Anda di halaman 1dari 61

HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN KELUARGA DENGAN

KUALITAS TIDUR KELUARGA PASIEN DI RUANG TUNGGU ICU


RS. ELIZABETH SITUBONDO

Disusun Oleh:
Doni Januarindra 2111A0294
Lingga Kusuma Wardani, S.Kep.,Ns, M.Kes 0711038602

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS S1 KEPERAWATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN (IIK) STRADA INDONESIA
KEDIRI
TAHUN 2022
HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN KELUARGA DENGAN
KUALITAS TIDUR KELUARGA PASIEN DI RUANG TUNGGU ICU
RS. ELIZABETH SITUBONDO

Diajukan Oleh:
Doni Januarindra Amd.Kep
2111A0294

TELAH DISETUJUI UNTUK DILAKUKAN UJIAN

Kediri, tanggal,bulan,tahun
Dosen Pembimbing

Lingga Kusuma Wardani, S.Kep,Ns, M.Kes


0711038602

MENGETAHUI,
Dekan Fakultas Keperawatan
Institut Ilmu Kesehatan STRADA Indonesia

Dr. Byba Melda Suhita, S.Kep, Ns, M.Kes


0707037901
HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN KELUARGA DENGAN
KUALITAS TIDUR KELUARGA PASIEN DI RUANG TUNGGU ICU
RS. ELIZABETH SITUBONDO

Oleh:
Doni Januarindra
NIM

Usulan proposal penelitian / SKRIPSI ini telah diuji dan dinilai


oleh Panitia Penguji
Pada Program Studi Sarjana Keperawatan Fakultas S1 Keperawatan
Pada hari Sabtu tanggal 06 – Agustus 2022

DOSEN PENGUJI
Ketua Penguji
Nama Lengkap beserta Gelar (penguji 1) Heri Saputro,M.Kep

Anggota Penguji
Nama Lengkap beserta Gelar (Penguji 2) Kurniawan Edi,M.Kes

Nama Lengkap beserta Gelar (Pembimbing) Lingga Kusuma,M.Kes

MENGETAHUI,
Dekan Fakultas Keperawatan dan Kebidanan
Institut Ilmu Kesehatan STRADA Indonesia

Dr. Byba Melda Suhita, S.Kep., Ns., M.Kes


0707037901
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rumah sakit merupakan sebuah institusi yang menyelenggarakan pelayanan


kesehatan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan perseorangan secara paripurna mulai
dari pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan unit gawat darurat. Penyelenggaraan ini
bertujuan untuk mempermudah masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan,
perlindungan dan keselamatan kepada pasien, masyarakat, lingkungan serta sumber daya.
Perawatan intensif merupakan unit yang berbeda dengan unit di ruangan yang lain.
Perawatan di ruangan Intensive Care Unit (ICU) berfokus pada kondisi pasien serta
peralatan yang digunakan. Kondisi pasien tersebut dapat menyebabkan terjadinya
kecemasan pada keluarga (Herawati dan Faradilla, 2017).
Data di Indonesia tercatat sebanyak 3 juta pasien yang dirawat di ICU dengan
angka kematian 5-10% (Kemenkes, 2020). Penelitian Brahmani (2019) di RSUP Sanglah
Bali disebutkan sebanyak 24,8% pasien di ICU meninggal dan 75,2% keluar dalam
kondisi hidup. Prevalensi kematian pada pasien bedah dan bukan bedah adalah 58,3% dan
41,7%. Prevalensi kematian pasien bedah dengan dan tanpa ventilator mekanik adalah
71,5% dan 28,5%, prevalensi kematian pasien bukan bedah dengan dan tanpa ventilator
mekanik adalah 47,5% dan 53,5%. Penelitian Listyorini (2019) di RSUD dr. Moewardi
Solo didapatkan trend pasien di ICU mengalami peningkatan. Kriteria pasien yang harus
dirawat di ICU disebabkan karena penyakit infeksi dan noninfeksi, dimana data tahun
2021 lebih banyak karena infeksi 4,9-11,5% (Kemenkes, 2021). Penyebab kematian
pasien di ICU antara lain syok septik, gagal jantung kronik dan infark miokardium.
Pasien yang harus dirawat di ICU mempunyai kondisi kritis beresiko terhadap kegawatan,
mengancam jiwa akibat kegagalan organ sehingga menyebabkan keluarga menjadi cemas
dan takut terhadap kondisi keluarga yang berada di ruang ICU
Intensive Care Unit ( ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri
(instalasi dibawah direktur pelayanan), dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang
khusus yang ditunjukkan untuk observasi, perawatan, dan terapi pasien-pasien yang
menderita penyakit, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa. Pasien di
ruang ICU berbeda dengan pasien di ruang rawat biasa, karena mereka mempunyai
ketergantungan yang sangat tinggi terhadap perawat, dokter, maupun ketergantungan
terhadap alat seperti ventilator. Reaksi pasien yang akan dirawat di ruang ICU berbeda-
beda yang diantaranya adalah muncul kecemasan. Perasaan cemas ini muncul ketika
seseorang terlalu mengkhawatirkan kemungkinan peristiwa yang menakutkan yang
terjadi di masa depan yang tidak bisa dikendalikan, dan jika itu terjadi akan dinilai
menjadi sesuatu yang mengerikan (Silvatar, 2007 dalam Saragih dan Yulia Suparmi,
2017).
Pasien yang berada dalam keadaan kritis yang dirawat di ruang ICU akan
menimbulkan dampak tersendiri bagi keluarga. Dampak keluarga tersebut dapat berupa
dampak fisik, psikologi, sosial, spiritual serta ekonomi. Dampak fisik dapat berupa
gangguan tidur, kelelahan dan gangguan kesehatan. Lingkungan fisik tempat seseorang
tidur berpengaruh penting pada kemampuan untuk tertidur dan tetap tidur. Ruangan yang
lebih banyak penghuninya dan suasana kurang tenang menyebabkan seseorang menjadi
lebih sulit untuk tidur. Hasil penelitian menyatakan bahwa anggota keluarga mempunyai
resiko tinggi untuk mengalami kesulitan tidur selama masa hospitalisasi karena seringnya
ada gangguan-gangguan yang dapat menurunkan kuantitas atau kualitas tidur.
WHO mengatakan kecemasan di dunia, diperkirakan 3,6 % populasi global,
perempuan lebih sering mengalami gangguan kecemasan dari pada laki-laki. Total
perkiraan yang mengalami gangguan kecemasan di dunia saat ini berjumlah 264 juta
penduduk, Tahun 2015 meningkat dengan total 14,9% sejak 2005, sebagai akibat
dari populasi pertumbuhan dan penuaan (WHO 2017). Diperkirakan seluruh dunia 284
juta orang tahun 2017 mengalami gangguan kecemasan, diantaranya sekitar 63 %
perempuan mengalami kecemasan atau 179 juta perempuan lebih tinggi dari laki-laki
bekisar 105 juta penduduk (Ritchie et al., 2018). Kecemasan yang terjadi pada
keluarga pasien secara tidak langsung juga mempengaruhi pasien yang dirawat,
namun jika keluarga pasien mengalami kecemasan maka akan berakibat pada
pengambilan keputusan yang tertunda. Keluarga pasien adalah pemegang penuh
keputusan, ketika pasien dalam keadaan darurat maupun kritis dan harus diberikan
penanganan segera (Beesley et al., 2018).
Dalam penelitian ini akan dilakukan pengukuran kecemasan menggunakan
kuisioner. Zung Self-rating Anxiety Scale (ZSAS) adalah kuesioner yang digunakan untuk
mengukur gejala-gejala yang berkaitan dengan kecemasan. Kuesioner ini didesain untuk
mencatat adanya kecemasan dan menilai kuantitas tingkat kecemasan.
Kondisi fisik keluarga pasien yang tidak stabil, juga membuat mereka rentan
terhadap resiko gangguan psikologis seperti stress, kecemasan, gangguan mental hingga
depresi. Hasil penelitian mengemukakan bahwa gangguan fisik itu terjadi pada 98
responden di Kanada, yaitu berupa factor yang berkontribusi terhadap kurang tidur
keluarga dalam menunggu pasien di ICU adalah kecemasan sedang (43,6%), ketegangan
(28,7%) dan ketakutan (24,5%). Dampak psikologi keluarga dalam menghadapi pasien
kritis yang dirawat di ruang ICU dapat mengalami gangguan kesehatan mental. Dari
penelitian yang dilakukan Idarahyuni et al, 2017, di Ruang ICU RSAU Bandung
didapatkan hasil bahwa kecemasan keluarga pasien yang dirawat menunjukkan hasil
kecemasan berat (41,5%), kecemasan sedang (31,7%). Stress yang dialami keluarga
pasien yang berada dalam keadaan kritis dalam kenyataannya memiliki stress emosional
yang tinggi.
Kecemasan pada keluarga pasien di ruang ICU perlu menjadi perhatian perawat
karena hal ini akan menyebabkan pengambilan keputusan. Keluarga mempunyai peran
penting dalam pengambilan keputusan secara langsung maupun tidak langsung dalam
tindakan pertolongan (perawatan dan pengobatan kepada pasien (Kiptiyah, 2016).
Penelitian Badra (2018) mendapatkan bahwa sebagian besar keluarga mengalami
kecemasan (82,3%). Semua stressor ini menyebabkan keluarga jatuh pada kondisi
psikologis yang tidak stabil berupa rasa takut yang berlebihan, perasaan menyerah dan
putus asa, kecemasan hingga depresi (Maria, 2017).
Penelitian sebelumnya oleh Sulaeman (2021) mendapatkan bahwa sebagian besar
keluarga mengalami kecemasan ringan sampai sedang karena anggota keluarganya dirawat
di ICU. Kecemasan yang terjadi pada keluarga pasien yang dirawat di Ruang ICU,
ditunjukkan dengan perilaku keluarga yang selalu bertanya dengan pertanyaan yang di
ulang-ulang, berkunjung diluar jam kunjung, keluarga takut kehilangan, keluarga
mengatakan susah tidur, takut anggota keluarga sembuh tapi mengalami kecacatan, takut
tidak bisa membayar biaya perawatan di ICU, takut melihat alat-alat yang terpasang
ditubuh pasien.
Penelitian yang dilakukan oleh Rina Loriana dkk di ruang ICU Rumah Sakit
RSUD A.M Parikesit Tenggarong pada tahun 2017 tentang Hubungan Kecemasan
Keluarga Pasien dan didapatkan bahwa 62,1% keluarga menunjukkan kecemasan kategori
sedang, dan 37,9% menunjukkan kecemasan kategori ringan. Selanjutnya, hasil
penelitian Rina Budi Kritiani (2017) di ruang ICU Rumah Sakit Adi Husada Kapasari
didapatkan bahwa tingkat kecemasan keluarga kategori Sedang mencapai 47% dan
kecemasan kategori Berat mencapai 20%. Untuk mengeahui hubungan tingkat
kecemasan keluarga pasien yang dirawat di ruang ICU dengan menggunakan
kuesioner Zung-Self Anxiety Rating Scale (ZSAS) yang sudah baku, dari beberapa
jurnal yang didapatkan menunjukkan adanya beberapa tingkat kecemasan yang
dialami oleh keluarga pasien yang berada diruang ICU
Tidur merupakan perilaku atau aktivitas yang sangat diperlukan manusia. Istirahat
yang cukup penting bagi tubuh agar bisa berfungsi secara normal. Selama proses tidur
tubuh akan melakukan penyembuhan yang dapat mengembalikan daya tahan tubuh pada
keadaan optimal, oleh sebab itu sangat penting bagi individu untuk selalu tidur sesuai
kebutuhannya agar dapat beraktivitas tanpa adanya gangguan yang bermakna. Tidur yang
buruk akan berdampak pada kemampuan kita dalam beraktifitas sehari-hari. Selain itu
tidur juga dapat mempengaruhi konsentrasi seseorang, kualitas tidur yang buruk dapat
menyebabkan menurunkan daya ingat atau konsentrasi seseorang baik dalam hal belajar
atau mengingat sesuatu, sehingga untuk mendapatkankonsentrasi yang baik harus
memperhatikan pola tidur dan kualitas tidur supaya dapat berkonsentrasi dengan baik (A.
P. Dewi, 2015).
Penelitian yang dilakukan oleh (Suastika et al. 2020) yang berjudul Prevalensi
kualitas tidur pada keluarga pasien di ruang ICU RSUP Sanglah yang mendapatkan hasil
bahwa mayoritas responden mengalami kualitas tidur yang buruk sebanyak 8 responden
(80%). Penelitian (Day et al. 2013) mendapatkan hasil bahwa dari 94 responden, 66,0%
dilaporkan mengalami kesulitan tidur,43,5% menggambarkan kualitas tidur buruk atau
sangat buruk, dan hanya 15,1% menggambarkan kualitas tidur baik atau sangat baik.
Seseorang yang memiliki riwayat penyakit dalam tubuhnya, tentu akan lebih
mudah mengalami gangguan tidur yang menyebabkan kualitas tidur mereka menjadi
kurang baik. Gangguan tidur tersebut dapat diakibatkan karena gejala-gejala penyakit yang
dapat timbul kapanpun, termasuk ketika akan atau sedang tidur. Gejala yang dirasakan
dapat berupa pusing, kesemutan, pegel pada bagian ekstermitas, dll . Penelitian (Suastika
et al. 2020) mayoritas kualitas tidur keluarga pasien diruang ICU Rumah Sakit Izza
Cikampek berada pada kualitas tidur cukup sebanyak 53 responden (53,2%), di ikuti
dengan responden yang mengalami kualitas tidur buruk sebanyak 31 responden (32,3%),
dan responden yang mengalami kualitas tidur baik sebanyak 12 responden (12,5%). Pada
hasil penelitian ini tidak ada responden yang mengalami kualitas tidur buruk sekali
ataupun baik sekali
Ketika kebutuhan tidur tidak dapat terpenuhi secara kuantitas maupun kualitas
maka akan mengakibatkan adanya suatu masalah gangguan tidur. Gangguan tidur dapat
menyebabkan kelelahan, penurunan sistem kekebalan tubuh dan konsentrasi dalam
berpikir. Selain itu, gangguan tidur juga dapat memengaruhi pengaturan emosi, perhatian,
proses pembelajaran, daya ingat, dan keberhasilan akademis pada seorang individu.
Gangguan rentang waktu tidur pada anak dan remaja juga dikaitkan dengan adanya
masalah fungsi kognitif dan gangguan pemusatan perhatian (Yasmien, Tarigan and
Lidyana, 2020).
Gangguan kualitas tidur memiliki berbagai dampak buruk, Kualitas tidur yang
buruk dalam jangka panjang dapat meningkatkan indeks masa tubuh dan depresi (Alfi,
2018). Dampak dari kualitas tidur yang buruk bagi keluarga dapat menyebabkan nyeri
kepala, pusing/migrain, rasa berat di tengkuk, pegal-pegal, sulit untuk tidur, berdebar-
debar, lemah, dan lelah sehingga mengakibatkan penderita mengalami gangguan kualitas
tidur (M. Asikin, 2016). Kualitas tidur merupakan ukuran dimana seseorang itu dapat
kemudahan dalam memulai tidur dan untuk mempertahankan tidur, kualitas tidur
seseorang dapat digambarkan dengan lama waktu tidur, dan keluhan keluhan yang
dirasakan saat tidur ataupun sehabis bangun tidur (Suastika, Jaya, and IGN 2020).

