Anda di halaman 1dari 8

TUGAS AKHIR HUKUM KEKAYAAN INTELEKTUAL

“ISU-ISU TERKAIT PELINDUNGAN KEKAYAAN INTELEKTUAL”

Disusun

Untuk Hukum Kekayaan Intelektual :

Angelos Gogo Siregar

(110110170303)

Dosen : R .A. Gusman Catur S, S.H., LL.M., Ph.D.

Fakultas Hukum

Universitas Padjadjaran

2019
SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas ini saya kerjakan sendiri tanpa bantuan pihak lain.
Adapun sumber-sumber ilmiah yang digunakan dalam tugas ini telah dikutip dan dicantumkan
nama penulisnya sesuai dengan pedoman penulisan karya ilmiah di Fakultas Hukum
Universitas Padjajaran. Jika pernyataan ini terbukti sebaliknya, saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku sesuai ketentuan akademik di Universitas Padjajaran.

Jatinangor, 12 Desember
2019

Angelos Gogo Siregar

NPM. 110110170303
1) Analisis Mengenai Ketentuan Pasal 7 TRIPS Agreement dalam Hal Paten dan
Kesehatan Masyarakat

Dalam ketentuan pasal 7 TRIPS Agreement sendiri menyatakan bahwa perlindungan dan
penegakan HKI harus memberikan dukungan terhadap perkembangan teknologi dengan cara
yang mendukung kesejahteraan sosial dan ekonomi yang dapat seimbang hak dan
kewajibannya. Hal ini memang sudah tepat dalam pernyataan dari pasal tersebut.

Namun, justru dalam praktiknya dimana TRIPS Agreement yang sebagian besar meratifikasi
perjanjian ini namun justru merugikan negara berkembang dalam hak paten yang memang
hanyalah pemegang lisensi yang mendapatkan hak paten untuk obat-obatan. Hal ini menjadi
sebuah masalah yang serius karena berdasarkan pasal 31f Perjanjian TRIPS, pelaksanaan
lisensi wajib di negara-negara anggota WTO adalah untuk pasar domestik saja.1 Dimana dalam
hal ini, perjanjian TRIPs ditetapkan suatu ketentuan bahwa produksi obat-obatan berdasarkan
lisensi wajib hanya terbatas untuk memenuhi pasar domestik. Dengan kata lain, negara
berkembang yang belum mampu memproduksi sendiri obat-obatan yang diperlukan warga
dilarang mengimpor obat-obatan tersebut dari negara yang memproduksinya berdasarkan
lisensi wajib. Artinya, negara berkembang seolah-olah dipaksa harus mengimpor obat-obatan
dengan harga yang cukup mahal dari perusahaan pemegang paten.2

Contoh dari permasalahan ini adalah :

Kasus obat palsu ternyata merebak di mana-mana. Lebih dari 100 negara melaporkan kasus
obat palsu pada tahun 2008. Menurut sebuah jurnal sains terkemuka, Natural Medicine, jumlah
obat palsu di pasaran meningkat 25 persen per tahun. Editor jurnal tersebut, Roxanne Khamsi,
menghimpun belasan artikel untuk menyusun tinjauan global jurnal itu mengenai obat palsu. Ia
menyatakan peredaran obat palsu menghasilkan akibat yang mengenaskan.3

Dalam kasus tersebut, karena mahalnya dari obat antibiotik dari negara-negara majau
menyebabkan negara-negara berkembang menjadi kesulitan karena kurang dari segi
ekonominya.

1
Tomy Suryo Utomo, Implementasi Lisensi Wajib Terhadap Produk Obat Yang Dipatenkan Pasca
Deklarasi Doha, Jurnal Ilmu Hukum Refleksi Hukum Edisi April 2009, hal.21
2
Achmad Ari Ichsan, Analisis Yuridis Terhadap Lisensi Wajib Dan Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah
Berdasarkan Perjanjian Trip’s, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi I, Volume 2, Tahun 2014, hal.7
3
https://www.voaindonesia.com/a/peredaran-obat-palsu-dunia-naik-25-persen--92368144/76715.html
diakses pada tanggal 12 Desember 2019 pada pukul 04.00 WIB.
2) Esai mengenai Hak Kekayaan Intelektual dan Angklung

Menyangkut dalam hal tentang hak paten angklung maka dari infografis tersebut ada yang
salah . Dimana seharusnya angklung sebagai ekspresi budaya tradisional sebenarnya
terminologinya bukanlah hak paten karena jika hak paten adalah pemberian negara
terhadap penemu yang menemukan suatu teknologi. Seharusnya, terminology yang tepat
adalah hak cipta karena hak cipta merupakan kepemilikan pribadi atas suatu ciptaan yang
berupa perwujudan dari suatu ide pencipta di bidang seni, sastra, dan ilmu pengetahuan.4
Dimana hal ini yang menjadi subjeknya adalah negara yang terdapat dalam UU Nomor 19
Tahun 2002 ayat 1 dan 2 yang menjamin folkfor dan hasil kebudayaan masyarakat.

Keterkaitan antara Hukum Kekayaan Intelektual dengan seni budaya tradisional sendiri
seperti angklung seperti yang dijelaskan paragraf sebelumnya yang terdapat dalam UU
Nomor 28 Tahun 2014 ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa karena kebudayaan
tradisional Indonesia khususnya di bidang ekspresi sangatlah beragam dan sebenarnya
menjadi kepemilikan komunal secara turun-temurun tanpa adanya pengakuan salah satu
oknum/kelompok namun merupakan kesatuan suku, maka dalam hal tersebut Negara turun
tangan sebagai subjek yang melindungi budaya yang ada di Indonesia agar ekspresi
budaya tradisional kita tidak diambil pihak asing.

Peran UNESCO sendiri dalam melindungi dari seni budaya internasional dilakukan melalui
konvensi- konvensi yang dilakukan dan mendukung negara anggota PBB untuk
meratifikasinya dan menjamin eksresi budaya tradisional masing-masing. Beberapa
konvensi UNESCO untuk melindungi warisan budaya tidak berwujud antara lain:5

1. Konvensi Hak Cipta Dunia (Universal Copyright Convention) 1952, revisi 1971.

2. Konvensi Perlindungan Warisan Budaya Tidak Benda (Convention for Safeguarding of


The Intangible Cultural Haritage) 2003.

3. Konvensi Mengenai Proteksi dan Promosi Keanekaragaman Ekspresi Budaya


(Convention on The Protection of The Diversity of Cultural Expressions) 2005.

4
Tim Lindsey,dkk (ed.), Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar (Bandung: PT Alumni, 2011) hal. 96
5
http://portal.unesco.org/en/ev.php-URL_ID=13649&URL_DO=DO_TOPIC&URL_SECTION=-471.html, diakses pada
tanggal 12 Desember 2019 pada pukul 05.35 WIB
3) Pendapat Hukum tentang 4 Cabang Kekayaan Intelektual dari Bisnis Lazza
Berdasarkan Instrumen HAKI di Indonesia

Dalam contoh kasus tentang bisnis Lazza maka 4 instrumen HAKInya adalah :

a) Hak Paten

Dimana dalam hak patennya, dalam contoh kasus terdapat di teknik untuk membuat dan
mendesign dari mangkuk talas yang merupakan produk dari Lazza tidaklah menyalahi
aturan dari paten sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Boga sebenarnya tidak berfikir
akan menjadikan suatu produk ataupun ia belum mendaklarasi/mengklaim bahwa teori dan
hasil tersebut merupakan ciptaan dirinya. Dalam hal dimana jika Lazza dituduh ia
mengklaim penemuan dari Dr. Boga, maka menurut saya hal tersebut kurang tepat karena
ia tidak melakukan tindakan invensi karena langkah invensi adalah ide inventor yang
dituangkan kedalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik dibidang teknologi
dan dapat berupa produk atau proses penyempurnaan atau pengembangan produk.

Hal ini sesuai pula dengan pendapat ahli , Insan Budi Maulana yang menyatakan suatu
penemuan baru yang tidak dapat dipatenkan:6

a. Apabila bertentangan dengan moral termasuk moralitas agama, ketertiban umum, atau
kesusilaan. Hal ini dicontohkan pada pengkloningan domba bisa ditolak penemuan
patennya apabila penemuan itu bertentangan dengan agama. Hal yang sama dengan
penemuan teknologi nuklir yang berkaitan dengan militer tidak dapat dipatenkan
sebagaimana terjadi di jepang, tetapi jika berkaitan dengan pertanian dapat dipatenkan;

b. Apabila penemuan itu merupakan metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan, dan


pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan hewan, tetapi tidak menjangkau
produk apapun yang digunakan, atau berkaitan dengan metode tersebut, seperti metode
“terkun” untuk pengobatan;

c. Apabila penemuan itu merupakan teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan
matematika, seperti program komputer. Di negara lain, seperti amerika serikat atau jepang,
program komputer dapat dipatenkan.

6
Maulana, Insan Budi, Penerapan Paten Sejak UU Paten No. 6 Tahun 1989 Hingga UU Paten No. 13 Tahun 1997:
Pengalaman Indonesia Selama Ini, dalam Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual (Pusat Studi Hukum UII:
Yogyakarta,2000) hal. 14-15
Menurut pendapat saya juga bahwa Lazza Ladada tetap berhak untuk dapat mengajukan
Paten dikarenakan bahwa tindakan dari Lazza Lalada merupakan pengembangan dan
penyempurnaan dari proses produksi mangkuk tersebut yang sudah pasti melibatkan
teknologi dalam produksi mangkuk tersebut kemudian untuk klaim dari Dr Boga dimana
dituduh bahwa Lazza Ladada menggunakan hasil penelitiannya tanpa izin menurut saya
klaim dari Dr.Boga tidak tepat dikarenakan fakta bahwa sebelumnya Lazza merupakan
asisten peneliti Dr.Boga dan selama dari penelitian hingga datangnya Dr.Boga untuk
membahas tentang bisnis tidak ada objeksi dari Dr.Boga yang saya asumsikan bahwa
Dr.Boga secara implisit memberikan izin pada Lazza untuk menggunakan penelitiannya
secara implisit.

b) Design Industri

Dalam pasal 13 (d) UU Nomor 31 tahun 2001, bahwa ada asas yang mendasari dari
perlindungan industri ada 3 yaitu :

1)asas publisitas = Adanya hak tersebut didasarkan pada pengumuman atau publikasi
dimana masyarakat umum dapat mengetahui keberadaan tersebut,

2)asas kemanunggalan/kesatuan = Hak atas industri tidak boleh dipisah-pisahkan dalam


satu kesatuan yang utuh untuk satu komponen

3) asas kebaruan = bentuknya unik

Dimana dalam contoh kasus yang ada maka mangkuk talas tersebut bentuk maupun
konfigurasi warna, garis, atau gambaran bersifat 2 dimensi atau 3 dimensi dimana Lazza
Ladada berhak menikmati perlindungan atas desain industrinya yang diberikan dari negara
selama 10 tahun dan juga undang-undang. Menurut saya saudara Lazza Ladada berhak dan
memenuhi syarat untuk pendaftaran desain industri atas mangkuknya.

c) Rahasia Dagang

Dalam hal untuk rahasia dagang sendiri pengertian dan unsurnya menurut ahli yaitu Gunawan7
Wijaya menyatakan bahwa rahasia dagang sendiri terdiri dari adanya pengetahuan mengenai
informasi, informasi tersebut merupakan informasi yang tidak diketahui oleh umum, informasi
tersebut berada dalam lapangan teknologi atau bisnis, informasi tersebut mempunyai nilai
ekonomis, dan informasi tersebut dijaga kerahasiaannya oleh pemiliknya

7
Wijaya, Gunawan, Rahasia Dagang, (Jakarta: PT Radja Grafindo Persada, 2001) hal.78
Dalam kasus ini Lazza dapat mendaftarkan rahasia dagang untuk mangkuk uniknya adapun
rahasia dagang melindungi dari segi metode produksi, pengolahan, beserta informasi lain yang
terkait dan juga menurut saya bahwa Dr.Boga tidak dapat menuntut tentang pelanggaran
rahasia dagang dikarenakan beliau sendiri tidak berusaha untuk melindungi jurnalnya dimana ia
mengizinkan orang lain seperti Iazza untuk melihat.

d) Merk

Dalam ketentuan Undang – undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek pasal 1 menyatakan
bahwa Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka –angka,
susunan warna, atau kombinasi dari unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan
digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

Dalam contoh kasus diatas merek mangkuk lkhusus dari Lazza Ladada adalah berada dibawah
“Warung Pajajaran” yang berarti beberapa hal bahwa dalam kasus ini merek “Warung
Pajajaran” digunakan sebagai merek dagang, saya berpendapat bahwa dalam kasus ini Lazza
berhak penuh atas penggunakan merek “Warung Pajajaran.

DAFTAR PUSTAKA
 Utomo,Tomy Suryo .(2009). Implementasi Lisensi Wajib Terhadap Produk
Obat Yang Dipatenkan Pasca Deklarasi Doha. Jurnal Ilmu Hukum Refleksi
Hukum Edisi April 2009.
 Ichsan,Achmad Ari.(2014). Analisis Yuridis Terhadap Lisensi Wajib Dan
Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah Berdasarkan Perjanjian Trip’s, Jurnal
Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi I, Volume 2, Tahun 2014
 VOA Indonesia. Peredaran Obat Palsu Dunia Naik 25 Persen.
https://www.voaindonesia.com/a/peredaran-obat-palsu-dunia-naik-25-
persen--92368144/76715.html
 Tim Lindsey,dkk (ed.). (2011). Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. Bandung:
PT Alumni.

 UNESCO.Section471.http://portal.unesco.org/en/ev.php-
URL_ID=13649&URL_DO=DO_TOPIC&URL_SECTION=-471.html,
 Maulana, Insan Budi. (2000). Penerapan Paten Sejak UU Paten No. 6 Tahun 1989
Hingga UU Paten No. 13 Tahun 1997: Pengalaman Indonesia Selama Ini, dalam
Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual. Yogyakarta : Pusat Studi Hukum UII.
 Wijaya, Gunawan. (2001). Rahasia Dagang. Jakarta: PT Radja Grafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai