Disusun oleh :
Budi Sulistya
231431007
i
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
Rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Potensi dan
Tantangan Bahan Bakar Alternatif dalam Green Industry”.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memebrikan sumabngan baik pikiran maupun materi. Penulis berharap
semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.
Bagi kami sebagia penyusun merasa bahwa masih banyak kekuarangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Bekalang
Industri Hijau (Green Industry) bertujuan untuk mewujudkan industri yang
berkelanjutan dalam rangka efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya alam secara
berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan
kelangsungan dan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Aspek-aspek dalam penentuan
industry hijau berdasarkan efektifitas dan efisiensi sumber daya alam meliputi pembuatan
produk yang hemat bahan baku dan mudah diperbarui, menggunakan peralatan yang tidar
boros energi, dan meningkatkan keterampilan SDM untuk memperoleh kinerja maksimal.
Selain dari efektifitas dan efisiensi penggunaan sumber daya alam, penentuan industri
hijau berdasarkan sumber energi yang digunakan.
Industri di Indonesia saat ini masih tergantung pada bahan bakar fosil. Bahan
bakar fosil mempunyai dampak terhadap lingkungan termasuk pencemaran udara, emisi
gas rumah kaca dan pemanasan global. Berdasarkan dampak tersebut, penggunaan bahan
bakar fosil harus digantikan dengan bahan bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan
sehingga sapa mendukung terciptanya industry hijau (green industry).
2. Rumusan Masalah
Penggunaan bahan bakar fosil saat ini masih menempati peringkat pertama
sebagai sumber daya energi. Bahan bakar fosil sangat mudah untuk didapatkan dan
mempunyai jumlah yang melimpah. Harga investasi penggunaan bahan bakar fosil itu
sendiri masih tergolong murah dibandingkan dengan bahan bakar alternatif. Bahan bakar
fosil yang banyak dimanfaatkan adalah batubara, minyak bumi, dan gas alam. Sebagai
contoh dalam industri pembangkit listrik khususnya di Indonesia, kebutuhan listrik
terbesar masih diproduksi menggunakan bahan bakar fosil yaitu batubara.
Dengan keuntungan biaya eksplorasi yang murah dan sumber daya yang
melimpah, bahan bakar fosil khususnya batubara dalam penggunaannya menimbulkan
banyak dampak negatif. Seperti eksplorasi batubara membutuhkan pembukaan lahan hijau
dengan luas yang sangat besar sehingga menjadikan pengurangan lahan hijau. Selain
dalam segi ekplorasi, penggunaan bahan bakar fosil seperti batubara menimbulkan polusi
yang tinggi untuk udara lingkungan. Dengan memburuknya kualitas lingkungan yang
diakibatkan oleh polusi, maka akan berdampak pada kesehatan Masyarakat yang akan ikut
menurun.
1
3. Tujuan
Tujuan dari penggunaan bahan bakar alternatif dalam Green Industry sebagai
berikut :
1. Mengurangi dampak pemanasan global
2. Meningkatkan kesehatan Masyarakat
3. Memanfaatkan sumber daya energi yang tidak pernah habis
4. Meningkatkan kelestarian alam
2
BAB II PEMBAHASAN
3
industri tahun 2014, dibahas mengenai adalah penataan perundang-undangan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (PLH). Industri hijau adalah industri yang dalam proses produksinya
mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara
berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian
fungsi lingkungan hidup serta dapat memberi manfaat bagi masyarakat. (Permen No.51/M-
IND/PER/6/2015 pasal 1 ayat 2).
4
Reuse (menggunakan kembali), Recycle (mendaur ulang sampah) dan prinsip ini telah
berlanjut dengan 5R, ditambah Replace (mengganti) dan Replant (menanam kembali).
a. Biomassa
Pengembangan biomassa di Indonesia memiliki potensi dimana ketersediaan
biomassa di Indonesia melimpah, hal ini dapat dilihat dari hasil pertanian yang
melimpah seperti kelapa sawit, jagung, kelapa, dll. Dari hasil ini tentunya akan
menghasilkan limbah yang banyak, yang nantinya hanya terbuang dan tidak
dimanfaatkan. Melalui pengembangan biomassa limbah tersebut dapat dimanfaatkan
dan diolah menjadi suatu bahan bakar baik berupa padat, cair, dan gas, yang nantinya
penggunaanya aka lebih luas sebagai bahan bakar alternative pengganti bahan bakar
fosil. Pada biomassa dengan menggunakan tempurung kelapa berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Gunawan dkk (2015), penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode gasifikasi [9]. Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan
proses gasifikasi dapat menghasilkan gas mampu bakar (CO,CH4,H2) secara kontinyu
selama 900 detik, dimana menghasilkan kandungan CO = 13,32%, CH4 = 1,52%, H2 =
4,68%, N2 = 37,09% dan CO2 = 38,21%, dan energy yang dihasilkan yaitu 5,91 MJ.
Pada penggunaan tandan kosong kelapa sawit berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Sanjaya dkk (2018) , penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode
gasifikasi [7]. berdasarkan penelitian yang dilakukan di PTPN VIII timbunan limbah
padat tandan kosong kelapa sawit berkisar 124,2 ton atau 124,200 kg perharinya yang
dihasilkan dari jumlah TBS (tandan buah segar) yang diolah 540 ton perhari yang
menghasilkan 23% tandan kosong. Melalui jumlah tersebut untuk mendapatkan hasil
energi nya maka potensi biomassa tandan kosongnya dikalikan dengan jumlah nilai
kalor tandan kosong kelapa sawit sehingga hasil yang diperoleh yaitu 2113,84 MJ. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Siradjuddin Haluti (2015), dengan menggunakan tongkol
5
jagung sebagai biomassa dan menggunakan metode gasifikasi untuk memperoleh energi
[10]. Melalui penelitian yang dilakukan diprovinsi gorontalo salah satunya di daerah
Boalemo dengan menggunakan data hasil produksi jagung dari tahun 2008 – 2012 yaitu
rata-rata produksinya 118.401 ton. Untuk limbah tongkol jagung yang diperoleh
berdasarkan data limbah tongkol jagung actual dari tahun2008- 2012 yaitu 34.565 ton.
Sehingga nilai kalori yang dihasilkan diperoleh yaitu sebesar 70.979.821 MJ.
Dengan keuntungan yang didapatkan dalam penggunaan bahan bakar alternatif
dari biomassa, tidak menutup kemungkinan kekurangan dari biomassa tersebut.
Terdapat kendala dalam ekspansi sumber biomassa menjadi energi terbarukan,
diantaranya yaitu hambatan teknologi, pendanaan, dan ketersediaan bahan baku
biomassa. Hambatan ini dianggap sebagai hambatan utama dalam pengembangan energi
terbarukan. Pengolahan sumber biomassa menjadi bioenergi dengan mengunakan
pendekatan teknologi yang diinginkan berhadapan dengan beberapa kendala. Diantara
kendala tersebut yaitu biaya yang dibutuhkan untuk mengkonversi biomassa mejadi
energi yang diinginkan sangat tinggi. Semakin tinggi teknologi, semakin mahal harga
investasi yang dibutuhkan. Disamping itu, dengan menggunakan teknologi modern yang
dibutuhkan, umumnya skala sumber bahan baku yang diperlukan adalah dalam jumlah
besar. Kapasitas untuk industri biodiesel skala industri sekitar 12,5 juta kiloliter.
Sementara itu, utilisasinya menjadi sekitar 3 juta kiloliter atau sektiar 25 persennya saja.
Oleh karena itu, permasalahan konsistensi pendukung sumber bahan baku menjadi salah
satu kendala di dalam produksi energi terbarukan Dalam implementasi energi
terbarukan, ditemui sejumlah tantangan diantaranya terkait pendanaan. Agar dapat
menumbuhkan investasi produsen pengolahan bioenergi ada beberapa hal perlu
dilakukan diantaranya seperti memberikan insentif kepada produsen dan perbaikan
regulasi yang dapat menumbuhkan investasi ini perlu dilakukan dalam jangka Panjang.
Hal ini perlu dilakukan khususnya dalam mengejar bauran energi Indonesia tahun 2025
mendatang. Disamping itu, solusi alternatifnya seperti keikutsertaan otoritas jasa
keuangan dalam bentuk portfolio pendanaan dan pembiayaan untuk proyek hijau seperti
pengembangan energi terbarukan sangat membantu pengembangan industri ini
kedepannya. Kendala lainnya yaitu jaminan ketersediaan bahan baku dan
kesinambungannya seperti feedstock masih menjadi kendala utama. Jaminan
ketersediaan feedstock dan stabilitas harga biomassa masih menjadi tantangan hingga
saat ini. Sebagai gambaran, hasil turunan sawit menjadi stearin, menjadi perebutan
beberapa industri seperti industri besar pangan, kimia, kosmetik dan lainnya. Agar dapat
6
mengatasi masalah tersebut beberapa hal terkait pengaturan regulasi, dan kerjasama
antara penyedia sumber bahan baku dan pengaturannya baik oleh pemerintah maupun
instansi terkait harus dapat optimal agar kendala-kendala dan konflik tersebut dapat
ditekan seminimal mungkin. Oleh karena itu, pentingnya kerjasama, koordinasi antar
stakeholders dan pemerintah dan industri yang memanfaat sumber dayanya.
Perencanaan, pengaturan dan koordinasi menjadi kata kunci untuk kesinambungan
siklus kegiatan yang memanfaatkan sumber biomassa secara bersama-sama. Penguatan
regulasi oleh pemerintah terkait, akan menjaga stabilitas kegiatan ini berkelanjutan.
b. Tenaga Surya
Energi surya adalah salah satu sumber energi terbarukan yang cukup
menjanjikan dan memiliki potensi terbesar daripada sumber daya lainnya untuk
memecahkan masalah energi dunia serta ramah lingkungan (Ab Kadir & Rafeeu, 2010).
Ketersediaan energi matahari di permukaan tanah merupakan salah satu faktor
pertimbangan penerapan sistem energi matahari di suatu wilayah. Indonesia merupakan
negara beriklim tropis dan terletak di garis khatulistiwa, sehingga negara ini memiliki
potensi energi matahari yang melimpah. Wilayah Indonesia sebagian besarnya
mendapatkan radiasi matahari yang cukup stabil dan intens dengan nilai radiasi harian
rata-rata sekitar 4 kWh/m2 (Ab Kadir & Rafeeu, 2010). Berdasarkan data yang
dikumpulkan dari 18 lokasi di Tanah Air, sebaran radiasi matahari memiliki sedikit
perbedaan pada wilayah barat dan timur. Diperkirakan sebaran radiasi matahari untuk
Wilayah Barat sebesar 4,5 kWh/m2 /hari dan untuk Wilayah Timur sebesar 5,1 kWh/m2
/hari dengan variasi berkisar 9-10% (Kurniawan, 2016). Fathoni et al. (2014), telah
menghitung nilai rata-rata radiasi energi surya dari berbagai daerah di Indonesia. Data
tahunan rata-rata dari 1985-2005 digunakan perhitungan tersebut. Data pada Tabel 1
diambil dari data NASA Surface Meteorology and Solar Energy (SSE). Dari data yang
diberikan dapat dilihat bahwa kota Makassar memiliki potensi radiasi matahari tertinggi
yaitu 5,88 kWh/m2 /hari. Sedangkan kota Medan memiliki yang terendah sebesar 4,55
kWh /m2 / hari. Oleh karena itu, Indonesia secara teoritis memiliki potensi yang baik
untuk pengembangan sistem tenaga surya karena radiasi harian rata-rata di atas 4 kWh
/m2 / hari pertahun. Rumbayan et al. (2012), telah memprediksi radiasi matahari di
Indonesia setiap tahunnya dengan menggunakan metode Artificial Neural Network
(ANN) dimana data yang dihasilkan untuk 30 kota di Indonesia selama rentang dari
bulan Januari sampai dengan Desember. Dapat dilihat dari hasil bahwa Indonesia
memiliki potensi energi surya yang besar dan stabil sepanjang tahun dengan intensitas
radiasi tidak kurang dari 4 kWh/m2 . Indonesia memiliki distribusi radiasi matahari
yang cukup stabil setiap bulannya dibandingkan beberapa negara seperti Jerman dan
Jepang (Hardianto, 2019). Perbandingan distribusi radiasi matahari tersebut dapat
dilihat pada Gambar 3. Salah satu faktor utamanya adalah Indonesia memiliki iklim
tropis dan berada di garis khatulitiwa. Hal ini menunjukkan bahwa energi surya
memiliki potensi yang menjanjikan di Indonesia.
Adapun tantangan dalam penggunakan tenaga surya mengingat harga listrik per
satuan energi PLTS yang masih lebih tinggi dibandingkan dengan harga listrik PLN. Di
antara banyak faktor yang menyebabkan harga listrik PLTS belum mampu bersaing
7
dengan harga listrik PLN adalah komponen PLTS yang sebagian besar masih impor.
Panel surya, misalnya. Panel surya yang berlabel perusahaan dalam negeri sudah ada
dan dapat ditemui di pasaran. Namun produk tersebut tidak 100% buatan Indonesia.
Biasanya perusahaan dalam negeri mengimpor lembaran sel surya dalam bentuk besar,
kemudian dikemas dalam bentuk panel surya satuan daya tertentu dengan label merek
dalam negeri, dan dijual di pasaran. Begitu pula dengan baterai, pengatur pengisian,
dan inverter: sebagian telah dirakit di dalam negeri setelah impor dalam bentuk
setengah jadi, sebagian yang lain masih 100% impor. Sebagai gambaran betapa
pentingnya bisnis komponen PLTS, data BPS (2019) menunjukkan kenaikan signifikan
nilai impor panel surya pada tahun 2016, 2017, dan 2018. Panel surya yang diimpor
dalam bentuk lembaran besar naik dari 7,5 juta dolar AS pada 2016; menjadi 11,1 juta
dolar AS pada 2017; dan kemudian mencapai 14,7 juta dolar AS pada 2018. Hal yang
sama terjadi untuk panel surya yang diimpor dalam bentuk jadi: 11,8 juta dolar AS pada
2016; 19,4 juta dolar AS pada 2017; dan 33,8 juta dolar AS pada 2018. Realitas ini
sesungguhnya telah dicoba diantisipasi oleh Pemerintah RI melalui Perpres No.
22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional yang menyatakan memfasilitasi
pendirian industri hulu dan hilir PLTS. Meskipun demikian upaya ini belum nampak
nyata hingga saat ini.
c. Tenaga Air
Energi air pada dasarnya memanfaatkan energi kinetik aliran air yang berasal
dari energi potensial air dari hulu atau penampungan berupa danau dan bendungan yang
memiliki ketinggian tertentu. Indonesia yang memiliki topografi bergunung dan
berbukit memiliki peluang potensi energi air yang besar. Potensi energi air di Indonesia
diperkirakan mencapai 94.449 MW. Potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai PLTA
75.091 MW sementara yang dapat dimanfaatkan sebagai PLTM dan PLTMH mencapai
19.358 MW (Harsoyo et al. 2015). Besarnya potensi energi air di Indonesia belum
dikelola secara maksimal. Berdasarkan laporan Ditjen Ketenagalistrikan Januari 2020
energi air di Indonesia yang telah dimanfaatkan hingga tahun 2019 sebesar 5.976,03
MW atau sekitar 6,4% dari total potensi yang ada. Sementara itu untuk mengupayakan
bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025 berdasarkan Rencana
Umum Energi Nasinal 2017 pemerintah mengupayakan penambahan kapasitas
pembangkit listrik tenaga air.
8
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan
Industri Hijau (Green Industry) bertujuan untuk mewujudkan industri yang
berkelanjutan dalam rangka efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya alam secara
berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan
kelangsungan dan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Selain dari efektifitas dan efisiensi
penggunaan sumber daya alam, penentuan industri hijau berdasarkan sumber energi yang
digunakan. Bahan bakar fosil mempunyai dampak terhadap lingkungan termasuk
pencemaran udara, emisi gas rumah kaca dan pemanasan global. Berdasarkan dampak
tersebut, penggunaan bahan bakar fosil harus digantikan dengan bahan bakar alternatif
yang lebih ramah lingkungan sehingga sapa mendukung terciptanya industry hijau (green
industry). Penggunaan bahan bakar fosil saat ini masih menempati peringkat pertama
sebagai sumber daya energi. Bahan bakar fosil sangat mudah untuk didapatkan dan
mempunyai jumlah yang melimpah. Dengan keuntungan biaya eksplorasi yang murah dan
sumber daya yang melimpah, bahan bakar fosil khususnya batubara dalam penggunaannya
menimbulkan banyak dampak negatif. Selain dalam segi ekplorasi, penggunaan bahan
bakar fosil seperti batubara menimbulkan polusi yang tinggi untuk udara lingkungan.
Faktor Sosial: Pembangunan industri yang dapat memberi manfaat pada masyarakat,
seperti: peningkatan pendidikan, kesehatan dan keamanan. Efisiensi sumber daya dapat
dilakukan dengan menerapkan 3R (reduce, reuse, dan recycle) yang merupakan inti dari
cleaner production. (4) Produk yang dihasilkan diusahakan dalam tahap pemakaian atau
pemanfaatannya tidak merusak lingkungan, atau sebaiknya memenuhi syarat Reduce,
Reuse, Recycle. Suatu konsep yang digunakan untuk waste management / manajemen
limbah sehingga tidak menimbulkan polusi. Kesadaran akan kelestarian alam dan dampak
yang ditumbulkan dengan penggunaan sumber daya energi fosil meningkatkan inovasi-
inovasi dalam pemanfaatan bahan bakar alternatif. Bahan bakar alternatif yang dimaksud
adalah energi terbarukan yang tidak menimbulkan dampak yang besar terhadap
lingkungan. Dari hasil ini tentunya akan menghasilkan limbah yang banyak, yang nantinya
hanya terbuang dan tidak dimanfaatkan. Sehingga nilai kalori yang dihasilkan diperoleh
yaitu sebesar 70.979.821 MJ. Pengolahan sumber biomassa menjadi bioenergi dengan
mengunakan pendekatan teknologi yang diinginkan berhadapan dengan beberapa kendala.
Diantara kendala tersebut yaitu biaya yang dibutuhkan untuk mengkonversi biomassa
mejadi energi yang diinginkan sangat tinggi. Sedangkan kota Medan memiliki yang
9
terendah sebesar 4,55 kWh /m2 / hari. Hal ini menunjukkan bahwa energi surya memiliki
potensi yang menjanjikan di Indonesia. Adapun tantangan dalam penggunakan tenaga
surya mengingat harga listrik per satuan energi PLTS yang masih lebih tinggi
dibandingkan dengan harga listrik PLN. Panel surya yang berlabel perusahaan dalam
negeri sudah ada dan dapat ditemui di pasaran. Energi air pada dasarnya memanfaatkan
energi kinetik aliran air yang berasal dari energi potensial air dari hulu atau penampungan
berupa danau dan bendungan yang memiliki ketinggian tertentu. Indonesia yang memiliki
topografi bergunung dan berbukit memiliki peluang potensi energi air yang besar.
10
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. Y. (2023). Kendala Teknologi, Pendanaan dan Ketersediaan Bahan Baku Biomassa
dalam Pengembangan Energi Terbarukan . Jurnal Serambi Engineering, Vol. VIII,
No. 1, halaman 4940-4946.
Asa Taufiqurrahman, J. W. (2020). Overview Potensi dan Perkembangan Pemanfaatan Energi
Air. Jurnal Energi Baru & Terbarukan, Vol. 1, No. 3, pp 124-132.
Faisal Afif, A. m. (2022). Tinjauan Potensi dan Kebijakan Energi Surya di Indonesia. Jurnal
Engine : Energi, Manufaktur, dan Material, Vol.6, No.1, 2022: 43-52.
Ir. Fourry Handoko, P. I. (2020). Green Industrial System. Surabaya: Penerbit MK Press.
Natalia Fitriani Tumba Danun, G. P. (2022). POTENSI PENGEMBANGAN BIOMASSA
SEBAGAI ALTERNATIF ENERGI TERBARUKAN. Seminar Nasional Fisika, 2-3.
11
LAMPIRAN
12