KECACINGAN
Kelompok 7
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ABDURRAB
2022
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang
“Kecacingan”.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Kecacingan ini dapat membantu
para pembaca untuk mudah memahami sub modul dari modul 4.2 Tumbuh Kembang dan
Mekanisme Penyakit I.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Kasus
Anak laki-laki bernama Iwan berusia 7 tahun, dibawa ibunya ke Puskesmas karena
keluar cacing saat buang air besar. Keluhan lain adalah anak sangat kurus meskipun
makannya banyak dan sering ingusan. Pada pemeriksaan fisik, status gizi kurang, nadi 80
x/menit, napas 24 x/menit, dan suhu 37°C. Pemeriksaan abdomen dalam batas normal.
Pemeriksaan feses ditemukan telur dinding 3 lapis dan berkelok-kelok. Dokter memberikan
obat cacing pada Iwan.
Apakah yang terjadi pada Iwan?
Mengapa status gizi Iwan kurang meskipun makannya banyak?
Apakah gejala ingusannya berhubungan dengan penyakit cacingan?
Apakah tata laksana yang tepat untuk Iwan?
Apakah komplikasi yang bisa terjadi pada Iwan?
1
Keyword :
• Pemeriksaan feses → ditemukan telur dinding berlapis dan berkelok-kelok
• Anak sangat kurus
• Makannya banyak
• Pada pemeriksaan fisik → status gizi kurang
• Sering ingusan
• Keluar cacing saat buang air besar
1.4 Brainstorming
2
1.5 Spiderweb
Diagnosis banding
Morfologi
Tatalaksana
Pencegahan
Komplikasi
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Cacingan
2.1.1 Definisi
Kecacingan menurut WHO adalah sebagai infestasi satu atau lebih cacing parasit
usus yang terdiri dari golongan nematoda usus. (WHO, 2011).
Penyakit kecacingan merupakan salah satu penyakit yang ditularkan melalui tanah
dan disebabkan oleh parasit cacing, dengan dampak mengganggu perkembangan fisik,
kecerdasan, mental, dan menurunkan ketahanan tubuh (Soedarto, 2011).
5
Telur
secara langsung
6
Bentuk Cacing
7
pasang gigi besar panjang 8-13 mm dan tebal
• Cacing betina: ekor tumpul 0,3-0,5 mm.
• Cacing jantan: ekor bursa • Cacing jantan memiliki
kopulatrix panjang 2-5 mm dan tebal
0,1-0,2 mm.
• Cacing jantan bertahan
hidup : 7-8 minggu
• Cacing betina bertahan
selama : 5-12 minggu
Telur
8
sebelum menjadi dewasa di
yeyunum dan bagian atas
illeum.
Diagnosis Menemukan telur (atau bisa juga Telur cacing dapat diambil
larva) pada tinja segar; untuk dengan mudah dengan alat anal
membedakan dari N. americanus swab yang ditempelkan di
menggunakan cara Harada-Mori sekitar anus pada waktu pagi
hari sebelum anak buang air
besar dan mencuci pantat
(cebok).
Bentuk cacing
9
Terapi/pengobat Pirantel pamoat 10 mg/kgBB • Infeksi cacing kremi dapat
an dan dosis sembuh sendiri (self limited).
• Obat piperazin sangat efektif
bila diberikan waktu pagi
kemudian minum segelas air
Pirantel pamoat juga efektif.
• Mebendazol efektif terhadap
semua stadium
perkembangan cacing krem
PEMBANDING TAENIA SOLIUM TAENIA SAGINATA
10
Telur
Manifestasi Nyeri ulu hati, mencret, mual, Sakit ulu hati, perut merasa
Klinis (Gejala obstipasi dan sakit kepala, tidak enak, mual, muntah, diare,
dan Tanda) eosinofilia pusing atau gugup, ileus
(obstruksi usus oleh strobila
cacing), eosinofilia
Migrasi larva Telur tertelan babi – sistiserkosis Telur tertelan hospes –
dan cacing babi (larva) – Tertelan – Cacing Sistiserkus sapi (larva) –
dewasa dewasa dalam usus halus – Daging sapi dimakan – Cacing
Proglotid gravid keluar bersama dewasa – Proglotid gravid
tinja – Telur kembali tertelan keluar melalui anus yang
babi, atau telur tertelan manusia mengadung telur
lagi dan terbentuk sistiserkosis
di otot, mata, otak
Diagnosis Diagnosis teniasis solium • Proglotid pada tinja; telur
dilakukan dengan menemukan dalam tinja atau usap anus
telur dan proglotid. Telur sukar • Proglotid diidentifikasi
dibedakan dengan telur Taenia dengan merendamnya
saginata dalam cairan laktofenol
• Ekstirpasi benjolan yang sampai jernih
kemudian diperiksa secara
histopatologi
• Radiologis dengan CT scan
atau Magnetic Resonance
Imaging (MRI)
• Deteksi antibodi dengan
teknik ELISA, Western Blot -
11
IBT), uji hemaglutinasi,
Counter Immuno
Electrophoresis (CE)
• Deteksi coproantigen pada
tinja
• Deteksi DNA dengan teknik
PCR.
