang Maha Esa sebagai keberadaan kehidupan, keabadian, dan kebaikan
tertinggi. Pemikir zaman modern, Spinoza memandang nilai sebagai didasarkan pada
metafisik, berbagai nilai diselidiki secara terpisah dari ilmu pengetahuan dengan moral,
estetik, dan religious. Dalam pandangan Hegel; moralitas seni, agama, dan filsafat dibentuk
di atas dasar proses dialetik.

Problema utama aksiologi (Runes, 1979:32-33) berkaitan dengan empat faktor penting
sebagai berikut :
Pertama, kodrat nilai berupa problem mengenai; apakah nilai itu berasal dari keinginan
(Voluntarism: Spinoza), kesenangan (Hedonisme: Epicurus, Bentham, Meinong),
kepentingan (Perry), preferensi (Martinea), keinginan rasio murni (Kant), pemahaman
mengenai kualitas terseir (Santajaya), pengalaman sinoptik kesatuan kepribadian
(Personalisme:Green), berbagai pengalaman yang mendorong semangat hidup (Nieztsche),
relasi benda-benda sebagai sarana untuk mencapai tujuan, atau konsekuensi yang sungguh -
sungguh dapat dijangkau (Pragmatisme:Deway).
Kedua, jenis-jenis nilai menyangkut perbedaan pandangan antara nilai intrinsic, ukuran untuk
kebijaksanaan nilai itu sendiri, nilai-nilai instrumental yang menjadi penyebab ( baik barang-
barang ekonomis atau peristiwa-peristiwa alamiah) mengenai nilai-nilai instrinsik).
Ketiga, kriteria nilai, artinya ukuran untuk menguji nilai dipengaruhi sekaligus oleh teori
psikologi dan logika. Penganutnya hedonist menemukan ukuran bahwa ukuran nilai terletak
pada sejumlah kenikmatan yang dilakukan oleh seseorang (Aristippus) atau masyarakat
(Bentham). Penganut institusionist menonjolkan suatu wawasan yang paling akhir dalam
keutamaan. Beberapa penganut idealist mengakui system objektif norma-norma rasional atau
norma-norma ideal sebagai kriteris (Plato). Seorang penganut naturalist menemukan
keungguulan biologis sebagai ukuran standar. yang
Keempat, status metafisik nilai mempersoalkan tentang bagaimana hubungan antara nilai
terhadap fakta - fakta melalui ilmu-ilmu kealaman (Koehler), kenyataan terhadap keharusan
yang diselidiki (Lotze) pengalaman manusia tentang nilai pada realitas kebebasan manusia
(Hegel).

Ada tiga jawaban penting yang diajukan dalam persoalan status metafisika nilai yaitu:
a) Subyektifitas menganggap bahwa nilai merupakan sesuatu yang terikat pada pengalaman
manusia seperti halnya hedonism, naturalism, dan positivisme.
b) Objektifitas logis menganggap bahwa nilai merupakan hakikat atau subsistensi logis yang
bebas dari keberadaan yang diketahui. Tanpa status eksistensi atau tindakan dalam realistis.
c) Obyektifitas metafisik menganggap bahwa nilai norma adalah integral dan unsur-unsur
aktif kenyataanya metafisik seperti yang dianut theism, absolute, realism.

