Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH PLENO 3

KECACINGAN

Tutor : dr. Fitrianti, Sp.PA

Kelompok 7

Alifia Gusrizka Sandrina 2011201003

Firsty Faisya Putri 1911201021

Husna Latifunnisa 2011201018

Indri Apriyani 2011201019

Mhd.Wahyudi Azmi 2011201065

M.Habib Miftah Al-basyari 2011201030

Nabila Anil Hawa .K. 2011201031

Ranti Novita Sari 2011201060

Rizky Haditya 2011201070

Varicha Ramadanti 2011201047

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ABDURRAB
2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang
“Kecacingan”.

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Kecacingan ini dapat membantu
para pembaca untuk mudah memahami sub modul dari modul 4.2 Tumbuh Kembang dan
Mekanisme Penyakit I.

Pekanbaru, 03 Mei 2022M

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................i


DAFTAR ISI.............................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1

1.1 Kasus ................................................................................................................................ 1

1.2 Klarifikasi Terminologi .................................................................................................... 1

1.3 Identifikasi Masalah ......................................................................................................... 2

1.4 Brainstorming ................................................................................................................... 2

1.5 Spiderweb ......................................................................................................................... 3

1.6 Learning Objective ........................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 4

2.1 Cacingan .......................................................................................................................... 4

2.1.1 Definisi ...................................................................................................................... 4

2.1.2 Mekanisme Penularan ............................................................................................... 4

2.1.3 Diagnosis Banding ..................................................................................................... 5

2.2 Ascariasis ....................................................................................................................... 14

2.2.1 Morfologi dan Siklus Hidup Ascaris lumbricoides ................................................. 14

2.2.2 Tanda dan Gejala ..................................................................................................... 17

2.2.3 Patogenesis dan patofisiologi .................................................................................. 19

2.2.4 Penegakan Diagnosis ............................................................................................... 21

2.2.5 Pemeriksaan penunjang ........................................................................................... 21

2.2.6 Tatalaksana .............................................................................................................. 24

2.2.7 Pencegahan .............................................................................................................. 24

2.2.8 Komplikasi ............................................................................................................... 25

BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 26

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Kasus
Anak laki-laki bernama Iwan berusia 7 tahun, dibawa ibunya ke Puskesmas karena
keluar cacing saat buang air besar. Keluhan lain adalah anak sangat kurus meskipun
makannya banyak dan sering ingusan. Pada pemeriksaan fisik, status gizi kurang, nadi 80
x/menit, napas 24 x/menit, dan suhu 37°C. Pemeriksaan abdomen dalam batas normal.
Pemeriksaan feses ditemukan telur dinding 3 lapis dan berkelok-kelok. Dokter memberikan
obat cacing pada Iwan.
Apakah yang terjadi pada Iwan?
Mengapa status gizi Iwan kurang meskipun makannya banyak?
Apakah gejala ingusannya berhubungan dengan penyakit cacingan?
Apakah tata laksana yang tepat untuk Iwan?
Apakah komplikasi yang bisa terjadi pada Iwan?

1.2 Klarifikasi Terminologi


1. Cacingan :
• Penyakit infeksi berupa parasit yang berupa cacing yang hidup didalam tubuh manusia.
• Penyakit yang disebabkan oleh infeksi atau infestasi cacing yang bersifat parasitik.
2. Feses : Sisa hasil pencernaan dan absorbsi dari makanan yang dikeluarkan lewat
anus ( terdiri dari bakteri, eksfoliasi sel dari usus, sekresi terutama dari hati dan sejumlah
kecil residu makanan ) dari saluran cerna. Jumlah normal produksi 100-200 g / hari.
3. Obat cacing : Golongan obat yang mampu melumpuhkan cacing didalam usus manusia
maupun hewan golongan dari obat cacing adalah antelmintik.
4. Pemeriksaan Abdomen : Prosedur diagnostik yang rutin dilakukan pada berbagai kondisi
dan keluhan yang terkait dengan sistem gastrointestinal seperti diare, gastritis, massa intra
abdomen ataupun trauma abdomen.

1
Keyword :
• Pemeriksaan feses → ditemukan telur dinding berlapis dan berkelok-kelok
• Anak sangat kurus
• Makannya banyak
• Pada pemeriksaan fisik → status gizi kurang
• Sering ingusan
• Keluar cacing saat buang air besar

1.3 Identifikasi Masalah


1. Mengapa anak makannya banyak tetapi tetap kurus ?
2. Apa kemungkinan jenis spesies parasit yang menyebabkan infeksi pada anak ?
3. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan feses ?
4. Mengapa anak bisa terkena infeksi cacing ?
5. Apa ciri ciri dari parasit yang menginfeksi pasien tersebut ?
6. Apa penyebab cacingan pada anak ?
7. Bagaimana mekanisme terjadinya infeksi cacing pada anak ?
8. Bagaimana tanda dan gejala anak yang terinfeksi pada cacing ?
9. Apakah tatalaksana yang tepat untuk Iwan ?
10. Apakah komplikasi yang bisa terjadi pada Iwan ?
11. Apakah gejala ingusan pada anak berhubungan dengan penyakit cacingan ?

1.4 Brainstorming

2
1.5 Spiderweb

Diagnosis banding
Morfologi

Mekanisme penularan Patofisiologi


Cacingan
Pathogenesis
Pencegahan
Manifestasi klinis
Infeksi ascaris
Diagnosis banding

Tatalaksana

Pencegahan

Komplikasi

1.6 Learning Objective


1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang cacingan
A. Definisi
B. Diagnosis banding
C. Mekanisme penularan
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang ascariasis yang disebabkan oleh
spesies Ascaris lumbricoides
A. Morfologi dan siklus hidup Ascaris lumbricoides
B. Tanda dan gejala ascariasis
C. Patogenesis dan patofisiologi ascariasis
D. Penegakan diagnosis/Kriteria diagnosis ascariasis
E. Pemeriksaan penunjang ascariasis
F. Tatalaksana ascariasis
G. Pencegahan ascariasis
H. Komplikasi ascariasis

3
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Cacingan
2.1.1 Definisi
Kecacingan menurut WHO adalah sebagai infestasi satu atau lebih cacing parasit
usus yang terdiri dari golongan nematoda usus. (WHO, 2011).

Penyakit kecacingan merupakan salah satu penyakit yang ditularkan melalui tanah
dan disebabkan oleh parasit cacing, dengan dampak mengganggu perkembangan fisik,
kecerdasan, mental, dan menurunkan ketahanan tubuh (Soedarto, 2011).

2.1.2 Mekanisme Penularan


Cacing dewasa hidup di usus kecil di mana mereka bertelur dalam jumlah besar.
Telur yang tidak dibuahi dikeluarkan melalui tinja dan dapat dengan mudah mencemari
sayuran, misalnya, ketika tanah akan digunakan sebagai pupuk. Tergantung pada
kondisi lingkungan, telur membutuhkan setidaknya 18 hari di tanah untuk berembrio
dan menjadi infektif. Saat tertelan larva menetas larva menetas di duodenum dan
menembus mukosa. Telur dibawa melalui sirkulasi ke paru – paru, tempat telur tumbuh
dengan periode dua kali sebelum menuju ke kapiler kemudian ke alveoli. Larva
bermigrasi ke atas pohon bronkial, lalu tertelan, dan pergi ke usus kecil di mana mereka
tumbuh menjadi dewasa.
Penggunaan pupuk dari kotoran manusia untuk menyuburkan sayuran berdaun
hijau, yang kemudian dimakan tanpa dicuci bersih, merupakan hal yang pasti sebagai
cara untuk mempertahankan siklus penularan ascaris. Mereka prevalensi di suatu
tempat yang merupakan indikator yang baik dari standar kebersihan dan sanitasi
pribadi. Karena telur mereka dapat bertahan hidup bahkan diiklim dingin dan distribusi
global. ( Nabarro et al,2018 )

2.1.3 Diagnosis Banding


4
PEMBANDING ASCARIASIS TRICHURIASIS
Definisi Penyakit yang disebabkan Penyakit yang disebabkan

Ascaris lumbricoides Trichuris trichiura


Epidemiologi Di indonesia 60-90%; Di beberapa daerah pedesaan
prevalen terutama pada anak indonesia 30-90%; telur
tumbuh di tanah liat, lembab,
dan teduh dengan suhu
optimum 300C
Morfologi • Cacing jantan dewasa sedikit • Cacing jantan panjangnya
lebih kecil dari cacing betina. 30-45 mm
Panjangnya 15-30 cm dan tebal • Cacing betina panjangnya
2-4 mm. 40-50 mm
• Ujung posteriornya • 3/5 bagian anterior tipis dan
melengkung di bagian perut seperti benang serta 2/5
untuk membentuk kait dan posterior tebal dan
membawa dua spikula berdaging tampak seperti
sanggama. cambuk
• Betina lebih besar dari jantan, • Jantan : Ekor melingkar
berukuran panjang 20-40 cm dibagian perut
dan tebal 3-6 mm. • Betina : Lurus, tumpul dan
• Ekstremitas posteriornya lurus membulat
dan berbentuk kerucut. • Memiliki umur 5-10 tahun
• Vulva terletak di tengah
ventral, dekat persimpangan
dari sepertiga anterior dan
tengah tubuh. Sebuah alur yang
berbeda sering terlihat di
sekitar cacing pada tingkat
pembukaan vulva.

5
Telur

Manifestasi • Paru : batuk, demam, • Prolapsus : akibat defekasi


Klinis eosinofilia, infiltrat pada foto • Trauma – iritasi dan
toraks (Sindrom Loeffler’s); peradangan mukosa usus
• Usus : Mual, Nafsu makan • Perdarahan dan anemia
berkurang, diare atau
• Diare, diselingi disentri,
konstipasi;
anemia, BB turun, prolapsus
• Infeksi berat : Malnutrisi,
rektum
Penurunan status kognitif,

Migrasi larva • Telur - Bentuk Infektif : 3 • Telur yang dibuahi


dan cacing Minggu, lalu ke usus halus dikeluarkan dari
dewassa • Bentuk Infektif – hospes bersama tinja
Larva : Menuju • Matang 3-6 minggu
pembuluh darah/saluran limfe – • Telur ditelan
jantung – paru • Larva keluar melalui
• Larva paru : menembus dinding telur dan masuk ke
pembuluh darah dan alveolus, dalam usus halus
naik ke trakea dan faring, batuk • Dewasa - cacing turun ke
terjadi, masuk ke esofagus lalu usus bagian distal dan
ke usus halus masuk ke daerah kolon,
• Dewasa : Usus halus terutama sekum
Diagnosis Pemeriksaan tinja pasien Menemukan telur dalam tinja

secara langsung

6
Bentuk Cacing

Terapi/pengobata • Piperasin ; Pirantel Pamoat 10 • Albendazol 400 mg


n dan dosis mg/kgBB (dosis tunggal)
• Mebendazol 500 mg • Mebendazol 100 mg
• Albendazol 400mg (dua kali sehari selama tiga
hari berturut-turut)
PEMBANDING ANKILOSTOMASIS OXYURIASIS
Definisi Penyakit yang disebabkan Penyakit yang disebabkan

