Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM METODE PEMISAHAN

DAUN SIRSAK ( Annona muricata L.)

Kelas: A2 S1 Farmasi 2015


Kelompok: 3
1. Nur Sofiya Afdhalia (1513015093)
2. Oppi Yolan Destiyana (1513015077)
3. Raymon Simanullang (1513015)
4. Sri Noor Komala Sari (1513015)

LABORATORIUM KIMIA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2016
LEMBAR PENGESAHAN
Sampel : Daun sirsak ( Annona nuricata L )
Praktikum : Metode pemisahan kimia
Asisten : 1. Dina Sofia
2. Wulan Maulida
Dosen Pengampu : 1. Akhmad jaizzur Rija’I, S.Farm, M.Si
2. M. Arifuddin, M,Si, Apt
3. Viriyanata Wijaya S.Farm, M.Farm, M.Si
Praktikan
a. Nur Sofiya Afdhalia (1513015)
b. Oppi Yolan Destiyana (1513015077)
c. Raymon Simanullang (1513015)
d. Sri Noor Komala Sari (1513015)

Samarinda, Desember 2016


Diperiksa oleh Ketua

(Dina Sofia) (Raymon Simanullang)

Mengetahui

(Akhmad jaizzur Rija’I, S.Farm, M.Si)


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...........................................................................................................1
Bab I Pendahuluan................................................................................................1
Bab II Tinjauan Pustaka.......................................................................................2
II. 1 Uraian Tumbuhan.................................................................................................3
II. 2 Ekstraksi.................................................................................................................4
II. 3 Fraksinasi...............................................................................................................5
II. 4 Metoda Pemisahan................................................................................................7
II. 4. 1 Kromatografi Lapis Tipis.................................................................................8
II. 4. 4 Kromatografi Lapis Tipis Preparatif............................................................12
II. 4. 5 Kromatografi Lapis Tipis Sentrifugal (KROMATOTRON)......................14
II. 4. 6 Kromatografi Lapis Tipis 2 Dimensi.............................................................14
Bab III Metodologi...............................................................................................16
Bab IV Alat dan Bahan.......................................................................................19
IV. 1 Alat......................................................................................................................19
IV. 2 Bahan...................................................................................................................20
Bab V Prosedur Percobaan.................................................................................21
V. 1 Ekstraksi Secara Maserasi..................................................................................21
V. 2 Fraksinasi Pengendapan (Ekstraksi Cair – Padat)..........................................21
V. 3 Kromatografi Lapis Tipis...................................................................................22
V. 4 Kromatografi Konvensional...............................................................................23
Bab VI Pembahasan............................................................................................26
VI. 1 Ekstraksi.............................................................................................................26
VI. 2 Fraksinasi............................................................................................................30
VI. 3 Kromatografi Lapis Tipis..................................................................................35
VI. 4 Kromatografi Konvensional..............................................................................37
VI. 5 Kromatografi Lapis Tipis 2 Dimensi................................................................39
Bab VII Kesimpulan dan Saran.........................................................................41
VII. Kesimpulan..........................................................................................................41
VII. Saran.....................................................................................................................41
Daftar Pustaka........................................................................................................42

1
Bab I Pendahuluan
Indonesia kaya akan sumber bahan obat alam dan tradisional yang secara
turun temurun telah digunakan sebagai ramuan obat tradisional. Pengobatan
tradisional dengan tanaman obat diharapkan dapat dimanfaatkan dalam
pembangunan kesehatan masyarakat. Sekarang ini pemerintah tengah
menggalakkan pengobatan kembali alam (back to nature).
Pengembangan obat tradisional diusahakan agar dapat sejalan dengan
pengobatan modern. Menteri Kesehatan Republik Indonesia mendukung
pengembangan obat tradisional, yaitu fitofarmaka, yang berarti diperlukan adanya
pengendalian mutu simplisia yang akan digunakan untuk bahan baku obat atau
sediaan galenik. Salah satu cara mengendalikan mutu simplisia adalah dengan
melakukan standarisasi simplisia. Standarisasi simplisia mempunyai pengertian
bahwa simplisia yang digunakan untuk obat sebagai bahan baku harus memenuhi
persyaratan tertentu. Parameter mutu simplisia meliputi susut pengeringan, kadar
air, kadar abu total, kadar abu tak larut asam, kadar sari larut air dan kadar sari
larut etanol. Untuk uji kebenaran bahan dilakukan uji makroskopik.
Daun sirsak (Annona muricata Linn.) oleh masyarakat dimanfaatkan
sebagai antibakteri, antivirus, antioksidan, antijamur, antiparasit dan
antihipertensi. Kandungan kimia yang terdapat pada daun sirsak diantaranya
adalah alkaloid,, flavonoid, karbohidrat, glikosida, saponin, tannin, fitosterol,
terpenoid dan protein.
Tanaman sirsak (Annona muricata) banyak tumbuh di Indonesia dan
pertumbuhannya tidak tergantung pada musim, sehingga dapat tersedia secara
terus – menerus. Selain buahnya yang dapat langsung dikonsumsi, bagian lain dari
pohon sirsak seperti kulit kayu, daun, biji dan akar dapat dimanfaatkan sebagai
tanaman obat untuk mengobati berbagai penyakit, insektisida, larvasida,
molluscida, antimikroba dan lain-lain. Untuk mendapatkan ekstrak dengan mutu
yang diharapkan, perlu dilakukan karakteristik ekstrak sebagai langkah awal
untuk menstandarisasi ekstrak. Dengan demikian, maka produk herbal terjamin
kualitas mutunya.

2
Tujuan dari percobaan ini mengetahui cara pembuatan simplisia,
mengetahui metode-metode ekstraksi dan menerapkan metode ekstraksi maserasi
dan fraksinasi pada simplisia daun sirsak (Annona muricata L.) ,mengetahui
metode isolasi senyawa dan pemisahaannya dengan cara Kromatografi Lapis
Tipis dan Kromatografi Lapis Tipis Preparatif (KLTP). Serta mengetahui metode
uji kemurnian dari senyawa menggunakan Kromatografi Lapis Tipis 2 Dimensi.

3
Bab II Tinjauan Pustaka

II. 1 Uraian Tumbuhan


II. 1. 1 Klasifikasi
Sirsak merupakan tumbuhan tropis yang kaya akan manfaatnya. Mulai dari
buah, bunga, daun, batang, isi, bahkan akarnya pun bisa dijadikan sebagai obat
untuk mengobati berbagai macam penyakit. Selain tentang manfaat yang
dikandungnya, juga harus diketahui tentang klasifikasi tumbuhan sirsak ini.
Berikut klasifikasinya:
Kingdom plantae ; divisi Spermatophyt ;Sub divisi Angiospermae;Kelas
Dicotyledonae ;Ordo Polycarpiceae ;Familia Annonaceae ; GenusAnnona
;Spesies Annona muricata L (Sunarjono, 2005).
II. 1. 2 Morfologi
Morfologi dari daun sirsak adalah berbentuk bulat dan panjang, dengan
bentuk daun menyirip dengan ujung daun meruncing, permukaan daun mengkilap,
serta berwarna hijau muda sampai hijau tua. Terdapat banyak putik di dalam satu
bunga sehingga diberi nama bunga berpistil majemuk. Sebagian bunga terdapat
dalam lingkaran, dan sebagian lagi membentuk spiral atau terpencar, tersusun
secara hemisiklis. Mahkota bunga yang berjumlah 6 sepalum yang terdiri dari dua
lingkaran, bentuknya hampir segitiga, tebal, dan kaku, berwarna kuning keputih-
putiham, dan setelah tua mekar dan lepas dari dasar bunganya. Bunga umumnya
keluar dari ketiak daun, cabang, ranting, atau pohon bentuknya sempurna
(hermaprodit) (Sunarjono, 2005).
II. 1. 3 Kandungan Kimia
Daun sirsak mengandung alkaloid, tanin, dan beberapa kandungan kimia
lainnya termasuk Annonaceous acetogenins. Acetogenins merupakan senyawa
yang memiliki potensi sitotoksik. Senyawa sitotoksik adalah senyawa yang dapat
bersifat toksik untuk menghambat dan menghentikan pertumbuhan sel kanker
(Mardiana, 2011). Acetogenins merupakan inhibitor kuat dari kompleks I
mitokondria atau NADH dehidrogenase. Zat ini akan mengakibatkan penurunan
produksi ATP yang akan menyebabkan kematian sel kanker, lalu kemudian

4
memicu terjadinya aktivasi jalur apoptosis serta 13 mengaktifkan p53 yang dapat
menghentikan siklus sel untuk mencegah terjadinya proliferasi tak terkendali
(Retnani, 2011).

