Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

TINDAK PIDANA PEMILU

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah kapita selekta hukum pidana

Disusun Oleh :
Pardomuan Situmorang 21.130
Muhammad Gerhana.S 21. 131
Wiga Bintang P 21.146
Johan Kevin Gultom 21.155

Dosen Pengampu :
Dr. Eka Djoenari, S.H., M.H.
Adwi Mulyana Hadi, S.H., M.H.

PROGRAM STUDI S-1 HUKUM


FAKULTAS HUKUM
SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG
2023
DAFTAR ISI

BAB I...................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...............................................................................................................4
A. Latar Belakang Masalah..............................................................................................4
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................5
BAB II..................................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................................6
A. Tinjauan Umum Tindak Pidana...............................................................................6
B. Permasalahan Tindak Pidana dalam Pemilu................................................................8
BAB III..............................................................................................................................10
PEMBAHASAN................................................................................................................10
A. Pengertian Tindak Pidana Pemilu.............................................................................10
B. Jenis-jenis Tindak Pidana Pemilu..............................................................................11
C. Pengaturan Tindak Pidana Pemilu di Indonesia........................................................14
D. Problem Penegakan Hukum Pidana Pemilu..............................................................14
BAB IV..............................................................................................................................16
ANALIS DAN PEMBAHASAN.......................................................................................16
A. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemilu................................................16
B. Penegakan hukum terhadap tindak pidana pada masa kampanye Pemilihan Umum
2019................................................................................................................................16
C. faktor yang menghambat dan solusinya Badan Pengawas Pemilihan Umum untuk
menegakkan hukum terhadap tindak pidana pada masa kampanye pemilu 2019..........17
BAB V................................................................................................................................19
PENUTUP..........................................................................................................................19
A. Kesimpulan...............................................................................................................19
B. Saran..........................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................21
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan pada
penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayahNya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “TINDAK PIDANA PEMILU” dengan tepat
waktu.
Makalah “TINDAK PIDANA PEMILU” disusun guna memenuhi tugas pada mata
kuliah Kapita Selekta Hukum Pidana di Sekolah Tinggi Hukum Bandung. Selain itu,
penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang
Tindak pidana pemilu dari perspektif Kapita Selekta Hukum Pidana.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapa Dr. Eka Djoenari, S.H.,
M.H. dan Bapak Adwi Mulyana Hadi, S.H., M.H. selaku dosen pada mata kuliah Kapita
Selekta Hukum Pidana. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih
pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini. Penulis
menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 10 Desember 2023

Tim Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Diselenggarakannya pemilihan umum selain bertujuan untuk


mengimplementasikan kedaulatan rakyat juga sebagai upaya memilih wakil rakyat dan
wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat dan didukung
oleh rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan Umum
(Pemilu) merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka keikut
sertaan rakyat dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, bukan hanya bertujuan
untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam Lembaga
permusyawaratan/perwakilan, melainkan juga merupakan suatu sarana untuk
mewujudkan penyusunan tata kehidupan negera yang dijiwai semangat Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945 dalam negara kesatuan Republik Indonesia.Untuk lebih
mewujudkan kedaulatan di tangan rakyat dan dengan telah dilakukannya peraturan
perundang-undangan bidang politik, perlu menata kembali penyelenggaraan pemilu
secara demokratis dan transparan.
Pemilu adalah wujud nyata dari demokrasi, meskipun demokrasi tidak sama
dengan pemilu, namun pemilu merupakan salah satu aspek demokrasi yang sangat
penting dan juga harus diselenggarakan secara demokratis.
Pemilu merupakan salah satu dari sekian banyaknya hak asasi warga negara yang
sangat prinsipil, karena dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi adalah suatu keharusan
bagi pemerintah untuk melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan asas bahwa rakyat
adalah yang berkuasa. Maka suatu pelanggaran terhadap hak-hak asasi apabila
pemerintah tidak mengadakan pemilihan umum atau memperlambat pemilihan tanpa
persetujuan dari wakilwakil rakyat.