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti tertarik melakukan


penilitian tentang “Hubungan Tingkat Kecemasan Keluarga Dengan Kualitas Tidur

Keluarga Pasien Di Ruang Tunggu Icu Rs. Elizabeth Situbondo ”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti dapat mengambil
rumusan masalah sebagai berikut “hubungan tingkat kecemasan keluarga dengan kualitas
tidur keluarga pasien di ruang tunggu icu Rs. Elizabeth Situbondo.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum dari penelitian
Untuk mengetahui hubungan tingkat kecemasan keluarga dengan kualitas tidur
keluarga pasien diruang tunggu ICU RS. Elizabeth Situbondo.
2. Tujuan Khusus dari penelitian
a. Mengidentifikasi tingkat kecemasan keluarga pasien yang dirawat diruang
tunggu ICU RS. Elizabeth Situbondo
b. Mengidentifikasi kualitas tidur pada keluarga pasien yang dirawat diruang
tunggu ICU RS. Elizabeth Situbondo
c. Menganalisis hubungan tingkat kecemasan keluarga dengan kualitas tidur
keluarga pasien diruang tunggu ICU RS. Elizabeth Situbondo.

D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis, sekurang-
kurangnya dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi lembaga yang diteliti.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Akademik Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi yang
berguna bagi para pembaca untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan juga
sebagai acuan pembelajaran tentang penerapan asuhan keperawatan terkait
dengan kecemasan dengan gangguan pola tidur, khususnya kecemasan
keluarga dalam menghadapi perawatan salah satu anggota keluarganya di
ruangan ICU.
b. Bagi Rumah Sakit Sebagai bahan masukan dalam rangka peningkatan
program pelayanan kesehatan bukan saja kepada pasien yang di rawat di ICU
tetapi juga pelayanan kepada keluarga pasien terlebih yang mengalami
kecemasan dan juga kualitas tidur keluarga pasien
c. Bagi Keluarga Pasien Dengan adanya penelitian ini diharapkan keluarga
pasien dapat mengelola kecemasan yang muncul sehingga tidak mengalami
gangguan pada kualitas tidur
d. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan atau
informasi tambahan tentang pentingnya penjelasan kepada keluarga pasien
dalam setiap intervensi keperawatan di rawat di ruang ICU, sehingga dapat
mengurangi kecemasan dan menghindari terjadinya gangguan pola tidur
keluarga pasien

E. Keaslian Penelitian
1. Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Kualitas Tidur Penderita Asma Di RSUD
Kabupaten Karanganyar
2. Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Kualitas Tidur Pada Pasien PreOperasi di
Ruang Bedah RSUP D. M. Djamil Padang
3. Hubungan antara nyeri dan kecemasan Dengan Kualitas Tidur Pada Pasien Post
Laparatomi di IRNA Ruang Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang

Judul Penelitian : Hubungan Tingkat Kecemasan Keluarga Dengan Kualitas Tidur


Keluarga Pasien Di Ruang Tunggu Icu Rs. Elizabeth Situbondo”
Penelitian sebelumnya dengan tema yang sama yaitu tentang Tingkkat
Kecemasan . Namun dengan judul “Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan
Kualitas Tidur Penderita Asma Di RSUD Kabupaten Karanganyar” Perbedaan
dengan penelitian ini adalah :
Judulnya tidak sama yakni penelitian sebelumnya Apakah tingkat kecemasan
berhubungan dengan kualitas tidur penderita asma Di RSUD Kabupaten
Karanganyar? sedangkan penelitian ini Hubungan Tingkat Kecemasan Keluarga
dengan kualitas Tidur Keluaga Pasien di Ruang Tunggu ICU RS.
Elizabeth Situbondo.
Tahun penelitian sebelumnya dilakukan pada tahun 2015 sedangkan penelitian ini
pada tahun 2022.
Tempat penelitian tidak sama yakni pada penelitian sebelumnya di RSUD Kabupaten
Karanganyar sedangkan pada penelitian ini di RS. Elizabeth
Situbond
BAB II
KONSEP TEORI

A. Kecemasan
1. Pengertian Kecemasan
Definisi Kecemasan Pada dasarnya kecemasan adalah kondisi psikologis
seseorang yang penuh dengan rasa takut dan khawatir, dimana perasaan takut dan
khawatir akan sesuatu hal yang belum pasti akan terjadi. Kecemasan berasal dari
bahasa Latin (anxius) dan dari bahasa Jerman (anst), yaitu suatu kata yang digunakan
untuk menggambarkan efek negatif dan rangsangan fisiologis (Muyasaroh et al.
2020). Menurut American Psychological Association (APA) dalam (Muyasaroh et al.
2020), kecemasan merupakan keadaan emosi yang muncul saat individu sedang
stress, dan ditandai oleh perasaan tegang, pikiran yang membuat individu merasa
khawatir dan disertai respon fisik (jantung berdetak kencang, naiknya tekanan darah,
dan lain sebagainya).
Ketakutan, kekhawatiran dan kegelisahan yang tidak beralasan pada akhirnya
menghadirkan kecemasan, dan kecemasan ini tentu akan berdampak pada perubahan
perilaku seperti, menarik diri dari lingkungan, sulit fokus dalam beraktivitas, susah
makan, mudah tersinggung, rendahnya pengendalian emosi amarah, sensitive, tidak
logis, susah tidur. (Jarnawi 2020).
Kecemasan merupakan penilaian dan respon emosional terhadap sesuatu yang
berbahaya. Kecemasan sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak
berdaya. Kondisi dialami secara subjektif dan dikomunikasikan dalam hubungan
interpersonal. Kecemasan merupakan suatu perasaan yang berlebihan terhadap
kondisi ketakutan, kegelisahan, bencana yang akan datang, kekhawatiran atau
ketakutan terhadap ancaman nyata atau yang dirasakan (Saputro & Fazrin, 2017).
Menurut Kurniati dkk., (2017) kecemasan adalah respons yang tidak terfokus,
membaur, yang meningkatkan keaspadaan individu terhadap sebuah ancaman, nyata
atau dalam imaginasinya.
2. Tingkat Kecemasan
Menurut Stuart & Sandeen (dalam Mardjan, 2016), Tingkat kecemasan atau anxietas
terdiri dari :

a. Kecemasan Ringan
Kecemasan ringan merupakan perasaan bahwa ada sesuatu yang
berbeda dan membutuhkan perhatian khusus. Stimulasi sensori meningkat dan
membantu individu memfokuskan perhatian untuk belajar, menyelesaikan
masalah, berfikir, bertindak, merasakan dan melindungi dirinya sendiri.
Kecemasan ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan kreatifitas dan
pertumbuhan (Mardjan, 2016).
Pada tingkat kecemasan ringan seseorang mengalami ketegangan yang
dirasakan setiap hari sehingga menyebabkan seseorang menjadi waspada dan
meningkatkan lahan persepsinya. Seseorang akan lebih tanggap dan bersikap
positif terhadap suatu peningkatan minat dan motivasi. Tanda-tanda tingkat
kecemasan ringan berupa gelisah, mudah marah dan perilaku mencari
perhatian (Saputro & Fazrin, 2017).
Kecemasan ringan berkaitan dengan ketegangan dalam kehidupan
sehari-hari dan menyebabkan klien menjadi waspada dan meningkatkan
lapang persepsi. Respon yang ditimbulkan 20 dari aspek kognitif, afektif,
fisiologi, perilaku dan sosial ini masih dalam batas normal. Dampak dari
kecemasan tingkat ringan adalah meningkatnya suatu kewaspadaan serta
kemampuan dalam belajar (Zaini, 2019). Kecemasan ringan berhubungan
dengan ketegangan kehidupan sehari-hari dan dapat memotivasi belajar dan
menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas (Annisa & Ifdil, 2016).
b. Kecemasan Sedang
Kecemasan sedang merupakan perasaan yang mengganggu bahwa ada
sesuatu yang benar-benar berbeda, individu menjadi gugup atau agitasi
(Mardjan, 2016). Kecemasan sedang menginginkan seseorang untuk
memusatkan pada hal-hal yang penting dan mengesampingkan hal-hal yang
lain, sehingga seseorang akan mengalami perhatian yang selektif, namun
dapat melakukan sesuatu yang terarah.
Pada tingkat kecemasan sedang ini, seseorang akan kelihatan serius
dalam memperhatikan segala sesuatu. Tanda-tanda tingkat kecemasan sedang
berupa suara bergetar, perubahan dalam nada suara, tachicardi, gemetaran,
peningkatan ketegangan otot (Saputro & Fazrin, 2017).
Respon kognitif juga menunjukkan penyempitan lapang persepsi,
sedangkan respon emosi dan perilaku ditunjukkan dengan sikap waspada dan
bertentangan (Zaini, 2019). Pada kecemasan sedang memungkinkan individu
untuk berfokus pada hal-hal yang penting dan mengesampingkan yang lain.
Kecemasan ini mempersempit lapang pandang persepsi individu.
Dengan demikian, individu mengalami tidak perhatian yang selektif namun
dapat berfokus pada lebih banyak area jika diarahkan untuk melakukannya
(Annisa & Ifdil, 2016).
c. Kecemasan Berat
Kecemasan berat dialami ketika individu yakin bahwa ada sesuatu
yang berbeda dan mengancam. Individu memperlihatkan respon takut dan
distress. Ketika individu mencapai tingkat tertinggi anxietas, panik berat,
semua pemikiran rasional berhenti dan individu tersebut mengalami respon
fight, yakni kebutuhan untuk pergi secepatnya dan tidak dapat melakukan
sesuatu (Mardjan, 2016).
Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi serta cenderung
memusatkan pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak dapat berfikir
tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi menurunkan
kecemasan dan fokus pada kegiatan lain berkurang. Tanda-tanda kecemasan
berat berupa perasaan terancam, ketegangan otot berlebihan, perubahan
pernafasan, perubahan gastrointestinal (mual, muntah, rasa terbakar di ulu
hati, sendawa, anoreksia, diare), perubahan kardiovaskuler, dan
ketidakmampuan konsentrasi (Saputro & Fazrin, 2017). Skala kecemasan
berat memungkinkan klien mengalami suatu penurunan lapang persepsi klien.
Kecemasan berat menyebabkan seseorang sulit berfikir dan mengambil
keputusan, perubahan tanda tanda vital, memperlihatkan kegelisahan, dan
klien akan menggunakan cara untuk mengatasi suatu ketegangan (Zaini,
2019). Kecemasan ini sangat mengurangi lapang persepsi individu. Individu
cenderung berfokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak berfikir
hal lain. Semua prilaku yang muncul ditujukan untuk mengurangi ketegangan.
Individu tersebut memerlukan banyak arahan untuk berfokus pada area lain
(Annisa & Ifdil, 2016).
3. Tanda Dan Gejala Kecemasan
Menurut Association et al (2017), tanda dan gejala kecemasan yaitu:
a. Perasaan akan adanya bahaya yang akan datang, kematian, atau menjadi gila
b. Nadi cepat
c. Perasaan dada tertekan
d. Merasa susah bernapas
e. Cegukan, kesulitan menelan
f. Berkeringat banyak
g. Mulut kering
h. Sering berkemih
i. Tremor
j. Aktivitas berlebihan
k. Usaha untuk keluar dari lokasi sesegera mungkin