Salah satu cabang aksiologi yang banyak membahas masalah nilai nilai atau baik buruk
adalah bidang etika. Etika mengandung tiga pengertian :
a) Kata etika biasa dipakai dalam arti nilai-nilai atau norma-norma moral yang menjadi
pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
b) Etika berarti kumpulan azas atau nilai norma. Misalnya kode etik.
c) Etika merupakan ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika baru menjadi ilmu bila
kemungkinan - kemungkinan etis (azas - azas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik)
yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat - seringkali tanpa disadari - menjadi bahan
refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika sama dengan filsafat moral
(Bertens, 1992:6).
Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tingkah laku moral dapat dihampiri berdasarkan
atas tiga macam pendekatan, yaitu : etika deskriptif, etika normative, dan metaetik. Etika
deskriptif adalah cara melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas seperti adat kebiasaan,
anggapan tentang baik atau buruk, tindakan yang diperbolehkan atau tidak. Etika normative
mempelajari moralitas yang terdapat pada individu, kebudayaan atau sub-kultur tertentu.
Oleh karena itu etika deskriptif ini tidak diberikan penilaian apapun, ia hanya memaparkan
Etika deskriptif lebih bersifat netral. Misalnya; penggambaran tentang adat mengayu kepada
pada suku primitive.
Etika normative mendasarkan pendiriannya atas norma. Ia dapa mempersoalkan norma yang
diterima seseorang atau masyarakat secara kritis. la bisa mempersoalkan apakah norma itu
benar atau tidak. Etika normative berarti system system yang dimaksudkan untuk
memberikan petunjuk atau penuntun dalam mengambil keputusan dalam menyangkut baik
atau buruk (Lorens Bagus, 1996;217).
Etika normative ini dibagi menjadi dua, yaitu :
a) Etika umum, yang menekankan pada tema tema umum moral mengikat kita? Bagaimana
hubungan antara tanggung jawab dengan kebebasan ?
b) Etika khusus, upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip etika umum ke dalam perilaku
manusia yang khusus. Etika khusus juga merupakan etika terapan.
Metaetik adalah kajian etika yang ditujukan pada ungkapan ungkapan etis. Bahasa etis atau
bahasan yang dipergunakan dalam bidang moral dikaji secara logis. Metaetika menganalisis
logika perbuatan dalam kaitan dengan "baik" atau "buruk". Perkembangan lebih lanjut dari
metaetika ini adalah filsafat Analitik. E. Azas-azas dalam berfilsafat
Dalam berfilsafat terdapat 5 prinsip penting agar calon filsuf itu mendapat hasil optimal (The
Liang Gie, 1982:48-49) yaitu :' Pertama. meniadakan kecongkakan "maha tahu" sendiri.
Seseorang yang ingin mulai berfilsafat harus mampu mengendalikan dirinya, terutama sikap
merasa diri sudah tahu tentang hal yang akan dipelajari. Sikap yang demikian hanya akan
melahirkan solipsism, yakni menanggap hanya pendapatnyalah yang paling benar. Kesulitan
besar akan muncul saat dialog dengan orang lain. Komunikasi yang diharapkan dapat
menumbuhkan tukar menukar pandangan, akan berubah menjadi debat kusir, bertele-tele
tanpa ada ujung pangkalnya lantaran masing-masing menganggap bahwa hanya pendapatnya
yang paling benar.
Kedua, perlunya sikap mental berupa kesetiaan pada kebenaran (a loyality to truth).
Kesetiaan pada kebenaran akan melahirkan kebenaran untuk mempertahankan kebenaran
yang diperjuangkannya. Sebagai contoh ketika Socrates di penjara atas tuduhan menghasut
generasi muda, ada beberapa muridnya yang bersedia melepaskannya dari penjara, namun
Socrates menolak, karena tidak berani menanggung resiko atas perbuatannya sendiri yang
dianggap sebagai sikap penganut dan tidak memiliki kesetiaan pada kebenaran. Kesetiaan
pada kebenaran ini juga akan melahirkan kejujuran.
Ketiga, memahami secara bersungguh sungguh persoalan persoalan filsafati serta berusaha
memikirkan jawabannya. Dengan demikian ada upaya untuk melatih pemikiran secara serius
(intellectual exercise). Melalui latihan intelektual inilah akan diperoleh pengertian sejati
tentang realitas.
Keempat, latihan intelektual itu dilakukan secara aktif dari waktu ke waktu dan diungkapkan
secara lisan maupun tertulis. Proses mempelajari filsafat itu mencakup belajar memecahkan
persoalan persoalan filsafati oleh diri kita sendiri. Misalnya; bagaimana pemahanan kita
tentang keadilan ? Apakah pengertian keadilan yang dipahami secara hukum itu sudah cukup
memuaskan pemikiran kita? Kalau belum, bagaimana pengertian sejati tentang keadilan itu
sesungguhnya
Kelima, sikap keterbukaan diri artinya orang yang mempelajari filsafat oleh prasangka
tertentu atau pandangan sempit yang tertuju ke suatu arah saja, atau sudah terlebih dahulu
memihak pada suatu pandangan tertentu. Sebab filsafat menyangkut seluruh pengalaman dan
menyentuh semua aspek kehidupan manusia.
BAB 2
Azas - Azas Ilmu Pengetahuan
A. Kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan
Tidak dapat dipungkiri bahwa berfilsafat sebagai manifestasi kegiatan intelektual yang telah
meletakkan dasar dasar pragmatic bagi tradisi dalam kehidupan masyarakat ilmiah ala Barat
diawali oleh orang orang Yunani kuno di abad ke 6 - SM. Bahwa kelahiran filsafat tidak
dirintis oleh dunia timur sudah ditegaskan oleh Diogenes Laertius di tahun 200 M yang
kemudian diperkuat oleh Eduard Zeller dalam karyanya Geschichte der Grieschichen
Philosopghe (1920). Apa yang datang dari dunia timur bukanlah filsafat melainkan ajaran -
ajaran praksis – terapan seperti ilmu perbintangan ilmu pengobatan, ilmu hitung, dan lain
sebagainya.
Penegasan tersebut dapat kita pahami karena apa yang kita sebut ilmu pengetahuan
diletakkan dengan ukuran; pertama, pada dimensi fenomentalnya yaitu bahwa ilmu
pengetahuan menampakkan diri sebagai kaidah yang melandasinya masyarakat, proses dan
produk. Kaidah sebagaimana yang dikatakan Robert Maerton adalah; universalisme,
komunalisme, dis-interstedness, dan skeptisisme yang terarah dan teratur (organized
scepticisme). Kedua, pada dimensi strukturalnya yaitu bahwa komponen obyek ilmu
pengetahuan harus terstruktur atas komponen sasaran yang hendak diteliti (Gegenstand) yang
diteliti atau dipertanyakan.