B. Rumusan Masalah
1. Mengapa diperlukan Penegakan hukum terhadap tindak pidana Pemilu oleh Badan
Pengawas Pemilihan Umum ?
2. Bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana pada masa kampanye Pemilihan
Umum 2019 ?
3. Apa saja faktor yang menghambat dan solusinya Badan Pengawas Pemilihan Umum
untuk menegakkan hukum terhadap tindak pidana pada masa kampanye pemilu 2019?
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari bahasa Belanda yaitu “strafbaar feit”. Adapun
strafbaar feit sendiri terdiri dari tiga kata yaitu straf, baar dan feit. Dari tujuh istilah yang
digunakan sebagai terjemahan, maka straf bisa diterjemahkan sebagai pidana atau hukum,
dan baar yang bisa diterjemahkan dapat dan boleh, sedangkan feit dapat diterjemahkan
sebagai tindak, peristiwa, pelangggaran, dan perbuatan. 3 Dalam banyak hal, tindak
pidana disinonimkam dengan delik, yang berasal dari bahasa latin yakni kata delictum.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa delik adalah perbuatan yang
dapat dikenakan hukum karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak
pidana.4
Tindak pidana merupakan perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana.
Pelaku juga dapat dikatakan sebagai “subjek” hukum pidana yang berarti seseorang
manusia sebagai oknum. Wujud hukuman terhadap pelaku tindak pidana dapat berupa
hukuman penjara, kurungan, dan denda. Selain itu, pada perkumpulan-perkumpulan dari
orang-orang apabila dilakukan oleh oknum, jelas masuk perumusan pelbagai tindak
pidana. Dan hukuman pidana juga dapat dikenakan kepada perkumpulan badan hukum
yang dalam tindakannya menyimpang dari anggaran dasar yang telah disahkan oleh
Departemen Kehakiman.5
Pengertian tindak pidana pemilu dalam Pasal 260 UndangUndang Nomor 8 Tahun
2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menyebutkan bahwa tindak pidana
pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak
pidana pemilu sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Undang-undang tersebut,
beserta undang-undang yang mengatur tentang pemilu seperti Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil presiden, dan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2011 tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum, disederhanakan
menjadi satu dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang
Pemilihan Umum, sebagai landasan dalam menyelenggarakan pemilihan umum secara
serentak.
Tindak pidana pemilu dalam undang-undang tersebut meliputi: Pertama, Penanganan
Tindak Pidana Pemilu; yang berisi tentang tata cara penanganan tindak pidana pemilu,
majelis khusus tindak pidana pemilu, dan sentra penegakan hukum terpadu. Kedua
menjelaskan tentang Ketentuan Pidana Pemilu. Sedangkan dalam undang-undang
sebelumnya Tindak Pidana Pemilu diatur dalam pasal 260 - 311 Undang Undang Nomor
10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 6
Adapun pelaku perbuatan tindak pidana pemilu menurut Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dapat diklasifikasikan menjadi sepuluh (10) yaitu:
a. Pelaku perbuatan pidana yang ditujukan kepada setiap orang.
b. Pelaku perbuatan pidana yang ditujukan kepada petugas KPU, KPU provinsi,
KPU kabupaten/kota, PPK, PPS dan PPLN.
c. Pelaku perbuatan pidana yang ditujukan kepada aparatur sipil negara, anggota
Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara republik Indonesia, kepala
desa, perangkat desa, dan/atau anggota permusyawaratan desa.
d. Pelaku perbuatan pidana yang ditujukan kepada pelaksana, peserta dan/atau tim
kampanye.
e. Pelaku perbuatan pidana yang ditujukan kepada seorang majikan/atasan.
f. Pelaku perbuatan pidana yang ditujukan kepada Panwaslu dan Bawaslu.
g. Pelaku perbuatan pidana yang ditujukan kepada Ketua/Wakil Ketua/ketua
muda/hakim agung/hakim konstitusi, hakim pada semua badan peradilan,
ketua/wakil ketua dan/atau anggota Badan Pemeriksa keuangan, Gubernur,
Deputi Gubernur Senior, da/atau deputi gubernur bank Indonesia serta direksi,
komisaris, dewan pengawas, dan/atau karyawan badan usaha milik negara/badan
usaha milik daerah.
h. Pelaku perbuatan pidana yang ditujukan kepada Perusahaan pencetak suara.
i. Pelaku perbuatan pidana yang ditujukan kepada pelaksana kegiatan penghitungan
cepat.
j. Pelaku perbuatan pidana yang ditujukan kepada Pimpinan partai politik atau
gabungan pimpinan partai politik.
Pelaku pelanggaran terhadap pemilu tersebut di atas, juga di dalamnya memuat
sanksi pidana baik itu pidana penjara maupun denda. Pidana yang dijatuhkan berkisar
antara 1 (satu) tahun sampai 6 (enam) tahun, dan denda berkisar antara Rp.
6.000.000,- (enam juta rupiah) sampai Rp. 1000.000.000.000,- (seratus miliar rupiah)
tergantung pada pelanggaran pidana yang dilakukannya.
Adapun institusi atau lembaga yang terlibat melakukan penanganan masalah
hukum pada pemilu adalah sebagai berikut:
a. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP);
b. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu);
c. Komisi Pemilihan Umum (KPU);
d. Kepolisian Negara;
e. Kejaksaan;
f. Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara;
g. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi;
h. Mahkamah Agung;
i. Mahkamah Konstitusi;
Kompleknya masalah yang terdapat dalam pemilu, mengakibatkan banyaknya unsur
maupun stakeholder yang terlibat dalam penanganan masalah pemilu. Masalah pemilu
yang didalamnya terdapat tindak pidana pemilu telah di atur dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Meskipun demikian, dibutuhkan energi
yang luar biasa dalam melaksanakan, belum itu dalam memahaminya peraturan tersebut.
Komplekstisitas tersebut juga akan berakibat pada pertanggungjawaban hukum, dan
formula pertanggungjawaban terhadap tindak pidana merupakan tantangan bagi ahli
hukum dan praktisi dalam membuat maupun merumuskan formula yang terbaik dalam
penanganan tindak pidana pemilu.