II. 2 Ekstraksi
II. 2.1 Pengertian
Ekstraksi adalah tekhnik penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari kandungan atau bahan yang tidak larut dalam pelarut cair.
Hasil yang didapatkan dari proses ekstraksi dinamakan ekstrak atau sediaan kental
yang diperoleh dari mengekstraksi zat aktif yang dimiliki simplisia menggunakan
pelatur yang sesuai, kemudian dimaserasi dan diperlakukan sedemikian rupa
sampai hasil yang diinginkan. Cairan penyari yang biasa digunakan untuk
ekstraksi adalah air, etanol, dan etanol air atua eter (Dirjen POM, 2000).
II. 2. 2 Metode-Metode Ekstraksi
II. 2. 2. 1 Jenis-jenis Ekstraksi
a. Cara dingin Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara dingin terdiri dari:
1) Maserasi adalah proses ekstraksi dimana sampel ditempatkan dalam suatu
bejana, kemudian direndam menggunakan pelarut yang sesuai dan
dibiarkan pada suhu ruangan kurang lebih selama 3 hari, dengan dilakukan
pengadukan secara berkala sampai komponen kimia yang terdapat dalam
sampel terlarut sempurna. Keuntungan maserasi adalah bahan yang sudah
halus memungkinkan untuk direndam dalam pelarut sampai meresap dan
melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut akan terlarut,
sedangkan kerugiannya adalah memerlukan pelarut dalam jumlah banyak,
waktu penyarian lama dan penyarian kurang sempurna (Febriani, 2015).
2) Perkolasi adalah penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara serbuk
simplisia dimaserasi selama 3 jam, kemudian simplisia dipindahkan ke
dalam bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori, cairan
penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui simplisia tersebut, cairan
penyari akan melarutkan zat aktif dalam sel-sel simplisia yang dilalui sampai
keadaan jenuh.

5
b. Cara panas Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara panas terdiri dari:
1) Refluks Ekstraksi dengan cara refluks menggunakan pelarut pada
temperatur titik didihnya selama waktu tertentu, dan dengan jumlah pelarut
yang terbatas dan relatif konstan dengan adanya pendingin balik
2) Sokletasi Dalam Sokletasi, digunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
kontinu dengan jumlah pelarut yang konstan dengan adanya pendingin
balik.
3) Digesti Digesti adalah maserasi kontinu pada suhu yang lebih tinggi
daripada suhu kamar (40oC – 50oC).
4) Infus Pelarut yang digunakan pada proses infus adalah pelarut air dengan
temperatus penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air
mendidih, temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit)
5) Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dengan
temperatur mencapai titk didih air.
II. 3 Fraksinasi
Berdasarkan bentuk campurannya (yang fraksinasi), suatu fraksinasi
dibedakan menjadi dua yaitu fraksinasi cair-cair (partisi cair-cair) dan fraksinasi
padat-cair (partisi padat-cair). Dimana kedua macam fraksinasi ini menggunakan
prinsip “like dissolved like”, dimana senyawa polar akan larut pada pelarut polar
dan senyawa non polar akan larut pada pelarut non polar. Selain itu prinsip
metode ini juga didasarkan pada distribusi zat terlarut dengan perbandingan
tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur. Batasannya adalah zat
terlarut dapat ditransfer pada jumlah yang berbeda dalam keadaan dua fase pelarut
(Khopkar, 2008).
Fraksinasi cair-cair (corong pisah) merupakan pemisahan komponen kimia
diantara dua fase pelarut yang tidak dapat saling bercampur dimana sebagian
komponen larut pada fase pertama dan sebagiannya lagi larut pada fase kedua.
Kedua fase yang mengandung zat terdispersi dikocok, lalu didiamkan sampai
terjadi pemisahan sempurna dan terbentuk dua lapisan fase zat cair. Komponen
kimia akan terpisah ke dalam dua fasa tersebut sesuai dengan tingkat
kepolarannya dengan perbandingan konsentrasi yang tetap (Sudjadi, 1986).

6
Menurut hukum distribusi Nerst, bila ke dalam dua pelarut yang tidak saling
bercampur dimasukkan solut yang dapat larut dalam kedua pelarut tersebut maka
akan terjadi pembagian kelarutan. Corong pisah adalah peralatan laboratorium
yang digunakan dalam fraksinasi cair-cair untuk memisahkan komponen-
komponen dalam suatu campuran antara dua fase pelarut dengan densitas yang
berbeda yang tak tercampur. Corong pemisah berbentuk kerucut yang ditutupi
setengah bola, mempunyai penyumbat di atasnya dan di bawahnya. Corong
pemisah yang digunakan dalam laboratorium terbuat dari kaca borosilikat dan
kerannya terbuat dari kaca atau pun teflon. Ukuran corong pemisah bervariasi
antara 50 ml sampai 3 L. Untuk memakai corong ini, campuran dan dua fase
pelarut dimasukkan kedalam corong dari atas dengan corong keran ditutup.
Corong ini kemudian ditutup dan digoyang dengan kuat untuk membuat dua fase
larutan tercampur. Kedua fase yang mengandung zat terdispersi lalu didiamkan
sampai terjadi pemisahan sempurna dan terbentuk dua lapisan fase zat cair.
Komponen kimia akan terpisah kedalam dua fase tersebut sesuai dengan tingkat
kepolarannya dengan perbandingan konsentrasi yang tetap. Corong ini kemudian
dibalik dan keran dibuka untuk melepaskan tekanan uap yang berlebihan. Corong
ini kemudian didiamkan agar pemisahan antara dua fase berlangsung. Penyumbat
dan keran corong kemudian dibuka dan dua fase larutan ini dipisahkan dengan
mengontrol keran corong. Prinsip Kerja Partisi cair-cair dilakukan dengan cara
pemisahan komponen kimia diantara 2 fase pelarut yang tidak saling bercampur.
Dimana sebagian komponen larut pada fase pertama, dan sebagian larut pada fase
kedua. Lalu kedua fase yang mengandung zat terdispersi dikocok, dan didiamkan
sampai terjadi pemisahan sempurna dan terbentuk dua lapisan, yakni fase cair dan
komponen kimia yang terpisah.
Fraksinasi padat-cair (partisi padat-cair) atau Leaching adalah transfer difusi
komponen terlarut dari padatan inert ke dalam pelarutnya. Proses ini merupakan
proses yang bersifat fisik karena komponen terlarut kemudian dikembalikan lagi
ke keadaan semula tanpa mengalami perubahan kimiawi. Fraksinasi dari bahan
padat dapat dilakukan jika bahan yang diinginkan dapat larut dalam solvent
pengekstraksi. Fraksinasi berkelanjutan diperlukan apabila padatan hanya sedikit

7
larut dalam pelarut (Lucas, 1949). Prinsip fraksinasi padat-cair (partisi padat-cair)
adalah adanya kemampuan senyawa dalam suatu matriks yang kompleks dari
suatu padatan, yang dapat larut oleh suatu pelarut tertentu. Beberapa hal yang
harus diperhatikan untuk tercapainya kondisi optimum fraksinasi antara lain :
senyawa dapat terlarut dalam pelarut dengan waktu singkat, pelarut harus selektif
melarutkan senyawa yang dikehendaki ( Fajriati, 2011).
Fraksinasi bertingkat umumnya diawali dengan pelarut yang kurang polar
dan dilanjutkan dengan pelarut yang lebih polar. Tingkat polaritas pelarut dapat
ditentukan dari nilai konstanta dielektrik pelarut. Pada praktikum ini
menggunakan 3 macam pelarut yaitu n-heksan, etil asetat, dan n-butanol. n-
heksan kurang polar bila dibandingkan dengan etil asetat dan juga etil asetat
kurang polar bila dibandingkan dengan n-butanol. Proses pemisahan dimulai
menggunakan pelarut yang lebih kurang polar terlebih dahulu, bertujuan agar
senyawa dapat terpisah secara sempurna berdasarkan tingkat kelarutan dan
mendapatkan rendemen yang maksimal, dimana semakin kurang polar suatu
senyawa maka pelarut tersebut spesifik hanya menarik senyawa tertentu saja.
Sebaliknya, semakin polar suatu senyawa semakin tidak spesifik dalam menarik
senyawa. Dimana pelarut polar dapat menarik senyawa-senyawa yang polar,semi
polar dan kurang polar (Lestari dan Pari,1990).

II. 4 Metoda Pemisahan


Pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan terutama dilakukan dengan
menggunakan salah satu dari empat teknik kromatografi atau gabungan teknik
tersebut. Keempat teknik kromatografi itu adalah : Kromatografi Kertas (KKt),
Kromatografi Lapis Tipis (KLT), Kromatografi Gas Cair (KGC) dan
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).(2) Pemilihan teknik kromatografi
sebagian besar bergantung pada sifat kelarutan dan keatsirian senyawa yang akan
dipisah (Hendayana, 1994).
Kromatografi merupakan salah satu metode pemisahan komponen-
komponen campuran dimana cuplikan berkesetimbangan di antara dua fasa, fasa
gerak yang membawa cuplikan dan fasa diam yang menahan cuplikan secara

