Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM METODE PEMISAHAN

RIMPANG KUNYIT
Kelas: A1 S1 2015
Kelompok: 3
1. ARYANTI / 1513015047
2. BARKAH RAHIM / 1513015039
3. MEGAWATI / 1513015013
4. NUR AWALIAH / 1513015041
5. LILIS PANIA ANUGRAH / 1513015003

LABORATORIUM KIMIA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2016
LEMBAR PENGESAHAN

Sampel : Rimpang Kunyit


Praktikum : Metode Pemisahan
Asisten : 1. Angga Gusti Saputra
2. Herlina Ekapratama Dewi
Dosen Pengampu : 1. Akhmad Jaizzur Rija’i, S.Farm.,M.Si
2. M. Arifuddin, M.Si., Apt.
3. Viriyanata Wijaya, S.Farm., M.Farm., Apt.
Praktikan
a. Aryanti (1513015047)
b. Barkah Rahim (1513015039)
c. Megawati (1513015013)
d. Nur Awaliah (1513015041)
e. Lilis Pania Anugrah (1513015003)

Samarinda, 17 Desember 2016

Diperiksa oleh Ketua

(Herlina Ekapratama Dewi) (Aryanti)

Mengetahui

(Akhmad Jaizzur Rija’i, S.Farm.,M.Si.)


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................................1

Bab I Pendahuluan.......................................................................................................2

Bab II Tinjauan Pustaka.............................................................................................3


II. 1 Uraian Tumbuhan...........................................................................................3
II. 2 Ekstraksi...........................................................................................................3
II. 3 Fraksinasi..........................................................................................................3
II. 4 Metoda Pemisahan...........................................................................................4
II. 4. 1 Kromatografi Lapis Tipis............................................................................4
II. 4. 4 Kromatografi Lapis Tipis Preparatif.........................................................4
II. 4. 5 Kromatografi Lapis Tipis Sentrifugal (KROMATOTRON)...................5
II. 4. 6 Kromatografi Lapis Tipis 2 Dimensi..........................................................5

Bab III Metodologi.......................................................................................................6

Bab IV Alat dan Bahan...............................................................................................7


IV. 1 Alat...................................................................................................................7
IV. 2 Bahan...............................................................................................................7

Bab V Prosedur Percobaan.........................................................................................8


V. 1 Ekstraksi...........................................................................................................8
V. 2 Fraksinasi..........................................................................................................8
V. 3 Kromatografi Lapis Tipis................................................................................8
V. 4 Kromatografi Konvensional............................................................................8
V. 5 Kromatografi Lapis Tipis 2 Dimensi..............................................................8

Bab VI Pembahasan.....................................................................................................9
VI. 1 Ekstraksi..........................................................................................................9
VI. 2 Fraksinasi........................................................................................................9
VI. 3 Kromatografi Lapis Tipis..............................................................................9
VI. 4 Kromatografi Konvensional..........................................................................9
VI. 5 Kromatografi Lapis Tipis 2 Dimensi............................................................9

Bab VII Kesimpulan dan Saran...............................................................................10


VII. Kesimpulan.....................................................................................................10
VII. Saran...............................................................................................................10

1
Daftar Pustaka............................................................................................................11

2
Bab I Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam hayati,
diantaranya dengan dimilikinya hutan basah yang ditumbuhi dengan tanaman yang
berkhasiat obat. Penggunaan tanaman obat atau lebih dikenal dengan obat tradisional
sebenarnya sudah merupakan warisan nenek moyang. Hal itu dibuktikan dengan
adanya jamu gendong, jamu godog, dan ramuan-ramuan yang masih digunakan
sampai saat ini. Pengobatan tradisional saat ini sangat digemari. Hal ini dikarenakan
banyaknya efek samping penggunaan obat-obat modern atau obat sintetik. Semakin
berkembangnya ilmu pengetahuan menyebabkan orang sadar akan keunggulan bahan-
bahan alam.
Di alam, sebagian besar zat yang ditemukan tidak dalam keadaan murni atau
tunggal, sebagian besar zat-zat merupakan campuran dari berbagai macam senyawa
atau unsur. Dalam banyak hal senyawa atau unsur dibutuhkan dalam keadaan murni,
misalnya dalam bidang farmasi, senyawa atau unsur dalam keadaan murni diperlukan
untuk pembuatan obat. Hal ini diperlukan agar reaksi dapat berjalan dengan sempurna
dan hasil reaksi juga memiliki kemurnian yang tinggi. Untuk mendapatkan senyawa-
senyawa yang murni diperlukan proses pemisahan.
Tanaman kunyit merupakan salah satu dari sekian banyak tanaman obat
tradisional di Indonesia. Kunyit adalah tanaman dari famili jahe dengan nama latin
Curcuma longa Koen atau Curcuma domestica Val. Kunyit ini dikenal luas di
Indonesia sebagai bahan pewarna dan penyedap makanan, rimpangnya sudah sejak
dulu dipakai untuk mewarnai kapas, wol, sutera, tikar, dan barang-barang kerajinan
lainnya. Senyawa utama yang terkandung dalam rimpang kunyit adalah senyawa
kurkuminoid yang memberi warna kuning pada kunyit. Kurkuminoid ini (kebanyakan
berupa kurkumin) menjadi pusat perhatian para peneliti yang mempelajari keamanan,
sifat antioksidan, antiinflamasi, efek pencegah kanker, ditambah kemampuannya
menurunkan resiko serangan jantung.
Kunyit mempunyai banyak kandungan kimia, diantaranya minyak atsiri
sebanyak 6% yang terdiri dari golongan senyawa monoterpen dan sesquiterpen
(meliputi zingiberen, alfa dan beta turmeron), zat warna kuning yang disebut
kurkuminoid sebanyak 5% (meliputi kurkumin 50–60%, monodesmetoksikurkumin
dan bidesmetoksikurkumin), protein, fosfor, kalium, besi dan vitamin C. Dari sekian

3
banyak kandungan kimia di dalam kunyit, maka perlu dilakukan metode untuk
memisahkan zat-zat tersebut menjadi senyawa tunggal yang kelak dapat digunakan
sebagai bahan baku obat, mengingat bahwa zat aktif ini sangat banyak manfaatnya
dalam kehidupan sehari-hari.

4
Bab II Tinjauan Pustaka

II. 1 Uraian Tumbuhan


a. Klasifikasi Kunyit (Curcuma domestica Val.)

Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Zingiberales
Familia : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma domestica Val.
b. Morfologi
Tanaman kunyit adalah tanaman berumur panjang dengan daun besar
berbentuk elips, 3-8 buah, panjang sampai 85 cm, lebar sampai 25 cm, pangkal
daun meruncing, berwarna hijau seragam. Batang semu berwarna hijau atau
agak keunguan, tinggi sampai 1,60 meter. Perbungaan muncul langsung dari
rimpang, terletak di tengah-tengah batang, ibu tangkai bunga berambut kasar
dan rapat, saat kering tebalnya 2-5 mm, panjang 16-40 cm, daun kelopak
berambut berbentuk lanset panjang 4-8 cm, lebar 2-3,5 cm, yang paling bawah
berwarna hijau, berbentuk bulat telur, makin ke atas makin menyempit dan
memanjang, warna putih atau putih keunguan, bagian ujung berbelah-belah,
warna putih atau merah jambu (Sudarsono dkk., 1996).
Bentuk bunga majemuk bulir silindris. Mahkota bunga berwarna putih.
Bagian di dalam tanah berupa rimpang yang mempunyai struktur berbeda

5
dengan Zingiber (yaitu berupa induk rimpang tebal berdaging, yang membentuk
anakan, rimpang lebih panjang dan langsing) warna bagian dalam kuning jingga
atau pusatnya lebih pucat (Sudarsono dkk., 1996).
c. Kandungan Kimia
Kandungan utama dalam rimpang kunyit diantaranya adalah minyak atsiri,
kurkumin, resin, oleoresin, desmetoksikurkumin, bidesmetoksikurkumin,
lemak, protein, kalsium, fosfor dan besi (Sihobing, 2007). Kebutuhan
kunyit setiap tahunnya meningkat sampai 2% sehingga diperlukan bahan
tanaman yang cukup tinggi. Di tingkat industri obat tradisional di Jawa
Tengah, kebutuhan kunyit mencapai 1,355 ton/tahun berat segar dan
menempati urutan ke empat terbesar setelah bahan baku obat lainnya (Kristina
dkk., 2008).
Kunyit mengandung senyawa yang berkhasiat obat, yang
disebut kurkuminoid yang terdiri dari kurkumin, desmetoksikumin dan
bisdesmetoksikurkumin dan zat-zat manfaat lainnya. Rimpang
kunyit mengandung 28% glukosa, 12% fruktosa, 8% protein, dan
kandungan kalium dalam rimpang kunyit cukup tinggi, 1,3-5,5% minyak
atsiri yang terdiri 60% keton seskuiterpen, 25% zingiberina dan 25%
kurkumin berserta turunannya (Winarti dan Nurdjanah, 2005). Keton
Seskuiterpen yang terdapat dalam rimpang kunyit adalah tumeron dan
antumeron, sedangkan kurkumin dalam rimpang kunyit meliputi kurkumin
(diferuloilmetana), dimetoksikurkumin (hidroksisinamoil feruloilmetan), dan
bisdemetoksikurkumin (hidroksisinamoilmetana) (Maiti, 2004).
d. Khasiat
Khasiat kunyit diantaranya sebagai antioksidan, anti karsinogen, anti
alzeimer dan juga anti kanker (Depkes RI, 1995). Kurkumin memiliki
kandungan anti-inflamasi yang sangat kuat dan antioksidan yang sangat tinggi.
Namun, kandungan kurkumin dalam kunyit tidaklah tinggi hanya sekitar 3%
dari beratnya (Karyadi, 1997).
Kunyit (Curcuma domestica Val.) meningkatkan kapasitas antioksidan
tubuh secara drastis. Kurkumin ternyata memiliki kandungan antioksidan yang
diperoleh dari struktur kimiawi yang dapat menetralisir radikal bebas. Namun
kurkumin juga meningkatkan aktivitas enzim antioksidan tubuh. Dengan cara
tersebut, kurkumin mampu melawan radikal bebas. Kurkumin memblokir

6
radikal bebas secara langsung, kemudian menstimulasi mekanisme antioksidan
tubuh.