B. Permasalahan Tindak Pidana dalam Pemilu

Tindak pidana dalam pemilu merupakan ancaman yang dapat membahayakan proses
demokrasi untuk kedaulatan rakyat. Terdapat berbagai macam alasan yang membuat
orang untuk melakukan pelanggaran pemilu, salah satunya bisa terjadi akibat adanya
ambisi yang berlebihan kepada kekuasaan yang ingin dimiliki. Pada dasarnya kekuasaan
yang tempuh dengan cara yang tidak benar, akan berakibat amanah rakyat yang tidak
berjalan sesuai dengan harapan, dalam hal ini masyarakat, negara dan bangsa akan sangat
dirugikan.
Adapun bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi bervariasi seperti merintangi orang
yang menjalankan haknya dalam memilih, melakukan penyuapan atau money politics,
melakukan tipu muslihat, mengaku sebagai orang lain dalam ikut pemilihan,
menggagalkan pemungutan suara yang telah dilakukan, merusak atau melakukan
tindakan kekerasan dan ancaman, serta perbuatan pelanggaran lain yang bertentangan
dengan hukum pidana.
Proses terjadinya pelanggaran tindak pidana yang terjadi pada pemilu dapat dibagi
menjadi tiga tahapan, yaitu:
1) Tindak pidana sebelum pemungutan suara. Tindak pidana yang bisa terjadi dalam
proses sebelum pemungutan suara adalah pada saat pemutakhiran data pemilih dan
penyusunan daftar pemilih, pendaftaran peserta pemilu, penetapan peserta pemilu,
penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan.
2) Tindak pidana saat pemungutan suara. Pada proses ini tindak pidana yang bisa terjadi
adalah pada saat tahapan pemungutan suara, dan penghitungan suara.
3) Tindak pidana setelah pemungutan suara. Tindak pidana pada proses setelah
pemungutan suara adalah yang berkaitan dengan penetapan hasil pemilu dan pengucapan
sumpah/janji wakil rakyat yang terpilih. Tahapan tersebut dapat digunakan untuk
mengidentifikasi tindak pidana yang terjadi pada pemilu dengan cara mengetahui dan
memahami tahapan-tahapan pemilu. Tahapan pemilu ini dibuat oleh penyelenggara
pemilu, yakni KPU dengan menyusun peraturan KPU untuk setiap tahapan pemilu. KPU
juga bertugas mengoordinasikan, menyelenggarakan, mengendalikan, dan memantau
semua tahapan pemilu. Kemudian KPU melapor kepada DPR dan Presiden mengenai
pelaksanaan tugas penyelenggaraan seluruh tahapan pemilu dan tugas lainnya.7
Adapun jenis-jenis tindak pidana berdasarkan tahapan pelaksanaan Pemilu antara lain:8

a. Tahapan pemutahiran data dan penyusunan daftar pemilih


1) Sengaja menyebabkan orang kehilangan hak pilih;
2) Pemalsuan identitas diri sendiri/orang lain dalam daftar pemilih;
3) Menghalangi orang mendaftar sebagai pemilih;
4) Panitia Pemilihan Suara /PPLN tidak memperbaiki daftar pemilih;
5) Merugikan WNI dalam proses rekapitulasi daftar pemilih tetap;
BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tindak Pidana Pemilu

1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana


Menurut Vos adalah suatu perbuatan yang mendapatkan ancaman dari peraturan
perundang-undangan, dalam artian tindak pidana adalah salah satu sikap ataupun
perbuatan yang melanggar aturan perundang-undangan.1
Menurut Pompe dalam sebuah teori, tindak pidana adalah perbuatan yang
dilakukan oleh si pelanggar terhadap norma yang berlaku. Perbuatan tersebut dapat
diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menjaga kesejahteraan
umum. Menurut hukum positif, tindak pidana adalah sutu peristiwa yang dikategorikan
oleh peraturan perundang-undangan sebagai perbuatan yang melanggar hukum.2
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, tindak pidana adalah suatu perbuatan
yang memiliki unsur kesalahan ataupun kejahatan yang akan diberikan sanksi atau
hukuman oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini tentu untuk
mempertahankan ketertiban hukum dan menjaga kepentingan umum.

2. Pengertian Tindak Pidana Pemilu


Definisi tindak pidana pemilu baru muncul pertama kali setelah dibuatkannya
UU. No. 8 Tahun 2012. Hal ini dikarenakan sebelumnya dalam UU. No. 10 tahun 2008
tidak menggunakan istilah tindak pidana pemilu melainkan pelanggaran pidana pemilu.
Dalam hal ini Djoko Prakoso mendefinisikan tindak pidana pemilu sebagai perbuatan
yang dilakukan oleh setiap individu, instansi/badan hukum, atau organisasi yang
bertujuan untuk mengacaukan, mengganggu, ataupun menghambat proses pemilihan
umum yang sudah sesuai prosedur undang-undang. 3
Sedangkan menurut Topo Santoso, ada tiga kemungkinan pengertian dan cakupan
dari tindak pidana pemilu, yaitu :
a) Semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur
dalam undang-undang pemilu.
b) Semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur
baik di dalam maupun di luar undang-undang pemilu (misalnya dalam UU Partai
Politik ataupun di dalam KUHP)

1
Tri Andrisman. Hukum Pidana. Universitas Lampung. 2007. Bandar Lampung. Hlm 81
2
Ibid, hlm. 81
3
Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 3
c) Semua tindak pidana yang terjadi pada saat pemilu (termasuk pelanggaran lalu
lintas, penganiayaan (kekerasan), perusakan, dan sebagainya).
Pengertian tindak pidana pemilu tersebut dikemukakan oleh Topo Santoso dengan
membandingkan pengaturan tindak pidana pemilu di Indonesia dengan pengaturan tindak
pidana pemilu di negara lain yang juga mengatur tentang tindak pidana pemilu.