8
selektif. Bila fasa gerak berupa gas, disebut kromatografi gas, dan sebaliknya
kalau fasa gerak berupa zat cair, disebut kromatografi cair (Hendayana, 1994).
Suatu metode pemisahan komponen kimia berdasarkan prinsip partisi dan
adsorpsi antara fase diam (adsorben) dan fase gerak (eluen), komponen kimia
bergerak naik mengikuti cairan pengembang karena daya serap adsorben (silica
gel) terhadap komponen-komponen kimia tidak sama sehingga komponen dapat
bergerak dengan kecepatan yang berbeda-beda berdasarkan tingkat kepolarannya
dan hal inilah yang menyebabkan terjadinya pemisahan (Adnan, 1997).
II. 4. 1 Kromatografi Lapis Tipis
Penentuan jumlah komponen senyawa dapat dideteksi dengan
kromatografi lapis tipis (KLT) dengan plat KLT yang sudah siap pakai.
Terjadinya pemisahan komponenkomponen pada KLT dengan Rf tertentu
dapat dijadikan sebagai panduan untuk memisahkan komponen kimia
tersebut dengan menggunakan kolom kromatografi dan sebagai fase diam
dapat digunakan silica gel dan eluen yang digunakan berdasrkan basil yang
diperoleh dari KLT dan akan lebih baik kalau kepolaran eluen pada kolom
kromatografi sedikit sibawah eluen pada KLT (Adnan,1997)
Pada hakekatnya KLT merupakan metode kromatografi cair yang
melibatkan dua fase yaitu fase diam dan fase gerak. Fase geraknya berupa
campuran pelarut pengembang dan fasa diamnya dapat berupa serbuk halus
yang berfungsi sebagai permukaan penyerap (kromatografi cair-padat) atau
berfungsi sebagai penyangga untuk lapisan zat cair (kromatografi cair-cair).
Fase diam pada KLT sering disebut penyerap walaupun berfungsi sebagai
penyangga untuk zat cair di dalam sistem kromatografi cair-cair. Hampir
segala macam serbuk dapat dipakai sebagai penyerap pada KLT, contohnya
silika gel (asam silikat), alumina (aluminium oksida), kiselgur (tanah
diatomae) dan selulosa. Silika gel merupakan penyerap paling banyak dipakai
dalam KLT (Iskandar, 2007).
Cara pemisahan dengan adsorbsi pada lapisan tipis adsorben yang
sekarang dikenal dengan kromatografi lapis tipis (Thin Layer Chromatography
atau TLC) telah dipakai sejak tahun 1983. Tekhnik ini bertujuan untuk

9
memisahkan komponen kimia secara cepat berdasarkan prinsip adsorbsi dan
partisi.TLC atau KLT dapat digunakan untuk memisahkan berbagai senyawa
seperti ion – ion anorganik, kompleks senyawa-senyawa organik dengan
dengan senyawa – senyawa anorganik, dan senyawa-senyawa organik baik
yang terdapat di alam maupun senyawa-senyawa organik sintetik (adnan, 1997).
Kelebihan penggunaan kromatografi lapis tipis dibandingkan dengan
kromatografi kertas adalah karena dapat dihasilkannya pemisahan yang lebih
sempurna, kepekaan yang lebih tinggi, dan dapat dilaksanakan dengan lebih
cepat (adnan, 1997).
Kromatografi lapis tipis merupakan kromatografi adsorbsi dan adsorben
bertindak sebagai fase stasioner. Empat macam adsorben yang umum
digunakan adalah silica gel (asam silikat), alumina (aluminium oxyde),
kieselghur (diatomeus earth) dan selulosa. Dari keempat jenis adsorben
tersebut, yang paling banyak dipakai adalah silica gel karena mempunyai
daya pemisahan yang baik (adnan, 1997).
Teknik standar dalam melaksanakan pemisahan dengan KLT ini
adalah sebagai berikut : pertama kali lapisan tipis adsorben dibuat pada
permukaan plat kaca atau plat lain, misalnya berukuran 5 x 20 cm atau 20 x
20 cm. tebal lapisan adsorben tersebut dapat bervariasi, tergantung
penggunaannya. Larutan campuran yang akan dipisahkan diteteskan pada kira
– kira 1,5 cm dari bagian bawah plat tersebut dengan menggunakan pipet
mikro atau syringe. Zat pelarut yang terdapat pada sampel yang diteteskan
tersebut kemudian diuapkan lebih dulu. Selanjutnya plat kromatografi
tersebut dikembangkan dengan dengan mencelupkannya pada tangki yang
berisi campuran zat pelarut (solvent system). Dengan pengembangan tersebut
masing –masing komponen senyawa dalam sampel akan bergerak ke atas
dengan kecepatan yang berbeda. Perbedaan kecepatan gerakan ini merupakan
akibat terjadinya pengaruh proses dengan KLT, mulai pemilihan adsorben
sampai identifikasi masing – masing komponen yang telah terpisah (adnan, 1997).
II. 4. 2 Kromatografi Cair Vakum

10
Kromatografi Cair Vakum (KCV) merupakan salah satu metode
fraksinasi yaitu dengan memisahkan crude extract menjadi fraksi-fraksinya
yang lebih sederhana. Pemisahan tersebut memanfaatkan kolom yang berisi
fasa diam dan aliran fasa geraknya dibantu dengan pompa vakum. Fasa
diam yang digunakan dapat berupa silika gel atau alumunium oksida
(Raymond,2006).
Kromatografi kolom cair dapat dilakukan pada tekanan atmosfer atau
pada tekanan lebih besar dari atmosfer dengan menggunakan bantuan tekanan
luar misalnya gas nitrogen. Untuk keberhasilan praktikan di dalam bekerja
dengan menggunakan kromatografi kolom vakum cair, oleh karena itu syarat
utama adalah mengetahui gambaran pemisahan cuplikan pada kromatografi
lapis tipis (Harris, 1982).
Kromatografi vakum cair dilakukan untuk memisahkan golongan
senyawa metabolit sekunder secara kasar dengan menggunakan silika gel
sebagai absorben dan berbagai perbandingan pelarut n-heksana : etil asetat :
metanol (elusi gradien) dan menggunakan pompa vakum untuk memudahkan
penarikan eluen (Helfman, 1983).
Kromatografi merupakan salah satu metode pemisahan komponen-
komponen campuran dimana cuplikan berkesetimbangan di antara dua fasa,
fasa gerak yang membawa cuplikan dan fasa diam yang menahan cuplikan
secara selektif. Bila fasa gerak berupa gas, disebut kromatografi gas, dan
sebaliknya kalau fasa gerak berupa zat cair, disebut kromatografi cair
(Hendayana, 1994).
Adapun cara kerja kromatografi cair vakum yaitu kolom kromatografi
dikemas kering (biasanya dengan penjerap mutu KLT 10-40 μm) dalam
keadaan vakum agar diperoleh kerapatan kemasan maksimum. Vakum
dihentikan, pelarut yang kepolarannya rendah dituangkan ke permukaan
penjerap lalu divakumkan lagi. Kolom dipisah sampai kering dan sekarang
siap dipakai (Hostettman, 1986).
Kromatografi ialah cara pemisahan berdasarkan perbedaan kecepatan zat-
zat terlarut yang bersama-sama dengan pelarutnya pada permukaan suatu

11
benda penyerap. Cara ini umum dilakukan pada pemisahan zat-zat berwarna
(bahasa Yunani: chromos = warna) (Kennedy,1990). Kromatografi vakum
cair merupakan salah satu jenis dari kromatografi kolom. Kromatografi
kolom merupakan suatu metode pemisahan campuran larutan dengan
perbandingan pelarut dan kerapatan dengan menggunakan bahan kolom.
Kromatografi kolom lazim digunakan untuk pemisahan dan pemurnian senyawa
(Schill, 1978).
Fasa diam yang digunakan dikemas dalam kolom yang digunakan
dalam KCV. Proses penyiapan fasa diam dalam kolom terbagi menjadi dua
macam, yaitu :
a. Cara Basah
Preparasi fasa diam dengan cara basah dilakukan dengan melarutkan fasa
diam dalam fase gerak yang akan digunakan. Campuran kemudian
dimasukkan ke dalam kolom dan dibuat merata. Fase gerak dibiarkan
mengalir hingga terbentuk lapisan fase diam yang tetap dan rata, kemudian
aliran dihentikan.
b. Cara kering
Preparasi fasa diam dengan cara kering dilakukan dengan cara memasukkan
fase diam yang digunakan ke dalam kolom kromatografi. Fase diam tersebut
selanjutnya dibasahi dengan pelarut yang akan digunakan. Preparasi sampel saat
akan dielusi dengan KCV juga memiliki berbagai metode seperti preparasi
fasa diam. Metode tersebut yaitu cara basah dan cara kering (Canell, 1998).
Preparasi sampel cara basah dilakukan dengan melarutkan sampel
dalam pelarut yang akan digunakan sebagai fasa gerak dalam KCV. Larutan
dimasukkan dalam kolom kromatografi yang telah terisi fasa diam. Bagian
atas dari sampel ditutupi kembali dengan fasa diam yang sama. Sedangkan
cara kering dilakukan dengan mencampurkan sampel dengan sebagian kecil
fase diam yang akan digunakan hingga terbentuk serbuk. Campuran tersebut
diletakkan dalam kolom yang telah terisi dengan fasa diam dan ditutup
kembali dengan fase diam yang sama (Sarker et al., 2006).

