Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

MENGKAJI SAKSI YANG DIBERIKAN DALAM BENTUK PIDANA


KORUPSI DALAM UNDANG – UNDANG NO 20 TAHUN 2001

OLEH KELOMPOK :
GUSTI AYU RATIH WULANDARI (211310843)

DOSEN PENGAMPU :
A.A GEDE OKA WIDANA,S.Pd.,M.Pd.H

D3 TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA
DENPASAR
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat rahmat dan bimbingan-Nya makalah ini dapat diselesaikan.
Makalah yang berjudul “Pemberian Parcel Kepada Pegawai Negeri Sipil
Sebagai Gratifikasi Berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi” Ini sebagai pemenuhan tugas dari Dosen Mata Kuliah
Antikorupsi.
Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak A.A Gede
Oka Widana,S.Pd.,M.Pd.H selaku dosen mata kuliah Antikorupsi, yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun makalah ini. Semoga
tugas yang telah diberikan ini untuk dapat menambah wawasan dan pengetahuan
kita.
Selama penyusunan makalah ini banyak kendala yang dihadapi, namun
berkat bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak semua kendala tersebut dapat
teratasi. Penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis.

Singaraja, 24 Oktober 2023

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................4
1.3 Tujuan.............................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................4

2.1 Pengertian Tindak Pidana..............................................................................4


2.2 Pengertian Gratifikasi.....................................................................................5
BAB II PENUTUP.................................................................................................8

3.1 Kesimpulan.....................................................................................................8
3.2 Saran...............................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................10
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang
telah tumbuh seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Semakin hari
perkembangan korupsi di Indonesia bukan lagi semakin berkurang, tetapi semakin
meluas. Gejala pertumbuhan tindak pidana korupsi yang semakin meluas inilah
yang menimbulkan kerisauan dan keprihatinan bangsa Indonesia, karena kondisi
seperti ini tentu semakin memperburuk citra bangsa di masyarakat internasional.
Secara umum, tindak pidana korupsi secara material diatur didalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Tipikor).Dalam
undang-undang tersebut tidak tercantum secara jelas rumusan mengenai
pengertian korupsi itu sendiri. Namun dapat disimpulkan dalam Pasal 2 bahwa
tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang secara melawan hukum untuk
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara.

Korupsi sebenarnya bukanlah masalah baru di Indonesia. Bahkan berbagai


kalangan menilai bahwa korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan.
Penanggulangan korupsi di era tersebut maupun dengan menggunakan perangkat
perundang-undangan yang ada masih banyak menemui kegagalan. Keadaan
demikian akan menggoyahkan demokrasi sebagai sendi utama dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, melumpuhkan nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum
serta semakin jauh dari tujuan tercapainya masyarakat sejahtera.

Suatu kejahatan korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan


negara. Hal itu karena beberapa pasal tindak pidana korupsi dalam Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUTPK) merumuskan adanya
unsur merugikan keuangan negara. Tetapi, untuk kejahatan suap-menyuap tidak
ada kaitannya dengan kerugian uang negara, meskipun perbuatan tersebut
dikualifikasikan sebagai kejahatan korupsi. Tidak semua suap-menyuap adalah
kejahatan korupsi. Beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
suap-menyuap merumuskan perbuatan itu sebagai tindak pidana suap saja,
misalnya suap yang menyangkut kepentingan umum, baik aktif maupun pasif.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat pasal-pasal


mengenai delik penyuapan aktif (Pasal 209 dan Pasal 210) maupun penyuapan
pasif (Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420) yang kemudian semuanya ditarik
dalam Pasal 1 ayat (1) sub c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang sekarang
menjadi Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Demikian juga dengan
penyuapan aktif dalam penjelasan Pasal 1 ayat (1) sub d Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1971 (sekarang Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999) dan
delik suap pasif dalam Pasal 12 B dan Pasal 12 C Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001. Suap dalam sistem hukum di Indonesia juga dapat dilihat dalam UU
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
penjelasannya mendefinisikan suap sebagai pemberian dalam arti luas, yakni
meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-
cuma, dan fasilitas lainnya.