II. 2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat aktif dan bagian
tanaman, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Zat-zat aktif tersebut
terdapat di dalam sel, namun sel tanaman dan hewan berbeda, demikian pula
ketebalannya, sehingga diperlukan metode ekstraksi dan pelarut tertentu dalam
mengekstraksinya (Ditjen POM, 1979).
Umumnya, zat aktif yang terkandung dalam tanaman maupun hewan Iebih
larut dalam pelarut organik. Proses terekstraksinya zat aktif dalam tanaman adalah
pelarut organik akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang
mengandung zat aktif, zat aktif akan terlarut sehingga akan terjadi perbedaan
konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan pelarut organik di luar sel.
Perbedaan konsentrasi ini akan menyebabkan larutan pekat di dalam sel akan
berdifusi ke luar sel, dan proses ini akan berulang terus menerus sampai terjadi
keseimbangan antara konsentrasi zat aktif di dalam dan di luar sel (Ditjen POM,
1979).
Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen kimia yang
terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan massa
komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar
muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut.
a. Jenis-jenis ekstraksi
Jenis ekstraksi bahan alam yang sering dilakukan adalah ekstraksi secara
panas dengan cara refluks dan penyulingan uap air dan ekstraksi secara dingin
dengan cara maserasi, perkolasi dan alat soxhlet.
b. Cara-cara ekstraksi (Harbone, 1987)
1) Ekstraksi secara soxhletasi
Prinsip dasar metode adalah cairan penyari dipanaskan, uap cairan penyari
akan naik ke atas melalui pipa samping naik kekondensor, uap pengembun
dan menetes ke dalam kelonsong (thimble) berisi sampel yang diekstraksi.
Ketika cairan penyari mencapai ketinggian ujung sifon, seluruh cairan
dalam kelongsong akan mengalir melalui sifon dan kembali ke wadah labu
alas bulat. Cara ini lebih menguntungkan karena panas tidak melalui serbuk

7
simplisia, tetapi melalui pipa samping. Ekstraksi dengan cara ini pada
dasarnya ekstraksi secara berkesinambungan. Cairan penyari dipanaskan
sampai mendidih. Uap penyari akan naik melalui pipa samping, kemudian
diembunkan lagi oleh pendingin tegak. Cairan penyari turun untuk menyari
zat aktif dalam simplisia. Selanjutnya bila cairan penyari mencapai sifon,
maka seluruh cairan akan turun ke labu alas bulat dan terjadi proses
sirkulasi. Demikian seterusnya sampai zat aktif yang terdapat dalam
simplisia tersari seluruhnya yang ditandai jernihnya cairan yang lewat pada
tabung sifon.
2) Ekstraksi secara perkolasi
Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan
penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Prinsip perkolasi
adalah Serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder, yang
bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan dan atas ke
bawah melalui serbuk sampel, cairan penyari akan melarutkan zat aktif
dalam sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh. Perkolasi
dilakukan dengan cara dibasahkan 10 bagian simplisia dengan derajat halus
yang cocok, menggunakan 2,5 bagian sampai 5 bagian cairan penyari
dimasukkan dalam bejana tertutup sekurang-kurangnya 3 jam. Massa
dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam perkolator, ditambahkan cairan
penyari. Perkolator ditutup dibiarkan selama 24 jam, kemudian kran dibuka
dengan kecepatan 1 ml permenit, sehingga simplisia tetap terendam. Filtrat
dipindahkan ke dalam bejana, ditutup dan dibiarkan selama 2 hari pada
tempat terlindung dari cahaya.
3) Ekstraksi secara maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cair penyari. Maserasi
digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang
mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah
mengembang dalam cairan penyari, bahan yang diekstraksi adalah tidak
tahan terhadap panas, simplisianya bertekstur lunak, tidak mengandung zat
seperti benzoin, stirak, dan lain-lain. Maserasi dilakukan dengan cara
memasukkan 10 bagian simplisia dengan derajat yang cocok ke dalam
bejana, kemudian dituangi dengan penyari 75 bagian, ditutup dan dibiarkan

8
selama 5 hari, terlindung dari cahaya sambil diaduk sekali-kali setiap hari
lalu diperas dan ampasnya dimaserasi kembali dengan cairan penyari.
Penyarian diakhiri setelah pelarut tidak berwarna lagi, lalu dipindahkan ke
dalam bejana tertutup, dibiarkan pada tempat yang tidak bercahaya, setelah
dua hari lalu endapan dipisahkan.
4) Ekstraksi secara refluks
Prinsip dasar penyarian dengan metode Refluks adalah Sampel yang akan
diekstraksi diletakkan dalam labu alas bulat bersama dengan cairan penyari
yang akan digunakan. Cairan penyari dipanaskan hingga mendidih. Uap
penyari mengalami kondensasi (pengembunan) oleh pendingin balik embun
yang terbentuk kemudian turun kembali ke labu sambil melarutkan zat aktif.
Proses semacam mi berlangsung secara terus menerus (berulang) hingga
proses ekstraksi sempurna. Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya adalah
ekstraksi berkesinambungan. Bahan yang akan diekstraksi direndam dengan
cairan penyari dalam labu alas bulat yang dilengkapi dengan alat pendingin
tegak, lalu dipanaskan sampai mendidih. Cairan penyari akan menguap, uap
tersebut akan diembunkan dengan pendingin tegak dan akan kembali
menyari zat aktif dalam simplisia tersebut, demikian seterusnya. Ekstraksi
ini biasanya dilakukan 3 kali dan setiap kali diekstraksi selama 4 jam.
5) Destilasi Uap
Destilasi uap adalah metode yang populer untuk ekstraksi minyak-minyak
menguap (minyak essensial) dari sampel tanaman. Prinsip dasarnya adalah
mencampur bahan dengan air kemudian dipanaskan hingga mendidih. Uap
yang timbul dikumpulkan dan dibiarkan mengembun, dan minyak akan
terpisah dan air (destilasi dengan air). Jika minyak yang akan didestilasi
harus dihindarkan dari pemanasan yang belebihan, maka uap dan generator
(wadah berisi air) dibuat hanya melewat sampel yang disuspensikan dalam
air tetapi dipanaskan (destilasi uap air). Destilasi uap berpegang pada prinsip
fisik yaitu, jika dua cairan tidak bercampur digabungkan, tiap cairan
bertindak seolah-olah pelarut itu hanya sendiri, dan menggunakan tekanan
uap. Tekanan uap total dari cairan yang mendidih sama dengan jumlah
takanan uap parsial, yaitu tekanan yang digunakan oleh komponen tunggal.
Karena pendidihan yang dimaksud yaitu takanan uap total sama degan

9
takanan atmosfir, titik didih dicapai pada temperatur lebih rendah
dibandingkan jika tiap-tiap cairan berada dalam keadaan murni.
6) Evaporator
Evaporator adalah sebuah alat yang berfungsi mengubah sebagian atau
keseluruhan sebuah pelarut dari sebuah larutan dari bentuk cair menjadi uap.
Evaporator mempunyai dua prinsip dasar, untuk menukar panas dan untuk
memisahkan uap yang terbentuk dari cairan. Evaporator umumnya terdiri
dari tiga bagian, yaitu penukar panas, bagian evaporasi (tempat di mana
cairan mendidih lalu menguap), dan pemisah untuk memisahkan uap dari
cairan lalu dimasukkan ke dalam kondensor (untuk diembunkan atau
kondensasi) atau ke peralatan lainnya. Hasil dari evaporator (produk yang
diinginkan) biasanya dapat berupa padatan atau larutan berkonsentrasi.
Larutan yang sudah dievaporasi bisa saja terdiri dari beberapa komponen
volatil (mudah menguap).
II. 3 Fraksinasi
Fraksinasi merupakan suatu proses yang bertujuan memisahkan komponen
kimia dari suatu ekstrak menjadi fraksi-fraksi yang lebih spesifik, misalnya
berdasarkan kepolarannya, sifat asam basa dan lain sebagainya.
Fraksiansi cair-cair adalah proses pemisahan zat terlarut di dalam 2 macam zat
pelarut yang tidak saling bercampur atau dengan kata lain perbandingan konsentrasi
zat terlarut dalam pelarut organik, dan pelarut air. Hal tersebut memungkinkan karena
adanya sifat senyawa yang dapat larut air dan ada pula senyawa yang larut dalam
pelarut organik. Satu komponen dari campuran akan memiliki kelarutan dalam kedua
lapisan tersebut (biasanya disebut fase) dan setelah beberapa waktu dicapai
keseimbangan biasanya dipersingkat oleh pencampuran kedua fase tersebut dalam
corong pisah (Khopkar, 2008).
Fraksinasi padat cair adalah proses pemisahan untuk memperoleh komponen
zat terlarut dari campurannya dalam padatan dengan menggunakan pelarut yang
sesuai. Dapat juga didefenisikan sebagai dispersi komponen kimia dari ekstrak yang
telah dikeringkan dalam suatu pelarut yang sesuai berdasarkan kelarutan dari
komponen kimia dan zat-zat yang tidak diinginkan seperti garam-garam tidak dapat
larut. Operasi ekstraksi ini dapat dilakukan dengan mengaduk suspensi padatan di
dalam wadah dengan atau tanpa pemanasan (Roy, 1991).

10
II. 4 Metoda Pemisahan
Pemisahan dan pemurnian adalah proses pemisahan dua zat atau lebih yang
saling bercampur serta untuk mendapatkan zat murni dari suatu zat yang telah
tercemar atau tercampur. Campuran adalah setia contoh materi yang tidak murni,
yaitu bukan sebuah unsur atau sebuah senyawa. Susunan suatu campuran tidak sama
dengan sebuah zat, dapat bervariasi, campuran dapat berupa homogen dan heterogen
(Petrucci, 1987).
Metode pemisahan adalah suatu cara yang digunakan untuk memiahkan atau
memurnikan suatu senyawa atau kelompok senyawa yang mempunyai susunan kimia
yang berkaitan dari suatu baha,baik dalam skala laboratorium maupun skala industry
(Petrucci, 1987).
Proses pemisahan suatu campuran dapat dilakukan dengan berbagai metode.
Metode pemisahan yang dipilih bergantung pada fase komponen penyusun campuran.
Suatu campuran dapat berupa campuran homogen (satu fase) atau campuran
heterogen (lebih dari satu fase). Suatu campuran heterogen dapat mengandung dua
atau lebih fase: padat-padat, padat-cair, padat-gas, cair-cair, cair-gas, gas-gas,
campuran padat-cair-gas, dan sebagainya. Pada berbagai kasus, dua atau lebih proses
pemisahan harus dikombinasikan untuk mendapatkan hasil pemisahan yang
diinginkan (Anonim, 2013).
Metode maserasi digunakan untuk menyari simplisia yang mengandung
komponen kimia yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin,
tiraks dan lilin (Adrian, 2000).
Maserasi umumnya dilakukan dengan cara : memasukkan simplisia yang sudah
diserbukkan dengan derajat halus tertentu sebanyak 10 bagian ke dalam bejana
maserasi yang dilengkapi pengaduk mekanik, kemudian ditambahkan 75 bagian
cairan penyari ditutup dan dibiarkan selama 3 hari pada temperatur kamar terlindung
dari cahaya sambil berulang-ulang diaduk. Setelah 3 hari, disaring kedalam dalam
bejana penampung, kemudian ampasnya diperas dan ditambah cairan penyari lagi
secukupnya dan diaduk kemudian disaring lagi hingga diperoleh sari 100 bagian. Sari
yang diperoleh ditutup dan disimpan pada tempat yang terlindung dari cahaya selama
2 hari, endapan yang terbentuk dipisahkan dan filtratnya dipekatkan (Adrian, 2000).
Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan
peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan (Adrian, 2000).

