Anda di halaman 1dari 8

Histoplasma capsulatum: Cendawan Dimorfik Penyebab Penyakit

Histoplasmosis

Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Kuliah Bakteriologi dan Mikologi


Veteriner

Penulis
Zoelva Miftahurridho B0401201049
Kevin Dio Gunawan B0401201055
Christopher Pindho Pungkasa B0401201060
Nabila Shoniatul Haq B0401201068
Laura Kusumaning Elta B0401201079
Dimas Harseto Pangestu B0401201087
Ruffina Ariefiani B0401201092

Paralel 2
Bakteriologi dan Mikologi Veteriner

Dosen Kuliah Bakteriologi dan Mikologi Veteriner :

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN KESMAVET


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
IPB UNIVERSITY
2021/2022
PEMBAHASAN

Morfologi dan Karakteristik


Secara makroskopis jamur ini memiliki koloni berwarna coklat yang
kemudian bentuknya akan bervariasi. Sedangkan secara mikroskopis Histoplasma
capsulatum akan terlihat adanya hifa berseptat, hialin, mitokondria dan
makrokonidia berbentuk bulat dan berdinding tebal. Jamur ini termasuk jamur
dimorfik yang memiliki bentuk pertumbuhan secara filamentosa (fase saprofit) dan
seperti ragi (fase parasitik). Fase saprofit terjadi pada suhu 22°C dan fase parasite
terjadi pada suhu 37°C. Selain itu pada suhu 37°C hifa dan konidia akan menjadi
kecil serta terdapat sel ragi berukuran 2×4 𝜇𝑚. Histoplasma capsulatum merupakan
salah satu parasit intraseluler fakultatif karena pada jaringan ragi jamur ini dapat
terlihat di dalam makrofag (Jawetz dan Adelberg 2013). Histoplasma capsulatum
yang dikembangan pada medium Saboraud Glukosa dengan suhu ruang akan
menghasilkan miselium. Akan tetapi jika ditumbuhkan dengan suhu 37°C pada
medium agar darah akan membentuk sel tunggal (Ristiati 2015). Histoplasma
capsulatum mendapatkan nama tersebut dari gambaran sel ragi pada potongan
potongan histopatologik, namun baik protozoa maupun saprofit tersebut tidak
mempunyai kapsul. Histoplasma capsulatum juga memodulasi nilai pH
lingkungannya, mempertahankan kondisi yang lebih netral (Heitman et al. 2006).

Gambar 1 Histoplasma capsulatum pada beberapa pewarnaan (A) Wright-


Giemsa, (B) Giemsa, (C) Asam periodik-Schiff, (D) Gomori-Grocott
Sumber: Medina-Pinon et al. 2017
Histoplasma capsulatum bereproduksi ketika berada dalam bentuk kapang
dan bersifat heterotalik (Heitman et al. 2006). Fungi ini termasuk termasuk
kedalam kedalam Ascomycota parasit yang dapat menghasilkan spora askus (spora
hasil reproduksi seksual). Jamur ini berkembang biak secara seksual dengan hifa
yang bercabang-cabang ada yang berkembang menjadi askogonium (alat
reproduksi betina) dan anteridium (alat reproduksi jantan), dari askegonium akan
tumbuh saluran untuk menghubungkan keduanya yang disebut saluran trikogin.
Dari saluran inilah inti sel dari anteridium berpindah ke askogonium dan
berpasangan. Kemudian masuk ke askogonium dan membelah secara mitosis
sambil terus tumbuh cabang yang dibungkus oleh miselium dimana terdapat 2 inti
pada ujung-ujung hifa. Dua inti itu akan membelah secara meiosis membentuk 8
spora dan disebut spora askus yang akan menyebar, jika jatuh di tempat yang sesuai
maka akan tumbuh menjadi benang hifa yang baru, demikian seterusnya
Histoplasma capsulatum dapat ditemukan di seluruh dunia. Infeksi jamur
ini sering terjadi di Amerika Utara, Amerika Tengah dan Amerika Selatan.
Histoplasma capsulatum memiliki habitat di tanah dan habitat burung atau
kelelawar, diperkaya oleh substrat alkali nitrogen pada kotoran hewan. Histoplasma
capsulatum menginfeksi paru-paru. Infeksi jamur ini terjadi melalui inhalasi
mikrokonidia di paru-paru dan menghasilkan sel ragi yang akan bertunas. Infeksi
Histoplasma capsulatum pada paru-paru dapat sembuh dengan sendirinya tetapi
juga dapat menyebabkan penyakit paru kronis (Elliott et al. 2013).