Pasca Aristoteles (384-322), filsafat Yunani Kuno menjadi ajaran praksis, bahkan kemudian
Plotinus. Bersamaan dengan mulai pudarnya kekuasaan Romawi, semuanya itu merupakan
isyarat akan datangnya tahapan baru yaitu filsafat yang harus mengabdi pada agama (Ancilla
Theologiae). Filsuf besar pada kala itu yaitu Agustinus (354-430 SM) dan Thomas Aquinas
(1225-1274 M) telah memberi ciri khas kepada filsafat abad tengah. Filsafat Yunani Kuno
yang secular telah dicairkan dari antinominya dengan doktrin gerejani. Filsafat menjadi corak
teologik. Biara tidak saja menjadi pusat kegiatan agama, akan tetapi menjadi pusat kegiatan
intelektual.

Dalam pada itu tidak dapat dilupakan kehadiran para filsuf Arab seperti; Al Kindhi, Al
Farabi, Ibnu Sina (980-1037), Ibnu Rusyd (1125- 1198), Al Ghazali yang telah menyebarkan
filsafat Aristoteles dengan membawanya ke Cordova (Spanyol) untuk kemudian diwarisi oleh
dunia barat melalui kaum Patristik (abad 2 M) dan Skolastik (abad 8 M). wells dalam
karyanya The Outline of Gistory (1951) menyimpulkan bahwa "jika orang Yunani adalah
Bapak metode ilmiah, maka orang Muslim adalah Bapak Angkatnya".
Dipelopori gerakan Renaissance di abad ke-15 dan dimatangkan 18, dengan langkah langkah
oleh gerakan Aufklaering di abad ke "revolusionernya" filsafat memasuki tahap yang baru
atau modern. Kepeloporan revilusioner yang telah dilakukan oleh "anak dan Aufklaerung
seperti Copernicus (1473-1543) Galilei Galileo (1564-1642), Kepler (1571-1630), Decrates
(1596-1650), Immanuel Kant (1724-1800), telah memberikan implikasi yang amat luas dan
mendapatkan apresiasi yang berlebhan ,sehingga model ini juga mulai dikembangkan dalam
penelitian - penelitian ilmu sosial.

Logico - positivism merupakan model atau teknik penelitian dan eksperimentasi dengan
derajat optimal dengan maksud agar sejauh mungkin dapat melakukan prediksi dengan
dejarat ketepatan yang optimal pula. dengan demikian keberhasilan dan kebenaran ilmiah
diukur secara positivistic, dalam arti bahwa kebenaran ilmiah harus konkret, eksak, akurat
dan memberi kemanfaatan.

Oleh karena itu, Wilhelm Dilthey (1833-1911) mengajukan klasifikasi yang lain, dan
membagi ilmu pengetahuan kedalam Natuurwissenshaft dan Geinsteswissenchaft dengan
menjelaskan bahwa yang satu sebagai science of the world. Sedang yang lain adalah science
of Geist. Yang satu menggunakan metode Erklaeren dan yang lain Verstehen.

Lebih dari itu Juergen Habermas (1929), salah seorang tokoh di kalangan mazhab Frankurt
(jerman) mengajukan klasifikasi dengan the hasic human interest sebagai dasar, dengan
mengemukakan klasifikasi ilmu - ilmu empiris - analitis, sosial kritis, dan
historis,hermeneutis, yang masing - masing menggunakan metode empiric, intelektual
rasionalistik dan hermeutic (lihat skema).

Dengan adanya faktor-faktor heuristic yang mendorong lahirnya cabang - cabang ilmu yang
baru seperti ilmu lingkungan, ilmu computer, futurology, dan lain sebagainya, seribu satu
model pengklasifikasikan pasti akan kita jumpai, sebagaimana dilihat dalam kehidupan
perguruan tinggi dengan muncul berbagai macam fakultas, jurusan, dan program studi yang
baru.