12
Kolom dapat berupa kolom dengan adsorben grade-KLT normal atau
fase terhisap dengan adanya penurunan tekanan pada ruang labu penampung .
Fraksi dikoleksi dan ditampung sebagai alikoet eluen dengan satu sifat tingkat
kepolaran. Aliokuot eluen selanjutnya dapat dirancang untuk menghasilkan
elusi gradient bertahap (Harbone,1987).
Pengemasan fae diam kromatografi kolom dapat dilakukan dengan
beberapa carra seperti dengan metode kering. Kelebihan metode ini agar
diperoleh kerapatan kemasan fase diam secara maksimal. Vakum dihentikan,
pelarut yang kepolarannya rendah dituang kepermukaan penjerap lalu
vakumkan lagi dan siap dipakai. Cuplikan dilarutkan dalam pelarut yang
cocok, dimasukkan langsung pada bagaian atas kolom atau pada lapisan
penjerap dan dihisap perlahanlahan kedalamkemasan dengan
mengvakumkannnya. Kolom dielusi dengan campuran pelarut yang cocok,
kolom dihisap sampai kering pada setiap pengumpulan fraksi ( Sudjadi,1986)
II. 4. 3 Kromatografi Konvensional
Kromatografi kolom adalah suatu metode pemisahan yang di dasarkan pada
pemisahan daya adsorbsi suatu adsorben terhadap suatu senyawa, baik
pengotornya maupun hasil isolasinya. Sebelumnya dilakukan percobaan tarhadap
kromatografi lapis tipis sebagai pencari kondisi eluen. Misalnya apsolsi yang
cocok dengan pelarut yang baik sehingga antara pengotor dan hasil isolasinya
terpisah secara sempurna (Khopar,2002).
Pada kromatografi kolom, campuran yang akan dipisahkan diletakkan berupa
pita pada bagian atas kolom, penjerap yang berada dalam tabung kaca, tabung
logam atau bahkan tabung plastik. Pelarut (fase gerak, dibiarkan mengalir melalui
kolom karena aliran yang disebabkan oleh gaya berat atau di dorong dengan
tekanan. Pita senyawa linarut bergerak melalui kolom dengan laju yang berbeda,
memisah dan dikumpulkan berupa fraksi ketika keluar dari atas kolomn (Khopkar,
2002).
Prinsip kerja kromatografi kolom adalah dengan adanya perbedaan daya
serap dari masing-masing komponen, campuran yang akan diuji, dilarutkan dalam
sedikit pelarut lalu di masukan lewat puncak kolom dan dibiarkan mengalir

13
kedalam zat menyerap. Senyawa yang lebih polar akan terserap lebih kuat
sehingga turun lebih lambat dari senyawa non polar terserap lebih lemah dan
turun lebih cepat. Zat yang di serap dari larutan secara sempurna oleh bahan
penyerap berupa pita sempit pada kolom. Pelarut lebih lanjut / dengan tanpa
tekanan udara masin-masing zat akan bergerak turun dengan kecepatan khusus
sehingga terjadi pemisahan dalam kolom (Iskandar, 2007).
II. 4. 4 Kromatografi Lapis Tipis Preparatif
Kromatografi dalam bidang kimia merupakan sebuah tehnik analisis yang
digunakan untuk memisahkan sebuah campuran ataupun persenyawaan kimia.
Teknik ini ditemukan pada tahum 1906 oleh Mikhail Tswett seorang ahli botani
dari Italia yang lahir di Rusia. Teknik pemisahan ini dilakukan terhadap pigmen
tumbuhan (klorofil), dengan cara menuangkan ekstrak petroleum eter dari daun
tumbuhan diatas sebuah kolom kaca yang berisi serbuk kalsium karbonat dalam
arah yang tegak lurus. Dalam perkembangan selanjutnya metode ini tidak hanya
digunakan untuk mengidentifikasi noda, akan tetapi juga untuk mengisolasi
ekstrak. Metode ini kemudian dikenal sebagai KLT preparatif. Metode ini paling
sederhana dan murah untuk mengisolasi komponen kimia dari suatu bahan alam,
dengan menggunakan lempeng yang besar terbuat dari kaca dengan ukuran 20 x
20 cm (Khopkar, 2002).
Metode kerjanya meliputi penotolan ekstrak bahan alam dalam bentuk pita
pada lempeng. Hal ini memungkinkan sampel dalam jumlah besar dapat muat
pada lempeng KLT, lempeng dikembangkan dalam pelarut yang telah diketahui
mampu memisahkan komponen, yang paling penting adalah harus digunakan
metode deteksi yang tidak merusak sampel (Khopkar, 2002).
Keuntungan KLTP adalah salah satu metode pemisahan yang memerlukan
pembiayaan paling murah dan memakai peralatan paling dasar. Kerugian KLTP
adalah pengambilan senyawa dari plat yang dilanjutkan dengan pengekstraksian
penjerap memerlukan waktu lama dan jika senyawa beracun harus dikerok dari
plat akan menimbulkan banyak masalah serius. Serta adanya zat pencemar dan
sisa dari plat sendiri setelah pengsekstraksian pita yang mengandung senyawa
yang dipisahkan dengan pelarut (Adnan,1997).

14
Metode kromatografi, karena pemanfaatannya yang leluasa, dipakai secara
luas untuk pemisahan analitik dan preparative. Hampir setiap campuran kimia,
mulai dari bobot molekul rendah sampai tinggi, dapat dipisahkan menjadi
komponen-komponennya dengan beberapa metode kromatografi. Jenis
pemisahan, apakah analitik atau preparatif, tidak ditentukan oleh ukuran cuplikan,
melainkan lebih oleh keperluan khusus. Biasanya, kromatografi analitik dipakai
pada tahap permulaan untuk semua cuplikan, dan kromatografi hanya dilakukan
jika diperlukan fraksi murni dari campuran (Khopkar, 2002).
Kromatografi pada lapisan berbentuk khusus. Kadang-kadang lapisan KLT
perlu diraut menjadi berbagai bentuk. Pada lapisan belandas kaca, bentuk itu dapat
dibuat dengan spatula atau alat yang diruncing. Lapisan berlandas plastik dapat
dipotong-potong memakai gunting (Sudjadi,1988).
II. 4. 5 Kromatografi Lapis Tipis Sentrifugal (KROMATOTRON)
Kromatotron memiliki prinsip sama seperti kromatografi klasik dengan
aliran fase gerak yang dipercepat oleh gaya centrifugal. Kromatografi jenis ini
menggunakan rotor yang dimiringkan dan terdapat dalam ruang tertutup oleh plat
kaca kuarsa, sedangkan lapisan penyerapnya berupa plat kaca yang dilapisi oleh
silika gel. Plat tersebut dipasang pada motor listrik dan diputar dengan kecepatan
800rpm. Pelarut pengelusi dimasukkan ke bagian tengah pelarut melalui pompa
torak sehingga dapat mengalir dan merambat melalui lapis tipis karena gaya
sentrifugal. Untuk mengetahui jalannya proses elusi dimonitor dengan lampu UV.
Gas Nitrogen dialirkan kedalam ruang plat untuk mencegah pengembunan
pealrut pengelusi dan mencegah oksidasi sampel. Pemasukan sampel itu diikuti
dengan pengelusian menghasilkan pita-pita komponen berupa lingkaran sepusat.
Pada tepi plat, pita-pita akan terputar keluar dengan gaya sentrifugal dan
ditampung dalam botol fraksi (Hostettmann, 1995).
II. 4. 6 Kromatografi Lapis Tipis 2 Dimensi
KLT 2 arah atau 2 dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi
sampel ketika komponen-komponen solute mempunyai karakteristik kimiayang
hampir sama, karenanya nilai Rf juga hampir sama sebagaimanadalam asam-asam
amino. Selain itu, 2 sistem fase gerak yang sangat berbeda dapat digunakan secara

15
berurutan sehingga memungkinkan untukmelakukan pemisahan analit yang
mempunyai tingkat polaritas yang berbeda.
Sampel ditotolkan pada lempeng lalu dikembangkan dengan satusystem fase
gerak sehingga campuran terpisah menurut jalur yang sejajar dengan salah satu
sisi. Lempeng diangkat, dikeringkan dan diputar 90°, dan diletakkan dalam bejana
kromatografi yang berisi fase gerak kedua, sehingga bercak yang terpisah pada
pengembangan pertama terletak dibagian bawah sepanjang lempeng, lalu
dikromatografi lagi (Iskandar,2007).
Zat identifikasi oleh 2D-TLC juga sering dilakukan dalam penyelidikan
phytopharmaceuticals, yang biasanya memiliki komposisiyang kompleks. Dari
sudut pandang logis, 2D-KLT menggunakan pelarutyang sama dalam dua arah
harus sistem yang terbaik. Namun, ini tidakbiasanya menyebabkan informasi
tambahan, karena semua zat akanberbaring pada diagona. Metode 2D-KLT hanya
menjadi menarik jikareaksi telah terjadi antara dua eluen, dan penyimpangan dari
garisdiagonal dapat diamati setelah elusi kedua(Hahn, 2007).
Dalam hal untuk mendapatkan resolusi yang baik, penting untukmemilih
dua campuran pelarut yang berbeda, meskipun dengan kekuatanpelarut yang sama
ini cukup sulit tetapi penting (Wall, 2005).
Secara singkat pengerjaan KLT dua dimensi ialah sebagai berikut:Sampel
ditotolkan pada lempeng lalu dikembangkan dengan satusistemfase gerak
sehingga campuran terpisah menurut jalur yang sejajar dengansalah satu sisi.
Lempeng diangkat, dikeringkan dan diputar 90°, dandiletakkan dalam bejana
kromatografi yang berisi fase gerak kedua,sehinggabercak yang terpisah pada
pengembangan pertama terletakdibagian bawahsepanjang lempeng, lalu
dikromatografi lagi (Raymond, 2009).
Keberhasilan pemisahan akan tergantung pada kemampuan
untukmemodifikasi selektivitas eluen kedua dibandingkan dengan selektivitasdari
eluen pertama (Satari, 1999).
Pemisahan 2-D yang terbaik TLC adalah ketika semua komponendipisahkan
dan didistribusikan pada seluruh permukaan dari pelatkromatografi. Estimasi
pemisahan ini dapat dibuat dengan sebuah fungsiobjektif. Umumnya, kesepakatan

16
yang baik antara evaluasi visual darikromatogram dan evaluasi komputer
menggunakan fungsi objektif adalahmelihat. Di sisi lain., fungsi yang diperlukan
yang dapat memprediksi nilaiRf dari satu komponen fungsi komposisi dari fase
gerak . Ada programuntuk simulasi kromatogram yang sebanding dengan yang
diperolehdengan percobaan kromatogram (Satari, 1999).

