Anda di halaman 1dari 45

JUDUL

PAPER
“Tipe-Tipe Konseling dan Psikoterapi”
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Konseling dan Psikoterapi
Dosen Pengampu: Dra. Tatik Meiyuntariningsih, M.Kes., Psikolog

Disusun Oleh (Kelompok 4 Ivan Pavlov):


Dewi Rukmana (1512200380)
Febri Andriani Putri (1512200381)
Amanda Claudiana Putri (1512200387)
Zulfarhy Abuhasmi (1512200404)

KELAS: H
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
2023/2024
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konseling dan Psikoterapi merupakan suatu usaha profesional untuk
membantu atau memberikan layanan kepada individu mengenai permasalahan yang
bersifat psikologis. Dengan kata lain Konseling dan Psikoterapi bertujuan
memberikan bantuan kepada klien untuk suatu perubahan tingkah (behavioral
change), kesehatan mental positif (positive mental health), pemecahan masalah
(problem solution), keefektifan pribadi (personal effectiveness), dan pembuatan
keputusan (decision making).
Konseling cenderung bersifat jangka pendek dan berfokus pada mengatasi
masalah tertentu, seperti mengembangkan strategi coping. Psikoterapi cenderung
bersifat jangka panjang dan memeriksa pikiran, perasaan, dan pengalaman sepanjang
hidup seseorang dan bagaimana pengaruhnya saat ini. Memahami perbedaan antara
keduanya dapat membantu para konselor untuk mengetahui masalah yang dihadapi
dan dialami para klien dengan menggunakan tipe-tipe konseling sehingga masalah
tersebut bisa terselesaikan dengan baik sesuai tipe-tipe yang telah tersedia. Begitupun
dengan para terapis, yaitu menggunakan tipe-tipe psikoterapi sesuai dengan masalah
yang dihadapi dan dialami para klien.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja Tipe-tipe Konseling?
2. Apa saja Tipe-tipe Psikoterapi?

1.3 Tujuan Pembahasan


1. Mengetahui Tipe-tipe Konseling.
2. Mengetahui Tipe-tipe Psikoterapi.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konseling
2.1.1 Konseling Individu
A. Pengertian Konseling Individu
Konseling Individu adalah proses pemberian bantuan yang melibatkan
helper dan klien yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi
klien serta dilakukan secara individual. Secara langsung bertatap muka
antara konselor dan klien. Mereka membahas berbagai hal mengenai
permasalahan yang sedang dihadapi klien tersebut.
B. Proses Pelaksanaan Konseling Individual
Secara menyeluruh dan umum, proses konseling individual dari
kegiatan paling awal sampai kegiatan akhir, terbagi dalam lima tahap,
yaitu:

1. Pengantaran
Proses pengantaran mengantarkan klien memasuki kegiatan
konseling dengan segenap pengertian, tujuan, dan prinsip dasar yang
menyertainya. Proses pengantaran ini ditempuh melalui kegiatan
penerimaan yang bersuasana hangat, permisif, tidak menyalahkan,
penuh pemahaman, dan penstrukturan yang jelas.
2. Penjajagan
Proses penjajagan dapat diibaratkan sebagai hal-hal yang
bersangkut paut dengan permasalahan dan perkembangan klien.
Sasaran penjajagan adalah hal-hal yang dikemukakan klien dan hal-hal
lain perlu dipahami tentang diri klien. Seluruh sasaran penjajagan ini
adalah berbagai hal yang selama ini terpendam, disalah artikan atau
terhambat perkembangannya pada diri klien.
3. Penafsiran
Apa yang terungkap melalui panjajagan merupakan berbagai
hal yang perlu diartikan atau dimaknai keterkaitannya dengan masalah

2
klien. Hasil proses penafsiran ini pada umumnya adalah aspek-aspek
realita dan harapan klien dengan berbagai variasi dinamika psikisnya.
4. Pembinaan
Proses pembinaan ini secara langsung mengacu kepada
pengentasan masalah dan pengembangan diri klien. Dalam tahap ini
disepakati strategi dan intervensi yang dapat memudahkan terjadinya
perubahan. Sasaran dan strategi terutama ditentukan oleh sifat masalah,
gaya dan teori yang dianut konselor, serta keinginan klien.
5. Penilaian
Upaya pembinaan melalui konseling diharapkan menghasilkan
terentaskannya masalah klien. Ada tiga jenis penilaian yang perlu
dilakukan dalam konseling perorangan yaitu Penilian segera,
dilaksanakan pada setiap akhir sesi layanan, sedang penilaian pasca
layanan selama satu minggu sampai satu bulan, dan penilaian jangka
panjang dilaksanakan setelah beberapa bulan. Fokus penilaian segera
diarahkan kepada diperolehnya informasi dan pemahaman baru.
dicapainya keringanan beban perasaan, dan direncanakannya kegiatan
pasca konseling dalam rangka perwujudan upaya pengentasan masalah
klien.

C. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Layanan Konseling Individual


Adapun waktu dan tempat Layanan konseling individual
hakikatnya dapat dilaksanakan kapan saja dan di mana saja, atas
kesepakatan konselor-klien, dengan memperhatikan kenyamanan klien dan
terjaminnya asas kerahasiaan. Kondisi tempat layanan perlu mendapat
perhatian tersendiri dari konselor. Selain kursi dan meja secukupnya,
ruangan konseling dapat dilengkapi dengan tempat penyimpanan bahan-
bahan seperti dokumen, laporan, dan buku-buku lain. Peralatan rileksasi
dapat ditambahkan. Cahaya dan udara ruangan harus terpelihara. Dalam
hal ini kondisi ruangan tempat layanan diselenggarakan menggambarkan
kesiapan konselor memberikan pelayanan kepada klien.
Kapan layanan konseling perorangan dilaksanakan juga atas
kesepakatan kedua pihak. Kepentingan klien diutamankan tanpa
mengabaikan kesempatan dan kondisi konselor. Dalam hal konselor yang

3
memiliki hak panggil atas klien perlu mengatur pemanggilan terhadap
klien sehingga tidak menganggu kepentingan klien atau sedapat-dapatnya
tidak menimbulkan kerugian apapun pada diri klien.

2.1.2 Konseling Kelompok


A. Pengertian Konseling Kelompok
Konseling kelompok (group counseling) merupakan salah satu
bentuk konseling dengan memanfaatkan kelompok untuk membantu,
memberi umpan balik (feedback) dan pengalaman belajar. Konseling
kelompok dalam prosesnya menggunakan prinsip-prinsip dinamika
kelompok.
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, maka konseling
kelompok secara prinsipil adalah sebagai berikut.
1. Konseling kelompok merupakan hubungan antara (beberapa) konselor
dengan beberapa klien
2. Konseling kelompok berfokus pada pemikiran dan tingkah laku yang
disadari
3. Dalam konseling kelompok terdapat faktor-faktor yang merupakan
aspek terapi bagi klien
4. Konseling kelompok bermaksud memberikan dorongan dan
pemahaman kepada klien, untuk memecahkan masalah yang dihadapi
klien.
B. Beberapa Pendekatan Kelompok
1. Psikoterapi Kelompok
Psikoterapi kelompok merupakan bantuan yang diberikan oleh
psikoterapis terhadap klien untuk mengatasi disfungsi kepribadian dan
interpersonalnya dengan menggunakan interaksi emosional dalam
kelompok kecil. Karena itu psikoterapi kelompok lebih memfokuskan
pada ketidaksadaran, menangani pasien yang mengalami gangguan
"neurotik" atau problem emosional berat lain, dan biasanya dilakukan
untuk jangka panjang.

