Anda di halaman 1dari 44

REFERAT

Ramadan fasting and diabetes, latest evidence and technological advancements:


2021 update

Disusun oleh:
Fathi Tsamara Ghufroon Rifai G4A022052

Pembimbing:
Dr. dr. Pugud Samodro, Sp.PD-KEMD, FINASIM

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2023
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
Ramadan fasting and diabetes, latest evidence and technological advancements:
2021 update

Disusun Oleh:
Fathi Tsamara Ghufroon Rifai G4A022052

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu


Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokoerto

Telah disetujui dan dipresentasikan


pada tanggal April 2023

Dokter Pembimbing:

Dr. dr. Pugud Samodro, Sp.PD-KEMD, FINASIM

PAGE \* MERGEFORMAT i
DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN............................................................................................1
II. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................2
A. Diabetes Melitus...........................................................................................2
1. Definisi......................................................................................................2
2. Epidemiologi.............................................................................................3
3. Patogenesis................................................................................................4
4. Klasifikasi..................................................................................................8
5. Faktor Risiko...........................................................................................10
6. Gejala Klinis............................................................................................15
7. Penegakkan Diagnosis.............................................................................16
8. Tatalaksana..............................................................................................16
9. Komplikasi..............................................................................................20
B. Hubungan Diabetes Melitus dengan Puasa.................................................21
1. Fisiologi Berpuasa Ramadan pada Individu Sehat..................................21
2. Patofisiologi Berpuasa pada DM.............................................................23
3. Risiko Terkait Berpuasa pada Penyandang DM......................................23
4. Stratifikasi Risiko dan Penilaian Pre-Ramadan.......................................24
6. Pendekatan Non-Farmakologis...............................................................26
7. Aktivitas Fisik dan Berpuasa...................................................................29
8. Pendekatan Farmakologis........................................................................29
9. Penyesuaian Dosis Insulin Pada Penyandang DM Yang Menjalani
Ibadah Puasa...................................................................................................35
10. Pemantauan Gula Darah Mandiri........................................................36
11. Diabetes dan Kondisi Khusus..............................................................37
III. KESIMPULAN...........................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................39

PAGE \* MERGEFORMAT i
I. PENDAHULUAN
Puasa Ramadan merupakan salah satu ibadah yang penting bagi umat muslim
di seluruh dunia. Namun, puasa Ramadan dapat membawa risiko kesehatan yang
serius bagi orang yang menderita diabetes melitus. Diabetes melitus adalah
kondisi di mana kadar gula darah seseorang lebih tinggi dari normal karena tubuh
tidak dapat memproduksi atau menggunakan insulin dengan benar. Puasa
Ramadan dapat memengaruhi kadar gula darah seseorang secara signifikan dan
meningkatkan risiko komplikasi yang berkaitan dengan diabetes. Oleh karena itu,
penting untuk memahami implikasi puasa Ramadan pada penderita diabetes
melitus.
Puasa Ramadan pada penderita diabetes melitus dapat memiliki implikasi
yang berbeda tergantung pada jenis diabetes yang diderita dan pengendalian gula
darah sebelum memasuki bulan puasa. Pada penderita diabetes melitus tipe 1,
puasa dapat meningkatkan risiko ketoasidosis, yaitu kondisi di mana kadar asam
keton dalam darah meningkat, dan dapat mengancam jiwa. Sedangkan pada
penderita diabetes melitus tipe 2, puasa dapat memperburuk kondisi kesehatan
mereka dan meningkatkan risiko komplikasi kesehatan jangka panjang.
Oleh karena itu, penting bagi penderita diabetes melitus untuk mempersiapkan
diri dengan baik sebelum memasuki bulan puasa Ramadan, termasuk
berkonsultasi dengan dokter dan perencanaan makan yang tepat. Selain itu, dalam
melakukan penanganan pada penderita diabetes melitus, klinisi perlu meninjuau
pemahaman mengenai diabetes melitus, seperti patogenesis, faktor risiko dan
tatalaksana dari penyakit tersebut untuk mencegah adanya komplikasi lebih lanjut.

PAGE \* MERGEFORMAT i
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus

1. Definisi
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolik
kronis yang ditandai dengan kadar gula darah meningkar karena kurang
tersedianya insulin dan atau kerja insulin yang tidak efektif sehingga tidak
bisa berfungsi optimal (IDF, 2017).
Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang timbul karena glukosa
darah yang meningkat, disebabkan oleh tubuh yang tidak mampu atau tidak
cukup dalam memproduksi insulin atau penggunaan insulin yang tidak
efektif (WHO, 2018). Kadar gula darah sewaktu yang didapatkan dari hasil
pemeriksaan melebihi 200 mg/dl serta kadar gula darah puasa melebihi
atau sama dengan 126 mg/dl (Misnadiarly dalam Hestina, 2017). Menurut
Donelly (2015) diabetes melitus adalah sindrom yang disebabkan oleh
terganggunya insulin di dalam tubuh yang menyebabkan hiperglikemia
disertai abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein.
Kerusakan jangka panjang, disfungsi, atau kegagalan beberapa organ
tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah
berhubungan dengan hiperglikemi kronik pada diabetes (Sudoyo, 2006)
Diabetes melitus merupakan bagian dari kelompok penyakit
metabolik kronik dengan ciri khas kondisi hiperglikemia. Kondisi
hiperglikemia kronik terjadi karena tubuh tidak dapat lagi memproduksi
hormon insulin yang cukup atau dapat pula dikatakan bahwa sensitivitas
sel tubuh terhadap hormon insulin menurun. Saat ini, diabetes melitus,
telah menjadi masalah kesehatan yang cukup serius di dunia. Pernyataan
ini telah didukung oleh beberapa studi epidemiologi yang menunjukkan
bahwa Mayoritas insiden dan prevalensi diabetes melitus di dunia masih
terus meningkat (Nanda et al., 2018).

PAGE \* MERGEFORMAT i
Diabetes melitus biasa disebut dengan penyakit yang mematikan
karena menyerang semua organ tubuh dan menimbulkan keluhan. Keluhan
pada penderita DM disebabkan oleh banyak hal diantaranya karakteristik
individu meliputi jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan,
pendapatan, jumlah anggota keluarga, riwayat penyakit dan dapat
dipengaruhi juga dengan faktor penanganan yang meliputi diet, aktivitas
fisik, terapi obat, dan pemantauan glukosa darah (Trisnawati, 2013)

2. Epidemiologi
World Health Organization (WHO) juga mengatakan bahwa akan
terjadi peningkatan lagi untuk kejadian diabetes melitus minimal 366 juta
jiwa pada tahun 2030 (Rondonuwu, Rompas et al. 2016). Indonesia
menempati urutan keempat negara tertinggi dengan penduduk menderita
penyakit diabetes melitus. Tahun 2019 lalu International Diabetes
Federation (IDF) meyampaikan bahwa kasus diabetes melitus pada orang
produktif dengan usia 20-79 tahun sebanyak 463 kasus (Febriyanti dan
Yusri 2021).
Prevalensi diabetes diantara orang dewasa di wilayah regional Asia
Tenggara meningkat dari 4,1% pada tahun 1980 menjadi 8,6% di tahun
2014. Lebih dari 60% laki-laki dan 40% perempuan dengan diabetes
meninggal sebelum berusia 70 tahun di wilayah regional Asia Tenggara.
Prevalensi orang dengan diabetes di Indonesia manunjukkan
kecenderungan meningkat yaitu dari 6,9% (2013) menjadi 8,5% di tahun
2018, sehingga estimasi jumlah penderita di Indonesia mencapai lebih dari
16 juta (Rahmah and Parinduri, 2020).
Prevalensi DM lebih tinggi di daerah perkotaan (2,6%) daripada di
daerah pedesaan(1,4%). Hal tersebut dikaitkan dengan gaya hidup,
dimana masyarakat di daerah urban cenderung memiliki gaya hidup
yang tidak sehat. Masyarakat perkotaan lebih banyak mengonsumsi
makanan cepat saji dan jarang melakukan aktivitas fisik. Masyarakat
yang kurang melakukan aktivitas fisik didaerah pedesaan sebesar 42,4%
sementara didaerah perkotaan lebih banyak yakni mencapai 57,6%
(Riskesdas, 2018)

PAGE \* MERGEFORMAT i
Menurut International Diabetes Federation, terdapat 415 juta
penderita DM Tipe 2 pada tahun 2015, dan diperkirakan jumlahnya akan
meningkat menjadi hampir 642 juta pada tahun 2040. WHO juga
menyebutkan bahwa sekitar 150 juta orang di dunia telah menderita
diabetes mellitus (Saputri et al., 2018). Secara global, 1 dari 11 orang
dewasa menderita diabetes melitus dengan 90% menderita diabetes
melitus (Sapra & Bhandari, 2021). Penduduk Amerika yang menderita
diabetes sebanyak 29,1 juta jiwa dimana sebanyak 21 juta jiwa katagori
diabetes yang terdiagnosis, sedangkan sebanyak 8,1 juta jiwa termasuk
katagori diabetes tidak terdiagnosis (Pradipta et al., 2020). Prevalensi DM
di Indonesia mencapai 4,8% (Lathifah, 2017). Diperkirakan bahwa 21,3
juta masyarakat di Indonesia akan menderita DM pada tahun 2030
(Prabowo & Hastuti, 2015). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Banyumas
tahun 2020, penderita DM di Kabupaten Banyumas mencapai 25.744 kasus
dan telah mendapat pengobatan sebesar 95,6% (Qomariyah & Prabandari,
2021).