Sesuatu yang jelas bahwa kedudukan ilmu pengetahuan secara substantive (dan bukan lagi
hanya sekedar sarana dalam kehidupan umat manusia), secara ekstensif ilmu pengetahuan
telah menyentuh semua sendi danegi kehidupan, dan pada gilirannya akan mengubah budaya
manusia secara intensif.
Fenomena perubahan tadi tercermin dalam masyarakat yang dewasa ini sedang menjalani
masa transisi simultan yaitu :

1. Masa transisinya masyarakat dengan budaya agraris tradisional menuju masyarakat


dengan budaya industry modern. Peran mitos diambil alih olehlogos (akal pikir).
Bukan lagi kekuatan - kekuatan “kosmis” yang secara mitologi dianggap sebagai
penguasa alam sekitar melainkan “sang akalpikir" dengan daya penalarannya yang
handal yang kini dijadikan kerangka acuan untuk meramalkan dan mengatur
kehidupan mengenai ruangan danwaktu, etos kerja kaidah - kaidah normative yang
semula dijadikan panutan,bergeser mencari format baru yang dibutuhkan untuk
melayami masyarakat yang berkembang menuju masyarakat industry. Dan yang
dituntuk adalah prestasi, siap pakai, keunggulan kompetitif, efisiensi, dan produktif -
inovatif-kreatif.
2. Masa transisinya budaya etnis-kedaerahan menuju budaya nasional
kebangsaan.“puncak - puncak kebudayaan daerah” se-bagaimana disebutkan dalam
penjelasan pasal 32 UUD 1945 mencair secara konvergen menuju satu kesatuan
pranata demi tegaknya - kokohnya suatu Negara kebangsaan (nation state). Penataan
struktur pemerintahan, system pendidikan, pembentukan dan pengaturan lembaga -
lembaga sosial, serta penanaman nilai - nilai etik dan moral, supremasi hukum,
keadilan, merupakan upaya serius untu membina dan mengembangkan jati diri
sebagai satu kesatuan bangsa.
3. Masa transisi budaya nasional kebangsaan menuju globalmondial. Visi orientasi dan
persepsi mengenai nilai - nilai universal seperti hak-hak manusia, demokrasi,
kebebasan, juga mengenai masalah lingkungan hidup, dilepaskan dari ikatan
fanatisme primordial kesukuan, kebangsaan ataupun keagamaan, mengendor menuju
kesadaran mondial dalam satu kesatuan sintetis yang lebih konkrit dalam tataran
operasional. Batas - batas sempit menjadi terbuka, elektis namun tetap memberi
toleransi adanya pluformitas seperti digerakkan oleh post modernism.
Implikasi globalisasi menunjukkan berkembangnya suatu standanisasi yang sama
dalam kehidupan diberbagai bidang, Negara atau pemerintahan dimanapun, terlepas
dari system ideology atau system sosial yang dimilikinya, pertanyaannya kemudian
adalah; apakah hak - hak azasi manusia dihormati, apakah demokrasi dikembangkan,
apakah kebebasan dan keadilan dimiliki oleh setiap warga, bagaimanakah lingkungan
hidup dikelola dan seterusnya.
C. Filsafat Ilmu
Kini terasa adanya kekaburan mengenai batas - batas antara (cabang) ilmu yang satu
dengan yang lain sehingga interpendensi dan inter-relasi ilmu semakin terasa pula. Oleh
karena itu dibutuhkan suatu "overview" untuk meletakkan jaringan interaksi untuk “saling
menyapa” menuju hakikat ilmu yang integral dan integrative. Kehadiran etik dan moral
menjadi semakin dirasakan sikap pandang bahwa “ilmu adalah bebas nilai”
semakinditinggalkan. Tanggungjawab dan integritas para ilmuan kini sedang diuji.
Oleh sebab itu, Imanuel Kant (1724-1804) menyatakan bahwa filsafat merupakan;
disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas - batas dan ruang lingkup pengetahuan
manusia secara tepat, maka semenjak itu pula refleksi filsafati mengenai pengetahuan
manusia menjadi semakin menarik perhatian. Lahirlah di abad ke-18 cabang filsafat yang
disebut sebagai filsafat pengetahuan (Theory ofknowledge; Erkennistlehre, kennisleer
atauepistmologi) dimana logika, filsafat bahasa, matematika, metodologi,merupakan
komponen - komponen pendukungnya.
Melalui cabang filsafat ini diterangkan sumber dan sarana serta tatacara untuk
menggunakan sarana itu guna mencapai pengetahuan ilmiah.Diselidiki pula arti evidensi,
syarat - syarat yang harus dipenuhi bagi yang disebut kebenaran ilmiah, dan batas - batas
validitasnya. Dengan berdasarkan diri atas sumber - sumber atau sarana tertentu seperti
páncaindera, akal (verstand), akal budi (vernut) dan intuisi, berkembanglah berbagai
macam school of thought, yaitu : empirisme (John Locke),rasionalisme (Descrates),
kritisme (Imanuel Kant),Positivisme (AugusteComte),fenomenologi (Husserl),
konstruktivisme (Feyeraband) dan lain-lain yang tampil sebagai upaya “pembaharu".
Di dalam sejarah, dikenal tiga macam epistemology yaitu : pertama,dengan secara sadar
dan berkelanjutan orang menempuh cara untuk menguasai serta berubah obyek, melalui
upaya - upaya konkrit dan secara langsung menuju kearah kemajuan (progress,
improvement) ataupembaharuan. Orang - orang Yunani Kuno-lah yang merintis
tradisissémacam ini, kemudian diwarisi serta dikembangkan oleh masyarakat Barat
sebagaimana terjadi seperti sekarang. Kedua, dengan cara mengasingkan diri secara
praktis melakukannya. Dengan cara mengasingkan diri secara praktis melakukannya.
Dengan "bertapa" di suatu tempat tertentu hingga merasatelah memperoleh "wangsit"
yang dianggapnya sebagai petunjuk jalan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Ketiga,
dengan membungkus obyekyang dijadikan sasaran yaitu dengan “memperindahnya” ke
dalam suatu ideal. Wujud daripadanya adalah nilai - nilai seni, sastra, mitologi yang
bermuatan etik, moral ataupun agama.
Dunia timur dan nenek moyang kita sangat mendambakan cara ini,sehingga dunia timur
diakui sebagai masyarakat yang kaya dalampenguasaan perbendaharaan filsafat itu yang.
dalam. Bahakan Stutterheinmenilai dunia pewayangan kita sebagai gudang (arsenal) nilai