Produk Seluler
Histoplasma capsulatum merupakan saprofit tanah yang dimorfik. Pada
suhu dibawah 37˚C Histoplasma capsulatum tumbuh sebagai kapang berwarna
coklat dengan bentuk bervariasi. Pertumbuhan kapang ini memiliki pertumbuhan
yang lambat dalam membentuk koloninya yaitu 4-12 minggu. Hifa hialin bersepta
pada kapang ini akan menghasilkan mikrokonidia dengan ukuran 2 – 5 mikrometer
dan makrokonidia yang berdinding tebal, bulat, dan besar yang disertai penonjolan
materi dinding sel. Di dalam jaringan kaya nutrisi pada suhu 37˚C, hifa dan
konidianya akan berubah warna menjadi sel ragi yang berukuran kecil dan
berbentuk oval. Infeksi mikrokonidia jamur Histoplasma capsulatum dapat
menyebabkan histoplasmosis. Histoplasmosis adalah infeksi mikotik paru yang
paling banyak dijumpai pada manusia dan hewan (Brooks et al. 2012).
Infeksi jamur dimulai dari terhirupnya mikrokonidia dari H. capsulatum,
kemudian melewati bronkioli dan mencapai alveoli, sehingga gejalanya dapat mirip
suatu infeksi tuberculosis (Silva 2012). Histoplasma capsulatum dapat menghindari
sistem imun seluler dengan cara penutupan struktur β-glukan pada sistem imun oleh
α (1,3) glucan yang mana struktur ini tidak mampu dikenali oleh reseptor pengenal
pola pada sistem imun. Selain itu, Histoplasma capsulatum dapat hidup dalam
jangka panjang didalam sel makrofag dengan cara menghambat fusi fagolisosom,
mengatur Ph fagolisosom, serta menghambat pelepasan toxic superoxide radicals
(Ahsani 2014). Pemeriksaan yang digunakan dalam mendiagnosis Histoplasmosis
yaitu dengan pewarnaan Silver Methenamine dan Giemsa pada mikroskop langsung
yang menunjukkan ragi jamur ini berada dalam makrofag. Selain itu digunakan pula
pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan PAS atau Gomori-Grocott dengan
mengambil sampel dari cairan bronkus, hapusan darah atau hapusan sumsum tulang
belakang (Silva 2012). Kombinasi pemeriksaan penunjang antara mikroskop
langsung dan kultur akan meningkatkan sensitivitas dalam diagnosis
Histoplasmosis. Proses histoplasmosis diawali dengan inhalasi spora mikrokonidia
jamur Histoplasma capsulatum. Sebagian besar yang terinfeksi H. capsulatum tidak
merasakan gejala apapun karena manifestasi klinis infeksi seringkali serupa dengan
manifestasi infeksi influenza ataupun pneumonia ringan. Infeksi ini dapat sembuh
tanpa pengobatan dan kadang juga tidak terdiagnosis oleh tenaga kesehatan. Pada
beberapa penderita, infeksi dapat berkembang menjadi kronik dan progresif
sehingga muncul gejala berupa demam, menggigil, sakit kepala, nyeri otot, batuk
non produktif, juga nyeri dada bersifat pleuritik dan sentral (Djojodibroto, 2014).
Pada histoplasmosis progresif akut muncul gejala berupa tubuh yang makin kurus,
demam, anemi, leukopeni, hepatosplenomegali serta granuloma mukokutan. Gejala
tersebut dapat sembuh dengan cepat, namun kadang juga sampau berbulan-bulan
dan memiliki gambaran menyerupai bronkitis, pneumoni, atau TB kronik.
Histoplasmosis progresif kronik memiliki gambaran klinis dan radiologi yang mirip
dengan TB paru kronis. Hal ini menyebabkan penderita histoplasmosis sering salah
terdiagnosis sebagai penderita TB paru (Khalik 2017).

Media Biakan dan Ciri Koloni


Pada media Sabouraud Dextrose Agar (SDA) akan menghasilkan hifa yang
pendek-pendek dan tidak teratur bentuknya. Hifa ini mengelilingi badan cendawan
yang kemudian akhirnya membentuk oval sehingga dinamakan Rudimentary
aleuriospora. Pada media agar darah, pertumbuhannya di medium berwarna abu-
abu, tebal dan datar dengan koloni agak rapat mempunyai segmen tipis dengan
pertumbuhan klamidospora di ujung (Ahmad dan Anis 2012). Menurut Gómez et
al. (2018) mereka menyatakan bahwa media kultur seperti Sabouraud atau agar
kentang dekstrosa digunakan untuk penelitian cendawan ini.

