Anda di halaman 1dari 48

PREVALENSI Soil Transmitted Helminths PADA ANAK

SEKOLAH DASAR INPRES ME’O DESA NETPALA


KECAMATAN MOLLO UTARA KABUPATEN
TIMOR TENGAH SELATAN

USULAN KARYA TULIS ILMIAH

Oleh :

Riskhy Lorensius Sanam

PO. 5303333210718

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KUPANG
2024

i
PREVALENSI Soil Transmitted Helminths PADA ANAK
SEKOLAH DASAR INPRES ME’O DESA NETPALA
KECAMATAN MOLLO UTARA KABUPATEN
TIMOR TENGAH SELATAN

USULAN KARYA TULIS ILMIAH

Usulan Karya Tulis Ilmiah ini diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam menyelesaikan program Diploma-III Teknologi
Laboratorium Medis

Oleh :

Riskhy Lorensius Sanam

PO. 5303333210718

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KUPANG
2024

ii
LEMBAR PERSETUJUAN

USULAN KARYA TULIS ILMIAH

PREVALENSI Soil Transmitted Helminths PADA ANAK


SEKOLAH DASAR INPRES ME’O DESA NETPALA
KECAMATAN MOLLO UTARA KABUPATEN
TIMOR TENGAH SELATAN

USULAN KARYA TULIS ILMIAH

Oleh :

Riskhy Lorensius Sanam

PO. 5303333210718

Telah disetujui untuk di seminarkan

Pembimbing

Michael Bhadi Bia, S.Si., M.Sc


NIP.197108041992131001

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugrah
dan penyertaan-Nya yang telah senantiasa memberikan kesehatan kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan karya tulis ilmiah yang
berjudul “Prevalensi Soil Transmitted Helminths pada Anak Sekolah Dasar
Inpres Me’o Desa Netpala, Kecamatan Mollo Utara Kabupaten Timor
Tengah Selatan”.
Usulan Karya Tulis Ilmiah ini disusun untuk memenuhi persyaratan
dalam menyelesaikan pendidikan di Program Studi Teknologi Laboratorium
Medis Politeknik Kesehatan Kemenkes Kupang usulan karya tulis ini juga
merupakan wadah bagi penulis dalam mengembangkan pengetahuan dan
ketrampilan yang diperoleh selama Pendidikan.
Dalam penyusunan Usulan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis telah berusaha
semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak sehingga
dapat memperlancar penyelesaian Usulan Karya Tulis Ilmiah ini. Untuk itu
tidak lupah penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam pembuatan Karya Tulis ini, diantaranya yaitu kepada:
1. Bapak Irfan SKM., M.Kes., selaku Direktur Poltekkes Kemenkes Kupang.
2. Ibu Agustina W. Djuma, S.Pd., M.Sc., selaku Ketua Jurusan Teknologi
Laboratorium Medis Poltekkes Kemenkes Kupang.
3. Bapak Michael Bhadi Bia, S.Si.,M.Sc., selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing penulis dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.
4. Bapak Novian Agni Yudhaswara, S.Pd., M. Biomed., selaku pembimbing
akademik selama penulis menempuh pendidikan di Program Studi D-III
Teknologi Laboratorium Medis.
5. Bapak dan Ibu dosen yang telah mendidik dan memberikan ilmunya kepada
penulis sehingga dapat sampai pada saat ini.
6. Bapak tercinta Simon Sanam, S.Pd dan Mama tercinta Yonsemia Kase,
Amd.Keb yang setia memberi dukungan dan doa kepada punulis.

iv
7. Kakak Novitha B. Sanam Amd. Keb, Skhana M. Sanam SKM, Adik Marlin
M. Sanam, Dekry Y. Banoet, dan Fransius Ballan yang telah memberi
dukungan dan doa bagi penulis.
Penulis menyadari bahwa Usulan Karya Tulis Ilmiah ini masih banyak
kekurangan, baik dari segi penyajian materi maupun di dalam sistem
penulisannya. Oleh karen itu penulis sangat berharap kritikan atau saran yang
bersifat membangun kepada dosen dan para pembaca sehingga Usulan Karya
Tulis Ilmiah ini dapat disajikan secara sempurna.
Sekian dan terima kasih.

Kupang, ..... 2023

Penulis

v
DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN.........................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................ii
KATA PENGANTAR......................................................................................iii
DAFTAR ISI....................................................................................................iv
DAFTAR TABEL............................................................................................v
DAFTAR GAMBAR........................................................................................vi
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................vii
BAB I.
PENADAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................
C. Tujuan Penelitian..................................................................................
D. Manfaat Penelitian................................................................................
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................
A. Pengertian Soil Tranmited Helminths...................................................
B. Jenis-jenis Soil Tranmited Helminths...................................................
C. Higiene Perorangan...............................................................................
D. Cara Penanganan Kecacingan...............................................................
E. Intensitas Infeksi Kecacingan...............................................................
F. Cara Pemeriksaan.................................................................................

BAB III.
METODE PENELITIAN.................................................................................
A. Jenis Penelitian.....................................................................................
B. Tempat dan Waktu Penelitian...............................................................
C. Variabel Penelitian................................................................................
D. Populasi.................................................................................................
E. Sampel dan Teknik Sampling...............................................................
F. Definisi Operasional.............................................................................
G. Prosedur Penelitian...............................................................................
H. Analisis Hasil .......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.

Gambar 2.

Gambar 3.

Gambar 4.

vii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara tropis dengan kelembaban tinggi, cocok

untuk perkembangan cacing tanah, khususnya Soil Transmitted Helminths

(STH) (Farida et al., 2019). Infeksi STH merupakan endemik dibanyak daerah

di dunia, terutama di negara-negara bekembang dengan sanitasi lingkungan

dan kebersihan diri yang masih kurang. Menurut WHO infeksi cacing yang

ditularkan terutama melalui tanah dan tersebar luas didaerah tropis dan

subtropis, dengan jumlah terbesar terjadi di Afrika sub-Shara, Amerika,

China, dan Asia Timur. (WHO, 2018). Soil Transmitted Helminths yang

paling sering menginfeksi manusia adalah cacing gelang (Ascaris

lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichura), dan cacing tambang atau

hookworm (necator americanus dan Ancylostoma doudenale).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2020, menegaskan

bahwa individu yang terinfeksi Soil-Transmitted Helminths (STH) berjumlah

24% dari populasi global (lebih dari 1,5 miliar kasus). Prevalensi STH di

lokasi penelitian di benua Asia berkisar antara 7,6% hingga 57,24% dan

prevalensi tertinggi terdapat di Sumatera Utara Indonesia khususnya di

Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo khususnya di Desa Suka. (Fitrri, dkk

2022). Angka kejadian infeksi kecacingan di NTT menduduki urutan ketiga di

Indonesia dengan presentase 28% setelah Provinsi Banten dan Provinsi

Nanggroe Aceh Darusalam (NAD). Hal ini menunjukan bahwa prevalensi

viii
infeksi cacing pada anak masih tinggi (Zuhaifah, dkk.,2016). Menurut

penelitian (Bia.,dkk 2022) yang dilaksanakan di Kecamatan Amanuban Barat

Kabupaten Timor Tengah Selatan diperoleh 46 anak (29,0%) positif STH, dari

190 anak. Spesies yang ditemukan 30 anak (65,2%) positif Ascaris

lumbricoides dan 2 anak (4,4%) mengalami infeksi campuran Ascaris

lumbricoides dan Hookworm

Infeksi cacing berdampak buruk bagi kesehatan anak dan mempengaruhi

asupan, pencernaan, penyerapan, dan metabolisme makanan. Beberapa

kerugian yang ditimbulkan oleh infeksi cacing adalah berkurangnya protein,

kalori, dan kehilangan darah dalam tubuh. Selain itu juga dapat memperlambat

perkembangan kemampuan fisik dan kognitif, produktivitas kerja, dan daya

tahan tubuh sehingga orang yang tertular sangat rentan terhadap berbagai

penyakit . Infeksi cacing dapat menimbulkan efek kronis pada anak yang

berdampak pada pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif. Dampak

kronisnya dapat mengakibatkan malnutrisi kronis yang mempersatukan dan

menurunkan pertumbuhan fisik anak. (Fitrri, dkk 2022). Infeksi Soil

Transmitted Helminths sering menjangkit anak-anak sekolah dasar karena

pada masa anak-anak mempunyai banyak aktivitas dan sering berhubungan

langsung dengan lingkungan yang kotor sehingga dapat menyebabkan anak

tidak memperhatikan kebersihan dirinya sendiri (Personal hygene).