4
2. Konseling Kelompok
Konseling kelompok merupakan kelompok terapeutik yang
dilaksanakan untuk membantu klien mengatasi masalah yang
berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Konseling kelompok
umumnya ditekankan untuk proses remedial dan pencapaian fungsi-
fungsi secara optimal. Konseling kelompok mengatasi klien dalam
keadaan normal, yaitu tidak sedang mengalami gangguan fungsi-
fungsi kepribadian. Pada umumnya konseling diselenggarakan untuk
jangka pendek atau menengah
3. Kelompok Latihan dan Pengembangan
Kelompok latihan dan pengembangan merupakan pendidikan
kesehatan mental dan bukan kelompok terapeutik. Biasanya digunakan
untuk melatih sekelompok orang yang berkeinginan untuk
meningkatkan kemampuan dan keterampilan tertentu, misalnya
peningkatan keterampilan sosialnya, cara kehidupan kesendirian,
menghadapi pensiun dan hari tua, orangtua tanpa patner, dan
sebagainya. Tujuannya secara umum bersifat antisipatif dan
pencegahan terhadap kemungkinan timbulnya hambatan jika hal
tersebut benar-benar dialami.
4. Diskusi Kelompok Terfokus
Diskusi kelompok terfokus (focus group discusion) merupakan
kegiatan diskusi, tukar pikiran beberapa orang mengenai topik-topik
khusus yang telah disepakati oleh anggota kelompok. Topik-topik yang
dibicarakan menjadi bahan yang diminati dan disepakati oleh anggota
kelompok. Peserta diskusi tidak harus memiliki masalah sebagaimana
topik yang dibicarakan, tetapi ada minat untuk partisipasi dalam
diskusi.
5. Self-help
Self-help merupakan forum kelompok yang dijalankan oleh
beberapa orang (sekitar 4-8 orang) yang mengalami masalah yang
sama, dan mereka berkeinginan untuk saling tukar pikiran dan
pengalaman sehubungan dengan cara mengatasi masalah yang
dihadapi, dan cara mengembangkan potensinya secara optimal. Self.
help ini dapat diselenggarakan tanpa tenaga profesional. Kelompok ini
5
misalnya untuk kalangan alkoholik yang berkeinginan menghentikan
kebiasaannya, orangtua tanpa patner, dan sebagainya.
C. Struktur dalam konseling kelompok
1. Jumlah Anggota Kelompok
Konseling kelompok umumnya beranggota berkisar antara 4
sampai 12 orang. Berdasarkan hasil berbagai penelitian, jumlah
anggota kelompok yang kurang dari 4 orang tidak efektif karena
dinamika kelompok menjadi kurang hidup. Sebaliknya jika jumlah
klien melebihi 12 orang adalah terlalu besar untuk konseling karena
terlalu berat dalam mengelola kelompok (Yalom, 1975).
2. Homogenitas Kelompok
Apakah kelompok dibuat homogen atau heterogen? Tidak ada
ketentuan yang pasti soal homogenitas keanggotaan suatu konseling
kelompok. Sebagian konseling kelompok dibuat homogen dari segi
jenis kelamin, jenis masalah dan gangguan, kelompok usia, dan
sebagainya. Pada saat lain homogenitas ini tidak diperhitungkan secara
khusus, artinya suatu konseling kelompok, misalnya dari segi usia
diikuti oleh remaja maupun orang dewasa, tanpa ada penyaringan
terlebih dahulu kelompok usianya. Penentuan homogenitas
keanggotaan ini disesuaikan dengan keperluan dan kemampuan
konselor dalam mengelola konseling kelompok (Kaplan dan Sadock,
1971).
3. Sifat Kelompok
Sifat kelompok dapat terbuka dan tertutup. Terbuka jika pada
suatu saat dapat menerima anggota baru, dan dikatakan tertutup jika
keanggotaannya tidak memungkinkan adanya anggota baru.
Pertimbangan penggunaan keanggotaan terbuka dan tertutup
bergantung kepada keperluan.
4. Waktu Pelaksanaan
Lama waktu penyelenggaraan konseling kelompok sangat
bergantung kepada kompleksitas permasalahan yang dihadapi
kelompok. Secara umum konseling kelompok yang bersifat jangka
pendek, membutuhkan waktu pertemuan antara 8 sampai 20
pertemuan, dengan frekuensi pertemuan antara satu sampai tiga kali
6
dalam seminggunya, dan durasinya antara 60 sampai 90 menit setiap
pertemuan.
Durasi pertemuan konseling kelompok pada prinsipnya sangat
ditentukan oleh situasi dan kondisi anggota kelompok. Menurut Yalom
(1975) durasi konseling yang terlalu lama yaitu di atas dua jam
menjadi tidak kondusif, karena beberapa alasan, yaitu: (1) anggota
telah mencapai tingkat kelelahan dan (2) pembicaraan cenderung
diulang-ulang. Oleh karena itu, aspek durasi pertemuan harus menjadi
perhitungan bagi konselor. Konseling tidak dapat diselesaikan dengan
memperpanjang durasi pertemuan, tetapi pada proses pembelajaran
selama proses konseling.
D. Tahapan konseling kelompok
1. Prakonseling: Pembentukan Kelompok Tahap ini merupakan tahap
persiapan pelaksanaan konseling kelompok. Pada tahap ini terutama
pembentukan kelompok, yang dilakukan dengan seleksi anggota dan
menawarkan program kepada calon peserta konseling sekaligus
membangun harapan kepada calon peserta. Dalam konseling kelompok
yang dipandang penting adalah adanya seleksi anggota. Klien yang
dimasukkan sebagai anggota dalam konseling kelompok itu diseleksi
terlebih dahulu. Ketentuan yang mendasari penyelenggaraan konseling
jenis ini adalah (1) adanya minat bersama (common interest).
Dikatakan demikian jika secara potensial anggota itu memiliki
kesamaan masalah dan perhatian yang akan dibahas, (2) suka rela atau
atas inisiatifnya sendiri, karena hal ini berhubungan dengan hak pribadi
klien, (3) adanya kemauan untuk berpartisipasi di dalam proses
kelompok, dan (4) mampu untuk berpartisipasi di dalam proses
kelompok.
2. Tahap I: Tahap Permulaan (Orientasi dan Eksplorasi) Pada tahap
ini mulai menentukan struktur kelompok, mengeksplorasi harapan
anggota, anggota mulai belajar fungsi kelompok, sekaligus mulai
menegaskan tujuan kelompok.Setiap anggota kelompok mulai
mengenalkan dirinya dan menjelaskan tujuan atau harapannya.
3. Tahap II: Tahap Transisi Pada tahap ini diharapkan masalah yang
dihadapi masing-masing klien dirumuskan dan diketahui apa sebab-
7
sebabnya. Anggota kelompok mulai terbuka, tetapi pada fase ini sering
terjadi kecemasan, resistensi, konflik dan bahkan ambivalensi tentang
keanggotaannya dalam kelompok, atau enggan jika harus membuka
diri.
4. Tahap III: Tahap Kerja-Kohesi dan Produktivitas Jika masalah
yang dihadapi oleh masing-masing anggota kelompok diketahui,
langkah berikutnya adalah menyusun rencana-rencana tindakan.
Kegiatan konseling kelompok ditandai dengan: membuka diri lebih
besar, menghilangkan defensifnya, terjadinya konfrontasi antar
anggota kelompok, modeling, belajar perilaku baru, terjadi
transferensi. Kohesivitas mulai terbentuk, mulai belajar bertanggung
jawab, tidak lagi mengalami kebingungan. Anggota merasa berada
dalam kelompok, mendengar yang lain dan terpuaskan dengan
kegiatan kelompok.
5. Tahap IV: Tahap Akhir (Konsolidasi dan Terminasi) Anggota
kelompok mulai mencoba melakukan perubahan-perubahan tingkah
laku dalam kelompok. Setiap anggota kelompok memberi umpan balik
terhadap yang dilakukan oleh anggota lain. Umpan balik ini sangat
berguna untuk perbaikan (jika diperlukan) dan dilanjutkan atau
diterapkan dalam kehidupan klien jika dipandang telah memadai.
Karena itu implementasi ini berarti melakukan pelatihan dan
perubahan dalam skala yang terbatas. Jika ada klien yang memiliki
masalah dan belum terselesaikan pada fase sebelumnya, pada fase ini
harus diselesaikan. Jika semua peserta merasa puas dengan proses
konseling kelompok, maka konseling kelompok dapat diakhiri.
6. Setelah Konseling: Tindak Lanjut dan Evaluasi Setelah berselang
beberapa waktu, konseling kelompok perlu dievaluasi. Tindak lanjut
dilakukan jika ternyata ada kendala-kendala dalam pelaksanaan di
lapangan. Mungkin diperlukan upaya perbaikan terhadap rencana-
rencana semula, atau perbaikan terhadap cara pelaksanaannya.

8
2.1.3 Konseling Keluarga
A. Pengertian Konseling Keluarga
Konseling keluarga pada dasarnya merupakan penerapan konseling
pada situasi yang khusus. Konseling keluarga secara khusus memfokuskan
pada masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi keluarga dan
penyelenggaraannya melibatkan anggota keluarga.
Menurut D. Stanton konseling keluarga dapat dikatakan sebagai
konseling khusus karena selalu dipandang oleh konselor terutama konselor
non keluarga, konseling keluarga sebagai (1) sebuah modalitas yaitu klien
adalah anggota dari suatu kelompok, yang (2) dalam proses konseling
melibatkan keluarga inti atau pasangan (Capuzzi, 1991).
Konseling keluarga memandang keluarga secara keseluruhan bahwa
anggota keluarga adalah bagian yang tidak mungkin dipisahkan dari anak
(klien) baik dalam melihat permasalahannya maupun penyelesaiannya.
Sebagai suatu sistem, permasalahan yang dialami seorang anggota
keluarga akan efektif diatasi jika melibatkan anggota keluarga yang lain.
B. Masalah-Masalah Keluarga
Pada masa lalu, menurut Moursund (1990), konseling keluarga
terfokus pada salah satu atau dua hal, yaitu (1) keluarga dengan anak yang
mengalami gangguan yang berat seperti gangguan perkembangan dan
skizofrenia, yang menunjukkan jelas-jelas mengalami gangguan; dan (2)
keluarga yang salah satu atau kedua orangtua tidak memiliki kemampuan,
menelantarkan anggota keluarganya, salah dalam memberi kelola anggota
keluarga, dan biasanya memiliki berbagai masalah.
Anak di dalam suatu keluarga sering kali mengalami masalah dan
berada dalam kondisi yang tidak berdaya di bawah tekanan dan kekuasaan
orangtua. Permasalahan anak adakalanya diketahui oleh orangtua dan
seringkali tidak diketahui orangtua. Orangtua akan menghantarkan
anaknya ke konselor jika mereka memahami bahwa anaknya sedang
menghadapi masalah atau sedang mengalami gangguan yang berat. Karena
itu konseling keluarga lebih banyak memberikan pelayanan terhadap
keluarga dengan anak yang mengalami gangguan.

9
Sebagaimana dikemukakan di bagian awal, konseling keluarga dalam
beberapa hal memiliki keuntungan. Namun demikian konseling keluarga
juga memiliki beberapa hambatan dalam pelaksanaannya, dan perlu
dipertimbangkan oleh konselor jika bermaksud melakukannya. Hambatan
yang dimaksud di antaranya:
1. Tidak semua anggota keluarga bersedia terlibat dalam konseling
karena mereka menganggap tidak berkepentingan dengan usaha ini,
atau karena alasan kesibukan, dan sebagainya.
2. Ada anggota keluarga yang merasa kesulitan untuk menyampaikan
perasaan dan sikapnya secara terbuka di hadapan anggota keluarga
lain, padahal konseling membutuhkan keterbukaan ini dan saling
kepercayaan satu dengan lainnya.
Usaha konselor dan anggota keluarga dalam mengatasi hambatan-
hambatan ini sangat membantu bagi kelancaran dan keberhasilan
konseling.
1. Pendekatan Konseling Keluarga
1) Pendekatan Sistem Keluarga
Murray Bowen merupakan peletak dasar pendekatan sistem
Menurutnya keluarga itu bermasalah jika keluarga itu tidak berfungsi
(disfunctioning family). Keadaan ini terjadi karena anggota keluarga
tidak dapat membebaskan dirinya dari peran dan harapan yang
mengatur dalam hubungan mereka.
Menurut Bowen, dalam keluarga terdapat kekuatan yang dapat
membuat anggota keluarga bersama-sama dan kekuatan itu dapat pula
membuat anggota keluarga melawan yang mengarah pada
individualitas. Sebagian anggota keluarga tidak dapat menghindari
sistem keluarga yang emosional yaitu yang mengarahkan anggota
keluarganya mengalami kesulitan (gangguan). Jika hendak menghindar
dari keadaan yang tidak fungsional itu, dia harus memisahkan diri dari
sistem keluarga. Dengan demikian dia harus membuat pilihan
berdasarkan rasionalitasnya bukan emosionalnya.

10
2) Pendekatan Conjoint
Sedangkan menurut Satir (1967) masalah yang dihadapi oleh
anggota keluarga berhubungan dengan self-esteem dan komunikasi.
Menurutnya, keluarga adalah fungsi penting bagi keperluan
komunikasi dan kesehatan mental. Masalah terjadi jika self-esteem
yang dibentuk oleh keluarga itu sangat rendah dan komunikasi yang
terjadi di keluarga itu juga tidak baik.
3) Pendekatan Struktural
Minuchin (1974) beranggapan bahwa masalah keluarga sering
terjadi karena struktur keluarga dan pola transaksi yang dibangun tidak
tepat. Seringkali dalam membangun struktur dan transaksi ini batas-
batas antara sub sistem dari sistem keluarga itu tidak jelas.
Mengubah struktur dalam keluarga berarti menyusun kembali
keutuhan dan menyembuhkan perpecahan antara anggota keluarga.
Oleh karena itu, jika dijumpai keluarga yang bermasalah. perlu
dirumuskan kembali struktur keluarga itu dengan memperbaiki
transaksi dan pola hubungan baru yang lebih sesuai.
Berbagai pandangan para ahli tentang keluarga akan memperkaya
pemahaman konselor untuk melihat masalah apa yang sedang terjadi,
apakah soal struktur, pola komunikasi, atau batasan yang ada di
keluarga, dan sebagainya.
2. Bentuk Konseling Keluarga
1) Memandang Klien sebagai pribadi dalam konteks keluarga. Klien
merupakan bagian dari sistem keluarga, sehingga masalah yang
dialami dan pemecahanya tidak dapat mengesampingkan peran
keluarga
2) Berfokus pada saat ini, yaitu apa yang diatasi dalam konseling
keluarga adalah masalah-masalah yang dihadapi klien pada kehidupan
saat ini, bukan kehidupan yang masa lampaunya. Oleh karena itu,
masalah yang diselesaikan bukan pertumbuhan personal yang bersifat
jangka panjang.
3. Proses dan Tahapan Konseling Keluarga
Tahapan konseling keluarga secara garis besar dikemukakan oleh
Crane (1995:231-232) yang mencoba menyusun tahapan konseling
11
keluarga untuk mengatasi anak berperilaku oposisi. Dalam mengatasi
problem, Crane menggunakan pendekatan behavioral, Terdapat empat
tahap secara berturut-turut sebagai berikut.
1) Orangtua membutuhkan untuk dididik dalam bentuk perilaku-perilaku
alternatif. Hal ini dapat dilakukan dengan kombinasi tugas-tugas
membaca dan sesi pengajaran.
2) Setelah orangtua membaca tentang prinsip atau telah dijelaskan
materinya, konselor menunjukkan kepada orangtua bagaimana cara
mengimplementasikan ide tersebut. Pertama kali mengajarkan kepada
anak, sedangkan orangtua melihat bagaimana melakukannya sebagai
ganti pembicaraan tentang bagaimana hal itu dikerjakan. Secara tipikal,
orangtua akan membutuhkan contoh yang menunjukkan bagaimana
mengkonfrontasikan anak-anak yang beroposisi. Sangat penting
menunjukkan kepada orangtua yang kesulitan dalam memahami dan
menerapkan cara yang tepat dalam memperlakukan anaknya.
3) Selanjutnya orangtua mencoba mengimplementasikan prinsip-prinsip
yang telah mereka pelajari menggunakan situasi sesi terapi. Terapis
selama ini dapat memberi koreksi jika dibutuhkan.
4) Setelah terapis memberi contoh kepada orangtua cara menangani anak
secara tepat. Setelah mempelajari dalam situasi terapi, orangtua
mencoba menerapkannya di rumah. Saat dicoba di rumah, konselor
dapat melakukan kunjungan untuk mengamati kemajuan yang dicapai.
Permasalahan dan pertanyaan yang dihadapi orangtua dapat ditanyakan
pada saat ini. Jika masih diperlukan penjelasan lebih lanjut, terapis
dapat memberi contoh lanjutan di rumah dan diobservasi orangtua,
selanjutnya orangtua mencoba sampai mereka merasa dapat menangani
kesulitannya mengatasi persoalan schubungan dengan masalah
anaknya.
4. Kesalahan Umum dalam Konseling Keluarga
Dalam konseling keluarga banyak dijumpai kesalahan-kesalahan yang
dilakukan konselor, sehingga hasilnya tidak efektif. Crane (1995)
mengemukakan sejumlah kesalahan umum dalam penyelenggaraan
konseling keluarga di antaranya sebagai berikut.