Bentuk cacing
12
• Genitalis terletak unilateral dan pada tepi anterior dari tiap-tiap
segmen proglotid mature berbentuk seperti trapezium
• Terdapat 3 testis &1 ovarium yang bilobus proglotid gravid
terdapat 80-100 telur tiap segmen
Telur
Bentuk cacing
( Paniker Md , 2018 )
13
2.2 Ascariasis
2.2.1 Morfologi dan Siklus Hidup Ascaris lumbricoides
A. Morfologi cacing
1) Cacing dewasa
Ascaris lumbricoides adalah cacing silindris besar, dengan ujung
meruncing, ujung anterior lebih runcing daripada posterior
• Cacing jantan lebih kecil Cacing betina lebih besar dari cacing
dibandingkan cacing betina. jantan, berukuran panjang 20–40 cm
Dengan panjang 15–30 cm dan tebal 3–6 mm.
dan tebalnya 2–4 mm.
• Ekstremitas posteriornya lurus
• Ujung posteriornya
dan berbentuk kerucut.
melengkung ke bagian perut
• Vulva terletak di tengah ventral,
untuk membentuk kait dan
dekat pertemuan sepertiga
membawa 2 spikula
anterior dan tengah tubuh.
sanggama.
Gambaran alur yang berbeda
sering terlihat di sekitar cacing
pada tingkat pembukaan vulva.
Pinggang vulva atau korset
genital diyakini dapat membantu
proses perkawinan. Vulva
mengarah ke satu vagina, yang
bercabang menjadi sepasang
tubulus genital yang terletak
bercabang-cabang melalui
sebagian besar dua pertiga
posterior tubuh. Tubulus genital
cacing dalam kondisi gravid
14
mengandung telur sebanyak 27
juta telur.
• Cacing betina dapat bertelur
hingga 200.000 telur/hari. Telur
dikeluarkan melalui feses.
2) Telur
15
dan tebal dengan mantel albumin yang kasar di luar,
lapisan tengah transparan yang tebal dan membran
vitelline lipoidal pada bagian dalam.
• Beberapa telur ditemukan dalam tinja tanpa lapisan luar
yang dimamilasi. Telur ini disebut telur dekortikasi
• Di tengah telur terdapat ovum besar yang tidak
tersegmentasi, mengandung massa butiran lesitin kasar.
Bagian mengisi sebagian besar telur, kecuali area
berbentuk bulan sabit yang jelas di kedua kutub
• Telur mengapung dalam larutan jenuh garam biasa
( Paniker Md , 2018 )
B. Siklus Hidup
Cacing jantan berukuran lebih kecil dari cacing betina. Stadium
dewasa hidup di rongga usus kecil. Seekor cacing betina dapat bertelur
sebanyak 100.000-200.000 butir sehari; terdiri atas telur yang dibuahi dan
yang tidak dibuahi. (Sutanto,2011)
Dalam lingkungan yang sesuai. telur cacing yang dibuahi jatuh di
tanah yang lembab dan suhunya optimal, telur akan berkembang menjadi
telur yang infektif yang mengandung larva cacing. Untuk menjadi infektif
diperlukan pematangan di tanah yang lembab dan teduh selama 20-24 hari
dengan suhu optimum 30°C. Bentuk infektif tersebut bila tertelan manusia,
menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju
pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung; kemudian
mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding
pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian
naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju
faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk
karena rangsangan tersebut dan larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu
menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa.
Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan
waktu kurang lebih 2-3 bulan. (Sutanto,2011)
16
2.2.2 Tanda dan Gejala Ascariasis
Kebanyakan pasien tidak memiliki gejala. Ketika gejala-gejala terjadi,
gejalanya dibagi kedalam 2 kategori : awal (migrasi larva) dan lambat (efek-efek
mekanis). Pada fase awal (4-16 hari setelah tertelannya telur), gejala-gejala
terkait respirasi terjadi akibat migrasi larva melalui paru-paru. Biasanya, gejala-
gejala ini muncul pada keadaan pneumonia eosinofilik (sindrom Loeffler).
• Demam
• Batuk tanpa dahak
• Dispnea
• Mengi
Pada fase lambat (6-8 minggu setelah tertelannya telur), gejala gastrointestinal
dapat terjadi dan biasanya berhubungan dengan efek mekanis dari tingginya
jumlah parasit.
• Nyeri abdomen difus atau epigastrik
• Mual, muntah
• Globus faring (rasa seperti ada sesuatu di tenggorokan)
• Pembersihan tenggorokan yang sering (berdeham), batuk kering
• Komplikasi – obstruksi usus halus, volvulus (terpuntir/terpelintirnya usus),
intususepsi (sebagian usus terlipat dan menyusup ke dalam usus di
dekatnya), obstruksi duktus biliaris, apendisitis (radang usus buntu),
pankreatitis (radang pankreas).
17
Gejala umum termasuk sebagai berikut :
• Demam.
• Sakit kuning (pada obstruksi duktus biliaris).
• Kakeksia (sindrom metabolik terkait penyakit kronis yang sedang diderita
dan dikarakterisasi dengan hilangnya massa otot dengan atau tanpa
hilangnya massa lemak, dikarenakan malnutrisi).
• Wajah pucat/pallor (anemia).
• Urtikaria/kaligata (infeksi awal).
18
2.2.3 Patogenesis dan Patofisiologi Ascariasis
a. Patogenesis Ascariasis
Cacing dewasa dapat menimbulkan penyakit dengan menyumbat usus
atau cabang-cabang saluran empedu dan dengan mempengaruhi nutrisi
hospes. Status nutrisi anak dengan askariasis dapat lebih dipengaruhi oleh
latar belakang sosioekonomik dan nutrisinya daripada oleh pengaruh infeksi
Ascaris.
Adanya cacing dewasa pada usus halus disertai dengan keluhan tidak
jelas seperti nyeri perut, dan kembung. Obstruksi usus, walaupun jarang,
dapat karena massa cacing pada anak yang terinfeksi berat, insiden puncak
teradi pada anak umur 1 6 tahun. Mulainya biasanya mendadak dengan nyeri
perut kolik berat dan muntah, yang dapat berbercak empedu, gejala ini dapat
memburuk dengan cepat dan menyertai perjalanan yang serupa dengan
obstruksi usus akut etiologi lain apapun. Cacing dewasa juga dapat
menimbulkan perforasi ulkus yang ada di usus. Mulainya adalah akut dengan
nyeri kolik perut, nausea, muntah, dan demam. Ikterus jarang ditemukan.
Pada penderita yang mengalami demam tinggi, Ascaris lumbricoides
dewasa dapat melakukan migrasi ke organ-organ di luar usus
(askariasisektopik), misalnya ke lambung, esofagus, mulut, hidung, rima
glottis atau bronkus, sehingga menyumbat pernapasan penderita.Selain itu
dapat juga dapat terjadi sumbatan saluran empedu, apendisitis, abses hati,
dan pankreatitis akut.
Steatorea dan penyerapan vitainin A yang berkurang terjadi pada
beberapa anak yang terinfeksi Ascaris. Jika terjadi infeksi askariasis yang
berat (hiperinfeksi), terutama pada anak- anak dapat terjadi gangguan
pencernaan dan penyerapan protein sehingga penderita akan mengalami
gangguan pertumbuhan dan anemia akibat kurang gizi. Cacing Ascaris juga
dapat mengeluarkan cairan toksik yang dapat menimbulkan gejala klinis
mirip demam tifoid disertai tanda tanda alergi misalnya urtikaria, edema
pada wajah, konjungtivitis dan iritasi pernapasan bagian atas.
Askariasis paru dapat terjadi pasca pemajanan yang berat dan juga
sering pada individu yang hidup di daerah dengan penularan infeksi
musiman (pneumonitis musiman). Tanda-tanda yang paling khas adalah
batuk, sputum berbercak darah, dan eosinofilia. Sindroma seperti Loeffler ini
19
dapat dihubungkan dengan infiltrat paru sementara. Pada anak, diferensiasi
sindroma ini dengan larva migrans viseral mungkin sukar, tetapi gejala atau
,tanda-tanda perut amat jarang pada askariasis paru.