- nilai budaya dan kesopan santunan yang tiada tandingnya.
Karena pengetahuan ilmiah dan ilmu merupakan “a higher level ofknowledge", maka
lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu
sebagai cabang filsafat merupakan obyek sasarannya; ilmu (pengetahuan), ilmu tentang
ilmu, kata sebagian pakar!.
Filsafat ilmu yang kini semakin disadari oleh masyarakat kita akan makna penting untuk
diajarkan tidak saja ditingkat S1 melainkan juga program pasca sarjana, adalah suatu
cabang filsafat yang sudah lama dan dikembangkan di dunia barat semenjak abad ke - 18
dengan sebutan philosophy of science wissenschafilehre, atau Wetensckatsleer.
Meskipun obyek kedua cabang filsafat ini, di sana - sini sering tumpang tindih, namun
perlu dibedakan aspek formalnya, dan jangan dikaburkan sebagaimana sementara penulis
sering menunjukkan hal tersebut. Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada
komponen komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaituontology,
epistemology dan aksiologi.
Ontology ilmu, meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenarandan kenyataan yang
inhern dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafati tentang apa
dan bagaimana (yang) “ada" itu (being,sein, hetzijn). Faham monisme yang terpecah
menjadi idealism atauspritualisme, faham dualism, fluralisme dengan berbagai
nuansanya,merupakan faham ontologik yang pada akhirnya akan menentukan
pendapatbahkan “keyakinan” kita masing - masing mengenai apa dan bagaimana(yang)
“ada" sebaaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.
Epistemology ilmu, meliputi sumber, saran dan tata cara menggunakan sarana tersebut
untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pemilihan landasan ontologik
akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan
dipilih. Akal (verstanda),akal budi (vernunt), pengalaman atau kombinasi antara akal dan
pengalaman, intuisi, merupakan saran yang dimaksud dalam epistemology,sehingga
dikenal adanya model - model epistemology seperti; rasionalisme,empirisme, kritisme
atau rasionalisme kritis, positivism, fenomelogi dengan berbagai variasi, serta bagaimana
kelebihan dan kelemahan sesuatu modelepistemology, serta tolok ukurnya bagi
pengetahuan (ilmiah) itu, sepertiteori koherensi, korespondensi, pragmatis, dan teori
intersujektif.
Aksiologi meliputi nilai - nilai (values) yang bersifat normative dalam pemberian makna
terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana sering dijumpai dalam kehidupan yang
menjelajahi berbagai kawasan;sepertikawasan sosial, kawasan simbolik, ataupun dunia
material. Lebih dari itu nilai -nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu
condition sinequanon yang wajib dipatuhi dalam penerapan ilmu.
Dalam perkembangan filsafat ilmu juga mengarahkan pandangannya pada strategi
pengembangan ilmu yang menyangkut etikdanheuristic,bahkan sampai pada dimensi
kebudayaan untuk menangkap tidak sajakegunaan atau kemanfaatan ilmu, akan tetapi
juga arti (maknanya) bagi kehidupan umat manusia.
Wacana tentang Strategi Pengembangan Ilmu, dewasa ini terdapat adanya tiga macam
golongan; pertama, pendapat yang menyatakan bahwa ilmu berkembamg dalam otonomi
dan tertutup, dalam arti pengaruh konteksdibatasi atau bahkan disingkirkan “Science for
the sake of science only"merupakan semboyan yang didengungkan. Kedua, pendapat
yangmenyatakan bahwa ilmu lebur dalam konteks, tidak hanya memberikan refleksi,
bahkan juga memberikan justifikasi. Ilmu cenderung memasuki kawasan untuk
menjadikan dirinya sebagai ideology.Ketiga, pendapat yangmenyatakan bahwa ilmu dan
konteks saling meresapi dan saling memberi pengaruh untuk menjaga agar “dirinya dan
teman-teman" tidak terjebakdalam kemiskinan relevansi dan aktualitasnya “Science for
the sake ofhuman progress" adalah pendirinya.
Filsafat ilmu adalah refleksi filsafati yang tidak pernah mengenal titikhenti dalam
menjelajahi kawasan ilmiah untuk mencapai kebenaran ataukenyataan, sesuatu yang
memang tidak pernah akan habis dipikirkan dantidak pernah akan selesai diterangkan.
Hakikat ilmu adalah sebab fundamental dan kebenaran universal yangimplicit melekat di
dalam dirinya. Dengan memahami filsafat ilmu, berarti memahami seluk beluk ilmu yang
paling mendasari sehingga dapat dipahami pula perspektif ilmu, kemungkinan
perkembangannya, keterjalinannya antar (cabang) ilmu yang satu dengan yang lain,
simplikasi dan artifisialitasnya
Jaringan Inter-Aksi Untuk “SALING MENYAPA”
Bukan Isolasi Tetapi Deferensiasi
I.Mencegah II dari bahaya penciptaan mitos - mitos yang timbul karena sosio analisis
yang terlalu ideologis
II.Mencegah III dari bahaya subjektivisme yang timbul karena interpretasi yang terlalu
dogmatis.
III.Mencegah I dari bahaya determinisme/naturalism yang berlebihan
I. II Mencegah I dari bahaya pengelabuhan kesadaran mitos -mitos scientism.
II. Mencegah III dari bahaya kebutaan persepsi bahwa ada perbedaan antara dunia
obyektif dan kesadaran subyektif.
III.Mencegah II dari rasionalisme/kritisme yang tanpa arah.
BAB 3
Filsafat Barat dan Peranannya Dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Pemikiran filsafat Yunani mencapai puncaknya pada murid Plato bernama Aristoteles (384-
322 SM). Ia mengatakan bahwa tugas utama ilmu Ia pengetahuan mencari penyebab -
penyebab obyek yang diselidiki. Kekurangan utama para filosof sebelumnya yang sudah
menyelidiki alam adalah bahwa mereka tidak memeriksa semua penyebab. Aristoteles
berpendapat bahwa tiap-tiap kejadian segala sesuatu. Keempat penyebab itu adalah;
penyebab material (material cause) ialah bahan dari mana benda dibuat. Misalnya kursi
dibuat dari kayu.