3. Patogenesis
Menurut Buraerah (2010), DM disebabkan oleh insulin dalam
tubuh yang kurang secara relatif maupun absolut. Jalur defisiensi insulin
terbagi menjadi 3, yaitu:
a. Kerusakan sel-sel β pankreas karena pengaruh dari luar (virus,
zat kimia, dan lain-lain)
b. Terjadi desensitisasi atau penurunan reseptor gula pada kelenjar
pankreas
c. Desensitisasi atau rusaknya reseptor insulin di jaringan perifer
Sistem imunitas pada DM tipe I menyerang dan menghancurkan sel
yang memproduksi insulin beta pankreas. Ditemukannya anti insulin atau
antibodi sel anti islet dalam darah menjadi tanda dari kondisi tersebut
yang merupakan penyakit autoimun seperti pada Gambar 2.1. Regulasi
glukosa terganggu disebabkan oleh penurunan sekresi insulin karena
kerusakan pankreas. Kerusakan akibat autoimun selain menyebabkan
hilangnya sekresi insulin, juga akan mengakibatkan abnormalitas sel-sel

PAGE \* MERGEFORMAT i
alpha pankreas dimana terjadi sekresi glukagon yang berlebihan. Kedua
hal tersebut menyebabkan kondisi hiperglikemia yang berkepanjangan dan
gangguan metabolik mulai terjadi (Suyono, 2006).
Penyebab terjadinya DM tipe 2 adalah kekurangan insulin,
tetapi tidak terjadi defisiensi absolut seperti DM tipe 1.
Ketidakmampuan tubuh dalam produksi insulin yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan ditandai dengan kurangnya sel beta atau
defisiensi insulin perifer (Soelistijo et al, 2015). Mekanisme
terjadinya defisiensi insulin relatif terbagi menjadi dua yaitu,
gangguan sekresi insulin akibat disfungsi sel beta pankreas dan
gangguan kerja insulin pada tingkat sel akibat kerusakan reseptor
insulin (resistensi insulin) (Suyono, 2006).

Gambar 2.1 Patogenesis DM Tipe 1 (Suyono, 2016)


Terdapat sebelas organ penting dalam gangguan toleransi glukosa
pada DM tipe 2 yang dapat disebut egregious eleven, antara lain
(PERKENI, 2021):

PAGE \* MERGEFORMAT i
Gambar 2.2 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2 (PERKENI,
2021)

a. Kegagalan sel beta pankreas


Sel beta pankreas gagal mensekresikan insulin yang
berfungsi untuk meningkatkan ambilan glukosa di banyak sel dan
mengatur metabolisme karbohidrat.
b. Disfungsi sel alfa pankreas
Fungsi sel alfa adalah untuk mensintesis glukagon yang
kadarnya meningkat pada plasma saat keadaan puasa. Peningkatan
ini menyebabkan peningkatan produksi glukosa hati dalam keadaan
basal dibanding individu normal.
c. Hepar
Terjadi resistensi insulin yang berat pada pasien DM tipe 2
sehingga memicu glukoneogenesis. Hal ini menyebabkan
pembentukan glukosa oleh hepar dalam keadaan basal meningkat.
d. Otot
Terjadi gangguan kinerja insulin multipel di intramioseluler
pada pasien DM tipe 2. Hal ini disebabkan karena gangguan
fosforilasi tirosin, sehingga transport glukosa dalam sel otot
terganggu, sintesis glukosa menurun, dan oksidasi glukosa juga
menurun.

PAGE \* MERGEFORMAT i
e. Sel lemak
Terjadi peningkatan proses lipolysis dan kadar free fatty
acid (FFA) dalam plasma karena sel lemak resisten terhadap efek
antilipolisis dari insulin. Peningkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis dan mencetuskan resistensi insulin di otot dan
hepar sehingga mengganggu sekresi insulin.
f. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada
individu yang obesitas baik yang DM maupun non-DM, didapatkan
hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru
meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di
otak.
g. Lambung
Penurunan produksi amylin pada diabetes merupakan
konsekuensi kerusakan sel beta pancreas. Penurunan kadar amylin
menyebabkan percepatan pengosongan lambung dan peningkatan
absorpsi glukosa di usus halus, yang berhubungan dengan
peningkatan kada glukosa postprandial
h. Usus halus
Glukosa yang ditelan memicu respons insulin lebih besar
disbanding bila diberikan secara intravena. Efek yang dikenal
dengan efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon yaitu glucagon-
like polypeptide-1 (GLP-1) dan glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide (GIP).
Pada pasien DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resistensi
terhadap hormone GIP. Hormon inkretin juga segera dipecah oleh
keberadaan enzim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa
menit.
i. Usus besar
Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi
dalam keadaan hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti

PAGE \* MERGEFORMAT i
berhubungan dengan DM tipe 1, DM tipe 2, dan obesitas sehingga
menjelaskan bahwa adanya Sebagian individu berat badan berlebih
akan berkembang menjadi DM.
j. Ginjal
Ginjal berperan dengan mekanisme reabsorbsi glukosa
melalui peran enzim SGLT-2 di dalam rubulus ginjal dan
menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah.
k. Sistem imun
Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respon fase akut
yang berhubungan erat dengan patogenesis DM tipe 2 dan
berkaitan dengan komplikasi seperti dislipidemia dan
aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah berperan dalam
menginduksi stress pada endoplasma akibat peningkatan kebutuhan
metabolisme untuk insulin.

4. Klasifikasi
Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi beberapa tipe menurut
etiologinya seperti pada Tabel 2.1. Klasifikasi DM dijelaskan sebagai
berikut:
a. Diabetes Melitus Tipe I
Menurut Sudoyo (2006), kekurangan insulin secara total atau
hampir total disebut dengan “Juvenile onset” atau “insulin
dependent” atau “ketosis prone”, karena kondisi kekurangan insulin
atau ketoasidosis dapat menyebabkan kematian dalam beberapa hari.
Tubuh yang tidak dapat memproduksi hormon insulin merupakan
tanda dari diabetes tipe I. Pada kasus ini sel pankreas yang
mengeluarkan insulin (sel beta di pulau langerhans) berhenti bekerja
(Noviyanti, 2015). Terjadi gangguan metabolik pada diabetes melitus
tipe I yang ditandai dengan tidak ditemukannya insulin dalam sirkulasi,
peningkatan glukagon plasma, dan sel-sel beta pankreas gagal
merespon rangsangan insulogenik yang telah diketahui. DM tipe I
paling banyak menyerang orang muda dan juga dapat dijumpai pada
orang dewasa non obesitas (Greenspan, 2007). Penderita DM tipe I

PAGE \* MERGEFORMAT i
sebagian besar berusia kurang dari 40 tahun dan menyerang pada
remaja dan anak-anak. Penderita harus menggunakan suntikan insulin
untuk mengatur gula dalam darah. (Noviyanti, 2015).
b. Diabetes Melitus Tipe II
DM tipe II adalah kasus diabetes yang paling sering ditemui,
sekitar 90-95% dari penderita DM merupakan penderita DM tipe II.
Penyebab terjadinya DM tipe II adalah resistensi insulin yang mana
insulin tidak dapat mengangkut glukosa dari dalam darah masuk ke
jaringan sehingga terjadi hiperinsulinemia. Resistensi insulin adalah
ketidakmampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa dari
jaringan perifer untuk menghambat produksi glukosa oleh hepar
sehingga reseptor insulin mengalami resistensi karena menganggap
glukosa dalam darah masih tinggi. Tubuh akan mengalami resistensi
insulin yang mengakibatkan sensitivitas reseptor glukosa menurun.
Proses terjadinya resistensi insulin membutuhkan waktu yang cukup
panjang (Tandra, 2017).
c. Diabetes Melitus Tipe Lain
DM tipe lain disebabkan oleh kurangnya kalori dan protein
dalam jangka waktu yang panjang. Biasanya penderita dalam keadaan
kurus dan membutuhkan terapi insulin absolut. DM tipe ini disebabkan
karena terjadinya defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja
insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, infeksi, dan sindrom
genetik lain yang berkaitan dengan DM.
d. Diabetes Gestasional
Peningkatan kadar gula darah diakibatkan karena gangguan
toleransi karbohidrat dan diketahui pertama kali pada saat hamil. Tidak
semua ibu hamil mengalami kondisi diabetes gestasional, hanya sekitar
1-14% kehamilan. Diabetes gestasional dapat meningkatkan angka
kesakitan dan kematian, baik ibu maupun bayi (WHO, 2013)

PAGE \* MERGEFORMAT i
Tabel 2.1 Klasifikasi etiologi DM (PERKENI, 2021)

5. Faktor Risiko
Diabetes melitus memiliki berbagai faktor risiko yang dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi
1) Usia
Usia merupakan salah satu faktor yang berhubungan
dengan kejadian diabetes melitus. Kelompok usia 45 tahun ke
atas adalah kelompok yang berisiko mengalami DM karena
terdapat penurunan fungsi tubuh untuk memetabolisme
glukosa. Selain itu, individu yang berusia lebih tua mengalami
peningkatan komposisi lemak dalam tubuh yang terakumulasi
di abdomen sehingga memicu terjadinya obesitas sentral yang
bisa memicu terjadinya resistensi insulin yang merupakan
proses awal DM tipe 2. Seseorang yang mencapai usia 40
tahun mengalami peningkatan kadar glukosa darah 1-2mg%
pertahun saat puasa dan akan naik 5,6-13mg% pada 2 jam
setelah makan (Susilawati & Rahmawati, 2021).
2) Jenis kelamin

PAGE \* MERGEFORMAT i
Risiko diabetes melitus meningkat pada jenis kelamin
perempuan karena perempuan memiliki peluang untuk
mengalami indeks massa tubuh yang lebih besar dibanding
laki-laki. Selain itu, perempuan memiliki jumlah lemak 20-
25% dari massa tubuh, sedangkan laki-laki memiliki jumlah
lemak 15-20% (Imelda, 2019). Perempuan juga dapat
mengalami kehamilan dimana kehamilan merupakan faktor
risiko untuk terjadi penyakit diabetes melitus. Faktor hormonal
perempuan seperti premenstrual syndrome dan pasca
menopause juga membuat distribusi lemak tubuh mudah
terakumulasi pada perempuan (Komariah & Sri Rahayu,
2020).
3) Riwayat keluarga DM
Riwayat keluarga menderita DM tipe 2 memiliki risiko
lebih tinggi terhadap keturunannya untuk mengidap diabetes
melitus. Hal ini disebabkan karena terdapat gula darah puasa
terganggu yang menandakan terdapat resistensi insulin hepatik
karena defek pada metabolisme glukosa dan diwariskan pada
keturunan penderita diabetes melitus (Wargner et al., 2013).
Genetik orang tua yang diwariskan terhadap keturunannya
kemudian diekspresikan gen yang mengalami mutasi. Mutasi
gen ini dapat meningkatkan ekspresi gen pada pulau
Langerhans pankreas yang berdampak pada terganggunya
sekresi insulin, berkurangnya insulin plasma, gangguan sekresi
insulin oleh stimulasi glukosa, dan menurunkan sensitivitas
insulin sehingga meningkatkan risiko berkembangnya DM tipe
2 (Sun et al., 2014). Kejadian diabetes berhubungan dengan
faktor genetik dan faktor pola hidup dan makan. Salah satu
contoh faktor genetic diabetes melitus adalah alel TCF7L2
yang meningkatkan risiko timbulnya diabetes sebesar 1,5 kali
lipat. Sebagian besar gen yang berhubungan dengan diabetes
terlibat dalam fungsi sel beta pancreas. Jika kedua orang tua