Pasal 12 B UU No 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa “Setiap gratifikasi


kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap,
apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban
atau tugasnya”. Salah satu tindak pidana suap yang akhir-akhir ini banyak
dibicarakan adalah pemberian parcel mewah pada saat menjelang hari raya.
Imbauan KPK dengan mengeluarkan surat edaran kepada para pejabat Negara,
baik pusat maupun daerah untuk tidak menerima parcel. Karena dikhawatirkan
orang memanfaatkan parcel untuk berkolusi, menyuap dan melakukan tindak
pidana korupsi. Imbauan untuk tidak menerima parcel bagi pejabat Negara tentu
mempunyai landasan hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi serta
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi No.
20 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pembangunan Zona Integritas Menuju
Wilayah Bebas Korupsi. Dalam ketentuan tersebut ditegaskan bahwa setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri dan penyelenggara Negara dianggap pemberian
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya.

Sebagai contoh, pada bulan Oktober 2014 sebanyak 35 parsel lebaran yang
diserahkan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi kepada KPK. KPK
memperkirakan parsel-parsel tersebut bernilai Rp 10,7juta. Menurut Direktur
Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono, dari 35 parsel yang diserahkan ke KPK, 15 di
antaranya disita untuk negara. Isi dari parsel parsel tersebut bermacam-macam.
Berupa kain, keramik, tea set, coffe maker, jam dinding, dan hiasan garuda warna
emas. Semua parsel tersebut yang berisi makanan dan minuman dikarenakan
khawatir kadaluarsa, langsung diserahkan ke pihak yang membutuhkan. KPK
mengapresiasi tindakan yang dilakukan Hendrar karena bisa menjadi contoh yang
baik bagi kepala daerah yang lain. Peraturan tentang laporan dugaan gratifikasi
oleh penyelenggara negara ini diatur dalam Pasal 12B ayat (1) Undang-UndangNo
20 tahun 2001. Dalam pasal tersebut dijelaskan gratifikasi sebagai pemberian
dalam arti luas. Pasal lain yaitu Pasal 12C ayat (1) Undang-Undang No 20 tahun
2001 bahwa gratifikasi yang diterima penyelenggara negara tidak akan dianggap
sebagai suap jika yang bersangkutan melapor ke KPK. Berdasarkan uraian di atas,
apakah segala perbuatan yang berkaitan dengan pemberian parcel sebagai suap
termasuk juga tindak pidana korupsi, perbuatan penyuapan selalu berkenaan
dengan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berkaitan dengan
keuangan negara atau perekonomian negara maka secara sosiologis dan yuridis
tindak pidana penyuapan (Omkoping) adalah merupakan tindak pidana korupsi.
Dengan berbagai ketentuan-ketentuan mengenai penyuapan yang merupakan
tindak pidana korupsi, terdapat masalah-masalah yang belum dikaji secara khusus
dan perlu adanya penelitian untuk mengetahui informasi dalam memahami
permasalahan yang muncul. Diantaranya masalah ruang lingkup dan pengaturan
penyuapan sebagai salah satu delik tindak pidana korupsi dalam hukum pidana
untuk memberikan kepastian dalam penegakan hukumnya.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini mengambil judul


“Analisis Pemberian Parcel Kepada Pegawai Negeri Sipil Sebagai Gratifikasi
Berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan


dalam makalah ini adalah :
1. Apakah pemberian parcel kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai
salah satu bentuk gratifikasi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999?
2. Bagaimanakah sanksi pidana pelaku pemberi parcel sebagai bentuk
gratifikasi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999?