Infeksi STH biasanya ditemunkan di daerah beriklim lembap dan

memiliki sanitasi yang buruk STH hidup diusus dan telurnya akan keluar

melalui tinja hospes. Jika hospes defekasi diluar (Taman atau Lapangan) atau

ix
jika tinja mengandung telur dibuahi maka telur akan tersimpan dalam tanah.

Telur menjadi infeksius jika telur matang (Munasir, 2018). Berdasarkan data

dari Balai Besar KSDA (Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam), NTT

(2018) yang menyatakan bahwa kawasan Gunung Mutis dan Sekitarnya

merupakan daerah terbasah di pulau Timor dengan Suhu berkisar 14 oC-29oC

dan pada kondisi ekstrim dapat turun sampai 9oC (BBKSDA NTT, 2018)

Desa Netpala merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Mollo

Utara Kabupaten Timor Tengah Selatan yang berada disekitar Gunung Mutis,

memiliki suhu dingin dengan kelembapan yang tinggi. Kebiasaan anak-anak

yang selalu membantu orang tua berkebun selepas jam sekolah, masih

melakukan kontak langsung dengan tanah contohnya tidak memakai alas kaki,

bermain lumpur dan tidak mencuci tangan selepas bermain.

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik melakukan penelitian

ini karena pada daerah tersebut belum pernah dilakukan penelitian dan,

penulis tertarik untuk melihat prevalensi dan resiko penularan STH pada anak

Sekolah Dasar Inpres Me’o Desa Netpala, kecamatan Mollo Utara, Kabupaten

Timor Tengah Selatan (TTS).

B. Rumusan Masalah

Bardasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah Bagaimana gambaran kejadian infeksi Soil Transmitted Helminths

(STH) pada anak Sekolah Dasar Inpres Me’o Desa Netpala Kecamatan Mollo

Utara Kabupaten Timor Tengah Selatan.

x
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui Prevalensi Soil Tranmitted Helminths (STH), gambaran
Pengetahuan, gambaran hygiene personal, dan Intensitas infeksi STH
pada Anak Sekolah Dasar Inpres Me’o Desa Netpala Kecamatan Mollo
Utara Kabupaten Timor Tengah Selatan.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui Prevalensi STH pada anak SD Inpres Me’o Desa
Netpala Kecamatan Mollo Utara Kabupaten Timor Tengah Selatan.
b. Mengetahui gambaran pengetahuan tentang STH dari anak SD
Inpres Me’o di Desa Netpala Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten
Timor Tengah Selatan
c. Mengetahui gambaran hygiene personal anak SD Inpres Me’o di
desa Netpala Kabupaten Timor Tengah Selatan.
d. Mengetahui gambaran Intensitas infeksi STH pada anak SD Inpres
Me’o Desa Netpala Kecamatan Mollo Utara Kabupaten Timor
Tengah Selatan.

D. Manfaat Penelitian
a. Bagi Institusi
Sebagai Sumber informasi bagi tenaga pendidik dan mahasiswa serta dapat
menambah pustaka kampus.
b. Bagi Peneliti

Sebagai sarana menerapkan ilmu pengetahuan yang telah didapat selama

perkuliahan di Prodi Teknologi Laboratorium Medis.

3. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi masyarakat
mengenai pentingnya menjaga personal hygiene untuk mencegah penularan
infeksi STH (Soil Transmitted Helminths) pada anak.

xi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Soil Transmitted Helminths

Soil Transmitted Helminths(STH) merupakan nematoda usus yang

didalam daur hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan sebagai

akibatnya terjadi perubahan stadium non infektif menjadi stadium infektif.

Terdapat beberapa jenis cacing yang ditularkan melalui tanah antara lain,

Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang (terdapat 2

spesies, yaitu Necator americanus & Ancylostoma duodenale). Cacing

dewasa tidak bertambah banyak pada pada tubuh manusia. Seekor cacing

betina bisa mengasilkan telur atau larva sebesar 20 – 200.000 buah pada

sehari. Telur atau larva tadi dikeluarkan oleh hopes melalui tinja. Bentuk

infektif bisa memasuki tubuh manusia melalui aneka macam cara antara lain

tertelan atau masuk secara aktif dan terdapat juga yang masuk memalui vector

(Alihar, 2018)

B. Jenis- jenis Soil Transmitted Helminths adalah sebagai berikut:

a. Cacing Gelang (Ascaris Lumbricoides)

a. Taksonomi Ascaris lumbricoides

Kingdom : Animalia

Filum : Nematoda

Kelas : Secernentea

Ordo : Ascaridida

Famili : Ascarididae

xii
Genus : Ascaris

Spesies : Ascaris lumbricoides

b. Morfologi

Cacing nematoda ini merupakan cacing besar berwarna putih

kecoklatan atau kuning pucat. Cacing jantan berukuran antara 10-30

cm, sedangkan panjang tubuh cacing betina antara 22-35 cm. Kutikula

yang lurik halus dan menutupi seluruh permukaan tubuh cacing. Ascaris

lumbricoides memiliki mulut dengan tiga bibir di sisi punggung dan dua

bibir lainnya terletak di subventral (Nyoman, 2018).

Cacing jantan tidak hanya lebih kecil dari cacing betina, cacing

jantan memiliki ujung posterior yang runcing dengan ekor melengkung

ke belakang secara ventral. Di dalam posterior ini ada dua spikulum

yang panjangnya sekitar 2 mm, sedangkan di ujung posterior cacing

juga satu papila berukuran kecil. Bentuk tubuh cacing betina membulat

(kerucut) ukuran tubuh lebih besar dan lebih panjang dari cacing jantan

dan ekornya lurus, tidak melengkung (Nyoman, 2018).

Gambar 1. Cacing Dewasa Ascaris Lumbricoides


(Sumber : CDC, 2019)

xiii
Cacing Ascaris lumbricoides mempunyai dua jenis telur yaitu telur

sudah dibuahi (Fertilized eggs) dan telur yang belum dibuahi

(Unfertilizer eggs). Fertilized eggs yaitu telur yang berbentuk bulat

lonjong, ukuran 45-70 x 35-50 mikron, terdiri dari kulit terluar yang

tidak berwarna. Pada kulit bagian yang terluar di tutupi oleh sebuah

lapisan albumin yang di permukaannya seperti bergerigi (Mamillation)

dan warananya coklat, adanya warna coklat di karenakan menyerap zat

warna empedu. Sedangkan pada bagian dalam kulit ada selubung vitelin

yang tipis, akan tetapi sangat kuat sehingga dapat mengakibatkan telur

cacing Ascaris lumbricoides mampu bertahan sampai dengan satu tahun

di dalam permukaan tanah. Fertilizer eggs memiliki sel telur (ovum)

yang tidak ada segmennya, sedangkan pada kedua kutup terdapat

rongga udara yang nampak terang berbentuk menyerupai bulan sabit

(Soedarto, 2016).

Gambar 2. Telur dan Siklus Hidup Ascaris Lumbricoides


(Sumber : CDC, 2019)

c. Patologi dan gejala klinis

xiv
Ascaris lumbricoides sangat umum pada anak-anak di daerah

dengan banyak pencemaran tanah oleh kotoran karena tidak atau

kurangnya jamban dan di daerah-daerah tertentu yang memiliki

kebiasaan penggunaan kotoran sebagai pupuk. Larva cacing selama

migrasi paru-paru dapat memberikan gejala demam, batuk, sesak nafas,

takikardia, nyeri dada, berdahak kadang berdarah, pemeriksaan dahak

dapat ditemukan Eosinofil, kristal Charcot-leyden dan bahkan larva

cacing. Kumpulan gejala ini dikenal sebagai sindrom Loffler atau

Pneumonitis ascaris.