4. Cara Menghindari Cemas


Menurut Retno (2018), cara menghindari kecemasan adalah :
a. Tetap terhubung dengan orang lain ketika sedang cemas, beberapa orang ingin
menarik diri dari berhubungan dengan orang lain, keluarga dan masyarakat.
Berpartisipasi dengan orang lain dalam pergaulan dapat membantu
menumbuhkan rasa saling memiliki dan memungkinkan kita untuk merasa
berguna, dengan menjaga tubuh dan fikiran tetap sibuk.
b. Menemukan teman untuk bicara kecemasan bisa membuat kita percaya bahwa
kita sendirian dan tidak ada orang yang memahami. Menemukan orang yang
bisa dipercaya untuk berbicara, berbagi perasaan serta tantangan yang dialami
tetap mungkin terjadi dan berguna untuk 28 mengatasi gejala kecemasan.
Berbagi dengan seseorang adalah hal penting agar orang dapat memahami apa
yang dirasakan.
c. Mencari bantuan menemukan bantuan dan dukungan sangat penting ketika
seseorang bergelut dengan masalah kecemasan. Ada beberapa dukungan yang
tersedia misalnya melalui komunitas yang berisi orang-orang yang mengalami
hal yang sama untuk mencari cara mengatasi gangguan kecemasan
menyeluruh dan mencari cara menghilangkan kecemasan.
d. Tertawa kecemasan cenderung akan menghilangkan kesenangan dari diri dan
menghalangi kita dari merasa senang. Ingatlah untuk memelihara kemampuan
tertawa, dan bersenang-senang misalnya dengan membaca buku humor,
menonton film. Cari waktu untuk bisa bersenang-senang agar kecemasan tidak
menyita waktu.
e. Menjaga pikiran ada beberapa cara untuk membantu pikiran agar tetap
rasional sebagai cara mengatasi gangguan kecemasan. Menggunakan teknik
seperti meditasi, berdoa, latihan pernafasan bisa membantu memperlambat
proses pikiran dan emosional kita.
5. Cara penilaian pengukuran
Menurut Chrisnawati & Aldino (2019), cara penilaian kecemasan adalah dengan
memberikan nilai dengan kategori:
a. 0 = tidak pernah
b. 1 = jarang
c. 2 = kadang-kadang
d. 3 = sering
e. 4 = selalu
Penentuan derajat kecemasan adalah dengan cara menjumlahkan skor 1-14 dengan
hasil:

1. Normal/tidak cemas : Skor 20-44


2. Kecemasan ringan : Skor 45-59
3. Kecemasan sedang : Skor 60-74
4. Kecemasan berat : Skor 75-80

Zung Self-rating Anxiety Scale (ZSAS) merupakan kuesioner yang


digunakan untuk mencatat adanya kecemasan dan menilai kuantitas tingkat
kecemasan. Zung telah mengevaluasi validitas dan realibilitasnya dan hasilnya baik.
Penelitian menunjukkan bahwa konsistensi internalnya pada sampel psikiatrik dan
non-psikiatrik adekuat dengan korelasi keseluruhan butir-butir pertanyaan yang baik
dan realibilitas uji yang baik. Zung Self-rating Anxiety Scale (ZSAS) yang
mengandung 20 pertanyaan: 5 pertanyaan positif dan 15 pertanyaan negatif yang
menggambarkan gejala-gejala kecemasan. Setiap butir pertanyaan dinilai berdasarkan
frekuensi dan durasi gejala yang timbul: (1) jarang atau tidak pernah sama sekali, (2)
kadang-kadang, (3) sering, dan (4) hampir selalu mengalami gejala tersebut. Skor
masing-masing pertanyaan dijumlahkan menjadi 1 (satu) skor global dengan kisaran
nilai 20-80. Zung Self-rating Anxiety Scale (ZSAS) telah digunakan secara luas
sebagai alat skrining kecemasan. Kuesioner ini juga sering digunakan untuk menilai
kecemasan selama dan setelah seseorang mendapatkan terapi atas gangguan
kecemasan yang dialaminya.
6. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan.
Menurut Annisa & Ifdil (2016), menjelaskan faktor-faktor yang menimbulkan
kecemasan, seperti pengetahuan yang dimiliki seseorang mengenai situasi yang
sedang dirasakannya, apakah situasi tersebut mengancam atau tidak memberikan
ancaman, serta adanya pengetahuan mengenai kemampuan diri untuk mengendalikan
dirinya (seperti keadaan emosi serta fokus kepermasalahannya).
Pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar berpotensi memicu terjadinya
gangguan kecemasan (anxiety), depresi dan stress di masyarakat. Faktor lain yang
dapat menyebabkan seseorang mengalami gangguan kecemasan adalah kondisi stress
yang dialami oleh keluarga dapat menghambat kemampuan keluarga dalam
memberikan dukungan kepada anggota keluarganya yang sedang dirawat di ruang
perawatan intensif (Zahara, Ibrahim, & Sriati, 2014).