12
1) Tidak berjumpa dengan seluruh keluarga (termasuk kedua orangtua)
untuk mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi. Yang baik jika
seluruh anggota keluarga terlibat dalam terapi/konseling.
2) Pertama kali orangtua dan anak datang ke konselor bersama-sama,
konselornya suatu saat berkata hanya orangtua dan anak tidak perlu
turut dalam proses, sehingga menampakkan ketidakpeduliannya
terhadap apa yang menjadi perhatian anak. Cara yang baik adalah
mengajak anak untuk berbicara, memperhatikan apa yang mereka
kemukakan, dan meresponnya secara tepat.
3) Mengilmiahkan dan mendiskusikan masalah, atau menjelaskan
pandangannya kepada orangtua dan bukan menunjukkan.
(mendemonstrasikan) cara penanganan masalah yang dihadapi dalam
situasi kehidupan yang nyata.
4) Melihat/mendiagnosis untuk menjelaskan perilaku anak dan orang tua,
bukan mengajarkan cara untuk memperbaiki masalah-masalah yang
terjadi. Jadi penekanannya adalah mengubah sistem interaksi dengan
jalan mengubah perilaku orangtua dan mengajarkan mereka bagaimana
cara mengubah perilaku anak-anak mereka.
5) Mengajarkan teknik modifikasi perilaku pada keluarga yang terlalu
otoritarian atau terlalu membiarkan dalam interaksi mereka. Orangtua
perlu belajar cara memberikan dorongan dan afeksi kepada anak
mereka, bukan mengendalikan perilaku anak. Konselor perlu
mengajarkan cara memberi afeksi dan penghargaan, serta mengajarkan
anak dengan penuh afeksi pula.

2.1.4 Konseling Perkawinan dan Pranikah


A. Pengertian konseling Perkawinan
Konseling perkawinan memiliki beberapa istilah, yaitu couples
counseling, marriage counseling, dan marital counseling. Istilah- istilah
ini dapat digunakan secara bergantian dan memiliki makna yang sama.
Klemer (1965) memaknakan konseling perkawinan sebagai
konseling yang diselenggarakan sebagai metode pendidikan, metode
penurunan ketegangan emosional, metode membantu patner-patner

13
yangmenikah untuk memecahkan masalah dan cara menentukan pola
pemecahan masalah yang lebih baik.
Dikatakan sebagai metode pendidikan karena konseling
perkawinan memberikan pemahaman kepada pasangan yang berkonsultasi
tentang diri, pasangannya, dan masalah-masalah hubungan perkawinan
yang dihadapi serta cara-cara yang dapat dilakukan dalam mengatasi
masalah perkawinannya.
B. Perbandingan Konseling Perkawinan dan Keluarga
Para ahli biasanya membedakan konseling keluarga dan konseling
perkawinan untuk memberikan penekanan pada masing-masing jenis
hubungan dengan orang- orang yang terlibat dalam proses konseling.
Secara umum konseling keluarga dibatasi sebagai konseling yang
berhubungan dengan masalah-masalah keluarga, misalnya hubungan peran
di keluarga, masalah komunikasi, tekanan dan peraturan keluarga, dan
ketegangan orangtua-anak. Sementara konseling perkawinan lebih
menekankan pada masalah-masalah pasangan (suami istri).
Konseling perkawinan pada dasarnya adalah sebuah prosedur
konseling keluarga yang dikembangkan dari adanya konflik hubungan
perkawinan dan menekankan pada hubungan perkawinan tanpa
mengabaikan nilai konseling individual.
Konseling keluarga dilakukan jika masalah yang dialami oleh
anggota keluarga secara jelas tidak dapat terpecahkan tanpa adanya
keterlibatan bersama-sama anggota keluarga yang bersangkutan. Termasuk
dalam masalah keluarga itu adalah konflik perkawinan, persaingan
saudara, dan konflik antar generasi khususnya orang tua. anak.
C. Permasalahan Perkawinan
Klemer (1995) mengemukakan ada tiga masalah yang mungkin
dihadapi dalam konseling perkawinan.
1. Adanya harapan perkawinan yang tidak realistis. Pada saat
merencanakan pernikahan pasangan tentunya memiliki harapan-
harapan tertentu sehingga menetapkan untuk menikah. Harapan yang
berlebihan terhadap rencana pernikahan dan tidak dapat diwujudkan
secara nyata selama kehidupan berkeluarga, dapat menimbulkan
masalah, yaitu kekecewaan pada salah satu atau keduanya.
14
2. Kurang pengertian satu dengan lainnya. Pasangan suami istri
seharusnya memahami pasangannya masing-masing, tentang
kesulitannya, hambatan-hambatannya, dan hal lain yang terkait dengan
pribadi pasangannya. Jika salah satu atau keduanya tidak saling
memahami dapat mengalami kesulitan dalam hubungan perkawinan.
Pemahaman tidak sekadar dalam aspek pengetahuan, tetapi juga dapat
ditunjukkan dengan afeksi dan tindakan nyata.
3. Kehilangan ketetapan untuk membangun keluarga secara langgeng.
Sebagian orang memandang bahwa keluarga yang gagal dibangun
tidak lagi dapat dipertahankan. Sekalipun sudah cukup waktu
membangun keluarga, mempertahankan keluarga bagi suatu pasangan
adalah sangat sulit. Mereka ini melihat mempertahankannya tidak
membawa kepuasan sebagaimana yang diharapkan (sat faction) bagi
dirinya.
D. Tujuan Konseling Perkawinan
Konseling perkawinan dilaksanakan tidak bermaksud untuk
mempertahankan suatu keluarga. Konselor berpandangan bahwa dirinya
tidak memiliki hak untuk memutuskan cerai atau tidak sebagai solusi
terhadap masalah yang dihadapi pasangan. Brammer dan Shostrom (1982)
mengemukakan bahwa konseling perkawinan dimaksudkan membantu
klien-kliennya untuk mengaktualkan dari yang menjadi perhatian pribadi,
apakah dengan jalan bercerai atau tidak.
Dalam konseling perkawinan, konselor membantu klien (pasangan)
untuk melihat realitas yang dihadapi, dan mencoba menyusun keputusan
yang tepat bagi keduanya. Keputusannya dapat berbentuk menyatu
kembali, berpisah, cerai, untuk mencari kehidupan yang lebih harmoni,
dan menimbulkan rasa aman bagi keduanya. Secara lebih rinci tujuan
jangka panjang konseling perkawinan menurut Huff dan Miller (Brammer
dan Shostrom, 1982) adalah sebagai berikut.
1. Meningkatkan kesadaran terhadap dirinya dan dapat saling empati di
antara partner.
2. Meningkatkan kesadaran tentang kekuatan dan potensinya masing-
masing.
3. Meningkatkan saling membuka diri
15
4. Meningkatkan hubungan yang lebih intim.
5. Mengembangkan keterampilan komunikasi, pemecahan masalah, dan
mengelola konfliknya.
E. Asumsi-asumsi Konseling Perkawinan
1. Konseling perkawinan lebih menekankan pada hubungan pasangan,
bukan pada kepribadian masing-masing partner.
2. Masalah yang dihadapi kedua belah pihak adalah mendesak (akut),
sehingga konseling perkawinan dilaksanakan dengan pendekatan
langsung (directive) untuk memecahkan masalah.
3. Masalah yang dihadapi pasangan adalah masalah-masalah normal,
bukan kasus yang sangat ekstrem yang bersifat patologis. Masalah
normal adalah masalah kehidupan pasangan yang umum dialami oleh
keluarga, hanya saja keduanya mengalami kesulitan dalam mengatasi
konflik-konfliknya.
F. Tipe-tipe Konseling Perkawinan
1. Concurrent Marital Counseling
Konselor yang sama melakukan konseling secara terpisah pada
setiap partner. Metode ini digunakan ketika salah seorang patner
memiliki masalah psikis tertentu untuk dipecahkan tersendiri, selain
juga mengatasi masalah yang berhubungan dengan pasangannya.
Dalam pendekatan ini konselor mempelajari kehidupan masing-masing
yang dijadikan bahan dalam pemecahan masalah "pribadi" maupun
masalah yang berhubungan dengan perkawinannya.
2. Collaborative Marital Counseling
Setiap partner secara individual menjumpai konselor yang
berbeda. Konseling ini terjadi ketika seorang partner lebih suka
menyelesaikan masalah hubungan perkawinannya, sementara konselor
yang lain menyelesaikan masalah-masalah lain yang juga menjadi
perhatian kliennya. Konselor kemudian bekerjasama satu sama lain,
membandingkan hasil konselingnya dan merencanakan strategi
intervensi yang sesuai.
3. Conjoint Marital Counseling
Suami istri bersama-sama datang ke seorang atau beberapa
konselor. Pendekatan ini digunakan ketika kedua partner dimotivasi
16
untuk bekerja dalam hubungan, penekanan pada pemahaman dan
modifikasi hubungan.
4. Couples Group Counseling
Beberapa pasangan secara bersama-sama datang ke seorang atau
beberapa konselor. Pendekatan ini digunakan sebagai pelengkap
conjoint counseling. Cara ini dapat mengurangi kedalaman situasi
emosional antara pasangan, selanjutnya mereka belajar dan
memelihara perilaku yang lebih rasional dalam kelompok.
G. Peranan Konselor
Menciptakan hubungan (rapport) dengan klien
1. Memberi kesempatan kepada klien untuk melakukan ventilasi, yaitu
membuka perasaan-perasaannya secara leluasa di hadapan
pasangannya
2. Memberikan dorongan dan menunjukkan penerimaannya kepada
kliennya
3. Melakukan diagnosis terhadap kesulitan-kesulitan klien
4. Membantu klien untuk menguji kekuatan-kekuatannya, dan mencari
kemungkinan alternatif dalam menentukan tindakannya.
H. Langkah-langkah Konseling
1. Persiapan, tahap yang dilakukan klien menghubungi konselor.
2. Tahap keterlibatan, adalah tahap keterlibatan bersama klien. Pada
tahap ini konselor mulai menerima klien secara isyarat (non verbal)
maupun secara verbal, merefleksi perasaan melakukan klarifikasi dan
sebagainya.
3. Tahap menyatakan masalah, yaitu menetapkan masalah yang dihadapi
oleh pasangan. Oleh karena itu, harus jelas apa masalahnya, siapa yang
bermasalah, dan sebagainya.
4. Tahap interaksi, yaitu konselor menetapkan pola interaksi untuk
penyelesaian masalah. Pada tahap ini anggota keluarga mendapatkan
informasi yang diperlukan untuk memahami masalahnya dan konselor
dapat melatih anggota keluarga itu berinteraksi dengan cara-cara yang
dapat diikuti dalam kehidupan mereka.
5. Tahap konferensi, yaitu tahap untuk meramalkan keakuratan hipotesis
dan memformulasi langkah-langkah pemecahan.
17
6. Tahap penentuan tujuan, tahap yang dicapai klien telah mencapai
perilaku yang normal, telah memperbaiki cara berkomunikasi, telah
menaikkan self-esteem dan membuat keluarga lebih kohesif.
7. Tahap akhir dan penutup, merupakan kegiatan mengakhiri hubungan
konseling setelah tujuannya tercapai.
I. Kesulitan dan Keuntungan Konseling Perkawinan
Konseling perkawinan dalam pelaksanaannya tidaklah mudah,
karena beberapa hal. Pertama, orang yang ditangani adalah bermasalah,
dan masalahnya menyangkut hubungan satu dengan yang lainnya.
Dalam konseling perkawinan, khususnya yang menggunakan conjoint
counseling, dapat menimbulkan kesulitan terutama jika kliennya merasa
tidak aman, kurang terbuka, karena keduanya secara bersama-sama hadir
dan mendengarkan apa yang dibicarakan oleh partnernya.
Hal lain yang sering menjadi kesulitan dalam konseling keluarga
adalah konselor membutuhkan kemampuan khusus untuk menangani
pasangan. Dibandingkan dengan konseling individual, konseling
perkawinan membutuhkan kemampuan dalam memberi perhatian,
mengatur pembicaraan, kemampuan konfrontasi, dan keterampilan
konseling lain.
Namun demikian, konseling perkawinan (khususnya conjoint) juga
terdapat beberapa keunggulannya jika dibandingkan dengan konseling
individual, di antara keuntungan itu adalah:
1. Konselor dan pasangan klien dapat mengidentifikasi distorsi karena
pasangannya mengikuti konseling secara bersama.
2. Dapat dengan mudah untuk mengetahui konflik-konflik di antara
pasangan dan transferensi yang terjadi pada pasangan.
3. Terfokus pada hubungan pasangan saat ini, dalam pengertian konseling
berfokus pada kehidupan sejak awal pernikahannya sampai kehidupan
yang terakhir.
J. Konseling Pranikah
Konseling pranikah (premarital counseling) merupakan konseling
yang diselenggarakan kepada pihak-pihak yang belum menikah,
sehubungan dengan rencana pernikahannya. Biasanya mereka datang ke