Sindrom Laffler jarang terjadi di daerah endemik umumnya pada

pasien dengan Ascaris lumbricoides di daerah beriklim sedang dan

hanya pada terjadinya transmisi musiman (Nyoman, 2018).

d. Diagnosis dan Progonis

Cara mendiagnosis infeksi ini adalah dengan pemeriksaan tinja

secara langsung, keberadaan telur dalam tinja menegaskan diagnosis

ascariasis. Selain itu, diagnosis dapat dibuat ketika cacing Ascaris

lumbricoides muncul baik melalui mulut atau hidung maupun melalui

feses (Nyoman, 2018).

Secara umum, ascariasis memiliki prognosis yang baik. tanpa

pengobatan, infeksi cacing ini dapat sembuh dengan sendirinya dalam

waktu 1,5 tahun. Dengan pengobatan, kesembuhan antara 70-99%

tercapai.

e. Epidemiologi

xv
Ascaris lumbricoides termasuk golongan STH yaitu cacing yang

cara penularannya lewat tanah, karena telur cacing ini pada waktu

dikeluarkan oleh cacing betina belum masak dan akan mengalami

pemasakan di tanah. Habitat cacing dewasa adalah di dalam lumen usus

manusia. Cacing ini banyak ditemukan di daerah beriklim panas dan

lembab dan juga dapat ditemukan di daerah yang beriklim sedang

(Yunus, 2021).

Di Indonesia, Ascaris lumbricoides secara umum masih cukup

tinggi terutama pada anak-anak angkanya mencapai 60- 90%.

Kurangnya jamban yang memadai sehingga menyebabkan kontaminasi

tanah dengan tinja di sekitar rumah, di bawah pohon, di kamar mandi

dan tempat pembuangan sampah, di negara-negara tertentu memiliki

kebiasaan menggunakan pupuk organik yang terbuat dari pupuk

kendang hewan dan manusia sebagai pupuk (Agni, 2018).

Tanah liat, kelembaban tinggi dan suhu 25˚-30˚C kondisi yang

sangat baik untuk perkembangan telur A. lumbricoides untuk menjadi

bentuk yang infektif.

b. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

a. Klasifikasi Trichuris trichiura

Phylum : Nemathelmithes

Class : Nematoda

Ordo : Enoplida

Family : Trichinelloidea

xvi
Genus : Trichuris

Spesies : Trichuris trichiura

b. Morfologi

Cacing betina panjangnya sekitar 5 cm sedangkan cacing jantan

panjangnya sekitar 4 cm, di bagian interiornya ramping seperti cambuk,

panjang di seluruh panjang tubuh. Bagian posterior lebih gemuk, cacing

jantan posterior melingkar dan mengandung spekulum tunggal,

sementara di betina memiliki bentuk bulat tumpul.

Gambar 3. Telur Trichuris trichiura


(Sumber : CDC, 2019)

Telur cacing Trichuris trichiura berukuran 50-54 m x 32 mikron

dengan semacam tonjolan yang berbeda di kedua kutub. Kulit luar telur

berwarna kekuningan dan bagian dalam jernih.

Telur-telur ini matang dan menjadi infektif di dalam tanah dalam

waktu 3-4 minggu. Pada manusia, telur cacing tertelan infektif,

kemudian pecah dinding telur di usus kecil dan keluar larva ke sekum

dan berkembang menjadi cacing dewasa. Dalam waktu 1 bulan sejak

telur infektif masuk ke mulut, cacing telah tumbuh dewasa dan cacing

xvii
betina sudah mulai bertelur, Trichuris trichiura dewasa dapat hidup di

usus manusia selama beberapa tahun (Nyoman, 2018).

Gambar 4. Siklus Hidup Trichuris trichiura


(Sumber : CDC, 2019)

c. Patologi klinis

Bagian depan cacing dewasa Trichuris trichiura menembus lapisan

usus besar, merusak pembuluh darah dan menyebabkan berdarah. Darah

yang keluar tersedot sebagai makanan cacing dan beberapa

menyebabkan tinja berdarah yang terlihat gejala disentri. Infeksi berat

bahkan dapat menyebabkan anemia merusak persarafan di 11

submukosa usus besar, yang menyebabkan Kelumpuhan, jadi jika

pasien memaksakan diri, itu bisa menyebabkan dinding usus besar

terdorong keluar (Nyoman, 2018).

Penderita terutama anak dengan infeksi Trichuris trichuira yang

berat dan menahun, menunjukkan gejala-gejala nyata seperti diare yang

sering diselingi dengan sindrom disentri, anemia, berat badan turun, dan

kadang-kadang disertai prolapses rektum. Infeksi berat Trichuris

xviii
trichuira sering disertai infeksi cacing lainnya atau protozoa. Infeksi

ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama

sekali tanpa gejala. Parasit ini ditemukan pada pemeriksaan tinja rutin

(Yunus, 2021).

d. Diagnosis dan Progonis

Diagnosis definitif trichuriasis dibuat dengan melakukan itu

pemeriksaan feses untuk telur cacing yang berbentuk khas dengan

infeksi parah ini, pemeriksaan proktoskopi dapat menunjukkan adanya

cambuk yang menempel pada rektum pasien.

e. Epidemiologi

Faktor utama dalam penyebaran penyakit yaitu kontaminasi tanah

dengan kotoran. Telur tumbuh di tanah liat, lembab dan teduh dengan

suhu optimal 30˚C. Penggunaan feses sebagai pupuk kebun adalah

sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia tergolong tinggi. Di beberapa

daerah di daerah pedesaan di Indonesia, frekuensinya antara 30 dan

90%.

Di daerah yang sangat endemik, infeksi dapat dicegah dengan :

Mengobati penderita trikuriasis, membangun jamban yang baik,

pendidikan tentang sanitasi dan higiene perorangan terutama anakanak.

Untuk mencuci tangan sebelum makan dan mencuci sayuran mentah

sangat penting di negara yang menggunakan kotoran sebagai pupuk.

c. Cacing Tambang (Necator americanus)

a. Klasifikasi Necator americanus dan Ancylostoma duodenale

xix
Kingdom : Animalia

Filum : Nematoda

Kelas : Adeophorea

Ordo : Strongylida

Famili : Ancylostomatoidaea

Genus : Ancylostoma dan Necator

Species : Ancylostoma duodenale dan Necator americanus

b. Morfologi

Cacing dewasa berukuran kecil, silindris, berbentuk gelendong dan

berwarna putih kelabu. Cacing betina berukuran 9- 13 x 0,35-60 mm,

lebih lebih besar dari jantan pada 5-10 x 0,3-0,45 mm, Necator

americanus lebih kecil dari Ancylostoma duodenale.

Cacing ini memiliki kurtikula yang tebal. Belakang Jantan

memiliki bursa koputlaptrix seperti jari yang berfungsi sebagai alat

yang memegang pada saat kopulasi. Tubuh betina berakhir dengan

ujung runcing. Bentuk tubuh Necator americanus secara normal mirip

dengan huruf S sedangkan Ancylostoma duodenale menyerupai huruf

C. Rongga mulut kedua jenis cacing ini berukuran besar. Ancylostoma

duodenum memiliki dua pasang gigi sedangkan Necator americanus

memiliki hal kitin. Cacing jantan memiliki bursa kopulatriks.

xx
Gambar 5. cacing Necator americanus dan Ancylostoma duodenale

Saat memeriksa tinja di bawah mikroskop, bentuk telur bervariasi

spesies cacing tambang memiliki bentuk yang sulit dibedakan antar

spesies. Telur cacing tambang berbentuk oval tidak berwarna dan kira-

kira 65x40 mikron. Telur cacing tambang berdinding tipis dan tembus

cahaya sinar ini mengandung embrio dengan empat blastomer

(Soedarto, 2016).

