Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

SENGKETA TANAH AYAHAN DESA DI DESA ADAT


PENGLIPURAN

Oleh:

NI LUH PUTU ARIK SUANDARI (202274201020)


YENI KUSMAWATI (202274201085)
I GUSTI AYU AGUNG ADINDA JAYANTHI DINAR (202274201087)
ANAK AGUNG GDE WAHYU SEDANA RUM (202274201090)
MADE ADI WINANTA (202274201115)

Kelas: 3 A2
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NGURAH RAI
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat karunia-Nya lah penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kasus Sengketa Tanah Ayahan Desa di Desa
Adat Penglipuran” tepat waktu.
Makalah “Kasus Sengketa Tanah Ayahan Desa di Desa Adat Penglipuran” disusun
guna memenuhi tugas kulilah. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat
menambah wawasan bagi pembaca terkait contoh kasus yang berkaitan dengan antropolgi
hukum. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak/Ibu selaku dosen
mata kuliah, tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan
terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua
pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun yang akan membantu
menyempurnakan makalah ini.

Denpasar, 12 Oktober 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................................... i


DAFTAR ISI .....................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang Masalah..................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah:.............................................................................................................. 2
1.3. Tujuan : ................................................................................................................................ 2
1.4. Manfaat : .............................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................. 3
2.1. Hak-hak yang Dimiliki oleh Penduduk Desa Adat Penglipuran dalam Kepemilikan
dan Pengelolaan Tanah Ayahan Desa ......................................................................................... 3
2.2. Sengketa Tanah Ayahan Di Desa Adat Penglipuran ...................................................... 5
2.3. Upaya dalam Mengatasi Konflik Tanah Ayahan di Desa Adat Penglipuran .............. 7
BAB III PENUTUP .......................................................................................................................... 9
3.1. Kesimpulan .......................................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 10

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Tanah memiliki peran yang sangat vital dalam kehidupan manusia. Jika dilihat dari
segi ekonomi, nilai tanah cenderung terus meningkat. Hal ini mendorong banyak orang
berlomba-lomba untuk meningkatkan intensitas atas kepemilikan tanah. Fakta ini kemudian
menjadi sumber terjadinya konflik yang berdampak pada kesejahteraan dan ketentraman
dalam bermasyarakat. Konflik ini didorong oleh beberapa faktor seperti kurangnya ketegasan
dalam administrasi kepemilikan tanah, banyaknya tanah yang belum memiliki sertifikat sah,
kurangnya pengetahuan mengenai pentingnya pengesahan kepemilikan tanah, kurangnya
pengetahuan mengenai mekanisme hukum yang berlaku, adanya tanah yang penguasaannya
yang bersifat komunal yang sewaktu-waktu dapat menyebabkan konflik.

Masyarakat Bali merupakan suatu komunitas sosial yang sebagian besar penduduknya
mengandalkan sektor pertanian dan pariwisata yang dalam hal ini pengelolaannya melibatkan
tanah sebagai elemen penting. Masyarakat Bali memiliki ajaran yang kemudian mendorong
pemaknaan tanah sebagai tempat yang harus dijaga. Ajaran ini sering disebut Tri Hita Karana
yang mengamanatkan 3 unsur penting yang harus dijaga yaitu hubungan manusia dengan
Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam
semesta.

Di Bali sendiri, terdapat tanah yang diolah oleh desa adat. Tanah ini disebut dengan
tanah ayahan. Tanah ayahan merupakan tanah yang dikuasai oleh desa yang penggarapannya
diserahkan kepada masing-masing karma desa dengan hak untuk dinikmati dengan kewajiban
untuk memberikan ayahan berupa tenaga atau materi kepada desa adat. Tanah ayahan ini
merupakan salah satu objek pendafataran tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 dan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Badan
Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.

Salah satu desa di Bali yang memiliki jenis tanah ayahan desa adalah desa adat
Penglipuran. Desa Adat Penglipuran merupakan salah satu desa yang masih menjaga warisan
budaya dan sakralisasi yang telah bertahan ribuan tahun. Di desa ini telah banyak terjadi
konflik terkait pertanahan seperti sengketa tanah terkait batas kepemilikan tanah ayahan

1
antara karma yang satu dengan yang lainnya, konflik penggarapan tanah, dan konflik
dilakukannya sertifikasi terhadap tanah ayahan.

Konflik yang terjadi dipicu oleh ketidakpastian yuridis mengenai batas tanah desa.
Disamping itu, sebagain besar warga Desa Adat Penglipuran menentang larangan untuk
mengurus sertifikat tanah desa karena menurut mereka, sertifikasi akan membantu keabsahan
hukum jika terjadi sengketa tanah. Namun hal ini bertentangan dengan perspektif adat,
dimana jika dilakukan sertifikasi maka dianggap sebagai langkah yang dapat mengakibatkan
penjualan tanah desa yang dapat mengancam tradisi dan nilai-nilai adat yang dipegang teguh
oleh desa.

1.2. Rumusan Masalah:


1. Apa saja hak-hak yang dimiliki oleh penduduk Desa Adat Penglipuran dalam
kepemilikan dan pengelolaan tanah ayahan desa?
2. Bagaimana sengketa tanah ayahan di Desa Adat Penglipuran?
3. Bagaimana upaya dalam mengatasi konflik tanah ayahan di Desa Adat Penglipuran?

1.3. Tujuan :
1. Untuk apa saja hak-hak yang dimiliki oleh penduduk Desa Adat Penglipuran dalam
kepemilikan dan pengelolaan tanah ayahan desa Untuk mengetahui strategi penerapan
kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
2. Untuk mengetahui sengketa tanah ayahan di Desa Adat Penglipuran.
3. Untuk mengethui bagaimana upaya dalam mengatasi konflik tanah ayahan di Desa
Adat Penglipuran.

1.4. Manfaat :
1. Memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai salah satu kasus yang
berkaitan dengan antropologi hukum yaitu kasus sengketa tanah yang terjadi di
Desa Adat Penglipuran.
2. Manfaat bagi penulis untuk menambah wawasan mengenai penyelesaian kasus
yang berkaitan dengan sengketa tanah di Desa Adat Penglipuran.
3. Bermanfaat bagi Bapak/Ibu dosen atau guru pengampu untuk memberikan
penilaian terhadap anak didiknya yang merupakan penulis itu sendiri.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Hak-hak yang Dimiliki oleh Penduduk Desa Adat Penglipuran dalam Kepemilikan
dan Pengelolaan Tanah Ayahan Desa