11
Kerugian cara maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang
sempurna (Adrian, 2000).
Soxhletasi merupakan penyarian simplisia secara berkesinambungan, cairan
penyari dipanaskan hingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi menjadi
molekul cairan oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia di dalam klonsong
dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati pipa siphon,
proses ini berlangsung hingga proses penyarian zat aktif sempurna yang ditandai
dengan beningnya cairan penyari yang melalui pipa siphon tersebut atau jika
diidentifikasi dengan KLT tidak memberikan noda lagi (Adrian, 2000).
Keuntungannya cairan penyari yang diperlukan lebih sedikit dan lebih pekat.
Penyarian dapat diteruskan sesuai dengan keperluan, tanpa menambah volume cairan
penyari. Kerugiannya yaitu larutan dipanaskan terus-menerus, sehingga zat aktif yang
tidak tahan pemanasan kurang cocok (Adrian, 2000).
Metode soxhlet bila dilihat secara keseluruhan termasuk cara panas namun
proses ekstraksinya secara dingin, sehingga metode soxhlet digolongkan dalam cara
dingin (Tobo, 2001).
Metode refluks merupakan metode berkesinambungan dimana cairan penyari
secara kontinu akan menyari zat aktif di dalam simplisia. Cairan penyari dipanaskan
sehingga menguap dan uap tersebut dikondensasikan oleh pendingin balik, sehingga
mengalami kondensasi menjadi molekul-molekul cairan dan jatuh kembali ke dalam
labu alas bulat sambil menyari simplisia, proses ini berlangsung secara
berkesinambungan dan dilakukan 3 kali dalam waktu 4 jam (Adrian, 2000).
Keuntungan metode refluks (Adrian, 2000) :
a. Cairan penyari yang diperlukan lebih sedikit dan secara langsung diperoleh hasil
yang lebih pekat.
b. Serbuk simplisia disari oleh cairan penyari yang murni, sehingga dapat menyari
zat aktif lebih banyak

II. 4. 1 Kromatografi Lapis Tipis


Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan cara pemisahan campuran
senyawa menjadi senyawa murninya dan mengetahui kuantitasnya yang
menggunakan. Kromatografi juga merupakan analisis cepat yang memerlukan bahan
sangat sedikit, baik penyerap maupun cuplikannya. KLT dapat dipakai dengan dua
tujuan. Pertama, dipakai selayaknya sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif,

12
kuantitatif, atau preparatif. Kedua, dipakai untuk menjajaki system pelarut dan system
penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom atau kromatografi cair
kinerja tinggi (Roy, 1991).
KLT dapat digunakan untuk memisahkan senyawa – senyawa yang sifatnya
hidrofobik seperti lipida – lipida dan hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan
kromatografi kertas. KLT juga dapat berguna untuk mencari eluen untuk kromatografi
kolom, analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom, identifikasi senyawa
secara kromatografi, dan isolasi senyawa murni skala kecil. Pelarut yang dipilih untuk
pengembang disesuaikan dengan sifat kelarutan senyawa yang dianalisis (Marzuki,
2013).
Bahan lapisan tipis seperti silika gel adalah senyawa yang tidak bereaksi
dengan pereaksi – pereaksi yang lebih reaktif seperti asam sulfat. Data yang diperoleh
dari KLT adalah nilai Rf yang berguna untuk identifikasi senyawa. Nilai Rf untuk
senyawa murni dapat dibandingkan dengan nilai Rf dari senyawa standar. Nilai Rf
dapat didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik asal dibagi
dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut dari titik asal. Oleh karena itu bilangan Rf
selalu lebih kecil dari 1,0 (Hostettmann, 1995).
Pelaksaan KLT melalui beberapa tahap yaitu:
a) Fase Diam
Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil
dengan diameter partikel antara 10-30 µm. Semakin kecil ukuran ratarata partikel
fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik
kinerja KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya. Penjerap yang paling sering
digunakan adalah silica dan serbuk selulosa, sementara mekanisme sorpsi yang
utama pada KLT adalah adsorpsi dan partisi.
b) Fase Gerak
Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan
mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling
sederhana ialah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua
pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi
secara optimal.
c) Aplikasi (Penotolan) Sampel
Untuk memperoleh roprodusibilitas, volume sampel yang ditotolkan paling
sedikit 0,5 µl. Jika volume sampel yang ditotolkan lebih besar dari 2-10 µl, maka

13
penotolan harus dilakukan secara bertahap dengan dilakukan pengeringan antar
totolan.
d) Pengembangan
Bila sampel telah ditotolkan maka tahap selanjutnya adalah mengembangkan
sampel dalam bejana kromatografi yang sebelumnya telah dijenuhi dengan uap
fase gerak. Tepi bagian bawah lempeng tipis yang telah ditotoli sampel
dicelupkan kedalam fase gerak kurang lebih 0,5-1 cm. Tinggi fase gerak dalam
bejana harus dibawah lempeng yang telah berisi totolan sampel. Bejana
kromatografi harus tertutup rapat dan sedapat mungkin volume fase gerak sedikit
mungkin (akan tetapi harus mampu mengelusi lempeng sampai ketinggian
lempeng yang telah ditentukan. Untuk melakukan penjenuhan fase gerak,
biasanya bejana dilapisi dengan kertas saring . Jika fase gerak telah mencapai
ujung dari kertas saring, maka dapat dikatakan bahwa fase gerak telah jenuh
e) Deteksi Bercak
Deteksi bercak pada KLT dapat dilakukan secara kimia dan fisika. Cara kimia
yang biasa digunakan adalah dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi
melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika yang dapat
digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan denagan cara pencacahan
radioaktif dan fluorosensi sinar ultraviolet. Fluorosensi sinar ultraviolet terutama
untuk senyawa yang dapat berfluorosensi, membuat bercak akan terlihat jelas
(Ewing, 1985).

II. 4. 2 Kromatografi Cair Vakum


Kromatografi Cair Vakum (KCV) merupakan salah satu metode fraksinasi
yaitu dengan memisahkan crude extract menjadi fraksi-fraksinya yang lebih
sederhana. Pemisahan tersebut memanfaatkan kolom yang berisi fasa diam dan aliran
fasa geraknya dibantu dengan pompa vakum. Fasa diam yang digunakan dapat berupa
silika gel atau alumunium oksida (Khopkar, 2008).
Kromatografi vakum cair dilakukan untuk memisahkan golongan senyawa
metabolit sekunder secara kasar dengan menggunakan silika gel sebagai absorben dan
berbagai perbandingan pelarut n-heksana : etil asetat : metanol (elusi gradien) dan
menggunakan pompa vakum untuk memudahkan penarikan eluen (Helfman, 1983).
Adapun cara kerja kromatografi cair vakum yaitu kolom kromatografi
dikemas kering (biasanya dengan penjerap mutu KLT 10-40 μm) dalam keadaan

14
vakum agar diperoleh kerapatan kemasan maksimum. Vakum dihentikan, pelarut
yang kepolarannya rendah dituangkan ke permukaan penjerap lalu divakumkan lagi.
Kolom dipisah sampai kering dan sekarang siap dipakai (Hostettman, 1986).

II. 4. 3 Kromatografi Konvensional


Kromatografi kolom konvensional adalah metode yang digunakan untuk
memurnikan senyawa kimia tunggal dari campurannya (bahan alam). Kolom
kromatografi dapat berupa pipa gelas yang dilengkapi dengan kran. Ukuran kolom
tergantung pada banyaknya zat yang akan dipisahkan. Untuk menahan adsorben yang
di dalam kolom dapat digunakan glass woll atau kapas. Prinsipnya hampir sama
dengan kromatografi lapis tipis (KLT). Apabila suatu cuplikan berupa campuran dari
beberapa komponen dimasukkan melalui atas kolom, maka komponen yang diserap
lemah oleh adsorben akan keluar lebih cepat bersama eluen, sedangkan komponen
yang diserap kuat keluar lebih lama. Proses pemisahan tersebut dibantu oleh gaya
gravitasi, oleh karena itu metode ini sering juga disebut kromatografi kolom gravitasi
(Roy, 1991).

15
II. 4. 4 Kromatografi Lapis Tipis Preparatif
Kromatografi merupakan suatu proses pemisahan yang mana analit-analit
dalam sampel terdistribusi antara dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam
dapat berupa bahan padat atau porus dalam bentuk molekul kecil atau dalam bentuk
cairan yang dilapiskan pada pendukung padat atau dilapiskan pada dinding kolom.
Fase gerak dapat berupa gas atau cairan. Jika gas digunakan sebagai fase gerak, maka
prosesnya dikenal sebagai kromatografi gas. Dalam kromatografi cair dan juga
kromatografi lapis tipis, fase gerak yang di gunakan selalu cair (Rohman,2009).
Salah satu metode pemisahan yang memerlukan biaya paling murah dan
memakai peralatan sangat sederhana ialah kromatografi lapis tipis preparatif (KLTP).
Walaupun KLTP dapat memisahkan dalam jumlah gram,sebagian besar pemakaian
hanya dalam jumlah miligram. KLT preparatif dilakukan dengan menggunakan
lapisan tebal (sampai 1 mm) sebagai pengganti lapisan penyerap yang tipis (Nasution,
2010).
Pada kromatografi lapis tipis preparatif, cuplikan yang akan dipisahkan
ditotolkan berupa garis pada salah satu sisi pelat lapisan besar dan dikembangkan
secara tegak lurus pada garis cuplikan sehingga campuran akan terpisah menjadi
beberapa pita. Pita ditampakkan dengan cara yang tidak merusak jika senyawa itu
tanwarna, dan penyerap yang mengandung senyawa pita dikerok dari pelat kaca.
Kemudian cuplikan dielusi dari penyerap dengan pelarut polar. Cara ini berguna
untuk memisahkan campuran reaksi sehingga diperoleh senyawa murni untuk telaah
pendahuluan, untuk menyiapkan cuplikan analisis, untuk meneliti bahan alam yang
lazimnya berjumlah kecil dan campurannya rumit dan untuk memperoleh cuplikan
yang murni untuk mengkalibrasi kromatografi lapis tipis kuantitatif (Nasution, 2010).
Proses isolasi kromatografi lapis tipis preparatif terjadi berdasarkan perbedaan
daya serap dan daya partisi serta kelarutan dari komponen-komponen kimia yang
akan bergerak mengikuti kepolaran eluen, oleh karena daya serap adsorben terhadap
komponen kimia tidak sama, maka komponen bergerak dengan kecepatan yang
berbeda sehingga hal inilah yang menyebabkan pemisahan (Nasution, 2010).
Adsorben yang paling banyak digunakan dalam kromatografi lapis tipis adalah
silika gel dan aluminium oksida. Silika gel umumnya mengandung zat tambahan
Kalsium sulfat untuk mempertinggi daya lekatnya. Zat ini digunakan sebagai
adsorben universal untuk kromatografi senyawa netral, asam dan basa. Aluminum
iksida mempunyai kemampuan koordinasi dan oleh karena itu sesuai untuk pemisahan

16
senyawa yang mengandung gugus fungsi yang berbeda. Alu,inium okida mengandung
ion alkali dan dengan demikianbereaksi sebagai basa dalam suspensi air. Disamping
kedua adsorben yang sangat aktif ini dalam hal tertentu dapat digunakan “kieselgur”
yang kurang aktif sebagai lapis sorpsi (Munson, 2010).
Pengembangan plat KLTP biasanya dilakukan dalam bejana kaca yang dapat
menampung beberapa plat. Keefisienan pemisahan dapat ditingkatkan dengan cara
pengembangan berulang. Harus diperhatikan bahwa semakin lama senyawa berkontak
dengan penyerap maka semakin besar kemungkinan penguraian (Nasution, 2010).

II. 4. 5 Kromatografi Lapis Tipis Sentrifugal (KROMATOTRON)


Kromatotron memiliki prinsip sama seperti kromatografi klasik dengan aliran
fase gerak yang dipercepat oleh gaya sentrifugal. Kromatografi jenis ini menggunakan
rotor yang dimiringkan dan terdapat dalam ruang tertutup oleh plat kaca kuarsa,
sedangkan lapisan penyerapnya berupa plat kaca yang dilapisi oleh silika gel. Plat
tersebut dipasang pada motor listrik dan diputar dengan kecepatan 800 rpm. Pelarut
pengelusi dimasukkan kebagian tengah pelarut melalui pompa torak sehingga dapat
mengalir dan merambat melalui lapis tipis karena gaya sentrifugal. Untuk mengetahui
jalannya proses elusi dimonitor dengan lampu UV. Gas nitrogen dialirkan kedalam
ruang plat untuk mencegah pengembunan pelarut pengelusi dan mencegah oksidasi
sampel. Pemasukan sampel itu diikuti dengan pengelusian menghasilkan pita-pita
komponen berupa lingkaran sepusat. Pada tepi plat, pita-pita akan terputar keluar
dengan gaya sentrifugal dan di tampung dalam botol fraksi, diidentifikasi dengan
KLT (Hostettmann et al., 1995).