Ancylostoma duodenale Oxyuris Vermicularis


Epidemiologi >70% pada pekerja perkebunan Angka prevalensi pada
yang berhubungan langsung berbagai golongan manusia
dengan tanah 3%-80%; kelompok usia
terbanyak yang menderita
enterobiasis adalah kelompok
usia 5-9 tahun yaitu pada 46
anak(54,1%) dari 85 anak
yang diperiksa. Frekuensi di
Indonesia tinggi, terutama
pada anak dan lebih banyak
ditemukan pada golongan
ekonomi lemah.
Morfologi Cacing dewasa Cacing dewasa
• Bentuk silindris dan relatif • Pendek, putih, fusiform
gemuk dengan ujung runcing,
• Melengkung kearah dorso • tampak seperti potongan-
anterior seperti huruf “C” potongan benang putih.
• Rongga mulut mempunyai dua • Cacing betina memiliki

7
pasang gigi besar panjang 8-13 mm dan tebal
• Cacing betina: ekor tumpul 0,3-0,5 mm.
• Cacing jantan: ekor bursa • Cacing jantan memiliki
kopulatrix panjang 2-5 mm dan tebal
0,1-0,2 mm.
• Cacing jantan bertahan
hidup : 7-8 minggu
• Cacing betina bertahan
selama : 5-12 minggu
Telur

Manifestasi klinis • Stadium Larva : ground itch, • Iritasi di sekitar anus,


penyakit wakana (mual, perineum dan vagina :
muntah, iritasi faring, batuk, pruritus lokal.
sakit leher, dan serak) • Kurang nafsu makan, berat
• Stadium Dewasa: Kehilangan badan turun, aktivitas
darah, Anemia hipokrom meninggi, enuresis, cepat
mikrositer, eosinofilia marah, gigi menggeretak,
insomnia dan
Masturbasi
Migrasi larva Telur – Larva rabditiform - • Telur matang atau bila larva
dan cacing Larva filariform - Menembus dari telur yang menetas di
dewasa kulit - Kapiler darah - Jantung daerah perianal bermigrasi
kanan - Paru - Bronkus - Trakea kembali ke usus besar.
- Laring - Usus halus (Dewasa) • Bila telur matang yang
tertelan, telur menetas di
duodenum dan larva
rabditiform berubah dua kali

8
sebelum menjadi dewasa di
yeyunum dan bagian atas
illeum.

Diagnosis Menemukan telur (atau bisa juga Telur cacing dapat diambil
larva) pada tinja segar; untuk dengan mudah dengan alat anal
membedakan dari N. americanus swab yang ditempelkan di
menggunakan cara Harada-Mori sekitar anus pada waktu pagi
hari sebelum anak buang air
besar dan mencuci pantat
(cebok).
Bentuk cacing

9
Terapi/pengobat Pirantel pamoat 10 mg/kgBB • Infeksi cacing kremi dapat
an dan dosis sembuh sendiri (self limited).
• Obat piperazin sangat efektif
bila diberikan waktu pagi
kemudian minum segelas air
Pirantel pamoat juga efektif.
• Mebendazol efektif terhadap
semua stadium
perkembangan cacing krem
PEMBANDING TAENIA SOLIUM TAENIA SAGINATA

Definisi Penyakit yang disebabkan Penyakit yang disebabkan oleh


oleh Taenia solium Taenia saginata
Epidemiologi Biasanya ditemukan pada Sering ditemukan di negara yang
penduduk non-muslim penduduknya banyak makan
daging sapi/kerbau
Morfologi • Cacing dewasa memiliki • Cacing saginata berwarna
panjang 2-3 meter putih opalesen, seperti pita,
• Scolex tipis kecil dan pipih dorsoventral dan
bulat,mempunyai rostellum beruas-ruas, berukuran
berkait-kait (hocklets) panjang 5 - 10 meter.
• Mempunya leher pendek dan • Cacing dewasa terdiri dari
tebalnya sebesar setengah kepala (scolex), leher dan
kepala trobila (tubuh)
• Jumlah proglottid < 1.000. • Scolex: Scolex (kepala) T.
• Testis terdiri dari 150-200 saginata berdiameter sekitar
folikel. Terdapat lobus 1-2 mm,penampang segi
aksesori untuk ovarium. empat, memuat empat
• Sfingter vagina tidak ada. pengisap hemisfer yang
Uterus memiliki 5-10 cabang terletak di keempat sudutnya.
lateral yang tebal. Segmen • Leher panjang dan sempit.
gravid tidak dikeluarkan • Strobila (batang) terdiri dari
1.000-2.000 proglottid atau
segmen t-matur.

10
Telur

Manifestasi Nyeri ulu hati, mencret, mual, Sakit ulu hati, perut merasa
Klinis (Gejala obstipasi dan sakit kepala, tidak enak, mual, muntah, diare,
dan Tanda) eosinofilia pusing atau gugup, ileus
(obstruksi usus oleh strobila
cacing), eosinofilia
Migrasi larva Telur tertelan babi – sistiserkosis Telur tertelan hospes –
dan cacing babi (larva) – Tertelan – Cacing Sistiserkus sapi (larva) –
dewasa dewasa dalam usus halus – Daging sapi dimakan – Cacing
Proglotid gravid keluar bersama dewasa – Proglotid gravid
tinja – Telur kembali tertelan keluar melalui anus yang
babi, atau telur tertelan manusia mengadung telur
lagi dan terbentuk sistiserkosis
di otot, mata, otak
Diagnosis Diagnosis teniasis solium • Proglotid pada tinja; telur
dilakukan dengan menemukan dalam tinja atau usap anus
telur dan proglotid. Telur sukar • Proglotid diidentifikasi
dibedakan dengan telur Taenia dengan merendamnya
saginata dalam cairan laktofenol
• Ekstirpasi benjolan yang sampai jernih
kemudian diperiksa secara
histopatologi
• Radiologis dengan CT scan
atau Magnetic Resonance
Imaging (MRI)
• Deteksi antibodi dengan
teknik ELISA, Western Blot -

11
IBT), uji hemaglutinasi,
Counter Immuno
Electrophoresis (CE)
• Deteksi coproantigen pada
tinja
• Deteksi DNA dengan teknik
PCR.
Bentuk cacing

Terapi/pengobat Untuk pengobatan penyakit • Obat lama : kuinakrin,


an dan dosis taeniasis solium digunakan amodiakuin, niklosamid
prazikuantel. Untuk Sistiserkosis • Obat baru :
digunakan prazikuantel, prazikuantel,albendazol
albendazol atau dilakukan
pembedahan.
Pencegahan Mendinginkan daging sampai Mendinginkan daging sampai
-100c, iradiasi dan memasak -100c, iradiasi dan memasak
daging sampai matang. daging sampai matang.
PEMBANDING HYMENOLEPIASIS NANA

Definisi Penyakit yang disebabkan Hymenolepis nana

Epidemiologi Infeksi kebanyakan terjadi secara langsung dari tangan ke mulut.


Hal ini sering terjadi pada anak-anak umur 15 tahun ke bawah
Morfologi Cacing dewasa :
• Panjang 25 – 40 mm, lebar ± 1 mm, terdiri atas ± 200 proglotid
• Pada scolex terdapat rostelum yang bersifat refraktil (dapat
ditarik/ditonjolkan) dan mempunyai 20 – 30 kait-kait, serta
mempunyai 4 batil isap Porus

12
• Genitalis terletak unilateral dan pada tepi anterior dari tiap-tiap
segmen proglotid mature berbentuk seperti trapezium
• Terdapat 3 testis &1 ovarium yang bilobus proglotid gravid
terdapat 80-100 telur tiap segmen
Telur

Manifestasi Biasanya tidak bergejala; Toksemia umum, kelainan neurologi,


klinis( tanda & sakit perut (bisa disertai diare), kejang-kejang, sukar tidur, pusing,
gejala ) eosinofilia, obstipasi, anoreksia
Migrasi larva
dan cacing
dewasa

Diagnosis Menemukan telur dalam tinja

Bentuk cacing

Terapi/pengobat • Obat yang efektif adalah prazikuantel dan niklosamid, tetapi


an dan dosis saat ini obat-obat tersebut sulit didapat di Indonesia. Obat yang
efektif adalah amodiakuin.
• Hiperinfeksi sulit diobati, tidak semua cacing dapat
dikeluarkan dan sistiserkoid masih ada di mukosa usus.

( Paniker Md , 2018 )

13
2.2 Ascariasis
2.2.1 Morfologi dan Siklus Hidup Ascaris lumbricoides
A. Morfologi cacing
1) Cacing dewasa
Ascaris lumbricoides adalah cacing silindris besar, dengan ujung
meruncing, ujung anterior lebih runcing daripada posterior

• Ascaris lumbricoides berwarna merah muda pucat atau berwarna daging


saat baru dikeluarkan dari tinja, tetapi menjadi putih di luar tubuh.
• Terdapat mulut di ujung anterior yang memiliki 3 bibir bergigi halus, 1
dorsal dan 2 ventrolateral.
Cacing jantan Cacing betina

• Cacing jantan lebih kecil Cacing betina lebih besar dari cacing
dibandingkan cacing betina. jantan, berukuran panjang 20–40 cm
Dengan panjang 15–30 cm dan tebal 3–6 mm.
dan tebalnya 2–4 mm.
• Ekstremitas posteriornya lurus
• Ujung posteriornya
dan berbentuk kerucut.
melengkung ke bagian perut
• Vulva terletak di tengah ventral,
untuk membentuk kait dan
dekat pertemuan sepertiga
membawa 2 spikula
anterior dan tengah tubuh.
sanggama.
Gambaran alur yang berbeda
sering terlihat di sekitar cacing
pada tingkat pembukaan vulva.
Pinggang vulva atau korset
genital diyakini dapat membantu
proses perkawinan. Vulva
mengarah ke satu vagina, yang
bercabang menjadi sepasang
tubulus genital yang terletak
bercabang-cabang melalui
sebagian besar dua pertiga
posterior tubuh. Tubulus genital
cacing dalam kondisi gravid

14
mengandung telur sebanyak 27
juta telur.
• Cacing betina dapat bertelur
hingga 200.000 telur/hari. Telur
dikeluarkan melalui feses.

2) Telur

Dua jenis telur yang dihasilkan oleh cacing Ascaris lumbricoides;


dibuahi dan tidak dibuahi.

• Telur yang dibuahi, diletakkan oleh cacing betina, diinseminasi dengan


proses perkawinan oleh cacing jantan, berembrio dan berkembang
menjadi telur infektif .
• Telur yang tidak dibuahi, diletakkan oleh cacing betina yang tidak
diinseminasi. Telur tidak berembrio dan tidak dapat menjadi infektif.

Jenis Telur Karakteristik Utama


• Berbentuk oval
• Lebih sempit dan lebih panjang
• Berukuran 80 μm × 55 μm
• Memiliki cangkang yang lebih tipis dengan lapisan
Telur yang albumin yang tidak teratur
tidak dibuahi • Berisi sel telur kecil yang mengalami atrofi dengan
massa butiran sangat refraktil yang tidak terorganisir
dengan berbagai ukuran
• Telur tidak mengapung dalam larutan garam

• Berbentuk bulat atau lonjong


• Ukuran 60–75 μm × 40–45 μm
Telur yang
• Selalu terwarnai empedu
dibuahi
• Bewarna coklat keemasan
• Dikelilingi oleh cangkang tembus cahaya yang lunak

15
dan tebal dengan mantel albumin yang kasar di luar,
lapisan tengah transparan yang tebal dan membran
vitelline lipoidal pada bagian dalam.
• Beberapa telur ditemukan dalam tinja tanpa lapisan luar
yang dimamilasi. Telur ini disebut telur dekortikasi
• Di tengah telur terdapat ovum besar yang tidak
tersegmentasi, mengandung massa butiran lesitin kasar.
Bagian mengisi sebagian besar telur, kecuali area
berbentuk bulan sabit yang jelas di kedua kutub
• Telur mengapung dalam larutan jenuh garam biasa

( Paniker Md , 2018 )

B. Siklus Hidup
Cacing jantan berukuran lebih kecil dari cacing betina. Stadium
dewasa hidup di rongga usus kecil. Seekor cacing betina dapat bertelur
sebanyak 100.000-200.000 butir sehari; terdiri atas telur yang dibuahi dan
yang tidak dibuahi. (Sutanto,2011)
Dalam lingkungan yang sesuai. telur cacing yang dibuahi jatuh di
tanah yang lembab dan suhunya optimal, telur akan berkembang menjadi
telur yang infektif yang mengandung larva cacing. Untuk menjadi infektif
diperlukan pematangan di tanah yang lembab dan teduh selama 20-24 hari
dengan suhu optimum 30°C. Bentuk infektif tersebut bila tertelan manusia,
menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju
pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung; kemudian
mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding
pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian
naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju
faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk
karena rangsangan tersebut dan larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu
menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa.
Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan
waktu kurang lebih 2-3 bulan. (Sutanto,2011)

16
2.2.2 Tanda dan Gejala Ascariasis
Kebanyakan pasien tidak memiliki gejala. Ketika gejala-gejala terjadi,
gejalanya dibagi kedalam 2 kategori : awal (migrasi larva) dan lambat (efek-efek
mekanis). Pada fase awal (4-16 hari setelah tertelannya telur), gejala-gejala
terkait respirasi terjadi akibat migrasi larva melalui paru-paru. Biasanya, gejala-
gejala ini muncul pada keadaan pneumonia eosinofilik (sindrom Loeffler).
• Demam
• Batuk tanpa dahak
• Dispnea
• Mengi
Pada fase lambat (6-8 minggu setelah tertelannya telur), gejala gastrointestinal
dapat terjadi dan biasanya berhubungan dengan efek mekanis dari tingginya
jumlah parasit.
• Nyeri abdomen difus atau epigastrik
• Mual, muntah
• Globus faring (rasa seperti ada sesuatu di tenggorokan)
• Pembersihan tenggorokan yang sering (berdeham), batuk kering
• Komplikasi – obstruksi usus halus, volvulus (terpuntir/terpelintirnya usus),
intususepsi (sebagian usus terlipat dan menyusup ke dalam usus di
dekatnya), obstruksi duktus biliaris, apendisitis (radang usus buntu),
pankreatitis (radang pankreas).

17
Gejala umum termasuk sebagai berikut :
• Demam.
• Sakit kuning (pada obstruksi duktus biliaris).
• Kakeksia (sindrom metabolik terkait penyakit kronis yang sedang diderita
dan dikarakterisasi dengan hilangnya massa otot dengan atau tanpa
hilangnya massa lemak, dikarenakan malnutrisi).
• Wajah pucat/pallor (anemia).
• Urtikaria/kaligata (infeksi awal).

Gejala pulmonal termasuk sebagai berikut :


• Mengi
• Ronki/rales
• Hilangnya suara napas

Gejala abdominal termasuk sebagai berikut :


• Nyeri abdomen, yang dapat terasa difus (pada infeksi obstruktif),
epigastrik (pankreatitis), atau terlokalisir pada kuadran kanan bawah
(apendisitis) atau kanan atas (infeksi hepatobilier).
• Tanda-tanda peritoneal pada kasus perforasi usus besar.
• Gejala-gejala obstruktif (mual/muntah/konstipasi/distensi)

Larva yang bermigrasi dapat menulari organisme lain, menyebabkan


pneumonia bakterial atau cholangitis (radang saluran empedu). Kasus-kasus
langka seperti obstruksi jalur napas dan spasme laring juga pernah dilaporkan.
Presentasi lainnya yang tidak begitu umum terjadi ialah seperti obstruksi
drainase lakrimal, intususepsi usus halus, nefritis interstitial akut, obstruksi
traktus urinarius, dan ensefalopati. (Aaron Dora-Laskey, 2019).

18
2.2.3 Patogenesis dan Patofisiologi Ascariasis
a. Patogenesis Ascariasis
Cacing dewasa dapat menimbulkan penyakit dengan menyumbat usus
atau cabang-cabang saluran empedu dan dengan mempengaruhi nutrisi
hospes. Status nutrisi anak dengan askariasis dapat lebih dipengaruhi oleh
latar belakang sosioekonomik dan nutrisinya daripada oleh pengaruh infeksi
Ascaris.
Adanya cacing dewasa pada usus halus disertai dengan keluhan tidak
jelas seperti nyeri perut, dan kembung. Obstruksi usus, walaupun jarang,
dapat karena massa cacing pada anak yang terinfeksi berat, insiden puncak
teradi pada anak umur 1 6 tahun. Mulainya biasanya mendadak dengan nyeri
perut kolik berat dan muntah, yang dapat berbercak empedu, gejala ini dapat
memburuk dengan cepat dan menyertai perjalanan yang serupa dengan
obstruksi usus akut etiologi lain apapun. Cacing dewasa juga dapat
menimbulkan perforasi ulkus yang ada di usus. Mulainya adalah akut dengan
nyeri kolik perut, nausea, muntah, dan demam. Ikterus jarang ditemukan.
Pada penderita yang mengalami demam tinggi, Ascaris lumbricoides
dewasa dapat melakukan migrasi ke organ-organ di luar usus
(askariasisektopik), misalnya ke lambung, esofagus, mulut, hidung, rima
glottis atau bronkus, sehingga menyumbat pernapasan penderita.Selain itu
dapat juga dapat terjadi sumbatan saluran empedu, apendisitis, abses hati,
dan pankreatitis akut.
Steatorea dan penyerapan vitainin A yang berkurang terjadi pada
beberapa anak yang terinfeksi Ascaris. Jika terjadi infeksi askariasis yang
berat (hiperinfeksi), terutama pada anak- anak dapat terjadi gangguan
pencernaan dan penyerapan protein sehingga penderita akan mengalami
gangguan pertumbuhan dan anemia akibat kurang gizi. Cacing Ascaris juga
dapat mengeluarkan cairan toksik yang dapat menimbulkan gejala klinis
mirip demam tifoid disertai tanda tanda alergi misalnya urtikaria, edema
pada wajah, konjungtivitis dan iritasi pernapasan bagian atas.
Askariasis paru dapat terjadi pasca pemajanan yang berat dan juga
sering pada individu yang hidup di daerah dengan penularan infeksi
musiman (pneumonitis musiman). Tanda-tanda yang paling khas adalah
batuk, sputum berbercak darah, dan eosinofilia. Sindroma seperti Loeffler ini