18
konselor untuk membuat keputusannya agar lebih mantap dan dapat
melakukan penyesuaian di kemudian hari secara lebih baik.
Brammer dan Shostrom (1982) mengemukakan tujuan konseling
pranikah adalah membantu partner pranikah (klien) untuk mencapai
pemahaman yang lebih baik tentang dirinya, masing-masing pasangan, dan
tuntutan-tuntutan perkawinan.
Konseling pranikah ini dianggap penting karena banyak orang yang
merasa salah dalam menetapkan pilihannya, atau mengalami banyak
kesulitan dalam penyesuaian diri dalam kehidupan berkeluarga, Banyak
orang yang terburu-buru membuat keputusan tanpa mempertimbangkan
banyak aspek sehubungan dengan kehidupan berumah tangga. Konseling
keluarga ini diselenggarakan dengan maksud membantu calon pasangan
membuat perencanaan yang matang dengan cara melakukan asesmen
terhadap dirinya yang dikaitkan dengan perkawinan dan kehidupan
berumah tangga.
K. Aspek yang Perlu Diasesmen
1. Riwayat Perkenalan
Konselor perlu mengetahui riwayat perkenalan pasangan
pranikah. Di mana mulai berkenalan, seberapa lama perkenalannya
berlangsung, bagaimana mereka saling mengetahui satu dengan
lainnya, misalnya tentang: pembicaraan tentang nilai, tujuan, dan
harapannya terhadap hubungan pernikahan, dan alasan mereka
berkeinginan melanjutkan perkenalannya ke arah pernikahan.
2. Perbandingan Latar Belakang Pasangan
Keberhasilan membangun keluarga seringkali dihubungkan
dengan latar belakang pasangan. Kesetaraan latar belakang lebih baik
penyesuaian pernikahannya dibanding dengan yang berasal dari latar
belakang yang berbeda. Konselor perlu mengungkapkan latar belakang
pendidikan, budaya keluarga setiap partner dan status sosial
ekonominya sepenuhnya harus dieksplorasi, dan perbedaan agama,
serta adat istiadat keluarganya.
3. Sikap Keluarga Keduanya
Sikap keluarga terhadap rencana pernikahannya, termasuk
bagaimana sikap mertua dan sanak keluarga terhadap keluarga
19
nantinya, apakah mereka menyetujui terhadap rencana pernikahannya,
atau memberikan dorongan, dan bahkan memaksakan agar menikah
dengan orang yang disenangi. Sikap keluarga keduanya ini sangat
penting diketahui terutama untuk mempersiapkan pasangan dalam
menyikapi masing-masing keluarga calon pasangannya.
4. Perencanaan terhadap Pernikahan
Perencanaan terhadap pernikahan meliputi rumah yang akan
ditempati, sistem keuangan keluarga yang hendak disusun dan apa
yang dipersiapkan menjelang pernikahan. Kemampuan pasangan untuk
memperkirakan tanggung jawab keluarga ditunjukkan oleh persiapan
dan perencanaan mereka terhadap pernikahan yang hendak
dilaksanakan. Oleh karena itu, perlu dipahami apakah mereka memiliki
perencanaan yang cukup realistis atau tidak.
5. Faktor Psikologis dan Kepribadian
Faktor psikologis dan kepribadian yang perlu diasesmen adalah
sikap mereka terhadap peran seks dan bagaimana peran yang hendak
dijalankan di keluarganya nanti, bagaimana perasaan mereka terhadap
dirinya (self image, body-image), dan usaha apa yang akan dilakukan
untuk keperluan keluarganya nanti.
6. Sifat Prokreatif
Sifat prokreatif menyangkut sikap mereka terhadap hubungan
seksual dan sikapnya jika memiliki anak. Bagaimana rencana
pengasuhan terhadap anaknya kelak.
7. Kesehatan dan Kondisi Fisik
Hal lain yang sangat penting adalah perlunya diketahui tentang
kesesuaian usia untuk mengukur kematangan emosionalnya secara usia
kronologis, kesehatan secara fisik dan mentalnya, dan faktor- faktor
genetik.
L. Prosedur Konseling Pranikah
Konseling pranikah diselenggarakan prosedur sebagaimana
konseling perkawinan. Yang menjadi penekanan pada konseling pranikah
ini lebih bersifat antisipatif, yaitu mempersiapkan diri untuk menetapkan
pilihan yang tepat sehubungan dengan rencana pernikahannya.

20
2.2 Psikoterapi
2.2.1 Terapi Gestalt
Terapi Gestalt dkembangkan oleh Frederick Perls. Terapi ini berpijak
pada premis bahwa individu harus menemukan jalan hidupnya sendiri dan
menerima tanggung jawab pribadi jika mereka berharap mencapai
kematangan. Gestalt berfokus pada bagian-bagian yang terpecah dan tidak
diketahui dan pada dasarnya adalah noninterpretatif. Tugas utama terapis
adalah membantu klien agar mengalami sepenuhnya keberadaannya di sini
dan sekarang, serta menyadarkan atas tindakannya mencegah dirinya rasakan
dan alami saat ini. Klien didorong untuk langsung mengalami perjuangan saat
ini terhadap urusan yang tidak selesai di masa lampau.
A. Pandangan tentang Sifat Manusia
Pendekatan Gestalt berfokus untuk memulihkan kesadaran serta ada
pemaduan polaritas dan dikotomi dalam diri. Terapi ini difokuskan pada
integrasi perlahan-lahan sampai klien menjadi cukup kuat untuk
menunjang pertumbuhan pribadinya sendiri. Dengan mengakui dan
mengalami penghambat pertumbuhannya, maka kesadaran individu atas
penghambat itu semakin meningkat sehingga individu bisa mengumpulkan
kekuatan untuk mencapai keberadaan yang lebih otentik dan vital.
B. Saat Sekarang
Terapi Gestalt berfokus pada apa yang terjadi di sini saat ini. Polster
dan Polster (1973) mengembangkan tesis bahwa “kekuatan ada pada saat
sekarang”, dan Perls berpendapat bahwa jika individu menyimpang dari
saat sekarang dan terpaku pada masa depan, mereka akan mengalami
kecemasan. Sehingga, untuk membantu klien membuat kontak dengan saat
sekarang, terapis lebih banyak mengajukan pertanyaan “apa?” dan
“bagaimana?” daripada “kenapa?”. Karena dalam meningkatkan kesadaran
saat ini (present tense) dialog antara terapis dan klien ditekankan pada
fokus saat ini.
Masa lampau itu penting apabila dengan cara tertentu berkaitan
dengan tema yang signifikan terjadi pada fungsi individu sekarang. Alih-
alih berbicara tentang pengalaman traumatik anak pada ayahnya, terapis
lebih mengarahkan klien untuk menjadi anak yang terluka dan diharapkan

21
klien dapat menghidupkan dan merasakan kembali luka hatinya itu.
Karena Perls yakin bawa individu cenderung bergantung pada masa
lampau untuk membenarkan ketidak sediaannya untuk memikul tanggung
jawab atas dirinya sendiri dan pertumbuhannya.
C. Urusan yang Tak Selesai
Gestalt terdapat konsep mencakup perasaan yang tidak terungkap
seperti dendam, kemarahan, kebencian, sakit hati, kecemasan, rasa
berdosa, rasa diabaikan, dan sebagainya. Perasaan-perasaan itu
diasosiasikan dengan ingatan dan fantasi tertentu. Menurut Polster dan
Polster, terdapat dua kutub penghalang yang menghambat proses. Yang
pertama adalah obsesi atau kompulsi yang mengarah pada suatu kebutuhan
yang kaku untuk menyelesaikan urusan yang tak selesai. Sedangkan yang
kedua adalah pengalaman belalang yang fokusnya begitu cepat berlalu
sehingga penyelesaiannya menjadi terhambat. Menurut Perls (1969), rasa
sesal atau dendam sering menjadi sumber bentuk urusan yang tidak selesai
yang paling buruk.
D. Tujuan-Tujuan Terapi
Sasaran utama terapi Gestalt adalah untuk mencapai kesadaran.
Apabila klien mencapai kesadaran, maka urusan yang tidak selesai akan
selalu muncul dan bisa ditangani dengan terapi. Tujuan selanjutnya adalah
membantu klien menemukan pusat dirinya. Menurut Perls (1969, hlm.29),
sasaran terapi adalah menjadikan pasien tidak bergantung pada orang lain,
menjadikan pasien menemukan sejak awal bahwa dia bisa melakukan
banyak hal, lebih banyak dari yang dikiranya.
E. Fungsi dan Peran Terapis
Terapi Gestalt difokuskan pada perasan klien yang berhubungan
dengan hal yang jelas. Hal tersebut karena terapi Gestalt menggunakan
mata dan telinga terapis untuk menyangga saat sekarang. Terapis
menghindari intelektualisasi abstrak, diagnosis, penafsiran, dan ucapan
yang berlebihan. Satu fungsi yang penting dari terapis Gestalt adalah
memberikan perhatian pada bahasa tubuh kliennya. Isyarat-isyarat non
verbal dari klien menghasilkan informasi yang kaya bagi terapis, sebab
isyarat-isyarat itu sering "mengkhianati" perasaan-perasaan klien, yang
klien sendiri tidak menyadarinya.
22
Namun, terdapat salah satu kelemahan terapi Gestalt yakni terapis
dapat tergelincir dalam peran teknis dan impersonal. Oleh karena itu, pada
terapi ini terapis kerap kali menyembunyikan kepribadiannya dan menjadi
pengatur latihan dan permainan yang tidak berkesudahan.
F. Teknik-Teknik Terapi Gestalt
1) Permainan Dialog
Terapis Gestalt menaruh perhatian yang besar pada pemisahan
dalam fungsi kepribadian. Yang paling utama adalah pemisahan antara
"top dog" dan "underdog". Top dog itu adil, otoriter, moralistik,
menuntut, berlaku sebagai majikan, dan manipulatif. Ia adalah "orang
tua yang kritis" yang mengusik dengan kata-kata "harus" dan
"sewajibnya" serta memanipulasi dengan ancaman. Sedangkan
underdog memanipulasi dengan memainkan peran sebagai korban,
defensif, membela diri, tak berdaya, lemah, dan tak berkekuasaan. Ia
adalah sisi pasif, tanpa tanggung jawab, dan ingin dimaklumi.
Teknik kursi kosong adalah suatu cara untuk mengajak klien agar
mengeksternalisasi introyeksinya. Dalam teknik ini, dua kursi
diletakkan di tengah ruangan. Terapis meminta klien untuk duduk di
kursi yang satu dan memainkan peran sebagai top dog, kemudian
pindah ke kursi lain dan menjadi underdog. Teknik ini membantu klien
agar bisa berhubungan dengan perasaan atau sisi dari dirinya sendiri
yang diingkarinya, klien mengintensifkan dan mengalami secara penuh
perasaan-perasaan yang bertentangan, daripada hanya
membicarakannya.
2) Berkeliling
Pada terapi ini, klien diminta untuk berkeliling ke anggota-anggota
kelompoknya dan berbicara atau melakukan sesuatu dengan setiap
anggota itu. Maksud teknik ini adalah untuk menghadapi,
memberanikan dan menyingkapkan diri, bereksperimen dengan
tingkah laku yang baru, serta tumbuh dan berubah.
3) Latihan “Saya bertanggung jawab atas…”
Teknik ini merupakan perluasan kontinum kesadaran dan dirancang
untuk membantu orang-orang agar mengakui dan menerima perasaan-