II. 4. 6 Kromatografi Lapis Tipis 2 Dimensi


KLT 2 arah atau 2 dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi sampel
ketika komponen-komponen solute mempunyai karakteristik kimia yang hampir
sama, karenanya nilai Rf juga hampir sama sebagaimana dalam asam-asam amino.
Selain itu, 2 sistem fase gerak yang sangat berbeda dapat digunakan secara berurutan
sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang mempunyai tingkat
polaritas yang berbeda (Gholib, 2008).
Sampel ditotolkan pada lempeng lalu dikembangkan dengan satu system fase
gerak sehingga campuran terpisah menurut jalur yang sejajardengan salah satu sisi.
Lempeng diangkat, dikeringkan dan diputar 90°, dan diletakkan dalam bejana

17
kromatografi yang berisi fase gerak kedua, sehingga bercak yang terpisah pada
pengembangan pertama terletak dibagian bawah sepanjang lempeng, lalu
dikromatografi lagi (Gholib, 2008).

18
Bab III Metodologi

Ekstraksi dengan metode refluks dilakukan dengan cara pertama-tama


dilakukannya preparasi sampel kunyit. Sampel kunyit yang telah dikumpulkan
kemudian dicuci bersih, dipotong-potong dan dikeringkan dengan menggunakan oven
sampai kering. Sampel kunyit yang suda kering (simplisia) ditimbang terlebih dahulu
150 gram dan dimasukkan ke dalam labu alas bulat yang sebelumnya telah diisi
dengan batu didih 3 butir dan ditambahkan dengan pelarut metanol sampai seluruh
simplisia terendam. Kemudian disiapkan seperangkat alat refluks dan labu alas bulat
yang telah berisi simplisia dan pelarut diletakkan pada heating mantle. Setelah itu alat
refluks dihidupkan dan ditunggu hingga mendidih. Setelah mendidih dan ditunggu
hingga 1 jam, alat refluks dimatikan dan pelarut disaring dengan bantuan kertas saring
dan corong buchner. Setelah disaring, labu alas bulat yang masih berisi simplisia diisi
kembali denganpelarut yang sama hingga seluruh simplisia terendam sempurna dan
dipasangkan kembali labu pada heating mantle, kemudian dihidupkan kembali alat
refluks. Siklus ini diulangi hingga 3 kali. Larutan ekstrak yang telah didapat
ditampung didalam toples. Selanjutnya diuapkan larutan ekstrak tersebut dengan
menggunakan rotary evaporator. Metanol hasil rotav dipisahkan pada suatu tempat.
Kemudian ekstrak basah dimasukkan ke dalam mangkok kemudian diuapkan dengan
kipas angin, hingga terbentuk ekstrak semisolid.
Ekstrak kering kemudian ditimbang sebanyak 10 gram, lalu diambil sedikit
ekstrak basah kemudian dilarutkan kedalam air, karena ekstrak basah tidak larut
sempurna ke dalam air maka digunakan metode fraksinasi cair padat.
Metode fraksinasi cair padat yaitu dengan menggunakan 3 pelarut dengan
kepolaran yang berbeda, dimulai dari pelarut yang nonpolar hinga polar. Dalam
praktikum kali ini digunakan 3 pelarut organik yaitu n-heksan, etil asetat, dan butanol.
Pertama-tama dimulai dari pelarut non polar yaitu n-heksan. Dimasukkan ke
dalam erlenmeyer, setelah itu diaduk (digoncang) selama 10 menit. Ditunggu
beberapa menit hingga ekstak yang larut n-heksan dengan endapan/supernatannya
terpisah, yang larut n-heksan dipisahkan, dimasukkan kedalam wadah I (mangkok)
dan diuapkan hingga diperoleh fraksi ekstrak kering. Diulang 2 kali. Selanjutnya
residu yang tidak larut n-heksan ditambahkan kembali dengan pelarut etil asetat lalu
diaduk (digoncang) selama 10 menit. Ditunggu beberapa menit hingga ekstak yang

19
larut etil asetat dengan endapan/supernatannya terpisah, yang larut etil asetat
dipisahkan, dimasukkan kedalam wadah II (mangkok) dan diuapkan hingga diperoleh
fraksi ekstrak kering. Diulang 2 kali. Selanjutnya residu yang tidak larut etil esetat
ditambahkan kembali dengan pelarut butanol lalu diaduk (digoncang) selama 10
menit. Ditunggu beberapa menit hingga ekstak yang larut butanol dengan
endapan/supernatannya terpisah, yang larut butanol dipisahkan, dimasukkan kedalam
wadah III (mangkok) dan diuapkan hingga diperoleh fraksi ekstrak kering.
Setelah didapat fraksi, dilanjutkan dengan proses KLT. Aktifkan plat KLT
dengan cara dipanaskan didlam oven dengan suhu 150 ℃ selama 15 menit. Kemudian
disiapkan fraksi yang akan ditotol dengan cara diambil sedikit fraksi n-heksana dan
etil asetat dan dilarutkan dengan metanol sedikit didalam botol vial. Setelah plat KLT
siap, kemudian dipotong-potong dengan ukuran 7×1 cm. Plat KLT yang telah
dipotong, diberi batas atas dan bawah dengan ukuran 1 cm pada bagian bawah dan 0,5
cm pada bagian atas. Ditotol fraksi dengan menggunakan pipa kapiler pada batas
bawah plat KLT. Setelah itu, dimasukkan plat KLT pada chamber (gelas) yang berisi
eluen n-heksana dan etil asetat dengan perbandingan dimulai dari yang non-polar
hingga polar. Pada pengujian yang dilakukan, digunakan perbandingan 9:1, 8:2, dan
7:3. Setelah eluen terelusi hingga batas atas plat KLT, plat KLT disinari dengan UV
portable pada panjang gelombang 254 dan 366. Hasil noda dengan perbandingan
eluen terbaik akan dilanjutkan pada kromaografi kolom konvensional.
Proses pemisahan kromatografi kolom konvensional dilakukan dengan
mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan. Letakkan kolom pada penjepit statif
dan tutup keran kolom. Disiapkan silika gel ±10 gram, fraksi etil asetat kunyit
sebanyak 2 gram, dan eluen n-heksana dan etil asetat dengan perbandingan 8:2 dan
7:3 dan etil asetat:metanol dengan perbandingan 1:1. Dibuat imprek, yaitu campuran
fraksi dengan silika gel. Setelah seluruh bahan siap, dimasukkan sedikit kapas pada
bagian bawah kolom lalu dimasukkan eluen dengan perbandingan 8:2 hingga
melewati batas 10 cm. Dimasukkan silika gel kedalam kolom dan dimapatkan hingga
tidak terlihat keretakan. Setelah permukaan silika gel rata, dimasukkan imprek sedikit
demi sedikit dan diratakan kembali. Kemudian dimasukkan eluen secukupnya dan
dibuka keran dengan setengah lubangnya saja. Pelarut yang mengalir ditampung pada
botol vial. Kemudian eluen yang digunakan diganti secara bertahap dimulai dari non-
polar hingga polar. Botol vial yang telah berisi kromatogram di uapkan hingga tidak
terdapat lagi pelarut. Botol vial disusun sesuai dengan warna yang sama.

20
21
Bab IV Alat dan Bahan

IV. 1 Alat
Peralatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: labu refluks;
alat penggiling simplisia; seperangkat alat destilasi; labu bulat; heating mantle;
pompa vakum; oven; kompor listrik; timbangan analitik; spatula; labu ukur; vial;
gelas ukur; tabung reaksi; gelas kimia; batu didih; wadah penampung ekstrak
(mangkok); seperangkat alat vakum putar (Buchi); penampak bercak sinar UV
portable; pipa kapiler; chamber; kaca penutup; erlenmeyer; pipet ukur; propipet;
kolom; statif dan klem; dan alat kaca laboratotium lain pada umumnya.

IV. 2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah: rimpang kunyit
(Curcuma domestica Val.); metanol; etanol; etil asetat; n-butanol; n-heksana; air
suling; dan pelat silika gel 60 GF254 (Merck.).

22
Bab V Prosedur Percobaan

V. 1 Ekstraksi (Refluks)
a. Siapkan alat dan bahan
b. Rangkai alat kaca menjadi seperangkat alat ekstraksi secara refluks
c. Simplisia kering dipotong kecil-kecil, sehingga menjadi dalam bentuk haksel
d. Haksel simplisia dimasukkan kedalam labu alas bulat yang dirangkai beserta
batu didih
e. Masukkan pelarut yang sesuai
f. Nyalakan penangas, atur suhu 50℃
g. Biarkan selama sekitar 2-3 jam
h. Setelah itu, keluarkan pelarut dari dalam labu ukur yang tertampung
i. Uapkan larutan ekstrak dengan menggunakan evaporator atau waterbath
j. Ekstraksi dilakukan sebanyak 3 kali.
k. Hitung rendemen ekstrak.
V. 2 Fraksinasi
a. Ditimbang ekstrak kering sampel 3-5 gram,
b. Dimasukkan kedalam erlenmeyer, kemudian ditambahkan pelarut dimulai
dari pelarut non polar yaitu misalnya n-heksan, setelah itu diaduk
c. Yang larut n-heksan dipisahkan, dimasukkan kedalam gelas kimia, kemudian
yang larut n-heksan dipisahkan dengan endapan, kemudian larutan n-heksan
diuapkan hingga diperoleh fraksi ekstrak.
d. Selanjutnya residu yang tidak larut n-heksan ditambahkan kembali dengan
pelarut etil asetat, setelah itu diaduk.
e. Cara pada poin (c), (d) dilakukan hal yang sama.
f. Cara pada poin (e) dilakukan hal sama dengan mengganti pelarutnya yaitu
etanol.

V. 3 Kromatografi Lapis Tipis


a. Buat eluen masing-masing sebanyak 50 ml dengan prosedur sebagai berikut:
1) Hitung dan Ukur eluen; n-hexan/etil asetat dengan perbandingan, 6:4, 7:3,
8:2 dan 9:1;

23
2) Pada eluen n-hexan/etil asetat langsung dicampur sesuai dengan
perbandingannya masing-masing perlahan-lahan
b. Larutkan semua fraksi-fraksi ekstrak yang terdapat dalam botol vial dengan
kloroform/metanol dengan perbandingan 1:1 secukupnya hingga tercampur lalu
tutup dengan alumunium foil.
c. Potong plat KLT menjadi bagian-bagian kecil dengan panjang 7 cm dan lebar 2
cm.
d. Beri garis batas bawah 1 cm dan batas atas 0,5 cm dengan menggunakan pensil.
e. Lakukan penotolan larutan fraksi-fraksi dengan menggunakan pipa kapiler pada
batas bawah lempeng (dua buah totol yang berbeda sesuai dengan kedekatan
tingkat kepolarannya), diberi label.
g. Masukkan seluruh eluen kemasing-masing gelas bening sampai kurang dari 1
cm dari permukaan dalam gelas, diberi label.
h. Masukkan plat KLT yang telah ditotol ke setiap eluen yang mempunyai tingkat
kepolaran yang sama.
i. Amati kenaikan pelarut pada plat KLT dan jika telah sampai pada batas atas,
diangkat plat KLT.
j. Angin-anginkan plat KLT hingga kering lalu diamati spot warna yang timbul.
k. Amati plat KLT yang telah kering dibawah sinar UV 254, 366 nm dan sinar
tampak.

V. 4 Kromatografi Konvensional
a. Dipasang tegak lurus statif .
b. Dibuat absorben dengan mencampur silica gel halus, kemudian dilarutkan
dengan methanol.
c. Ditimbang ekstrak sebanyak 2 gram.
d. Dilarutkan dengan sedikit methanol.
e. Dimasukkan ke dalam kolom sedikit demi sedikit hingga masuk semua ekstrak.
f. Ditampung eluen yang keluar dengan menggunakan botol vial hingga tetesan
akhir.