Larva cacing yang berada di paru-paru dapat menimbulkan pneumonia
pada penderita dengan gejala klinis berupa demam, batuk, sesak dan dahak
yang berdarah. Selain itu penderita juga mengalami urtikaria disertai
terjadinya eosinofili sampai 20 persen pada gambaran darah tepi. Terdinya
pneumonia yang disertai dengan gejala alergi ini disebut sebagai Sindrom
Loeffleratau Ascaris pneumonia.
b. Patofisiologi Ascariasis
Infeksi terjadi ketika inang menelan telur yang ditemukan di tanah yang
terkontaminasi tinja. Setelah berada di duodenum, larva dilepaskan dan
masuk ke sirkulasi melalui mukosa enterik. Setelah di kapiler (vena, arteri
atau limfatik), mencapai hati melalui vena portal dan kemudian paru-paru
dalam minggu pertama. Di paru-paru, mereka merusak membran alveolar
dan matang di alveolus. Akhirnya, larva dikeluarkan dan ditelan kembali ke
saluran pencernaan. Setelah berada di dalam lumen usus halus, larva cacing
dewasa menjadi cacing dalam waktu sekitar 20 hari. Ketika cacing betina dan
jantan dewasa ada, mereka bersanggama, dan betina dapat menghasilkan
sekitar 200.000 telur per hari. Mereka kemudian dieliminasi dalam tinja ke
tanah. Dalam kondisi yang sesuai lembab, teduh, dan lingkungan hangat telur
matang menjadi bentuk infektif dalam dua sampai delapan minggu dan tetap
hidup sampai 17 bulan. Mereka dapat tertelan dan memulai kembali siklus
infektif (H. S. de Lima Corvino DF, 2021)
20
2.2.4 Kriteria Diagnosis Ascariasis
Diagnosis askariasis adalah dengan ditemukannya cacing dewasa pada
muntahan penderita, atau ditemukannya telur cacing pada tinja atau cairan
empedu penderita. Cacing pada saluran empedu dapat terlihat bila dilakukan
kolangiografi intravena. Diagnosis juga dapat dilakukan melalui radiografi
dengan mengamati cacing yang memakan barium Tinja yang tidak mengandung
telur Ascaris lumbricoides dapat didapatkan bila :
• Cacing di usus belum menghasilkan telur.
• Hanya ada cacing jantan.
• Penyakit masih dalam waktu inkubasi, yaitu baru terdapat bentuk larva.
21
metode sedimentasi formol ether (ritchie). Pemeriksaan kuantitatif dikenal
dengan dua metode yaitu metode stoll dan metode katokatz. Selain pemeriksaan
mikroskopis feses, terdapat juga pemeriksaan antibodi, deteksi antigen dan
diagnosis molekular dengan menggunakn Polymerase Chain Reaction (PCR).
Serodiagnosis dapat menjadi pemeriksaan pilihan dalam mendiagnosis infeksi
STH. Kekurangan pemeriksaan ini adalah bersifat invasif (seperti dengan
pengambilan spesimen darah), antibodi tetap terdeteksi setelah penatalakasanaan
dan terdapat kemungkinan terjadinya reaksi silang dengan nematoda lainnya.
1. Secara kualitatif
a. Metode apung ( float method )
Menggunakan larutan gar jenuh atau gula jenih sebagai alat untuk
mengapungkan telur. Metode ini digunakan untuk pemeriksaan tinja
yang mengandung sedikit telur.
b. Metode modifikasi merthiolat iodine formaldehyde ( MIF )
Metode ini baik dipakainuntuk mendiagnosis secara laboratories
adanya telur cacing ( nematoda,trematoda, dan cestoda)
c. Metode selotip
Digunakan untuk pemeriksaan telur enterobius vermicularis. Teknik
sediaan pemeriksaan kualitatif
d. Metode slide direct
Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik
untuk infek berat. Digunakan larutan NaCl fisiologis atau eosisn untuk
membedakan cacing denagn kotoran diaekitarnya.
