Anda di halaman 1dari 11

PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP DAYA

PERKECAMBAHAN BENIH (BIJI)

Oleh :

Nova Aprilia Nur Salamah B1A017004


Diana Fitri B1A017027
Aulia Khirqah B1A017040
Ainiyya Alfiani B1A017049
Anik Laeli Perdanawati B1A017054
Rombongan : A1
Kelompok : 3
Asisten : Nurmalahayati

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN II

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO

2019
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu ciri organisme adalah tumbuh dan berkembang. Kedua aktifitas
kehidupan ini tidak dapat dipisahkan karena prosesnya berjalan bersamaan.
Pertumbuhan diartikan sebagai pertambahan ukuran atau volume serta jumlah sel
secara irreversibel. Irreversibel maksudnya tidak dapat kembali pada keadaan awal.
Sedangkan perkembangan adalah proses menuju kedewasaan. Pertumbuhan pada
tanaman terbagi dalam beberapa tahapan,yaitu perkecambahan yang diikuti dengan
pertumbuhan primer dan pertumbuhan sekunder (Slamet, 2009).
Perkecambahan diawali dengan penyerapan air dari lingkungan sekitar biji, baik
tanah, udara, maupun media lainnya. Perubahan yang teramati adalah membesarnya
ukuran biji yang disebut tahap imbibisi (berarti "minum"). Biji menyerap air dari
lingkungan sekelilingnya, baik dari tanah maupun udara (dalam bentuk embun atau
uap air. Efek yang terjadi adalah membesarnya ukuran biji karena sel-sel embrio
membesar) dan biji melunak (Prawinata et al., 1981).
Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya terpenting
dalam peradaban manusia. Pada saat ini produksi padi dunia menempati urutan
ketiga dari semua serealia setelah jagung dan gandum. Tanaman padi (Oryza sativa
L.) merupakan tanaman pangan utama di Indonesia yang dapat menyumbangkan 40-
80% kalori dan 45-55% protein. Padi termasuk dalam genus Oryza. Padi di
Indonesia memiliki 25 spesies Oryza dengan dua subspesies yaitu Indica (padi bulu)
dan Sinica (padi cere). Padi yang ada sekarang merupakan persilangan antara Oryza
officianalis dan Oryza sativa (Prabhandaru & Triono, 2017).

B.Tujuan

Tujuan praktikum pada kali ini adalah untuk mengetahui konsentrasi zat
pengatur yang mampu meningkatkan daya perkecambahan (viability) benih.
II. TELAAH PUSTAKA

Perkecambahan merupakan suatu proses dimana radikula (akar embrionik)


memanjang keluar menembus kulit biji. Gejala morfologi dengan permunculan
radikula tersebut, terjadi proses fisiologi-biokemis yang kompleks, dikenal sebagai
proses perkecambahan fisiologis. Secara fisiologi, proses perkecambahan
berlangsung dalam beberapa tahapan penting meliputi absorbsi air, metabolisme
pemecahan materi cadangan makanan, transport materi hasil pemecahan dari
endosperm ke embrio yang aktif bertumbuh, proses-proses pembentukan kembali
materi-materi baru, respirasi dan pertumbuhan (Salisbury et al., 1985). Menurut
Tjitrosomo (1983), beberapa segi dalam perkecambahan biji menimbulkan problema
dalam bidang hortikultur, pertanian, kehutanan, permulaan tanaman, pengendalian
gulma, dan erosi.
Tipe perkecambahan biji ada dua, yaitu perkecambahan epigeal dan hipogeal.
Perkecambahan epigeal yaitu tipe perkecambahan epigeal ditandai dengan hipokotil
yang tumbuh memanjang sehingga plumula dan kotiledon terangkat ke atas
(permukaan tanah). Kotiledon dapat melakukan fotosintesis selama daun belum
terbentuk. Contoh tumbuhan ini adalah kacang hijau, kedelai, bunga matahari dan
kacang tanah. Organ pertama yang muncul ketika biji berkecambah adalah radikula.
Radikula ini kemudian akan tumbuh menembus permukaan tanah. Untuk tanaman
dikotil yang dirangsang dengan cahaya, ruas batang hipokotil akan tumbuh lurus ke
permukaan tanah mengangkat kotiledon dan epikotil. Epikotil akan memunculkan
daun pertama kemudian kotiledon akan rontok ketika cadangan makanan di
dalamnya telah habis digunakan oleh embrio. Perkecambahan hipogeal yaitu
perkecambahan ditandai dengan epikotil yang tumbuh memanjang kemudian
plumula tumbuh ke permukaan tanah menembus kulit biji. Kotiledon tetap berada di
dalam tanah. Contoh tumbuhan yang mengalami perkecambahan ini adalah kacang
ercis, kacang kapri, jagung, dan rumput-rumputan (Campbell et al., 2000).
Zat pengatur tumbuh (ZPT) atau hormon tumbuhan merupakan senyawa organik
yang bukan hara. ZPT dalam jumlah yang tepat akan memacu pertumbuhan, namun
sebaliknya, dalam jumlah yang banyak justru akan menghambat pertumbuhan. Saat
ini ZPT sudah dapat dibuat oleh manusia, dikenal dengan ZPT sintetik. Gibberelic
Acid (GA) merupakan hormon pertumbuhan yang terdapat pada organ-organ
tanaman yaitu pada akar, batang, tunas, daun, bintil akar, buah, dan jaringan
halus.Penggunaan giberelin untuk mempercepat perkecambahan telah banyak
dilakukan. Giberelin merupakan senyawa organik yang berperan penting dalam
proses perkecambahan, karena dapat mengaktifkan reaksi enzimatik di dalam benih.
Giberelin pada tanaman dapat menyebabkan peningkatan sel, pembelahan dan
pembesaran sel (Zummermar,1961).
Hasil penelitian Utama & Sugiyanta (2016), yang berjudul Pengaruh Aplikasi
Giberelin pada Padi Sawah (Oryza Sativa L.) Varietas Hibrida (Hipa Jatim 2) dan
Varietas Unggul Baru (Ciherang) mendapatkan hasil saat pemberian giberelin secara
umum, tinggi tanaman meningkat sesuai dengan peningkatan dosis giberelin. Selain
itu, perlakuan berbagai dosis giberelin memberikan hasil yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kontrol. Giberelin akan mendorong terjadinya pemanjangan sel
karena adanya hidrolisa pati yang dihasilkan sehingga mendukung terbentuknya α
amylase. Sebagai akibat dari proses tersebut maka konsentrasi gula meningkat yang
mengakibatkan tekanan osmotik di dalam sel menjadi naik, sehingga kecenderungan
sel tersebut berkembang. Respon utama tanaman terhadap ZPT giberelin adalah
perpanjangan ruas tanaman yang disebabkan oleh bertambahnya ukuran dan jumlah
sel pada ruas-ruas tersebut.
III. MATERI DAN METODE
A. Materi

Alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah


Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah

B. Metode
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 4.1.1 Pengamatan


B. Pembahasan

Perkecambahan merupakan fase akhir dari dormansi.Permulaan fase ini


ditandai dengan persiapan air yang dilanjutkan dengan pelunakan kulit biji hingga
terjadi hidratasi protoplasma.Akhir dari penghisapan air ini menjadikan biji
kembali menjadi pusat aktivitas metabolisme yang tinggi.Sel-sel dalam embrio
membesar dan organel-organel subseluler berorganisasi.Sel-sel dalam akar,
batang dan daun membesar dan memanjang terutama dengan pengambilan
air.Fase perkembangan ini didorong oleh zat pengatur tumbuh seperti GA dan
NAA, oleh karena itu zat pengatur tumbuh tersebut dapat digunakan untuk
mempercepat perkecambahan biji yang sedang dorman. Perkecambahan biji
terjadi secara bertahap dan dalam proses tersebut ada beberapa faktor yang
berperan (Rismunandar, 1988).
Tahap pertama suatu perkecambahan benih dimulai dengan proses
penyerapan air oleh benih, melunaknya kulit benih dan hidrasi dari protoplasma.
Tahap kedua dimulai dengan kegiatan-kegiatan sel dan enzim-enzim serta
naiknya tingkat respirasi benih. Tahap ketiga merupakan tahap di mana terjadi
penguraian bahan-bahan sepertikarbohidrat, lemak dan protein menjadi bentuk-
bentuk yang melarut dan ditranslokasikan ke titik tumbuh. Tahap keempat
adalah asimilasi dari bahan-bahan yang telah diuraikan tadi di daerah yang
mudah menggandakan atau membelah diri (meristematik) untuk menghasilkan
energi bagi pembentukan komponen dan pertumbuhan sel-sel baru.Tahap kelima
adalah pertumbuhan dari kecambah melalui proses pembelahan, pembesaran dan
pembagian sel-sel pada titik tumbuh. Sementara daun belum dapat berfungsi
sebagai organ untuk fotosintesa, maka pertumbuhan kecambah sangat tergantung
pada persediaan makanan yang ada dalam biji (Sutopo, 2002).
Mengetahui dan membedakan atau memisahkan apakah suatu benih yang
tidak dapat berkecambah adalah dorman atau mati, maka dormansi perlu
dipecahkan. Masalah utama yang dihadapi pada saat pengujian daya tumbuh
kecambah benih yang dormansi adalah bagaimana cara mengetahui dormansi,
sehingga diperlukan cara-cara agar dormansi dapat dipersingkat. Ada beberapa
cara yang telah diketahui yaitu: perlakuan mekanis, perlakuan kimia, perlakuan
perendaman dengan air, perlakuan dengan suhu, dan perlakuan dengan cahaya.
Perlakuan mekanis diantaranya yaitu dengan skarifikasi. Skarifikasi mencakup
cara-cara seperti mengkikir atau menggosok kulit biji dengan kertas amplas,
melubangi kulit biji dengan pisau, memecah kulit biji maupun dengan perlakuan
goncangan untuk benih-benih yang memiliki sumbat gabus. Tujuan dari
perlakuan mekanis ini adalah untuk melemahkan kulit biji yang keras sehingga
lebih permeabel terhadap air atau gas. Tujuan dari perlakuan kimia adalah
menjadikan agar kulit biji lebih mudah dimasuki air pada waktu proses imbibisi.
Larutan asam kuat seperti asam sulfat, asam nitrat dengan konsentrasi pekat
membuat kulit biji menjadi lebih lunak sehingga dapat dilalui oleh air dengan
mudah. Perlakuan perendaman di dalam air panas dengan tujuan memudahkan
penyerapan air oleh benih. Caranya yaitu dengan memasukkan benih ke dalam
air panas pada suhu 60-70 °C dan dibiarkan sampai air menjadi dingin, selama