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian diperlukan karena terkait erat dengan perumusan


masalah dari judul penelitian itu sendiri. Adapun tujuan yang hendak dicapai
peneliti adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pemberian parcel kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS)
sebagai salah satu bentuk gratifikasi menurut Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
2. Untuk mengetahui sanksi pidana pelaku pemberi parcel sebagai bentuk
gratifikasi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tindak Pidana

Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan


suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, barangsiapa melanggar larangan
tersebut.12 Adapun beberapa tokoh yang memiliki perbedaan pendapat tentang
peristilahan “strafbaarfeit” atau tindak pidana, antara lain : Tindak pidana adalah
tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak
sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan
yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum.13Tindak pidana adalah suatu pelanggaran terhadap norma (gangguan
terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah
dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku
tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya
kepentingan umum Beberapa peristilahan dan definisi diatas, menurut pendapat
penulis yang dirasa paling tepat digunakan adalah “Tindak Pidana dan Perbuatan
Pidana”, dengan alasan selain mengandung pengertian yang tepat dan jelas,
sebagai istilah hukum juga sangat praktis diucapkan dan sudah dikenal oleh
masyarakat pada umumnya.

Menurut Moeljatno, Perbuatan Pidana didefinisikan sebagai perbuatan yang


dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang
berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.15 Menurut
Moeljatno, yang dikutib oleh Adam Chazawi perbuatan pidana lebih tepat
digunakan dengan alasan sebagai berikut :

1) Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia,


yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan
orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sementara
itu, ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.

2) Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman


pidana (yang ditujukan pada orangnya), ada hubungan yang erat. Oleh
karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang
ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang
menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.

3) Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih tepat
digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang
menunjuk pada dua keadaan konkret yaitu pertama, adanya kejadian
tertentu (perbuatan), dan kedua, adanya orang yang berbuat atau yang
menimbulkan kejadian itu.

2.2 Pengertian Gratifikasi

Tindak pidana korupsi menerima gratifikasi sebagaimana dimuat dalam Pasal


12 B UU No. 20 Tahun 2001 dirumuskan sebagai berikut :

1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap


pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :

 Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,


pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan
oleh penerima gratifikasi
 Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut
umum.

2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud


dalam Ayat (1) adalah pidana seumur hidup atau piidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Kamus besar Bahasa Indonesia mengartikan Gratifikasi dengan uang hadiah
kepada pegawai diluar gaji yang telah ada. Sedangkan Gratifikasi dalam sistem
hukum di Indonesia dapat dilihat dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan penjelasannya mendefinisikan gratifikasi sebagai pemberian dalam
arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang
diterima didalam negeri maupun diluar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelengara negara dianggap


pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya. Gratifikasi tidak dianggap suap jika penerima
melaporkan ke KPK. Hal ini diatur didalam Pasal 12 C yang berbunyi sebagai
berikut: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Ayat (1) tidak
berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi :

1) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) wajib melakukan


oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal Gratifikasi tersebut diterima.
2) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan
gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
3) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam Ayat (2) dan penetuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam
Ayat (3) diatur dalam undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Berdasarkan Pasal 12 C Ayat (2) UU No.31 tahun 1999 jo. UU No.20 tahun 2001
dan Pasal 16 UU No. 30 tahun 2002, setiap Pegawai Negeri atau Penyelenggara
Negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi, dengan cara sebagai berikut : Rumusan korupsi pada Pasal 12 B UU No. 20
Tahun 2001 adalah rumusan tindak Pidana korupsi baru yang dibuat pada UU No. 20
Tahun 2001. Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut
Pasal 12 B dan 12 C UU No. 20 Tahun 2001, harus memenuhi unsur-unsur :
1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara
2) Menerima gratifikasi (pemberian dalam arti kata luas
3) Yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya;
4) Penerimaan gratifikasi tersebut tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka
waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi.
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada bab terdahulu selanjutnya dapat ditarik


kesimpulan sebagai berikut:

1. Pemberian parsel kepada Pegawai Negeri Sipil bukan merupakan bentuk


gratifikasi apabila pemberian itu di berikan tanpa maksud dan tanpa
mengharapkan imbalan apapun dari pejabat negara yang menerima parsel
tersebut. Kedua, pemberian parsel kepada Pegawai Negeri Sipil yang di
kategorikan sebagai bentuk gratifikasi berupa suap karena si pemberi
parcel berharap adanya imbalan dari pejabat negara yang menerima parcel
tersebut. Jika pemberian tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk
mempengaruhi penyelenggara negara agar berbuat menyimpang dari tugas
dan kewajibannya yang seharusnya, maka hal tersebut merupakan suatu
gratifikasi yang dilarang. Selain itu dengan adanya pemberian parcel
tersebut, dapat diperoleh suatu kesempatan untuk melakukan kegiatan
memperkaya diri sendiri ataupun korporasi dengan cara melawan hukum.