1. Penyebab formal (formal cause); inilah bentuk yang menyusun bahan. Misalnya bentuk
kursi ditambah pada kayu, sehingga kayu menjadi sebuah kursi.

2. Penyebab efisien (effisien cause); inilah sumber kejadian; factor yang menjalankan
kejadian. Misalnya, tukang kayu yang membuat kursi.

3. Penyebab final (final cause); inilah tujuan yang menjadi arah seluruh kejadian. Misalnya
kursi dibikin supaya orang dapat duduk di atasnya (Bertens, 1975:144),

Wacana filsafat yang menjadi topic utama pada zaman modern adalah persoalan
epistemology atau teori pengetahuan. Untuk menjawab pertanyaan pertanyaan yang bersifat
epistemology, maka dalam filsafat modern muncullah berbagai aliran filsafat yang
memberikan jawaban berbeda, bahkan saling bertentangan yaitu:
Rasionalisme Usaha manusia untuk memberi suatu kedudukan yang "berdiri sendiri,
sebagaimana yang telah dirintis oleh para pemikir 'renaissans' berlanjut terus sampai abad ke-
17. Abad ke-17 adalah abad dimulainya pemikiran - pemikiran kefilsafatan dalam artian yang
sebenarnya. Semakin lama manusia semakin menaruh kepercayaan yang besar terhadap
kemampuan akal, sehingga tampaklah adanya keyakinan bahwa dengan kemampuan akal itu
pasti dapat diterangkan segala macam persoalan, dapat dipahami segala macam
permasalahan, dan dapat dipecahkan segala macam masalah kemanusiaan.