B. Keluarga
1. Pengertian Keluarga
Keluarga secara universal didefinisikan bagaikan landasan dasar unit social ekonomi
terkecil dari seluruh institusi dalam warga. Keluarga terdiri dari dua ataupun lebih
orang yang memiliki ikatan interpersonal, ikatan darah, ikatan pernikahan, serta
adopsi (Bakri, 2017: 10).
2. Tipe Keluarga
Tipe keluarga Tradisional (Bakri, 2017: 16). sebagai berikut:
a. Keluarga inti (nuclear family)
Keluarga inti ialah keluarga kecil dalam satu rumah. Dalam
keseharian, anggota keluarga inti ini hidup bersama serta saling melindungi.
Mereka merupakan bapak, ibu, dan kanak- kanak.
b. Keluarga Besar (extended family)
Keluarga besar merupakan gabungan dari beberapa keluarga inti yang
bersumbu dari satu keluarga inti. Satu keluarga memiliki beberapa anak, lalu
anak-anak-nya menikah dan memiliki anak, dan kemudian menikah lagi dan
memiliki anak pula. Anggota keluarga besar terdiri dari kakek, nenek, paman,
tante, keponakan, saudara sepupu, cucu, cicit, dan lain sebagainya.
c. Keluarga Dyat (Pasangan inti)
Pasangan inti adalah sepasang suami istri yang baru menikah. Mereka
telah membina rumah tangga tetapi belum dikaruniai anak atau keduanya
bersepakat untuk tidak memiliki anak lebih dulu. Akan tetapi jika dikemudian
hari memiliki anak, maka status tipe keluarga ini menjadi keluarga inti.
d. Keluarga Single Parent
Single parent adalah kondisi seseorang tidak memiliki pasangan lagi.
Hal ini bisa disebabkan oleh perceraian atau meninggal dunia. Akan tetapi,
single parent mensyaratkan adanya anak, baik anak kandung maupun anak
angkat. Jika ia sendirian maka tidak bisa dikatakan sebagai keluarga meski
sebelumnya pernah membina rumah tangga.
e. Keluarga Single Adult
Keluarga single adult yaitu pasangan yang mengambil jarak atau
berpisah sementara waktu untuk kebutuhan tertentu, misalnya bekerja atau
kuliah. Seseorang yang berada jauh dari keluarga ini kemudian tinggal di
rumah kontrakan atau indekost. Orang dewasa inilah yang kemudian disebut
sebagai single adult. Meski ia telah memiliki pasangan di suatu tempat namun
ia terhitung single di tempat lain
Tipe Keluarga Modern (Nontradisional) (Bakri, 2017: 18)
a. The Unmarriedteenage
Mother The Unmarriedteenage Mother adalah kehidupan seorang ibu
bersama anaknya tanpa pernikahan
b. Reconstituded Nuclear
Sebuah keluarga yang tadinya berpisah, kemudian kembali membentuk
keluarga inti melalui perkawinan kembali. Mereka tinggal serta hidup
bersama anak-anaknya, baik anak dari pernikahan sebelumnya, maupun hasil
dari perkawinan baru.
c. The Stepparent Family
Keluarga The Stepparent Family adalah seorang anak diadopsi oleh
sepasang suami-istri, baik yang sudah memiliki anak maupun belum.
Kehidupan anak dengan orantua tirinya inilah yang dimaksud dengan the
stepparent family
d. Commune Family
Keluarga ini berada di dalam penampungan atau memang memiliki
kesempatan bersama untuk hidup satu atap titik. Hal ini bisa berlangsung
dalam waktu yang singkat, sampai dengan waktu yang lama. Mereka tidak
memiliki hubungan darah namun memutuskan hidup bersama dalam satu
rumah, satu fasilitas, dan pengalaman yang sama.
e. Thenon Marital Heretosexual Conhibitang Family
Tanpa ikatan pernikahan, sesorang memutuskan hidup bersama
pasangannya. Namun dalam waktu yang relative singkat, sesorang itu
kemudian berganti pasangan lagi dan tetap tanpa hubungan pernikahan
f. Gay and Lesbian Family
Seseorang dengan jenis kelamin yang sama menyatakan hidup bersama
sebagaimana pasangan suami istri (material partners).
g. Cohabiting Couple
Sesorang yang tinggal merantau karena merasa satu negara atau satu
daerah, kemudian dua atau lebih orang bersepakatan untuk tinggal bersama
tanpa ikatan pernikahan. Kehidupan mereka seperti kehidupan berkeluarga
1. Struktur Keluarga
Menurut Friedman, dalam Bakri, (2017: 20-25). Menjelaskan bahwa struktur dalam
keluarga terbagi menjadi empat, antara lain
a. Pola Komunikasi Keluarga
Komunikasi yang dibangun akan menentukan kedekatan antara
anggota keluarga. Pola komunikasi ini bisa menjadi salah satu ukuran
kebahagiaan sebuah keluarga. Di dalam keluarga ada interaksi yang berfungsi
memiliki karakterisitik terbuka, jujur, berpikiran positif, dan selalu berupaya
menyelesaikan konflik keluarga. Komunikasi berkualitas antara pembicara
dan pendengar (Stimulus-respons).
Sedangkan pola komunikasi yang tidak berfungsi dengan baik akan
menyebabkan berbagai persoalan. Karakteristik pola komunikasi keluarga
tidak berfungsi seperti: fokus pembicaraan hanya pada satu orang, tidak ada
diskusi di dalam rumah, seluruh anggota keluarga hanya menyetujui atau
terpaksa, hilangnya empati dalam keluarga karena masing-masing anggota
keluarga tidak bisa menyatakan pendapatnya sehingga keluarga menjadi
tertutup.
b. Struktur Peran
Struktur peran merupakan serangkaian perilaku yang diharapkan
sesuai dengan posisi sosial yang diberikan. Bapak berperan sebagai kepala
rumah tangga, ibu berperan sebagai wilayah domestik, anak dan lain
sebagainya memiliki peran masing-masing dan diharapkan saling mengerti
dan mendukung. Peran informal dijalankan dalam kondisi tertentu atau sudah
menjadi kesepakatan antara anggota keluarga. Misalnya seorang suami
memperbolehkan istrinya bekerja di luar rumah, begitu pula sebaliknya suami
juga tidak segan mengerjakan membantu istri mengurus rumah.
2. Fungsi Keluarga
Menurut Friedman, dalam Bakri, (2017: 31). Mengelompokkan fungsi pokok
keluarga sebagai berikut;
a. Fungsi Reproduktif Keluarga
Fungsi reproduktif keluarga adalah Sebuah peradaban dimulai dari
rumah, yaitu dari hubungan suami-istri terkait pola reproduksi. Sehingga
adanya fungsi ini ialah untuk mempertahankan generasi dan menjaga
kelangsungan keluarga.
b. Fungsi Sosial Keluarga
Fungsi yang mengembangkan dan melatih anak untuk hidup bersosial
sebelum meninggalkan rumah dan berhubungan dengan orang lain. Dalam hal
ini, anggota keluarga belajar disiplin, normanorma, budaya, dan perilaku
melalui interaksi dengan anggota keluarganya sendiri.
c. Fungsi Afektif Keluarga
Fungsi ini hanya bisa diperoleh dalam kelarga, tidak dari pihak luar.
Maka komponen yang diperlukan dalam melaksanakan fungsi afektif yaitu
mendukung, menghormati, dan saling asuh. Intinya, antara anggota keluarga
satu dengan anggota yang lain berhubungan baik secara dekat, dengan cara
inilah, seorang anggota keluarga merasa mendapatkan perhatian, kasih saying,
dihormati, kehangatan dan lain sebagainya. Pengalaman di dalam keluarga ini
akan mampu membentuk perkembangan individu dan psikologis anggota
keluarga. Dengan kata lain, memiliki kualitas tidur yang baik dapat
mempengaruhi dan sangat penting unutk hidup sehat bagi semua orang
(Wavy, 2008). Menurut Hidayat (2006), menyebutkan kualitas tidur seseorang
dikatakan baik apabila tidak menunjukkan masalah dalam tidurnya dan tanda
kekurangan tidur.
a. Faktor faktor yang mempengaruhi pola tidur
Sejumlah faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas tidur, kualitas
tidur mengandungan arti kemampuan individu untuk tetap tidur dan bangun
dengan jumlah tidur REM dan NREM yang cukup. Sedangkan kuantitas tidur
berarti total waktu tidur individu. Faktor psikologis, fisiologi dan lingkungan
dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas tidur. Beberapa faktor tersebut
adalah sebagai berikut (Bruno, 2019):
1) Usia Durasi dan kualitas tidur beragam diantara orang-orang dari semua
kelompok usia
2) Penyakit Fisik Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri,
ketidaknyamanan (seperti kesulitan bernafas), atau masalah hati seperti
kecemasan atau depresi dapat menyebabkan masalah tidur
3) Gaya Hidup
4) Rutinitas harian seseorang mempengaruhi pola tidur seseorang.Individu
dengan waktu kerja tidak sama setiap harinya seringkali mempunyai
kesulitan menyesuaikan perubahan pola tidur. Perubahan lain yang
menggunakan pola tidur merupakan kerja berat yang tidak biasanya,
terlihat dalam aktivitas sosial pada larut malam, perubahan waktu makan
malam
5) Lingkungan
Lingkungan fisik tempat seseorang tidur berpengaruh penting pada
kemampuan untuk tertidur.Ventilasi yang baik adalah esensial untuk tidur
yang tenang. Ukuran dan posisi tempat tidur mempengaruhi kualitas
tidur.
6) Kelelahan Apabila mengalami kelelahan dapat memperpendek periode
pertama dari tahap REM
7) Kecemasan
Pada keadaan cemas seseorang mungkin meningkatkan saraf simpatis
sehingga menggangu tidurnya.
Adapun penyebab yang dapat menyebabkan seseorang mengalami
gangguan pola tidur (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016) yaitu:
a. Hambatan lingkungan yang terdiri dari:
1) Kelembaban lingkungan sekitar
2) Suhu lingkungan
3) Pencahayaan
4) Kebisingan
5) Bau yang tidak sedap
6) Jadwal pemantauan atau pemeriksaan atau tindakan
b. Kurang kontrol tidur
1) Kurang privasi
2) Restraint fisik
3) Ketiadaan teman tidur
4) Tidak familiar dengan peralatan tidur
b. Faktor yang mempengarui kualitas dan kuantitas tidur
Kualitas dan kuantitas tidur dapat memengaruhi beberapa faktor.
Kualitas tersebut dapat menunjukkan adanya kemampuan individu untuk tidur dan
memperoleh jumlah istirahat sesuai dengan kebutuhannya. Berikut ini merupakan
faktor yang dapat memengaruhi pemenuhan kebutuhan tidur seseorang, antara
lain:
1. Status kesehatan atau penyakit
Seseorang yang kondisi tubuhnya sehat memungkinkan untuk
dapattidur dengan nyenyak. Sakit dapat memengaruhi kebutuhan tidur
seseorang. Banyak penyakit yang dapat memperbesar kebutuhan tidur,
seperti penyakit yang disebabkan oleh infeksi. Banyak juga keadaan
sakit yang menjadikan pasien kurang tidur.
2. Latihan dan kelelahan
Kelelahan akibat aktivitas yang tinggi dapat memerlukan lebih
banyak tidur untuk menjaga keseimbangan energi yang telah
dikeluarkan. Hal tersebut terlihat pada seseorang yang telah melakukan
aktivitas dan mencapai kelelahan. Dengan demikian, orang tersebut akan
lebih cepat untuk dapat tidur karena tahap tidur gelombang lambatnya
(NREM) diperpendek.
3. Lingkungan
Keadaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seseorang
dapat mempercepat proses terjadinya tidur. Sebaliknya, lingkungan
yangtidak aman dan nyaman bagi seseorang dapat menyebabkan
hilangnya ketenangan sehingga memengaruhi proses tidur.
4. Stress emosional
Ansietas dan depresi sering kali mengganggu tidur seseorang.
Kondisi ansietas dapat meningkatkan kadar norepinefrin darah melalui
stimulasi system saraf simpatis. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya
siklus tidur NREM tahap IV dan tidur REM serta seringnya terjaga saat
tidur.
5. Obat atau medikasi
Obat – obatan tertentu dapat memengaruhi kualitas tidur seseorang.
Beberapa jenis obat yang dapat menimbulkan gangguan tidur yaitu
sebagai berikut :
a. Diuretik yang dapat menyebabkan insomnia
b. Anti depresan yang dapat menyebabkan supresi pada tidur
REM
c. Kafein yang digunakan untuk meningkatkan saraf simpatis
yang dapat menyebabkan seseorang mengalami kesulitan
untuk tidur.
d. Beta bloker dapat menimbulkan insomnia
e. Narkotika dapat menyupresi REM sehingga mudah
mengantuk
f. Amfetamin dapat menurunkan tidur REM
6. Nutrisi
Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang cukup dapat mempercepat
proses tidur protein yang tinggi seperti terdapat pada keju, susu,
daging, dan ikan tuna dapat berfungsi untuk mempercepat seseorang
untuk tidur, karena adanya L – Triptofan yang merupakan asam amino
dari protein yang dicerna. Sebaliknya minuman yang mengandung
kafein ataupun alkohol akan mengakibatkan seseorang tidurnya
terganggu. Penurunan berat badan dikaitkan dengan penurunan waktu
tidur dan seringnya terjaga pada malam hari. Sebaliknya, penambahan
berat badan dikaitkan dengan peningkatan total tidur dan dan sedikitnya
periode terjaga di malam hari
7. Motivasi
Motivasi merupakan suatu dorongan atau keinginan seseorang
untuk tidur, sehingga dapat memengaruhi proses tidur. Selain itu, adanya
keinginan untuk tidur dapat menimbulkan gangguan proses tidur.
8. Gaya hidup
Kelelahan dapat memengaruhi pola tidur seseorang. Kelelahan
tingkat menengah orang dapat tidur nyenyak. Sementara pada kelelahan
yang berlebihan akan menyebabkan periode tidur REM lebih pendek.
9. Stimulan dan alcohol
Kafein yang terkandung dalam beberapa minuman dapat
merangsang SSP sehingga dapat mengganggu pola tidur. Sementara
mengonsumsi alkohol yang berlebihan dapat mengganggu siklus tidur
REM
10. Merokok
Nikotin yang terkandung dalam rokok memiliki efek stimulasi
pada tubuh. Akibatnya yaitu perokok sering kali kesulitan untuk tidur
dan mudah terbangun di malam hari (Saryono & Tri Widianti, 2011)
c. Penilaian Pola Tidur
Menurut Susilo (2017), kualitas tidur dapat dilihat melalui tujuh komponen,
yaitu:
1) Kualitas tidur subjektif : yaitu penilaian subjektif diri sendiri
terhadap kualitas tidur yang dimiliki, adanya perasaan terganggu
dan tidak nyaman pada diri sendiri berperan terhadap penilaian
kualitas tidur.
2) Latensi tidur : yaitu berapa waktu yang dibutuhkan sehingga
seseorang bisa tertidur, ini berhubungan dengan gelombang tidur
sesorang.
3) Efisiensi tidur : yaitu didapatkan melalui presentase kebutuhan
tidur manusia, dengan menilai jam tidur seseorang dan durasi tidur
seseorang dan durasi tidur sehingga dapat disimpulkan apakah
sudah tercukupi atau tidak.
4) Durasi tidur : yaitu dinilai dari waktu mulai tidur sampai waktu
terbangun, waktu tidur yang tidak terpenuhi akan menyebabkan
kualitas tidur yang buruk.
5) Gangguan tidur : yaitu seperti adanya mengorok, gangguan
pergerakan sering terbangun dan mimpi buruk dapat
mempengaruhi proses tidur seseorang.
6) Penggunaan obat tidur dapat menandakan seberapa berat gangguan
tidur yang dialami, karena penggunaan obat tidur diindikasikan
apabila orang tersebut sudah sangat terganggu pola tidurnya dan
obat tidur dianggap perlu untuk membantu tidur.
7) Gangguan tidur yang dialami pada siang hari atau adanya
gangguan pada kegiatan sehari-hari diakibatkan oleh perasaan
mengantuk
d. Jenis Pola Tidur
Menurut Bruno (2019), jenis tidur dibedakan menjadi 2 jenis yaitu :
1) Tipe Rapid Eye Movement (REM) Seseorang biasanya mencapai
tidur REM sekitar 90 menit ke siklus tidur, mimpi yang seperti
kenyataan terjadi di fase REM. Mimpi merupakan hasil dari
neuron-neuron bagian bawah otak atau yang disebut dengan Pons
yang bekerja secara spontan selama tidur REM. Tidur REM
terlihat penting untuk pemulihan kognitif. Tidur REM
dihubungkan dengan perubahan dalam aliran darah serebral,
peningkatan aktifitas kortikol, peningkatan konsumsi oksigen, dan
pelepasan epinefrin.Hubungan ini dapat membantu penyimpanan
memori dan pembelajaran.Selama tidur otak menyaring informasi
yang disimpan tentang aktifitas hari tersebut.
2) Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM) Terdapat 4 tahap yaitu :
a) Tahap stadium Satu Merupakan tahap paling dangkal tidur,
tahap ini berakhir beberapa menit dan pengurangan aktifitas
dimulai dengan penurunan secara bertahap tanda-tanda vital
dan metabolisme, biasanya tahap ini seseorang sangat mudah
terbangun oleh stimulus sensori dan ketika terbangun
seseorang merasa lelah seperti telah melamun.
b) Tahap stadium Dua Merupakan periode tidur bersuara,
kemajuan relaksasi dan mudah terbangun masih relatif mudah.
Tahap ini berakhir10 menit hingga 20 menit dan kelanjutan
fungsi tubuh melambat.
c) Tahap stadium Tiga Meliputi tahap awal dari tidur yang
dalam, orang akan sulit dibangunkan dan jarang bergerak,
otot-otot dalam keadaan santai penuh dan tanda-tanda vital
menurun tetapi tetap teratur.
d) Tahap stadium Empat Merupakan tahap tidur terdalam dan
sangat sulit membangunkan orang yang tidur. Pada tahap ini
tanda-tanda vital menurun secara bermakna dibandingselama
jam terjaga, dan tidur sambil berjalan dan enuresis dapat
terjadi pada tahap ini
e. Pengukuran Pola Tidur
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner
Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), yang telah dikembangkan oleh
Contreras et al., (2014). Instrument ini telah baku dan banyak digunakan
dalam penelitian kualitas tidur seperti dalam penelitian (Majid, 2014).
Menurut Contreras et al., (2014) dalam (Majid, 2014), untuk menilai pola
tidur pada keluarga pasien diperlukan suatu alat ukur.
Pengukuran pola tidur pada keluarga pasien dilakukan dengan
wawancara atau kuesioner yang menanyakan tentang isi materi yang akan
diukur dari subjek penelitian. Interpretasi nilai skor kualitas tidur :
a. Kualitas tidur tinggi nilai : 1-5
b. Kualitas tidur cukup nilai : 6-7
c. Kualitas tidur kurang nilai : 8-14
d. Kualitas tidur rendah nilai : 15-21
f. Penyimpangan Pola Tidur
Penyimpangan pola tidur yang Umum Terjadi Ada beberapa
penyimpangan atau gangguan tidur yang umum terjadi pada individu
antaranya : (Wahid Iqbal Mubarak, Indarawati, & Santo, 2015) :
a. Insomnia
Insomnia adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan tidur,
baik secara kualitas maupun kuantitas. Gangguan tidur ini
umumnya ditemui pada individu dewasa. Penyebabnya bisa
karena gangguan fisik atau karena faktor mental seperti perasaan
gundah atau gelisah.
b. Parasomnia
Parasomnia adalah perilaku yang dapat mengganggu tidur atau
muncul saat seseorang tidur. Beberapa turunan parasomnia antara
lain sering terjaga seperti tidur berjalan, gangguan transisi bangun
tidur seperti mengigau, parasomnia yng terkait dengan tidur REM
seperti mimpi buruk.
c. Hipersomnia
Hipersomnia adalah kebalikan dari insomnia, yaitu tidur yang
berlebihan terutama pada siang hari. Gangguan ini dapat
disebabkan oleh kondisi medis tertentu, seperti kerusakan system
saraf, gangguan pada hati atau ginjal, atau karena gangguan
metabolisme.
d. Narkolepsi
Narkolepsi adalah gelombang kantuk yang tidak bisa tertahankan
yang muncul secara tiba – tiba pada siang hari. Gangguan ini
disebut juga sebagai “serangan tidur” atau sleep attack.
e. Apnea saat tidur
Apnea saat tidur adalah kondisi terhentinya nafas secara periodik
pada saat tidur. Kondisi ini diduga terjadi pada orang yang
mengorok dengan keras, sering terjaga di malam hari, insomnia,
mengantuk berlebihan pada siang hari, sakit 17 kepala di pagi
hari, iritabilitas, atau mengalami perubahan psikologis seperti
hipertensi atau aritmia jantung.
f. Sleep walking
Sleep walking adalah perilaku yang dapat mengganggu tidur atau
muncul saat seseorang tidur atau perilaku tidak normal.
g. Kebutuhan Tidur
Kebutuhan tidur manusia tergantung pada tingkat perkembangan. Tabel
berikut merangkum kebutuhan tidur manusia berdasarkan usia.
Usia Tingkat perkembangan Jumlah kebutuhan