23
perasaannya alih-alih memproyeksikan perasaan-perasaannya itu
kepada orang lain.
4) “Saya memiliki suatu rahasia”
Terapis meminta kepada para klien untuk berkhayal tentang suatu
rahasia pribadi yang terjaga dengan baik, membayangkan bagaimana
perasaan mereka dan bagaimana orang lain bereaksi jika mereka
membuat rahasia itu. Kemudian meminta kepada para partisipan untuk
membayangkan, apa yang akan dikatakan oleh setiap anggota
kelompok itu ketika para partisipan membukakan rahasianya kepada
mereka. Teknik ini juga bisa digunakan sebagai metode pembentukan
kepercayaan dalam rangka mengeksplorasi mengapa para klien tidak
mau membukakan rahasianya dan mengeksplorasi ketakutan-ketakutan
menyampaikan hal-hal yang mereka anggap memalukan.
5) Bermain Proyeksi
Terapis meminta kepada klien yang mengatakan "Saya tidak bisa
mempercayaimu" untuk memainkan peran sebagai orang yang tidak
bisa menaruh kepercayaan guna menyingkapkan sejauh mana
ketidakpercayaan itu menjadi konflik dalam dirinya.
6) Teknik Pembalikan
Teori yang melandasi teknik pembalikan adalah teori bahwa klien
terjun ke dalam sesuatu yang ditakutinya karena dianggap bisa
menimbulkan kecemasan, dan menjalin hubungan dengan bagian-
bagian diri yang telah ditekan atau diingkarinya. Oleh karena itu,
teknik ini bisa membantu para klien untuk mulai menerima atribut-
atribut pribadinya yang telah dicoba diingkarinya.
7) Permainan Ulangan
Para anggota kelompok terapi melakukan permainan berbagai
pengulangan satu sama lain dalam upaya meningkatkan kesadaran agar
mereka dapat menjadi lebih sadar betapa mereka selalu mencoba
memenuhi harapan orang lain, sadar atas seberapa besar derajat
keinginan mereka untuk disetujui, diterima, dan disukai, serta sejauh
mana mereka berusaha untuk memperoleh penerimaan.

24
8) Permainan Melebih-lebihkan
Klien diminta untuk melebih-lebihkan gerakan-gerakan atau
mimik muka secara berulang-ulang, yang biasanya mengintensifkan
perasaan yang berpaut pada tingkah laku dan membuat makna bagian
dalam menjadi lebih jelas. Misalnya adalah tersenyum sambil
mengungkapkan kesakitan atau perasaan yang negatif, gemetar
(menggoyangkan tangan dan kaki), jika klien melaporkan bahwa kedua
kakinya gemetar, misalnya, terapis bisa meminta kepada klien untuk
berdiri dan melebih-lebihkan getarannya. Kemudian terapis bisa
meminta klien agar mengungkapkan arti getaran kakinya itu dengan
kata-kata. Terapis bisa meminta klien agar mengulangi pernyataan
yang telah dicoba dibelokkannya dan setiap mengulang pernyataan itu
diucapkan lebih keras. Teknik ini sering membawa hasil bahwa klien
mulai sungguh-sungguh mendengar dan didengar dirinya sendiri.
9) Tetap dengan Perasaan
Terapis mendesak klien untuk tetap dengan atau menahan
perasaan yang ia ingin menghindarinya itu. Terapis bisa meminta klien
untuk bertahan dengan ketakutan atau kesakitan apapun yang
dialaminya sekarang dan mendorong klien untuk menyelam lebih
dalam ke dalam perasaan dan tingkah laku yang ingin dihindarinya.
Namun klien juga membutuhkan kesediaan untuk bertahan dalam
kesakitan yang diperlukan guna membuka dan membuat jalan menuju
taraf-taraf pertumbuhan yang lebih baru.
10) Pendekatan Gestalt terhadap Kerja Mimpi
Pada terapi Gestalt ini membawa dan menciptakan kembali
mimpi, serta menghidupkan kembali mimpi seakan-akan mimpi itu
berlangsung sekarang. Mimpi tidak dibicarakan sebagai suatu kejadian
yang telah berlalu, tetapi sebagai sesuatu yang terjadi sekarang, dan
pemimpi menjadi bagian dari mimpi yang dialaminya.

25
2.2.2 Analisis Transaksional (AT)
Analisis Transaksional (AT) adalah psikoterapi transaksional yang
dapat digunakan dalam terapi individual, tetapi lebih cocok untuk digunakan
dalam terapi kelompok. Pendekatan ini dikembangkan oleh Eric Berne. AT
berbeda dengan sebagian besar terapi lain karena merupakan suatu terapi
kontraktual dan desisional. AT melibatkan suatu kontrak yang dibuat oleh
klien, yang dengan jelas menyatakan tujuan dan arah proses terapi. AT juga
berfokus pada putusan-putusan awal yang dibuat oleh klien dan menekankan
kemampuan klien untuk membuat putusan-putusan baru. AT menekankan
aspek-aspek kognitif rasional-behavioral dan berorientasi kepada peningkatan
kesadaran sehingga klien mampu membuat keputusan baru untuk mengubah
cara hidupnya.
A. Perwakilan-Perwakilan Ego
Teori ini menyajikan suatu kerangka bagi analisis terhadap tiga
kedudukan ego yang terpisah, yaitu: orang tua, orang dewasa, dan anak.
Ego orang tua adalah bagian kepribadian yang merupakan introyeksi dari
orang tua. Jika ego orang tua itu dialami kembali oleh kita, maka apa yang
dibayangkan oleh kita adalah kita merasa dan bertindak terhadap orang
lain dengan cara yang sama dengan perasaan dan tindakan orang tua kita
terhadap diri kita Ego orang tua berisi perintah-perintah "harus" dan
"semestinya" Orang tua dalam diri kita bisa "orang tua pemelihara" atau
"orang tua pengkritik".
Ego orang dewasa adalah pengolah data dan informasi yang
merupakan bagian objektif dari kepribadian. Ia tidak emosional dan tidak
menghakimi, akan tetapi menangani fakta-fakta dan kenyataan eksternal.
Ego orang dewasa menghasilkan pemecahan yang paling baik bagi
masalah tertentu.
Ego anak berisi perasaan, dorongan dan tindakan-tindakan spontan.
"Anak" yang ada dalam diri kita bisa berupa "Anak Alamiah", "Profesor
Cilik", atau berupa "Anak yang Disesuaikan”. Anak Alamiah adalah anak
yang impulsif, tak terlatih, spontan, dan ekspresif. Profesor Cilik adalah
kearifan yang asli dari seorang anak. la manipulatif dan kreatif. Ia adalah
bagian dari ego anak yang intuitif bagian yang bermain di atas firasat-

26
firasat. “Anak yang disesuaikan” menunjukkan suatu modifikasi dari Anak
Alamiah. Modifikasi ini dihasilkan oleh pengalaman-pengalaman
traumatik, tuntutan latihan, dan ketetapan tentang bagaimana caranya
memperoleh belaian.

B. Skenario-Skenario Kehidupan dan Posisi-Posisi Psikologis Dasar


Berkaitan dengan konsep skenario kehidupan, pesan-pesan dan
perintah orang tua, serta putusan dini itu adalah konsep dalam AT tentang
empat posisi dasar dalam hidup, yaitu: (1) "Saya OK-kamu OK", (2) "Saya
OK-Kamu Tidak OK", (3) "Saya Tidak OK-Kamu OK", dan (4) "Saya
Tidak OK-Kamu Tidak OK". Masing-masing dari posisi itu dibuat sebagai
hasil dari pengalaman dini di masa kanak-kanak. Jika seseorang telah
membuat suatu keputusan, maka dia pada umumnya akan bertahan pada
putusannya itu kecuali jika ada campur tangan (terapi atau kejadian
tertentu) yang mengubahnya.
Posisi yang sehat adalah posisi dengan perasaan sebagai pemenang
atau posisi “Saya OK-Kamu OK”. Dalam posisi tersebut, dua orang
merasa seperti pemenang dan bisa menjalin hubungan langsung yang
terbuka “Saya OK-Kamu Tidak OK” adalah posisi orang-orang yang
memproyeksikan masalah-masalahnya kepada orang lain dan
mempersalahkan orang lain. Ia adalah posisi yang arogan yang
menjauhkan seseorang dari orang lain. “Saya Tidak OK-Kamu OK”
merupakan posisi orang yang mengalami depresi, yang merasa tak kuasa
dibanding dengan orang lain dan yang cenderung menarik diri atau lebih
suka memenuhi keinginan orang lain ketimbang keinginan sendiri. “Saya
Tidak OK-Kamu Tidak OK” adalah posisi orang-orang yang
menyingkirkan semua harapan, yang kehilangan minat hidup dan melihat
hidup tidak mengandung harapan.
C. Kebutuhan Manusia akan Belaian
Orang-orang ingin dibelai, baik secara fisik maupun secara emosional.
Jika kebutuhan akan belaian itu tidak terpenuhi, cukup bukti yang
menunjukkan bahwa mereka tidak berkembang secara sehat, baik
emosional maupun fisik. Putusan-putusan yang dibuat oleh seseorang
menentukan belaian apa yang ingin diperolehnya. Belaian dapat berupa
27
belaian yang positif dan dapat juga yang negatif, dan macam-macam
belaian diterima oleh seseorang akan menentukan bagaimana orang itu
bertingkah laku.
Belaian yang positif adalah esensial bagi perkembangan pribadi yang
sehat secara psikologis dengan perasaan OK. Belaian positif bisa
berbentuk ungkapan afeksi atau penghargaan, bisa disalurkan melalui kata-
kata, elusan, pandangan, atau mimik muka.
Belaian yang negatif oleh orang tua mengakibatkan terhambatnya
pertumbuhan anak. Belaian negatif dapat berbentuk pesan-pesan (verbal
dan nonverbal) yang merampas kehormatan dan menyebabkan seorang
merasa dikesampingkan dan tak berarti. Belaian negatif, menyangkut
pengecilan, penghinaan, pencemoohan, kesewenangan, dan perlakuan
terhadap seseorang sebagai objek.
D. Tujuan-Tujuan Terapi
Dengan mengakui ketiga perwakilan ego itu, orang-orang dapat
membebaskan diri dari putusan-putusan anak yang telah usang dan dari
pesan-pesan orang tua yang irasional menyulitkan kehidupan mereka. AT
mengajarkan individu bagian mana yang sebaiknya digunakan untuk
membuat putusan-putusan yang penting bagi kehidupannya. Dengan
menggunakan prinsip-prinsip AT, individu dapat mengubah respons
belaian dari negatif ke positif. Mereka bisa memberi belaian yang juga
mereka butuhkan. Singkatnya, salah satu sasaran AT adalah membantu
individu agar dapat memahami sifat transaksi mereka dengan orang lain
sehingga mereka dapat merespons orang lain secara langsung, menyeluruh,
dan akrab.
Tujuan dasar Analisis Transaksional adalah membantu klien dalam
membuat putusan-putusan baru yang menyangkut tingkah lakunya
sekarang dan arah hidupnya. Sasarannya adalah mendorong klien agar
menyadari bahwa kebebasan dirinya dalam memilih telah dibatasi oleh
putusan-putusan dini mengenai posisi hidupnya.
E. Penerapan pada Kelompok
Konsep-konsep dan teknik-teknik Analisis Transaksional cocok pada
situasi kelompok. Dalam setting kelompok, individu dapat mengamati
perubahan orang lain yang memberikan kepada mereka model-model bagi
28
peningkatan kebebasan memilih. Mereka menjadi paham atas struktur dan
fungsi kepribadian mereka sendiri serta belajar bagaimana bertransaksi
dengan orang lain. Transaksi dalam kelompok memungkinkan para
anggota mampu meningkatkan keadaan, baik tentang dirinya sendiri
maupun tentang orang lain.
F. Prosedur-Prosedur Terapeutik
1. Kursi Kosong
McNeel (1976) menguraikan teknik dua kursi sebagai alat yang
efektif untuk membantu klien dalam memecahkan konflik masa
lampau dengan orang tuanya atau dengan orang lain. Tujuan
pemakaian teknik dua kursi adalah mengakhiri konflik dengan
menuntaskan urusan yang tak selesai dari masa lampau.
2. Permainan Peran
Prosedur AT juga dapat digabungkan menggunakan teknik
psikodrama dan permainan peran. Seorang anggota kelompok
memainkan peran sebagai perwakilan ego yang menjadi sumber
masalah bagi seorang anggota lainnya. Para anggota yang lain dapat
menjalankan permainan peran serupa dan boleh mencobanya di luar
pertemuan terapi. Bentuk permainan lainnya adalah permainan yang
menonjolkan gaya-gaya khas dari ego orang tua yang, ego orang
dewasa, dan ego anak yang konstan.
3. Pencontohan Keluarga
Pencontohan keluarga merupakan suatu pendekatan lain,
dimana klien diminta membayangkan suatu adegan yang melibatkan
sebanyak mungkin orang yang berpengaruh di masa lampau, termasuk
dirinya sendiri.
4. Analisis Upacara, Hiburan, dan Permainan
Penyusunan waktu adalah bahan yang penting bagi diskusi dan
pemeriksaan karena ia merefleksikan putusan-putusan tentang
bagaimana menjalankan hubungan dengan orang lain dan memperoleh
belaian. Orang yang menyusun waktunya terutama dengan upacara-
upacara dan hiburan, boleh jadi mengalami kekurangan belaian
sehingga dia kurang akrab dalam hubungannya dengan orang lain.
Karena transaksi ritual dan hiburan memiliki nilai belaian yang rendah,
29
maka transaksi sosial yang dilakukan oleh orang itu bisa
mengakibatkan keluhan-keluhan seperti kehampaan, kejenuhan,
kekurangan gairah, merasa tak dicintai, dan rasa tak bermakna.
5. Analisis Skenario
Analisis skenario membuka alternatif baru yang menjadikan
orang bisa memilih sehingga dia tidak lagi merasa dipaksa memainkan
permainan-permainan mengumpulkan perasaan-perasaan untuk
membenarkan tindakan tertentu yang dilaksanakan menurut plot
skenario.
Melalui penggabungan AT, terapi Gestalt, dan modifikasi
tingkah laku, Goulding dan Goulding menemukan bahwa para klien
bisa berubah tanpa memerlukan analisis bertahun-tahun dan
menunjukkan apabila para klien memutuskan untuk menyingkirkan
diri, tidak menaruh kepercayaan, atau kekanak-kanakan, dan para klien
itu pula yang mengubah semua putusannya itu melalui putusan putusan
ulang. Proses pengambilan putusan-putusan ulang didukung oleh
penggarapan di sini-dan-sekarang dan dengan menghindari
pembicaraan tentang masa lampau.

2.2.3 Terapi Tingkah Laku


Berlandaskan teori belajar, modifikasi tingkah laku dan terapi tingkah
laku adalah pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi yang berurusan
dengan pengubahan tingkah laku. Penting untuk dicatat bahwa tidak ada teori
tunggal tentang belajar yang mendominasi praktek terapi tingkah laku.
Sejumlah teori belajar yang beragam memberikan andil kepada pendekatan
terapeutik umum yang satu ini.
A. Pandangan tentang Sifat Manusia
Behaviorisme adalah suatu pandangan ilmiah tentang tingkah laku
manusia. Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan
sosial budayanya. John Watson, pendiri behaviorisme, adalah seorang
yang pernah menyatakan bahwa ia bisa mengambil sejumlah bayi sehat
dan menjadikan bayi-bayi itu apa saja yang diinginkannya melalui
bentukan lingkungan. Jadi, Watson menyingkirkan dari psikologi konsep-

30
konsep seperti kesadaran, determinasi diri, dan berbagai fenomena
subjektif lainnya. Marquis (1974) menyatakan bahwa terapi tingkah laku
itu mirip keahlian teknik dalam arti ia menerapkan informasi-informasi
ilmiah guna menemukan pemecahan teknis atas masalah-masalah manusia.
Jadi, behaviorisme berfokus pada bagaimana orang-orang belajar dan
kondisi-kondisi apa saja yang menentukan tingkah laku mereka.
B. Ciri-Ciri Unik Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku, berbeda dengan sebagian besar pendekatan terapi
lainnya, ditandai oleh: (a) pemusatan perhatian kepada tingkah laku yang
tampak dan spesifik, (b) kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan
treatment, (c) perumusan prosedur treatment yang spesifik yang sesuai
dengan masalah, dan (d) penaksiran objektif atas hasil-hasil terapi.
Pada dasarnya, terapi tingkah laku diarahkan pada tujuan-tujuan
memperoleh tingkah laku baru, penghapusan tingkah laku yang
maladaptif, serta memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang
diinginkan. Klien diminta untuk menyatakan jenis tingkah laku yang ingin
diubah. Setelah mengembangkan pernyataan yang tepat tentang tujuan
terapi, terapis harus memilih prosedur yang paling sesuai untuk mencapai
tujuan itu. Berbagai teknik misalnya, teknik aversi yang paling berguna
untuk mengembangkan kendali dorongan; orang yang mengalami
hambatan dalam menampilkan diri dan dalam bergaul bisa mengambil
manfaat dari latihan asertif; pengulangan tingkah laku berguna untuk
memperkuat tingkah laku yang baru diperoleh; desensitisasi tampaknya
paling berguna bagi penanganan fobia-fobia: percontohan yang
digabungkan dengan perkuatan positif tampak cocok bagi perolehan
tingkah laku sosial yang kompleks.
C. Pengkondisian Klasik Versus pengondisian Operan
Dua aliran utama membentuk esensi metode dan teknik pendekatan
terapi yang berlandaskan teori belajar, pengkondisian klasik dan
pengkondisian operan. Pengkondisian klasik, atau disebut pengkondisian
responden, berasal dari karya Pavlov. Pada dasarnya pengkondisian klasik
itu melibatkan stimulus tak berkondisi (UCS) yang secara otomatis
membangkitkan respons berkondisi (CR), yang sama dengan respons tak
berkondisi (UCR) apabila diasosiasikan dengan stimulus tak berkondisi.
31
Jika UCS dipasangkan dengan suatu stimulus terkondisi (CS), lambat laun
CS mengarahkan kemunculan CR.
D. Tujuan-Tujuan Terapeutik
Tujuan umum terapi tingkah laku adalah menciptakan kondisi-kondisi
baru bagi proses belajar. Dasar alasannya ialah bahwa segenap tingkah
laku adalah dipelajari (learned), termasuk tingkah laku yang maladaptif.
Krumboltz dan Thorensen (dikutip dari Huber & Millman, 1972, hlm. 347)
telah mengembangkan tiga kriteria bagi perumusan tujuan yang bisa
diterima dalam konseling tingkah laku sebagai berikut: (1) Tujuan yang
dirumuskan haruslah tujuan yang diinginkan oleh klien, (2) konselor harus
bersedia membantu klien dalam mencapai tujuan, dan (3) harus terdapat
kemungkinan untuk menaksir sejauh mana klien bisa mencapai tujuannya.
E. Teknik-Teknik Utama Terapi Tingkah Laku
Desensitisasi sistematik digunakan untuk menghapus tingkah laku
yang diperkuat secara negatif, dan ia menyertakan pemunculan tingkah
laku atau respons yang berlawanan dengan tingkah laku yang hendak
dihapuskan itu. Desensitisasi diarahkan pada mengajar klien untuk
menampilkan suatu respons yang tidak konsisten dengan kecemasan.
Desensitisasi sistematik juga melibatkan teknik relaksasi. Klien dilatih
untuk santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman
pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau yang divisualisasi. Situasi-
situasi dihadirkan dalam suatu rangkaian dari yang sangat tidak
mengancam kepada yang sangat mengancam. Desensitisasi sistematik
adalah teknik yang cocok untuk menangani fobia, tetapi keliru apabila
menganggap teknik ini hanya bisa diterapkan pada penanganan ketakutan.
Desensitisasi sistematik bisa diterapkan secara efektif pada berbagai situasi
penghasil kecemasan, mencakup situasi interpersonal, ketakutan
menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan yang digeneralisasi, kecemasan
neurotik, serta impotensi dan frigiditas seksual. Prosedur model
pengkondisian balik ini adalah sebagai berikut:
1. Desensitisasi sistematik dimulai dengan suatu analisis tingkah laku atas
stimulus-stimulus yang bisa membangkitkan kecemasan seperti
penolakan, rasa iri, ketidaksetujuan, atau suatu fobia. Tingkatan
dirancang dalam urutan dari situasi yang paling buruk yang bisa
32
dibayangkan oleh klien ke situasi yang membangkitkan kecemasan
yang tarafnya paling rendah.
2. Selama pertemuan-pertemuan terapeutik pertama klien diberi latihan
relaksasi yang terdiri atas kontraksi, dan lambat laun pengenduran otot
yang berbeda sampai tercapai suatu keadaan santai penuh. Pemikiran
dan pembayangan situasi yang membuat santai yang sering digunakan
seperti duduk di pinggir danau atau berjalan jalan di taman yang indah.
Klien diminta mempraktekkan relaksasi di luar pertemuan terapeutik,
sekitar 30 menit untuk lamanya setiap hari. Apabila klien telah bisa
belajar untuk santai dengan cepat, maka prosedur desensitisasi bisa
dimulai.
3. Proses desensitisasi melibatkan keadaan di mana klien sepenuhnya
santai dengan mata tertutup. Terapis menceritakan serangkaian situasi
dan meminta klien untuk membayangkan dirinya berada dalam setiap
situasi yang diceritakan oleh terapis itu. Situasi yang netral
diungkapkan, dan klien diminta untuk membayangkan dirinya berada
di dalamnya. Jika klien mampu tetap santai, maka dia diminta untuk
membayangkan suatu situasi yang membangkitkan kecemasan yang
tarafnya paling rendah. Terapis bergerak mengungkapkan situasi-
situasi secara bertingkat sampai klien menunjukkan bahwa dia
mengalami kecemasan, dan pada saat itulah pengungkapan situasi
diakhiri. Treatment dianggap selesai apabila klien mampu untuk tetap
santai ketika membayangkan situasi yang sebelumnya paling
menggelisahkan dan menghasilkan kecemasan.
1. Terapi Implosif dan Pembanjiran
Teknik pembanjiran berbeda dengan teknik desensitisasi
sistematik, terapis memunculkan stimulus-stimulus penghasil kecemasan,
klien membayangkan situasi, dan terapis berusaha mempertahankan
kecemasan klien. Stampfl (1975) mengembangkan teknik yang
berhubungan dengan teknik pembanjiran, yang disebut "terapi implosif".
Terapi implosif berbeda dengan desensitisasi sistematik dalam usaha
terapis untuk menghadirkan luapan emosi yang masif. Alasan yang
digunakan oleh teknik ini adalah bahwa jika seseorang secara yang
berulang-ulang dihadapkan pada suatu situasi penghasil kecemasan dan
33
konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan tidak muncul, maka
kecemasan tereduksi atau terhapus.
2. Latihan Asertif
Pendekatan behavioral yang dengan cepat mencapai popularitas adalah
latihan asertif yang bisa diterapkan terutama pada situasi interpersonal di
mana individu mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa
menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar.
Latihan asertif akan membantu bagi orang-orang yang (1) tidak mampu
mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung, (2) menunjukkan
kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk
mendahuluinya, (3) memiliki kesulitan untuk mengatakan "tidak", 4)
mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respons-respons
positif lainnya, (5) merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-
perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
Shaffer dan Galinsky (1974) menerangkan bagaimana kelompok-
kelompok latihan asertif atau "latihan ekspresif" dibentuk dan berfungsi.
Kelompok terdiri atas delapan sampai sepuluh anggota memiliki latar
belakang yang sama, dan session terapi berlangsung selama dua jam.
Terapis bertindak sebagai penyelenggara dan pengarah permainan peran,
pelatih, pemberi perkuatan, dan sebagai model peran. Dalam diskusi-
diskusi kelompok, terapis bertindak sebagai seorang ahli, memberikan
bimbingan dalam situasi-situasi permainan peran, dan memberikan umpan
balik kepada para anggota.
3. Terapi Aversi
Teknik-teknik pengkondisian aversi, digunakan untuk meredakan
gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan pengasosiasian tingkah
laku simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah
laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya. Sebagian besar
lembaga sosial menggunakan prosedur-prosedur aversif untuk
mengendalikan para anggotanya dan membentuk tingkah laku individu
agar sesuai dengan yang telah digariskan.
Skinner (1948) berpendapat bahwa hukuman adalah sesuatu yang
buruk meskipun bisa menekan tingkah laku yang diinginkan, namun tidak
melemahkan kecenderungan untuk merespons bahkan walaupun untuk
34
sementara menekan tingkah laku tertentu. Akibat-akibat yang tidak
diinginkan, menurut Skinner, berkaitan dengan penggunaan pengendalian
aversif maupun penggunaan hukuman.
Apabila hukuman digunakan, maka terdapat kemungkinan
terbentuknya efek-efek samping emosional tambahan seperti: (1) tingkah
laku yang tidak diinginkan yang dihukum boleh jadi akan ditekan hanya
apabila penghukum hadir, (2) jika tidak ada tingkah laku yang menjadi
alternatif bagi tingkah laku yang dihukum, maka individu ada
kemungkinan menarik diri secara berlebihan, (3) pengaruh hukuman boleh
jadi digeneralisasikan kepada tingkah laku lain yang berkaitan dengan
tingkah laku yang dihukum.