19
dapat dihubungkan dengan infiltrat paru sementara. Pada anak, diferensiasi
sindroma ini dengan larva migrans viseral mungkin sukar, tetapi gejala atau
,tanda-tanda perut amat jarang pada askariasis paru.
Larva cacing yang berada di paru-paru dapat menimbulkan pneumonia
pada penderita dengan gejala klinis berupa demam, batuk, sesak dan dahak
yang berdarah. Selain itu penderita juga mengalami urtikaria disertai
terjadinya eosinofili sampai 20 persen pada gambaran darah tepi. Terdinya
pneumonia yang disertai dengan gejala alergi ini disebut sebagai Sindrom
Loeffleratau Ascaris pneumonia.

b. Patofisiologi Ascariasis
Infeksi terjadi ketika inang menelan telur yang ditemukan di tanah yang
terkontaminasi tinja. Setelah berada di duodenum, larva dilepaskan dan
masuk ke sirkulasi melalui mukosa enterik. Setelah di kapiler (vena, arteri
atau limfatik), mencapai hati melalui vena portal dan kemudian paru-paru
dalam minggu pertama. Di paru-paru, mereka merusak membran alveolar
dan matang di alveolus. Akhirnya, larva dikeluarkan dan ditelan kembali ke
saluran pencernaan. Setelah berada di dalam lumen usus halus, larva cacing
dewasa menjadi cacing dalam waktu sekitar 20 hari. Ketika cacing betina dan
jantan dewasa ada, mereka bersanggama, dan betina dapat menghasilkan
sekitar 200.000 telur per hari. Mereka kemudian dieliminasi dalam tinja ke
tanah. Dalam kondisi yang sesuai lembab, teduh, dan lingkungan hangat telur
matang menjadi bentuk infektif dalam dua sampai delapan minggu dan tetap
hidup sampai 17 bulan. Mereka dapat tertelan dan memulai kembali siklus
infektif (H. S. de Lima Corvino DF, 2021)

20
2.2.4 Kriteria Diagnosis Ascariasis
Diagnosis askariasis adalah dengan ditemukannya cacing dewasa pada
muntahan penderita, atau ditemukannya telur cacing pada tinja atau cairan
empedu penderita. Cacing pada saluran empedu dapat terlihat bila dilakukan
kolangiografi intravena. Diagnosis juga dapat dilakukan melalui radiografi
dengan mengamati cacing yang memakan barium Tinja yang tidak mengandung
telur Ascaris lumbricoides dapat didapatkan bila :
• Cacing di usus belum menghasilkan telur.
• Hanya ada cacing jantan.
• Penyakit masih dalam waktu inkubasi, yaitu baru terdapat bentuk larva.

Telur pada tinja penderita dapat ditemukan dalam berbagai bentuk,yaitu :


• Telur yang dibuahi (fertilized). Berukuran 40 x 60 μm dengan dinding
albuminoid, berbenjol-benjol, berwarna kuning tengguli, dengan lapisan
hialin tebal transparan pada bagian bawahnya.
• Telur yang tidak dibuahi (unfertilized). Berukuran 40 x 90 μm,
bentuknya lebih panjang dan lebih langsing daripada telur yang dibuahi,
dan tampak sejumlah granula di dalamnya.
• Telur tanpa korteks (decorticated) tanpa lapisan yang berbenjol-benjol,
dibuahi atau tidak dibuahi. Telur tanpa korteks ini hanya terkadang
ditemukan, dan sangat mungkin merupakan artefak.

2.2.5 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan feses dapat dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis.
Pemeriksaan makroskopis dilakukan untuk menilai warna, konsistensi, jumlah,
bentuk, bau dan ada- tidaknya mukus. Pada pemeriksaan ini juga dinilai ada
tidaknya gumpalan darah yang tersembunyi, lemak, serat daging, empedu, sel
darah putih dan gula.
Pemeriksaan mikroskopis bertujuan untuk memeriksa parasit dan telur
cacing, terdiri dari dua pemeriksaan yaitu pemeriksaan kualitatif dan kuantiatif.
Pemeriksaan kualitatif dapat dilakukan dengan berbagai cara pemeriksaan secara
pemeriksaan dengan metode apung, modifikasi merthiolat iodine formaldehyde,
metode selotip, metode konsentrasi, teknik sediaan, natif (direct slide), tebal dan