Di Desa Adat Penglipuran, terdapat 5 kategori tanah yaitu tanah milik, tanah druwe,
tanah laba pura, tanah pekarangan desa, dan tanah ayahan.
1. Tanah milik
Tanah milik merupakan tanah dengan kepemilikan individu atau keluarga
tertentu yang dapat disetfikatkan, diwariskan, diwakafkan dan diperjualbelikan
kepada orang lain. Tanah ini diperoleh melalui perambahan hutan, proses jual beli,
atau metode lain yang mematuhi aturan hukum yang berlaku. Tanah ini memiliki
variasi luas antar individu yang satu dengan yang lain. Tanah milik biasanya terletak
disekitar perbatasan antardesa atau dipinggiran tanah ayahan desa. Biasanya tanah ini
memiliki karakteristik dekat dengan jalan, subur, datar.
2. Tanah Druwe
Tanah druwe merupakan tanah yang dianggap sebagai milik roh suci atau
dewa dalam tradisi Bali. Tanah ini dianggap sacral dan diberkahi. Tanah ini biasanya
dipergunakan untuk kegiatan yang berkaitan dengan upacara keagamaan. Terdapat
kewajiban untuk menjaga kesucian tanah ini bagi pemilik. Tanah ini biasanya dikelola
dan dirwat oleh pemimpin keagamaan atau pemuka adat dalam masyarakat. Tanah
druwe merupakan tanah yang tidak memiliki sertifikat. Tanah druwe dapat berupa
tanah kuburan, tanah bukti, dan tanah lapang.
3. Tanah Laba Pura
Tanah laba pura meupakan tanah yang dikelola oleh pura atau kuil dalam
budaya Bali. Tanah ini digunakan dalam aktivitas keagamaan seperti upacaram
persembahan,, dan ritual keagamaan. Tanah pura biasanya terletak di areal pura
bersangkutan dan dikelola oleh pemimpin keagamaan dan komunitas yang terkait
dengan pura tersebut.
4. Tanah Pekarangan Desa
Tanah pekarangan desa merupakan tanah yang digunakan untuk keperluan
komunal yang dimiliki bersama oleh seluruh masyarakat desa yang penggunaannya
diatur oleh struktur adat dan kepemimpinan desa.
3
5. Tanah Ayahan Desa
Tanah ayahan desa merupakan tanah yang dimiliki bersama oleh suatu
keluarga. Dimana terdapat kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai akibat
kepemilikan tanah berupa pembayaran urunan. Tidak boleh dilakukan sertifikasi
terhadap tanah ayahan. Tanah ayahan diberikan kepada individu yang sudah beristri.
Tanah ini akan dikelola dan dimanfaatkan hasilnya untuk kepentingan keluarga dan
kepentingan kegiaitan di desa adat. Karena adanya keterbatasan tanah yang ada di
Desa Adat Penglipran, saat ini tidak ada lagi pembagian tanah ayahan. Jika individu
sudah menikah, tanah ayahan diperoleh dari tanah ayahan orangtuanya bukan lagi
tanah yang diberikan oleh desa.
Terdapat beberapa hak yang diperoleh oleh masyarakat dalam penguasaan terhadap
tanah ayahan desa yang dikelola, antara lain:
1. Hak pengelolaan tanah ayahan untuk kepentingan pertanian, peternakan atau
perkebunan.
2. Hak untuk memperoleh manfaat dari hasil pertanian, peternakan maupun perkebunan
yang dikeola di tanah ayahan.
3. Hak untuk menjadikan tanah ayahan sebagai jaminan pinjaman, namun dengan izin
kepada adat. Tanah yang dapat dijadikan sebagai jaminan adalah setengah dari luas
tanah yang diurus.
4. Hak untuk melakukan penyewaan tanah dengan persetujuan kepala adat dengan luas
setengah dari luas tanah yang diurus.
Disamping hak, masyarakat yang mengelola tanah ayahan juga memiliki kewajiban
yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Kontribusi berupa sumbangan pembangunan pura dan keperluan adat lain.
2. Berpartisipasi dalam gotong royong yang diorganisir untuk kepentingan desa adat,
termasuk tergabung dalam kegiatan pecalang, seke gong, dan upacara tradisional lain
yang diatur oleh desa adat.
3. Membayar pajak yang dikenakan atas lahan yang diolah kepada pemerintah sesuai
dengan luas tanah yang dimiliki.
4. Mematuhi peraturan adat termasuk hukum pertanahan yang ditetapkan oleh
masyarakat mealui proses sangkepan.

4
Jika kewajiban tidak dijalakan oleh masyarakat, maka akan dikenakan sanksi dengan
tingkatan tertentu mulai dari ringan, sedang, hingga berat, sanksi yang diberikan dapat berupa
denda dan paling buruk tidak diberikan tinggal di Desa Adat Penglipuran.

2.2. Sengketa Tanah Ayahan Di Desa Adat Penglipuran

Desa Adat Penglipuran merupakan salah satu desa yang terletak di Kabupaten Bangli.
Desa ini merupakan salah satu desa yang masih menjaga nilai kebudayaan dan adat istiadat.
Desa ini memiliki beberapa perbedaan dengan desa-desa lain yang ada di Bali. Menurut
masyarakat setempat, perbedaan tersebut diantaranya:

1. Tidak diberlakukan sistem status sosial atau sistem kasta, dimana pada umunya
terdapat kasta yang mebedakan status sosial seseorang. Kasta tersebut yaitu
Brahmana, Ksatria, Wesia, dan Sudra.
2. Pada umumnya, praktik agama berdasar pada ajaran weda terutama dalam
pelaksanaan upacara seperti Dewa Yadna, Manusa Yadna, dan Bhuta Yadna. Namun
pada desa ini, mengikuti konsep sima.
3. Upacara keagamaan dan adat diawasi oleh Jero Kubayan.
4. Mayat yang meninggl dikubur, bukan dibakar.