Gambar 6. Telur cacing Ancylostoma duodenale dan Necator americanus


(Sumber : CDC 2019)

Telur keluar bersama tinja dan akan menetas setelah 1 – 1,5 hari

menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform tumbuh menjadi larva

filariform dalam waktu ±3 hari. Larva filariform dapat menembus kulit

dan dapat hidup di tanah selama 7 – 8 minggu. Jika larva menembus

xxi
kulit manusia maka akan masuk ke kapiler darah lalu terjadi seperti

pada Ascaris lumbicoides yaitu masuk ke alveolus lalu menuju ke

broncheolus, bronchus, trachea sampai ke laring yang akhirnya tertelan

di esophagus, ke lambung dan kembali ke usus halus. Infeksi per – oral

jarang terjadi, namun larva juga dapat masuk melalui minuman atau

makanan yang terkontaminasi. Waktu yang dibutuhkan hingga sampai

ke usus halus kira – kira 10 hari. Cacing tambang dewasa dapat hidup

selama 10 tahun (Pustaka, 2018)

Gambar 7. Siklus Hidup Ancylostoma duodenale dan Necator americanus


(Sumber : CDC, 2019)

c. Patologi dan Gejala Klinis

Larva di sekitar lokasi menembus kulit dan menyebabkan iritasi

lokal disebut ground itch, yang merupakan reaksi alergi yang berbeda

dengan kulit merah (eritematous) atau ruam seperti lepuh dan disertai

dengan rasa sangat gatal. Lokasi ground itch sering terjadi di telapak

kaki atau betis lebih rendah. Pada infeksi berat, sejumlah besar larva

dapat bermigrasi ke paru-paru menyebabkan pneumonia mirip dengan

xxii
sindrom Loffler (Loffler-like syndrome) dengan gejala seperti batuk,

demam dan malaise.

Adanya cacing dewasa di usus halus dengan bagian depan

menembus mukosa usus dan menimbulkan keluhan dispepsia, perasaan

rasa tidak enak di perut, baik nyeri epigastrium, mual, muntah dan

diare. Konsekuensi lain dari penetrasi anterior mukosa usus adalah :

Kapiler pecah, usus terluka dan terjadi pendarahan terus menerus

karena cacing mengeluarkan zat antikoagulan (Nyoman, 2018).

d. Diagnosis dan Progonis

Dengan ditemukannya gejala anemia hiperkromik mikositer pada

orang-orang di sekitar, perlu mencurigai Ancylostomiasis atau

nekatoriasis. Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan feses. Pada

pemeriksaan mikroskopis sampel tinja diperiksa untuk adanya :

Diagnostik dalam bentuk telur. Pada pasien dengan obstipasi, mungkin

sudah menjadi larva rhabditiform. Morfologi telur dan larva cacing

tambang rhabditiform seringkali sulit diidentifikasi spesiesnya, Oleh

karena itu, spesies cacing tambang harus ditentukan studi dengan kultur

tinja sampai perkembangan dicatat menjadi larva berfilamen (Nyoman,

2018).

e. Epidemiologi

Cacing ini ditemukan hampir di semua tempat di ekuator, terutama

di daerah pertambangan. Frekuensi worm ini di Indonesia masih tinggi

sekitar 60-70%, terutama di bidang pertanian dan sisi pantai.

xxiii
d. Cacing Benang (Strongyloides stercoralis)

a. Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Filum : Nematoda

Kelas : Secernentea

Ordo : Rhabditida

Famili : Strongyloididae

Genus : Strongyloides

Spesies : Strongyloides stercoralis

Nematoda rhabditid, Strongyloides stercoralis adalah agen

penyebab utama strongyloidiasis pada manusia. Spesies nematoda yang

lebih kecil kemungkinannya menginfeksi manusia adalah nematoda

zoonosis. Subspesies Fuelleborni (Fulleborni). Fuelleborni dan

nematoda Fuelleborni subsp. Manusia adalah satu-satunya inang saat

ini. Kadang-kadang disebut genus Strongyloidia 'cacing gelang' (di

beberapa negara nama umum ini mengacu pada Enterobius

vermicularis). Genus Strongyloidia termasuk strongyloides myopotami

(nutria), strongyloides procyonis (raccoon), dan mungkin spesies lain

yang menyebabkan infeksi kulit ringan dan berumur pendek pada inang

manusia (larva cullens, "nutria itch"). tetapi tidak menyebabkan

strongyloidiasis sejati (CDC, 2019).

b. Morfologi

xxiv
Hanya betina dewasa yang hidup sebagai parasite divilus

duodenum dan yeyunum. Cacing betina berbentuk filiform, halus, tidak

berwarna, dan panjang 2 mm. Cara reproduksi dianggap partegenesis.

Telur parasit diletakkan di mukosa usus, menetas menjadi larva

rabditiform, masuk ke rongga usus dan dikeluarkan bersama feses.

(Susanto, 2015).

c. Siklus hidup

Dalam siklus hidup S. Stercoralis tidak diperlukan hospes

perantara. Host definitifnya adalah manusia. Telur cacing dikeluarkan

oleh cacing. perempuan di mukosa duodenum dan jejunum yang

kemudian menjadi larva rhabditiform. cacing betina hidup sebagai

parasit dengan ukuran 2,20 x 0,04 mm, itu filariform, bukan berwarna,

semi-transparan dengan kutikula yang dilapisi halus. cacing ini

memiliki mulut dan kerongkongan panjang, tipis dan silindris.

Pasangan rahim berisi deretan telur berdinding tipis, jelas dan

tersegmentasi. cacing betina mereka yang hidup bebas lebih kecil

dibandingkan dengan parasit. Cacing laki-laki yang hidup bebas lebih

kecil dari yaitu betina dan memiliki ekor bundar. Cara berkembang biak

dari S. Stercoralis, yaitu telur diletakkan di mukosa usus duodenum dan

jejunum kemudian menetas menjadi larva rhabditiform yang bisa

masuk rongga usus dan diekskresikan bersama-sama. Strongyloides

stercoralis memiliki 3 jenis siklus hidup (Widyaningsih, 2017).

xxv
Siklus parasit: Larva berfilamen di tanah yang terkontaminasi

menembus kulit manusia setelah kontak dengan tanah dan bermigrasi

ke usus kecil Larva L3 di perkirakan melakukan perjalanan dari aliran

darah, limfatik ke paru-paru, hingga akhirnya terbatuk, tertelan, lalu

pindah dalam usus. Larva mabung dua kali di usus halus menjadi

dewasa, cacing betina hidup di submukosa usus kecil, bertelur secara

partenegenesis, dan menimbulkan larva lurik. Larva rhabditiform dapat

di tularkan dari feses atau menyebabkan infeksi sendiri. Larva lurik

usus menjadi larva berfilamen infektif yang menyerang mukosa usus

atau kulit perianal dan menyebabkan infeksi sendiri. Setelah larva

filaria menginfeksi inang, mereka diangkut ke paru-paru, faring, usus

kecil, atau di distribusikan ke seluruh tubuh, seperti yang di jelaskan

sebelumnya. Pentingnya infeksi diri di strongyloides menunjukkan

infeksi yang tidak di obati dapat mengakibatkan infeksi persisten,

bahkan, setelah di ketahui puluhan tahun tinggal pada tempat non-

endemik, berperan pada pengembangan sindrom hiperinfeksi. (CDC,

2019).

xxvi
Gambar 8. Siklus hidup Strongyloides stercoralis
Sumber : (CDC, 2019)
d. Gejala klinis

Gejala klinis s.stercoralis diakibatkan penetrasi larva filariform

ke dalam kulit, mereka dapat menyebabkan perubahan kulit berupa

ruam progresif disertai rasa gatal yang hebat. Infeksi Strongyloides

stercoralis merupakan infeksi yang sangat ringan, biasanya hanya

ditemukan 1-2 cacing di tubuh penderita dan tanpa gejala berarti.

Infeksi menjadi parah jika terjadi hiperinfeksi akibat autoinfeksi

interna, terutama pada pasien dengan gangguan sistem kekebalan

seperti HIV/AIDS atau pada pasien yang menerima obat

imunosupresif. Pada kondisi seperti itu, dapat terjadi gejala dispepsia,

rasa tidak nyaman pada lambung yang diawali dengan nyeri

epigastrium, mual, muntah, bahkan diare. Pada tes darah, mungkin

terdapat hipereosinofilia, walaupun jumlah eosinofil biasanya normal

(Prasetyo 2013).

e. Epidemiologi

Strongyloides Nematoda diketahui ada di semua benua kecuali

Antartika, tetapi paling umum di daerah tropis, subtropis, dan beriklim

sedang. Meskipun prevalensi cacing gelang di seluruh dunia tidak

diketahui, para ahli memperkirakan bahwa 30 hingga 100 juta orang

terinfeksi di seluruh dunia. Strongyloidiasis lebih sering terjadi pada

populasi yang kurang beruntung secara sosial ekonomi, populasi yang

dilembagakan, dan daerah pedesaan. Biasanya terkait dengan kegiatan

xxvii
pertanian. Cara paling umum untuk terinfeksi strongyloides adalah

melalui kontak dengan tanah yang terkontaminasi strongyloides. Oleh

karena itu, aktivitas yang banyak kontak dengan tanah akan

meningkatkan risiko penularan penyakit seperti: Berjalan tanpa alas

kaki, kontak dengan kotoran manusia, pekerjaan yang meningkatkan

paparan terhadap tanah yang terkontaminasi seperti pertanian dan

pertambangan batubara. Selain itu, banyak penelitian telah

menunjukkan hubungan antara infeksi strongyloides dan human T-cell

lymphotropic virus 1 (HTLV-1). Studi-studi ini menunjukkan bahwa

individu yang terinfeksi HTLV-1 lebih mungkin terinfeksi nematoda

dan lebih mungkin mengembangkan kasus penyakit nematoda yang

parah setelah infeksi. Sebagai catatan, infeksi HIV/AIDS belum

terbukti menjadi faktor risiko untuk memperoleh strongyloidiasis atau

hasil klinis yang lebih buruk (CDC, 2018)

C. Pengetahuan Kecacingan

Pengetahuan anak tentunya dimulai dari lingkungan keluarga,

yaitu dengan cara menanamkan kebiasaan mencuci tangan sebelum

makan, menggunakan toilet dengan benar dan tepat, setelah toilet cuci

tangan menggunakan sabun memotong kuku, membuang sampah

pada tempat yang disediakan. Semuanya ini dapat ditanamkan sejak dini

sehingga anak-anak terbiasa hidup bersih baik dilingkunagn keluarga

maupun dilingkungan sosialnya. Menurut Permenkes RI, (2017)

langkah-langkah yang diberikan untuk pencegahan cacingan,

xxviii
antara lain: Mandikan anak setiap hari. Menggunakan air bersih dan

sabun. Gunting kuku anak secara teratur. Kuku bisa

menjadi tempat mengendap kotoran yang mengandung telur atau

larva cacing. Biasakan anak untuk cuci tangan dengan sabun.

Lakukan setiap kali setelah anak memegang benda-benda

kotor atau sebelum makan. Biasakan anak untuk selalu

menggunakan sandal atau sepatu bila keluar rumah, terutama

bila berjalan di tanah. Bila ingin memakan sayuran mentah (lalapan)

atau buah-buahan, cucilah dengan air bersih yang mengalir. Bila perlu

gunakan sabun yang bisa digunakan untuk mencuci sayuran dan buah-

buahan agar bersih dari hama. Memberi anak pengertian agar tidak

memasukkan jarinya ke dalam mulut. Terangkan kepadanya akibat

yang bisa terjadi. Lakukan toilet training pada waktunya dan ajarkan

cara menjaga kebersihan saat buang air besar dan buang air

kecil.

D. Hygiene Personal

Personal hygiene merupakan kegiatan atau tindakan membersihkan

seluruh anggota tubuh yang bertujuan untuk memelihara kebersihan dan

kesehatan seseorang (Natalia, 2015). Menurut Tarwanto dan Wartono

(Napitulu, dkk., 2021), tujuan personal hygene adalah untuk meningkatkan

derajat seseorang, memiliki kebersihan diri seseorang, memiliki personal

hygene yang kurang dan meningkatkan kepercayaan diri seseorang.

Kebiasaan memakai alas kaki adalah variabel yang dapat mempengaruhi

xxix
tingkat parasitisme, terutama pada anak yang terus-menerus bersentuhan

dengan tanah. Tanah merupakan tempat berkembang biak telur dan larva

cacing. Tanah yang terkontaminasi tinja yang mengandung telur atau larva

cacing dapat menginfeksi manusia melalui kulit dengan penetrasi langsung

akibat kontak kaki dengan tanah. Ini sering terjadi pada kelas cacing

tambang. Infeksi cacing ini terjadi ketika larva filaform masuk ke dalam

kulit, terutama kulit kaki (Rezki and Azriful, 2016).

E. Cara Penanganan kecacingan

Upaya dalam mengatasi kejadian penyakit kecacingan, tidak cukup

dengan melakukan pengobatan saja. Namun, ada faktor-faktor lain yang

berperan dalam menunjang penyakit ini, yaitu keadaan sosial ekonomi

masyarakat yang rendah, serta faktor kebersihan lingkungan masyarakat.

(Eryani, Desti;Fitriangga, 2015).

Berdasarkan Sandy dkk (2015) maka faktor risiko kecacingan antara

lain karena perilaku hygiene perseorangan yang kurang antara lain:

kebiasaan cuci tangan sebelum makan dengan air dan sabun. Selain

faktor tersebut masih ada faktor lain seperti masih kuranganya sosial

ekonomi, sanitasi lingkungan, ketersediaan sumber air, ketersediaan

jamban dan perilaku BAB yang kurang baik, dan hal ini didukung masih

kurang pengetahuan masyarakat akan kecacingan dan faktor risikonya

serta cara pencegahannya. Cara utama dalam pengendalian penyakit

kecacingan adalah dengan memutus mata rantai lingkungan hidup cacing

xxx
yang bisa dilakukan pada tingkatan cacing di lingkungan, tubuh manusia,

sosial dan budaya (Yunidha, Anwar et al., 2016).

Dalam rangka menciptaan generasi bebas Cacingan, diperlukan

komitmen pemerintah dalam Penanggulangan Cacingan. Prevalensi Cacingan

yang tinggi mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat di wilayah tersebut.

Pemutusan mata rantai siklus hidup cacing, perubahan perilaku dan

lingkungan serta peningkatan sosial ekonomi masyarakat mempengaruhi

penularan Cacingan yang sangat terkait erat dalam menciptakan masyarakat

yang sehat bebas Cacingan. Upaya Penanggulangan Cacingan meliputi

promosi kesehatan, surveilans, pengendalian faktor risiko, penanganan

Penderita dan Pemberian Obat Pencegahan Massal Cacingan yang sangat

membutuhkan keterlibatan aktif lintas program dan lintas sektor terkait serta

partisipasi masyarakat. (Permenkes. 2017) untuk pencegahan cacingan,

antara lain: Mandikan anak setiap hari. Menggunakan air bersih dan

sabun. Gunting kuku anak secara teratur. Kuku bisa menjadi

tempat mengendap kotoran yang mengandung telur atau larva cacing.

Biasakan anak untuk cuci tangan dengan sabun. Lakukan setiap

kali setelah anak memegang benda-benda kotor atau sebelum

makan. Biasakan anak untuk selalu menggunakan sandal atau sepatu bila

keluar rumah, terutama bila berjalan di tanah. Bila ingin memakan

sayuran mentah (lalapan) atau buah-buahan, cucilah dengan air bersih

yang mengalir. Bila perlu gunakan sabun yang bisa digunakan untuk

mencuci sayuran dan buah-buahan agar bersih dari hama. Memberi anak

xxxi
pengertian agar tidak memasukkan jarinya ke dalam mulut. Terangkan

kepadanya akibat yang bisa terjadi. Lakukan toilet training pada waktunya

dan ajarkan cara menjaga kebersihan saat buang air besar dan buang

air kecil.

F. Intensitas infeksi

Metode Kato-Katz merupakan metode kuantitatif sehingga dapat

menghitung telur untuk menentukan intensitas infeksi STH. Klasifikasi

intensitas infeksi berdasarkan yang telah dideskripsikan oleh Montresor et al

(1998). Intensitas infeksi memberikan makna potensial penularan infeksi cacin

tersebut di masyarakat dan morbiditas yang meliputi gejala klinis dari cacing

tersebut

Dari hasil perhitungan secara kuantitatif telur cacing dapat ditentukan

klasifikasi intensitas infeksi menurut jenis cacing yang menginfeksi dalam

satuan EPG ( Eggs Per Gram), sehingga dapat menggambarkan keadaan infeksi

kecacingan bahwa daerah tersebut.

G. Cara Pemeriksaan

a. Metode cara langsung

Cara kerjanya dengan mengambil 1 tetes larutan garam fisiologis,

eosin atau lugol kemudian teteskan pada kaca objek dicampur dengan 1-2

mg feses lalu ratakan pada tetesan larutan. Dengan pemeriksaan ini parasit

mati dan tidak bergerak, sehingga memuudahkan pemeriksaan morfologi

kista protozoamatau telur cacing. Tinja yang telah diawetkan dalam

larutan formalin dapat diperiksa langsung (Soedarto, 2011).

xxxii
b. Metoda cara tidak langsung

Pemeriksaan feses memakai metode sedimentasi dilakukan dengan

prosedur diambil 2 gram feses, di masukkan ke dalam tabung reaksi.

Ditambahkan NaCl fisiologis hingga 3/4 tabung, kemudian ditutup dengan

kapas. Disentrifuge dengan kecepatan 1500 rpm selama 10 menit.

Kemudian akan terbentuk 2 lapisan supernatan dan endapan. Lalu

supernatant dibuang dengan jalan menuangkan tabung reaksi secara cepat

dan disisakan sedikit. Kemudian diambil endapan diteteskan diatas objek

glass lalu tutup dengan deck glass dibaca dibawah mikroskop perbesaran

10 x 40 (Regina et al., 2018)

c. Metode Kato Katz

Saring feses dengan menggunakan kawat saring, disiapkan karton

tebal yang sudah diberi lubang letakan diatas objek glass lalu ambil feses

diletakan pada karton tersebut, kemudian feses ditutup dengan cellophane

tape yang sudah direndam dalam larutan Kato. Ratakan lalu diamkan

kurang lebih selama 20-30 menit. (Kementerian Kesehatan RI 2017).

xxxiii
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, pemeriksaan kecacingnan

yaitu untuk melihat prevalensi STH, gambaran pengetahuan, gambaran

hygiene personal dan Intensitas infeksi pada anak Sekolah dasar Inpres Me’o

desa Netpala Kecamatan Mollo Utara Kabupaten Timor Tengah Selatan

menggunakan pendekatan cross sactional.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat penelitian

Tempat dilakukan penelitian pengambilan sampel di SD Inpres

Me’o desa Netpala Kecamatan Mollo Utara Kabupaten Timor Tengah

Selatan, selanjutnya sampel diperiksa di Laboratorium Parasitologi

Kampus Teknologi Laboratorium Medis Poltekkes Kemenkes Kupang.

2. Waktu penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan .... - .... 2024

C. Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah prevalensi STH,

gambaran pengetahuan, gambaran hygiene personal dan Intensitas infeksi

pada anak di SD Inpres Me’o desa Netpala Kecamatan Mollo Utara

Kabupaten Timor Tengah Selatan.

D. Populasi

xxxiv
Populasi dalam penelitian ini adalah 186 Orang anak di SD Inpres Me’o

desa Netpala Kecamatan Mollo Utara Kabupaten Timor Tengah Selatan.

E. Sampel Dan Teknik Pengambilan Sampel

1. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Tinja pada anak SD Inpres Me’o desa Netpala Kecamatan Mollo Utara

Kabupaten Timor Tengah Selatan. Pada penelitian ini peneliti

menggunakan rumus slovin dalam pengambilan sampel dengan tingkat

kesalahan 10% sebagai berikut:

N
n¿
1+ N (e)2

Dimana:

n = Sampel

N = Populasi

e = Perkiraan tingkat kesalahan

Dimana:

186
n¿
1+ 186(0 , 1)2

186
¿
1+ 186(0 , 01)

186
¿
2, 86

n=65,03

xxxv
Berdasarkan rumus slovin tersebut dengan tingkat kesalahan 10 %

maka diperoleh jumlah sampel sebanyak 65 sampel, Jadi sampel yang

digunakan dalam penelitian ini sebanyak 65 anak. Kemudian dilakukan

penentuan jumlah sampel pada masing-masing kelas. Jumlah sampel

setiap kelas didapatkan dengan menggunakan rumus sebagai berikut.

n
N= x n
S

Keterangan.

N : jumlah sampel tiap kelas

n : jumlah populasi tiap kelas

S : jumlah total populasi di semua kelas

Hasil yang didapatkan dari masing-masing proporsional random

sampling adalah sebagai berikut:

29
Kelas 1 ¿ x 65=¿ 10
186

32
Kelas 2 ¿ x 65=¿ 11
186

25
Kelas 3 ¿ x 65=¿ 9
186

33
Kelas 4 ¿ x 65=¿ 12
186

29
Kelas 5 ¿ x 65=¿ 10
186

38
Kelas 6 ¿ x 65=¿ 13
186

Jadi jumlah sampel pada kelas 1 sampai 6 adalah 65 anak

2. Teknik Sampling

xxxvi
Teknik sampling yang akan digunakan dalam peneliti adalah

Proportional random sampling.

F. Definisi Operasional

Variabel Definisi Instrumen Kategori Skala


Operasional
Infeksi Soil Nematoda usus Pemeriksaan 0= Nominal
Transmited yang laboratoriium Negative
Helmiths (STH) membutuhkan 1= Positif
tanah untuk
proses
pematangan telur
atau larva dalam
siklus hidupnya
sehingga terjadi
perubahan dari
stadium yang
menginfeksi anak
di Sekolah Dasar
Inpres Me’o Desa
Netpala
Kecamatan Mollo
Utara Kabupaten
Timor Tengah
selatan

Usia Usia responden Kuisioner Nominal


yang dihitung
adalah semua
anak Sekolah
Dasar
Jenis kelamin Jenis kelamin Kuisioner 1= Pria Nominal
responden saat 2= Wanita
melakukan
penelitian
Tingkat Tingkat Kuisioner 0= tidak Nominal
Pengetahuan pengetahuan anak tahu
anak tentang merupakan hasil 1= Tahu
kecacingan dari tau yang
dapat diukur
dengan
memberikan
pernyataan atau
pwertanyaan

xxxvii
secara lisan
(wawancara) atau
tertulis
(Kuisioner)
mengenai
pencegahan
cacingan pada
anak
Hygene Personal Kebiasaan selalu Kusioner 0= Tidak Nominal
a. Kebiasaan mencuci tangan 1= Ya
mencuci sebelum makan Kadang-
tangan kadan
sebelum 2= Ya
makan Sering
b. Mencuci Kebiasaan selalu Kusioner 0= Tidak Nominal
tangan mencuci tangan 1= Ya
sesudah sehabis buang air Kadang-
buang air besar kadan
besar (BAB) 2= Ya
Sering
c. Kebiasaan Kebiasaan Kusioner 0= Tidak Nominal
mencuci mencuci tangan 1= Ya
tangan dengn dengan sabun Kadang-
sabun kadan
2= Ya
Sering
d. Kebiasaan Kebiasaan selalu Kusioner 0= Tidak Nominal
menggunaka menggunakan alas 1= Ya
n alas kaki kaki ketika keluar Kadang-
rumah kadan
2= Ya
Sering
e. Kebiasaan Kebiasaan Kusioner 0= Tidak Nominal
memotng memotong kuku 1= Ya
kuku kaki dan tangan Kadang-
seminggu sekali kadan
2= Ya
Sering
f. Keadaan Kondisi kuku Kusioner 0= Tidak Nominal
kuku bersih dalam keadaan 1= Ya
dan pendek pendek/bersih Kadang-
kadan
2= Ya
Sering
g. Kebiasaan Kebiasaan BAB Kusioner 0= Tidak Nominal
defikasi/BA dijamban atau 1= Ya

xxxviii
B disembarang Kadang-
tempat kadan
2= Ya
Sering
Intensitas infeksi Berat ringannya Pemeriksaan 0= Ringan Nominal
cacingan dengan Laboratorium 1= Sedang
mengetahui 2= Berat
jumlah telur per
gram tinja setiap
jenis cacing

