Anda di halaman 1dari 36

KAJIAN KELIMPAHAN MAKROZOOBENTHOS SEBAGAI BIONDIKATOR

PADA EKOSISTEM LAMUN DI PERAIRAN MALUKU

PROPOSAL PRAKTIK AKHIR

Oleh:
ALEN APRISYE LEKLIAY

POLITEKNIK AHLI USAHA PERIKANAN


2023
KAJIAN KELIMPAHAN MAKROZOOBENTHOS SEBAGAI BIONDIKATOR
PADA EKOSISTEM LAMUN DI PERAIRAN MALUKU

Oleh:
ALEN APRISYE LEKLIAY
NRP 55195212729

Proposal Praktik Akhir Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk


Melakukan Praktik Akhir

PROGRAM SARJANA TERAPAN


PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN
POLITEKNIK AHLI USAHA PERIKANAN
JAKARTA
2023
1

PROPOSAL PRAKTIK AKHIR

Judul : Kajian Kelimpahan Makrozoobenthos Sebagai Biondikator


Pada Ekosistem Lamun di Perairan Maluku
Penyusun : Alen Aprisye Lekliay
NRP : 55195212729
Program Studi : Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Menyetujui
Dosen Pembimbing,

.Dr. Dr. Ita Junita Puspa Dewi, A.Pi.,M.Pd Ir. Basuki Rachmad, M.Si
Pembimbing I Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Meuthia Aula Jabbar, A.Pi.,M.Si Dadan Zulkifli, S.Ag.,MM


Ketua Program Studi Sekretaris Program Studi
KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Proposal Praktik Akhir untuk Karya Ilmiah Praktik Akhir (KIPA) yang berjudul
“Kajian Kelimpahan Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Pada
Ekosistem Lamun Di Perairan Maluku”. Proposal ini disusun dan diajukan
sebagai salah satu syarat untuk melakukan praktik akhir pada Program Studi
Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Perairan Politeknik Ahli Usaha Perikanan.
Proposal Praktik Akhir ini menjadi acuan penulis dalam melakukan praktik
akhir. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
guna perbaikan proposal ini.

Jakarta, Februari 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR TABEL.....................................................................................................ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iv
1. PENDAHULUAN........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................................... 1
1.3 Batasan Masalah ................................................................................... 2
2. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... 3
2.1 Klasifikasi dan morfologi lamun .............................................................. 3
2.2 Morfologi lamun ..................................................................................... 3
2.3 Klasifikasi Makrozoobenthos.................................................................. 4
2.4 Habitat sebaran padang lamun .............................................................. 5
2.5 Identifikasi Makrozoobenthos................................................................. 6
2.6 Komunitas makrozoobenthos padang lamun ......................................... 7
2.7 Parameter kualitas air ............................................................................ 8
3. METODE PRAKTEK ..................................................................................... 9
3.1 Waktu dan tempat praktek ........................................................................ 10
3.2 Alat dan bahan ......................................................................................... 11
3.3 Metode pengumpulan data ....................................................................... 12
3.4 Metode analisis data................................................................................. 13
4. RENCANA DAN ANGGARAN KEGIATAN.................................................. 14
4.1 Rencana kegiatan .................................................................................... 15
4.2 Anggaran Kegiatan ................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 17

ii
DAFTAR TABEL
1. Alat dan bahan.................................................................................................23
2. Presentase tutupan lamun (Izuan et al., 2014)................................................25
3. Penilaian kerapatan jenis lamun (Gosari, 2013)..............................................27
4. Luas Area Penutupan Lamun (Kep. MNLH. No.200/2004)..............................28
5. Status Padang Lamun (Kep. MNLH. No.200/2004).........................................28
6. Rencana kegiatan............................................................................................32

iii
iv

DAFTAR GAMBAR

1. Lamun..............................................................................................................12
2.Struktur morfologi lamun...................................................................................14
3. Akar lamun.......................................................................................................14
4. Rhizoma...........................................................................................................15
5.Batang lamun....................................................................................................16
6. Peta lokasi praktik............................................................................................21
7. Skema transek kuadran padang lamun...........................................................24
8. Nomor kotak pada kuadran 50x50 cm²............................................................25