beberapa waktu (Ahapidin, 2009).
Peran utama hormon giberelin adalah dalam proses pemanjangan sel
yang berpengaruh langsung terhadap auksin. Mekanisme kerja dari hormon
giberelin yaitu hormon giberelin berpengaruh terhadap konsentrasi kadar auksin
melalui pembentukan enzim proteolitik yang akan melepaskan asam amino
triptofan (pembentuk auksin) sehingga akan meningkatkan kadar auksin pada
tumbuhan serta merangsang pembentukan polihidroksi asam sinamat, yang
mampu menghambat kerja enzim IAA oksidase dimana enzim ini merupakan
enzim perusak auksin. Giberelin dapat memacu terbentuknya enzim α-amilase
yang akan menghidrolisis pati sehingga kadar gula dalam sel akan naik. Hal ini
akan mengakibatkan air lebih banyak masuk sehingga proses pemanjangan sel
terjadi. Cara hormon giberelin bekerja adalah dengan mengenai bagian embrio
atau tunas agar terkena air. Hal ini bisa menyebabkan tunas embrio menjadi
aktif, yang mana memicu munculnya hormone giberelin (GA). Keluarnya
hormone ini bisa memicu keluarnya aleuron yang nantinya mensintesis dan
mengeluarkan enzim. Enzim yang bisa keluar berupa enzim amylase, maltase,
serta enzim yang mampu memecah protein. Selain itu, jika menambahkan
hormone giberelin pada tanaman yang sedang berbunga pada bagian-bagian
bunga, maka tumbuhlah buah tanpa biji (Heddy, 1989).
Menurut Zaenal (1982), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
perkecambahan biji diantaranya adalah faktor-faktor internal dan eksternal.
Faktor eksternal yang mempengaruhi perkecambahan biji meliputi air,
temperatur, oksigen, dan cahaya. Sifat kulit biji dan jumlah air yang tersedia
pada lingkungan sekitarnya mempengaruhi penyerapan air oleh biji. Pada
saat perkecambahan, respirasi meningkat disertai dengan meningkatnya
pengambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida, air dan energi. Faktor
internal yang mempengaruhi perkecambahan biji meliputi tingkat keasaman
(pH) biji, ukuran biji, dormansi dan penghambat perkecambahan. Dormansi
dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain impermeabilitas kulit biji
terhadap air dan gas atau resistensi kulit biji terhadap pengaruh mekanis,
dormansi sekunder dan bahan penghambat perkecambahan.

V. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR REFERENSI

Ahapidin., 2009. Pertumbuhan dan Perkembangan Tumbuhan. Yogyakarta: Medika


Press.

Campbell, N. A., Reece, J. B., Urry, L. S., Cain, M. L., Wasserman, S. A., Minorsky,
P. V. & Jackson, J., 2000. Biologi. Jakarta: Erlangga.
Heddy, S., 1989. Hormon Tumbuhan. Jakarta: Rajawali.
Prabhandaru, I. & Triono, B. S., 2017. Respon Perkecambahan Biji (Oryza sativa L.)
Varietas Lokal SiGadis Hasil Iradiasi Sinar Gamma. Jurnal Sains dan Seni
ITS, 6(2), pp. 2337-3520.
Prawinata, W., Harran, S. & Tjandronegoro, P., 1981. Dasar-dasar Fisiologi
Tumbuhan. Bandung: IPB.
Salisbury, G. W., Frank, B. & Cleon, W., 1985. Fisiologi Tumbuhan. Bandung: ITB.
Slamet, 2009. Biologi Umum. Surakarta: CV. HTS.
Tjitrosomo, S. S., 1983. Botani Umum. Bandung: Angkasa.
Utama, C. R. & Sugiyanta., 2016. Pengaruh Aplikasi Giberelin pada Padi Sawah
(Oryza Sativa L.) Varietas Hibrida (Hipa Jatim 2) dan Varietas Unggul Baru
(Ciherang). Bul.Agrohorti, 4(1), pp.56-62.

Zaenal, A., 1982. Dasar-Dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh.


Bandung: Angkasa

Anda mungkin juga menyukai