Cendawan ini mempunyai tiga varietas : Histoplasma capsulatum var. capsulatum


, var duboisii , dan var. farciminosum. H. capsulatum var capsulatum dan var
duboisii menyebabkan histoplasmosis.
Gambar Histoplasma farciminosum pada medium SDA yang diinkubasi
selama 2 minggu (Ahmad dan Anis 2012)
Menurut Graham (1996) identifikasi H. capsulatum dikonfirmasi dengan
mikroskop dengan menunjukkan adanya makrokonidia tuberkulosis diagnostik
pada sediaan sentuh yang diwarnai dengan lactofenol cotton blue. Darah yang
dikultur dalam media BACTEC 13A TB yang diinkubasi pada suhu 37°C memiliki
indeks pertumbuhan ≥ 20 pada hari ke-20. Media ini disubkultur pada agar
Sabouraud dextrose dan agar infus jantung otak dengan darah domba dan diinkubasi
pada suhu 30°C dan 37°C. Dalam satu minggu, koloni filamen putih diamati pada
30°C. Spesimen sumsum tulang diinokulasikan ke medium onto biphasic (Becton
Dickinson Microbiology Systems), yang merupakan metode rutin kami untuk
mendeteksi H. capsulatum dalam darah. Jamur berfilamen putih tumbuh pada suhu
30°C dalam tiga minggu. H.capsulatum dikonfirmasi dengan adanya makrokonidia
tuberkulosis yang khas.
Sampel yang diperoleh untuk kultur harus diletakkan di atas Sabouraud agar
dekstrosa dan diinkubasi pada suhu 25 °C. Pada suhu ini, H. capsulatum tumbuh
sebagai jamur putih sampai coklat muda (Linder dan Kauffman 2019).
Secara tradisional, pencarian H. capsulatum dalam sampel yang sangat
terkontaminasi oleh mikroorganisme saprofit (yaitu, sampel tanah) dilakukan
dengan menggunakan metode seperti inokulasi pada tikus atau kultur konvensional.
Namun, kesulitan dalam mengisolasi H. capsulatum telah menyebabkan
penggunaan alat molekuler berdasarkan polymerase chain reaction (PCR), yang
memungkinkan deteksi cepat jamur dalam sampel (Gómez et al. 2018). Berikut
adalah contoh kasus penelitian terkait kultur cendawan ini. Kultur Histoplasma
capsulatum sebanyak 13475 H. capsulatum diisolasi, isolat ini diubah menjadi ragi
dengan inkubasi pada 37°C dengan 5% CO2 dalam 5% media agar infus jantung
otak atau Brain Heart Infusion (BHI) disiapkan seperti yang dijelaskan oleh
instruksi pabrik dan ditambah glukosa 1%, 0,01% L-sistein, larutan antibiotik 0,1%
(gentamisin dan penisilin) dan darah domba sampai melimpah pertumbuhan ragi
diamati (Gómez et al. 2018)