2.2.4 Terapi Rasional Emotif


Terapi Rasional-Emotif atau yang biasa disingkat menjadi TRE ini
dikembangkan oleh Albert Ellis. TRE memiliki banyak kesamaan dengan
terapi-terapi yang berorientasi kognitif-tingkah laku-tindakan dalam arti
menitikberatkan berpikir, menilai, memutuskan, menganalisis, dan bertindak.
TRE lebih banyak berurusan dengan dimensi pikiran daripada dengan dimensi
perasaan.
A. Pandangan tentang Sifat Manusia
TRE merupakan aliran psikoterapi yang berlandaskan pada asumsi
bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan
jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat.
Menurut Ellis, manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya ditentukan
secara biologis dan didorong oleh naluri-naluri. la melihat individu sebagai
makhluk unik dan memiliki kekuatan untuk memahami keterbatasan-
keterbatasan, untuk mengubah pandangan-pandangan dan nilai-nilai dasar
yang telah diintroyeksikannya secara tidak kritis pada masa kanak-kanak,
dan untuk mengatasi kecenderungan-kecenderungan menolak diri sendiri.
Sebagai akibatnya, mereka akan bertingkah laku berbeda dengan cara
mereka bertingkah laku di masa lampau.

35
B. TRE dan Teori Kepribadian
TRE menekankan bahwa menyalahkan adalah inti sebagian besar
gangguan emosional. Oleh karena itu, jika kita ingin menyembuhkan
orang yang neurotik atau psikotik, kita harus menghentikan penyalahan
diri dan penyalahan terhadap orang lain yang ada pada orang tersebut.
Orang perlu belajar untuk menerima dirinya sendiri dengan segala
kekurangannya. Terapis mengajari para klien bagaimana merasakan
kesakitan, bahkan apabila para klien itu memang tidak diterima dan tidak
dicintai oleh orang-orang lain yang berarti. Terapis TRE berusaha
membantu mereka untuk mengatasi segenap manifestasi dari depresi,
kesakitan, kehilangan rasa berharga, dan kebencian.
C. Teori A-B-C tentang Kepribadian
Teori A-B-C tentang kepribadian sangatlah penting bagi TRE. A
adalah keberadaan suatu fakta, suatu peristiwa, tingkah laku atau sikap
seseorang. Sedangkan C merupakan konsekuensi atau reaksi emosional
seseorang. Alih-alih, B, yaitu keyakinan individu tentang A, yang menjadi
penyebab C, yakni reaksi emosional. Misalnya, Ellis berkeyakinan akan
penolakan dan kegagalan (pada B) adalah yang menyebabkan depresi
(pada C), jadi bukan peristiwa perceraian yang sebenarnya (pada A). Jadi,
manusia bertanggung jawab atas penciptaan reaksi-reaksi emosional dan
gangguan-gangguannya sendiri.
Setelah A-B-C menyusul D, membahas bahwa pada dasarnya D adalah
penerapan metode ilmiah untuk membantu para klien menantang
keyakinannya yang irasional yang telah mengakibatkan gangguan-
gangguan emosi dan tingkah laku. Metode logiko empiris ini bisa
membantu para klien menyingkirkan ideologi ideologi yang merusak diri.
D. Tujuan-Tujuan Terapeutik
Ellis (1973a, hlm. 184) menunjukkan bahwa banyak jalan yang
digunakan dalam TRE yang diarahkan pada satu tujuan utama, yaitu:
"meminimalkan pandangan yang mengalahkan diri dari klien dan
membantu klien untuk memperoleh falsafah hidup yang lebih realistik.
Ringkasnya, proses terapeutik terdiri atas penyembuhan irasionalitas
dengan rasionalitas. Karena individu pada dasarnya adalah makhluk
36
rasional dan karena sumber ketidakbahagiaannya adalah irasionalitas,
maka individu bisa mencapai kebahagiaan dengan belajar berpikir
rasional.
E. Fungsi dan Peran Terapis
TRE pada dasarnya adalah suatu proses terapeutik kognitif dan
behavioral yang aktif-direktif. TRE adalah suatu proses edukatif, dan tugas
utama terapis adalah mengajari klien cara-cara memahami dan mengubah
diri dengan menekankan pada aspek kognitif. Ellis (1973a, hlm. 185)
memberikan suatu gambaran tentang apa yang dilakukan oleh pempraktek
TRE:
1. Mengajak klien berpikir tentang beberapa gagasan dasar yang
irasional.
2. Menantang klien untuk menguji gagasannya.
3. Menunjukkan kepada klien ketidaklogisan pemikirannya.
4. Menggunakan suatu analisis logika untuk meminimalkan keyakinan
irasional klien.
5. Menunjukkan bahwa keyakinan itu tidak ada gunanya dan bagaimana
keyakinan akan mengakibatkan gangguan emosional dan tingkah laku
di masa depan.
6. Menggunakan absurditas dan humor untuk menghadapi irasionalitas
pikiran klien.
7. Menerangkan bagaimana gagasan yang irasional bisa diganti dengan
gagasan yang rasional yang memiliki landasan empiris.
8. Mengajari klien cara berpikir agar klien dapat mengamati dan
meminimalkan gagasan yang irasional dan kesimpulan yang tidak logis
sekarang maupun pada masa yang akan datang, yang telah
mengekalkan cara merasa dan berperilaku yang merusak diri.
F. Penerapan pada Terapi Individual
Ellis (1973a, him. 193) menyatakan bahwa orang-orang yang
mengalami gangguan-gangguan emosional yang berat sebaiknya menjalani
terapi individual maupun kelompok dalam periode tujuh bulan sampai satu
tahun agar mereka memiliki kesempatan untuk mempraktekkan apa yang
sedang mereka pelajari. Kepada orang-orang yang memiliki suatu masalah
yang spesifik atau yang ingin menjalani terapi singkat, terapis bisa
37
mengajarkan dasar-dasar tentang penanganan sumber-sumber yang
melandasi masalah mereka dalam satu sampai sepuluh kali pertemuan
terapi. Pada dasarnya, pertemuan-pertemuan ini terdiri atas pemberian
penerangan mengenai metode A-B-C untuk memahami suatu gangguan
emosional, penunjukkan dalil-dalil yang irasional mendasari masalah, dan
pengajaran tentang yang bagaimana mulai bekerja dan melakukan
penukaran gagasan-gagasan yang irasional dengan yang rasional.
Ellis (1973a, hlm. 192) menyatakan bahwa kebanyakan klien yang
ditangani secara individual memiliki satu session setiap minggunya dengan
jumlah antara lima sampai lima puluh session. Klien mulai dengan
mendiskusikan masalah-masalah yang paling menekan dan menjabarkan
perasaan yang paling membingungkan dirinya. Kemudian terapis mencari
hipotesis penyebab yang mengakibatkan perasaan yang membingungkan
itu. Setiap minggu terapis memeriksa kemajuan kliennya sampai mereka
belajar cara-cara hidup yang lebih toleran dan rasional.
G. Penerapan pada Terapi Kelompok
TRE sangat cocok untuk diterapkan pada terapi kelompok karena
semua anggota diajarkan untuk menerapkan prinsip-prinsip TRE pada
rekannya dalam setting kelompok. Dalam setting kelompok, para anggota
juga memiliki kesempatan untuk menjalani latihan asertif permainan peran
dan berbagai kegiatan pengambilan risiko lainnya. Mereka dapat belajar
kecakapan sosial dan berinteraksi dengan orang lain sesudah pertemuan
kelompok. Baik para anggota lain maupun pemimpin kelompok bisa
mengamati tingkah laku seorang anggota serta memberikan umpan balik
atas tingkah lakunya itu. Sedangkan jika dalam terapi individual, klien
biasanya memberikan laporan-laporan after-the fact.
Ellis (1969) telah mengembangkan suatu bentuk terapi kelompok yang
dikenal dengan A Weekend of Rational Encounter yang memanfaatkan
metode-metode dan prinsip TRE. Terapi kelompok ini dibagi ke dalam dua
bagian utama. Bagian pertama terdiri atas 14 jam terapi rational-encounter
tanpa berhenti, yang diikuti oleh waktu istirahat selama delapan jam;
bagian kedua mencakup terapi 10 jam lagi. Selama tahap-tahap permulaan
dari pertemuan akhir pekan ini para anggota mengalami serangkaian
kegiatan yang diarahkan, baik verbal maupun nonverbal, yang dirancang
38
untuk menjadikan mereka saling mengenal. Para peserta diminta untuk
berbagi pengalaman yang paling memalukan dan didorong untuk terlibat
dalam pengambilan risiko.