B. Jenis-jenis Tindak Pidana Pemilu

Tindak pidana pemilu yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2012 terbagi menjadi
dua yaitu pelanggaran dan kejahatan. Dalam Memorie van Toelichting (MvT)
diterangkan, bahwa pembedaan dan pengelompokan tindak pidana menjadi kejahatan dan
pelanggaran, didasarkan pada pemikiran bahwa:
1. Pada kenyataannya dalam masyarakat ada sejumlah perbuatan-perbuatan yang
pada dasarnya sudah mengandung sifat terlarang (melawan hukum) yang
karenanya pembuatnya patut dijatuhi pidana walaupun kadang-kadang perbuatan
seperti itu tidak dinyatakan dalam undang-undang;
2. Adanya perbuatan-perbuatan yang baru mempunyai sifat terlarang dan kepada
pembuatnya diancam dengan pidana setelah perbuatan dinyatakan dalam
undangundang.4
R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara juridis dan pengertian kejahatan
secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan
tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang. Ditinjau dari segi sosiologis,
maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain
merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya
keseimbangan, ketentraman dan ketertiban. Lebih lanjut, pengertian kejahatan dapat
diuraikan menurut penggunaannya sebagai berikut:

1. pengertian kejahatan secara praktis adalah perbuatan yang dapat melanggar norma
yang dapat menyebabkan timbulnya suatu reaksi, baik berupa hukuman, cemoohan
atau pengucilan;
2. pengertian secara religius menguraikan bahwa kejahatan merupakan suatu dosa yang
diancam dengan hukman api neraka terhadap jiwa yang berdosa;
3. pengertian dalam arti juridis, kejahatan merupakan suatu tindakan atau perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang yang berakibat pada timbulnya suatu kerugian atau
berakibat pada menderitanya seseorang, yang mana perbuatan tersebut dapat
diancam dengan hukuman baik kurungan atau penjara sebagaimana pasal 10 KUHP.
Sementara itu, pelanggaran merupakan perilaku seseorang yang menyimpang untuk
melakukan tindakan menurut kehendak sendiri tanpa memperhatikan peraturan yang
telah dibuat dan disepakati bersama. Ketidakpahaman akan seseorang terhadap sebuah
aturan menjadikannya berbuat dari apa yang telah dilarang oleh aturan tersebut. Secara