21
metode sedimentasi formol ether (ritchie). Pemeriksaan kuantitatif dikenal
dengan dua metode yaitu metode stoll dan metode katokatz. Selain pemeriksaan
mikroskopis feses, terdapat juga pemeriksaan antibodi, deteksi antigen dan
diagnosis molekular dengan menggunakn Polymerase Chain Reaction (PCR).
Serodiagnosis dapat menjadi pemeriksaan pilihan dalam mendiagnosis infeksi
STH. Kekurangan pemeriksaan ini adalah bersifat invasif (seperti dengan
pengambilan spesimen darah), antibodi tetap terdeteksi setelah penatalakasanaan
dan terdapat kemungkinan terjadinya reaksi silang dengan nematoda lainnya.
1. Secara kualitatif
a. Metode apung ( float method )
Menggunakan larutan gar jenuh atau gula jenih sebagai alat untuk
mengapungkan telur. Metode ini digunakan untuk pemeriksaan tinja
yang mengandung sedikit telur.
b. Metode modifikasi merthiolat iodine formaldehyde ( MIF )
Metode ini baik dipakainuntuk mendiagnosis secara laboratories
adanya telur cacing ( nematoda,trematoda, dan cestoda)
c. Metode selotip
Digunakan untuk pemeriksaan telur enterobius vermicularis. Teknik
sediaan pemeriksaan kualitatif
d. Metode slide direct
Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik
untuk infek berat. Digunakan larutan NaCl fisiologis atau eosisn untuk
membedakan cacing denagn kotoran diaekitarnya.
Prosedur:
- Encerkan sedikit feses (sekitar 2 mg) dengan larutan fisiologis.pada
slide dan aduk rata;
- Dengan kaca penutup yang dipegang miring, sentuh tepi tetesan dan
turunkan kaca penutup ke slide, hindari pembentukan gelembung
Komposisi larutan fisiologi: Nacl 8,5 gr dan air suling 100 ml.
e. Metode tebal
Metode yang digunakan untuk menemukan telur cacing dan
menghitung jumlah telur cacing yang terdapat pada feses. Penggati
covergkass untuk penutuo adalah cellahne tape. Teknik inilah lebih
banyak terdapat telur cacing karena menggunakan lebih banya fese.

22
Tekini ini digunakan untuk pemeriksaas masala karena lebih sederhana
dan cepat.
f. Metode sedimentasi firmol ether ( ritchie )
Metode yang baik untuk memeriksa sampel feses yang sudah lama.
Prinsip dari metode ini adalah dengan adanya gaya sentrifuge yang
dapat memisahkan antara suspensi dan supernatannya sehingga telur
cacing dapat terendapkan.

2. Secara kuantitatif
a. Metode stoll
Metode ini menggunakan NaOH 0,1 N sebagai pelarut tinja. Metode
ini baik untuk infeksi berat dan sedang.
b. Metode katokatz
Dipergunakan untuk pemeriksaan kuantitatif maupun kualitatif. Prinsip
dari metode ini sama dengan direct slide dengan penambahan selophan
tape yang sudah direndam dengan malanchit green sebagai latar.
Prinsip dari pemeriksaan ini sama dengan mikroskopik pada
pemeriksaan feses, namun untuk pengambilan sampel diambil dari
potongan dan swab kuku lalu diperiksa dibawah mikroskop.
Pemeriksaan kuku ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode
sedimentasi. Spesimen kotoran kuku suatu tabung dan ditambahkan 30
ml larutan KOH 10% kemudian didiamkan selama 24 jam, lalu
dimasukan ke tabung reaksi. Bahan tersebut kemudian disentrifuse
pada kecepatan 2500 rpm selama 5 prinsip pemeriksaan dimasukan
dalam menit. Sedimen lalu diambil dan diteteskan pada kaca objek dan
diperiksa dibawah mikroskop. Pemeriksaan ini hanya untuk
memastikan keberadaan telur cacing atau larva dan dapat dilakukan
untuk menegakan diagnosis awal atau mencari resiko terkena penyakit
infeksi.

23
2.2.6 Tatalaksana
Askariasis dapat ditatalaksana dengan pirantel pamoat, albendazol,
mebendazol, dan piperazin.
• Dosis tunggal pirantel pamoat 10 mg/kgBB menghasilkan angka
penyembuhan 85-100%. Efek samping dapat berupa mual, muntah, diare,
dan sakit kepala, namun jarang terjadi.
• Albendazol diberikan dalam dosis tunggal (400 mg) dan menghasilkan
angka penyembuhan lebih dari 95%, namun tidak boleh diberikan kepada
ibu hamil. Namun , pada infeksi berat, dosis ini dapat diberikan selama 2-
3 hari.
• Mebendazol diberikan sebanyak 100 mg, 2 kali sehari selama 3 hari. Pada
infeksi ringan, mebendazol dapat diberikan dalam dosis tunggal (200 mg).
• Piperazin merupakan obat antihelmintik yang bersifat fast-acting. Dosis
piperazin adalah 75 mg/kgBB (maksimum 3,5 gram) selama 2 hari,
sebelum atau sesudah makan pagi. Efek samping yang kadang ditemukan
adalah gejala gastrointestinal dan sakit kepala. Gejala sistem saraf pusat
juga bisa ditemukan, tetapi jarang. Piperazin tidak boleh diberikan pada
penderita dengan insufisiensi hati dan ginjal, kejang atau penyakit saraf
menahun.