PAGE \* MERGEFORMAT i
menderita diabetes, maka kemungkinan anak menderita
diabetes 83%. Sedangkan, jika salah satu orang tua menderita
diabetes, maka kemungkinan anaknya menderita penyakit
diabetes yaitu 53%. Jika kedua orang tuanya tidak menderita
diabetes, maka kemungkinan anaknya menderita penyakit
diabetes yaitu 15% (Imelda, 2018).
b. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi
1) Pola makan
Pola makan merupakan gambaran tentang jumlah, macam-
macam, dan komposisi bahan makanan yang dimakan setiap
hari oleh seseorang. Gaya hidup di perkotaan dengan pola
makan tinggi lemak,karbohidrat garam, dan gula menyebabkan
masyarakat cenderung mengonsumsi makanan secara
berlebihan. Pola makan yang tidak baik tersebut menyebabkan
berbagai penyakit termasuk DM (Dafriani, 2017). Pola makan
yang tidak seimbang memiliki dampak buruk bagi kesehatan
dan gizi. Pola konsumsi makanan yang mengandung kalori
berlebih, tinggi lemak jenuh dan gula, rendah serat dan rendah
gizi mikro akan menyebabkan masalah kegemukan, gizi lebih,
dan meningkatkan radikal bebas yang akhirnya menyebabkan
perubahan pola penyakit dan memicu munculnya penyakit
degeneratif (Timah, 2019).
Asupan serat yang tidak baik meningkatkan risiko
kejadian diabetes melitus tipe 2. Mekanisme serat terhadap
penurunan kadar glukosa darah pada penderita DM tipe 2
dipengaruhi oleh penyerapan karbohidrat di dalam usus.
Semakin rendah karbohidrat yang diserap tubuh, maka akan
semakin rendah kadar glukosanya. Serat berperan untuk
menurunkan efisiensi penyerapan karbohidrat yang bisa
menyebabkan menurunnya respon insulin. Jika respon insulin
menurun, kerja pankreas akan semakin ringan sehingga bisa
memperbaiki fungsi pankreas dalam produksi insulin (Astawan

PAGE \* MERGEFORMAT i
& Tutik, 2012). Selain itu, serat memiliki kemampuan untuk
mengisi lambung, mengubah gerakan peristaltik lambung, dan
memperlambat pengosongan lambung. Hal ini menyebabkan
rasa kenyang yang lebih lama dan terjadi keterlambatan
penyampaian zat gizi menuju usus halus. Kemudian, serat
yang larut dalam air di usus halus bisa meningkatkan
kekentalan isi di dalam usus halus yang bisa menyebabkan
terjadinya penurunan aktivitas enzim amilase dan bisa
memperlambat penyerapan glukosa. Kemudian, serat secara
tidak langsung bisa menurunkan kecepatan difusi pada
permukaan mukosa usus halus sehingga menyebabkan
terjadinya penurunan kadar glukosa darah (Amanina et al.,
2015).
2) Aktivitas fisik
Aktivitas fisik memiliki hubungan bermakna dengan
kadar gula darah (Dolongseda et al., 2017). Aktivitas fisik
dapat meningkatkan sensitivitas reseptor insulin sehingga
glukosa bisa diubah menjadi energi melalui metabolisme.
Manfaat aktivitas fisik, antara lain dapat mencegah
kegemukan, menurunkan kadar gula darah pada penderita DM,
mencegah gangguan lipid, dan mencegah peningkatan tekanan
darah. Beberapa aktivitas fisik yang dilakukan selama 30-40
menit bisa meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam sel
sebesar 7-20 kali dibanding dengan yang tidak melakukan
aktivitas tersebut (Nurayati & Adriani, 2017). Saat melakukan
aktivitas fisik, otot akan meningkatkan pembakaran glukosa
secara maksimal dan menyebabkan penurunan kadar gula
darah (Cicilia et al., 2018).
3) Obesitas
Obesitas adalah akumulasi lemak berlebihan di dalam
tubuh yang terjadi karena kelebihan asupan kalori
(Prahaningyuas, 2018). Obesitas bisa disebabkan karena

PAGE \* MERGEFORMAT i
konsumsi terlalu berlebih dibanding kebutuhan atau
pemakaian energi (energy expenditure). Kelebihan energi
dalam tubuh disimpan dalam bentuk jaringan lemak
(Proverawati & Wati, 2017). Indeks massa tubuh (IMT)
digunakan untuk menentukan apakah individu masuk obesitas
atau tidak. Nilai IMT didapat dari membagi berat badan dalam
kilogram (kg2) dengan tinggi badan dalam meter kuadrat (m2)
(Setiati et al., 2014). Klasifikasi indeks massa tubuh dapat
dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Klasifikasi IMT (WHO, 2000)
Klasifikasi IMT
Berat badan kurang (underweight) <18,5
Berat badan normal 18,5-22,9
Kelebihan berat badan (overweight)
Dengan risiko 23-24,9
Obesitas I 25-29,9
Obesitas II ≥30

Berat badan individu ditentukan 40-70% faktor genetik


dan dipengaruhi kebiasaan makan dan aktivitas fisik. Obesitas
terutama obesitas sentral bisa meningkatkan risiko terjadinya
sindroma metaboik seperti DM, dislipidemiam dan
hiperurisemia. Terjadi penumpukkan lemak di daerah
abdomen pada obesitas sentral. Lemak ini terdiri dari lemak
subkutan dan lemak intraabdominal yang terdiri dari lemak
omental, mesenterial, serta retroperitoneal. Lemak subutan
abdomen ini memiliki korelasi kuat terhadap resistensi insulin.
Saat obesitas, terjadi penumpukan lipid intrasel, peningkatan
asam lemak, dan pembentukan sitokin oleh adiposit yang
menyebabkan kerusakan fungsi insulin. Obesitas sentral dinilai
dengan mengukur lingkar perut di pertengahan antara batas
bawah iga dan krista iliaka. Lingkar perut >90cm pada laki-
laki dan >80cm pada wanita berhubungan dnegan peningkatan

PAGE \* MERGEFORMAT i
risiko obesitas dan sindrom metabolik (Setiati et al., 2014;
Longo et al., 2012).
4) Hipertensi
Rokok memiliki efek antiestrogen dan bisa merusak
keseimbangan hormone serta menyebabkan obesitas sentral.
Merokok dapat memperburuk metabolisme dari glukosa yang
dapat memicu terjadinya DM tipe 2 (Kistianita et al., 2018).
Rokok bisa menjadi faktor risiko terjadinya resistensi insulin.
Mekanisme resistensi insulin oleh nikotin, antara lain:
peningkatan ekspresi TNF, penurunan adiponektin,
peningkatkan saturasi trigliserida intramioseluler, dan aktivasi
jalur antiinflamasi macrophage-nicotinic acetylcholine
receptor yang menyebabkan perurukan inflamasi dan resistensi
insulin (Ario, 2014).

6. Gejala Klinis
Gejala yang dapat timbul pada penderita DM meliputi:
a. Poliuria
Kondisi meningkatnya jumlah air kemih dari batas normal
harian disebut poliuria. Kondisi ini merupakan gejala yang
disebabkan glukosa dalam tubuh terlalu tinggi sehingga dikeluarkan
melalui urin. Meningkatnya volume urin merupakan kompensasi
tubuh menarik cairan sebanyak-banyaknya agar urin yang
mengandung glukosa tidak terlalu pekat (PERKENI, 2015).
b. Polidipsia
Tubuh sudah banyak kehilangan cairan melalui urin untuk
membuang glukosa, sehingga timbul respon berupa polidipsi yang
merupakan sensasi dahaga atau haus yang berlebih (Subekti, 2009).
c. Polifagia
Polifagi sering dijumpai pada pasien DM yang merupakan rasa
lapar berlebihan dikarenakan tubuh semakin kekurangan kadar
glukosa dalam jaringan untuk menghasilkan energi sedangkan kadar
glukosa darah yang masih cukup tinggi (PERKENI, 2015).

PAGE \* MERGEFORMAT i
d. Penurunan berat badan
Tubuh penderita DM tipe IImemberikan kompensasi dengan
mengambil lemak yang digunakan sebagai cadangan energi. Hal itu
menyebabkan terjadinya penurunan berat badan pada penderita
(Subekti, 2009)
e. Gangguan penglihatan/visus menurun
Gangguan penglihatan disebabkan karena gangguan lintas poliol
(glukosa-sorbitol-fruktosa) yang disebabkan karena insufisiensi
insulin. Gangguan/visus menurun disebabkan diakibatkan karena
terdapat penimbunan sorbitol pada lensa mata yang menyebabkan
pembentukan katarak (Waspadji, 2009)
f. Gatal, bisul, dan luka sulit sembuh
Rasa gatal biasa terjadi di lipatan kulit seperti ketiak atau
payudara ataupun di daerah kemaluan. Munculnya bisul dan luka
yang sulit sembuh juga dirasakan oleh pasien DM. Hiperglikemia
menyebabkan darah yang mengalir ke area luka bergerak lambat,
sehingga oksigen, nutrisi, dan bahan-bahan lain yang dibutuhkan
untuk proses penyembuhan luka menjadi inadekuat (Waspadji, 2009)

7. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah
dan HbA1c. Kriteria diagnosis diabetes melitus, antara lain (PERKENI,
2021):
a. Glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.
b. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200mg/dL 2 jam setelah Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
c. Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh Diabetes Control and Complications Trial
assay (DCCT) dan National Glycohaemoglobin Standarization
Program (NGSP).