Berdasarkan sejarahnya, masyarakat Desa Adat Penglipuran berasal dari Desa Bayung
Gede. Dengan kata lain, Bayung Gede merupakan nenek moyang Desa Penglipuran.
Masyarakat dahulu melakukan perjalanan untuk mencari areal pertanian yang lebih subur dan
kemudian menemukannya pada daerah yang saat ini disebut dengan Penglipuran. Tanah yang
ada pada daerah terbut kemudian dibagikan kepada masyarakat dalam bentuk tanah ayahan,
sedangkan sisanya dikelola desa. Pemberian tanah ayahan disertai dengan kewajiban yang
harus dijalankan oleh pengelola tanah ayahan, dimana kewajiban ini berkaitan dengan
kepentingan kegiatan adat yang dijalankan di desa. Hal ini menyebabkan tidak
diperbolehkannya dilakukan sertifikasi pada tanah ayahan. Larangan ini kemudian
berdampak pada kurangnya informasi mengenai batas wilayah yang dapat dikelola. Apalagi
mengingat saat ini pembagian tanah ayahan berasal dari tanah ayahan milik orang tua bukan
lagi dari desa karena tanah yang tersedia tidak mencukupi.
Berdasarkan hal tersebut, terdapat beberapa konflik yang terjadi yang berkaitan
dengan tanah ayahan yang ada di Desa Adat Penglipuran, antara lain:
1. Masyarakat Desa Adat penglipuran memiliki keinginan untuk melakukan sertifikasi
tanah ayahan yang sedang dikelola. Keinginan tersebut muncul akibat kekhawatiran
5
masyarakat akan kemungkinan adanya upaya pengambilan tanah oleh pihak-pihak
tertentu yang disinyalir memiliki kepentingan terhadap tanah di desa adat Penglipuran
seperti yang terjadi pada desa-desa lain.
Disamping hal tersebut, terjadi kekhawatiran yang dirasakan oleh pengurus
adat. Dihawatirkan, tanah ayahan mungkin akan diperjual belikan jika dilakukan
sertifiaksi terhadap tanah tersebut. Sertifikat tanah juga memiliki kemungkinan akan
digadaikan, dan jika pembayaran yang seharusnya menjadi kewajiban pengelola tidak
terpenuhi dan akan merugikan masyarakat desa adat Penglipuran.
Kedua hal terbut kemudian menjadi konflik karena adanya perbedaan
pandangan, dimana masyarakat meyakini bahwa dengan adanya sertifikat, mereka
memiliki dasar hukum yang kuat dalam melakukan perjanjian dengan pihak ketiga,
mengingat saat ini tanah penglipuran cukup dilirik oleh investor karena sering
dikunjungi oleh wisatawan, sedangkan hal ini menimbulkan ketakutan tersendiri bagi
pengurus desa adat mengenai dampak terhadap desa.
2. Tidak adanya bukti yang kuat mengenai batas wilayah kelola, menyebabkan adanya
perbedaan tafsiran antar pemilik tanah ayahan yang satu dengan yang lain. Pada
dasarnya adanya pembayaran pajak dapat dijadikan sebaga dasar pengukuran wilayah
tanah ayahan yang dimiliki oleh seseorang, namun ukuran ini sering kali tidak sesuai
dengan keadaan lapangan. Tidak jelasnya batas-batas tanah seringkali mengakibatkan
perselisihan antar tetangga.
Menurut tokoh masyarakat, pada awalnya tanah dibagikan dengan
mempertimbangkan keadaan tanah. Jika tanah yang diberikan cenderung miring,
maka seseorang yang mendapat tanah tersebut akan memiliki tanah yang lebih luas
jika dibandingkan dengan seseorang yang mendapatkan tanah datar. Hal ini juga
berlaku ketika tanah dekat dengan hutan karena dianggap tidak produktif akibat
serangan hewan hutan. Pembagian ini sering tidak dicatat pada pelaporan pajak
sehingga yang tercatat tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Disamping itu, beberapa
masyarakat berfikir bahwa tanah ayahan yang mereka kelola memiliki luas yang sama
dengan tanah yang dikelola oleh masyarakat lain.
3. Terjadi perseisihan yang berkaitan dengan tanah druwen yang kemudian digunakan
sebagai tanah bukti. Tanah bukti merupakan tanah yang diberikan kepada pengurus
desa adat sebagaiimbalan atas tugas yang dilakukan. Konflik yang terjadi muncul
sebagai akibat adanya perbedaan pandangan mengenai pemanfaatan tanah druwen

6
karena sebagian tanah druwen telah menjadi aset desa dan digunakan untuk
kepentingan industri wisata.
Sebagian masyarakat tidak setuju dengan hal ini karena tanah bukti dianggap
suci sehingga harus dikembalikan kepada pengurus desa sebagai bentuk penghargaan
atas jasa yang mereka lakukan. Masyarakat juga mengusulkan pengembalian untuk
menjaga tradisi nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun.
Disamping itu, beberapa masyarakat berpendapat bahwa pengalihfungsian
tanah bukti menjadi tanah druwen akan membantu masyarakat dalam menjalankan
kegiatan adat karena dengan difungsikan untuk keperluan pariwisata, tanah tersebut
akan menghasilkan keuntungaan finansial yang dapat digunakan untuk membangun
pura atau infrastruktur desa adat lainnya.