1. Rasionalisme
Usaha manusia untuk memberi suatu kedudukan yang "berdiri sendiri, sebagaimana yang
telah dirintis oleh para pemikir 'renaissans' berlanjut terus sampai abad ke-17. Abad ke-17
adalah abad dimulainya pemikiran - pemikiran kefilsafatan dalam artian yang sebenarnya.
Semakin lama manusia semakin menaruh kepercayaan yang besar terhadap kemampuan akal,
sehingga tampaklah adanya keyakinan bahwa dengan kemampuan akal itu pasti dapat
diterangkan segala macam persoalan, dapat dipahami segala macam permasalahan, dan dapat
dipecahkan segala macam masalah kemanusiaan.
Aliran filsafat rasionalisme ini berpendapat, bahwa sumber pengetahuan yang memadai dan
dapat dipercayai adalah akal (rasio). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang
memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan harus mutlak, yaitu syarat yang dituntut
semua pengetahuan ilmiah.

2. Empirisme
Para penganut aliran empiris dalam berfilsafat bertolak belakang dengan para penganut aliran
rasionalisme. Mereka menentang pendapat - pendapat para penganut rasioalisme yang
didasarkan atas kepastian-kepastian yang bersifat apriori. Menurut pendapat penganut
empirisme, metode ilmu pengetahuan itu bukanlah bersifat a priori, tetapi a posteriori, yaitu
metode yang berdasarkan atas hal-hal yang datang, terjadinya atau adanya kemudian.
Bagi para penganut empirisme sumber pengetahuan yang memadai itu ialah pengalaman.
Yang dimaksud dengan pengalaman lahir menyangkut dunia dan pengalaman bathin yang
menyangkut dunia dan pengalaman bathin yang menyangkut pribadi manusia. Sedangkan
akal manusia hanya berfungsi dan bertugas untuk mengatur dan mengolah bahan - bahan atau
data yang diperoleh melalui pengalaman. yang

3. Kritisme
Seorang filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) telah melakukan usaha untuk
menjembatani pandangan pandangan yang saling bertentangan antara rasionalisme dan
empirisme. Kekurangan - kekurangan yang ditunjukkan oleh masing masing pandangan
tersebut hendak digantinya dengan pandangan yang memberikan keleluasaan bagi adanya
bahan-bahan yang bersifat pengalaman inderawi dan bagi adanya subyek yang mengetahui
secara aktif mengelola bahan-bahan yang bersifat pengalaman inderawi tersebut.
Kritisme adalah sebuah teori pengetahuan yang berusaha untuk mempersatukan kedua
macam unsur dalam filsafat rasionalisme dan empirisme dalam suatu hubungan yang
seimbang, yang satu tidak terpisahkan dari yang lain. Menurut Kant, pengetahuan merupakan
hasil terakhir yang diperoleh dengan adanya kerjasama di antara dua komponen, yaitu disatu
pihak berupa bahan-bahan yang bersifat pengalaman inderawi.
Selanjutnya Kant mengatakan pengetahuan itu seharusnya sintetis a prori, yaitu bahwa
pengetahuan bersumber dari rasio dan empiris yang sekaligus bersifat a priori dan posteriori
(Hamersma, 1983:29).

4. Idealisme
Bagi Hegel (1770-1831) pikiran adalah esensi dari alam dan alam adalah keseluruhan jiwa
yang diobyektifkan. Alam adalah proses pemikiran yang memudar, yang adalah juga akal
yang mutlak (absolute reason) yang mengekspresikan dirinya dalam bentuk luar.

5. Positivisme
Pendiri dan sekaligus tokoh penting dari aliran filsafat positivism adalah Auguste Comte
(1798-1857). Filsafat Comte anti-metafisis, ia hanya menerima fakta fakta yang ditemukan
secara positif ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang
ilmu-ilmu positif yang terkenal adalah savoir pour prepoir (mengetahui supaya siap untuk
bertindak).
Filsafat positivisme Comte disebut juga paham empirisme-kritis bahwa pengamatan dengan
teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan secara "terisolasi",
dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori (Koento Wibisono, 1983:48).

6. Fenomenologi
Tokoh pertama adalah Emund Husserl (1859-1980,selaku pendiri aliran fenomologi, ia telah
mempengaruhi pemikiran filsafat abad ke-20 ini secara amat mendalam. Fenomenologi
adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon)..