0-1 bulan Bayi baru lahir 14-18 jam/hari

1 bulan-18 bulan Masa bayi 12-14 jam/hari

18 bulan-3 tahun Masa anak 11-12 jam/hari

3 tahun-6 tahun Masa prasekolah 11-12 jam/hari

6 tahun-12 tahu Masa sekolah 11 jam /hari

12-18 tahun Masa remaja 8,5 jam/hari

18 tahun-40 tahun Masa dewasa 7-8 jam/hari

40 tahun-60 tahun Masa muda paruh baya 7 jam/hari

60 tahun ke atas Masa dewasa tua 6 jam/hari

Kuantitas tidur merupakan jumlah faktor jam tidur yang


dibutuhkan untuk kecukupan kebutuhan tidur. Sebagian orang merupakan
penidur panjang (long sleeper) yaitu orang yang tidur lebih dari 9 jam
setiap malam sehingga dapat berfungsi dengan adekuat. Dan beberapa
lainnya merupakan penidur pendek (short sleeper) dan hanya membutuhkan
tidur kurang dari 6 jam setiap malam untuk dapat berfungsi secara adekuat.
Penidur panjang biasanya memiliki periode REM yang lebih banyak serta
lebih banyak REM pada setiap periode ( dikenal dengan densitas REM )
daripada penidur pendek.
Kadang-kadang pergerakan ini dianggap sebagai ukuran untuk
intensitas tidur REM dan berkaitan dengan kejelasan mimpi. Meningkatnya
kebutuhan tidur terjadi pada kerja fisik, olah raga, kehamilan, penyakit dan
tekanan jiwa umum, serta meningkatnya aktivitas mental. Peningkatan
periode tidur REM setelah stimulus psikologis yang kuat, contohnya situasi
belajar yang sulit serta stres, dan setelah penggunaan bahan kimia atau obat
yang dapat menurunkan katekolamine otak.
Penelitian ini akan dilakukan pada dewasa yang berumur 18 tahun
ke atas. Kebutuhan tidur pada kelompok usia 18 tahun ke atas normalnya
adalah sekitar 7-8 12 jam/hari. Kebutuhan tidur yang terpenuhi tentunya
dapat menghasilkan pengeluaran serotonin yang cukup. (Mubarak, et. All,
2015).
Selama tidur, denyut jantung turun sampai 60 denyut per menit
atau kurang. Ini berarti bahwa selama tidur jantung berdetak 10-20 kali
lebih lambat dalam setiap menit atau 60-120 kali lebih sedikit dalam setiap
jam. Oleh karena itu, tidur yang cukup bermanfaat dalam mempertahankan
fungsi jantung. Fungsi biologis lainnya yang menurun selama tidur adalah
pernapasan, tekanan darah, dan otot (McCance dan Huether, 2006 dalam
potter & Perry 2010).

D. Ruang ICU
Apabila sarana dan prasarana ICU di suatu rumah sakit terbatas sedangkan
kebutuhan pelayanan ICU yang lebih tinggi banyak, maka diperlukan mekanisme untuk
membuat prioritas pasien masuk berdasarkan beratnya penyakit dan prognosis. Krietria
prioritas pasien masuk menurut Pedoman Pelayanan Instalasi Rawat Intensif RSUP
Dokter Kariadi Semarang (2016) yaitu:
a) Pasien prioritas 1
Kelompok ini merupakan pasien kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi
intensif dan tertitrasi seperti: dukungan ventilasi, alat penunjang fungsi organ,
infus, obat vasoaktif/inotropik obat anti aritmia. Sebagai contoh pasien pasca
bedah kardiotoraksis, sepsis berat, gangguan keseimbangan asam basa dan
elektrolit yang mengancam nyawa.
b) Pasien prioritas 2
Golongan pasien memerlukan pelayanan pemantauan canggih di ICU,
sebab sangat beresiko bila tidak mendapatkan terapi intensif segera, misalnya
pemantauan intensif menggunakan pulmonary arterial catheter. Contoh pasien yang
mengalami penyakit dasar jantung-paru, gagal ginjal akut dan berat atau pasien yang
telah mengalami pembedahan mayor. Terapi pada golongan pasien prioritas 2 tidak
mempunyai batas karena kondisi mediknya senantiasa berubah. c) Pasien priorotas 3
Pasien golongan ini adalah pasien kritis, yang tidak stabil status kesehatan
sebelumnya, yang disebabkan penyakit yang mendasarinya atau penyakit
akutnya, secara sendirian atau kombinasi. Kemungkinan sembuh dan atau
manfaat terapi di ICU pada golongan ini sangat kecil. Sebagai contoh antara lain
pasien dengan keganasan metastatik disertai penyulit infeksi, pericardial
tamponande, sumbatan jalan nafas, atau pesien penyakit jantung, penyakit paru
terminal disertai kmplikasi penyakit akut berat.
Pengelolaan pada pasien golongan ini hanya untuk mengatasi kegawatan
akutnya saja, dan usaha terapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi. atau
resusitasi jantung paru.
d) Pengecualian
Dengan pertimbangan luar biasa, dan atas persetujuan kepala Instalasi
Rawat Intensif, indikasi masuk pada beberapa golongan pasien bisa dikecualikan
dengan catatan bahwa pasien golongan demikian sewaktu-waktu harus bisa
dikeluarkan dari ICU agar fasilitas terbatas dapat digunakan untuk pasien
prioritas 1,2,3. Sebagai contoh: pasien yang memenuhi kriteria masuk tetapi
menolak terapi tunjangan hidup yang agresif dan hanya demi perawataan yang
aman saja, pasien dengan perintah “Do Not Resuscitate”, pasien dalam keadaan
vegetatif permanen, pasien yang dipastikan mati batang otak namun hanya
karena kepentingan donor organ, maka pasien dapat dirawat di ICU demi
menunjang fungsi organ sebelum dilakukan pengambilan organ untuk donasi.
Pasien di ruang ICU berbeda dengan pasien di ruang rawat biasa, karena mereka
mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi terhadap perawat, dokter, maupun
ketergantungan terhadap alat seperti ventilator. Reaksi pasien yang akan dirawat di ruang
ICU berbeda-beda yang diantaranya adalah muncul kecemasan. Perasaan cemas ini
muncul ketika seseorang terlalu mengkhawatirkan kemungkinan peristiwa yang
menakutkan yang terjadi di masa depan yang tidak bisa dikendalikan, dan jika itu terjadi
akan dinilai menjadi sesuatu yang mengerikan (Silvatar, 2007 dalam Saragih dan Yulia
Suparmi, 2017). Pasien dan keluarga seringkali menganggap perawatan di ICU adalah
suatu tanda penyakit yang kritis dan suatu tanda kematian akan terjadi. Pemahaman
terhadap makna perawatan kritis dapat membantu perawat dalam merawat mereka.

Respon dalam kamus bahasa berarti jawaban, balasan, tanggapan. Respon


seseorang terhadap stimulus yang berkaitan sakit dan penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, makna serta lingkungan disebut dengan perilaku kesehatan. Respon atau reaksi
manusia baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap) maupun bersikap aktif
(tindakan nyata atau praktis).Adapun stimulus atau rangsangan disini terdiri dari 4 unsur
pokok yaitu: sakit, penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan. Terkait dengan
respon keluarga pada anggota keluarga yang dirawat di ruang intensif, keluarga seringkali
merasakan stress ataupun cemas.

Kecemasan yang tinggi muncul akibat beban yang harus diambil dalam
pengambilan keputusan dan pengobatan yang terbaik bagi pasien. Respon keluarga
terhadap stres bergantung pada persepsi terhadap stress, kekuatan, dan perubahan gaya
hidup yang dirasakan terkait dengan penyakit kritis pada anggota keluarga. Pada titik
kritis ini, fungsi keluarga inti secara signifikan berisiko mengalami gangguan (Nurhadi,
2014).
E. Kerangka Teori

Keterangan:
: Diteliti
: Tidak diteliti
: Garis penghubung

Bagan 2.1.Kerangka konseptual hubungan antara tingkat kecemasan keluarga dengan


Gangguan pola tidur keluarga pasien di ruang ICU RS.Elizabeth Situbondo

Berdasarkan Bagan 2.1 Dapat di jelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi


Kecemasan yaitu Faktor fisik, Trauma, Lingkungan, Individu dan Keluarga, Dalam
sebuah unit keluarga, penyakit yang diderita salah satu anggota keluarga akan
mempengaruhi salah satu atau lebih anggota keluarga dalam hal tertentu, seringkali
akan mempengaruhi anggota keluarga yang lain.
Bila salah satu individu dalam sebuah keluarga menderita penyakit dan
memerlukan tindakan perawatan, maka hal ini tidak akan menimbulkan cemas pada
dirinya sendiri tapi juga dengan keluarganya, kecemasan tersebut dapat mengakibatkan
gangguan pola tidur, tahapan tidur yaitu Non-rapid Eye Movement (NREM) dan Rapid
Eye Movement (REM). Individu yang mengalami gangguan pola tidurnya akan
mengalami kualitas tidur yang rendah.
3.2 Hipotesis Penelitian

Secara umum pengertian hipotesis berasal dari kata hipo (lemah) dan tesis
(pernyataan), yaitu suatu pernyataan yang masih lemah dan membutuhkan pembuktian
untuk menegaskan apakah hipotesis tersebut dapat di terima atau harus di tolak.
berdasarkan fakta atau data empiris yang telah di kumpulkan dalam penelitian (
Nursalam,2016)

H1: Ada hubungan antara tingkat kecemasan keluarga dengan kualitas tidur
keluarga pasien di ruang tunggu ICU RS.Elizabeth Situbondo
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desaine Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif yaitu
dengan menggunakan desain penelitian deskriptif korelasi yaitu penelitian yang bertujuan
mendeskripsikan atau memaparkan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada masa
kini (Nursalam, 2015). Penelitian ini menggambarkan tentang karakteristik responden,
tingkat kecemasan keluarga pasien diruang tunggu ICU, serta memaparkan hubungan
tingkat kecemasan keluarga dengan gangguan pola tidur keluarga pasien di ruang tunggu
ICU. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional yaitu jenis desain penelitian
yang menekankan waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan
dependen hanya satu kali pada satu saat (Nursalam, 2015). Dalam penelitian ini
dilakukan pengukuran tingkat kecemasan keluarga dengan gangguan pola tidur keluarga
pasien di ruang tunggu ICU

B. Kerangka Kerja
Gambar 3.1. Kerangka kerja hubungan tingkat kecemasan keluarga dengan gangguan pola tidur keluarga
pasien di ruang tunggu Intensive Care Unit (ICU) di RS. Elizabeth Situbondo

C. Populasi,sampel,sampling
1. Populasi
Populasi dalam penelitian adalah subjek yang memenuhi kriteria yang telah
ditetapkan (Nursalam, 2015). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga
dari pasien yang dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU). Dalam penelitian ini
populasinya adalah semua keluarga pasien di ruang tunggu ICU sejumlah 30
responden.
2. Sampel
a. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari populasi yaitu sebagian keluarga
dari pasien yang dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU). untuk menentukan
jumlah sampel yang sesuai dengan proporsi populasi maka
digunakan rumus penelitian sampel sejumlah yaitu: menurut nursalam (2016)
b. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu
populasi target dan terjangkau yang akan di teliti. Kriteria inklusi pada penelitian
ini adalah :
1) Bersedia menjadi responden
2) Keluarga pasien yang menginap
3) Keluarga terdekat
c. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi adalah menghilangkan/mengeluarkan subyek yang
memenuhi kriteria dari penelitian karena berbagai sebab.
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah :
1) Responden yang tidak ada ditempat saat penelitian.
2) Keluarga yang tidak menyetujui menjadi responden.
3) Keluarga yang tidak menginap

n= n
1 + ( N.d2)
n= 30
1 + (30. 0,0025)
n = 30

1,075 n = 28
responden
Keterangan :
n = jumlah sampel
N = besar populasi
d = Tingkat kepercayaan yang diinginkan (0,05)