17
Bab III Metodologi

Sampel yang digunakan dalam praktikum ini yaitu daun sirsak yang
diperoleh dari daerah bengkuring ,Samarinda Kalimantan Timur. Sampel
dikeringkan dengan cara diangin-anginkan, sehingga diperoleh simplisia.
Simplisia kemudian diekstraksi menggunakan metode maserasi dengan re-
maserasi sebanyak 3 Kali. Ekstrak disaring dan diuapkan pelarutnya dengan
menggunakan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental methanol.
Ekstrak kental kemudian difraksinasi menggunakan metode cair padat dengan
pelarut n-heksan, etil asetat dan n-butanol sehingga diperoleh fraksi n-heksan, etil
asetat dan n-butanol. Kemudian sedikit fraksi etil asetat di lanjutkan dengan
kromatografi lapis tipis menggunakan plat KLT yang telah diaktifasi. Dibuat
eluen dalam chamber yaitu n-heksan : etil asetat dengan perbandingan 8,5:1,5. Di
masukkan plat pada masing-masing eluen lalu disinari dengan sinar UV 254 dan
UV 366 nm. Sehingga diperoleh nilai Rf. Fraksi etil selanjutnya dikromatografi
kolom konvensional. Setiap vial dikalibrasi 5mL dan di beri nomor. Kolom
dipreparasi menggunakan cara basah dengan tinggi ± 10 cm menggunakan eluen
etil asetat dan n-heksan dengan perbandingan 8,5:1,5 dan dibuat bubur silica gel
dengan jumlah silica yaitu 20 gram. Sampel fraksi etil asetat dipreparasi
menggunakan cara kering menggunakan eluen etil asetat dan n-heksan dengan
perbandingan 8,5:1,5 dan ditambah 2 gram silica gel . Hasil preparasi sampel
dimasukkan kedalam kolom kromatografi. Hasil pemisahan ditampung dengan
botol vial. sehingga diperoleh banyak vial yang digunakan. Kemudian dilakukan
uji kemurnian menggunakan KLT 2 dimensi. Pada KLT 2 dimensi digunakan
hasil pemisahan dari kromatografi kolom konvensional yang dilarutkan dengan
pelarut etil asetat kemudian ditotolkan pada plat KLT dan dielusi dengan 2 sistem
pelarut yang berbeda kepolarannya, sistem pertama yaitu n-heksan:etil asetat (8:2)
dan sistem kedua yaitu n-heksan:kloroform (6:4). Plat dielusi secara horizontal
dan vertical kemudian diamati pemisahannya dengan sinar UV 254 dan UV 366
nm.

18
Bab IV Alat dan Bahan

IV. 1 Alat
Alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu toples, batang pengaduk,
timbangan analitik, rotary evaporator, mangkok, waterbath, blender, oven, corong
pisah, gelas kimia, magnetic stirrer, statif dan klem, gelas ukur, piper ukur 1 ml,
pipet ukur 5 ml, pipet ukur 10 ml, propipet, botol semprot, lampu UV 255 dan 366
nm, pipa kapiler, cutter, chamber, penggaris, penutup chamber, pinset, hot plate,
pipet tetes, kolom kromatografi, cawan porselen, motrir stamper, dan spatel.

IV. 2 Bahan
Bahan yang digunakan pada peraktikum ini yaitu sampel daun sirsak,
methanol, plastik wrap, n-heksan, etil asetat, n-butanol, aquades, kertas saring,
etanol, plat KLT, kloroform, petroleum eter, H2SO4, asam sitrat, asam borat,
CH3COOH anhidrat, bismuth subnitrat, asan nitrat, KI, FeCl3 1%, KOH 10%,
alumunium foil, dan silica gel GF 60 254.

19
Bab V Prosedur Percobaan

V. 1 Ekstraksi Secara Maserasi


Disiapkan alat dan bahan. Ditimbang berat simplisia dengan
menggunakan timbangan kasar, kemudian dimasukkan ke dalam wadah
ekstraksi. Dimasukkan pelarut metanol ± 600 mL. Ditutup wadah rapat-rapat
agar pelarut tidak menguap. Ditunggu dan didiamkan selama ± 24 jam
dengan sesekali diaduk. Dikeluarkan pelarut dengan cara disaring dengan
kertas saring. Diulangi cara tersebut sampai pelarut berwarna jernih.
Diuapkan pelarut metanol dalam larutan ekstrak dengan menggunakan rotary
evaporator. Dihitung randemen ekstrak.
V. 2 Fraksinasi (Ekstraksi Cair – Cair)
Ekstrak daun sirsak ditimbang sebanyak 10 gram kemudian
dilarutkan dengan air kemudian dimasukkan dalam corong pisah, kemudian
di tambahkan pelarut yang pertama yaitu n-heksan lalu digojog kuat dan
didiamkan sampai terbentuk 2 lapisan. Lapisah n-heksan yang berada pada
bagian atas kemudia dipipet dan ditampung pada sebuah wadah dan di beri
etiket sebagai faraksi n-heksan. Kemudian dilanjutkan dengan pelarut lainnya
yaitu etil asetat serta butanol dengan cara yang sama seperti pada n-heksan
hingga diperoleh fraksi etil asetat dan fraksi butanol. Masing-masing fraksi
yang diperoleh didiamkan beberapa hari dalam desikator kemudian
ditimbang beratnya.
V. 3 Kromatografi Lapis Tipis
Dilarutkan fraksi dalam botol vial,kemudian disiapkan eluen dengan
perbandingan yang sesuai, pada percobaan ini menggunakan eluen n-
heksan:etil asetat (8,5:1,5), kemudian ditotolkan fraksi pada plat KLT yang
sudah dipotong dengan ukuran 1x5 cm dengan batas bawah 1 cm. setelah
ditotolkan , sampel dielusi dengan menaruh plat KLT dalam chamber yang
berisi eluen. Setelah eluen naik hingga batas atas, kemudian diamati dibawah
sinar UV 254 dan 366 nm. Kemudian diperoleh hasil pemisahan noda dan
dihitung nilai rf berdasarkan penampakan noda tersebut.

20
V. 4 Kromatografi Konvensional
Dibilas dengan metanol Kolom kromatorgafi kemudian dipasang
tegak lurus pada statif kolom vakum yang berdiameter 6 cm dan panjang 25
cm. Dibuat adsorben dengan mencampur silika gel kasar dan halus dengan
perbandingan 1 : 2. Disuspensikan dengan cairan pengelusi yang akan
digunakan, dimasukkan ke dalam kolom kemudian ditambahkan cairan
pengelusi. Fraksi dilarutkan sedikit etil asetat. Dimasukkan ke dalam kolom
sedikit demi sedikit hingga masuk semua ekstrak. Ditambahkan cairan
pengelusi melalui dinding kolom, dan ditampung eluen yang keluar sebagai
fraksi-fraksi dengan menggunakan botol vial. Dilalukan elusi hingga tetesan
terakhir tidak menampakkan noda lagi jika dianalisa dengan KLT. Disatukan
kembali fraksi yang memberikan noda dan Rf yang sama pada KLT.
V. 5 Kromatografi Lapis Tipis 2 Dimensi
Cuplikan dilarutkan dengan pelarut yang sesuai. Kemudian
ditotolkan pada plat KLT (5x5 cm). Plat dikembangkan dengan pelarut/fase
gerak yang bersifat kurang polar terlebih dahulu. Fase gerak yang digunakan
yaitu n-heksan:etil asetat (8:2) dan n-heksan:kloroform (6:4). Setelah plat
dikembangkan, plat dikeringkan dan diamati dibawah sinar UV 254 dan 366
nm.Selanjutnya plat dikembangkan kembali dengan fase gerak yang lebih
polar dan sistem yang berbeda. Pengembangan plat yang kedua ini dilakukan
dengan arah yang berbedaPlat dikeringkan dan diamati dibawah sinar UV
254 dan 366 nm. Plat di semprot dengan penampak bercak H2SO4 10%
dalam metanol.