4
Basrofi dan Sudikun, Teori-Teori Perlawanan dan Kekerasan Kolektif, Insan Cendekia,
Surabaya, 2003, hlm, 34-36.
sosiologis, pelanggaran merupakan perbuatan atau perilaku yang dilakukan oleh
seseorang yang bertentangan dengan nilai-nilai yang berada dalam masyarakat ataupun
negara yang telah dituangkan dalam sebuah aturan hukum yang baku. Penyebab dari
pelanggaran bisa terjadi karena keterbatasan informasi ataupun akses akan aturan sebuah
tersebut ataupun kurangnya penjelasan akan aturan hukum tersebut.5
Tindak pidana pemilu tergolong ke dalam ranah hukum pidana khusus atau sering
juga disebut dengan istilah tindak pidana khusus. Menurut Teguh Prasetyo, secara
prinsipil istilah hukum pidana khusus dengan tindak pidana khusus tidak ada perbedaan
diantara keduanya. Hal ini dikarenakan kedua istilah itu adalah UU pidana yang berada
diluar hukum pidana umum yang mempunyai penyimpangan dari hukum pidana umum
baik dari segi hukum pidana materiil maupun dari segi hukum pidana formal. Kalau tidak
ada penyimpangan maka tidaklah disebut hukum pidana khusus atau hukum tindak
pidana khusus. 6
Sebagai suatu tindak pidana khusus maka tindak pidana pemilu mempunyai
karakteristik tersendiri dibandingkan dengan tindak pidana pada umumnya. Karakteristik
khusus dalam tindak pidana pemilu diartikan sebagai ciri atau bawaan yang umum dan
sering terjadi ketika persiapan pemilihan umum, proses pemilihan umum dan setelah
pemilihan umum berlangsung. Tindak Pidana pemilu biasanya dilakukan oleh para
politisi sebelum mendapatkan kekuasaan. Politisi melakukan praktek-praktek haram pada
saat Pemilu untuk mempengaruhi pemilih. Manifestasi yang paling umum dan mencolok
dari pidana pemilu adalah menyuap pemilih secara langsung.7
Karakteristik pidana pemilu, akan memberikan gambaran bagaimana para pihak yang
ada dalam lingkup pemilu membuat strategi agar tidak terjerat dengan tindak pidana
pemilu saat pelaksanaan pemilu berlangsun. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Wiwik Afifah selaku dosen fakultas hukum di Untag Surabaya, ada beberapa
karakteristik khusus yang melekat pada tindak pidana pemilu yaitu: 8
1. Politik transaksional atau lebih dikenal dengan jual beli suara, dimana partai politik
atau kandidat membeli suara pemilih dengan menggunakan uang, barang, jasa, jabatan
ataupun keuntungan finansial lainnya dan pemilih ataupun sekumpulan pemilih menjual
suaranya ke kandidat.
Praktek politik uang adalah upaya mobilisasi pemilih pada saat proses pemilu.
Praktek politik uang berupaya menyiasati persaingan “track record” antar kandidat
dengan memanfaatkan kondisi yang tidak terpantau dengan intensif serta memanfaatkan
kesulitan ekonomi yang dihadapi masyarakat. Modus politik uang pada pemilu biasanya
dilakukan dengan beragam cara, antara lain 9: pembagian uang secara langsung pada
5
Djoko Prakoso, Tindak Pidana Pemilu, Sinar Harapan, Jakarta, 1987
6
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm. 229
7
Silke Pfeiffer, Vote Buying and Its Implication for Democracy: evidence from Latin America, (TI
Global Report 2004), hlm 76
8
Wiwik Afifah, “Tindak Pidana Pemilu Legislatif Di Indonesia”, Mimbar Keadilan, Jurnal Ilmu
Hukum, Edisi:
Januari-Juni 2014, hlm. 18-23.
9
Ratnia Solihah dan Siti Witianti, “Permasalahan Dan Upaya Mewujudkan Pemilu Demokratis Di
Indonesia
Pasca Reformasi”, Jurnal Bawaslu Vol. 3 No. 1 Tahun 2017, Hal. 18.
individu yang hadir dalam rapat akbar atau kampanye terbuka, pembagian uang melalui
kordinator atau tokoh pimpinan kelompok sebagai biaya transportasi dan konsumsi,
pembagian barang ataupun pemberian jasa kepada kelompok (contohnya membelikan
seragam pada guru taman kanak-kanak, mengajak wisata religi, dan sebagainya),
memberikan bantuan atau sumbangan pembangunan rumah ibadah dan fasilitas umum,
pemberian beasiswa hingga kartu asuransi yang dapat di klaim setelah pemungutan
suara. Aktivitas ini dilaksanakan saat masa kampanye berlangsung dengan tujuan agar
masyarakat bersimpati pada calon yang sedang berlaga di politik.
Selain pemberian uang, barang dan jasa secara langsung, yang marak adalah
pembagian barang-barang mewah lewat undian/ doorprize. Pemberian hadiah ini adalah
bentuk lain dari pemberian barang yang sifatnya agar pemilih mau memilih setelah
mendapatkan barangnya. Modus lain yang dipergunakan adalah memberikan sumbangan
pembangunan rumah ibadah dan fasilitas umum berupa pemberian semen, pasir dan
sebagainya. Pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh para kandidat memang tidak
langsung menjangkau pemilih, namun hal ini erat kaitannya dengan fasilitas yang
dipergunakan oleh pemilih, sehingga secara tidak langsung sebagi upaya menarik simpati.
2. Membeli kursi, dimana orang ataupun kelompok kepentingan mencoba untuk membeli
nominasi agar dicalonkan dalam pemilu.
Modus membeli nominasi dimana politisi berupaya untuk dinominasikan menjadi
calon legislatif dengan cara memberi uang, membayar dengan sejumlah barang atau
memberi janji pada elit partai. Pembelian ‟kursi‟ masih menjamur akibat dari proses
seleksi dan penetapan calon oleh partai-partai politik masih jauh untuk disebut
demokratis dan partisipatif. Faktor-faktor yang menentukan dalam pencalonan diatur
dalam aturan internal partai politik, meski demikian, hal tersebut dipengaruhi oleh
hubungan kedekatan, prestasi, loyalitas kandidat, dan kemampuan finansial kandidat.
Beberapa faktor tersebut ada yang bersifat buruk dalam menentukan kandidiat, yaitu pada
hubungan kedekatan, loyalitas pada orang tertentu di internal partai politik, kemampuan
finansial. Faktor ini lebih dekat ke arah nepotisme dan suap. Kandidat dengan kompetensi
dan komitmen seringkali terpinggirkan apabila tidak memiliki kemampuan finansial dan
kedekatan dengan elit partai politik. Akibat yang muncul adalah salah satunya seperti
kejahatan pemalsuan dokumen agar seseorang dapat menjadi calon peserta pemilu (DPR,
DPD, maupun DPRD).
3. Manipulasi dalam tahapan dan proses pemilu
Kandidat melakukan manipulasi administratif baik pada saat pra, proses
pemungutan, perhitungan, proses rekapitulasi dengan cara merubah, menghambat atau
memanipulasi tahapan dan kelengkapan administratif untuk kepentingan pemenangan.
Penggunaan modus ini biasanya disertai dengan insentif tertentu seperti sejumlah uang,
promosi jabatan, dan pekerjaan. Tahapan pemilu yang rawan manipulasi sebelum
pemungutan suara yaitu pada tahap pendaftaran pemilih. Bentuk kecurangan pada tahap
ini dapat berupa seseorang atau pihakpihak tertentu menghalangi seseorang terdaftar
sebagai pemilih yang bertujuan seseorang dapat kehilangan hak pilihnya.
4. Dana kampanye yang “mengikat” menjadikan sumbangan kepada partai ataupun
kandidat sebagai investasi politik.
Modus keempat adalah pendanaan kampanye yang mengikat, yaitu para donatur
menjadikan sumbangan kepada partai ataupun kandidat sebagai investasi politik. Investor
atau rentenir politik ini dikemudian hari akan berusaha menggunakan partai yang
didukungnya untuk mempengaruhi kebijakan publik untuk kepentingan bisnis atau
politiknya. Sebenarnya jika dilihat secara luas, kasus politik uang tidak hanya
menyangkut masalah menyuap atau pemberian uang atau suatu barang kepada seseorang
agar memilih salah satu kandidat. Tetapi politik uang dapat juga dihubungkan dengan
segala macam pelanggaran menyangkut dana di dalam konteks politik (termasuk masalah
kepartaian dan pemilihan umum). Memang yang paling menonjol adalah kecurangan
dengan penyuapan. Tapi ada pula bentuk-bentuk lainnya yang juga dapat melanggar
norma hukum yang perlu diwaspadai, khususnya menyangkut dana dari sumber terlarang
serta tidak melaporkan keberadaan dana illegal tersebut. Belajar dari beberapa Pemilu,
manipulasi yang sering dilakukan adalah dengan tidak mencatatkan jumlah sumbangan
dan data penyumbang sehingga mempersulit audit dana kampanye karena sumbangan
tidak bisa terlacak. Modus yang lain adalah dengan sumbangan kepada rekening partai
politik baru kemudian ditarnsfer ke rekening khusus dana kampaye. Dengan demikian,
sumbagan dalam jumlah besar dianggap seolah-olah merupakan kontribusi dari partai.
Hal yang paling mengkhawatirkan dari manipulasi pendanaan politik adalah penggunaan
dana-dana publik, baik dari departemen, BUMN ataupun institusi publik lainya.

C. Pengaturan Tindak Pidana Pemilu di Indonesia

Pemilihan umum di Indonesia diatur dalam Undang-undang No.7 Tahun 2017


Tentang Pemilihan Umum yang didalamnya terdapat 573 Pasal. Dalam undang-undang
ini, terdapat aturan yang mengatur secara khusus mengenai tindak pidana pemilu
sebanyak 78 Pasal yakni Pasal 476 sampai Pasal 554.
Ketentuan tindak pidana pemilu secara hukum materil tidak hanya diatur dalam
Undang-undang No. 7 Tahun 2017, tetapi juga diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yang didalamnya mengatur tentang tindak pidana pemilu baik
norma maupun sanksinya. Aturan mengenai tindak pidana pemilu dalam KUHP terdapat
pada Pasal 148, Pasal 149 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 150, Pasal 151 dan Pasal 152 Kitab
UndangUndang Hukum Pidana (KUHP).

D. Problem Penegakan Hukum Pidana Pemilu

Problem penegakan hukum pidana pemilu setidaknya dapat disigi dengan melihat
masing-masing komponen dalam sistem hukum yang secara langsung berpengaruh
terhadap penegakan hukum. Lawrence M. Friedman menilai, berhasil atau tidaknya
hukum ditegakkan tergantung pada tiga komponen sistem hukum. Pertama, substansi
hukum (legal substance). Substansi hukum adalah aturan, norma, dan pola prilaku nyata
manusia yang berada dalam sistem itu. 10 Kedua, struktur hukum (legal structure) atau
struktur sistem hukum. Friedman menyebutnya sebagai kerangka atau rangka atau bagian
yang tetap bertahan atau bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap
keseluruhan.11 Keberadaan struktur hukum sangat penting, karena betapapun bagusnya
norma hukum, namun jika tidak ditopang aparat penegak hukum yang baik, penegakan
hukum dan keadilan hanya sia-sia. Ketiga, budaya hukum (legal culture). Kultur hukum
adalah opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan), kebiasaan-
kebisaaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari
warga masyarakat tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.
12

Berangkat dari tiga indikator tersebut, belum efektifnya penegakan hukum pidana
pemilu juga tidak dapat dilepaskan dari masalah yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan pemilu, khususnya terkait tindak pidana pemilu; masalah
profesionalisme aparat penegakan hukum yang terdiri dari pengawas pemilu, kepolisian,
kejaksanaan dan hakim pada pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi; dan budaya
hukum penyelenggaraan pemilu yang jauh dari kondisi sehat.
Pada taraf norma, peraturan perundang-undangan sebagaimana diulas pada
bagian sebelumnya belum cukup jelas dan lengkap mengatur hukum materil maupun
hukum formil. Bahkan hukum formil yang ada tidak cukup memadai untuk menegakkan
hukum pidana pemilu secara efektif. Sementara pada level struktur, penegak hukum
dihadapkan pada persoalan masih belum memadainya pemahaman aparatur terhadap jenis
tindak pidana pemilu; belum profesional dan masih terjadinya “tolak-menolak” yang
berujung pada kebuntuan dalam menangani perkara pidana pemilu. Sedangkan pada
ranah budaya hukum, pihakpihak berkepentingan, terutama peserta pemilu masih
berkecenderungan untuk “mengakali” aturan yang ada sehingga dapat berkelit dari
tuntutan hukum. Masyarakat politik bukannya membangun kesadaran akan perlunya
mengikuti pemilu sesuai aturan-aturan yang ada, melainkan justru membangun sikap
culas atas aturan yang ada.
Tiga persoalan penegakan hukum pidana pemilu tersebut berkelindan sedemikian
rupa sehingga penegakan hukum pemilu benar-benar lumpuh (sekedar tidak mengatakan
mati suri). Akibatnya, perkara-perkara dugaan tindak pidana pemilu pun tidak tertangani
dengan baik.