2.3. Upaya dalam Mengatasi Konflik Tanah Ayahan di Desa Adat Penglipuran

Pada dasarnya, konflik yang terjadi pada Desa Adat Penglipuran merupakan konflik
yang bertujuan untuk meluruskan informasi terkait tanah ayahan yang dimiliki individu serta
menghindari terjadinya permasalahan yang lebih besar. Dalam rangka mengatasi perselisihan
tersebut, dilakuka beberapa upaya sebagai berikut:
1. Dilakukan sangkepan khusus yang secara spesifik membahas masalah pertanahan
sebagai tindakan pencegahan terhadap potensi permasalahan pertanahan yang lebih
kompleks.
2. Adanya kesepakatan bahwa perselisihan yang berkaitan dengan tanah ayahan dan
pekaranngan diselesaikan secara musyawarah dalam lingkungan keluarga terlebih
dahulu, sebelum diajukan kepada desa adat.
3. Diberikan izin untuk melakukan sertifikasi tanah ayahan desa yang dikelola oleh
masyarakat dengan tujuan memberikan dasar hukum yang kuat sesuai dengan
peraturan nasional yang mengharuskan setiap tanah memiliki bukti kepemilikan
berupa sertifikat. Namun perlu ditekanka bahwa tanah tersebut tidak boleh diperjual
belikan.
4. Membuat aturan bahwa jarak minimal untuk menanam pohon kayu atau tanaman yang
berumur panjang harus lima meter dari perbatasan tanah ayahan desa yang dikelola.
Peraturan ini dikelarkan dengan tujuan menghindari masalah kurangnya sinar
matahari yang diterima oleh tanaman tetangga dan untuk mencegah terjadinya
penyerapan kesuburan tanah di wilayah tetangga.

7
5. Dilakukannya pendataan ulang mengenai luas tanah yang dimiliki oleh masing-
masing karama. Namun hal ini masih menjadi pro kontra. Masyarakat yang setuju
dengan pendataan ulang, mengkehendaki bahwa akan adanya informasi yangn jelas
mengenai batas-batas tanah yang dimiliki, namun beberapa masyarakat tidak setuju
mengingat aka nada masyarakat yang akan mendapat bagian tanah ayahan yang lebih
luas dan ada yang mendapat tanah ayahan lebiih sempit namun dengan kewajiban
yang sama, tanpa memperhatikan latar historis pembagian tanah dimasa lalu.

8
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Di Desa Adat Penglipuran, diberikan tanah ayahan kepada karma yang dibarengi dengan
kewajiban membayar urunan, mengikuti gotong royong, dan membayar pajak. Di desa ini,
terjadi konflik yang terjadi akibat keinginan untuk melakukan sertifikasi terhadap tanah
ayahan yang dikelola masyarakat untuk menghindari perselisihan antar tetangga serta
menghindari perselisihan yang lebih besar yang dapat terjadi dikemudian hari. Atas
perselisihan ini,kemudian dilakukan upaya berupa pelaksanaan sangkepan yang memutuskan
bahwa perselihan pertanahan akan diselesaikan dalam lilngkup keluarga terlebih dahulu
sebelum diajukan ke desa adat disamping itu, diberikan izin untuk melakukan sertifikasi
terhadap tanah ayahan yang kemudian akan menjadi dasar hukum kepemilikan tanah. Serta
diberlakukan peraturan penanaman pohon yang berumur panjang untuk meghindari konflik
antar tetangga.

9
DAFTAR PUSTAKA

Jayantari, I Gusti Agung Mas Rwa. (2017). Eksistensi Tanah Adat di Bali dan Problematika
Hukun dalam Pengembangan Investasi.

Puspadewi, Anak Agung Ayu Intan. (2022). Persertipikatan Tanah Adat di Bali Setelah
Desa Adat sebagai Subjek Hak Komunal. Denpasar: Universitas Pendidikan Nasional
Denpasar.

Undang-undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.

10

Anda mungkin juga menyukai