8. Tatalaksana

PAGE \* MERGEFORMAT i
Tatalaksana diabetes melitus adalah untuk meningkatan kualitas hidup
pasien diabetes. Tatalaksana DM dimulai dari pola hidup sehat bersamaan
dengan intervensi farmakologis, antara lain (PERKENI, 2021):
a. Edukasi
Edukasi dilakukan untuk promosi hidup sehat, upaya pencegahan,
dn pengelolaan DM secara holistik. Tenaga kesehatan wajib
mendampingi pasien DM dalam mencari informasi dan mengajarkan
perilaku sehat.
b. Diet
Prinsip pengaturan makan pada pasien DM hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.
Komposisi makanan yang dianjurkan, antara lain:
1) Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan
energi, terutama karbohidrat berserat tinggi. Dianjurkan makan
tiga kali sehari dan diberikan makanan selingan seperti buah
atau makanan lain.
2) Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan
kalori. Komposisi lemak yang dianjurkan, antara lain: lemak
jenuh <7%, lemak tidak jenuh <10%, kolesterol <200mg/hari
3) Protein
Pada pasien dengan nefropati diabetik dapat mengonsumsi
protein 0,8g/kgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi.
Sedangkan pasien DM yang sudah menjalani hemodialisis
dapat mengonsumsi protein 1-1,2 g/kgBB perhari.
4) Natrium
Anjuran asupan natrium untuk pasien DM sama seperti
orang sehat yaitu <1500mg per hari.
5) Serat

PAGE \* MERGEFORMAT i
Pasien DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang-
kacangan, buah, dan sayuran. Jumlah konsumsi serat yang
disarankan adalah 20-35gram per hari.
6) Pemanis alternatif
Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak
melebihi batas aman (Accepted Daily Intake/ADI). Contoh
dari pemanis alternatif, antara lain glukosa alkohol, fruktosa,
aspartame, sakarin, sukrosa, neotame.
c. Kebutuhan kalori
Kebutuhan kalori disesuaikan dengan berat badan ideal yaitu 25-
30kal/kgBB ideal. Berat badan ideal= 90% x (TB (dalam cm) –100)
x 1kg.

d. Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan dilakukan 3-5 hari seminggu
selama 30-45 menit, dengan total 150 menit per minggu, dengan jeda
antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Latihan fisik yang
dianjurkan adalah latihan fisik aerobic dengan intensitas sedang (50-
70% denyut jantung maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda santai,
jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal = 220 – usia pasien.
e. Terapi farmakologis
Obat antidiabetika dapat berubah obat oral dan bentuk suntikan.
Obat antihiperglikemik suntik contohnya adalah insulin dan GLP-1
RA. Obat antihiperglikemik oral dapat dibagi menjadi beberapa
kelompok bedasarkan cara kerjanya, antara lain:
1) Peningkat sensitivitas terhadap insulin (insulin sensitizers)
Obat yang bekerja sebagai insulin sensitizers adalah
metformin dan tiazolidinedion. Metformin bekerja dengan
meningkatkan kemampuan insulin untuk memindahkan
glukosa ke dalam sel dan mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis). Metformin merupakan pilihan pertama
pada sebagian besar kasus DM tipe 2. Tiazolidinedion adalah
agonis dari Peroxisome Proliferator Activated Receptor

PAGE \* MERGEFORMAT i
Gamma (PPAR-gamma) yang merupakan reseptor inti di sel
otot, lemak, dan hati. Tiazolidinedion menurunkan resistensi
insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut
glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan
perifer.
2) Pemacu sekresi insulin (insulin secretagogue)
Obat yang bekerja sebagai insulin secretagogue adalah
sulfonylurea dan glinid. Sulfonilurea memiliki efek utama
untuk meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
Contoh obat golongan sulfoniluria, antara lain glimepiride,
glienclamid, glipizide, gliquidone, dan gliclazide. Glinid
merupakan obat yang mirip cara kerjanya dengan
sulfonylurea tapi beda lokasi reseptor dengan hasil akhir
berupa penekanan peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Contoh obat golongan glinid, antara lain repaglinide dan
nateglinid.
3) Penghambat enzim dipeptidil peptidase-4
Enzim dipeptidil peptidase-4 (DPP-4) terekspresikan di
berbagai organ tubuh, termasuk di usus dan membran brush
border ginjal, endothelium vaskuler dari kapiler vili,
hepatosit, dan larut dalam plasma. Penghambat DPP-4 akan
menghambat lokasi pengikatan pada DPP-4 sehingga akan
mencegah inaktivasi dari glucagon-like peptide (GLP)-1
sehingga bisa memperbaiki toleransi glukosa, mengurangi
sekresi glukagon, dan meningkatkan respon insulin. Contoh
obat dari golongan ini, antara lain sitagliptin, linagliptin,
vildagliptin, alogliptin, dan saxagliptin.
4) Penghambat alfa glucosidase
Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa
glucosidase di saluran pencernaan sehingga menghambat
glukosa dalam usus halus. Contoh obat golongan ini adalah
acarbose.

PAGE \* MERGEFORMAT i
5) Penghambatan enzim sodium glucose co-transporter 2
Obat ini bekerja dengan menghambat reabsorpsi
glukosa di tubulus proksimal dan meningkatkan ekskresi
glukosa melalui urin.

9. Komplikasi
Komplikasi DM dibagi menjadi 2 yaitu komplikasi akut dan
komplikasi kronis (Helmawati, 2015)
a. Komplikasi Akut
Komplikasi akut terjadi dalam jangka waktu pendek atau mendadak.
Komplikasi akut dari diabetes diantaranya adalah ketoasidosis diabetik,
hipoglikemia, dan syndrome hyperosmolar diabetic
1) Diabetes Ketoasidosis
Penyebab utama terjadinya kondisi ketoasidosis adalah kadar
hormon insulin yang sangat rendah. Akibatnya gula dalam darah
tidak dapat masuk ke dalam sel untuk diolah menjadi sumber energi.
Sel tubuh menjadikan lemak sebagai alternatif sumber energi karena
tidak mendapatkan asupan gula yang akhirnya pada kondisi ini akan
terbentuk keto atau asam beracun. Keseluruhan proses ini disebut
ketoasidosis. Ketoasidosis menunjukkan beberapa gejala, antara lain:
mulut kering, rasa haus, intensitas buang air kecil sering (poliuria),
mual, muntah, dan terkadang nyeri perut, sedangkan gejala
lanjutannya adalah kesulitan bernafas, dehidrasi, rasa ngantuk, dan
keadaan koma. Ketoasidosis dapat ditangani dengan injeksi pada
darah yang ikut berkurang karena poliuria.
2) Hipoglikemia
Risiko serangan hipoglikemia umum terjadi pada penderita
DM maupun bukan penderita DM. Penyebab hipoglikemia dapat
berkaitan dengan obat dan tidak berkaitan dengan obat.
Hipoglikemia yang berkaitan dengan obat timbul karena penggunaan
obat-obatan pada penderita DM yang mengkonsumsi obat penurun
kadar gula darah. Hipoglikemia yang tidak berkaitan dengan obat
dapat disebabkan karena berpuasa, aktivitas fisik berlebihan, dan

PAGE \* MERGEFORMAT i
dampak dari asupan makanan dan minuman. Konsumsi alkohol
dalam jumlah banyak dapat menyebabkan hipoglikemia yang cukup
berat.
3) Syndrome Hyperosmolar Diabetic
Kondisi syndrome hyperosmolar diabetic disebabkan oleh
kadar gula darah puncak yang terukur sebesar 600 mg/dl. Pada level
ini kondisi darah menjadi kental dan manis. Air seni menjadi jalur
untuk pembuangan kelebihan gula yang memicu dibuangnya cairan
tubuh dalam jumlah besar. Apabila tidak ditangani kondisi syndorme
hyperosmolar diabetic dapat menyebabkan dehidrasi bahkan koma.
Komplikasi ini banyak terjadi pada penderita DM tipe 2 dengan usia
paruh baya.
b. Komplikasi Kronis
Komplikasi kronis diartikan sebagai kelainan pembuluh darah yang
akhirnya bisa mengakibatkan serangan jantung, gangguan fungsi ginjal,
dan gangguan saraf. Komplikasi kronis sering dibedakan berdasarkan
bagian tubuh yang mengalami kelainan, seperti kelainan di bagian mata,
mulut, jantung, urogenital, saraf, dan kulit (Maulana, 2009).

B. Hubungan Diabetes Melitus dengan Puasa

1. Fisiologi Berpuasa Ramadan pada Individu Sehat


Puasa Ramadan mempengaruhi beberapa aspek mendasar dari
fisiologi tubuh termasuk pola tidur dan ritme sirkadian, keseimbangan
cairan dan energi, dan homeostasis glukosa. Kondisi ini menunjukkan
perubahan besar dari cara makan normal serta pola tidur dan bangun.
Puasa Ramadan berbeda dari bentuk puasa lainnya, karena tidak ada
makanan atau minuman yang dikonsumsi selama siang hari dan
dilaksanakan selama satu bulan penuh yaitu di bulan Ramadan. Hal ini
akan memberikan pengaruh penting terhadap !siologi, perubahan ritme
dan besarnya fluktuasi pada proses homeostasis dan juga sistem
endokrin. Pola tidur akan berubah selama puasa Ramadan. Biasanya
umat muslim bangun sebelum fajar untuk sahur. Sebagian besar akan

PAGE \* MERGEFORMAT i
kembali tidur dan bangun untuk kedua kalinya untuk memulai aktivitas.
Beberapa muslim yang berpuasa mungkin tidur di siang hari. Setelah
makan malam (buka puasa), banyak yang tetap terjaga sampai tengah
malam. Dampak Ramadan terhadap tidur meliputi penurunan total
waktu tidur, penundaan tidur, penurunan waktu periode tidur,
penurunanan durasi tidur rapid eye movement (REM), penurunan
proporsi tidur REM, peningkatan proporsi tidur non-REM dan
peningkatan latensi tidur. Selama Ramadan total waktu tidur dapat
berkurang sekitar 1 jam. Kurang tidur dikaitkan dengan penurunan
toleransi glukosa dan hubungan antara durasi tidur dengan resistensi
insulin. Durasi tidur yang pendek juga secara berhubungan dengan
penambahan berat badan, terutama individu yang lebih muda.
Perubahan dan pergeseran waktu makan rutin serta pola tidur dan
bangun selama Ramadan dapat pula mempengaruhi pola sirkadian
tubuh dengan konsekuensi perubahan kardiometabolik. Banyak ritme
hormon berubah selama puasa Ramadan, termasuk kadar serum leptin,
ghrelin, kortisol dan melatonin. Pembatasan asupan cairan antara saat
fajar sampai matahari terbenam dapat memberikan konsekuensi penting
terutama pada individu dengan diabetes yang tidak terkontrol dengan
baik. Pada individu sehat kehilangan cairan dan elektrolit selama
berpuasa dapat diatasi. Namun, dehidrasi mungkin menjadi masalah di
daerah beriklim panas atau pada individu yang melakukan pekerjaan
fisik intensif serta kondisi diuresis osmotik akibat hiperglikemia.
Dehidrasi juga dapat menyebabkan hipotensi dan selanjutnya berisiko
untuk jatuh atau cedera lainnya. Puasa Ramadan mempengaruhi pola
makan dan aktif tas yang kemudian menyebabkan perubahan
pengeluaran energi. Sebuah studi menunjukkan bahwa perubahan pola
makan selama puasa ramadan dimana tidak ada makan siang dan jeda
yang panjang diantara 2 makan utama menyebabkan nafsu makan dan
rasa lapar yang meningkat pada siang hari dan mencapai puncaknya
pada saat berbuka puasa. Hal ini berpotensi menyebabkan asupan
makanan yang berlebihan saat berbuka puasa. Pola peningkatan rasa