Prosedur:
- Encerkan sedikit feses (sekitar 2 mg) dengan larutan fisiologis.pada
slide dan aduk rata;
- Dengan kaca penutup yang dipegang miring, sentuh tepi tetesan dan
turunkan kaca penutup ke slide, hindari pembentukan gelembung
Komposisi larutan fisiologi: Nacl 8,5 gr dan air suling 100 ml.
e. Metode tebal
Metode yang digunakan untuk menemukan telur cacing dan
menghitung jumlah telur cacing yang terdapat pada feses. Penggati
covergkass untuk penutuo adalah cellahne tape. Teknik inilah lebih
banyak terdapat telur cacing karena menggunakan lebih banya fese.
22
Tekini ini digunakan untuk pemeriksaas masala karena lebih sederhana
dan cepat.
f. Metode sedimentasi firmol ether ( ritchie )
Metode yang baik untuk memeriksa sampel feses yang sudah lama.
Prinsip dari metode ini adalah dengan adanya gaya sentrifuge yang
dapat memisahkan antara suspensi dan supernatannya sehingga telur
cacing dapat terendapkan.
2. Secara kuantitatif
a. Metode stoll
Metode ini menggunakan NaOH 0,1 N sebagai pelarut tinja. Metode
ini baik untuk infeksi berat dan sedang.
b. Metode katokatz
Dipergunakan untuk pemeriksaan kuantitatif maupun kualitatif. Prinsip
dari metode ini sama dengan direct slide dengan penambahan selophan
tape yang sudah direndam dengan malanchit green sebagai latar.
Prinsip dari pemeriksaan ini sama dengan mikroskopik pada
pemeriksaan feses, namun untuk pengambilan sampel diambil dari
potongan dan swab kuku lalu diperiksa dibawah mikroskop.
Pemeriksaan kuku ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode
sedimentasi. Spesimen kotoran kuku suatu tabung dan ditambahkan 30
ml larutan KOH 10% kemudian didiamkan selama 24 jam, lalu
dimasukan ke tabung reaksi. Bahan tersebut kemudian disentrifuse
pada kecepatan 2500 rpm selama 5 prinsip pemeriksaan dimasukan
dalam menit. Sedimen lalu diambil dan diteteskan pada kaca objek dan
diperiksa dibawah mikroskop. Pemeriksaan ini hanya untuk
memastikan keberadaan telur cacing atau larva dan dapat dilakukan
untuk menegakan diagnosis awal atau mencari resiko terkena penyakit
infeksi.
23
2.2.6 Tatalaksana
Askariasis dapat ditatalaksana dengan pirantel pamoat, albendazol,
mebendazol, dan piperazin.
• Dosis tunggal pirantel pamoat 10 mg/kgBB menghasilkan angka
penyembuhan 85-100%. Efek samping dapat berupa mual, muntah, diare,
dan sakit kepala, namun jarang terjadi.
• Albendazol diberikan dalam dosis tunggal (400 mg) dan menghasilkan
angka penyembuhan lebih dari 95%, namun tidak boleh diberikan kepada
ibu hamil. Namun , pada infeksi berat, dosis ini dapat diberikan selama 2-
3 hari.
• Mebendazol diberikan sebanyak 100 mg, 2 kali sehari selama 3 hari. Pada
infeksi ringan, mebendazol dapat diberikan dalam dosis tunggal (200 mg).
• Piperazin merupakan obat antihelmintik yang bersifat fast-acting. Dosis
piperazin adalah 75 mg/kgBB (maksimum 3,5 gram) selama 2 hari,
sebelum atau sesudah makan pagi. Efek samping yang kadang ditemukan
adalah gejala gastrointestinal dan sakit kepala. Gejala sistem saraf pusat
juga bisa ditemukan, tetapi jarang. Piperazin tidak boleh diberikan pada
penderita dengan insufisiensi hati dan ginjal, kejang atau penyakit saraf
menahun.
2.2.7 Pencegahan
Perbaikan sanitasi dan kebersihan pribadi serta lingkungan sangat
mempunyai arti dalam penanggulangan infeksi spesies cacing gelang ini. Suatu
pengalaman oleh E.Kosin pada tahun 1973, yang mana telah dilakukan suatu
penelitian kontrol ascaris di suatu desa di daerah Belawan,Sumatera Utara,yang
mana diketahui prevalensi cacing gelang pada anak adalah 85% namun setelah
pengobatan massal angka infeksi turun secara drastis menjadi 10%.
Akan tetapi tiga bulan kemudian saat anak-anak tersebut diperiksa kembali
diperoleh hasil yang sangat mengejutkan yaitu angka infeksi naik menjadi 100%.