3. Tehnik Sampling
Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili
populasi. Tehnik sampling adalah merupakan cara yang ditempuh untuk
pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar yang sesuai dengan
keseluruhan subyek penelitian ( Nursalam, 2016). Tehnik Sampling yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Probability Sampling dengan menggunakan metode
Simple Random Sampling.
Pengumpulan data yang dilakukan adalah menggunakan data primer, dengan
menggunakan kuesioner yang diberikan kepada keluarga pasien yang memenuhi
kriteria sampel. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dan usia . Hal ini
disebabkan karena mayoritas responden adalah keluarga terdekat dari pasien yang
menunggu dan menemani pasien dalam menjalani proses perawatan intensif di
Ruang ICU
D. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini menggunakan analitik korelasional dengan pendekatan cross
sectional
E. Variabel Penelitian
1. Variabel Independent/ Bebas / yang mempengaruhi)
Variabel Independent dalam penelitian ini adalah tingkat kecemasan keluarga pasien
Dengan menggunakan skala ordinal
Skala data : N / O / I / R
Keterangan
N : Nominal O : Ordinal I : Interval R : Ratio
2. Variabel Dependent / terikat / yang dipengaruhi)
Variabel Dependen dalam penelitian ini adalah kualitas tidur keluarga pasien
Dengan menggunakan skala ordinal
Skala data : N / O / I / R
Keterangan
N : Nominal O : Ordinal I : Interval R : Ratio

F. Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Parameter / Alat Ukur Skala Kategori
(menurut peneliti bersifat Indikator Data
operasional tidak boleh
bertentangan dengan teori,
bersifat operasional)

Bebas Kecemasan keluarga Respon Kuisioner ordinal Normal/tidak


pasien yang dirawat di fisiologis : Zung cemas : Skor 20-
dan SelfRating 44
ICU
Kecemasan
psikologis Anxiety
ringan : Skor
dari 20 Scale
45-59
pertanyaan (SAS/ Kecemasan
dalam SRAS) sedang : Skor
skala 60-74
ZSAS Kecemasan
berat : Skor
75-80
Terikat Kualitas tidur keluarga Mengetahu Lembar ordinal Kualitas tidur:
pasien i kualitas quisioner Skor minimal : 0
pola tidur Skor maksimal :
Pittsburght 21
Sleep Interpretasi:
Quality
Index Total score < 5 :
(PSQI) kualitas tidur
baik

Total score ≥ 5 :
kualitas tidur
buruk

G. Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Bahan dan Instrumen Penelitian


Instrument penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data agar penelitiannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti
lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah (Arikunto,2015).
Instrument dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner merupakan alat ukur berupa
angket atau kuesioner dengan beberapa pertanyaan (Nursalam, 2013).
a. Instrument untuk mengukur kecemasan
Instrumen yang digunakan untuk mengukur tingkat kecemasan pada penelitian ini
adalah instrument ZSAR-S (Zung Self Anxiety Rating-Scale). Zung Self Anxiety
Rating-Scale adalah instrument untuk menilai kecemasan yang dirancang oleh
William WK Zung, yang dikembangkan berdasarkan gejala kecemasan dalam
Diagnostic and Statistical Maual of Mental Disorders (DSMII). Zung Self Anxiety
Rating-Scale memiliki 20 pertanyaan yang terdiri dari 15 pertanyaan Unfavourable
dan 5 Favourable. Setiap pertanyaan favorable dan unfavorable memiliki penskoran
yang berbeda. Berdasarkan skala Linkert pertanyaan favourable memiliki skor 1-4,
dimana skor 4 menggambarkan hal negative dengan penilaian selalu (1), sering (2),
kadang kadang (3), tidak pernah (4). Sedangkan untuk pertanyaan unfavorable,
sangat jarang (1), kadang kadang (2), sering (3), selalu (4). Selanjutnya skor yang di
capai dari semua item pertanyaan di jumlahkan, kemudian skor yang di dapat
dikategorikan menjadi 4 kriteria tingkat kecemasan (Nursalam, 2013) yaitu:
1. Normal/tidak cemas : Skor 20-44
2. Kecemasan ringan : Skor 45-59
3. Kecemasan sedang : Skor 60-74
4. Kecemasan berat : Skor 75-80

b. Instrument untuk mengukur kualitas tidur


Instrumen yang digunaan untuk mengukur kualitas tidur pada penelitian ini
adalah instrumen Indeks Kualitas Tidur Pittsburgh (PSQI). Pittsburgh Sleep
Quality Index (PSQI) adalah instrument baku yang berupa kuisioner yang
terdiri dari 19 pertanyaan yang di kelompokan menjadi 7 sub pertanyaan dan
diturunkan secara klinis, masing-masing berbobot sama 0-3. Pada variabel ini
menggunakan skala ordinal dengan skor keseluruhan dari PSQI adalah 0 sampai
dengan nilai 21 yang diperoleh dari 7 komponen penilaian diantaranya kualitas
tidur secara subyektif (subjective sleep quality), waktu yang diperlukan untuk
memulai tidur (sleep latency), lamanya waktu tidur (sleep duration), efisiensi tidur
(habitual sleep efficiency), gangguan tidur yang sering dialami pada malam hari
(sleep disturbance), penggunaan obat untuk membantu tidur (using medication),
dan gangguan tidur yang sering dialami pada siang hari (daytime disfunction).
Semua skor yang didapat dijumlahkan dengan interpretasi hasil :
Total score < 5 : kualitas tidur baik
Total score ≥ 5 : kualitas tidur buruk

c. Waktu dan lokasi penelitian


Waktu penelitian : Penelitian ini akan dimulai pada tanggal 15 agustus sampai 1
september 2022
Lokasi Penelitian : Penelitian ini akan dilakukan ruang tunggu ICU RS.
Elizabeth situbondo.
2. Prosedur pengambilan data dan uji validitas
a. Prosedur pengambilan data :
1. Peneliti mengurus surat permohonan untuk melaksanakan penelitian ke
bagian administrasi di program studi keperawatan S1 keperawatan alih
jenjang Institut Ilmu Kesehatan (IIK) STRADA Indonesia Kediri
2. Setelah mendapatkan surat ijin dari Institut Ilmu Kesehatan (IIK)
STRADA Indonesia Kediri, peneliti manyampaikan surat ijin penelitian
ke bagian Administrasi RS. Elizabeth Situbondo.
3. Peneliti menyampaikan surat ijin kepada direktur RS.
Elizabeth Situbondo.
4. Peneliti mengajukan ijin dan kesepakatan kepada responden yang akan
dijadikan sampel penelitian dengan memberikan penjelasan dan
menandatangani inform consent.
5. Setelah responden menyetujui dan menandatangani inform consent,
kemudian peneliti memberikan quisioner untuk diisi oleh responden.
6. Sebelum mengisi quisioner peneliti menjelaskan kepada responden
bagaimana tehnik pengisian quisioner.

a. Uji Validitas :
1) Uji Validitas
Prinsip validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang berarti prinsip
keandalan instrumen dalam mengumpulkan data. Instrumen harus dapat
mengukur apa yang seharusnya diukur (Nursalam, 2016).
Uji validitas dilakukan untuk mengetahui sejauh mana ketepatan suatu
alat ukur dalam mengukur suatu data.Untuk mengetahui validitas suatu
instrumen (dalam hal ini kuesioner) dilakukan dengan cara melakukan korelasi
antar skor masing-masing variabel dengan skor totalnya. Teknik korelasi yang
digunakan korelasi Pearson Product Moment. Suatu variabel (pertanyataan)
dinyatakan valid bila skor variabel tersebut berkorelasi secara signifakan
dengan skor totalnya dengan cara membandingkan nilai r tabel dengan nilai r
hitung. Bila r hasil (hitung) > r tabel, maka pertanyaan tersebut valid. Peneliti
tidak melakukan uji validitas terhadap data demografi (Data umum responden),
kuesioner tingkat kecemasan (Zung Self-Rating Anxiety Scole (SAS/SRAS)
dan kuesioner kualitas tidur (Pittsburght Sleep Quality Index (PSQI), dimana
instrumen yang digunakan merupakan instrumen yang baku sehingga tidak
diakukan uji validitas.
2) Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan bila
fakta atau kenyataan hidup tadi diukur atau diamati berkali-kali dalam waktu
yang berlainan. Alat dan cara mengukur atau mengamati sama-sama memegang
peranan yang penting dalam waktu yang bersaman. Perlu diperhatikan bahwa
reabil belum tentu akurat (Nursalam, 2011).
Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui sejauh mana hasil
pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan alat ukur
yang sama. Pengukuran reliabilitas dilakukan dengan cara yaitu: Split Half
(Teknik belah dua) yang dianalisis dengan rumus Uji Spearman Rank. Untuk
keperluan itu maka butir-butir instrumen di belah menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok instrument ganjil dan kelompok genap. Selanjutnya, skor data tiap
kelompok itu disusun sendiri. Skor total antara kelompok ganjil dan genap
dicari korelasinya.
Dinyatakan reliabel bila skor variabel tersebut berkorelasi secara signifikan
dengan skor totalnya dengan cara membandingkan nilai r tabel dengan nilai r
hitung. Bila (Alpha)> r tabel, maka pertanyaan tersebut reliabel. Peneliti tidak
melakukan uji Reliabilitas terhadap data demografi, kuesioner tingkat
kecemasan dan kuesioner kualitas tidur keluarga pasien tidak dilakukan uji
reabilitas dikarenakan instrument yang dipakai dalam penelitian ini adalah
instrumen baku sehingga tidak diperlukan uji Reliabilitas.
3. Cara Analisis data
Setelah data terkumpul peneliti melakukan pengolahan data dengan editing, coding,
processing, cleaning.
a. Editing
Editing adalah proses melengkapi dan merapikan data yang telah
dikumpulkan untuk menghindari konversi satuan yang salah dan mengurangi
bias yang bersumber dari proses wawancara (Dwiastuti, 2017).
b. Coding
Coding yaitu proses pemberian angka pada setiap pertanyaan yang ada dalam
instrument untuk menyederhanakan dalam pemberian nama kolom dalam
proses entry data. Coding pada instrumen observasi yaitu:
Umur :
16– 35: U1,
36– 45: U2,
46 – 55: U3,
56 – 65: U4,
lebih dari 65: U5
Jenis kelamin
Laki laki :1
Perempuan : 2
Pekerjaan
Tidak bekerja : K1
PNS : K2
Wiraswasta : K3
Petani : K4
Mahasiswa / Pelajar : K5).

c. Koding
kualitas tidur (1.Kualitas tidur tinggi, 2.Kualitas tidur cukup, 3.Kualitas tidur
kurang, 4.Kualitas tidur rendah).
Koding kecemasan (tidak cemas: 1, kecemasan ringan: 2, kecemasan sedang:
3, kecemasan berat: 4 ).
d. Scoring
Scoring merupakan kegiatan menentukan nilai dari variabel yang datanya
diperoleh dari kuesioner. Penilaian pada jawaban pasien dengan variabel
tingkat kecemasan adalah : Zung Self Anxiety Rating-Scale memiliki 20
pertanyaan yang terdiri dari 15 pertanyaan Unfavourable dan 5 Favourable.
Setiap pertanyaan favorable dan unfavorable memiliki penskoran yang
berbeda. Berdasarkan skala Linkert pertanyaan favourable memiliki skor 1-
4, dimana skor 4 menggambarkan hal negative dengan penilaian selalu (1),
sering (2), kadang kadang (3), tidak pernah (4). Sedangkan untuk pertanyaan
unfavorable, sangat jarang (1), kadang kadang (2), sering (3), selalu (4).
Selanjutnya skor yang di capai dari semua item pertanyaan di jumlahkan,
kemudian skor yang di dapat dikategorikan menjadi 4 kriteria tingkat
kecemasan (Nursalam, 2013) yaitu:
1. Normal/tidak cemas : Skor 20-44
2. Kecemasan ringan : Skor 45-59
3. Kecemasan sedang : Skor 60-74
4. Kecemasan berat : Skor 75-80
Penilaian jawaban dari kuesioner kualitas tidur yaitu (a. Kualitas tidur tinggi
nilai : 1-5, b. Kualitas tidur cukup nilai : 6-7, c. Kualitas tidur kurang nilai :
8-14 , d. Kualitas tidur rendah nilai : 15-21) Total score pada gangguan pola
tidur adalah 21
e. Tabulating
Tabulating Tabulating adalah kegiatan memasukkan data hasil penelitian ke
dalam tabel sesuai kriteria. Dalam proses tabulating, peneliti terlebih dahulu
memasukkan data yang ada secara manual dengan membuat tabel. Hal ini
bertujuan agar jumlah data yang didapatkan sesuai dengan kuesioner dan
selanjutnya data di olah dengan komputer.
H. Etika Penelitian
1. Informed Consent (lembar persetujuan menjadi responden)

Inform Consent (Lembar Persetujuan Menjadi Responden) Lembar-Lembar


persetujuan diberikan kepada objek yang akan diteliti, peneliti menjelaskan maksud
dan tujuan penelitian yang akan dilakukan, Setelah responden setuju responden
menandatangani lembar inform consent.

2. Anonymity (tanpa nama)

Anonimity (Kerahasiaan Identitas) Untuk menjaga kerahasiaan obyek, peneliti tidak


mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data. Data cukup diberi kode pada
lembar instrument.

3. Confidentility (kerahasiaan)

Peneliti menjaga kerahasiaan informasi dengan cara memberikan kode pada semua
informasi diperlukan.