10
Lawrence M. Friedman, American Law: An Introduction, Second Edition, Penerjemah : Wishnu
Basuki, Jakarta : PT. Tatanusa, 2001, h.. 7
11
Ibid., h. 12
12
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence)
Termasuk Interprestasi Undang-Undang (Legisprudence) Volume 1, Jakarta : Kencana, 2012, h..
204
BAB IV

ANALIS DAN PEMBAHASAN

A. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemilu

Penegakan hukum terhadap tindak pidana dalam Pemilu penting karena memastikan
proses demokratis yang adil dan transparan. Badan Pengawas Pemilihan Umum
(Bawaslu) bertanggung jawab memastikan integritas Pemilu, termasuk mencegah dan
menindak tindak pidana yang dapat mengganggu proses tersebut. Berikut beberapa alasan
mengapa penegakan hukum terhadap tindak pidana Pemilu penting:
1. Melestarikan Demokrasi: Tindak pidana seperti kecurangan, penipuan, atau
intervensi yang merugikan proses Pemilu dapat mengancam integritas demokrasi.
Penegakan hukum membantu menjaga kepercayaan publik terhadap proses
demokrasi.
2. Mencegah Kekacauan: Tindakan ilegal dalam Pemilu bisa menciptakan
kekacauan dan konflik. Penegakan hukum membantu mencegah hal ini dengan
menegakkan aturan yang mengatur proses Pemilu.
3. Memberikan Deterrent: Tindakan penegakan hukum dapat menjadi pelajaran
bagi mereka yang ingin melakukan pelanggaran serupa di masa depan. Hukuman
yang tegas dapat menjadi penghalang bagi individu atau kelompok untuk
melakukan tindakan ilegal dalam Pemilu.
4. Menjamin Keadilan: Penegakan hukum memastikan bahwa setiap pemilih
memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam Pemilu dan setiap suara
dihitung dengan benar tanpa adanya manipulasi atau kecurangan.
5. Menjaga Otoritas Institusi: Bawaslu dan lembaga terkait lainnya perlu
menegakkan hukum untuk mempertahankan otoritas dan integritas mereka
sebagai penjaga Pemilu yang adil dan transparan.

B. Penegakan hukum terhadap tindak pidana pada masa kampanye Pemilihan


Umum 2019

Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, penegakan hukum terhadap tindak pidana
selama masa kampanye merupakan bagian penting dalam memastikan proses pemilu
berlangsung secara adil dan transparan. Di Indonesia, ada beberapa aturan yang mengatur
hal ini, termasuk UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pada masa kampanye, ada beberapa tindakan yang dapat dianggap sebagai
pelanggaran hukum, seperti money politics, kampanye hitam, penggunaan fasilitas negara
untuk kepentingan kampanye, dan lain sebagainya. Penegakan hukum terhadap
pelanggaran ini biasanya dilakukan oleh berbagai lembaga, termasuk Komisi Pemilihan
Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan aparat penegak hukum
seperti kepolisian.
Sanksi bagi pelanggaran tindak pidana selama masa kampanye dapat bervariasi,
mulai dari peringatan, denda, hingga diskualifikasi bagi calon yang terlibat. Selain itu,
ada juga upaya-upaya pencegahan melalui pengawasan ketat, edukasi kepada masyarakat,
serta pengawasan secara ketat dari berbagai lembaga terkait.
Namun, proses penegakan hukum selama masa kampanye bisa menjadi kompleks dan
kadang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan kasus-kasus yang
muncul. Upaya-upaya ini sangat penting untuk memastikan integritas dan keadilan dalam
penyelenggaraan pemilu serta untuk mempertahankan proses demokratis yang sehat.