2.2.5 Terapi Realitas


Terapi realitas adalah suatu sistem yang difokuskan pada tingkah laku
sekarang. Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta mengonfrontasikan
klien dengan cara-cara yang bisa membantu klien menghadapi kenyataan dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri
maupun orang lain. Inti terapi realitas adalah penerimaan tanggung jawab
pribadi yang dipersamakan dengan kesehatan mental.
A. Pandangan tentang Sifat Manusia
Terapi realitas tidak berpijak pada filsafat deterministik tentang
manusia, namun dibangun di atas asumsi bahwa manusia adalah agen yang
menentukan dirinya sendiri. Prinsip ini menyatakan bahwa masing-masing
orang memikul tanggung jawab untuk menerima konsekuensi-konsekuensi
dari tingkah lakunya sendiri.
B. Ciri-Ciri Terapi Realitas
Sekurang-kurangnya terdapat delapan ciri yang menentukan terapi
realitas, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Terapi realitas menolak konsep tentang penyakit mental. Ia berasumsi
bahwa bentuk-bentuk gangguan tingkah laku yang spesifik adalah
akibat dari ketidakbertanggungjawaban.
2. Terapi realitas berfokus pada tingkah laku sekarang alih-alih pada
perasaan dan sikap. Terapis realitas juga tidak tergantung pada
pemahaman untuk mengubah sikap-sikap, tetapi menekankan bahwa
perubahan sikap mengikuti perubahan tingkah laku.
3. Terapi realitas berfokus pada saat sekarang, bukan pada masa lampau.
Karena masa lampau seseorang itu telah tetap dan tidak bisa diubah,
maka yang bisa diubah hanyalah saat sekarang dan masa yang akan
datang.
4. Terapi realitas menekankan pertimbangan-pertimbangan nilai. Terapi
realitas menempatkan pokok kepentingannya pada peran klien dalam

39
menilai kualitas tingkah lakunya sendiri dalam menentukan apa yang
membantu kegagalan yang dialaminya.
5. Terapi realitas tidak menekankan transferensi. la memandang
transferensi sebagai suatu cara bagi terapis untuk tetap bersembunyi
sebagai pribadi. Terapis bisa menjadi orang yang membantu para klien
dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sekarang dengan
membangun suatu hubungan yang personal dan tulus.
6. Terapi realitas menekankan aspek-aspek kesadaran. Terapi realitas
menandaskan bahwa menekankan ketaksadaran berarti mengelak dari
pokok masalah yang menyangkut ketidakbertanggungjawaban klien
dan memaafkan klien atas tindakannya menghindari kenyataan.
7. Terapi realitas menghapus hukuman. Glasser menentang penggunaan
pernyataan yang mencela karena pernyataan semacam itu merupakan
hukuman. Alih-alih penggunaan hukuman, Glasser menganjurkan
untuk membiarkan klien mengalami konsekuensi yang wajar dari
tingkah lakunya.
8. Terapi realitas menekankan tanggung jawab, karena belajar tanggung
jawab adalah proses seumur hidup.
C. Tujuan-Tujuan Terapeutik
Sama dengan kebanyakan sistem psikoterapi, tujuan umum terapi
realitas adalah membantu seseorang untuk mencapai otonomi. Pada
dasarnya, otonomi adalah kematangan yang diperlukan bagi kemampuan
seseorang untuk mengganti dukungan lingkungan dengan dukungan
internal.
D. Fungsi dan Peran Terapis
Terapis diharapkan memberikan pujian apabila para klien bertindak
dengan cara yang bertanggung jawab dan menunjukkan ketidaksetujuan
apabila mereka tidak bertindak demikian. Para klien membutuhkan tipe
penilaian semacam itu. Terapis realitas berasumsi bahwa klien bisa
menciptakan kebahagiaannya sendiri dan bahwa kunci untuk menemukan
kebahagiaan adalah penerimaan tanggung jawab. Oleh karena itu, terapis
tidak menerima pengelakan atau pengabaian kenyataan, dan tidak pula
menerima tindakan klien menyalahkan apa pun atau siapapun di luar
dirinya atas ketidak bahagiaannya pada saat sekarang. Tindakan yang
40
demikian akan melibatkan klien dalam "kenikmatan psikiatrik" yang
segera akan hilang dan mengakibatkan penyesalan.
E. Pengalaman Klien dalam Terapi
Para klien diharapkan berfokus kepada tingkah laku mereka sekarang
alih-alih kepada perasaan-perasaan dan sikap-sikap mereka. Terapis
menantang para klien untuk memandang secara kritis apa yang mereka
perbuat dengan kehidupan mereka dan kemudian membuat pertimbangan-
pertimbangan nilai yang menyangkut keefektifan tingkah laku mereka
dalam mencapai tujuan-tujuan. Karena para klien bisa mengendalikan
tingkah lakunya lebih mudah daripada mengendalikan perasaan-perasaan
dan pikirannya, maka tingkah laku mereka itu menjadi fokus terapi.
Setelah para klien membuat penilaian tertentu tentang tingkah lakunya
sendiri serta memutuskan bahwa mereka ingin berubah, mereka
diharapkan membuat rencana-rencana yang spesifik guna mengubah
tingkah laku yang gagal menjadi tingkah laku yang berhasil. Para klien
harus membuat suatu komitmen untuk melaksanakan rencana-rencana ini;
tindakan menjadi keharusan. Mereka harus terlibat aktif dalam
pelaksanaan kontrak-kontrak terapi mereka sendiri secara bertanggung
jawab apabila ingin mencapai kemajuan.
F. Teknik-Teknik dan Prosedur-Prosedur Utama
Prosedur-prosedurnya difokuskan pada kekuatan-kekuatan dan
potensi-potensi klien yang dihubungkan dengan tingkah lakunya sekarang
dan usahanya untuk mencapai keberhasilan dalam hidup. Dalam
membantu klien untuk menciptakan identitas keberhasilan, terapis bisa
menggunakan beberapa teknik sebagai berikut:
1. Terlibat dalam permainan peran dengan klien.
2. Menggunakan humor.
3. Mengonfrontasikan klien dan menolak dalih apapun.
4. Membantu klien dalam merumuskan rencana-rencana yang spesifik
bagi tindakan.
5. Bertindak sebagai model dan guru.
6. Memasang batas-batas dan menyusun situasi terapi.
7. Menggunakan "terapi kejutan verbal" atau sarkasme yang layak untuk
mengonfrontasikan klien dengan tingkah lakunya yang tidak realistis.
41
8. Melibatkan diri dengan klien dalam upayanya mencari kehidupan yang
lebih efektif.
G. Penerapan pada Situasi-Situasi Konseling
Terapi realitas cocok untuk digunakan dalam terapi individual,
kelompok, dan konseling perkawinan. Dalam terapi individual, terapis
biasanya menemui klien sekali dalam seminggu selama 45 menit. Pada
permulaan terapi, terapis bisa memberikan konsultasi kepada klien
mengenai lamanya terapi.
Terapi kelompok adalah cara yang efektif bagi penerapan prosedur
terapi realitas. Para anggota diminta menuliskan kontrak-kontrak khusus
dan membacakannya di hadapan kelompok. Keterlibatan dengan para
anggota lain dengan cara yang bermakna merupakan perangsang untuk
tetap pada komitmen yang telah dibuat.
Menurut Glasser dan Zunin (1973), konseling perkawinan sering
dilaksanakan oleh terapis realitas. Mereka memandang tipe konseling ini
sebagai serangkaian session yang terbatas, biasanya terdiri atas lima
sampai lima belas kali pertemuan. Pada akhir terapi dibuat evaluasi untuk
menentukan apakah ada kemajuan dan apakah session selanjutnya bisa
dilanjutkan. Pada permulaan terapi perlu ditetapkan apakah pasangan (a)
memutuskan untuk mengakhiri ikatan perkawinan, (b) berkeinginan
mengeksplorasi pro dan kontra mengenai kemungkinan meneruskan
hubungan perkawinan, atau (c) secara pasti menginginkan diteruskannya
hubungan perkawinan tetapi meminta bantuan terapis untuk memperbaiki
hubungannya itu. Terapis diharapkan aktif dan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan yang mengarahkan kepada pemahaman atas. dinamika-
dinamika umum perkawinan dan gaya berelasi yang digunakan oleh
pasangan terhadap satu sama lain.

42
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Konseling adalah proses pemberian bantuan secara profesional oleh konselor
kepada konseli atau orang yang sedang mengalami suatu permasalahan, seperti
permasalahan personal/pribadi, sosial, karir, pendidikan, atau psikis. Sehingga bisa
diartikan sebagai proses pemberian bantuan melalui diskusi tatap muka untuk seseorang
yang mengalami masalah tertentu. Adapun tipe-tipe konseling yaitu konseling individu,
konseling kelompok, konseling keluarga dan konseling perkawinan dan pranikah.
Hubungan dalam konseling itu bersifat membantu, hubungan konseling tidak
bermaksud mengalihkan pekerjaan klien kepada konselor, tetapi memotivasi klien
untuk lebih bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri mengatasi masalahnya.
Psikoterapi adalah salah satu metode penanganan yang umum dilakukan untuk
menangani berbagai masalah kejiwaan, seperti stres berat, depresi, dan gangguan
cemas.Tujuan terapi dalam psikoterapi adalah mengupayakan perubahan atau
penyembuhan klien. Psikoterapi biasanya dilakukan perorangan, tapi terkadang juga
bisa dilakukan secara berkelompok. Adapun tipe-tipe Psikoterapi yaitu, terapi gestalt,
analisis transaksional, terapi tingkah laku, terapi rasional emotif dan terapi realitas.

3.2 Saran
Diharapkan para pembaca dan penulis makalah ini memahami mengenai Tipe-tipe
Konseling dan Psikoterapi atas apa yang diberikan di Konseling dan Psikoterapi, serta
selalu mencari referensi lain untuk lebih paham dengan Tipe-tipe Konseling dan
Psikoterapi.

43
DAFTAR PUSTAKA

Corey, Gerald. (2013). Teori dan Praktek Konseling dan Terapi. Bandung: PT Refika
Aditama.
Diponegoro, Muhammad Ahmad. (2014). Psikologi dan Konseling Qur’ani. Yogyakarta:
Multi Presindo.

Ina. (2017, Maret 25). Psikologi Konseling – Tahapan, Peranan, Manfaat, dan
Penjelasannya. Diambil kembali dari dosenpsikologi.com:
https://dosenpsikologi.com/psikologi-konseling

Latipun. (2017). Psikologi Konseling. Malang: UMM Press.

Lumongga, Namora. (2016). Konseling Kelompok. Jakarta: Kencana.

Morib, Andreas Mesak. (2022). Pentingnya Pelayanan Konseling Pranikah. Logon Zoes:
Jurnal Teoogi, Sosial dan Budaya

Wiradennikusuma. (2020). Tipe-Tipe Konseling dan Psikoterapi, diakses pada 01 Oktober


2023, https://wirapsikologi.wordpress.com/2020/12/23/tipe-tipe-konseling-dan-
psikoterapi/

44

Anda mungkin juga menyukai