V. 5 Kromatografi Lapis Tipis 2 Dimensi

24
Bab VI Pembahasan

VI. 1 Ekstraksi
Ekstraksi adalah teknik pemisahan suatu senyawa berdasarkan perbedaan
distribusi zat terlarut diantara dua pelarut yang saling bercampur. Pada umumnya zat
terlarut yang diekstrak bersifat tidak larut atau larut sedikit dalam suatu pelarut tetapi
mudah larut dengan pelarut lain. Metode ekstraksi yang tepat ditemukan oleh tekstur
kandungan air bahan-bahan yang akan diekstrak dan senyawa-senyawa yang akan
diisolasi (Harborne, 1996).
Ekstraksi dapat dilakukan dengan bermacam-macam metode, tergantung dari
tujuan ekstraksi, jenis pelarut yang digunakandan senyawa yang diinginkan.
Percobaan ekstraksi ini dilakukan dengan metode ekstraksi maserasi, refluks, dan
sokhlet. Pengumpulan sampel terdiri dari kunyit, daun sirsak, buah cabai, kulit
bawang merah, kulit jeruk dan biji alpukat. Sampel ini juga dipilih kualitas sampel
yang baik. Kemudian dilakukan sortasi basah. Sortasi basah dilakukan untuk
memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia
atau dengan kata lain dilakukan pencucian pada simplisia. Setelah itu dilakukan
pemotongan sampel yang bertujuan untuk mempercepat proses pengeringan sampel.
Setelah dipotong, sampel ditimbang untuk mengetahui berat basah sampel. Setelah
dipotong kemudian sampel di angin-anginkan sampai kering, untuk sampel yang
kandungan airnya cukup banyak dilakukan pemanasan dengan oven. Pengeringan
sampel ini tidak boleh dilakukan dibawah sinar matahari untuk menghindari rusaknya
senyawa-senyawa yang tidak tahan panas. Sampel yang sudah kering kemudian
dilakukan sortasi kering. Sortasi kering bertujuan untuk memisahkan benda-benda
asing dan pengotor-pengotor lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering.
Setelah disortasi, sampel sudah siap diekstraksi dan selanjutnya disebut dengan
simplisia.
Metode ekstraksi yang dilakukan pada percobaan ini seluruhnya mengunakan
pelarut metanol. Hal ini dikarenakan metanol sifatnya yang diketahui adalah sebagai
pelarut semipolar sehingga diharapkan dapat menarik semua senyawa metabolit
sekunder yang ada dalam simplisia. Senyawa non polar akan tertarik pada gugus
nonpolar pada methanol yaitu CH3-sementara polar akan tertarik pada gugus polar

25
pada metanolyaitu OH-. Metode ekstraksi pertama yaitu maserasi. Maserasi adalah
perendaman bahan alam yang dikeringkan (simplisia) dalam suatu pelarut. Metode ini
dapat menghasilkan ekstrak dalam jumlah banyak, serta terhindar dari perubahan
kimia senyawa-senyawa tertentu karena pemanasan (Pratiwi, 2009). Maserasi ini
dilakukan pada simplisia daun sirsak, buah cabai, kulit bawang merah, dan biji
alpukat. Maserasi dilakukan dengan merendam simplisia pada toples dengan pelarut
metanol sampai seluruh simplisia terendam. Sebelum direndam, terlebih dahulu
dilakukan pengecilan simplisia yang bertujuan untuk memperluas permukaan kontak
antara simplisia dengan pelarut agar pelarut dapat masuk dengan sempurna kedalam
sel simplisia dan menarik senyawa metabolit lebih baik. Setelah direndam, toples
ditutup rapat dan digojok. Perendaman pada pelarut bertujuan untuk menarik senyawa
metabolit yang terdapat pada simplisia tersebut. Prinsip pada metode maserasi ini
pelarut melakukan penetrasi kedalam sel simplisia dan senyawa akan terdifusi keluar
sel. Setelah terdifusi keluar sel senyawa akan tercampur kedalam pelarut sampai
tercapai keadaaan seimbang. Setiap 1x24 jam pelarut diganti dengan yang baru hingga
pelarut sudah terlihat bening atau tidak pekat lagi. Pergantian pelarut bertujuan untuk
menarik senyawa yang belum tertarik dengan pelarut yang sebelumnya. Pelarut yang
lama ditampung.
Metode ekstraksi selanjutnya yaitu refluks. Metode refluks merupakan metode
berkesinambungan dimana cairan penyari secara kontinu akan menyari zat aktif di
dalam simplisia. Cairan penyari dipanaskan sehingga menguap dan uap tersebut
dikondensasikan oleh pendingin balik, sehingga mengalami kondensasi menjadi
molekul-molekul cairan dan jatuh kembali ke dalam labu alas bulat sambal menyari
simplisia, proses ini berlangsung secara berkesinambungan dan dilakukan 3 kali
dalam waktu 4 jam (Adrian, 2000). Keuntungan metode refluks adalah pelarut yang
diperlukan lebih sedikit dan secara langsung diperoleh hasil yang lebih pekat dan juga
simplisia diekstraksi oleh pelarut yang murni, sehingga dapat menyari zat aktif lebih
banyak.
Prinsip kerja metode ini yaitu pada rangkaian refluks ini terjadi empat proses,
yaitu proses heating, evaporating, kondensasi dan cooling. Heatingterjadi pada saat
feed dipanaskan di labu didih, evaporating (penguapan) terjadi ketika feed mencapai
titik didih dan berubah fase menjadi uap yang kemudian uap tersebut masuk ke
kondensor dalam. Cooling terjadi di dalam cooler, di dalam coolerkita masukkan batu
es dan air, sehingga ketikamenghidupkan pompa, air dingin akan mengalir dari bawah

26
menuju kondensor luar. Proses yang terakhir adalah kondensasi (pengembunan),
proses ini terjadi di kondensor, jadi terjadi perbedaan suhu antara kondensor dalam
yang berisi uap panas dengan kondensor luar yang berisikan air dingin, hal ini
menyebabkan penurunan suhu dan perubahan fase dari steam tersebut untuk menjadi
liquid kembali. Simplisia yang biasa diekstraksi dengan cara ini adalah simplisia yang
mempunyai komponen kimia yang tahan terhadap pemanasan dan mempunyai tekstur
yang keras seperti akar, batang, buah/biji dan herba (Adrian, 2000).
Pada percobaan yang dilakukan simplisia yang digunakan adalah kunyit. Serbuk
simplisia atau bahan yang akan diekstraksi secara refluks ditimbang 150 gram
kemudian dimasukkan kedalam labu alas bulat dan ditambahkan pelarut organik
metanol sampai serbuk simplisia terendam kurang lebih 2 cm diatas permukaan
simplisia, atau 2/3 dari volume labu kemudian labu alas bulat dipasang kuat pada
statif pada water bath atau heating mantel lalu kondensor dipasang pada labu alas
bulat yang dikuatkan dengan klem pada statif. Aliran air dan pemanasan (water bath)
dijalankan sesuai dengan suhu pelarut yang digunakan. Setelah 3 jam dilakukan
penyaringan filtratnya ditampung dalam wadah penampung dan ampasnya ditambah
lagi pelarut dan dikerjakan seperti semula, ekstraksi dilakukan sebanyak 3 kali
pengulangan. Filtrat yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan dengan alat
rotavapor, kemudian dilakukan pengujian selanjutnya.
Metode ekstraksi selanjutnya yaitu soxhletasi. Soxhletasi merupakan penyarian
simplisia secara berkesinambungan, cairan penyari dipanaskan hingga menguap, uap
cairan penyari terkondensasi menjadi molekul cairan oleh pendingin balik dan turun
menyari simplisia di dalam klonsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu
alas bulat setelah melewati pipa siphon, proses ini berlangsung hingga proses
penyarian zat aktif sempurna yang ditandai dengan beningnya cairan penyari yang
melalui pipa siphon tersebut atau jika diidentifikasi dengan KLT tidak memberikan
noda lagi (Adrian, 2000). Keuntungan penggunaan metode soxhletasi yaitu cairan
penyari yang diperlukan lebih sedikit dan lebih pekat. Penyarian dapat diteruskan
sesuai dengan keperluan, tanpa menambah volume cairan penyari. Sedangkan
kerugiannya yaitu larutan dipanaskan terus-menerus, sehingga zat aktif yang tidak
tahan pemanasan kurang cocok (Adrian, 2000). Simplisia kulit jeruk yang akan
diekstraksi terlebih dahulu diserbukkan dan ditimbang 200 gram kemudian
dimasukkan ke dalam klonsong yang telah dilapisi kertas saring sedemikian rupa
(tinggi sampel dalam klonsong tidak boleh lebih dari pipa sifon). Selanjutnya labu

27
alas bulat diisi dengan cairan penyari metanol kemudian ditempatkan di atas water
bath atau heating mantel dan diklem dengan kuat kemudian klonsong yang telah diisi
sampel dipasang pada labu alas bulat yang dikuatkan dengan klem dan cairan penyari
ditambahkan untuk membasahkan sampel yang ada dalam klonsong (diusahakan tidak
terjadi sirkulasi). Setelah itu kondensor dipasang tegak lurus dan diklem pada statif
dengan kuat. Aliran air dan pemanas dilanjutkan hingga terjadi proses ekstraksi zat
aktif sampai sempurna yang pada percobaan ini dilakukan sampai 5 siklus. Ekstrak
yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan pada alat rotavapor.
Perbedaan antara metode refluks dan soxhletasi yaitu pada pergantian pelarut
dimana pada refluks pelarut harus diganti secara berkala 1x1 jam sedangkan pada
soxhlet tidak dilakukan penggantian pelarut. Pada metode soxhletasi, tidak perlu
dilakukan penggantian pelarut karena pelarut dan simplisia tidak berada dalam satu
wadah, pelarut akan menguap dan turun kembali setelah terkondensasi menjadi
seperti pelarut baru di labu alas bulat. Sedangkan, pada metode refluks, harus
dilakukan pergantian pelarut karena pelarut dan ekstrak berada dalam satu wadah
sehingga pelarut akan mudah jenuh dan tidak dapat menarik senyawa aktif dari
simplisia lagi.
Setelah seluruh simplisia selesai diekstraksi, ekstrak dipekatkan dengan alat
rotary evaporator. Rotary Evaporator atau Rotary Vacuum Evaporator merupakan
alat yang menggunakan prinsip vakum distilasi. Prinsip utama alat ini terletak pada
penurunan tekanan sehingga pelarut dapat menguap pada suhu di bawah titik
didihnya. Penguapan dapat terjadi karena adanya pemanasan yang dipercepat oleh
putaran dari labu alas bulat dibantu dengan penurunan tekanan. Dengan bantuan
pompa vakum, uap larutan penyari akan naik ke kondensor dan mengalami
kondensasi menjadi molekul-molekul cairan pelarut murni yang ditampung dalam
labu alas bulat penampung. Sampel atau ekstrak cair yang akan diuapkan dimasukkan
ke dalam labu alas bulat dengan volume 2/3 bagian dari volume labu alas bulat yang
digunakan, kemudian waterbath dipanaskan sesuai dengan suhu pelarut yang
digunakan. Setelah suhu tercapai, labu alas bulat yang telah berisi sampel atau ekstrak
cair dipasang dengan kuat pada ujung rotor yang menghubungkan kondensor. Aliran
air pendingin dan pompa vakum dijalankan, kemudian tombol rotor diputar dengan
kecepatan tertentu (5-8putaran). Proses penguapan ini dilakukan hingga diperoleh
ekstrak kental yang ditandai dengan terbentuknya gelembung-gelembung udara yang
pecah-pecah pada permukaan ekstrak atau jika sudah tidak ada lagi pelarut yang

28
menetes pada labu alasbulat penampung. Setelah proses penguapan selesai, rotary
evaporator dihentikan dengan cara terlebih dahulu dilakukan pemutaran tombol rotor
kearah nol (menghentikan putaran rotor) dan temperatur pada waterbath di-nol-kan.
Pompa vakum dihentikan, kemudian labu alas bulat dikeluarkan setelah sebelumnya
kran pengatur tekanan pada ujung kondensor dibuka. Kemudian ekstrak yang telah
pekat dimasukkan kedalam mangkok dan diangin-anginkan yang bertujuan untuk
menguapkan pelarut yang tersisa. Setelah ekstrak menjadi kering (padat) atau kental
(semipadat), ekstrak ditimbang untuk mengetahui hasil rendemen yang didapat.
Rendemen merupakan perbandingan antara ekstrak yang diperoleh dengan
simplisia awal. Rendemen dinyatakan dalam persen. Perhitungan rendemen dilakukan
bertujuan untuk mengetahui metode ekstraksi apa yang paling baik untuk simplisia
tersebut dan untuk mengetahui baik atau tidak cara pengerjaan ekstraksi yang
dilakukan.. Hasil rendemen untuk masing-masing sampel yaitu untuk buah cabai 22,8
%; kulit jeruk 10 %; kunyit 19,9 %; kulit bawang merah 4,8%; daun sirsak 6,5 %; dan
biji alpukat 16,7 %. Jumlah bahan dan jumlah pelarut yang digunakan dalam proses
ekstraksi dapat mempengaruhi rendemen ekstrak yang dihasilkan. Semakin tinggi
jumlah pelarut yang digunakan, maka kemampuan pelarut untuk mengekstrak suatu
bahan semakin tinggi karena kontak antara bahan dengan pelarut semakin besar.
Tujuan dilakukan ekstraksi dalam dunia farmasi yaitu untuk mendapatkan
senyawa-senyawa baru ataupun yang telah ditemukan sebelumnya dari suatu simplisia
untuk dikembangkan pada tahap selanjutnya. Senyawa-senyawa yang di isolasi
tersebut memiliki efek terapeutik yang baik untuk kesehatan manusia.

29
VI. 2 Fraksinasi
Fraksinasi merupakan proses pemisahan antara zat cair dengan zat cair.
Fraksinasi dilakukan secara bertingkat berdasarkan tingkat kepolarannya yaitu dari
non polar, semi polar, dan polar. Senyawa yang memiliki sifat non polar akan larut
dalam pelarut non polar, yang semi polar akan larut dalam pelarut semi polar, dan
yang bersifat polar akan larut kedalam pelarut polar (Harborne, 1987).
Fraksinasi nmerupakan proses lanjutan dari tahap ekstraksi, yaitu memisahkan
komponen kimia dari ekstrak yang diperoleh pada percobaan sebelumnya berdasarkan
tingkat kepolaran senyawa yang terkandung didalam ekstrak tersebut. Pada percobaan
ini dilakukan tiga metode fraksinasi, meliputi fraksinasi corong pisah (ekstraksi cair-
cair) ,fraksinasi pengendapan (ekstraksi cair-padat), fraksinasi kromatografi. Namun
metode yang benar-benar dilakukan hanya fraksinasi cair-cair dan fraksinasi cair
padat, sedangkan fraksinasi kromatografi hanya dilakukan dengan simulasi.
Mula-mula, untuk menentukan suatu ekstrak dapat difraksinasi dengan metode
cair-cair atau pun padat cair,ekstrak tersebut diambil sedikit kemudian dicoba
dilarutkan dengan air. Jika ekstrak tersebut larut dalam air,maka dapat dilakukan
fraksinasi dengan metode cair-cair. Namun, apabila ekstrak tidak larut dalam air maka
metode yang digunakan adalah metode cair-padat.
Pada ekstraksi cair-cair, zat yang diekstraksi terdapat di dalam campuran yang
berbentuk cair. Ekstraksi cair-cair sering juga disebut ekstraksi pelarut, banyak
dilakukan untuk memisahkan zat seperti iod, atau logam-logam tertentu dalam larutan
air (Yazid, 2005). Salah satu fasenya seringkali berupa air dan fase yang lain pelarut
organik seperti kloroform atau petroleum eter. Senyawa-senyawa yang bersifat polar
akan ditemukan didalam fase air, sedangkan senyawa-senyawa yang bersifat
hidrofobik akan masuk pada pelarut anorganik. Analit yang tereksasi kedalam pelarut
organik akan mudah diperoleh kembali dengan cara penguapan pelarut, sedangkan
analit yang masuk kedalam fase air seringkali diinjeksikan secara langsung kedalam
kolom ( Rohman, 2009).
Ekstraksi cair-cair dilakukan dengan cara pemisahan komponen kimia diantara
2 fase pelarut yang tidak saling bercampur. Dimana sebagian komponen larut pada
fase pertama, dan sebagian larut pada fase kedua. Lalu kedua fase yang mengandung
zat terdispersi dikocok, dan didiamkan sampai terjadi pemisahan sempurna dan
terbentuk dua lapisan. Yakni fase cair dan komponen kimia yang terpisah (Sudjadi,
1986).

30
Partisi ekstrak (ekstraksi cair-cair) adalah proses pemisahan zat terlarut di dalam
dua macam zat pelarut yang tidak saling bercampur, dengan kata lain perbandingan
konsentrasi zat terlarut dalam pelarut organik dan pelarut air. Hal tersebut
memungkinkan karena adanya sifat senyawa yang dapat larut dalam air dan ada pula
yang dapat terlarut dalam pelarut organik. Sedangkan ekstraksi padat-cair adalah
proses pemisahan untuk memperoleh komponen zat terlarut dari campurannya dalam
padatan dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Pada umumnya metode ini
digunakan untuk sampel yang tidak larut dalam air. Tujuan dilakukannya partisi yaitu
untuk memisahkan komponen kimia dari sampel berdasarkan tingkat kepolarannya.
Proses partisi sebenarnya dapat dilakukan dengan partisi cair-cair ataupun partisi
padatcair, namun pada praktikum kali ini hanya dilakukan partisi cair-cair. Prinsip
dari proses partisi yaitu digunakannya dua pelarut yangtidak saling bercampur untuk
melarutkan zat-zat yang ada dalam ekstrak. Ekstrak yang digunakan dalam percobaan
ini adalah ekstrak daun Pepaya (Carica papaya). Pelarut yang digunakan yaitu pelarut
yang bersifat polar dan nonpolar.
Pada pengerjaan awal, partisi dilakukan dengan menggunakan pelarut non
polar (n-Heksan), hal ini disebabkan karena jika pada pengerjaan awal digunakan
pelarut polar, maka dikhawatirkan adanya senyawa nonpolar yang ikut terlarut,
sebagaimana kita ketahui bahwa pelarut polar, selain mampu melarutkan senyawa
yang bersifat polar juga mampu melarutkan senyawa yang bersifat nonpolar. Tahap-
tahap dalam melakukan proses partisi yaitu pertama-tama ekstrak metanol dilarutkan
dalam air. Setelah larut, kemudian dimasukkan ke dalam corong pisah dan
ditambahkan 40 ml n-heksana dan dikocok pada satu arah hingga homogen. Sesekali
membuka kerancorong pisah untuk mengeluarkan udara dari hasil pengocokan.
Dipisahkan hingga terlihat adanya dua lapisan, dimana lapisan atas adalah lapisan n-
heksan, sedangkan lapisan bawah adalah lapisan air. Hal ini disebabkan karena air
memiliki massa jenis yang lebih besar daripada n-heksan. Selanjutnya untuk lapisan
ekstrak n-heksan ditampung dan diuapkan sehingga di dapatkan ekstrak kering.
Sedangkan untuk lapisan air, dimasukkan ke dalam corong pisah dan ditambahkan
lagi n-heksan dan dikocok hingga homogen, prosedur ini dilakukan sama halnya pada
prosedur awal, dan dilakukan terus-menerus hingga lapisan atas kelihatan jernih.
Setelah dipartisi dengan menggunakan n-heksan, kemudian dilanjutkan dengan
menggunakan pelarut n-butanol jenuh air, dengan melakukan proses yang sama
dengan penggunaan pelarut n-heksan.

31
Penggunaan n-butanol pada partisi cair yaitu sebagai pelarut polar, pemilihan
pelarut ini didasarkan bahwa n-butanol dapat dijenuhkan dengan air tetapi tetap tidak
bercampur dengan air. Adapun perbandingan dalam menjenuhkan n-butanol yaitu
60:40 (60 ml n-Butanol dalam 40 ml aquadest), digunakan n-butanol lebih banyak
dari pada airnya, karena yang akan dijenuhkan adalah n-butanol, sedangkan air hanya
sebagai penjenuh saja.
Adapun hasil yang diperoleh, yaitu ekstrak n-heksan yang diperoleh adalah 1
gram dengan persen rendamennya adalah 31,91%. Sedangkan ekstrak n-butanol yang
diperoleh adalah 0,421 gram dengan persen rendamennya adalah 24,1%.
Metode fraksinasi padat-cair dimulai dengan menyiapkan ekstrak kental hasil
percobaan sebelumnya. Mula-mula ditimbang ekstrak kunyit kental sebanyak 10 g di
gelas kimia. Larutkan dengan sedikit air di gelas kimia, sekitar 5 mL untuk
mengetahui apakah ekstrak yang digunakan dapat larut atau tidak di dalam air.
Berdasarkan hasil percobaan, ekstrak kunyit tidak dapat larut di dalam air, karena
itulah metode yang digunakan adalah fraksinasi padat cair dengan menggunakan
pelarut secara berturut-turut dari yang paling non polar hingga polar, yakni n-heksan,
etil asetat, dan n-butanol. Pelarut pertama yang digunakan adalah n-heksan,
dimasukkan ekstrak tadi ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 100 mL pelarut n-
heksan kemudian ditutup menggunakan plastik wrap agar tidak tumpah, lalu dikocok
selama 10 menit untuk melarutkan senyawa-senyawa ekstrak yang non polar. Setelah
10 menit, disaring ekstrak n-heksan menggunakan corong dan kertas saring kaca ke
dalam mangkok kosong yang telah ditimbang sebelumnya untuk memisahkan antara
ekstrak yang tidak larut dengan yang dapat larut di dalam n-heksan. Ekstrak yang
larut dalam n-heksan di dalam mangkok tersebut ditutup dengan plastik wrap untuk
mencegah tumbuhnya jamur, namun tetap diberi lubang-lubang kecil di plastik wrapa
agar n-heksan dapat menguap sehingga dihasilkan hasil fraksi ekstrak n-heksan
setelah beberapa hari. Berdasarkan percobaan yang dilakukan, ekstrak yang larut
dalam n-heksan berwarna kuning cerah.
Ekstrak yang tidak larut di dalam n-heksan kemudian ditambahkan 100 mL etil
asetat sebagai pelarut yang lebih polar dari n-heksan. Selanjutnya dilakukan langkah
yang sama seperti saat menggunakan pelarut n-heksan. Hasilnya, ekstrak yang larut di
dalam etil asetat berwarna coklat.

32
Ekstrak yang tidak larut di dalam etil asetat kemudian ditambahkan 100 mL n-
butanol sebagai pelarut yang lebih polar dari etil asetat. Selanjutnya dilakukan
langkah yang sama seperti saat menggunakan pelarut n-heksan. Hasilnya, ekstrak
yang larut di dalam n-butanol berwarna coklat tua dan semua ekstrak telah larut di
dalam pelarut ini.
Pelarut yang digunakan dimulai dari pelarut non polar agar senyawa yang non
polar dapat tertarik terlebih dahulu kemudian digunakan pelarut yang sifatnya lebih
polar sehingga senyawa yang tidak dapat larut didalam pelarut nonpolar dapat tertarik
hingga akhirnya dapat dipisahkan antara senyawa yang polar dan non polar agar
mudah diiendentifikasi.
Metode fraksinasi corong pisah atau ekstraksi cair-cair dimulai dengan
menimbang ekstrak kering sampel sebanyak kurang lebih 3 sampai 5 g kemudian
ditambah dengan 50 ml air dilarutkan kemudian disaring menggunakan kertas saring
selanjutnya campuran air dan ekstrak dimasukkan dalam corong pisah dengan keran
dalam keadaan tertutup kemudian ditambahkan dengan n-heksan 50 ml ditutup
kemudian di gocok untuk melarutkan ekstrak sambil sesekali membuka kran dalam
keaadaan terbalik untuk membuang gas yang dihasilkan dari pengocokkan karena
akan menganggu pemisahan antara air dan n-heksan selanjutnya didiamkan maka
akan terbentuk dua lapisan, air akan berada dibawah larutan n-heksan karena masa
jenis air lebih besar dari n-heksan kemudian ekstrak air yang berada dibawah corong
pisah tersebut dimasukkan kedalam labu erlenmeyer dengan membuka kran hingga
batas antara air dan n-heksan. Sedangkan ekstrak n-heksan dimasukkan dalam
erlenmeyer.