7. Strukturalisme
Secara garis besar ada dua pengertian pokok yang sangat erat kaitannya dengan
strukturalisme sebagai aliran filsafat. Pertama, strukturalisme adalah metode atau metodologi
yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-
prinsip linguistic yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Disini ilmu ilmu kemanusiaan
dimaksudkan sebagai ilmu-ilmu yang dalam terminology Duilthey disebut
Geisteswissenchaften yang dibedakan dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam atau
Naturewissenchaften. Kedua, strukturalisme merupakan aliran filsafat yang hendak
memahami masalah yang muncul dalam sejarah filsafat.
Para strukturalis filosofis yang menerapkan prinsip prinsip strukturalisme linguistic dalam
berfilsafat bereaksi terhadap aliran filsafat fenomenologi dan eksistensialisme yang melihat
manusia dari sudut pandangan yang subyektif. Para penganut aliran filsafat strukturalisme ini
memiliki corak beragam, namun demikian mereka memiliki kesamaan, yaitu penolakan
terhadap prioritas kesadaran.

8. Postmodernisme Pada abad ke-20 ada aliran filsafat yang pengaruhnya dalam dunia praktif
cukup besar, yaitu aliran filsafat pragmatism. Seorang tokoh pragmatisme yaitu Willen Jams
(1842-1910) membedakan dua macam bentuk pengetahuan, pertama; pengetahuan yang
langsung diperoleh dengan jalan pengamatan. Kedua, merupakan pengetahuan tidak langsung
yang diperoleh dengan melalui pengertian (Delfgaauw, 1988:62).
Postmodernisme sebagai trend dari suatu pemikiran yang sangat popular pada penghujung
abad ke-20 ini merambah berbagai bidang dan disiplin ilmu filsafat dan ilmu pengetahuan.
Istilah "Postmodern" telah digunakan dalam demikian banyak bidang dengan hiruk-pikuk
yang merupakan reaksi terhadap kegagalan modernism.
Jurgen Habermas adalah filosof abad ke-20 dapat dikategorikan sebagai filosof
postmodernisme, namun ia juga tokoh utama mazhab Frankfurt atau teori kritis.

9. Non-Aliran
Selain dari filosof- filosof yang termasuk aliran - aliran tersebut di atas, ada beberapa filosof
dalam filsafat barat yang berpengaruh dalam dunia filsafat dan ilmu pengetahuan, diantaranya
Kartl Raimund Popper.
Filosof berikutnya adalah Paul Kartl Feyeraband, ia terkenal dengan istilah anarkisme
epistemology, yang kemudian dipertentangkan dengan anarkisme politik atau religious.
Daftar Pustaka

Achmadi, Asmoro. 2001. Filsafat Umum. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta.

Rahm, Archie. 1995. Epistemologi; Theory of Knowledge, Harper and Row Publishers,
Aguquerque.

Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Rajawali Press. Jakarta.

Berten, Kees, 1993. Etika. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Gie, Thean Liang. 1991. Pengantar Filsafat Ilmu. Liberty. Yogyakarta.

Fun Yu-Lan. 1998. A Short History Of Chinese Philosophy. The Macmillan Co. New York.

Hattta, Muhammad. 1986. Alam Pikiran Yunani. Tinta Mas. Jakarta.

Lasiyo, H. 1998. Pemikiran Filsafat Timur, Internship Dosen-Dosen Larens. Filsafat Ilmu
Pengetahuan se-Indonesia. Fakultas Filsafat UGM dan Dirjen Dikti Depdikbud.
Yogyakarta.

Lorens, Bagus. 1996. Kamus Filsafat.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Munir, Misnal. 1998. Pian Filsafat Barat, Internship Dosen Filsafa Md Dosen Filsafat Ilmu
Pengetahuan se-Indonesia. Fakultas Filsafat UGM dan Dirjen Dikti Depdikbud.
Yogyakarta.

Mustansyir, Rizal. 1998. Pemikiran Filsafat Timur. Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan
se-Indonesia. Fakultas Filsafat UGM dan Dirjen Dikti Depdikbud. Yogyakarta

Nasution, Harun. 1995. Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran. Pustaka. Bandung.

Runes, D1979. Dictionary of Philosophy. Littlefiel Adam & Co. Totowa, New Jersey.

The Liang Gie. 1982. Dari Administrasi Ke Filsafat, cetakan ke-3, penerbit Super Sukses,
Yogyakarta.

Wagiyo. 1997. Pemikiran Filsafat India. Makalah Internship Dosen Filsafat Pancasila Se-
Indonesia, Yogyakarta.

Wibisono S. Koento. 1998. Sketsa Umum Filsafat Ilmu Pengetahuan.

Widyastini. 1991. Unsur-Unsur Filsafat Islam. Kota Kembang, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai