Anda di halaman 1dari 10

Nama : Ajeng Alvia Fauziah

Kelas : B3-Lanjutan
Mata Kuliah : Praktikum Penanganan Kesulitan Belajar
Dosen : Tuti Alwiyah, M.Pd.

PRAKTIKUM DIAGNOSIS KESULITAN BELAJAR


PRAKTIK #2 Point-2 (Sosial)

A. IDENTIFIKASI KASUS
a. Deskripsi Masalah
Berdasarkan data terlampir (berupa asesmen kesulitan belajar terhadap 5 peserta didik
yang terdiri dari inisial A, T, D, S dan M), dapat dideskripsikan mengenai Gambaran Aspek
Sosial dari kelima peserta didik tersebut sebagai berikut:
1. Peserta didik berinisial A berada pada kategori “Rendah” untuk indikator Pemalu, kategori
“Rendah” untuk indikator Minder, kategori “Rendah” untuk indikator Bergaul dan
kategori “Rendah” untuk indikator Terbuka;
2. Peserta didik berinisial T berada pada kategori “Sedang” untuk indikator Pemalu, kategori
“Rendah” untuk indikator Minder, kategori “Sedang” untuk indikator Bergaul dan kategori
“Rendah” untuk indikator Terbuka;
3. Peserta didik berinisial D berada pada kategori “Rendah” untuk indikator Pemalu, kategori
“Rendah” untuk indikator Minder, kategori “Rendah” untuk indikator Bergaul dan
kategori “Rendah” untuk indikator Terbuka;
4. Peserta didik berinisial S berada pada kategori “Sedang” untuk indikator Pemalu, kategori
“Rendah” untuk indikator Minder, kategori “Sedang” untuk indikator Bergaul dan kategori
“Rendah” untuk indikator Terbuka;
5. Peserta didik berinisial M berada pada kategori “Rendah” untuk indikator Pemalu,
kategori “Rendah” untuk indikator Minder, kategori “Sedang” untuk indikator Bergaul dan
kategori “Rendah” untuk indikator Terbuka.

1
b. Faktor-faktor Penyebab
Fenomena kesulitan belajar seorang siswa biasanya tampak jelas dari menurunnya kinerja
akademik atau prestasi belajarnya. Namun, kesulitan belajar juga dapat dibuktikan dengan
munculnya kelainan perilaku (misbehavior) siswa seperti kesukaan berteriak-teriak di dalam
kelas, mengusik teman, berkelahi, sering tidak masuk sekolah, dan sering kabur dari sekolah.
secara garis besar.
Faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri atas dua macam, yakni:
1. Faktor intern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang berasal dari dalam diri
sendiri.
a) Bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas intelektual atau
inteligensi siswa;
b) Bersifat afektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap;
c) Bersifat psikomotor (ranah karsa), antara lain seperti terganggunya alat-alat indera
penglihatan dan pendengar (mata dan telinga).
2. Faktor ekstern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang datang dari luar diri siswa.
Faktor ekstern siswa meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak
mendukung aktivitas belajar siswa. Faktor ini dapat dibagi tiga macam, yaitu:
a) Lingkungan keluarga, contohnya: ketidakharmonisan hubungan antara ayah dengan
ibu, dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga;
b) Lingkungan perkampungan atau masyarakat, contohnya: wilayah perkampungan
kumuh (slum area), dan teman sepermainan (peer group) yang nakal.
c) Lingkungan sekolah, contohnya: kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk seperti
dekat pasar, kondisi guru serta alat-alat belajar yang berkualitas rendah.
Selain faktor-faktor yang bersifat umum di atas, secara khusus kesulitan belajar bisa
dialami akibat dari Aspek Sosial seperti siswa pemalu, siswa yang mudah minder, siswa yang
kurang bergaul dan siswa yang kurang terbuka. Hal-hal tersebut bisa juga berdampak lebih
buruk seperti misalnya siswa menjadi bagian yang terisolir atau terabaikan dari lingkungan
belajarnya.
Siswa yang terabaikan adalah siswa yang jarang dinominasikan sebagai sahabat tetapi
tidak dibenci oleh teman sebaya mereka. Senada dengan pendapat diatas, Mappiare (1982:
172-173) mengemukakan bahwa anak terisolir adalah anak yang jarang dipilih atau sering kali

2
mendapatkan penolakan dari lingkungannya. Biasanya siswa seperti ini mempunyai karakter
siswa yang kurang berminat untuk menjadi anggota kelompok teman sebaya atau bahkan
siswa yang ditolak oleh teman sebayanya akan tetapi memiliki kemauan untuk bergabung
dengan kelompoknya.
Dengan berjalannya waktu, ketika siswa memasuki kategori siswa yang terisolir maka
akan timbul perbedaan dari sikapnya yang menjadikan dia sosok yang pemalu karena sungkan
untuk bergabung dengan siswa lainnya, menjadikan dia mudah minder karena merasa tidak
pantas berteman, menjadikan dia siswa yang tidak bisa bergaul dan akhirnya kurang terbuka
kepada siapapun. Jika diuraikan, terdapat beberapa contoh faktor penyebab siswa bersifat
Pemalu, mudah Minder, tidak Bergaul dan kurang Terbuka diantaranya:
a) Penampilan yang kurang menarik, sikap menjauhkan diri dan lebih mementingkan diri
sendiri
b) Penampilan tidak sesuai dengan standar kelompok dalam hal daya tarik fisik dan kerapian
c) Perilaku sosial yang kurang baik seperti, menonjolkan diri, menggganggu, senang
memerintah
d) Kurang matang dalam pengendalian emosi, ketenangan, kepercayaan diri dan
kebijaksanaan
e) Status ekonomi berada dibawah status ekonomi anggota kelompok yang lainnya
f) Tempat tinggal yang terpencil dan ketiakmampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan
kelompok, dst.

B. LANGKAH-LANGKAH PENANGANAN KASUS


1. Diagnosis
Berdasarkan pengamatan asesmen terhadap kelima peserta didik/siswa berinisial A, T, D,
S dan M, maka kita dapat meringkas sebagai berikut:
a. Untuk indikator “Cepat Marah” dan “Sensitif”, kelima siswa berada pada kategori
“Rendah”, yang artinya kelima siswa cenderung memiliki karakter yang sama dalam hal
ini. Adanya kemungkinan kelima siswa mudah tersinggung oleh perkataan maupun
perlakuan yang mereka terima, korelasinya adalah jika seseorang itu sensitif maka
kemungkinan besar seseorang tersebut juga mudah cepat marah. Walaupun secara
tingkatan kelima siswa dalam kategori rendah yang artinya tidak terlalu seperti itu, namun

3
karakter seperti ini tetap harus dapat di reduce karena apabila dibiarkan bukan tidak
mungkin menjadi semakin parah dan berdampak kepada aktivitas sosial mereka seperti
menjadi sulit berbaur dan berteman atau bahkan berdampak pada aktivitas belajar.
Dalam hal ini konselor melihat adanya kemungkinan kelima siswa mengalami faktor
eksternal seperti kesalahan pola asuh orang tua yang terlalu mengekang, kebanyakan
orangtua mendidikan anak dengan tingkat kedisiplinan berlebih, ini berakhir pada rasa
tidak bebas karena terlalu dikekang. Anak akan merasa apa yang menurutnya bahagia,
selalu dilarang dan dikekang oleh orangtuanya, seperti hobi dan minat yang ia
lakukan mungkin bersebrangan dengan keinginan orangtua, hal ini juga akan menjadi
bumerang bagi anak kelak, salah satunya anak menjadi lebih pemarah karena rasa kecewa
terhadap perlakuan orangtuanya.