21
Bab VI Pembahasan

VI. 1 Ekstraksi
Percobaan kali ini akan membahas mengenai metode ekstraksi yang
bertujuan untuk mengetahui dan memahami teknik-teknik ekstraksi dengan
metode maserasi, ekstraksi dengan alat sokhlet, dan refluks dan untuk mengetahui
dan memahami tujuan dan fungsi penggunaan metode maserasi, ekstraksi dengan
alat sokhlet, dan refluks. Pada praktikum digunakan sampel daun sirih, kulit jeruk,
daun sirsak, cabai, kulit bawang, dan biji alpukat dengan menggunakan metode
ekstraksi yaitu maserasi, refluks, dan sokhlet. Adapun pelarut atau cairan penyari
yang digunakan adalah methanol karena banyak digunakan dalam proses isolasi
senyawa organic bahan alam, selain itu juga karena metanol dapat melarutkan
seluruh golongan metabolit sekunder dan mempunyai titik didih rendah sehingga
mudah untuk diuapkan dan lebih ekonomis.
Sebelum dilakukan ekstraksi, terlebih dahulu dilakukan preparasi simplisia
dimana dilakukan pencucian daun sirsak kemudian dikeringkan dengan cara
diangin-anginkan dan dilakukan pemotongan atau perajangan. Pencucian
dimaksudkan untuk menghilangkan pengotor yang mungkin masih menempel
pada sampel daun sirsak, sedangkan pengeringan dengan cara diangin-anginkan
dilakukan karena jika pengeringan dengan matahari langsung dapat merusak
senyawa dalam sampel akibat terjadi penguraian zat aktif secara enzimatis seperti
hidrolisis, oksidasi dan polimerasi, sehingga rendemen ini akan turun. Tujuan
pengeringan yaitu agar simplisia awet dan dapat digunakan dalam jangka waktu
yang lama karena dapat menurunkan kerja enzim sehingga enzim tersebut tidak
dapat bekerja menguraikan senyawa aktif. , kemudian dilakukan pemotongan
sampel menjadi lebih kecil bertujuan untuk memperluas wilayah kontak pelarut
saat ekstraksi dengan sampel.
Sampel daun sirsak menggunakan metode ekstraksi yaitu metode
maserasi. Dipih metode maserasi karena metode ini merupakan metode dingin dan
sesuai denan karakteristik sampel yang digunakan yaitu berupa daun dan tidak
keras sehingga cocok untuk menggunakan metode maserasi. Daun sirsak (Annona

22
muricata Linn.) memiliki bentuk telur atau lanset, ujung runcing, tepi rata,
pangkal meruncing, pertulangan menyirip, panjang tangkai 5 mm dan berwarna
hijau kekuningan. Kandungan kimia daunn sirsak diantaranya asam fenolat, asam
kafeat, asam p-kumarat dan asam vanilat. Oleh masyarakat daun sirsak banyak
dimanfaatkan sebagai antibakteri, antivirus, antioksidan, antijamur, antiparasit,
dan antihipertensi (Febriani,2015).
Larutan penyari yang digunakan pada metode ektraksi maserasi ini adalah
menggunakan metanol. Metanol digunakan karena sifatnya yang diketahui adalah
sebagai pelarut semipolar sehingga diharapkan dapat menarik semua senyawa
metabolit sekunder baik yang bersifat polar maupun nonpolar yang terdapat dalam
simplisia daun sirsak.Senyawa nonpolar akan tertarik pada gugus nonpolar pada
metanol yaitu CH3- sementara senyawa polar akan tertarik pada gugus polar pada
metanol yaitu OH-. Penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam
serbuk simplisia dalam cairan penyari yang sesuai selama beberapa hari. Cairan
penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel, sehingga sel akan larut
karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar
sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan keluar dan diganti oleh cairan
penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang
sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam
sel.
Maserasi adalah proses ekstraksi dimana sampel ditempatkan dalam suatu
bejana, kemudian direndam menggunakan pelarut yang sesuai dan dibiarkan pada
suhu ruangan kurang lebih selama 3 hari, dengan dilakukan pengadukan secara
berkala sampai komponen kimia yang terdapat dalam sampel terlarut sempurna.
Keuntungan maserasi adalah bahan yang sudah halus memungkinkan untuk
direndam dalam pelarut sampai meresap dan melunakkan susunan sel, sehingga
zat-zat yang mudah larut akan terlarut, sedangkan kerugiannya adalah
memerlukan pelarut dalam jumlah banyak, waktu penyarian lama dan penyarian
kurang sempurna (Febriani, 2015).
Dalam proses ekstraksi beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah jumlah
simplisia yang akan di ekstrak, derajat kehalusan simplisia, karena jika semakin

23
halus luas permukaan akan semakin besar sehingga proses ekstraksi akan lebih
optimal, jenis pelarut yang digunakan, dan jenis pelarut yang berkaitan dengan
polaritas dari pelarut tersebut. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
dari ekstraksi ialah lama waktu ekstraksi, metode ekstraksi dan suhu yang
digunakan.
Setelah dilakukan perendaman simplisia dengan metanol atau maserasi
selama kurang lebih 3 hari, maka dilakukan pengambilan ekstrak dengan bantuan
alat rotary evaporator yang pada prinsip alatnya yaitu akan menguapkan cairan
pelarut pada ekstrak sehingga tersisa ekstrak daun sirsak yang selanjutnya
dipindahkan pada suatu wadah dan diangin-anginkan agar diperoleh ekstrak
kering daun sirsak. Dilakukan pula re-maserasi sebanyak 3 kali dengan tujuan
untuk menarik kembali senyawa-senyawa yang kemungkinan masih terdapat
dalam sampel daun sirsak. Pelarut yang digunakan pun merupakan pelarut yang
diperoleh dari penguapan menggunakan alat rotary evaporator agar lebih
menghemat bahan.
Hasil ekstraksi yang dihasilkan dari proses maserasi daun sirsak yaitu
sebanyak 21,7 gram yang diperoleh dari 238 gram berat simplisia daun sirsak
yang digunakan dengan total rendemen yaitu 9,11%.
VI. 2 Fraksinasi
Praktikum kali ini adalah praktikum metode fraksinasi yang bertujuan untuk
mengetahui dan memahami prosedur fraksinasi secara cair-cair, dan dapat
mengetahui dan memahami prosedur fraksinasi secara cair-padat. Fraksinasi
merupakan suatu proses pemisahan senyawa – senyawa berdasarkan tingkat
kepolaran. Jumlah dan senyawa yang dapat dipisahkan menjadi fraksi berbeda –
beda tergantung pada jenis tumbuhan (Harborne, 1987).
Fraksinasi sendiri bertujuan untuk melakukan pemisahan senyawa
berdasarkan tingkat kepolarannya sehingga jumlah senyawa dapat dipisahkan
menjadi beberapa fraksi yang berbeda. Dalam pelaksanaan percobaan fraksinasi
dilakukan secara bertingkat, dimulain dari penarikan senyawa non polar, lalu
pelarut semi polar, dan terakhir dengan pelarut polar (Lestari, 1990).

24
Esktrak metanol difraksinasi menggunakan metode pelarut yang tidak saling
campur atau disebut juga ekstraksi cair-cair menggunakan 3 pelarut yaitu n-
heksan, etil asetat, dan butanol. Penggunaan 3 pelarut tersebu di dasarkan tingkat
kepolarannya, dimana n-heksan bersifat non polar, etil asetat bersifat semi polar
sedangkan butanol termasuk pelarut polar. Berdasarkan perbedaan kepolaran
tersebut diharapkan dapat terpisah senyawa-senyawa dari ekstrak daun sirsak
berdasarkan tingkat keporannya. Ekstraksi cair-cair dimulai dari pelarut yang non
polar karena diharapkan agar senyawa yang tertarik lebih spesifik yaitu yang non
polar saja sebab jika langsung mengunakan pelarut polar maka kemungkinan
pelarut tersebut akan menarik seluruh senyawa sehingga tidak ada lagi senyawa
yang dapat ditarik oleh pelarut selanjutnya.
Tahap-tahap dalam melakukan proses fraksinasi yaitu pertama-tama
ekstrak metanol dilarutkan dalam air. Setelah larut, kemudian dimasukkan ke
dalam corong pisah dan ditambahkan 10 ml n-heksana dan dikocok pada satu arah
hingga homogen. Sesekali membuka keran corong pisah untuk mengeluarkan
udara dari hasil pengocokan. Dipisahkan hingga terlihat adanya dua lapisan,
dimana lapisan atas adalah lapisan n-heksan, sedangkan lapisan bawah adalah
lapisan air. Hal ini karena air memiliki massa jenis yang lebih besar daripada n-
heksan. Selanjutnya untuk lapisan ekstrak n-heksan ditampung dan diuapkan
sehingga di dapatkan ekstrak kering. Sedangkan untuk lapisan air, dimasukkan ke
dalam corong pisah dan ditambahkan lagi n-heksan dan dikocok hingga homogen,
prosedur ini dilakukan sama halnya pada prosedur awal, dan dilakukan terus-
menerus hingga lapisan atas kelihatan jernih.
Pengerjaan kedua, dilanjutkan dengan menggunakan pelarut semi polar
yang digunakan yaitu etil asetat. Etil asetat merupakan salah satu jenis solvent
atau pelarut yang memiliki rumus CH 3COOC2H5. Cairan jernih tak berwarna dan
berbau harum atau aroma buah (khas ester) ini mempunyai kemurnian 99,8%
dengan kandungan impuritasnya berupa air maksimal 0,1% dan etanol maksimal
0,1%, serta larut dalam alkohol dan mempunyai titik didih sebesar 77 ○C dengan
berat jenis 0,8945 gr/ml (25 oC). Sama seperti halnya pengerjaan pada n-heksan
dikocok pada satu arah hingga homogen. Sesekali membuka keran corong pisah

25
untuk mengeluarkan udara dari hasil pengocokan. Dipisahkan hingga terlihat
adanya dua lapisan. Sedangkan untuk pelarut polar pelarut yang digunakan adalah
n butanol dengan titik didih 117-118 oC dengan masa jenis 0.810 g/ml dengan
melakukan proses yang sama dengan penggunaan pelarut n-heksan. Penggunaan
n-butanol pada partisi cair yaitu sebagai pelarut polar, pemilihan pelarut ini
didasarkan bahwa n-butanol dapat dijenuhkan dengan air tetapi tetap tidak
bercampur dengan air. Setelah proses fraksinasi selesai, masing-masing fraksi
yang sudah ditampung pada wadah diangin-anginkan untuk menghilangkan
kandungan pelarutnya dan setelah kering ditimbang bobotnya untuk mengetahui
persen rendemen yang diperoleh.
Adapun hasil yang diperoleh, yaitu ekstrak daun sirsak dengan pelarut n-
hexan adalah 8,3 gram dengan rendemen 83 %, pelarut etil asetat mendapatkan
ekstrak daun sirih 0,7 gram dengan rendemen 7 %, dan pelarut butanol ekstrak
daun sirih yang didapatkan adalah 4,6 gram dengan rendemen 46 %.
VI. 3 Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu analisis kualitatif dari suatu
sampel yang ingin dideteksi dengan memisahkan komponen-komponen sampel
berdasarkan perbedaan kepolaran. Prinsip kerjanya adalah berdasarkan adsorpsi
dan partisi, dimana sampel akan berpisah berdasarkan perbedaan kepolaran antara
sampel dengan pelarut yang digunakan. Teknik ini biasanya menggunakan fase
diam dari bentuk plat silika dan fase geraknya disesuaikan dengan jenis sampel
yang ingin dipisahkan. Semakin dekat kepolaran antara sampel dengan eluen
maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut (Iskandar, 2007).
Fase diam (adsorben) contohnya silika gel, silika gel ini menghasilkan
perbedaan dalam efek pemisahan yang tergantung kepada cara pembuatannya.
Fase gerak (mobile) meliputi beberapa variasi eluen. Eluen yang digunakan untuk
proses elusi terdapat dua jenis yaitu eluen yang lebih polar dan eluen yang kurang
polar. Penggunaan eluen yang kurang polar dimaksudkan untuk mengelusi ekstrak
heksan dan ekstrak metanol, sedangkan eluen yang lebih polar untuk mengelusi
ekstrak n-butanol jenuh air dan ekstrak metanol. Eluen yang digunakan
merupakan kombinasi dari dua macam pelarut, Hal ini dimaksudkan untuk

26
mencapai semua tingkat kepolaran sehingga eluen ini dapat mengangkat noda
yang tingkat kepolarannya berbeda-beda. Perbandingan jumlah eluen yang
digunakan berdasarkan pengalaman dapat menarik komponen kimia yang
maksimal. Namun jika pada penampakan noda, belum diperoleh jumlah noda
yang maksimal atau posisi noda terlalu ke atas atau ke bawah maka perbandingan
ini dapat dikombinasikan kembali (Iskandar, 2007).
Adapun tahapan dari pengerjaan kromatografi lapis tipis adalah mula-mula
sampel dilarutkan dengan pelarut yang sesuai. Sampel yang digunakan yaitu
fraksi etil asetat sehingga dilarutkan dengan pelarut etil asetat. Sampel ditotolkan
atau ‘digariskan” pada salah satu ujung kolom sejarak 1 cm di atas tepi bawah
menggunakan pipa kapiler,. Lempeng kemudian diangin-anginkan sedikit. Lalu
lempeng dimasukkan ke dalam chamber yang berisi eluen (n-heksan:etil asetat,
8,5: 1,5 ), dimana sebelumnya chamber dijenuhkan dengan cara memasukkan
kertas saring kedalam chamber yang telah berisi eluen dan ditunggu hingga kertas
saring terelusi seluruhnya oleh eluen. Kemudian lempeng KLT yang berada di
dalam chamber dibiarkan terelusi oleh eluen hingga tanda batas atas pada
lempeng. Bila lempeng KLT telah terelusi, maka lempeng KLT kemudian
diangkat dan dikeringkan. Prinsip eluen tersebut dalam melewati fase diam
(terelusi naik ke atas) adalah bergerak berdasarkan prinsip partisi dimana fase
gerak akan teradsorpsi pada permukaan dan mengisi ruang-ruang diantara sel
penyerap, kemudian terpartisi.
Proses berikutnya adalah visualisasi, dimana noda pada lempeng KLT
diamati dibawah lampu UV 254 nm dan 366 nm. Pemilihan sinar UV yang
digunakan yaitu UV 254 nm dan UV 366 nm, karena kedua UV ini telah mampu
mewakili kedua jenis UV dekat. Dimana UV panjang diwakili oleh UV 366 nm
dan UV pendek diwakili oleh 254 nm. Pada UV 254 nm, lempeng akan
berflouresensi sedangkan sampel akan tampak berwarna gelap.Penampakan noda
pada lampu UV 254 nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV
dengan indikator fluoresensi yang terdapat pada lempeng. Pada UV 366 nm noda
akan berflouresensi dan lempeng akan berwarna gelap. Penampakan noda pada
lampu UV 366 nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan

27
gugus kromofor yang terikat oleh auksokrom yang ada pada noda tersebut.
Sehingga noda yang tampak pada lampu UV 366 terlihat terang karena silika gel
yang digunakan tidak berfluororesensi pada sinar UV 366 nm (Stahl, 1969).
Selanjutnya dilakukan penyemprotan dengan menggunakan H2SO4 10%.
Setelah dilakukan tahap visualisasi, Penampakan noda setelah lempeng disemprot
dengan H2SO4 10% disebabkan karena H2SO4 ini bersifat pereaksi universal
sehingga dapat menampakkan noda yang tidak dapat terlihiat pada UV maupun
dilihat lagsung oleh mata selain itu juga karena H2SO4 merupakan reduktor yang
dapat memutuskan ikatan rangkap sehingga panjang gelombangnya bertambah
dan warna noda dapat dilihat pada cahaya tampak. Prinsip pemisahan noda adalah
berdasarkan kepolarannya sehingga menghasilkan kecepatan yang berbeda-beda
saat terpartisi dan terjadilah pemisahan. Untuk memisahkan noda dengan sebaik-
baiknya maka digunakan kombinasi eluen non polar dengan polar. Apabila noda
yang diperoleh terlalu tinggi, maka kecepatannya dapat dikurangi dengan
mengurangi kepolaran. Namun apabila nodanya lambat bergerak atau hanya
ditempat, maka kepolaran dapat ditambah (Hendayana, 2006 ).
Proses KLT ini dilakukan untuk mencari eluen yang sesuai dan yang
paling baik memisahkan senyawa. Eluen yang paling baik akan digunakan dalam
proses selanjutnya yaitu kromatografi kolom. Noda yang telah terpisah kemudian
diukur nilai Rf nya. Nilai Rf merupakan jarak yang ditempuh oleh senyawa dari
titik asal dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut dari titik asal.
Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan didapatkan nilai rf dari eluen n-
heksan : etil asetat dengan perbandingan 8,5:1,5 adalah 0,56 cm.
Gambar VI.5.1 bercak pada UV Gambar VI.5.1 bercak pada UV
366 nm 366 nm

28
VI. 4 Kromatografi Konvensional
Praktikum ini dimulai dengan preparasi kolom yang dilakukan dengan
mengisi kolom dengan fase diam sekitar seperdua dari kolom dengan cara basah
yaitu pertama mengisi kolom kromatografi dengan eluen n-heksan: etil asetat
(8:2). Panjang kolom yang diganakan yaitu 10cm, dengan jumlah sampel
sebanyak 2 gram , dimana sampel yang digunakan yaitu frasi etil asetat dari daun
sirsak. Setelah itu dicampurkan silica gel 20 gram dengan perbandingan eluen
tersebut. Silica yang digunakan dalam percobaan ini yaitu silica gel 60 dan eluen
yang di gunakan adalah eluen n-heksan: etil asetat (8:2). Silica yang telah di
impprect kemudian di masukan sedikit demi sedikit kedalam kolom kromatografi.
Diusahakan eluen (fase gerak) di dalam kolom lebih tinggi dari fase diamnya. Hal
ini dilakukan karena untuk mencegah fase diam atau silica mengalami
keretakakan yang akan mempengaruhi proses pemisahan. Sedangkan sampel
dipreparasi dengan cara kering yaitu, pertama dilarutkan sampel dengan sedikit
eluen lalu di tambahkan silica gel 2 gram dan di gerus dengan mortir hingga
sampel benar benar kering dan halus. Setelah proses preparasi selesai, di
masukkan bubur silica kemudian sampel kedalam kolom dan akan terlihat
pemisahan berdasarkan perbedaan warna pada sampel.
Diperhatikan kondisi kolom kromatografi jangan sampai retak atau
bergelembung karena akan memengaruhi hasil pemisahan sehingga hasilnya
kurang baik. Kemudian penambahan eluen, hal ini juga harus diperhatikan karena
jika eluennya habis dan membuat silika kering maka dapat menyebabkan silika
retak dan pemisahan tidak maksimal. Selain itu, perlakuan pada kran kolom juga
harus diperhatikan. Kran kolom harus dibuka secara maksimal dan tidak boleh
dibuka tutup karena jika hal itu dilakukan akan membuat silika retak.
Hasil tetesan dari kolom ditampung di dalam botol vial sebanyak 5 ml/
botol. Pada penambahan eluen pertama yaitu n-heksan dan etil asetat dengan
perbandingan 8:2. Pada percobaan ini diperoleh 30 vial yang dengan warna
bening, agak kekuningan, hijau bening dan hijau pekat.

29
VI. 5 Kromatografi Lapis Tipis 2 Dimensi
KLT dua dimensi dan multieluen memiliki prinsip yang sama yaitu
adsorbsi dan partisi tetapi yang membedakannya pada KLT 2 dimensi didasarkan
pada proses elusi yang bertujuan untuk memperpanjang jarak lintasan noda untuk
memperoleh senyawa tunggal sedangkan pada multieluen jumlah totolannya yang
berbeda yaitu berupa cuplikan yang berkesinambungan dan menghasilkan hasil
elusi berupa pita.
Kromatografi Lapis Tipis 2 arah biasa disebut juga dengan kromatografi
Lapis Tipis 2 dimensi. Merupakan salah satu metode yang dapat memungkinkan
pemakaian fase diam yang lebih luas untuk memisahkan campuran yang
mengandung banyak komponen. Selain itu,dua system pelarut yang sangat
berbeda dapat dipakai secara berurutanpada campuran tertentu, jadi
memungkinkan pemisahan campuran yang mengandung komponen yang
kepolarannya sangat berbeda.
KLT dua dimensi dan multieluen memiliki prinsip yang sama yaitu
adsorbsi dan partisi tetapi yang membedakannya pada KLT 2 dimensi didasarkan
pada proses elusi yang bertujuan untuk memperpanjang jarak lintasan noda untuk
memperoleh senyawa tunggal sedangkan pada multieluen jumlah totolannya yang
berbeda yaitu berupa cuplikan yang berkesinambungan dan menghasilkan hasil
elusi berupa pita.
Kromatografi Lapis Tipis 2 arah biasa disebut juga dengan kromatografi
Lapis Tipis 2 dimensi. Merupakan salah satu metode yang dapat memungkinkan
pemakaian fase diam yang lebih luas untuk memisahkan campuran yang
mengandung banyak komponen. Selain itu,dua system pelarut yang sangat
berbeda dapat dipakai secara berurutanpada campuran tertentu, jadi
memungkinkan pemisahan campuran yang mengandung komponen yang
kepolarannya sangat berbeda.
Percobaan ini merupakan uji kemurnian untuk senayawa yang diperoleh
hasil pemisahan yang telah dilakukan dengan beberapa percobaan sebelumnya.
Pertama-tama dilarutkan hasil dari KKK pada botol vial dengan sedikit pelarut
yang sesuai yaitu etil asetat. Kemudian ditotolkan pada plat KLT yang sudah

30
dipotong dengan ukuran 5x5 cm menggunakan pipa kapiler. Selanjutnya plat
dielusi menggunakan 2 sistem eluen yang berbeda kepolarannya, hal ini bertujuan
untuk melihat apakah noda yang dihasilkan merupakan noda tunggal atau tidak,
selainn itu juga dilakukan elusi secara horizontal dan vertikal untuk menguji
apakah masih ada noda yang mungkin masih bertumpuk. Sistem fase gerak yang
pertama leboh kurang polar sehingga dapat memantau bercak yang mungkin
muncul diatasnya. Selanjutnya sistem fase gerak yangkedua bersifat lebih polar
sehingga dapat memantau bercak yang mungkin berada dibawahnya. Adapun 2
sistem fase gerak yang digunakan pada sampel daun sirsak yaitu perbandingan
eluen n-heksan:etil asetat (8:2) dan n-heksan:kloroform (6:4). Setelah ditotolkan
sampel pada plat, plat dielusi pada chamber dengan 2 sistem fase gerak tersebut
dan 2 arah yang berbeda yaitu horizontal dan vertikal. Setelah elusi naik hingga
batas atas maka dilanjutkan dengan pengataman dibawah sinar UV 254 dan 366
nm. Sehingga hasil pemisahan yang diperoleh dapat dilihat pada gambar dibawah
ini.

Gambar VI.5.1 bercak pada UV Gambar VI.5.1 bercak pada UV


366 nm 254 nm

31
Bab VII Kesimpulan dan Saran

VII. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan
bahwa :
1. Persen rendemen dari simlisia daun sirsak yaitu 9,11%
2. Pada proses fraksinasi hasil yang diperoleh, yaitu ekstrak daun sirsak
dengan pelarut n-hexan adalah 17,6 gram dengan rendemen 81,10 %,
pelarut etil asetat mendapatkan ekstrak daun sirih 0,7 gram dengan
rendemen 3,22%, dan pelarut butanol ekstrak daun sirih yang didapatkan
adalah 1 gram dengan rendemen 4,06 %.
3. Pada proses isolasi belum didapatkan isolat murni.

VII. Saran
Sebaiknya sebelum dilakukan semua praktikum metode pemisahan yang
berkelanjutan maka haruslah dipahami semua teori dan prinsip-prinsip yang
berkaitan dengan metode pemisahan agar dalam pengerjaan praktikun, segala
bentuk kesalahan dapat diminimalisir karena kesalahan kecil dalam pengerjaan
dapat menjadi masalah besar dan dapat mempengaruhi pengerjaan dari awal
percobaan/ mengulang dari preparasi sampel jika dibutuhkan.

32
Daftar Pustaka

Adnan, M. 1997. Teknik Kromatografi Untuk Analisis Bahan Makanan. Andi


Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.

Ditjen POM.2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Depkes.RI


Hal.10-11. Jakarta.

Fajriati, I, dkk. 2011.Studi EkstraksiPadat Cair Menggunakan Pelarut HF dan


HNO3pada Penentuan Logam Cr dalam Sampel Sungai di Sekitar Calon
PLTN Muria. Jurnal ILMU DASAR, Vol 12 No 1.

Febriani, Diana, dkk. 2015. Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Etanol Daun
Sirsak (Annona Muricata Linn). Jurnal Prosiding Penelitian SPeSIA
Unisba 2015.

Handayana.H, 2003, Kromatografi Lapis Tipis, dalam Analisis Farmasi I,


Fakultas farmasi, UNAIR, Surabaya, 9, 11, 14, 17.

Harborne J.B. 1987. Metode Fitokimia. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Hostettmenn, K, dkk., 1986. Cara Kromatografi Preparatif, ITB, Bandung

Iskandar, M.J. 2007. Pengantar Kromatografi Edisi Kedua. Penerbit ITB:


Bandung.

Khopkar. 2010. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI-Press : Jakarta

Lenny, S. 2006. Analisi Kromatografi dan Mikroskop. ITB. Bandung.

Lestari SB, Pari G. 1990. Analisis kimia beberapa jenis kayu Indonesia. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan
VII (3) : 96-100.

Lucas,1949. Principles and Practice In Organic Chemistry. New York : John


Willey and Son,Inc

33
Mardiana,L. dan Ratnasari,J.2011. Ramuan dan Khasiat Sirsak. Penebar
Swadaya. Jakarta

Raymond G. Reid and Satyajit D. Sarker. 2006. “Isolation of Natural Products by


Lo Pressure Column Chromatography”. Humana Press Inc. Totowa: New
Jersey.s

Retnani, V. 2011. Pengaruh Sumplementasi Ekstrak Daun Annona Muricata


Terhadap Kejadian Displasia Epitel Kelenjar Payudara Tikus Sparague.
Dawley yang Diinduksi 7,12 Dimetilbenz (α). Skripsi.
Semarang.Universitas Diponegoro.

Schill, Goran., 1978. Separation Methods, Swedish Phasma Centrical


Press, Stockholm.

Stahl, E (peny.), 1969. Thin Layer Cromatography, tbn. 2, George Allen dan
Unwin. London.

Sudjadi. 1988. Metode Pemisahan. Kanisius: Yokyakarta

Sunarjono, H. 2005. Sirsak dan Srikaya. Penebar Swadaya.Hal 14-15,22-25.


Cetakan Pertama. Jakarta

34
LAMPIRAN

Tabel V. 1 Rendemen Ekstraksi


Sampel Rendemen (%)

Daun Sirsak 9,11

Rendemen = x 100%

=
x 100%

= 9,11%

Tabel V. 1 Rendemen Fraksinasi


1. Tabel Hasil Pengamatan
No. Pelarut % Rendemen
1. N-Heksan 83 %
2. Etil Asetat 7%
3. N-Butanol 46%

2. Perhitungan

Rendemen = x 100%

a. N-heksan

Rendemen = x 100%

= 83 %
b. Etil asetat

35
Rendemen = x 100%

= 7%

c. N-butanol

Rendemen = x 100%

= 46 %

(a) (b)
Gambar I. (a) Sortasi kering dan basah pada simplisia (daun sirsak),
(b) Penyerbukan simplisia.(daun sirsak).

(a)
Gambar II. (a) Remaserasi menggunakan pelarut metanol hasil
pemisahan dari ekstrak maserasi.

36
(a)
Gambar III. (a) Pemisahan ekstrak basah dari pelarut metanol
menggunakan Rotary Evaporator.

(a) (b)
Gambar IV. (a) ekstrak metanol daun sirsak basah, (b) ekstrak kering
metanol daun sirsak.

(a) (b) (c)


Gambar V. (a) Fraksi n- heksan daun sirsak, (b) Fraksi etil asetat
daun sirsak, (c) Fraksi butanol ekstrak daun sirsak.

37
(a) (b)
Gambar VI. (a) Hasil metode KLT (Kromatografi Lapis Tipis) eluent
n-heksan : etil asetat UV 254, (b) Hasil metode KLT (Kromatogerafi
Lapis Tipis) eluent n-heksan : etil asetat UV 366.

(a)
Gambar IX. (a) Proses pemisahan senyawa melalu fase diam silika 60.

38
(a) (b)
Gambar X. (a) Hasil perbandingan eluen n-hexan : etil asetat UV 254
(b) Hasil perbandingan eluen n-hexan : etil asetat UV 366

(a) (b)
Gambar XI. (a) Hasil Perbandingan eluent kloroform : etil asetat UV
254 (b) Hasil perbandingan eluent kloroform : etil asetat UV 366

39
(a) (b)
Gambar XII. (a) Hasil 2 dimensi UV 254 (b) Hasil 2 dimensi UV 366

40

Anda mungkin juga menyukai