2. Sanksi pidana pelaku pemberi parcel sebagai bentuk gratifikasi menurut


Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 dapat dikenakan apabila dalam persidangan pemberi dan
penerima parcel terbukti melakukan perbuatan gratifikasi dalam hal ini
merupakan tindak pidana. Gratifikasi yang dimaksud Pasal 12B dan 12C
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 baru dianggap sebagai tindak pidana, dalam hal ini
dipersamakan dengan suap, apabila berhubungan dengan jabatan dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Sanksi dijatuhkan dengan
menjatuhkan dua jenis pidana pokok sekaligus secara bersamaan, disebut
dengan penjatuhan dua jenis pidana pokok yang bersifat imperatif-

4
kumulatif, yaitu antara pidana penjara dengan pidana denda. Dua jenis
pidana pokok yakni penjara dan denda wajib kedua-duanya dijatuhkan
secara serentak.

3.2 Saran

Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian di atas, maka penulis mencoba


menyampaikan saran sebagai berikut:

1. Masalah rumusanTindak Pidana menerima Gratifikasi dalam Pasal 12B,


yang mengatakan bahwa, ”pemberian terhadap pegawai negeri atau
penyelenggara negara dianggap suap” , kata dianggap disini kurang tepat,
karena tindak pidana tersebut sebenarnya sudah merupakan suap, jadi
penulis menyarankan rumusannya kini boleh diperbaiki kembali.

2. Bahwa luasnya pengertian tindak pidana korupsi gratifikasi seperti yang


diterangkan dalam penjelasan mengenai Pasal 12B, tidak bisa tidak tindak
pidana korupsi gratifikasi ini menjadi tumpang tindih dengan pengertian
tindak pidana suap pasif, tapi tidak juga persis sama, oleh karena itu,
penulis menyarankan pasal 12B menerangkan secara jelas lagi agar dapat
berlaku lebih efektif, mengingat untuk saat ini cukup banyak kasus tindak
pidana gratifikasi ini terjadi.

5
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad,2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis,
Chandra Pratama, Jakarta.
Atmasasmita, Romli, 1983, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Bina cipta, Bandung.
Bassar,Sudradjat, 1986, Tindak-tindak pidana tertentu, Remadja Karya, Bandung.
Chazawi.Adami.2001. Pelajaran Hukum Pidana. Rajagrafinda Persada. Jakarta
Hamzah, Andi,1984, Korupsi di Indonesia, Gramedia, Jakarta.
Handayaningrat, Soewarno, 1999, Administrasi Pemerintahan Dalam Pembangunan
Nasional, Gunung Agung, Jakarta.
Lamintang, PAF, 1984,Delik-delik khusus, Sinar Baru ,Bandung.
Mamuji, Sri,et al., 2005, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Moeljatno, 2000, Asas-Asas Hukum Pidana, Rinekacipta, Jakarta.
Mulyadi.Lilik. 2000. Tindak Pidana Korupsi. Citra Aditya Bhakti.Bandung.
____________, 2007, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik
dan Masalahnya, Alumni, Bandung.
Projdikoro, Wirjono, 1981. Azas-Azas Hukum Pidana Di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Soekanto, Soerjono, 2010. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press.Jakarta.
Sudarto,1996, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Waluyo, Bambang, 2000, Pidana dan Pemidanaan , Sinar Grafika, Jakarta.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981).
Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang
Tindak Pidana Korupsi

Anda mungkin juga menyukai