PAGE \* MERGEFORMAT i
lapar selama puasa ramadan akan mengalami adaptasi dan menurun
menjelang akhir ramadan. Berdasarkan laporan beberapa penelitian,
efek ramadan terhadap berat badan bervariasi. Pada beberapa individu,
kelebihan energi selama puasa Ramadan dapat menyebabkan kenaikan
berat badan. Puasa ramadan dikaitkan dengan perubahan pola tidur,
pola aktivitas, pola makan, dan berat badan yang menyebabkan
komponen pengeluaran energi juga berubah selama ramadan. Studi
Lessan dkk menunjukkan perbedaan pola aktivitas selama ramadan
dimana jumlah langkah menjadi lebih sedikit, dan aktivitas siang hari
berkurang namun meningkat di malam hari. Pengurangan pengeluaran
energi aktivitas ini diimbangi dengan pengurangan waktu tidur selama
bulan Ramadan.

2. Patofisiologi Berpuasa pada DM


Saat berpuasa, kondisi resistensi insulin dan defisiensi insulin dapat
menyebabkan pemecahan glikogen berlebihan dan terjadi peningkatan
glukoneogenesis pada DM Tipe 1 dan DM Tipe2. Akibatnya terjadi
peningkatan risiko berpuasa ramadan pada penyandang DM diabetes yaitu
hipoglikemia, hiperglikemia, ket oasidosis diabetik, dehidrasi dan
trombosis. Pada penyandang DM Tipe 1, sebagai akibat dari neuropati
otonom, respon adrenalin dapat terganggu dan juga respon terhadap
hipoglikemia tidak adekuat. Insiden hiperglikemia berat juga didapatkan
peningkatan selama Ramadan (3 kali lipat pada DM Tipe 1 dan 5 kali lipat
pada DM Tipe 2).

3. Risiko Terkait Berpuasa pada Penyandang DM


a. Hipoglikemia
Asupan makanan yang kurang diketahui merupakan salah satu
faktor risiko terjadinya hipoglikemia. Hasil sudi EPIDIAR
menunjukkan bahwa puasa Ramadan dapat meningkatkan risiko
hipoglikemia berat sehingga membutuhkan perawatan di rumah
sakit. Hipoglikemia di bulan Ramadan meningkat 4,7 kali lipat pada
penyandang DM tipe 1 (3-14 kejadian/100 individu/1 bulan) dan 7,5

PAGE \* MERGEFORMAT i
kali lipat (0,4-3 kejadian/100 individu/1 bulan) pada penyandang
DM tipe 2.
b. Hiperglikemia
Studi EPIDIAR pada DM tipe 2, menunjukkan bahwa pada
bulan Ramadan, angka kejadian hiperglikemia berat yang
memerlukan perawatan inap di rumah sakit meningkat 5 kali lipat (1-
5 kejadian/100 penyandang/1 bulan). Dan pada penyandang DM tipe
1 (hiperglikemia berat dengan atau tanpa ketoasidosis) meningkat 3
kali lipat (5-17 kejadian/100 penyandang/1 bulan). Hiperglikemia
dapat disebabkan oleh pengurangan dosis obat secara berlebihan
untuk menghindari hipoglikemia serta konsumsi berlebihan makanan
dan gula.
c. Ketoasidosis Diabetik
Penyandang DM, terutama DM tipe 1 yang menjalankan
puasa Ramadan dengan kendali glikemi yang buruk sebelum puasa,
memiliki risiko ketoasidosis yang meningkat. Risiko ketoasidosis
meningkat akibat pengurangan dosis insulin yang berlebihan terkait
asupan makanan yang berkurang selama puasa.
d. Dehidrasi dan Trombosis
Pembatasan asupan cairan (minum) bila berlangsung lama,
dapat menyebabkan dehidrasi. Dehidrasi dapat menjadi lebih berat di
wilayah dengan iklim/suhu udara panas dan kelembaban tinggi dan
pada individu yang melakukan kerja !sik yang berat. Selain itu,
hiperglikemia dapat menyebabkan diuresis osmotik dan
memperberat kondisi kekurangan cairan dan elektrolit. Hipotensi
ortostatik dapat terjadi pada penyandang yang mengalami neuropati
otonom. Sinkop, jatuh, jejas/luka, dan fraktur dapat terjadi akibat
dari hipovolemi dan hipotensi. Berkurangnya rongga intravaskuler
akan meningkatkan kecenderungan darah menggumpal
(hypercoagulable state) yang memang sudah ada pada individu
dengan diabetes. Meningkatnya vikositas darah akan meningkatkan
risiko stroke dan trombosis.

4. Stratifikasi Risiko dan Penilaian Pre-Ramadan

PAGE \* MERGEFORMAT i
Strategi untuk memastikan keamanan inidividu yang berpuasa di
semua ketegori meliputi:
1) Edukasi medis fokus Ramadan
2) Penilaian medis pra-Ramadan, termasuk penilaian pengetahuan
tentang hipoglikemi
3) Mengikuti diet sehat dan gaya hidup !sik yang aktif
4) Pemantauan glukosa darah mandiri (PGDM) yang berkelanjutan
5) Modifikasi regimen pengobatan
Berdasarkan pedoman dari IDF-DAR tahun 2021, penilaian
risiko awal dalam perjalanannya dapat berubah, misalnya pada risiko-
risiko yang dapat dimodi! kasi seperti kontrol glikemik, frekuensi
PGDM atau adanya komplikasi baru, maka tingkat risiko kondisi ini
perlu disesuaikan. Pengalaman berpuasa Ramadan seseorang dapat
bervariasi setiap tahun, karena itu stratifikasi risiko perlu diperbarui
setiap tahunnya supaya dapat menjalani puasa dengan aman.
1) Individu yang termasuk dalam kategori risiko tinggi sebaiknya tidak
boleh berpuasa
Individu ini berisiko tinggi hingga sangat tinggi mengalami
komplikasi selama berpuasa Ramadan. Pada kategori ini individu
sebaiknya tidak boleh berpuasa. Jika bersikeras untuk berpuasa,
maka perhatian dan pemantauan perlu diberikan bersamaan dengan
strategi dan rekomendasi sesuai dengan pedoman ini.
2) Individu pada tingkat risiko sedang disarankan untuk tidak berpuasa
Seperti juga pada individu yang berisiko tinggi, banyak
penyandang pada kategori ini akan tetap memilih untuk berpuasa.
Keputusan pribadi ini harus dibuat setelah mempertimbangkan risiko
yang ada dan berkonsultasi dengan Dokter. Individu pada kategori
ini perlu mengetahui teknik atau strategi untuk mengurangi risiko
saat berpuasa. Jika individu ini memilih untuk berpuasa, maka perlu
berhati-hati dan menghentikan puasa jika ada masalah yang timbul.
3) Individu pada tingkat risiko rendah dapat berpuasa

PAGE \* MERGEFORMAT i
Pada individu di kategori ini memiliki risiko lebih rendah
dalam hal komplikasi yang timbul saat berpuasa selama Ramadan.
Namun, keadaan ini dapat berubah yang mengarah pada perubahan
dalam penilaian risiko. Oleh karena itu, strati! kasi risiko perlu
dilakukan setiap tahun untuk meninjau kembali tingkat risiko
menjelang Ramadan.
5. Edukasi bagi Penyandang DM
Adapun beberapa hal yang sebaiknya dilakukan dan dijelaskan oleh
dokter pra-Ramadan adalah:
a. Modifikasi dan penyesuaian perencanaan nutrisi untuk kontrol
glukosa optimal selama Ramadan
b. Menyusun perencanaan nutrisi yang dapat membantu
penurunan berat badan untuk penyandang-penyandang yang
bertujuan menurunkan berat badan.
c. Melanjutkan aktivitas !sik dan aktivitas kerja selama berpuasa
d. Penyesuaian pengobatan diabetes selama Ramadan.
e. Mengenali tanda-tanda bahaya berpuasa, seperti dehidrasi,
hipoglikemia dan komplikasi lainnya. Diharuskan
membatalkan puasa saat tanda-tanda tersebut muncul.
f. Tanda hipoglikemia : tangan gemetar, berkeringat dingin, dada
berdebar, lapar, perubahan kesadaran, kebingungan dan nyeri
kepala.
g. Tanda hiperglikemia : rasa haus yang hebat, lapar, sering
kencing, rasa lemah, kebingungan, mual/muntah, nyeri perut.
h. Menjelaskan bahwa harus membatalkan puasa bila kadar
glukosa di bawah 70 mg/dl atau di atas 300 mg/dl.
i. Menjelaskan pentingnya memeriksakan kadar gula darah
secara regular (lihat Bab VIII).
j. Menganjurkan untuk memantau berat badan selama berpuasa