iv
5

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Padang lamun merupakan ekosisitem yang tinggi produktifitas
organiknya, tempat bagi organisme untuk mencari makan, tempat memijah, dan
sebagai tempat asuhan atau pembesaran. Salah satu organisme yang
berasosiasi yaitu makrozoobentos (Litaay dkk., 2007). Kelimpahan
makrozoobentos sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya, misalnya sering
dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Bentos adalah organisme yang hidup di
permukaan atau di dalam substrat dasar perairan yang meliputi organisme nabati
yang disebut fitobentos dan organisme hewani yang disebut zoobentos (Odum,
1971). Seperti pada ekosistem perairan lainnya, pada ekosistem lamun terdapat
proses-proses ekologi, dimana terjadi interaksi dari beberapa komponen biotik
dan lingkungannya (abiotik). Salah satu dari komponen biotik tersebut adalah
makrozoobentos atau makrofauna. Makrozoobentos merupakan organisme
akuatik yang hidup di dasar perairan, baik yang membenamkan diri di dasar
perairan maupun yang hidup di permukaan dasar perairan (Nybakken 1998).
Berdasarkan ukurannya, organisme dibedakan menjadi dua kelompok
besar, yaitu makrozobenthos dan mikrozobentos (Lind, 1979). Banyaknya
organisme bentos (makrozobenthos) pada daerah padang lamun mencerminkan
tingkat kesuburan perairan yang tinggi Makrozoobenthos merupakan hewan
yang hidup di dasar perairan Selain itu, makrozoobenthos juga memegang
peranan utama dalam siklus rantai makanan, baik sebagai konsumen primer
(herbivor), konsumen sekunder (karnivor) maupun dekomposer yang merombak
bahan organik menjadi unsur yang lebih sederhana dan siap dimanfaatkan
kembali oleh berbagai macam organisme Menurut Ira (2011) total bahan organik
dan kepadatan tutupan lamun dapat mempengaruhi keberadaan struktur
makrozoobentos, kepadatan tutupan lamun yang tinggi memiliki kelimpahan
makrozoobentos yang tinggi dibandingkan dengan kepadatan tutupan lamun
yang rendah. Sedimen mempunyai peran penting sebagai tingkat kelangsungan
hidup dari lamun dan makrozoobentos (Gultom dkk., 2018). Tekstur sedimen
dalam perairan mempunyai ukuran bervariasi dari yang besar sampai halus.
Perbedaan sedimen ini dapat mempengaruhi ketersediaan oksigen, makanan,
sebaran, morfologi fungsional, dan tingkah laku makrozoobentos (Sudaryanto,
2001; Hakim, 2011).
Peranan benthos di perairan meliputi kemampuannya mendaur ulang
bahan-bahan organik, membantu proses mineralisasi, serta berbagai posisi
penting dalam rantai makanan. Bentos juga dapat digunakan sebagai indikator
pencemaran karena siklus hidupnya yang panjang dan sifat penyebarannya
terbatas. Tipe substrat menentukan jumlah dan jenis hewan bentos disuatu
perairan. Tipe substrat sangat penting dalam perkembangan komunitas hewan
bentos. Pasir cenderung memudahkan untuk bergeser dan bergerak ke tempat
lain. Substrat berupa lumpur biasanya mengandung sedikit oksigen dan karena
itu organisme yang hidup di dalamnya harus dapat beradaptasi pada keadaan
tersebut (Lind, 1979).

5
6

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktik akhir ini adalah sebagai berikut
1. Mengkaji ekosistem padang lamun di perairan maluku
2. Mengkaji jenis jenis makrozoobenthos yang berasosiasi pada ekosistem
lamun di perairan maluku
3. Mengetahui struktur komunitas makrozoobenthos pada lamun di perairan
maluku
4. Mengkaji parameter kualitas air pada ekosistem lamun di perairan maluku

1.3 Batasan Masalah


1. Kajian ekositem lamun di perairan Maluku meliputi identifikasi jenis lamun,
kerapatan jenis lamun ( KJi ), kerapatan relatif jenis lamun ( KR), frekuensi
jenis lamun ( FJi ), frekuensi relatif jenis lamun ( FR ), tutupan jenis lamun,
tutupan relatif jenis lamun, indeks nilai penting (INP ), keanekaragaman
lamun, indeks keseragaman lamun, indeks dominasi lamun.
2. kajian makrozoobenthos yang berasosiasi pada ekosistem lamun meliputi
identifikasi jenis makrozoobenthos, kelimpahan makrozoobenthos, indeks
biologi makrozoobenthos.
3 Hubungan antara tutupan lamun dengan kelimpahan makrozoobenthos di
perairan Maluku.
4 Parameter kualitas air sebagai pembatas pada ekosistem lamun meliputi
suhu, salinitas, kecepatan arus, derajad keasamaan, kecerahan, dan
substrat dasar perairan

1.4 Manfaat
Dengan mengetahui kajian ekosistem lamun maka dapat dikelola dan
dimanfaatkan secara maksimal serta dijaga agar tidak terjadi kerusakan pada
ekosistem lamun yang ada, dan mengetahui makrozoobenthos yang berasosiasi
di ekosistem lamun Dengan mengetahui kesesuaian kualitas perairan yang
dihidupi oleh ekosistem lamun sehingga ada pengendalian di perairan tersebut
untuk mengurangi pencemaran perairan agar ekosistem lamun tetap aman.

6
7

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan morfologi lamun


2.1.1 Defenisi lamun
Lamun adalah tumbuhan air berbunga (Anthophyta) yang hidup dan
tumbuh terbenam di lingkungan laut, berpembuluh, berimpang (rhizome),
berakar, dan berkembang biak secara generatif (biji) dan vegetatif. Rimpangnya
merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh terbenam dan menjalar dalam
substrat pasir, lumpur dan pecahan karang lamun cukup penting keberadaannya,
khususnya di perairan laut dangkal. Lamun yang membentuk padang lamun
kemudian menjadi suatu ekosistem yang merupakan salah satu ekosistem laut
terkaya dan paling produktif, bila dibandingkan dengan produktifitas dari hasil
usaha pertanian tropis (Den HARTOG, 1976). Adanya produksi primer yang
tinggi ini, maka salah satu fungsi lamun adalah menjaga atau memelihara
produktifitas dan stabilitas pantai pesisir dan ekosistem estuaria. Selanjutnya
lamun bersama-sama dengan mangrove dan terumbu karang merupakan satu
pusat kekayaan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati, khususnya di
Indonesia dan perairan tropis pada umumnya.

Gambar 1 Lamun
Tumbuhan lamun memiliki beberapa sifat yang memungkinkannya hidup di
lingkungan laut. Beberapa sifat tersebut, yaitu mampu hidup di media air asin,
mampu berfungsi secara normal dalam keadaan terbenam, memiliki sistem
perakaran jangkar yang berkembang dengan baik, mampu melakukan
penyerbukan dan daur degeneratif dalam keadaan terbenam (Nurfalah, 2016).
Wilayah perairan laut yang ditumbuhi lamun disebut padang lamun, dan dapat
menjadi suatu ekosistem tersendiri yang khas. Kemudian, komunitas padang
lamun berinteraksi dengan biota yang hidup didalamnya dan dengan lingkungan
sekitarnya membentuk ekosistem padang lamun. Hampir semua tipe substrat
dapat ditumbuhi lamun, yaitu pada substrat yang berlumpur sampai berbatu,
namun padang lamun yang khas lebih sering ditemukan pada substrat lumpur
berpasir yang tebal di antara mangrove dan terumbu karang. Ekosistem lamun
berperan penting di wilayah pesisir karena menjadi habitat penting untuk
berbagai jenis hewan laut seperti ikan, moluska, crustacea, Echinodermata.

7
8

Adapun lingkungan sekitar padang lamun termasuk lingkungan perairan,


substrat di dasar perairan seperti pasir dan lumpur, dan udara. Karena pola hidup
lamun sering berupa hamparan maka dikenal juga istilah padang lamun
(seagrass bed) yaitu hamparan vegetasi lamun yang menutup suatu area
pesisir/laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih dengan kerapatan padat
atau jarang. Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut
yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi
pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih, dengan
sirkulasi air yang baik. Air yang bersirkulasi diperlukan untuk menghantarkan zat-
zat hara dan oksigen, serta mengangkut hasil metabolisme lamun ke luar daerah
padang lamun (den Hartog, 1970). Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi
lamun, mulai dari substrat berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun
yang luas lebih sering ditemukan di substrat lumpur-berpasir yang tebal antara
hutan rawa mangrove dan terumbu karang. Sedangkan sistem (organisasi)
ekologi padang lamun yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik disebut
ekosistem lamun (seagrass ecosystem). Habitat tempat hidup lamun adalah
perairan dangkal agak berpasir dan sering juga di jumpai di terumbu karang (den
Hartog, 1970).
Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang
paling produktif, karena dapat berperan penting dalam menunjang kehidupan dan
perkembangan jasad hidup di laut dangkal. Salah satu jenis lamun yang banyak
ditemukan di daerah tropis adalah Enhalus acoroides. Janis lamun tropis ini
adalah jenis yang berukuran paling besar dibandingkan jenis lamun tropis
lainnya. Lamun Enhalus acoroides dapat membentuk lamun monospesifik atau
hidup bersama jenis lamun lain (multispesifik). Secara umum, semua jenis lamun
mempunyai kapasitas untuk mengurangi gerakan air, sehingga di bagian bawah
air menjadi tenang. Kemampuan lamun dalam mengurangi gerakan air dapat
ditentukan oleh jenis lamun dengan morfologi yang berbeda (Lanuru et al., 2018)
serta juga oleh kepadatan dan ketinggian kanopi lamun.
Padang lamun artifisial (lamun buatan) sekalipun mampu mengakumulasi
material-material yang mengendap, tetapi tidak mampu menstabilkannya, karena
lamun artifisial tidak mempunyai sistem perakaran, sehingga diduga bahwa
akumulasi sedimen pada dasar perairan di padang lamun artifisial lebih kecil,
sebab bahan-bahan yang telah mengendap di padang lamun artifisial dapat
terangkut lagi oleh gerakan air. Jadi, peran lamun alami dalam mengurangi
kecepatan arus dan proses pengendapan partikel tersuspensi sangat penting.
Peran lamun dalam mengurangi gerakan air sangat menguntungkan lamun itu
sendiri dan organisme yang hidup di dalamnya. Umumnya gerakan air
mempunyai pengaruh yang kuat terhadap metabolisme dan daya tahan fisik
lamun terhadap lingkungan serta berpengaruh pula pada sedimentasi dan
resuspensi (Gacia dan Duarte 2001).

8
9

2.1.2 Morfologi lamun


Lamun memiliki organ dan jaringan yang sama dengan tumbuhan
berbunga yang umum dijumpai di daratan. Hampir semua tumbuhan berbunga
yang telah dewasa, memiliki morfologi tersendiri untuk bagian di atas tanah
(above ground) dan bagian di bawah tanah (below ground). Bagian di bawah
tanah, umumnya terdiri atas akar untuk penjangkaran dan rhizome sebagai
struktur penyangga. Bagian di atas tanah biasanya merupakan tunas yang
berkembang menjadi beberapa daun. Selembar daun biasanya memiliki
pelepah/seludang daun yang berfungsi untuk melindungi apikal meristem dan
perkembangan daun (Kuo dan den Hartog, 2006; Azkab, 2006).
Berdasarkan ciri morfologinya, lamun di seluruh lautan dunia terdiri dari
dua ordo yaitu Potamogetonaceae dan Hydrocharitaceae (Assuyuti dkk., 2016).
Morfologi lamun dapat dilihat seperti pada Gambar 2

Gambar 2 Struktur morfologi lamun


a. Akar
Terdapat perbedaan morfologi dan anatomi akar yang jelas antara jenis
lamun yang dapat digunakan untuk taksonomi. Akar pada beberapa spesies
seperti Halophila dan Halodule memiliki karakteristik tipis (fragile), seperti rambut
dan diameter kecil, sedangkan spesies Thalassodendron memiliki akar yang kuat
dan berkayu dengan sel epidermal. Jika dibandingkan dengan tumbuhan darat,
akar dan akar rambut lamun tidak berkembang dengan baik. Namun, beberapa
penelitian memperlihatkan bahwa akar dan rhizoma lamun memiliki fungsi yang
sama dengan tumbuhan darat. Akar-akar halus yang tumbuh di bawah
permukaan rhizoma dan memiliki adaptasi khusus (contoh : aerenchyma, sel
epidermal) terhadap lingkungan perairan. Semua akar memiliki silinder pusat
yang dikelilingi oleh endodermis. Stele mengandung phloem (jaringan transport
nutrienm (jaringan yang menyalurkan air) yang sangat tipis. Lamun mampu untuk
menyerap nutrien dari dalam substrat (terstitial) melalui sistem akar rhizoma
(Tangke, 2010) seperti pada Gambar 3.