C. faktor yang menghambat dan solusinya Badan Pengawas Pemilihan Umum


untuk menegakkan hukum terhadap tindak pidana pada masa kampanye pemilu
2019

Ada beberapa faktor yang mungkin menghambat Badan Pengawas Pemilihan


Umum (Bawaslu) dalam menegakkan hukum terhadap tindak pidana selama masa
kampanye pemilu 2019 di Indonesia. Beberapa di antaranya termasuk:
Faktor Penghambat:
1. Keterbatasan Sumber Daya: Kurangnya sumber daya manusia, anggaran, dan
teknologi dapat menjadi hambatan bagi Bawaslu dalam melakukan pengawasan
yang efektif.
2. Tekanan Politik: Adanya tekanan dari pihak-pihak politik tertentu bisa
mempersulit proses penegakan hukum. Hal ini bisa meliputi campur tangan dari
pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik tertentu.
3. Ketidakpatuhan Pihak Terkait: Tidak semua pihak yang terlibat dalam
pelanggaran hukum selalu patuh terhadap aturan dan perintah yang diberikan
oleh Bawaslu.
Solusi yang Dapat Dilakukan:
1. Peningkatan Sumber Daya: Meningkatkan anggaran dan sumber daya manusia
yang diperlukan oleh Bawaslu untuk memperkuat kemampuan pengawasan dan
penegakan hukum selama masa kampanye.
2. Penguatan Kerja Sama: Membangun kerja sama yang lebih kuat antara Bawaslu,
lembaga penegak hukum lainnya, dan masyarakat sipil untuk meningkatkan
efektivitas pengawasan dan penegakan hukum.
3. Peningkatan Kesadaran Hukum: Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya
pemilu yang bersih dan adil serta konsekuensi dari tindak pidana pemilu,
sehingga masyarakat dapat menjadi bagian dari pengawasan bersama.
4. Transparansi dan Akuntabilitas: Menegakkan prinsip transparansi dalam proses
penegakan hukum, sehingga proses tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara
publik.
5. Perbaikan Regulasi: Memperkuat regulasi dan mekanisme pengawasan untuk
mengatasi celah hukum yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan pelanggaran
selama masa kampanye.
Menghadapi hambatan-hambatan ini membutuhkan upaya yang terus-menerus dan
kolaboratif dari berbagai pihak untuk memastikan integritas dan keadilan dalam proses
pemilu di masa mendatang.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tindak pidana pemilu merujuk pada pelanggaran hukum yang terkait dengan
proses pemilihan umum. Beberapa contoh tindak pidana pemilu meliputi penggunaan
uang ilegal, manipulasi suara, intimidasi pemilih, dan pelanggaran aturan kampanye.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa tindak pidana pemilu merusak integritas
demokrasi, mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilihan, serta
berpotensi merusak legitimasi pemerintahan yang terpilih. Penting untuk menerapkan
hukuman yang tegas dan mencegah tindakan yang merusak proses demokratis tersebut
untuk menjaga kepercayaan publik dan keadilan dalam sistem pemilihan umum.

B. Saran

Tindak pidana yang terkait dengan pemilu sangat serius karena mengganggu proses
demokrasi yang seharusnya adil dan transparan. Beberapa saran untuk mencegah tindak
pidana pemilu termasuk:
1. Pendidikan Pemilih: Edukasi yang memadai kepada pemilih tentang pentingnya
proses pemilihan dan dampak dari tindak pidana pemilu dapat membantu
mencegah manipulasi atau tekanan pada pemilihan.
2. Pengawasan yang Ketat: Mempersiapkan sistem pengawasan yang kuat dengan
melibatkan berbagai pihak seperti lembaga independen, LSM, dan masyarakat
sipil agar dapat memantau proses pemilu secara cermat dan mengidentifikasi
potensi tindak pidana.
3. Hukuman yang Tegas: Menerapkan hukuman yang tegas bagi pelaku tindak
pidana pemilu dapat menjadi detterent yang kuat untuk mencegah perilaku
tersebut.
4. Transparansi dan Akuntabilitas: Memastikan transparansi dalam proses pemilihan
dan memungkinkan akses publik terhadap informasi yang relevan dapat
membantu mengurangi ruang untuk tindak pidana pemilu.
5. Pelatihan dan Kesadaran: Melakukan pelatihan kepada penyelenggara pemilu dan
petugas terkait untuk mengenali potensi tindak pidana serta meningkatkan
kesadaran akan pentingnya integritas dan kejujuran dalam proses pemilihan.
6. Partisipasi Masyarakat: Mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam
pengawasan pemilihan untuk memastikan bahwa setiap kecurangan atau
pelanggaran dapat segera terdeteksi.
Memerangi tindak pidana pemilu memerlukan upaya bersama dari berbagai pihak, baik
pemerintah, lembaga terkait, masyarakat sipil, maupun pemilih itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/29703/BAB%20II.pdf?
sequence=6&isAllowed=y
file:///C:/Users/owner/Downloads/melisafd,+4-Khairul+Fahmi.pdf
Tri Andrisman. Hukum Pidana. Universitas Lampung. 2007. Bandar Lampung. Hlm 81
Ibid, hlm. 81
Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 3
Silke Pfeiffer, Vote Buying and Its Implication for Democracy: evidence from Latin
America, (TI Global Report 2004), hlm 76
Wiwik Afifah, “Tindak Pidana Pemilu Legislatif Di Indonesia”, Mimbar Keadilan, Jurnal
Ilmu Hukum, Edisi: Januari-Juni 2014, hlm. 18-23.
Ratnia Solihah dan Siti Witianti, “Permasalahan Dan Upaya Mewujudkan Pemilu
Demokratis Di Indonesia Pasca Reformasi”, Jurnal Bawaslu Vol. 3 No. 1 Tahun
2017, Hal. 18.
Lawrence M. Friedman, American Law: An Introduction, Second Edition, Penerjemah :
Wishnu Basuki, Jakarta : PT. Tatanusa, 2001, h.. 7 Ibid., h. 12
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interprestasi Undang-Undang (Legisprudence)
Volume 1, Jakarta : Kencana, 2012, h.. 204

Anda mungkin juga menyukai