Pengujian untuk mengidentifikasi cendawan Histoplasma capsulatum


Identifikasi Histoplasma capsulatum dapat memanfaatkan spesimen berupa
sputum, bilasan bronkus, biopsi kulit, biopsi jaringan, sel darah buffy coat, maupun
sediaan pulasan biopsi sumsum tulang (Kemenkes 2015). Pemeriksaan ini
dilakukan secara mikroskopis. Pada pemeriksaan mikroskopis ini terdapat beberapa
jenis larutan yang biasanya digunakan untuk mempermudah pengamatan yaitu:
LCB, KOH, pewarna gram atau calcoflour white (Murray et al. 2016).
Uji-uji identifikasi cendawan juga dapat dilakukan dengan uji serologi
seperti uji Compelment Fixation (CF) untuk antibody terhadap histoplasmin atau
sel ragi menjadi positif dalam 2 – 5 minggu setelah infeksi. Titer CF meningkat
selama penyakit progresif kemudian turun sampai kadar sangat rendah ketika
penyakit tidak aktif. Titer yang lebih besar atau sama dengan 1 ; 32 merupakan
petunjuk kuat adanya infeksi; titer 1 ; 8 atau 1 ; 16 merupakan isyarat adanya
infeksi. Peningkatan titer empat kali lipat atau lebih antara serum akut dan
konvalesen merupakan bukti infeksi yang meyakinkan. Selain itu, dapat pula
dilakukan dengan PCR. Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu metode
enzimatis untuk amplifikasi DNA dengan cara in vitro. Pada proses PCR diperlukan
beberapa komponen utama, yaitu DNA cetakan, Oligonukleotida primer,
Deoksiribonukelotida trifosfat (dNTP), Enzim DNA Polimerase, dan Komponen
pendukung lain adalah senyawa buffer. Pada proses PCR menggunakan
menggunakan alat termosiklus (sebuah mesin yang memiliki kemampuan untuk
memanaskan sekaligus mendinginkan tabung reaksi dan mengatur temperatur
untuk tiap tahapan reaksi). Produk PCR dapat diidentifikasi melalui ukurannya
dengan menggunakan elektroforesis gel agarosa (Yusuf 2010). Penggunaan PCR
menjadi standar dan juga valid dalam pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan
diagnosis jamur secara cepat. Penggunaan PCR untuk mendeteksi asam nukleat
jamur mungkin merupakan diagnostik yang optimal karena memiliki potensial lebih
sensitif daripada metode kultur pada berbagai spesimen (Siregar 2016). Dan yang
terakhir adalah identifikasi jamur pada sputum secara makroskopis dan
mikroskopis. Pengamatan makroskopis dapat dilakukan dengan melihat
pertumbuhan biakkan di medium dengan mengamati bau, warna, bentuk dan
permukaan koloni (Indrayati dan Sari 2018). Sementara pemeriksaan dengan cara
mikroskopis dilakukan dengan melihat struktur atau susunan dari hifa dan spora
jamur (Indrawati dan Fakhrudin 2016).
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad RZ, Anis S. 2012. Kejadian penyakit selakarang pada kuda dan cara
pengendaliannya. Balai Besar Penelitian Vet. 22(2):65–71.
Ahsani DN. 2014. Respon imun pada infeksi jamur. Jurnal Kedokteran dan
Kesehatan Hewan Indonesia. 6(2): 55-66
Brooks F. Brooks GF, Carroll KC, Butel JS, and Morse S. 2012. Medical
Microbiology. 25th Ed. Jakarta: EGC.
Djojodibroto RD. 2014. Respirologi (Respiratory Medicine). 2nd Ed. Y. Joko
Suyono, Eva Melinda;editor. Jakarta: EGC
Elliot T, Worthington T, Osman H, Gill M. 2013. Mikrobiologi Kedokteran &
Infeksi. Ed ke-4. Jakarta: EGC.
Gómez LF, Torres IP, Jiménez-A M del P, McEwen JG, de Bedout C, Peláez CA,
Acevedo JM, Taylor ML, Arango M. 2018. Detection of histoplasma
capsulatum in organic fertilizers by hc100 nested polymerase chain reaction
and its correlation with the physicochemical and microbiological
characteristics of the samples. Am J Trop Med Hyg. 98(5):1303–1312.
doi:10.4269/ajtmh.17-0214.
Graham DR. 1996. Recovery of Histoplasma capsulatum from BACTEC TB media.
Journal of Clinical Microbiology. 34(1):208-9. doi:10.1128/JCM.34.1.208-
209.1996.
Heitman, Joseph, Filler SG, Mitchell AP, Edwards JE. 2006. Jr. Molecular
Principles of Fungal Pathogenesis. Ed ke-1. New York: ASM Press.
Indrawati I dan Fakhrudin SD. 2016. Isolasi dan identifikasi jamur patogen pada air
sumur dan air sungai di pemukiman warga Desa Karangwangi, Cianjur,
Jawa Barat. Jurnal Biodjati. 1(1):27.
Indrayati S dan Sari RI. 2018. Gambaran candida albicans pada bak penampung air
di toilet SDN 17 Batu Banyak Kabupaten Solok. Jurnal Kesehatan Perintis.
5(2):159-164.
Jawetz M, Adelberg. 2012. Mikrobiologi Kedokteran. Ed ke-25. Jakarta: EGC.
[KEMENKES] 2015. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15
Tentang Pelayanan Laboratorium Pemeriksa HIV dan Infeksi Oportunistik.
Khalik MD. 2017. Prevalensi Penemuan Jamur Pada Sputum Terduga Tuberkulosis
Paru yang Diperiksa Di RSUP DR. M. Djamil Padang. Padang: Universitas
Andalas.
Linder KA, Kauffman CA. 2019. Histoplasmosis: epidemiology, diagnosis, and
clinical manifestations. Current Fungal Infection Reports. 13:120-128.
doi:10.1007/s12281-019-00341-x.
Medina-Pinon I, Hernandez-Rodriquez P, Haces-Rodriquez SE, Acosta-Calderon
LA. Histoplasma capsulatum in the bone marrow of an HIV-infeced patient.
International Journal of Infectious Diseases. 62(2):6-7.
Murray PR, Rosenthal KS, Kobayashi GS, Pfaller MA. 1998. Medical
Microbiology. The 3rd Ed. St Louis: Mosby Inc.
Ristiati NP. 2015. Pengantar Mikrobiologi Umum. Bali: Udayana University Press.
Silva M et al. 2012. Systemic mycoses in immunodepressed patients (AIDS).
Clinics in Dermatology. 30:616-25.
Siregar CJP. 2010. Teknologi Farmasi Sediaan Tablet : Dasar–Dasar Praktis.
Jakarta: Penerbit EGC.
Yusuf ZK. 2010. Polymerase chain reaction (PCR). Jurnal Saintek. 5(6): 1-6.

Anda mungkin juga menyukai