I. Keterbatasan Penelitian
1. Kesulitan mencari responden dalam jumlah yang banyak, dikarenakan jumlah bed
yang tersedia di ruang ICU hanya 5 bed, sehingga rata-rata pasien perbulan hanya 30
pasien.
2. Kesulitan untuk kontak dengan keluarga pasien yang anggota keluarganya dirawat di
ruang ICU.\
BAB IV
HASIL

A. Diskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Elizabeth berdiri sejak tanggal 01 April 1921 dengan nama "Balai Kesehatan
Perkebunan". Pada tanggal 19 Juni 1968, berdasarkan surat keputusan panitia likuidasi,
pengelolaannya diserahkan kepada PNP XXIV. Selanjutnya sejak tahun 1992 berubah
nama menjadi "Rumah Sakit Elizabeth", yang memberi pelayanan kesehatan bagi
karyawan perkebunan dan masyarakat umum di sekitarnya.

B. Karakteristik Responden

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik responden, dalam hal
ini keluarga pasien yang menunggu di ruang tunggu ICU RS. Elizabeth . Langkah awal
guna menjawab serta mencapai tujuan penelitian ini adalah menetapkan populasi
penelitian dan sampelnya.
Berdasarkan uraian sebelumnya, responden penelitian ini terdiri dari 30 orang yang
memenuhi ketentuan atau kriteria yang telah ditetapkan. Responden kemudian dianalisis
berdasarkan identitas diri, yang meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir,

1. Berdasarkan Usia
Hasil penelitian didapatkan data tentang usia responden di RS. Elizabeth Situbondo
sebagai berikut:
Tabel 4.1: Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia responden di RS. Elizabeth
Situbondo pada Bulan juni - juli 2023
No Usia Frekuensi (F) Prosentase (%)
1 16-35 13 43,3
2 36-45 11 36,7
3 46-55 1 3,3
4 56-65 3 10,0
5 >65 2 6,7

Jumlah 30 100
Sumber: data primer, observasi 2023

Berdasarkan tabel 4.1 didapatkan bahwa sebagian besar usia responden adalah usia 16
-35 tahun sebanyak 13 (43,3%) responden
2. Berdasarkan Jenis Kelamin
Hasil penelitian didapatkan data tentang jenis kelamin responden di RS. Elizabeth
Situbondo sebagai berikut:
Tabel 4.2: Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin responden di RS. Elizabeth
Situbondo pada Bulan juni - juli 2023

No Jenis Kelamin Prosentase (%)


1 Laki - laki 46,7

2 Perempuan 53,3

Jumlah 100

Sumber: data primer, observasi 2023

Berdasarkan tabel 4.2didapatkan bahwa sebagian besar jenis kelamin responden


adalah perempuan sebanyak 16 (53,3%) responden.

3. Berdasarkan Pekerjaan
Hasil penelitian didapatkan data tentang usia responden di RS. Elizabeth Situbondo
sebagai berikut:
Tabel 4.3 : Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia responden di RS. Elizabeth
Situbondo pada Bulan juni - juli 2023
No Pekerjaan Frekuensi (F) Prosentase (%)
1 PNS 9 30,0

2 Wiraswasta 17 56,7

3 Petani 1 3,3

4 Mahasiswa/pelajar 3 10,0

Jumlah 30 100
Sumber: data primer, observasi 2023

Berdasarkan tabel 4.3 didapatkan bahwa sebagian besar pekeerjaan responden adalah
wiraswasta sebanyak 17 (56,7%) responden

C. Karakteristik Variabel

1. Tingkat Kecemasan Keluarga Pasien di RS. Elizabeth Situbondo


Hasil penelitian didapatkan data tentang tingkat kecemasan responden di RS.
Elizabeth Situbondo sebagai berikut:

Tabel 4.4: Distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat kecemasan responden di RS.
Elizabeth Situbondo pada Bulan juni - juli 2023
No Kecemasan Frekuensi (F) Prosentase (%)

1 Tidak Cemas 2 6,7

2 Kecemasan Ringan 5 16,7

3 Kecemasan Sedang 2 6,7

4 Kecemasan Berat 21 70

Jumlah 30 100

Sumber: data primer, observasi 2023

Berdasarkan tabel 4.4 didapatkan bahwa sebagian besar tingkat kecemasan responden adalah
kecemasan berat sebanyak 21 (70%) responden.
2. Kualitas Tidur Keluarga Pasien di RS. Elizabeth Situbondo
Hasil penelitian didapatkan data tentang kualitas tidur responden di RS.
Elizabeth Situbondo sebagai berikut:
Tabel 4.5: Distribusi frekuensi responden berdasarkan kualitas tidur responden di RS.
Elizabeth Situbondo pada Bulan juni - juli 2023

N
Kualitas Tidur Frekuensi (F) Prosentase (%)
o
1 Tinggi 2 6,7
2 Cukup 4 13,3
3 Kurang 3 10,0
4 Rendah 21 70,0
Jumlah 30 100
Sumber: data primer, observasi 2023

Berdasarkan tabel 4.5 didapatkan bahwa sebagian besar kualitas tidur responden
adalah rendah sebanyak 21 (70%) responden.

D. Tabulasi Silang Antar Variabel


Tabulasi silang antara variabel 1 dan variabel 2
Tabel 4.6: Tabulasi silang hubungan tingkat kecemasan dengan kualitas tidur di RS. Elizabeth
Situbondo pada Bulan juni - juli 2023

Kualitas Tidur Total


Variabel
Tinggi Cukup Kurang Rendah
Tidak Cemas 2 0 0 0 2
Tingkat Kecemasan Ringan 0 4 1 0 5
Kecemasan Kecemasan Sedang 0 0 2 0 2
Kecemasan Berat 0 0 0 21 21
Total 2 4 3 21 30
Sumber: data primer, observasi 2023

Berdasarkan tabel 4.6 didapatkan bahwa sebagian besar kualitas tidur responden
adalah rendah sebanyak 21 (70%) responden.

E. Hasil Uji Statistik

Hasil penelitian didapatkan uji statistik dengan uji spearman rank sebagai berikut :
Tabel 4.7: Hasil uji statistik spearman rank hubungan tingkat kecemasan dengan kualitas tidur
di RS. Elizabeth Situbondo pada Bulan juni - juli 2023

Variabel N P Value
Tingkat Kecemasan 30
0.000
Kualitas Tidur 30
Sumber: data primer, observasi 2023

Berdasarkan hasil uji statistik yang dilakukan peneliti dengan menggunakan uji
Windows SPSS 16 Speearman rank didapatkan p= 0,000 sehingga p= 0,000< α =
0,05.Dari hasil analisa tersebut dapat disimpulkan H1 di terima artinya ada hubungan
tingkat kecemasan dengan kualitas tidur di RS. Elizabeth Situbondo.
BAB V

PEMBAHASAN

A. Tingkat Kecemasan
Variabel pertama dalam penelitian ini yaitu tingkat kecemasan keluarga pasien pada
saat menunggu salah satu keluarga nya di Rumah Sakit Elizabeth Situbondo pada bulan
Agustus 2023 menunjukkan hasil bahwa sebagian besar keluarga pasien yang menunggu
mengalami kecemasan berat (70%). Hal ini disebabkan karena setiap anggota keluarga
yang menunggu dirumah sakit kondisi psikologisnya terganggu dan suasana kurang
tenang sehingga seringkali menyebabkan keluarga sulit untuk tidur. Kondisi fisik
seperti ini , juga membuat mereka rentan terhadap resiko stress, kelelahan, dan ketakutan
terhadap keluarga yang dirawat di ruang ICU.
Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan
dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya (Sentana, 2016). Kecemasan pada keluarga
bisa menghambat proses perawatan pasien, karena dengan kecemasan bisa menimbulkan
stress pada keluarga yang bisa berdampak pada dukungan perawatan. Kondisi stress yang
dialami oleh keluarga dapat menghambat kemampuan keluarga dalam memberikan
dukungan kepada anggota keluarganya yang sedang dirawat di ruang perawatan intensif
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Idarahyuni et al, 2017, di
Ruang ICU RSAU Bandung didapatkan hasil bahwa kecemasan keluarga pasien yang
dirawat menunjukkan hasil kecemasan berat (41,5%), dan kecemasan sedang (31,7%).
Stress yang dialami keluarga pasien yang berada dalam keadaan kritis dalam kenyataannya
memiliki stress emosional yang tinggi sehingga membuat keluarga merasa tidak dapat
mendampingi pasien secara maksimal sehingga menimbulkan kecemasan pada keluarga,
diantaranya keluarga takut kehilangan, keluarga mengatakan susah tidur, takut anggota
keluarganya sembuh tapi mengalami kecacatan, dan takut tidak bisa membayar biaya
perawatan di ICU,. Kecemasan pada keluarga ini secara tidak langsung dapat
mempengaruhi kondisi pasien yang dirawat di ruang ICU, hal ini terjadi jika keluarga
mengalami kecemasan maka berakibat pada pengambilan keputusan yang tertunda
sehubungan dengan proses pengobatan dan perawatan yang akan diterima pasien (Budi K
dkk, 2017).
Penelitian ini sedikit berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Sulaeman
(2021) mendapatkan bahwa sebagian besar keluarga pasien mengalami kecemasan ringan
sampai sedang karena anggota keluarganya dirawat di ICU. Kecemasan yang terjadi pada
keluarga pasien yang dirawat di Ruang ICU, ditunjukkan dengan perilaku keluarga yang
selalu bertanya dengan pertanyaan yang di ulang-ulang, berkunjung diluar jam kunjung,
takut melihat alat-alat yang terpasang ditubuh pasien.
Tingkat kecemasan setiap keluarga berbeda beda, ada beberapa keluarga yang
mengalami kecemasan ringan, kecemasan sedang, kecemasan berat dan ada juga yang
tidak mengalami kecemasan sama sekali. Dari beberapa tingkat kecemasan yang keluarga
alami, semua itu di pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya usia dan jenis kelamin.
Dimana usia seseorang yang kurang dari 35 tahun ternyata lebih mudah mengalami
kecemasan daripada seseorang yang lebih tua. Sedangkan dari factor jenis kelamin,
perempuan cenderung lebih cemas akan ketidakmampuannya dan perempuan lebih
sensitive daripada laki – laki.
B. Kualitas Tidur
Variabel kedua dalam penelitian ini yaitu kualitas tidur keluarga pasien pada saat
menunggu di ruang ICU RS. Elizabeth Situbondo pada bulan Agustus 2022 menunjukkan
hasil bahwa sebagian besar keluarga pasien mengalami gangguan kualitas tidur rendah.
Gangguan kualitas tidur dapat menyebabkan kelelahan, penurunan sistem kekebalan tubuh
dan konsentrasi dalam berpikir. Gangguan rentang waktu tidur juga dikaitkan dengan
adanya masalah fungsi kognitif dan gangguan pemusatan perhatian (Yasmien, Tarigan and
Lidyana, 2020). Sesuai dengan teori tersebut, kualitas tidur keluarga pasien yang rendah,
biasanya mempengaruhi pola berpikir dan juga menyebabkan penurunan kekebalan tubuh.
Ketika kebutuhan tidur tidak dapat terpenuhi secara kuantitas maupun kualitas
maka akan mengakibatkan adanya suatu masalah gangguan tidur. Tidur merupakan
perilaku atau aktivitas yang sangat diperlukan manusia. Istirahat yang cukup penting
bagi tubuh agar bisa berfungsi secara normal. Selama proses tidur tubuh akan melakukan
penyembuhan yang dapat mengembalikan daya tahan tubuh pada keadaan optimal, oleh
sebab itu sangat penting bagi individu untuk selalu tidur sesuai kebutuhannya agar dapat
beraktivitas tanpa adanya gangguan yang bermakna (A. P. Dewi, 2015).
Penelitian ini sedikit berbeda dengan peneliti sebelumnya yang dilakukan oleh
Suastika et al. 2020, yang menunjukan sebagian besar kualitas tidur keluarga pasien yang
menunggu diruang ICU Rumah Sakit Izza Cikampek berada pada kualitas tidur yang
cukup. Kualitas tidur yang cukup berpengaruh dalam proses mengambil keputusan dan
merawat dan dapat mempengaruhi suasana hati dan komunikasi secara baik dengan
dokter atau perawat dalam menentukan tindakan atau pengobatan selanjutnya.
Kualitas tidur keluarga pasien merupakan salah satu perilaku atau aktivitas yang
sangat diperlukan oleh semua manusia. Karena istirahat yang cukup, sangat penting bagi
tubuh agar bisa berfungsi secara normal. Tidur yang buruk akan berdampak pada
kemampuan kita dalam beraktifitas sehari-hari. Selain itu tidur juga dapat
mempengaruhi konsentrasi seseorang, kualitas tidur yang buruk dapat menyebabkan
menurunkan daya ingat atau konsentrasi seseorang baik dalam hal belajar atau
mengingat sesuatu, sehingga untuk mendapatkan konsentrasi yang baik harus
memperhatikan pola tidur dan kualitas tidur supaya dapat berkonsentrasi dengan baik .

C. Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Kualitas Tidur


Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan tingkat kecemasan keluarga dengan
kualitas tidur yang dilakukan di ruang tunggu Rumah Sakit Elizabeth Situbondo pada
bulan Agustus 2022 menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga pasien yang
menunggu mengalami kecemasan berat dengan kualitas tidur yang rendah, dimana
setelah dilakukan uji statistik Spearman Rank didapatkan hasil terdapat hubungan antara
tingkat kecemasan keluarga pasien dengan kualitas tidur Instalasi Rawat Inap di Rumah
Sakit Elizabeth Situbondo. Hal ini disebabkan karena keluarga pasien sering menunjukan
perasaan cemas, firasat buruk, dan secara emosional menunjukan rasa ketakutan akan
kehilangan keluarga yang disayangi.
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Idarahyuni et al, 2017, di Ruang ICU RSAU Bandung , yang disimpulkan bahwa
ada hubungan tingkat kecemasan keluarga dengan kualitas tidur pada saat menunggu di
ruang ICU. Hasil penelitian ini juga berbeda dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Rina Loriana dkk di ruang ICU Rumah Sakit RSUD A.M Parikesit
Tenggarong pada tahun 2017yang menunjukkan tidak terdapat hubungan tingkat
kecemasan keluarga dengan kualitas tidur.
Dampak dari kecemasan yang berat pada keluarga pasien akan menimbulkan
kualitas tidur yang buruk, sehingga nantinya akan mengakibatkan mereka mengalami
kesulitan dalam mengambil keputusan, konsentrasi yang buruk, kualitas hidup yang
buruk, keadaan emosi yang tinggi, gangguan ingatan dalam menerima informasi, dan
dapat mempengaruhi kemampuan keluarga untuk mencari nafkah.

Pada penelitian ini anggota keluarga melaporkan bahwa kecemasan, ketegangan,


dan ketakutan merupakan tiga alasan paling umum dalam gangguan tidur atau kurang
tidur. Stimulan emosional, seperti kecemasan, ketakutan, dan ketegangan, telah terbukti
berdampak negatif pada kemampuan seseorang untuk tertidur . 70% anggota keluarga
melaporkan kecemasan sebagai penyebab gangguan tidur (Day et al. 2013).
Sesuai dengan hasil penelitian dan teori di atas bahwa ketika tingkat kecemasan
keluarga berat, maka kualitas tidur akan menjadi sangat rendah atau buruk. Kecemasan
pada keluarga pasien di ruang ICU perlu menjadi perhatian perawat karena hal ini akan
menyebabkan pengambilan keputusan. Keluarga mempunyai peran penting dalam
pengambilan keputusan secara langsung maupun tidak langsung.

D. Keterbatasan Peneliti
Pada penelitian ini didapatkan beberapa keterbatasan yaitu :
1. Peneliti memiliki keterbatasan dalam pengukuran variabel yang sepantasnya tidak
dilakukan satu kali pandang, saat penilaian juga masih didampingi oleh kepala
ruang.
2. Peneliti memiliki keterbatasan waktu dan biaya dalam melakukan penelitian.
3. Penelitian hanya dilakukan pada shift pagi dan malam, karena pada saat pagi dan
malam hari, untuk hasil observasi sangat maksimal
4. Peneliti masih pemula dalam melakukan penelitian, sehingga hasil penelitian masih
jauh dari kata sempurna.
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan dari penelitian ini, maka dapat dibuat suatu kesimpulan sebagai
jawaban dari tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Sebagian besar Keluarga mengalami kecemasan berat dalam prosen mendapingi

keluarga yang di rawat di ruang ICU

2. Sebagian besar mengalami kualitas tidur yang rendah

3. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecemasan keluarga dengan

kualitas tidur di Rumah Sakit Elizabeth Situbondo. Sehingga semakin berat tingkat

kecemasan keluarga, semakin rendah kualitas tidur dari keluarga yang mendapingi

B. SARAN

1. Bagi Rumah Sakit


Rumah sakit dapat mengatur kembali beban kerja dari perawat, dapat melakukan
penyegaran, dan tetap mempertahankan kualitas pelayanan dalam rumah sakit.
2. Bagi Ilmu Keperawatan
Dapat dijadikan bahan masukan dalam ilmu keperawatan mengenai manajemen
keperawatan terutama dalam peningkatan kinerja perawat agar tercipta perawat-
perawat yang professional.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Dapat dilakukan penelitian selanjutnya mengenai tingkat kecemasan dan kualitas
tidur dengan menggunakan sampel dan rumah sakit yang berbeda guna
meningkatkan mutu dari pelayanan keperawatan.

KUESIONER KUALITAS TIDUR (PSQI)

1. Jam berapa biasanya anda mulai tidur malam ?


2. Berapa lama biasanya anda baru bisa tidur tiap malam ?
3. Jam berapa biasanya anda bangun pagi ?
4. Berapa lama anda tidur dimalam hari ?

5 Seberapa sering masalah-masalah dibawah ini Tidak 1x Se 2x se ≥ 3x se


mengganggu tidur anda? pernah minggu minggu minggu

a) Tidak mampu tertidur selama 30 menit


sejak berbaring
b) Terbangun ditengah malam atau terlalu dini
c) Terbangun untuk ke kamar mandi
d) Tidak mampu bernafas dengan leluasa
e) Batuk atau mengorok
f) Kedinginan dimalam hari
g) Kepanasan dimalam hari
h) Mimpi buruk
i) Terasa nyeri
j) Alasan lain ………
6 Seberapa sering anda menggunakan obat
tidur
7 Seberapa sering anda mengantuk ketika
melakukan aktifitas disiang hari
Tidak Kecil Sedang Besar
antusias
8 Seberapa besar antusias anda ingin
menyelesaikan masalah yang anda hadapi
Sangat Baik kurang Sangat
baik kurang
9 Pertanyaan preintervensi : Bagaimana
kualitas tidur anda selama sebulan yang
lalu
Pertanyaan post intervensi : Bagaimana
kualitas tidur
anda selama seminggu yang lalu
LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Responden yang saya hormati,


Saya yang bertanda tangan dibawah ini

Nama : Doni Januarindra


Nim : 2111A0294

Adalah mahasiswa program studi sarjana keperawatan fakultas s1 keperawatan institut ilmu
kesehatan (iik) strada indonesia kediri yang akan melakukan penelitian tentang hubungan
tingkat kecemasan keluarga pasien dengan kualitas tidur keluarga pasien di ruangan tunggu
ICU RS. Elizabeth Situbondo. Dengan ini saya mohon kepada saudara untuk bersedia
menandatangani lembar persetujuan untuk menjadi responden dan menjawab pertanyaan
penelitian sesuai dengan petunjuk yang ada. Jawaban responden akan dijaga kerahasiaannya
dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.
Atas bantuan dan partisipasinya, saya ucapkan terima kasih.

Situbondo,

Hormat Saya,

(Doni Januarindra )
LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN
(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini


Nama Responden :
Alamat :

Setelah membaca dan mendapatkan penjelasan serta jawaban terhadap pertanyaan


yang saya ajukan mengenai penelitian ini, saya memahami tujuan penelitian ini untuk
mengetahui hubungan tingkat kecemasan keluarga pasien dengan kualitas tidur keluarga
psien di ruangan ICU RS. Elizabeth Situbondo.
Saya mengerti bahwa peneliti akan menghargai dan menjunjung tinggi hak-hak saya
sebagai responden dan saya menyadari penelitian ini tidak berdampak negatif bagi saya.
Dengan ditandatangani surat persetujuan ini, maka saya menyatakan untuk berpartisipasi
dalam penelitian ini.

Situbondo,
Yang menyatakan

(……………………..)
KUESIONER PENELITIAN

Petunjuk pengisian kuesioner


1. Bacalah instruksi umum yang diberikan diawal pertanyaan
2. Jawablah seluruh pertanyaan, tanpa ada yang terlewati

A. Data Demografi
Inisal :
Umur :

16-35 tahun 36-45tahun 46-55tahun


56-65tahun >65tahun

Jenis Kelamin :
Perempuan Laki-laki

Pendidikan Terakhir :
SD SMP SMA D3

Pekerjaan :
PNS TNI/POLRI Wiraswasta
Buruh Tidak Bekerja Lainnya
B. Kuesioner (Zung Self-Rating Anxiety Scale dalam Ian mcdowell, 2006).

Petunjuk : Berilah tanda ( √ ) pada kolom di bawah ini


No. Pernyataan Tidak Kadang- Sering Selalu
Pernah kadang
1. Saya merasa lebih gelisah dan cemas dari
biasanya

2. Saya merasa takut tanpa alasan yang jelas

3. Saya merasa panik


4. Saya merasa tubuh saya seperti hancur
berantakan dan akan hancur berkeping-
keping

5. Saya merasa semua baik baik saja dan tidak


akan ada hal buruk yang terjadi

6. Kedua tangan dan kaki saya gemetar

7. Saya sering terganggu oleh sakit kepala,


leher, dan punggung

8. Saya merasa badan saya lemah dan mudah


lelah

9. Saya merasa tenang dan dapat duduk


dengan nyaman

10. Saya merasa jantung saya berdebar-debar


dengan keras dan cepat

11. Saya sering mengalami pusing


No. Pernyataan Tidak Kadang- Sering Selalu
Pernah kadang
12. Saya sering pingsan atau merasa seperti
ingin pingsan

13. Saya dapat bernafas dengan mudah seperti


biasanya

14. Saya merasa kaku atau mati rasa dan


kesemutan pada jarijari dan kaki saya

15. Saya merasa sakit perut atau gangguan


pencernaan

16. Saya merasa sering kencing daripada


biasanya

17. Tangan saya hangat dan kering seperti


biasanya

18. Wajah saya terasa panas dan kemerahan

19. Tadi malam saya dapat tidur dan


beristirahat pada malam hari dengan
tenang

20. Saya mengalami mimpi-


mimpi buruk

Nomor Responden :
Rentang penilaian 20-80, dengan pengelompokan antara lain:
1. Normal/tidak cemas : Skor 20-44
2. Kecemasan ringan : Skor 45-59
3. Kecemasan sedang : Skor 60-74
4. Kecemasan berat : Skor 75-80

REFERENSI
Annisa, D. F., & Ifdil. (2016). Konsep Kecemasan ( Anxiety ) Pada Lanjut Usia. Konselor, 93-99.

Asni, N. (2014). Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan Mahasiswa Keperawatan FIKES
UMP Menghadapi Praktek Klinik Keperawatan. Doctoral Dessirtation Universitas Muhammadiyah
Purwokerto

Azis, M. A. (2018). Kecemasan Keluarga Pasien di Ruang Intensive Care Unit ( ICU ) Rumah Sakit
Islam Sakinah Kabupaten Mojokerto

Diferiansyah, O., Septa, T., & Lisiswanti, R. (2016). Gangguan Cemas Menyeluruh. Jurnal
Medula Unila

http://www.statsflowchart.co.uk/ Sheskin, D. J. (2003). Handbook of Parametric and Non-


Parametric Statistical Procedures (3rd ed.). Chapman & Hall/CRC.

https://lizenhs.wordpress.com/2020/05/06/pengolahan-analisis-data-dan-interpretasi/#more-4
608

Anshori, M., & Iswati, S. (2017). Buku AJar Metodologi Penelitian Kuantitatif. Surabaya:
Airlangga University Press

Azis, M. A. (2018). Kecemasan Keluarga Pasien di Ruang Intensive Care Unit ( ICU )
Rumah Sakit Islam Sakinah Kabupaten Mojokerto

Maulida. 2011. Test Reliabilitas dan Validitas Indeks Kualitas Tidur Dari Pittsburg (PSQI)
Versi Bahasa Indonesia Pada Lansia [Thesis]. Yogyakarta:Universitas Gajah Mada

Rumayom Nukolause (2019). Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Kualitas Tidur


Penderita Asma di Puskesmas Tindaret Kota Sirui. Jurnal keperawatan. Vol.1.No.1.(2019)

Guyton Dimas wahyu, dkk (2014). Analisi faktor dominan yang berhubungan dengan
kualitas tidur. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

Idarahyuni, E., Ratnasari, W. and Haryanto, E. (2017) ‘Tingkat Kecemasan Keluarga


Pasien di Ruang Intensive Care Unit (ICU) RSAU dr. M Salamun Ciumbuleuit Bandung

Saragih, Dameria & Yulia Suparmi. (2017). Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Tingkat
Kecemasan Pasien yang Dirawat di Ruanng ICU/ICCU RS Husada Jakarta. Jurnal Kosala
JIK. Vol. 5 No.1.

Martha, Emerensiana. 2019. Pemenuhan Kebutuhan Istirahat Tidur Pada Ny. C. L


Yang Menderita Tumor Paru Di Ruang Teratai Rsud. Prof. Dr. W. Z.
Johannes Kupang Mei
LAMPIRAN
Lampiran 1. Inform consent
Lampiran 2.Kisi – kisi kuesioner
Lampiran 3. Kuesioner yang digunakan / SOP
Lampiran 4. Bukti konsultasi

Anda mungkin juga menyukai