Setelah dilakukan penelitian ternyata cacing yang berhasil dikeluarkan dengan
pengobatan tersebut tersebar di sembarang tempat,yang dalam artian telah terjadi
pencemaran tanah di sekitar desa dengan telur cacing dan ini merupakan sumber
infeksi.(Soedarmo, 2010)
24
Berdasarkan siklus hidup dan sifat telur cacing, maka upaya
pencegahannya dapat dilakukan dengan penggunaan sanitasi yang baik dan
tepat guna, hygiene keluarga dan hygiene pribadi seperti :
a) Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.
b) Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan dicuci
terlebih dahulu dengan menggunkan sabun dan air mengalir.
c) Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan,
hendaklah dicuci bersih dengan air mengalir.
d) Mengadakan terapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik ataupun
daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis.
e) Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.
f) Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus hidup
cacing. Misalnya memakai jamban/WC.
g) Makan makanan yang dimasak saja.
h) Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di daerah yang
menggunakan tinja sebagai pupuk. Karena telur cacing Ascaris
lumbricoides dapat hidup dalam tanah selama bertahun- tahun, pencegahan
dan pemberantasan di daerah endemik adalah sulit.
2.2.8 Komplikasi
Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus sehingga
terjadi obstruksi usus (ileus). Selain itu cacing dewasa dapat masuk ke lumen
usus buntu dan dapat menimbulkan apendisitis (radang usus buntu) akut atau
gangren. Jika cacing dewasa masuk dan menyumbat saluran empedu dapat
terjadi kolik, kolesistitis (radang kantong empedu), kolangitis (radang saluran
empedu), pangkreatitis dan abses hati. Selain bermigrasi ke organ, cacing dewasa
juga dapat bermigrasi keluar melalui anus, mulut atau hidung. Migrasi cacing
dewasa dapat terjadi karena rangsangan seperti demam tinggi atau obat-obatan.
Pada anak infeksi kronis dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan akibat dari
penurunan nafsu makan, terganggunya proses pencernaan dan malabsorbsi.
Selama tidak terjadi obstruksi oleh cacing dewasa yang bermigrasi,
prognosis baik. Tanpa pengobatan infeksi cacing ini dapat sembuh sendiri dalam
waktu 1,5 tahun. (PMK,2017)
25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Kecacingan merupakan salah satu penyakit yang ditularkan melalui tanah dan
disebabkan oleh parasit cacing
2. Mekanisme penularan cacing ini biasanya melalui telur atau larva,baik yang tidak
dibuahi ataupun yang sudah dibuahi
3. Diagnosis banding pada penyakit kecacingan dapat dilakukan dengan identifikasi
masing-masing spesies parasit berdasarkan morfologi,bentuk telur dan cacingnya,
manifestasi klinis serta dapat ditegakkan dengan melakukan diagnosis melalui
penemuan telur pada feses
4. Ascariasis merupakan salah satu penyakit kecacingan yang disebabkan oleh spesies
parasit yaitu Ascaris lumbricoides
5. Secara garis besar,tanda dan gejala ascariasis dapat dikategorikan berdasarkan
migrasi larva dan efek-efek mekanis
6. Cacing dewasa dapat menimbulkan penyakit dengan menyumbat usus atau cabang-
cabang saluran empedu dan dapat mempengaruhi nutrisi hospes.
7. Infeksi dapat terjadi ketika inang menelan telur yang ditemukan di tanah yang
terkontaminasi tinja atau feses.
8. Pemeriksaan penunjang ascariasis dapat dilakukan secara makroskopis dan
mikroskopis
9. Askariasis dapat ditatalaksana dengan pirantel pamoat, albendazol,mebendazol,dan
piperazin.
10. Upaya pencegahan dari ascariasis dapat berupa penggunaan sanitasi yang baik dan
benar serta hygiene pribadi,keluarga,dan lingkungan sekitar
11. Obstruksi usus (ileus),apendisitis akut atau gangren,kolik,abses hati dan peradangan
pada kandung serta saluran empedu dapat terjadi apabila kecacingan ini dibiarkan.
26
DAFTAR PUSTAKA
John DT, Petri WA, Markell EK, Voge M. Markell and Voge’s medical parasitology.
Missouri: Elsevier Health Sciences; 2006. p. 262-7, 270-5, 284-6.
Soedarmo,S.Poorwo Sumarmo etc All.2010.Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis edisi
2.Badan Penerbit IDAI : Jakarta
Sutanto, Inge dkk. (2011). Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Balai
penerbit FKUI