6. Pendekatan Non-Farmakologis
a. Perencanaan Nutrisi Ramadan

PAGE \* MERGEFORMAT i
Selama bulan Ramadan, terjadi perubahan pola makan baik dari
waktu, frekuensi makan, jenis makro dan mikronutrien yang
dikonsumsi. Farizuk dkk melaporkan bahwa 13,4% individu tidak
sahur saat Ramadan, 52% menjalani sahur sangat awal, 79%
mengalami peningkatan asupan makanan dan minuman manis, dan
73% mengalami penurunan aktivitas !sik. Hal ini dapat
mengakibatkan perubahan pada antropometri, kardiometabolik,
glukoregulator dan in# amasi. Terdapat beberapa studi yang
mendapati bahwa terjadi peningkatan konsumsi energi selama
Ramadan terutama dari asupan karbohidrat yang lebih tinggi.
Perubahan asupan makanan ini sangat penting, terutama pada
individu yang rentan terhadap penyakit metabolik seperti pada
penyandang diabetes. Studi oleh Shatila dkk pada populasi orang
dewasa Libanon, yang menilai perubahan pola diet selama bulan
Ramadan dan bulan lainnya, menunjukkan perubahan yang unik, di
mana selama Ramadan, terdapat peningkatan asupan energi sereal,
sayuran dan buah kering, sementara pasta menurun. Adanya
peningkatan asupan gula selama Ramadan sangat penting
diperhatikan terutama pada penyandang diabetes. Studi lainnya oleh
Das dkk di India menunjukkan peningkatan signi! kan jumlah asupan
energi selama ramadan pada orang dewasa (21-50 tahun) diikuti
dengan peningkatan berat badan dan indeks massa tubuh. Pada saat
berpuasa, kalori yang dikonsumsi sebaiknya dibagi antara sahur dan
berbuka dan 1-2 makanan kecil yang sehat bila diperlukan.
Komponen makanan harus seimbang, di mana kandungan
karbohidrat sebanyak 40-50%, protein sebanyak 20-30%, dan lemak
30-35%. Lemak tersaturasi sebaiknya di bawah 10%. Waktu sahur
sebaiknya dilakukan diakhir waktu. Berikut adalah beberapa jenis
makanan yang direkomendasikan untuk dikonsumsi selama bulan
Ramadan.
Makanan yang direkomendasikan untuk sahur adalah makanan
yang dapat mencukupi energi selama waktu yang panjang.

PAGE \* MERGEFORMAT i
 Karbohidrat kompleks
Karbohidrat kompleks memerlukan waktu yang lebih
lama untuk dicerna, sehingga dapat mempertahankan gula
darah lebih lama, sehingga seseorang tidak akan terlalu
cepat lapar. Contoh dari karbohidrat kompeks seperti beras
merah, gandum utuh, dan roti pipih.
 Buah dan sayur mayur
Buah dan sayur mayur sangat penting untuk berpuasa
karena memiliki serat yang tinggi sehingga dapat
meningkatkan rasa kenyang dan menjaga tetap terhidrasi.
 Makanan tinggi protein
Makanan tinggi protein dapat membantu seseorang
merasa kenyang, serta memiliki dampak sedikit terhadap
kenaikan gula darah.
 Produk susu
Produk susu seperti yogurt dan makanan berbahan susu
dapat ditambahkan pada saat sahur dan berbuka untuk
menjaga kecukupan kadar kalsium.
 Cairan
Minum banyak cairan saat sahur. Hindari minum
minuman yang mengandung kafein, seperti teh dan kopi.
Minuman- minuman manis juga sebaiknya dihindari.
Makanan yang direkomendasikan untuk berbuka adalah
makanan yang dapat dengan cepat melepaskan energi, seperti:
 Kurma
Kurma sebaiknya dimakan saat berbuka karena
merupakan sumber energi dan juga tinggi serat, kalsium
dan besi. Namun sebaiknya dibatasi jumlah asupannya
karena kurma memiliki kadar gula yang tinggi.
 Karbohidrat kompleks
Karbohidrat kompleks sebaiknya dikonsumsi dalam
jumlah kecil.

PAGE \* MERGEFORMAT i
 Daging dan sejenisnya
Dianjurkan mengkonsumsi makanan tinggi protein,
seperti daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, ikan, telur,
kacang polong, dan produk susu rendah lemak.
 Cairan
Minum cairan yang cukup saat berbuka. Dianjurkan
setidaknya meminum delapan gelas di antara berbuka dan
sahur. Hindari minumanminuman yang mengandung kafein
dan minuman manis.
Makanan yang sebaiknya dihindari
Makanan olahan dan makanan tinggi garam sebaiknya
dihindari karena dapat meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi
saat berpuasa.

7. Aktivitas Fisik dan Berpuasa


Meskipun pada penyandang diabetes dianjurkan untuk
meningkatkan aktivitas fisik, namun pada bulan Ramadan sebaiknya
dilakukan dengan lebih berhati-hati. Penyandang diabetes dapat
melanjutkan aktivitas fisik selama ramadan dan dilakukan terutama
pada pagi hari, namun sebaiknya tidak melakukan aktivitas fisik dengan
intensitas berat satu atau dua jam sebelum berbuka, karena dapat
mengakibatkan hipoglikemia ataupun dehidrasi. Meskipun tidak
dianjurkan melakukan aktivitas berat selama berpuasa, penyandang
diabetes tetap dianjurkan untuk berolahraga dengan intensitas ringan-
sedang selama Ramadan. Bila penderita DM melaksanakan solat
tarawih, maka gerakan- gerakan yang dilakukan selama solat tarawih
yang meliputi gerakan berulang, termasuk rukuk, sujud dan berdiri,
dapat dianggap sebagai bagian dari aktivitas !sik. Namun selama
beraktivitas, penyandang tetap diharuskan memeriksakan gula darah
bila merasa tidak sehat selama atau sesudah berolahraga

8. Pendekatan Farmakologis
a) Metformin

PAGE \* MERGEFORMAT i
Penyandang DM yang hanya mendapat terapi metformin dapat
berpuasa dengan aman karena kemungkinan kecil terjadi hipoglikemi
berat. Dosis dan frekuensi metformin saat berpuasa perlu disesuaikan
seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
b) Alpha-glucosidase inhibitor
Penggunaan akarbose tidak terkait dengan risiko hipoglikemi,
sehingga mungkin bermanfaat bila digunakan di bulan Ramadan.
Penggunaan akarbose selama bulan Ramadan tidak memerlukan modi!
kasi dosis.
c) Thiazolidinedione (TZD)
Penambahan pioglitazone terhadap OAD lain selama Ramadan
tidak meningkatkan kejadian hipoglikemia, namun meningkatkan berat
badan secara sigini! kan. Selama Ramadan, pioglitazone sebaiknya
diberikan saat berbuka puasa dan tidak memerlukan modifikasi dosis.
Anjuran dosis maksimal adalah 30 mg/hari. Sulfonilurea perlu
dikurangi dosisnya atau dihentikan bila mendapatkan TZD.
Pioglitazone baru memberikan efek antihiperglikemia yang optimal
setelah penggunaan 2-4 minggu, sehingga tidak dianjurkan untuk mulai
diberikan pada saat mendekati Ramadan. Penelitian tentang penggunaan
pioglitazone pada bulan Ramadan masih sangat terbatas. Penelitian
yang dilakukan di India oleh Vasan dkk pada tahun 2006 menunjukkan
bahwa pemberian pioglitazone dibandingkan dengan plasebo selama
Ramadan memperbaiki kontrol glikemik yang lebih baik, tanpa
peningkatan kejadian hipoglikemia yang bermakna.
d) Insulin Secretagogues
 Glinid (Short-acting Insulin Secretagogues)
Repaglinide dan nateglinide merupakan dua obat
golongan insulin secretagogues kerja pendek. Obat golongan
ini memiliki risiko hipoglikemia, namun dapat digunakan
pada bulan Ramadan karena masa kerja yang relatif singkat.
Repaglinide memiliki risiko hipoglikemia yang lebih rendah
dibandingkan dengan glibenclamide. Nateglinide mempunyai

PAGE \* MERGEFORMAT i
masa kerja yang lebih pendek dibanding dengan repaglinide.
Penggunaan short-acting insulin secretagogues selama bulan
Ramadan tidak memerlukan modi! kasi dosis.
 Sulfonilurea
Sulfonilurea menstimulasi sekresis insulin oleh sel beta
pankreas sehingga memiliki risiko hipoglikemia yang lebih
tinggi dibandingkan obat oral lainnya. Sulfonilurea jenis
glimepiride, glipizide, gliclazide aman digunakan selama
berpuasa karena risiko hipoglikemi yang lebih kecil.
Glibenclamide memiliki risiko hipoglikemia yang lebih
besar, sehingga tidak dianjurkan untuk digunakan selama
berpuasa. Glibenclamide sebaiknya diganti dengan
sulfonilurea lain yang memiliki risiko hipoglikemia lebih
kecil, misalnya gliclazide dan glimepiride. Apabila
glibenclamide tetap digunakan selama berpuasa maka perlu
dilakukan penyesuaian dosis dan monitoring kadar glukosa
lebih ketat. Penelitian GLIRA merupakan penelitian
observasional mengenai penggunaan glimepiride pada
penyandang DM tipe 2 selama Ramadan. Penelitian ini
melibatkan populasi penyandang DM di Indonesia. Penelitian
ini menunjukkan penggunaan monoterapi dengan glimepiride
selama Ramadan efektif menurunkan HbA1c dengan risiko
hipoglikemia yang rendah.
e) Terapi berbasis inkretin (incretin).
 Glucagon-like peptide-1 receptor agonist (GLP-1RA)
Penggunaan GLP-1RA memiliki efek hipoglikemia yang
rendah bila digunakan sebagai monoterapi, namun efek
hipoglikemia meningkat bila diberikan bersamaan dengan
sulfonilurea atau insulin. Glucagon-like peptide-1 receptor
agonist (GLP-1RA) yang beredar di Indonesia pada saat ini
adalah liraglutide, lixisenatide, dulaglutide dan semaglutide.
Liraglutide dan lixisenatide aman untuk digunakan selama