2.2.7 Pencegahan
Perbaikan sanitasi dan kebersihan pribadi serta lingkungan sangat
mempunyai arti dalam penanggulangan infeksi spesies cacing gelang ini. Suatu
pengalaman oleh E.Kosin pada tahun 1973, yang mana telah dilakukan suatu
penelitian kontrol ascaris di suatu desa di daerah Belawan,Sumatera Utara,yang
mana diketahui prevalensi cacing gelang pada anak adalah 85% namun setelah
pengobatan massal angka infeksi turun secara drastis menjadi 10%.
Akan tetapi tiga bulan kemudian saat anak-anak tersebut diperiksa kembali
diperoleh hasil yang sangat mengejutkan yaitu angka infeksi naik menjadi 100%.
Setelah dilakukan penelitian ternyata cacing yang berhasil dikeluarkan dengan
pengobatan tersebut tersebar di sembarang tempat,yang dalam artian telah terjadi
pencemaran tanah di sekitar desa dengan telur cacing dan ini merupakan sumber
infeksi.(Soedarmo, 2010)

24
Berdasarkan siklus hidup dan sifat telur cacing, maka upaya
pencegahannya dapat dilakukan dengan penggunaan sanitasi yang baik dan
tepat guna, hygiene keluarga dan hygiene pribadi seperti :
a) Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.
b) Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan dicuci
terlebih dahulu dengan menggunkan sabun dan air mengalir.
c) Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan,
hendaklah dicuci bersih dengan air mengalir.
d) Mengadakan terapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik ataupun
daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis.
e) Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.
f) Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus hidup
cacing. Misalnya memakai jamban/WC.
g) Makan makanan yang dimasak saja.
h) Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di daerah yang
menggunakan tinja sebagai pupuk. Karena telur cacing Ascaris
lumbricoides dapat hidup dalam tanah selama bertahun- tahun, pencegahan
dan pemberantasan di daerah endemik adalah sulit.

2.2.8 Komplikasi
Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus sehingga
terjadi obstruksi usus (ileus). Selain itu cacing dewasa dapat masuk ke lumen
usus buntu dan dapat menimbulkan apendisitis (radang usus buntu) akut atau
gangren. Jika cacing dewasa masuk dan menyumbat saluran empedu dapat
terjadi kolik, kolesistitis (radang kantong empedu), kolangitis (radang saluran
empedu), pangkreatitis dan abses hati. Selain bermigrasi ke organ, cacing dewasa
juga dapat bermigrasi keluar melalui anus, mulut atau hidung. Migrasi cacing
dewasa dapat terjadi karena rangsangan seperti demam tinggi atau obat-obatan.
Pada anak infeksi kronis dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan akibat dari
penurunan nafsu makan, terganggunya proses pencernaan dan malabsorbsi.
Selama tidak terjadi obstruksi oleh cacing dewasa yang bermigrasi,
prognosis baik. Tanpa pengobatan infeksi cacing ini dapat sembuh sendiri dalam
waktu 1,5 tahun. (PMK,2017)

25
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Kecacingan merupakan salah satu penyakit yang ditularkan melalui tanah dan
disebabkan oleh parasit cacing
2. Mekanisme penularan cacing ini biasanya melalui telur atau larva,baik yang tidak
dibuahi ataupun yang sudah dibuahi
3. Diagnosis banding pada penyakit kecacingan dapat dilakukan dengan identifikasi
masing-masing spesies parasit berdasarkan morfologi,bentuk telur dan cacingnya,
manifestasi klinis serta dapat ditegakkan dengan melakukan diagnosis melalui
penemuan telur pada feses
4. Ascariasis merupakan salah satu penyakit kecacingan yang disebabkan oleh spesies
parasit yaitu Ascaris lumbricoides
5. Secara garis besar,tanda dan gejala ascariasis dapat dikategorikan berdasarkan
migrasi larva dan efek-efek mekanis
6. Cacing dewasa dapat menimbulkan penyakit dengan menyumbat usus atau cabang-
cabang saluran empedu dan dapat mempengaruhi nutrisi hospes.
7. Infeksi dapat terjadi ketika inang menelan telur yang ditemukan di tanah yang
terkontaminasi tinja atau feses.
8. Pemeriksaan penunjang ascariasis dapat dilakukan secara makroskopis dan
mikroskopis
9. Askariasis dapat ditatalaksana dengan pirantel pamoat, albendazol,mebendazol,dan
piperazin.
10. Upaya pencegahan dari ascariasis dapat berupa penggunaan sanitasi yang baik dan
benar serta hygiene pribadi,keluarga,dan lingkungan sekitar
11. Obstruksi usus (ileus),apendisitis akut atau gangren,kolik,abses hati dan peradangan
pada kandung serta saluran empedu dapat terjadi apabila kecacingan ini dibiarkan.

26
DAFTAR PUSTAKA

de Lima Corvino DF, Horrall S. (2020). Ascariasis. StatPearls Publishing, Treasure


Island (FL) Diemert, D. (2011). Ascariasis. Tropical Infectious Diseases: Principles,
Pathogens And Practice,794-798. doi: 10.1016/b978-0-7020-3935-5.00115-4

John DT, Petri WA, Markell EK, Voge M. Markell and Voge’s medical parasitology.
Missouri: Elsevier Health Sciences; 2006. p. 262-7, 270-5, 284-6.

Paniker Md, CK Jayaram. (2018). Paniker’s Textbook of Medical Parasitology. Edisi 8.


India : Jaypee Brothers Medical Publisher.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 15 tahun 2017 tentang Penanggulangan Cacingan
Nabarro,L et All.(2018) .Peters’ Atlas of Tropical Medicine and Parasitology.Edisi
7.Amsterdam : Elsevier
Rahmadhini,S.& Mutiara,H.2015. Pemeriksaan kuku sebagai Pemeriksaan Alternatif
dalam Mendiagnosis Kecacingan.vol 4(9):113-115.

Soedarmo,S.Poorwo Sumarmo etc All.2010.Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis edisi
2.Badan Penerbit IDAI : Jakarta

Soedarto. 2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Sagung Seto.

Sutanto, Inge dkk. (2011). Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Balai
penerbit FKUI

Anda mungkin juga menyukai