b. Siswa berinisial A dan D memiliki karakter yang sama, dimana keduanya memiliki
kategori “Rendah” pada semua Aspek Sosial yang terdiri dari Pemalu, Minder, Bergaul
dan Terbuka. Jika diartikan, keduanya merupakan siswa yang tidak terlalu malu dan
minder namun kurang bergaul dan terbuka. Menurut diagnosa penulis, hal ini bisa
disebabkan oleh siswa yang memiliki minat yang rendah untuk bersosialisasi, ini terjadi
karena anak mengalami penyesuaian sosial yang buruk dan mengecewakan bagi dirinya.
Selain itu, siswa kurang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial disekitarnya
dan melakukan kegiatan sendirian. Anak yang terisolir akan cenderung melakukan hal-hal
secara mandiri, karena penolakan yang diberikan oleh teman sebayanya.
c. Begitu pun dengan siswa berinisial T dan S memiliki karakter yang sama, ini bisa dilihat
dari hasil asesmen yang menunjukkan keduanya memiliki kategori “Sedang” pada aspek
Pemalu, kategori “Rendah” pada aspek Minder, kategori “Sedang” pada aspek Bergaul dan
kategori “Rendah” pada aspek Terbuka. Jika diartikan, keduanya merupakan siswa yang
cukup pemalu namun juga cukup bergaul, disisi lain keduanya ini siswa yang tidak
terlalu minder namun kurang terbuka kepada siapapun. Menurut diagnosa penulis, hal ini
bisa disebabkan oleh kemampuan dan kemauan untuk berubah, pengaturan diri, realisasi
diri, dan intelegensi. Siswa yang memiliki kemampuan dan kemauan dalam
menyesuaiakan diri, akan terus berusaha untuk dapat diterima di dalam lingkungannya.
Sebaliknya bagi siswa yang tidak memiliki usaha dan berdiam diri di lingkungan sosialnya

4
tidak akan dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik. Pengaturan diri siswa yang
dilakukan oleh siswa meliputi pengaturan diri siswa terhadap pengenadalian emosi, sikap,
dan perilaku. Siswa yang dpat mengatur diri dengan baik, akan mampu melakukan
penyesuaian sosial dengan baik. Siswa yang tidak mampu melakukan pengaturan diri
dengan baik, maka akan menyebabkan siswa menjadi terisolir dan menyimpang dari
lingkungan sosialnya.
d. Sedangkan siswa berinisial M memilik karakter yang berbeda dari 4 siswa lainnya. Siswa
M memiliki kategori “Rendah” pada aspek Pemalu, kategori “Rendah” pada aspek Minder,
kategori “Sedang” pada aspek Bergaul dan kategori “Rendah” pada aspek Terbuka. Jika
diartikan, siswa M merupakan siswa yang tidak terlalu pemalu dan minder selain itu dia
cukup bergaul namun kurang terbuka. Menurut diagnosa penulis, hal ini bisa disebabkan
oleh adanya trauma dari lingkungan keluarganya sendiri yang menjadikan dia sosok yang
tertutup. Trauma tersebut bisa terjadi karena kurang perhatian dari kedua orangtuanya, ada
aib keluarga yang sangat rahasia atau tidak mau teman-teman sebayanya mengetahui
tentang identitas keluarganya.

2. Prognosis
Berdasarkan pengamatan penulis setelah mempelajari hasil asesmen tersebut, bahwa
faktor internal dari diri siswa itu sendiri dan faktor eksternal dari lingkungannya menjadi salah
satu penyebab adanya kesulitan belajar dari siswa yang diakibatkan oleh kurangnya
kecerdasan emosional seperti mudah marah, sensitif dan selalu ingin menjadi orang lain.
Untuk itu, penulis sebagai konselor berpendapat upaya untuk meningkatkan kemampuan
mengendalikan emosi siswa adalah dengan memberikan Layanan Dasar yaitu dengan strategi
Bimbingan Kelompok. Strategi dalam bimbingan kelompok untuk dapat meningkatkan
pengendalian emosi yaitu dengan cara memanfaatkan proses terjadinya dinamika kelompok
yang ada dalam kelompok tersebut dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk bisa
mengungkapkan pendapatnya, melatih diri untuk dapat menerima dan terbuka terhadap
pendapat orang lain, melatih diri untuk bersabar dalam menghadapi sikap dan perilaku orang
lain. Guru BK memberikan layanan perencanaan individual yang bertujuan untuk mengelola
emosi siswa. Guru BK memberikan training ESQ kepada siswa. Perilaku dan emosional
manusia sangatlah beragam, diperlukan kompetensi kecerdasan emosional untuk memahami

5
keragaman emosional dan perbedaan pola pikir dalam setiap interaksi. Setiap orang bisa
melatih kecerdasan emosionalnya untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain
dalam kendali emosional baik. Tujuan pelatihan program ESQ disusun untuk memberikan
keterampilan lanjutan bagi siswa dalam mengelola emosi. Metode pelatihan adalah presentasi,
Tanya Jawab, Diskusi, Studi Kasus, Self Talk, Games, film pendek, Icebreaker dan Role Play.
Emosi dapat mempererat hubungan dengan orang lain dalam berbagai cara yaitu melalui
pembicaraan, melalui sentuhan, melalui pandangan mata, ekspresi, roman muka dan bahasa
tubuh, dan melalui emosi-emosi yang diungkapkan, apabila siswa dapat menyatakan dan
membicarakan emosinya dengan orang lain, siswa dapat membangun hubungan yang sangat
erat.
Pendekatan yang perlu dilakukan adalah melakukan Konseling Kelompok (langsung
kepada kelima peserta didik) dengan Teknik Self Management. Dalam konseling memuat
beberapa teknik diantaranya teknik Self Management (pengelolaan diri) yaitu suatu proses
dimana konseli mengarahkan perubahan tingkah laku mereka sediri, dengan menggunakan
satu strategi atau kombinasi strategi.
Self Management membuat orang mampu mengarahkan tindakanya ke arah yang positif.
Teknik Self Management ini termasuk dalam pendekatan behavior. Konseling behavioral
yakni setiap tingkah laku dapat dipelajari. Self Management dapat efektif mengubah ide
pikiran dan perasaan buruk di dalam hati menjadi kualitas yang dapat diterima dari perilaku
mental. Dalam pelaksanaan teknik Self Management tanggung jawab keberhasilan konseling
berada di tangan konseli. Konselor berperan sebagai pencetus gagasan, fasilitator yang
membantu merancang program serta motivator bagi konseli.
Teknik Self Management ini bertujuan agar individu secara teliti dapat menempatkan diri
dalam situasi-situasi yang dapat menghambat tingkah laku yang hendak di hilangkan dan
belajar untuk mencegah timbulnya perilaku atau masalah yang tidak dikehendaki. Individu
dapat mengelola pikiran, perasaan, dan tindakanya sehingga mendorong pada hal-hal yang
baik.
Dalam contoh kasus ini, siswa berinisial A, T, D, S dan M ini memerlukan perubahan
karaktek yang signifikan secara aspek emosional seperti tidak menjadi seorang pemarah, tidak
terlalu sensitif, dan percaya diri untuk dapat menjadi dirinya sendiri dengan karakter yang
dimiliki. Maka, hal ini selaras dengan Konseling Teknik Self Management yang mempunyai
tujuan untuk bisa merubah antar individu kepada karasteristiknya yang lebih baik dan positif.

6
3. Penanganan (Treatment)
a. Tahap Monitor / Observasi Diri, pada tahap ini konseli dengan sengaja mengamati
tingkah lakunya sendiri serta mencatatnya dengan teliti. Catatan ini dapat
menggunakan daftar cek atau catatan observasi kualitatif. Hal-hal yang perlu
diperhatikan oleh konseli dalam mencatatat tingkah laku adalah frekuensi, intensitas, dan
durasi tingkah laku. Pada tahap ini konseli mengobservasi apakah dengan karakter
dirinya sudah bertanggung jawab terhadap belajar atau belum. Konseli mencatat berapa
kali dia belajar dalam sehari, seberapa sering dia belajar, dan seberapa lama dia
melakukan aktivitas dalam belajarnya. Kemudian hal-hal yang juga bersangkutan dengan
social dan emosional, berapa kali dia berinteraksi dengan temannya, hal apa saja yang
membuat dia malu atau tersinggung dan menjadi marah, hal apa saja yang membuat dia
minder hingga tidak percaya diri dan ingin seperti yang lainnya.
b. Tahap Evaluasi Diri, pada tahap ini konseli membandingkan hasil catatan tingkah laku
dengan target tingkah laku yang telah dibuat oleh konseli. Perbandingan ini
bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas dan efisiensi program. Bila program tersebut
tidak berhasil, maka perlu ditinjau kembali program tersebut, apakah target tingkah laku
yang ditetapkan memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi, perilaku yang ditargetkan tidak
cocok, atau penguatan yang diberikan tidak sesuai. Pada tahap ini konseli mengevaluasi
antara hasil catatan tingkah laku dalam tanggung jawab belajarnya kemudian
dibandingkan dengan target tingkah laku yang ingin dicapai apakah program sudah
tercapai atau belum. Jika belum maka perlu ditinjau kembali apakah target perilaku
tidak cocok atau reinforcement yang diberikan tidak sesuai.
c. Tahap Pemberian Penguatan, Penghapusan dan Hukuman, pada tahap ini konseli
mengatur dirinya sendiri, memberikan penguatan, menghapus, dan memberi hukuman
pada diri sendiri. Tahap ini merupakan tahap yang paling sulit karena membutuhkan
kemauan yang kuat dari konseli untuk melaksanakan program yang telah dibuat secara
kontinyu. Pada tahap ini jika konseli telah menunjukkan adanya sikap tanggung
jawab belajar maka konseli akan diberikan sebuah penguatan atau reward yang telah
ditentukan. Namun jika konseli ternyata belum menunjukkan sikap tanggung jawabnya
maka konseli akan diberikan punishment yang telah ditentukan.

7
d. Langkah-langkah Treatment

Langkah 1 Pada tahap pertemuan pertama ini konselor/peneliti berfokus pada


menumbuhkan rasa antusias mengikuti berjalannya konseling dengan
menumbuhkan rasa percaya terhadap konselor/peneliti, agar dapat konsisten
dalam mengikuti konseling serta berjalannya proses konseling dengan lancar
sehingga dapat tercapainya tujuan konseling.
Langkah 2 Pada tahap pertemuan kedua ini di tahap inti konseling konselor/peneliti
berfokus pada menggali informasi permasalahan konseli. Ditahap ini konselor
menggali informasi yang dibutuhkan dari internal siswa dengan sistem
wawancara dalam kelompok dan kemudian memberikan kesempatan kepada
siswa untuk mengobservasi diri sendiri yang berkaitan dengan aspek
emosional dalam aktivitas belajar.
Konselor mengarahkan siswa untuk menuliskan hal-hal apa saja yang
berdampak pada kesulitan belajar seperti hal yang dapat membuat dia malu
(tidak percaya diri), hal yang membuat dia marah, tersinggung, tidak nyaman,
insecure, hal yang membuat dia tertutup, dll.
Langkah 3 Pada tahap pertemuan ketiga ini, ditahap inti konseling konseli
memasuki tahap evaluasi diri. Disini dimaksudkan Konseli mengevaluasi
antara hasil catatan target belajar yang ingin dicapai dengan kebiasaan
karakteristik yang dia terapkan sehari-hari apakah dapat membantu atau tidak
untuk mencapai target tersebut.
Hampir kelima siswa berinisial A,T,D,S dan M memiliki catatan dan
kesimpulan bahwa jika seorang siswa bersikap pemarah akan sulit
mendapatkan teman, jika seorang siswa terlalu sensitive mudah tersinggung
maka akan sulit beradaptasi dengan lingkungan dan cenderung keras kepala,
dan jika seorang siswa selalu ingin seperti yang lainnya maka tidak akan
pernah percaya diri karena selalu melihat kekurangan dirinya sendiri. Kelima

8
siswa sepakat bahwa siswa dengan karakter tersebut maka cukup sulit untuk
bisa belajar dengan baik karena banyak tahap proses belajar mengajar yang
siswa pun perlu untuk berkelompok, bersosialisasi dan berdiskusi.
Langkah 4 Pada tahap pertemuan keempat ini, ditahap inti konseling konselor/peneliti
melanjutkan tahap treatment Konseling Kelompok pertemuan sebelumnya
yaitu
dengan pemberian penguatan. Pada treatment ini konselor/peneliti memberi
penebalan argumen kepada konseli untuk wajib melakukan perubahan sikap
dan kegiatan agar mendukung target yang ingin dicapai. Maka, pada tahap ini
pula terjadi adanya komitmen antara Konselor dengan Konseli. Konseli wajib
melaksanakan tahapan-tahapan yang telah dicatat dan disepakati, sedangkan
Konselor mengawasinya secara kontinyu.

e. Tindak Lanjut (Follow-Up)


Pada konseling ini penulis melihat atau mengevaluasi hasil pelaksanaan program kegiatan
yang sudah dirumuskan dan dilaksanakan.
Secara kontinyu penulis sebagai konselor perlu berperan sebagai:
1. Educator, yaitu guru memberikan teladan yang baik seperti mendampingi dan
mengikuti kegiatan diskusi kelompok yang terjadi di kelas;
2. Motivator, yaitu guru memberikan dorongan dan motivasi terhadap siswa yang
kurang percaya diri pada kemampuannya;
3. Fasilitator, yaitu guru berperan dengan memberikan bantuan teknis atau arahan
kepada siswa yang mengalami kendala saat proses perubahan diri.

Konseli secara kesuluruhan berhasil melaksanakan program dan merasakan dampak


positif dari pelaksanaan atau perumusan program treatment Konseling Kelompok dengan
Teknik Self Management ini, melalui bantuan konselor dalam konseling yakni konseli dalam
hal ini kelima peserta didik berinisial A, T, D, S dan M sudah mulai merubah sikapnya sehari-
hari menjadi siswa yang lebih percaya diri, memiliki empati, mampu menghargai sesama
teman, beradaptasi terhadap lingkungan pergaulannya, sabar dan tidak arogan sehingga lebih

9
harmonis dan tidak ada kesenjangan kesetaraan, berani mengungkapkan sesuatu dan lebih
terbuka, serta mampu bergaul dengan baik.
Selanjutnya, sebagai langkah tindak lanjut Bimbingan Konseling ada suatu keharusan
bagi Konselor dalam hal ini untuk terus mengawasi perkembangan dari perubahan Konseli
sampai dengan waktu yang dirasa cukup.

C. KESIMPULAN
Berdasarkan tahapan konseling yang telah dipaparkan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa Konseling Kelompok dengan Teknik Self Management dapat digunakan untuk
mereduksi Kesulitan Belajar dari Aspek Emosional yang dialami kelima peserta didik
berinisial A, T, D, S dan M. Hal ini dapat dilihat melalui
perubahan yang terjadi pada konseli seiring dengan treatment yang dilakukan saat sesi
konseling. Dalam pelaksanaan tindakan Konseling untuk menurunkan tingkat prokrastinasi
akademik dengan mencari solusi kesulitan belajar siswa akan
lebih optimal lagi apa bila didukung oleh teman sebaya, orang tua, dan guru pembimbing
berperan aktif dan efektif dalam mereduksi prokrastinasi akademik, namun demikian hal
tersebut masih terbatas belum dapat terlaksana karena terbatasnya waktu dan keadaan.

10

Anda mungkin juga menyukai