PAGE \* MERGEFORMAT i
Ramadan. Penggunaan GLP1-RA dapat menyebabkan mual
sehingga meningkatkan risiko dehidrasi selama Ramadan.
Oleh karena itu, inisiasi GLP-1RA dianjurkan minimal 4-8
minggu sebelum Ramadan. Modi! kasi dosis GLP-1RA tidak
diperlukan selama Ramadan, namun dosis perlu dikurangi
bila ada keluhan mual/muntah. Penelitian LIRA-Ramadan
yang dilakukan di Asia dan Afrika menunjukkan bahwa
kombinasi liraglutide dengan metformin selama Ramadan
menghasilkan penurunan HbA1c yang lebih tinggi namun
kejadian hipoglikemia yang lebih rendah dibandingkan
dengan kombinasi sulfonilurea dengan metformin.
Penyandang yang mendapatkan kombinasi liraglutide dengan
metformin juga mengalami penurunan berat badan yang lebih
signifikan dibandingkan kombinasi sulfonilurea dengan
metformin. Kombinasi lixisenatide dengan insulin basal
selama Ramadan juga memiliki risiko hipoglikemia yang
lebih rendah dibandingkan dengan kombinasi sulfonilurea
dengan insulin basal seperti ditunjukkan pada penelitian
LixiRam. Penggunaan fixed-ratio combination insulin
glargine dan lixisenatide selama bulan Ramadan pada
penelitian SOLIRAM menunjukkan penurunan HbA1c yang
efektif dengan risiko hipoglikemia yang rendah.
 Dipeptidylpeptidase-4 Inhibitors (DPP-4 inhibitor)
Dipeptidylpeptidase-4 (DPP-4) inhibitors yang sudah
digunakan di Indonesia adalah vildagliptin, sitagliptin,
saxagliptin, dan linagliptin. Dipeptidylpeptidase-4 inhibitors
memiliki risiko hipoglikemia rendah, tetapi dapat
meningkatkan pengaruh hipoglikemia akibat sulfonilurea,
glinid, dan insulin. Penggunaannya DPP-4 inhibitors di bulan
Ramadan tidak memerlukan penyesuaian dosis, namun
sulfonilurea perlu dikurangi dosisnya atau dihentikan bila
mendapat DPP-4 inhibitor. Dipeptidylpeptidase-4 Inhibitors

PAGE \* MERGEFORMAT i
dianggap sebagai pengganti sulfonilurea yang paling baik
pada penyandang yang tidak terkontrol dengan monoterapi
metformin dan berencana untuk berpuasa di bulan Ramadan.
Penelitian VIRTUE dan STEDFAST merupakan penelitian
pada penyandang DM tipe 2 berpuasa Ramadan yang
melibatkan populasi Indonesia. Kedua penelitian ini
menunjukkan kejadian hipoglikemia pada penyandang yang
mendapatkan vildagliptin lebih rendah dibandingkan dengan
yang mendapatkan sulfonilurea. Penelitian VIRTUE
menunjukkan bahwa penyandang yang mendapatkan
vildagliptin mengalami penurunan HbA1c dan berat badan,
sementara pada penelitian STEDFAST tidak terdapat
perubahan HbA1c dan berat badan yang bermakna pada
penyandang yang mendapatkan vildagliptin dan sulfonilurea
(gliclazide).
 Sodium Glucose Co-Transporter 2 Inhibitors (SGLT2-
inhibitors)
Empaglifozin dan dapaglifozin merupakan golongan
SGLT2-inhibitors yang ada di Indonesia. Sodium Glucose
Co-Transporter 2 Inhibitors memperbaiki kontrol glikemik
serta dapat menurunkan berat badan dengan risiko
hipoglikemia yang rendah. Penggunaan SGLT2-inhibitors
selama Ramadan juga memiliki risiko hipoglikemia yang
rendah, sehingga tidak memerlukan modi! kasi dosis.
Penggunaannya selama Ramadan dianjurkan pada saat
berbuka puasa dan penyandang dianjurkan untuk minum
lebih banyak pada saat jam tidak berpuasa. Penyandang yang
menggunakan loop diuretic, geriatri atau dengan gangguan
fungsi ginjal sebaiknya tidak diberikan SGLT2-inhibitors
selama Ramadan, atau apabila diberikan dengan
pertimbangan untuk proteksi kardiovaskular dan renal maka
perlu dilakukan monitoring status hidrasi dan fungsi ginjal

PAGE \* MERGEFORMAT i
secara ketat. Inisiasi SGLT2-inhibitors sebaiknya paling
sedikit 2 hingga 4 minggu sebelum Ramadan. Inisiasi
SGLT2-inhibitors pre-Ramadan dengan tujuan proteksi
kardiovaskular dan renal sebaiknya menggunakan dosis
rendah.
f) Insulin
Seringkali penyandang DMT2 membutuhkan kombinasi
antihiperglikemia, termasuki nsulin, sehingga risiko terjadinya
hipoglikemia berat tidak dapat dihindari. International Diabetes
FederationDiabates and Ramadan (IDF-DAR) menganjurkan strati!
kasi risiko pada penyandang DM yang akan berpuasa dengan
melihat berbagai aspek termasuk komponen terapi diabetes. Dalam
penentuan risiko tersebut, beragam jenis insulin yang digunakan
akan memberikan nilai skoring risiko yang cukup tinggi bervariasi
antara 1,5 hingga 3 apabila dibandingkan dengan OAD yang
skoringnya berkisar antara 0 hingga 1. Penggunaan insulin pada
penyandang DM yang berpuasa risiko hipoglikemia yang lebih
rendah namun tetap memiliki efikasi kontrol glikemik yang setara
dengan pemberian Biphasic Insulin Aspart.
g) Fixed Ratio Combination (FRC)
Kombinasi insulin basal dan agonis reseptor GLP-1 dalam
rasio tertentu merupakan modalitas farmakologis yang tersedia
dalam bentuk injeksi merupakan satu pilihan medikamentosa dalam
penatalaksanaan DMT2. FRC yang saat ini tersedia di Indonesia
adalah Insulin Glargine dan LIxisenatide (iGlarLixi). Data real
world evidence (RWE) dari penggunaan iGlarLixi selama bulan
Ramadan dari studi SoliRam memperlihatkan lebih dari 90%
subjek dapat berpuasa selama 1 bulan penuh dan angka
hipoglikemia yang terdokumentasi selama bulan Ramadan terjadi
pada sekitar 2% subjek selama studi berlangsung. Selain itu tidak
didapatkan episode hipoglikemia berat dan kendali glikemia dapat
dipertahankan selama bulan Ramadan.
h) GLP-1RA

PAGE \* MERGEFORMAT i
Obat-obatan yang bekerja mempengaruhi kerja incretin seperti
agonis reseeptor GLP-1 dapat menjadi pilihan terapi untuk
menghindari efek samping hipoglikemia pada penyandang DMT2
yang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan. Studi oleh
Brady, dkk. memperlihatkan liraglutide mampu menurunkan
HbA1c dan berat badan serta menurunkan kejadian hipoglikemia
secara bermakna dibandingkan sulfonilurea. Sementara itu, Azar
et.al. mendapatkan hasil yang serupa yaitu penurunan HbA1c dari
baseline dan penurunan berat badan serta angka kejadian
hipoglikemia simtomatik yang lebih rendah secara bermakna pada
kelompok liraglutide dibandingkan kelompok sulfonilurea.

9. Penyesuaian Dosis Insulin Pada Penyandang DM Yang Menjalani


Ibadah Puasa
IDF-DAR merekomendasikan penyesuaian dosis untuk pengguna
insulin pada penyandang DM yang hendak menjalankan ibadah puasa
a. Dosis insulin yang diberikan sebelum makan pagi atau siang dikurangi 30- 50%
dan diberikan sebelum makan sahur dan dosis insulin saat berbuka puasa
menggunakan dosis yang sama seperti dosis insulin yang diberikan malam hari
sebelum puasa atau
b. Dosis insulin yang diberikan malam hari dikurangi 30-50% diberikan sebelum
makan sahur dan dosis insulin saat berbuka puasa menggunakan dosis yang sama
seperti dosis insulin yang diberikan sebelum makan pagi/siang. Setelah selesai
menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan, IDF-DAR merekomendasikan
untuk menyesuaikan dosis kembali, yaitu kembali pada dosis sebelum bulan
Ramadan, penyesuaikan kembali dosis insulin ini diperlukan mengingat setelah
bulan Ramadan, umat muslim akan merayakan idul !tri yang mana umumnya pada
perayaan ini akan mengonsumi tinggi karbohidrat sehingga diharapkan dengan
penyesuaian dosis ini kontrol glikemik tetap dapat terjaga. Penelitian oleh
Hassanein, dkk. IDF-Asp yang diberikan dua kali sehari sebelum sahur dan
sebelum berpuka puasa, yang diberikan secara injeksi sub SC, dan setelah
dilakukan penyesuaian dosis sesuai dengan yang dianjurkan oleh IDF-DAR
terbukti memiliki risiko hipoglikemia yang rendah namun memiliki kontrol
glikemik yang sama baiknya dengan pemberian insulin biphasic aspart, sehingga
penggunaan insulin dgludec/insulin aspart dapat menjadi pilihan untuk
penyandang DM yang menjalankan ibadah puasa. Penggunaan insulin pada
penyandang DM yang berpuasa memerlukan penyesuaian yang bergantung pada
masing-masing individu dan penyesuaian dosis yang telah direkomendasikan serta
titrasi dosis terpandu meningkatkan risiko hipoglikemia, terutama pada