G. Prosedur Penelitian

1. Persiapan penelitian

a. Pengurusan surat izin penelitian

b. Pengurusan etik penelitian

c. Survei lokasi

2. Pelaksanaan penelitian

a. Memberi penjelasan tentang tujuan penelitian pada responden

b. Mengisi lembar persetujuan menjadi responden

c. Melakukan pengisian kuisioner pada responden

d. Membagikan pot feses yang telah diberi identitas

e. Memberitahukan cara penampungan

f. Menentukan waktu pengambilan sampel

g. Pengumpulan sampel

h. Pemeriksaan sampel

i. Analisis data

3. Cara pengambilan data

a. Data Prevalensi

xxxix
Data prevalensi diperoleh setelah pemeriksaan feses anak dengan

metode natif di laboratorium. Jumlah positif spesies cacing yang

ditemukan dibagi dengan seluruh jumlah Populasi sampel dikali

100%. Sehingga diperoleh data persentase kasus kecacingan.

b. Data gambaran pengetahuan kecacingan

Teknik pengumpulan data pengetauan anak SD…diperoleh melalui

lembar kuisioner.

c. Data gambaran hygene personal

Untuk mendapatkan data asli mengenai penerapan personal hygiene,

peneliti melakukan wawancara secara langsung kepada subyek

penelitian yang dimaksudkan dan juga dengan cara responden

mengisi kuisioner.

d. Data gambaran intesitas infeksi

Data intensitas infeksi diperoleh melalui pemeriksaa feses

menggunakan metode kato katz dimana dapat menghitung jumlah

telur cacing. Lalu dimasukkan kedalam rumus menurut jenis cacing

yang menginfeksi dalam satuan EPG ( Eggs Per Gram) lalu di

klasifikasi intensitas infeksi ( ringan, sedang, atau berat)

4. Metode pemeriksaan feses

Metode pemeriksaan feses diawali dengan metode natif jika positif

dilanjutkan dengan cara Kato Katz.

5. Alat dan Bahan

xl
Pot tinja ukuran 10 – 15 cc , Spidol tahan air, Aquadest, Glycerin,

Malachite green (hijau malasit), Gelas beker, Kaca objek, Lidi atau tusuk

gigi, Cellophane tape (selofan), tebal 40-50 μm, ukuran 2,5 cm, Karton

sebagai template dengan ukuran: (lubang 6 mm dan tebal 1,5 mm untuk

berat tinja 41,7 mg. Ukuran lubang 6,5 mm dan tebal 0,5 mm untuk berat

tinja 20 mg. Ukuran lubang 9 mm dan tebal karton 1mm untuk berat tinja

50 mg), Kawat saring atau kawat kasa: 60-105 mesh, Kertas minyak,

Kertas saring atau tissue, Tutup botol dari karet, Waskom plastik kecil,

Gunting logam, Sabun dan deterjen, Handuk kecil, Sarung tangan karet,

Formalin 5 – 10%, Mikroskop, Formulir, Ember, dan Counter (alat

penghitung)

6. Cara Kerja

a. Pembuatan reagen kato dengan cellophone tape

1. Bahan yang diperlukan: 100 bagian akuades, 100 bagian gliserin,

dan 1 bagian larutan hijau malakit 3%.

2. Hijau malakit sebanyak 3 gram ditimbang, dimasukkan ke dalam

botol/beker glass, dan akuades 100 cc ditambahkan sedikit demi

sedikit. Kemudian diaduk/kocok hingga homogen, sehingga

diperoleh larutan hijau malakit 3%.

3. Larutan Kato dibuat dengan cara memasukkan 100 cc akuades ke

dalam waskom plastik kecil, lalu 100 cc gliserin ditambahkan

sedikit demi sedikit, dan 1 cc larutan hijau malakit 3%

xli
ditambahkan. Lalu diaduk hingga homogen, sehingga diperoleh

Larutan Kato sebanyak 201 cc. (Kementerian Kesehatan RI 2017)

b. Cara merendam/memulas selofan (cellophane tape)

e. Bingkai kayu segi empat sesuai dengan ukuran waskom plastik

kecil dibuat.

f. Selofan dililitkan pada bingkai tersebut.

4. Selofan direndam dalam larutan Kato selama lebih dari 24 jam.

5. Saat akan digunakan, selofan yang sudah direndam dipotong

sepanjang 2,5 cm. (Kementerian Kesehatan RI 2017)

c. Pembuatan sediaan Kato

a. Sarung tangan digunakan untuk mengurangi kemungkinan infeksi.

b. Nomor kode ditulis pada gelas obyek dengan spidol sesuai dengan

yang tertulis di pot tinja.

c. Kertas minyak ukuran 10 x 10 cm diletakkan di atas meja, dan tinja

sebesar ruas jari diletakkan di atas kertas minyak.

d. Tinja disaring menggunakan kawat saring.

6. Karton yang berlubang diletakkan di atas slide, dan tinja yang

sudah disaring dimasukkan pada lubang tersebut.

7. Karton berlubang diangkat dengan perlahan dan tinja ditutupi

dengan selofan yang sudah direndam dalam larutan Kato.

8. Selofan diratakan dengan tutup botol karet hingga merata. Sediaan

dibiarkan selama 20-30 menit.

xlii
9. Sediaan dibaca di bawah mikroskop dengan pembesaran 4x, 10x,

dan 40x.

10.Seluruh lapangan pandang dibaca, spesies ditentukan, dan jumlah

telur untuk setiap spesies yang ditemukan dihitung menggunakan

rumus :

Jumlah telur
epg= x 1000
berat tinja

Sumber : (Kementerian Kesehatan RI 2017)

H. Analisis Hasil

a. Data prevalensi rumus yang digunakan

Kejadian Kecacingan
Prevalensi Kecaingan ¿ x 100%
Populasi sampel

Data diperoleh dengan cara deskriptif dan dikelompokan berdasarkan

positif atau negatif dalam bentuk tabel.

b. Pengetahuan Kecacingan

Responden akan diberikan 16 pertanyaan. Pertanyaan yang akan diberikan

untuk melihat sejauh mana pengetahuan responden tentang infeksi

kecacingan. Ketika semakin responden menjawab ya dari pertanyaan yang

diberikan, hasil tersebut menunjukkan bahwa responden memiliki

pengetahuan yang baik untuk terhindar dari kejadian kecacingan.

Baik : Benar >8 soal

Kurang Baik : <8 soal

c. Hygiene Personal

xliii
responden diberikan 8 pertanyaan untuk mengetahui bagaimana kebiasaan

responden tentang higiene personalnya apakah baik atau tidak sehingga

berpotensi mengalami kejadian kecacingan.

Baik: >4 soal

Kurang Baik:< 4 soal

d. Intensitas Infeksi

Data intensitas infeksi diperoleh dari hasil perhitungan secara kuantitatif

telur cacing dapat ditentukan klasifikasi intensitas infeksi ( ringan, sedang,

atau berat) menurut jenis cacing yang menginfeksi dalam satuan EPG ( Eggs

Per Gram).