VI. 3 Kromatografi Lapis Tipis


Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan salah satu analisis kualitatif dari
suatu sampel yang ingin dideteksi dengan memisahkan komponen-komponen sampel
berdasarkan perbedaan kepolarannya. Kromatografi juga merupakan analisis cepat
yang memerlukan bahan sangat sedikit, baik penyerap maupun cuplikannya. Fase
diam yang digunakan dalam KLT merupakan penyerap berukuran kecil dengan
diameter partikel antara 10-30 µm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam
dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam
hal efisiensi dan resolusinya. Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi
lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar.

33
Silika gel merupakan fase diam yang sering digunakan pada kromatografi lapis
tipis. Dalam perdagangan dijual dengan variasi ukuran (diameter) 10-40µm. Makin
kecil diameter akan makin lambat kecepatan alir fase geraknya dengan demikian
mempengaruhi kualitas pemisahan. Luas permukaan silica gel bervariasi dari 300-
1000 m2/g. Bersifat higroskopis, pada kelembaban relatif 45-75% dapat mengikat air
7-20%. Silika gel dengan pengikat yang pada umumnya digunakan pengikat gypsum,
(CaSO4 5-15%). Jenis ini diberi nama Silika gel G. Ada juga menggunakan pengikat
pati (starch) dan dikenal Silika gel S, penggunaan pati sebagai pengikat mengganggu
penggunaan asam sulfat sebagai pereaksi penentuan bercak. Silika gel dengan
pengikat dan indicator flouresensi, jenis silica gel ini sama seperti silika gel diatas
dengan tambahan zat berfluoresensi bila diperiksa dibawah lampu UV A, panjang
atau pendek. Sebagai indicator digunakan timah kadmium sulfida atau mangan-timah
silikat. Jenis ini disebut Silika gel GF atau Silika gel GF 254 (berflouresensi pada
panjang gelombang (λ) 254 nm).
Kromatografi lapis tipis dilakukan dengan tepi bagian bawah lempeng tipis
yang telah ditotoli sampel dicelupkan kedalam fase gerak kurang lebih 0,5-1 cm.
Tinggi fase gerak dalam bejana harus dibawah lempeng yang telah berisi totolan
sampel. Untuk melakukan penjenuhan fase gerak, biasanya bejana dilapisi dengan
kertas saring. Jika fase gerak telah mencapai ujung dari kertas saring, maka dapat
dikatakan bahwa fase gerak telah jenuh.
Pada pengujian ini, fraksi yang digunakan adalah etil asetat dan n-heksana dan
eluen yang digunakan dengan perbandingan yaitu n-heksana dan etil asetat 9:1 sampai
7:3. Fraksi kunyit ditambah dengan metanol diaduk hingga homogen. Penambahan
metanol ini bertujuan untuk mengencerkan fraksi karena apabila fraksi yang ditotol
terlalu pekat, pemisahan noda tidak terlalu terlihat. Eluen 9:1 dimasukkan kedalam
chamber pertama dan eluen dengan perbandingan 8:2 kedalam chamber kedua dan
dimasukkan kertas saring untuk menjenuhkan eluen. Eluen harus dijenuhkan agar
dapat menyerap ke fase diam lebih cepat dan lebih baik. Chamber yang berisi eluen
harus tertutup rapat dengan kaca agar tidak terkontaminasi dengan udara dan agar
eluen tidak habis menguap. Sebelum plat KLT digunakan terlebih dahulu idaktifkan
dengan dipanaskan didalam oven dengan suhu 150ᴼC selama 15 menit. Pengaktifan
ini agar plat KLT dapat berpendar dengan baik ketika diberi sinar UV. Plat KLT yang
sudah dipotong dan digaris ditotolkan dengan pipa kapiler yang berisi fraksi kunyit.
Dimasukkan kedalam chamber yang berisi eluen sampai batas atas plat KLT. Eluen

34
yang digunakan terlebih dahulu dengan perbandingan 9:1 selanjutnya 8:2 dan terakhir
7:3. Pemilihan eluen ini dimulai dari yang terendah kepolarannya menuju tertinggi
tingkat kepolarannya. Eluen yang baik adalah eluen yang sedikit lebih polar
dibandingkan senyawa pada fraksi tersebut. Kemudian jika eluen sudah sampai
batasnya dikelurkan dan disinar UV 254 dan sinar UV 366. Ketika disinari dengan
sinar UV 254 nm plat alumina akan berpendar (berflouresensi) dan noda akan
berwarna gelap, sedangkan pada sinar UV 366 nm noda yang berpendar
(berflouresensi) dan plat KLT akan berwarna gelap. Hal ini dikarenakan adanya daya
interaksi antara sinar UV 254 dengan indikator flouresensi yang ada dilempeng dan
adanya interaksi antara sinar UV 366 dengan gugus kromofor yang terikat oleh
auksokrom pada noda.
Berdasarkan hasil pengamatan pada fraksi kunyit etil asetat dan n-heksana
dengan perbandingan eluen n-heksana dan etil asetat 9:1 noda tidak tampak dan tidak
bergerak keatas namun tetap berada pada batas bawah lempeng yang menandakan
eluen masih kurang polar dibandingkan dengan senyawa yang ada. Selanjutnya
penampakan noda pada plat KLT yang dimasukkan kedalam eluen 8:2 noda masih
kurang naik atau kurang terabsorbsi pada plat silika. Penampakan noda yang paling
baik pada eluen 7:3 dengan noda yang naik cukup tinggi dan sedikit terlihat
pemisahan noda walaupun masih terdapat ekor. Setelah itu dihitung nilai Rf dengan
membandingkan jarak yang ditempuh noda dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut.
Pada eluen 9:1, noda tidak terelusi dengan baik sehingga nilai Rf yang dihasilkan pun
sangat kecil yaitu 0,15 untuk fraksi etil asetat dan n-heksana. Kemudian untuk euen
8:2, terelusi sedikit sehingga menghasilkan nilai Rf 0,23 untuk fraksi n-heksana dan
0,30 untuk fraksi etil asetat. Eluen terbaik yaitu dengan perbandingan 7:3 nilai Rf-nya
adalah 1 dan 0,84 untuk fraksi n-heksana dan etil asetat berturut-turut. Semakin besar
nilai Rf dari sampel maka semakin besar pula jarak bergeraknya senyawa tersebut
pada plat kromatografi lapis tipis. Saat membandingkan dua sampel yang berbeda di
bawah kondisi kromatografi yang sama, nilai Rf akan besar bila senyawa tersebut
kurang polar dan berinteraksi dengan adsorbent polar dari plat kromatografi lapis
tipis.
Pengujian dengan kromatografi lapis tipis ini bertujuan untuk mengetahui eluen
terbaik untuk dilanjutkan pada tahap selanjutnya yaitu kromatografi kolom
konvensional. Selain untuk mengetahui eluen yang terbaik, dengan kromatigrafi lapis
tipis ini dapat mengetahui baik atau tidaknya pemisahan (fraksinasi) yang dilakukan

35
dan untuk mengetahui berapa jenis senyawa yang terdapat dalam fraksi yang ada.
Senyawa-senyawa tersebut dapat terlihat pada kromatotron yang baik dengan noda-
noda yang terpisah dan memiliki warna yang berbeda ketika diberi pereaksi semprot.
Namun, pereaksi semprot ini tidak dilakukan pada saat praktikum dikarenakan
keterbatasan waktu.
Bidang farmasi, kromatografi lapis tipis sangat memberikan banyak manfaat di
berbagai penelitian. Terlebih lagi dunia kerja di bidang farmasi sangat luas, tidak
hanya obat-obatan, makanan, minuman, serta kosmetik pun menjadi tanggung jawab
seorang farmasis. Sebagai contoh dalam pengujian kandungan metabolit sekunder
dalam suatu tanaman obat.

VI. 4 Kromatografi Konvensional


Kromatografi kolom merupakan metode kromatografi klasik yang masih banyak
digunakan. Kromatografi kolom digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa
dalam jumlah yang banyak berdasarkan adsorpsi dan partisi. Kemasan adsorben yang
sering digunakan adalah silika gel-60, kieselgur, Al2O3, Diaion (Hargono,1986).
Kromatografi kolom konvensional adalah metode kromatografi klasik yang
sampai saat ini masih banyak digunakan. Kolom konvensional digunakan untuk
memisahkan senyawa-senyawa dalam jumlah banyak. Prinsip dari kromatografi
kolom jenis ini adalah kecendrungan komponen kimia untuk terdistribusi ke dalam
fase diam atau fase gerak dengan proses elusi berdasarkan gaya gravitasi (Raymond,
2006).
Keuntungan kromatografi kolom yaitu dapat digunakan untuk analisis dan
aplikasi preparative, digunakan unruk menentukan jumlah komponen campuran
digunakan untuk memisahkan dan purifikasi substansi. Kerugian kromatografi kolom
yaitu untuk mempersiapkan kolom dibutuhkan kemampuan teknik dan manual,
metode ini sangat membutuhkan waktu yang lama (time consuming) (Rahman, 2009).
Cara pembuatan kolom konvensional ada dua macam yaitu cara kering yaitu
silika gel dimasukkan ke dalam kolom yang telah disumbat kapas kemudian
ditambahkan cairan pengelusi (eluen), sedangkan cara basah yaitu silika gel terlebih
dahulu disuspensikan dengan cairan pengelusi yang akan digunakan kemudian
dimasukkan kedalam kolom melalui dinding kolom secara kontinyu sedikit demi
sedikit hingga masuk semua, sambil kran kolom dibuka. Eluen dialirkan hingga silika
gel mapat, setelah silika gel mapat eluen dibiarkan mengalir sampai batas adsorben

36
kemudian kran ditutup dan sampel dimasukkan yang terlebih dahulu dilarutkan dalam
eluen sampai diperoleh kelarutan yang spesifik. Kemudian sampel dipipet dan
dimasukkan ke dalam kolom melalui dinding kolom sedikit demi sedikit hingga
masuk semua, dan kran dibuka dan diatur tetesannya, serta cairan pengelusi
ditambahkan. Tetesan yang keluar ditampung sebagai fraksi-fraksi (Hargono, 1986).
Kolom dapat dibuat dari berbagai jenis material, sepert stainless steel,
aluminium, tembaga, gelas dan paduan silika. Sebagian besar sistem kolom modern
terbuat dari gelas atau paduan silika. Kolom konvensional dibuat dari material
pendukung yang dilapisi fase diam dari berbagai pembebanan yang dikemas di dalam
kolom. Kolom kapiler terdiri dari tabung kapiler panjang yang didalamnya dilapisi
dengan fase diam (fase diam dapat juga direkatkan langsung pada permukaan silika).
Sebagian besar kolom kapiler terbuat dari paduan silika yang dilapisi polimer di
bagian luarnya. Paduan silika sangat mudah pecah sedangkan lapisan polimer tersebut
bertindak sebagai pelindungnya (Seno, 1997).
Prinsip kerja kromatografi kolom adalah dengan adanya perbedaan daya serap
dari masing-masing komponen, campuran yang akan diuji, dilarutkan dalam sedikit
pelarut lalu di masukan lewat puncak kolom dan dibiarkan mengalir kedalam zat
menyerap. Senyawa yang lebih polar akan terserap lebih kuat sehingga turun lebih
lambat dari senyawa non polar terserap lebih lemah dan turun lebih cepat. Zat yang
diserap dari larutan secara sempurna oleh bahan penyerap berupa pita sempit pada
kolom. Pelarut lebih lanjut dengan tanpa tekanan udara masin-masing zat akan
bergerak turun dengan kecepatan khusus sehingga terjadi pemisahan dalam kolom
(Seno, 1997).
Pengerjaan pertama, alat dan bahan yang akan digunakan siapkan agar dapat
meminimalisir waktu dan memperlancar proses pengerjaan. Selanjutnya penyiapan
pelarut yaitu eluen etil asetat dan heksan dengan perbandingan 8:2. Dimana
seharusnya pelarut yang digunakan dari tingkat kepolaran terendah hingga yang
paling polar yaitu dari non polar hingga yang paling polar. Hal ini dilakukan agar
dapat mengetahui pada tingkat kepolaran berapa senyawa atau komponen kimia
sampel dapat membentuk fraksi yang baik atau terelusi dengan baik. Namun untuk
meminimalkan waktu pengerjaan digunakan eluen terbaik pada pengujian KLT.
Selanjutnya kolom dipasang pada statif yang sebelumnya telah dibersihkan
menggunakan pelarut n-heksan, agar meminimalkan kontaminasi kolom dari pelarut
dan bahan-bahan lain yang dapat mengganggu aktivitas dari pemisahan komponen

37
kimia sampel. Kemudian diisi dasar kolom dengan kapas, dimasukkan eluen
secukupnya dan ditambah silika dalam keadaan kering hingga tinggi silica mencapai
±10 cm, dimampatkan kemudian ditambahkan lagi pelarut hingga melewati batas
silica gel. Silica gel berfungsi sebagai fase diam yang menyerap atau mengabsorbsi
komponen kimia dari sampel. Kemudian dibuka kran hingga eluen keluar semua, agar
dapat memampatkan kapas dan absorben dan untuk memaksimalkan penyerapannya.
Selanjutnya dibuat campuran 2 gram fraksi etil asetat kunyit dengan 2 gram
silica gel dimana campuran ini disebut dengan imprek. Digerus dengan mortir
campuran fraksi dan silica hingga berbentuk seperti serbuk. Setelah itu dimasukkan
imprek kedalam kolom dan diratakan dengan cara diketuk-ketuk bagian luar kolom
agar tidak terjadi keretakan. Kemudian ditambahkan dengan eluen hingga ekstrak
terendam agar dapat berinteraksi antara sampel dan pereaksi sehingga senyawa dapat
tertarik oleh tingkat kepolaran dari pelarut yang berbeda-beda. Dibuka krannya dan
ditampung fraksi didalam vial 1 hingga seterusnya agar dapat diamati dengan jelas
dan tepat pada vial keberapa komponen sampel terelusi. Kemudian dilanjutkan
dengan pelarut yang lainnya hingga mencapai vial ke 100 dan diamati untuk
mengetahui dan membandingkan pada tingkat kepolaran berapa komponen kimia atau
senyawa aktif dapat terelusi dengan baik. Dengan menggunakan metode kromatografi
kolom konvensional, dimana pemisahan senyawa dilakukan dengan cepat pada
sampel ekstrak kunyit dalam jumlah besar yaitu menggunakan 87 vial sebagai wadah
untuk menampung fraksi yang terbentuk.
Pada praktikum ini proses pengemasan silica dibuat dalam cara basah karena
cara basah lebih efektif dibandingkan cara kering dalam pengemasan silica karena
silica dilarutkan dengan eluen terlebih dahulu hingga homogen sehingga proses untuk
ekstrak melewati fase diam cepat dan pemisahannya lebih baik. Eluen dialirkan untuk
pemisahan komponen dengan membuka keran secara setengah penuh. Aliran eluen
diatur agar tidak terlalu cepat agar komponen dapat terpisah. Alirannya pun
diusahakan tidak terlalu lambat agar proses tidak terlalu lama. Eluen mengalir
mengelusi sampel menyusuri fase diam di sepanjang kolom dengan memanfaatkan
gaya gravitasi.
Pada proses isolasi, kolom yang telah dirangkai pada statif dan dimasukkan
eluen, lalu silica gek kemudian fraksi kunyit dimasukkan kedalam kolom. Lalu
pelarut n-heksan : etil asetat dimasukkan ke dalam kolom mulai dari kepolaran rendah
hingga kepolaran tinggi (8:2 , 7:3), etil : metanol (1:1) dibilas dengan metanol.

38
Kemudian hasil isolasi ditampung pada masing-masing vial yang telah dikalibrasi
volume 5mL. Diamati warna yang dihasilkan dan dipisahkan sesuai perbandingan
eluen yang digunakan.
Hasil kromatogram yang didapat yaitu untuk vial 1-10 berwarna bening yang
mengindikasikan pelarut saja yang berisi. Vial 11-24 berwarna kuning bening. Vial
25- 48 berwarna kuning agak pekat. Vial 49-51 berwarna kuning pekat. Vial 52
berwarna orange kekuningan. Vial 53-62 berwarna orange kecoklatan. Dan vial 63-87
berwarna kuning kembali. Perbedaan warna ini kemungkinan mmenunjukkan
perbedaan senyawa yang terkandung pada setiap vial.
Tujuan dilakukannya kromatografi kolom konvensional untuk memisahkan
senyawa berdasarkan kepolaran senyawanya. Selain itu untuk mendapatkan senyawa
murni dari suatu fraksi. alam bidang bioteknologi, kromatografi mempunyai peranan
yang sangat besar. Misalnya dalam penentuan, baik kualitatif maupun kuantitatif,
senyawa dalam protein. Protein sering dipilih karena ia sering menjadi obyek molekul
yang harus di-purified (dimurnikan) terutama untuk keperluan dalam bio-farmasi.
Kromatografi juga bisa diaplikasikan dalam pemisahan molekul-molekul penting
seperti asam nukleat, karbohidrat, lemak, vitamin dan molekul penting lainnya.
Dengan data-data yang didapatkan dengan menggunakan kromatografi ini,
selanjutnya sebuah produk obat-obatan dapat ditingkatkan mutunya, dapat dipakai
sebagai data awal untuk menghasilkan jenis obat baru, atau dapat pula dipakai untuk
mengontrol kondisi obat tersebut sehingga bisa bertahan lama.

VI. 5 Kromatografi Lapis Tipis 2 Dimensi


(…………………………………………………………………………………………
…………………..
…………………………………………………………………………………………
…………………..
…………………………………………………………………………………………
……..…)

39
Bab VII Kesimpulan dan Saran

VII. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan yang di lakukan dapat disimpulkan bahwa:
a. Ekstrak kunyit yang dihasilkan yaitu 29,86 gram.
b. Rendemen ekstrak kunyit yaitu sebesar 19,9 %.
c. Fraksi n-heksana yang didapat yaitu sebesar 1,9 gram dengan rendemen sebesar
19%, fraksi etil asetat sebesar 6 gram dengan rendemen sebesar 60%, dan fraksi
n-butanol sebanyak 0,5 gram dengan rendemen sebesar 5%.
d. Hasil kromatogram yang didapat yaitu untuk vial 1-10 berwarna bening yang
mengindikasikan pelarut saja yang berisi. Vial 11-24 berwarna kuning bening.
Vial 25- 48 berwarna kuning agak pekat. Vial 49-51 berwarna kuning pekat.
Vial 52 berwarna orange kekuningan. Vial 53-62 berwarna orange kecoklatan.
Dan vial 63-87 berwarna kuning kembali.

VII. Saran
Diharapkan pada praktikum pemisahan kimia selanjutnya dilakukan dengan
sungguh-sungguh hingga didapatkan senyawa murni dari suatu simplisia. Dan setiap
proses diperhatikan dengan baik dan dijaga dengan baik.

40
Daftar Pustaka

Adrian, peyne, 2000. Analisa Ekstraktif Tumbuhan Sebagai Sumber Bahan


Obat. Makassar : Pusat Penelitian Universitas Negeri Andalas.

Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia, Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.

Ewing, Galen Wood. Instrumental of Chemical Analysis Fifth edition. Singapore:


McGraw-Hill. 1985

Gholib, Ibnu. 2008. Kimia Analisis Farmasi. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Harbone, J. H. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis


Tumbuhan. Bandung: Penerbbit ITB.

Heftmann, E., 1983. Steroids Dalam Kromatografi. Amsterdam: Fundamentals and


Aplication.

Hostettmann, K., Hostettmann, M. dan Marston, A. (1995). Cara Kromatografi


Preparatif. Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata. Bandung : Penerbit
ITB. Hal. 9-11, 33.

Khopkar, S.M., 2008. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press.

Marzuki, Asnah. 2013. Kimia Analisis Farmasi. Makassar: Dua Satu Press.

Munson, James,W., 2010. Analisis Farmasi. Surabaya : Airlangga University Press.

Nasution, A. Rosa. 2010. Isolasi Senyawa Triterpenoid atau Streoid. Sumatra Utara:
Universitas Sumatra Utara.

Petrucci, Ralph H dan seminar. 1987. Kimia Dasar. Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Rohman, Abdul. 2009. Kromatografi untuk Analisi Obat. Yogyakarta : Graha Ilmu.

41
Roy J. Gritter, James M. Bobbit, Arthur E. S., 1991. Pengantar Kromatografi.
Bandung: Penerbit ITB.

Tobo, F. 2001. Buku Pengangan Laboratorium Fitokimia I. Makassar : Universitas


Hasanuddin.

42
LAMPIRAN

Contoh tabel, dan gambar

Contoh tabel
Tabel V. 1 Hasil Penapisan Fitokimia

Pemeriksaan Simplisia Ekstrak


Alkaloid - -
Flavonoid + +
Tanin galat - -
Tanin katekat + +
Kuinon - -
Fenol + +
Saponin - -

43
Steroid/
Triterpenoid + +
Ket : + = terdeteksi
- = tidak terdeteksi

Tabel V. 2 Rendemen Ekstrak dan Fraksi Daun Bodhi

Rendemen
Sampel
(% b/b)
EADB 18,61
FHDB 0,46
FEDB 3,91
FADB 84,44

Judul tabel di atas dan penamaan tabel berdasarkan Bab dan nomor urut tabel.

Contoh Gambar

44
(a) (b) (c)
Gambar V. 1 Kromatografi lapis tipis FADB; FEDB dan FHDB (dari kiri ke kanan),
fase diam silika gel 60 GF254, fase gerak kloroform-aseton (6:4)
dilihat dengan (a) sinar UV λ 254 nm (b) sinar UV λ 366 nm (c)
setelah disemprot penampak bercak H2SO4 10 % pada sinar tampak.

II
I
(a) (b)
Gambar V. 2 Kromatografi lapis tipis dua dimensi Senyawa X, fase diam silika gel
60 GF254, fase gerak (I) etil asetat-kloroform-aseton-metanol (7:5:3:3)
(II) aseton-etil asetat-asam asetat glasial (7:2:1) setelah disemprot
penampak bercak H2SO4 10% (a) dan dibawah sinar UV λ 366 nm
setelah disemprot penampak bercak H2SO4 10%.

Nama fraksi dapat dijadikan singkatan seperti FADB (Fraksi Air Daun Bodhi),
FEDB (Fraksi EtoAc Daun Bodhi) dan lain sebagainya. Judul gambar dibawah
dan penamaan gambar berdasarkan Bab dan nomor urut gambar.

45

Anda mungkin juga menyukai