PAGE \* MERGEFORMAT i
penyandang DMT1, namun demikian penyandang DMT2 juga tetap memiliki
risiko hipoglikemia yang serupa. Penggunaan insulin analog (basal, prandial, dan
premix) memiliki beberapa keuntungan dibandingkan insulin manusia seperti
efikasi pengendalikan glikemia dan risiko hipoglikemia yang lebih rendah,
sehingga penggunaan insulin analog lebih dianjurkan dibandingkan insulin
manusia pada penyandang DM yang berpuasa. Pada studi yang membandingkan
penggantian insulin analog kerja cepat lispro pre-mixed 50% untuk iftar dan
insulin manusia kerja pendek pre-mixed 30% yang tetap diberikan saat sahur
dengan kelompok yang tetap mendapatkan insulin manusia kerja pendek dua kali
sehari, didapatkan perbaikan kendali glikemia secara signi! kan dan risiko
hipoglikemia yang lebih rendah pada kelompok pengguna insulin lispro.
Penelitian lainnya membandingkan insulin lispro Mix25 (25% lispro kerja pendek
dan 75% lispro kerja menengah) dengan insulin manusia 30/70 (30% insulin
manusia kerja pendek dan 70% insulin kerja menengah neutral protamine
Hagedorn [NPH]) risiko hipoglikemia didapatkan lebih rendah pada kelompok
yang mendapatkan insulin lispro Mix 25. Sementara itu, Hassanein, dkk, juga
melakukan penelitian mengenai efikasi dan keamanan penggunaan Biphasic
Insulin Aspart (kombinasi 30% insulin kerja cepat dan 70% insulin kerja
menengah) baik itu dengan atau tanpa obat antihiperglikemik oral dengan Insulin
Degludec/Insulin Aspart (70% insulin degludec dan 30% insulin aspart). Untuk
penyandang yang mendapatkan terapi NPH atau insulin premix pada saat sahur,
sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan gula darah pada siang hari
sebelum menaikkan dosis insulin sebelum sahur, jika gula darah <100 mg/dL dan
gula darah sebelum berbuka puasa tidak sesuai dengan target, maka sangat
dianjurkan menggunakan insulin analog kerja panjang pada saat sebelum sahur.
Sementara itu, insulin degludec (IDeg) sendiri merupakan insulin kerja panjang
yang tidak memiliki puncak aksi, sehingga insulin ini digunakan sebagai insulin
basal dengan risiko hipoglikemia yang rendah. Baik IDeg maupun kombinasi
insulin degludec dengan insulin kerja cepatinsulin aspart (IDegAsp) aman
digunakan untuk penyandang DM yang menjalankan ibadah puasa dan efektif
dalam menjaga kontrol glikemik. Berdasarkan penelitian Hassanein, dkk.
didapatkan penggunaan kombinasi insulin degludec/insulin aspart memiliki risiko
hipoglikemia yang lebih rendah dibandingkan dengan biphasic insulin aspart
dengan e! kasi kontrol glikemik yang sama. Hal tersebut diperkirakan karena
selama Ramadan, terapi kombinasi IDegAsp yang diberikan dua kali sehari
mampu memenuhi kebutuhan insulin basal karena kerja insulin degludec sebagai
insulin kerja panjang dan memenuhi kebutuhan insulin prandial karena insulin
aspart bekerja sebagai insulin kerja cepat. Oleh karena itu penggunaan kombinasi
IDegAsp dapat menjadi pilihan untuk penyandang DM yang akan menjalankan
ibadah puasa karena memiliki

10. Pemantauan Gula Darah Mandiri


Berpuasa bagi penyandang dengan diabetes merupakan tantangan
tersendiri. Risiko tersering penyandang dengan diabetes yang berpuasa di

PAGE \* MERGEFORMAT i
bulan Ramadan adalah dehidrasi, hipoglikemia, hiperglikemia, dan
ketoasidosis. Saat puasa asupan cairan berkurang sehingga dapat
menyebabkan dehidrasi. Hiperglikemia pada penyandang DM dapat
menyebabkan poliuri, sehingga dapat memperberat risiko dehidrasi pada
penyandang diabetes. Sebuah literatur menyatakan bahwa status hidrasi
dan elektrolit penyandang yang berpuasa mengalami sedikit perubahan,
Berbagai penelitian menunjukan hasil yang bervariasi mengenai status
hidrasi dan elektrolit pada penyandang diabetes selama Ramadan. Namun,
menurut penelitian yang menilai efek puasa Ramadan pada status hidrasi
penyandang dengan DMT2, didapatkan peningkatan osmolalitas urin yang
signi! kan setelah 1 bulan puasa, namun tidak ada perubahan nilai
elektrolit pada natrium dan kalium. Kondisi dehidrasi lebih lanjut dapat
menyebabkan hipovolemia dan hipotensi pada penyandang DM yang
berpuasa. Kondisi ini dapat menyebabkan penurunan kesadaran, jatuh,
hingga cedera. Selain itu peningkatan viskositas darah akibat dehidrasi
juga dapat meningkatan risiko trombosis dan stroke. Oleh karena, tanda-
tanda dehidrasi penting untuk diketahui oleh penyandang DM. Selain itu
penyandang juga harus diedukasi mengenai gejala hipoglikemia dan
hiperglikemia, serta diberikan edukasi mengenai pemeriksaan glukosa
darah sendiri. Pemeriksaan glukosa darah sendiri sangat diutamakan untuk
penyandang dengan risiko sangat tinggi dan risiko tinggi yang tetap
memilih untuk berpuasa. Perlu ditekankan bahwa pemeriksaan glukosa
darah sendiri tidak akan membatalkan puasa. Waktu yang
direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah yaitu
sebelum sahur, di pagi hari, tepat siang hari, tengah hari, sebelum berbuka
puasa, dua jam setelah berbuka puasa dan kapanpun bila terdapat gejala
hipoglikemia atau hiperglikemia. (Tabel 1) Anjuran waktu pemeriksaan
kadar glukosa harian disesuaikan dengan tujuan pemantauan yang akan
dinilai pada seorang penyandang diabetes dan dengan memperhatikan pro!
l rejimen terapi yang digunakan serta kemampulaksanaan pemantauan
glukosa darah mandiri itu sendiri. Sementara untuk kelompok risiko
rendah, pemeriksaan glukosa darah juga tetap dianjurkan yaitu pada saat
sebelum sahur, tengah hari, setelah berbuka puasa, dan kapanpun bila
terdapat gejala hipoglikemia maupun hiperglikemia. Penyandang DM
harus diedukasi untuk membatalkan puasa apabila dalam pemeriksaan
mandiri didapatkan kadar glukosa darah <70 mg/ dl, >300 mg/dL, atau
terdapat gejala-gejala hipoglikemia, dehidrasi, serta penyakit akut lainnya,

11. Diabetes dan Kondisi Khusus


A. Kehamilan dan Menyusui
B. Usia Lanjut
C. Komplikasi Kardiovaskular dan Cerebrovaskular
D. Gagal Ginjal Kronik

PAGE \* MERGEFORMAT i
E. Infeksi Covid-19

PAGE \* MERGEFORMAT i
III. KESIMPULAN

Diabetes melitus adalah kondisi kronis yang memengaruhi jutaan


orang di seluruh dunia. Kondisi ini terjadi ketika tubuh tidak dapat
memproduksi atau menggunakan insulin dengan benar, sehingga kadar
gula darah menjadi tinggi. Diabetes melitus dapat memiliki implikasi
serius pada kesehatan jangka panjang, termasuk risiko komplikasi yang
serius seperti kerusakan organ, penyakit jantung, dan stroke. Klasifikasi
diabetes melitus dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu diabetes melitus tipe
1, diabetes melitus tipe 2, dan diabetes melitus gestasional. Faktor risiko
diabetes melitus meliputi obesitas, kekurangan aktivitas fisik, usia, riwayat
keluarga, dan ras tertentu. Gejala klinis diabetes melitus meliputi poliuria,
polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, dan kelelahan.
Tatalaksana diabetes melitus meliputi pengelolaan kadar gula darah,
pengendalian faktor risiko, dan pengobatan komplikasi. Terapi insulin dan
pengobatan obat-obatan antidiabetes digunakan untuk mengontrol kadar
gula darah. Tindakan preventif seperti olahraga teratur, diet sehat, dan
pengobatan hipertensi dan hiperlipidemia juga dapat membantu
mengontrol diabetes melitus. Tinjauan mengenai faktor risiko dan
tatalaksana diabetes melitus diharapkan dapat mencegah komplikasi lebih
lanjut pada penderita diabetes melitus yang melakukan puasa Ramadan.

PAGE \* MERGEFORMAT i
DAFTAR PUSTAKA

Antonelli, A., Ferrari, S.M., Ragusa, F., Elia, G., Paparo, S.R., Ruffilli, I.,
Patrizio, A. 2020. Grave’s Disease: Epidemiology, Genetic and
Environmental Risk Factors and Viruses. Elsevier. Vol. 34(1):1-17
Djokomoeljanto, R. 2010. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, Hipertiroidisme. Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 3 edisi-2. Jakarta
Du, Z., Xu, X., Wu, Y., Wang, L., Cowling, B.J., Meyers, L.A. 2020. Serial
interval of COVID-19 among publicly reported confirmed cases. Emerging
infectious diseases. Vo. 26(6):1341-343
Gennaro, F. Pizzol, D., Marotta, C., Antunes, M., Racalbuto, V., Veronese, N.,
Smith, L. 2020. Coronavirus Diseases (COVID-19) Current Status and
Future Perspectives: A Narrative Review. International Journal of
EnvironmentalResearch and Public Health. Vo. 17(2690):1–11.
https://doi.org/10.3390/ijerph17082690
Handayani, D et al. 2020. Penyakit Virus Corona 2019. Jurnal Respirologi
Indonesia. Vol. 40(2). Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
Huang, C., Wang, Y., Li, X., Ren, L., Zhao, J., Hu, Y., Gu, X. 2020.
Clinical Features of Patients Infected with 2019 Novel Coronavirus in
Wuhan China. Lancet. Vol. 395(10233):497–506.
Kumar, C. V. S., Mukherjee, S., Harne, P. S., Subedi, A., Ganapathy, M. K., Patth
ipati, V. S., Sapkota, B. 2020. Novelty in the Gut: A Systematic Review An
alysis of the Gastrointestinal Manifestations of COVID-19. BMJ Open Gast
roenterology. Vol. 7:1–9.
Lapostolle, F., Schneider, E., Vianu, I., Dollet, G., Roche, B., Berdah, J., Adnet, F.
2020. Clinical Features of 1487 COVID - 19 Patients with Outpatient Mana
gement in the Greater Paris: the COVID - Call Study. Internal and Emergen
cy Medicine. Vol. 15(5):813-817
Longo, D.L., Kasper, D.L, Jameson, JL., Fauci, A.S., Loscalzo, J., Hauser,
S.2018. Harrison's Principles of Internal Medicine, 20th ed. New York:
McGrawHill

PAGE \* MERGEFORMAT i
Meng, H., Xiong, R., He, R., Lin, W., Hao, B., Zhang, L., & Lu, Z. 2020. CT
Imaging and Clinical Course of Asymptomatic Cases with Covid-19
Pneumonia at Admission in Wuhan, China. Journal of Infection. Vol. 81:
e33–e39.
Netter, Frank, H. 2014. Atlas of Human Anatomy 25th Edition. Jakarta: EGC
Scappaticcio, L., Pitoia, F., Esposito, K., Piccardo, A., Trimboli, P. 2021. Impact
of COVID-19 on the Thyroid Gland: an Update. Reviews in Endocrine and
Metabolic Disorders. Vo. 22:803-815
Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC
Subekti, I & Pramono, L.A. 2018. Current Diagnosis and Management of Grave’s
Disease. The Indonesian Journal of Internal Medicine. Vol. 50(2):177-182
Terry, J.S., Laszlo, H. 2016. Graves’ Disease. NEJM. Vol. 375:1552-1556

PAGE \* MERGEFORMAT i

Anda mungkin juga menyukai