Cara menghitung jumlah telur adalah dengan rumus berikut:

1. Jumlah telur cacing gelang

Jumlah telur cacing gelang


x 1000 /R
Jumlah spesimen yang positif telur cacing gelang

2. Intensitas cacing cambuk

Jumlah telur cacing cambuk


x 1000/ R
Jumlah spesimen yang positif telur cacing cambuk

3. Intensitas cacing Tambang

Jumlah telur cacing tambang


x 1000/ R
Jumlah spesimen yang positif telur cacing tambang

4. Intensitas cacing Benang

Jumlah telur cacing benang


x 1000 /R
Jumlah spesimen yang positif telur cacing benang

Ket : R = Berat tinja sesuai ukuran lubang karton (mg)


Untuk program cacingan adalah 40 mg

xliv
I. Jadwal Pelaksanaan Penelitian

Bulan
No Kegiatan
Agu Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar
1 Pengajuan
judul
2 Penyusunan
proposal
3 Seminar
proposal
4 Revisi
proposal
5 Penelitian
6 Analisis Data
7 Penyusunan
KTI
8 Ujian KTI
9 Revisi KTI

J. Rincian Biaya

Biaya Alat dan Bahan Rp.

Biaya Transportasi Rp.

Biaya Print Rp.

Biaya Laboratorium Rp.

xlv
Daftar Pustaka

Agni, F. 2018. Identifikasi Telur Cacing STH (Soil transmitted Helminth) Pada
Daun Kemangi (studi Jln. Kemuning, Candimulyo, Kabupaten Jombang)
(Doctoral dissertation, Stikes Insan Cendekia Medika Jombang).
Alihar, F. (2018) ‘Identifikasi Kontaminasi Telur Nematoda Sth (Soil Transmitted
Helminth) Pada Sayuran Kangkung (Ipomoea Aquatica) Dan Kemangi
(Ocimum Basilicum L. ) Di Pasar Krian Kabupaten Sidoarjo’, 66, Pp. 37–
39. Available At:
Https://Www.Fairportlibrary.Org/Images/Files/Renovationproject/Concept_
Cost_Estimate_Accepted_031914.Pdf.
BBKSDA Nusa Tengga Timur, 2018, Profil Cagar Alam Mutis Timau,
http://bbksdantt.menlhk.go.id/kawasan-konservasi/ca/ca-mutis/profil-ca-
mutis-timau, (09 Januaari 2023)
CDC. 2018. CDC – Soil Transmitted Helminths. Reviewed february 02 2022,
from http://www.cdc.gov/parasites/sth/. Diakses pada 18 april 2022

CDC. 2019. CDC – Soil Transmitted Helminths. Reviewed february 02 2022,


from http://www.cdc.gov/parasites/sth/. Diakses pada 18 april 2022

Cdc. 2019: “Ascarisis”, Onine, (Https://Www.Cdc.Gov/Dpdx/Ascariasis/ Indeks,


Diakses Tanggal 8 November 2022).
Cdc. 2019: “Hookworm”, Onine, (Https://Www.Cdc.Gov/Dpdx/Hookworm/,

xlvi
Diakses Tanggal 8 November 2022).
Cdc. 2019: “Trichuriasis”, Onine, (Https://Www.Cdc.Gov/Dpdx/Trichuriasis/,
Diakses Tanggal 12 Februari 2023).
Departemen Kesehatan RI. (2017). Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 2017 tentang Penanggulangan Cacingan.
Jakarta: Kemenkes RI.
EKAWATI, Christine JK, et al. Pemberdayaan Siswa Sekolah Dasar Dalam
Pencegahan Kecacingan Di Kota Kupang. Asthadarma: Jurnal
Pengabdian Kepada Masyarakat, 2023, 4.1: 30-38.
Eryani, Desti; Fitriangga, A. K. I. M. (2015). Hubungan Personal Hygiene
dengan Kontaminasi Telur Soil Transmitted Helminths pada Kuku dan
Tangan Siswa SDN 07 Mempawah Hilir Kabupaten Pontianak. Jurnal
Mahasiswa PSPD FK Universitas Tanjungpura, 3(1)
https://jurnal.untan.ac.id/index.php/jfk/article/view/8973
Farida, Elis Anita, et al. "hubungan kebersihan personal dengan infeksi cacing soil
transmitted helminth (STH) Pada Feses Anak SDN 1 Kedamean
Kabupaten Gresik." Journal of Pharmaceutical Care Anwar Medika (J-
PhAM) 2.1 (2019): 18-30.
HENDRAWAN, Antonius Wahyu; WISTIANI, Wistiani. Hubungan Parasite
Load Soil Transmitted Helminths (STH) Terhadap Status Gizi. 2013. PhD
Thesis. Diponegoro University.
Irianto, K. 2013. Parasitologi Medis. Alfa Beta Bandung.
Montresor A, Crampton DWT, Hall A, Bundy DAP, Savioli L. Guidelines for the
evaluation of soil-transmitted helminthiasis and schistosomiasis at
community level. WHO/CTD/SIP/98, Geneva. 1998.
Ni Nyoman. 2018. Identifikasi Telur Cacing Soil Transmitted Helminth (Sth)
Pada Anak Sekolah Dasar Sdn 9 Baruga Kota Kendari Sulawesi Tenggara,
Hlm :5-7.
Pemerintah Republik Indonesia. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia nomor 15 Tahun 2017 tentang Penanggulangan
Cacingan.Jakarta
Prasetyo, R.H. 2013. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran: Parasit Usus, Jakarta
Sagung Seto.
PRASETYO, R.H. (2013) Buku Ajar Parasitologi Kedokteran : Parasit Usus
(Intestinal Parasites). Jakarta: Sagung Seto. Available At:
Https://Perpustakaan.Jakarta.Go.Id/Book/Detail?Cn=JAKPU-
12139000000262.
Pustaka, T. (2018) ‘Tinjauan Pustaka Soil Transmitted Helminths’, Pp. 1–25.
Regina, M. P., Halleyantoro, R., & Bakri, S. (2018). Perbandingan Pemeriksaan
Tinja Antara Metode Sedimentasi Biasa Dan Metode Sedimentasi Formol-
Ether Dalam Mendeteksi Soil-Transmitted Helminth. Diponegoro Medical
Journal (Jurnal Kedokteran Diponegoro), 7(2), 527–537
Rezki, T.A. And Azriful (2016) ‘Distribusi Spasial Kasus Kecacingan (Ascaris
Lumbricoides) Terhadap Personal Higiene Anak Balita Di Pulau
Kodingareng Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar Tahun 2016’.

xlvii
Sandy, S., Sumarni, S., Soeyoko. Analisis Model Faktor Risiko yang
Mempengaruhi Infeksi Kecacingan yang Ditularkan Melalui Tanah
pada Siswa Sekolah Dasar di Distrik Arso Kabupaten Keerom, Papua.
Media Litbangkes. 2015.25 (1): 1-14
Soedarto. (2016). Buku Ajar Parasitologi Kedoteran Edisi Ke Dua (2016th ed.).
CV sagung seto.
Widyaningsih, I. (2017) ‘Strongiloides’, Fakultas Kedokteran Wijaya Kusuma
Surabaya [Preprint]. Available At: Https://Docplayer.Info/30768866-
Strongiloides-Indah-Widyaningsih-Dosen-Fakultas-Kedokteran-
Universitas-Wijaya-Kusuma-Surabaya.Html.
Yunus, R. 2021. Buku Ajar Parasitologi 1 Teori dan Praktikum Untuk Mahasiswa
Teknologi Laboratorium Medik. Yogyakarta: Deepublish (CV Budi
Utama)
Yunidha, Anwar, R., Irawati, N., & Masri, M. (2016).Hubungan antara
Higiene Perorangan dengan Infeksi Cacing Usus (Soil Transmitted
Helminths) pada Siswa SDN 25 dan 28 Kelurahan Purus, Kota Padang,
Sumatera Barat Tahun 2013. Jurnal Kesehatan Andalas, 5(3), 600–607.
https://doi.org/10.25077/jka.v5i3.584
Zuhaifah, I., Dwita, AD., Ika, FB., (2016). Hubungan Cacing dengan Kadar
Hemoglobin pada SD INPRES NDONA 4 Kecamatan NDONA Kota
ENDE. Skripsi, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Sumber : https://medlab.id/strongyloides-stercoralis/

xlviii

Anda mungkin juga menyukai