Anda di halaman 1dari 4

The Missing Point : Buku untuk Anak Muda Mengenal

Persepsi Lain Tentang Tujuan dan Kegagalan

Identitas Buku
Judul Buku: The Missing Point, yang banyak orang tidak pikirkan mengenai
tujuan dan kegagalan
Penulis: Wahyu Saputra
Penerbit: EA Books
Tahun: 2021
Jumlah halaman: 225 Halaman
Tebal: 13 x 19 cm

***

Tidak dapat dipungkiri bahwa tulisan memiliki kekuatan yang luar biasa, ia
menjadi alat untuk mengabadikan segala peristiwa atau bahkan lebih dari itu
bisa menjadi doktrin-doktrin yang menggerakkan pembacanya. Sehingga,
membuat tulisan dengan rapi sekaligus menyematkan berbagai tujuan di
dalamnya saya kira adalah keahlian para sastrawan ketika mereka memainkan
semuanya dalam alunan gaya bahasa dan sedikit fiksi yang halus untuk
diterima lebih ringan.

Namun, apakah kemudian yang disampaikan secara terang-terangan akan


binasa di mata pembaca? Tentu tidak, banyak peristiwa dan hasil pemikiran
melalui renungan yang dalam dari berbagai tokoh terkemuka dan dibarengi
ruwetnya penelitian di belakangnya menjadi bahan yang sangat menarik
untuk dibaca. Di samping itu juga akan menjawab segala pertanyaan yang
mungkin terkungkung di kepala dengan cara lebih lugas dan tak jarang
berbeda dengan mayoritas.

Seperti halnya yang akan saya suguhkan di sini adalah buku 200an halaman
milik Wahyu Saputra. Jujur saja, melihat perkembangan zaman saat ini yang
membuat banyak manusia khususnya anak muda terjebak dengan segala
tuntutan zaman seringnya menimbulkan mental dan psikis mereka menjadi
samsak yang terus saja diserang, dengan begitu karya-karya seri psikologi
layaknya buku berjudul The Missing Point bisa menjadi bahan bacaan yang
sangat bagus dan berdampak pada pola pikir positif yang terbangun setelah
membacanya.

Kepandaian Wahyu Saputra dalam memadukan tulisan bermodal konsep


berpikir yang realistis dengan penguat cerita-cerita singkat tokoh ulung dunia
menurut saya teramat mampu menghipnotis pembaca bahkan untuk mereka
yang mungkin tidak menyukai bacaan nonfiksi seperti ini. Kekuatan lain
yang begitu menonjol terlihat dari kemahiran penulis mengambil kedekatan
masalah yang sedang banyak dihadapi oleh generasi modern, di mana sangat
banyak ditemui kompetisi dalam segala ruang dari yang besar atau kecil
sekalipun. Semua terangkum dengan porsi yang legit untuk dinikmati melalui
tiga tema utama yang sangat bernyawa dalam buku ini, yaitu Aku dan
Tujuan, Aku dan Kegagalan, Aku dan Langkah Selanjutnya.

Hanya dengan tiga tema itu buku ini sudah membuat saya jatuh cinta. Meski
penyertaan tokoh-tokoh inspiratif di dalamnya sudah sering dibahas di buku-
buku sejenis, tetapi sudut pandang lain yang diambil oleh penulis benar-benar
telah memberikan saya sisi lain yang jarang diungkap oleh penulis lain. Sebut
saja tokoh seperti Bill Gates, JK Rowling, Elon Musk, sampai Albert Enstein
dan masih banyak di antaranya sebenarnya cukup sering kita temukan, tetapi
sekali lagi, Wahyu Saputra menyuguhkan sisi yang relevan dengan tiga tema
yang diangkatnya, sehingga tulisannya menjadi menarik dan sangat dekat
dengan pembaca.

Hal lain yang membuat saya secara subjektif mengatakan jatuh cinta dengan
buku ini adalah keahlian penulis saat mematahkan berbagai persepsi yang
sudah menjadi konsumsi mayoritas. Tidak menutup kemungkinan sisi ini
juga bisa menjadi alasan beberapa orang akan berhenti membaca di bab
pertama. Namun, itu hanya akan terjadi apabila pembaca tidak terbuka
dengan konsep baru hasil pemikiran penulis.

Apapun itu, saya masih akan tetap berkesimpulan bahwa buku ini sangat
layak dibaca untuk memberikan inside yang sedikit lebih liar dari apa yang
kita tanam atau ditanamkan oleh orang-orang lain kepada cara berpikir
manusia dalam menghadapi tiga hal besar tadi; tujuan, kegagalan, dan
langkah selanjutnya.

Ambil saja contoh saat The Missing Point mengatakan bahwa inspirasi
seharusnya diletakkan di akhir, bukan di awal. Formulanya bukan mencari
inspirasi untuk mengambil tindakan, tetapi mengambil tindakan untuk
mendapatkan inspirasi (hlm. 8). Kemudian, saya sangat setuju dengan
pernyataan jika Nasihat kepercayaan diri yang biasa digunakan oleh manusia
berupa fake it till you make it sebenarnya hanya menyuruh kita untuk
membohongi diri dan berpura-pura bahwa kita memiliki kepercayaan diri
hingga itu benar-benar menjadi kenyataan (hlm. 34), meski bisa membuat
kepercayaan diri tercipta, tetapi resiko yang dihadirkan adalah seseorang
tersebut dalam suatu momentum di masa depan ketika cara itu gagal yang
akan terjadi justru memunculkan spekulasi bahwa kesuksesannya hanya bisa
didapatkan dari kebohongan.

Lalu yang mungkin juga akan sedikit menggelitik di kepala pembaca, yaitu
buku ini menghalalkan kata menyerah bahkan menyambutnya, sebab dalam
beberapa situasi menyerah tidak sepenuhnya salah, tentu dengan alasan
rasional yang mendasari kepercayaan tentang siapa diri kita, bagaimana
kemampuan kita, dan apa nilai yang bisa kita tawarkan, maka tampil dan
mencoba, lagi dan lagi, menjadi bagian penting dalam mencapai kesuksesan
(hlm. 121).

Pada akhirnya saya akan sampaikan, buku ini memberikan banyak sudut
pandang baru yang bisa mematahkan persepsi lama dalam kehidupan kita,
tetapi tidak perlu disangkal kalau memang perkembangan zaman juga ikut
serta menciptakan hal tersebut. Hanya saja, seperti yang dikatakan penulis
dalam prolognya, “jangan pernah memberi titik pada setiap hal yang aku
bahas di buku ini, atau sederhananya olah lagi apa yang aku sampaikan”.

Anda mungkin juga menyukai