9
10

Gambar 3 Akar lamun

b. Rhizoma dan batang


Rhizome merupakan sistem pertumbuhan lamun secara horizontal yang
biasa disebut dengan horizontal rhizome (Hogarth, 2007). Lamun memiliki sistem
perakaran atau sistem rhizome yang luas sehingga dapat terbentuk padang
lamun. Rhizome merupakan sistem reproduksi lamun secara vegetatif yaitu
dengan fragmentasi rhizome (Hall et al., 2006 in Hogarth, 2007). Rhizome
memiliki peranan yang sangat penting sebagai penyeimbang antara hasil
fosintesis maksimum. Rhizome dan akar merupakan faktor yang sangat
menentukan pertumbuhan lamun karena berfungsi sebagai penahan vegetasi
dan penyerap unsur hara dalam sedimen (Arber, 1920 in den Hartog, 1970).
Jenis lamun yang kecil atau halus memiliki rhizome yang lentur sedangkan jenis
lamun yang berukuran lebih besar, seperti Enhalus acoroides dan Posidonia
oceanica memiliki rhizome yang relatif lebih kaku dan keras, bahkan ada yang
mengandung lignin dan menyerupai kayu (den Hartog, 1970 in Hemminga dan
Duarte, 2000). Tingkat lignifikasi rhizome lebih dikaitkan terhadap umur rhizome,
bukan dengan ukurannya (cf. Klap et al., 2000 in Hemminga dan Duarte, 2000).
Seperti yang terlihat pada gambar 4

Gambar 4 Rhizoma

Rhizoma seringkali terbenam di dalam substrat yang dapat meluas secara


ekstensif dan memiliki peran yang utama pada reproduksi secara vegetatif.
Rhizoma merupakan 60-80% biomassa lamun (Tangke, 2010). Untuk batang
lamun sendiri yaitu batang vertikal, ditemukan pada beberapa spesies adalah
poros tegak tanaman tempat daun muncul (menempel), seperti pada Gambar 4.

10
11

Sisa-sisa perlekatan daun dilihat sebagai goresan. Goresan tersebut dapat


ditutup (seluruhnya melingkari batang vertikal) atau terbuka (tidak seluruhnya
melingkari batang vertikal) (McKenzie et al., 2009).

Gambar 5 Batang lamun

2.1.3 Peran dan manfaat padang lamun


Padang lamun memiliki berbagai fungsi ekologi yang vital dalam
ekosistem pesisir dan sangat menunjang dan mempertahankan biodiversitas
pesisir dan lebih penting sebagai pendukung produktivitas perikanan pantai
(Rustam dkk., 2014). Beberapa fungsi padang lamun, yaitu:
1. Sebagai stabilisator perairan dengan fungsi sistem perakannya sebagai
perangkap dan pengstabil sedimen dasar sehingga perairan menjadi lebih
jernih;
2. Lamun menjadi sumber makanan langsung berbagai biota laut (ikan dan non
ikan);
3. Lamun sebagai produser primer;
4. Komunitas lamun memberikan habitat penting (tempat hidup) dan
perlindungan (tempat berlindung) untuk sejumlah spesies hewan; dan
5. Lamun memegang fungsi utama dalam daur zat hara dan elemenelemen
langka di lingkungan laut.
Lamun menyediakan habitat dan untuk berbagai biota laut (Daud dkk.,
2019). Padang lamun juga mempunyai peran sebagai perlindungan ikan.Ikan-
ikan penghuni musiman (seasonal resident species) dari padang lamun
bermigrasi ke Pulau berbatu dan menghabiskan masa dewasanya di daerah
tersebut (Adrim, 2006). Karakteristik lamun menjadi tempat yang baik bagi
banyak spesies ikan untuk berlindung, memijah dan mencari makan (Kholis dkk.,
2017).

2.1.4 Habitat sebaran pada lamun


Penyebaran lamun memang sangat bervariasi tergantung pada topografi
pantai dan pola pasang surut. Menurut Azkab (2006) dalam Feryatun et al.
(2012) untuk perairan tropis seperti halnya Indonesia ekosistem padang lamun
lebih dominan tumbuh dengan koloni yang terdiri dari beberapa jenis mix spesies
pada suatu kawasan tertentu. Berbeda dengan daerah dingin yang kebanyakan
didominasi satu jenis lamun (single species) (Riniatsih dkk., 2018). Pola sebaran
spasial jenis lamun yang didapatkan menunjukkan bahwa jenis Enhalus

11
12

acoroides dan Thalassia hempricii merupakan jenis yang sebarannya luas dan
biasa ditemukan sebagai spesies terdepan berdekatan dengan garis pantai
hampir pada setiap lokasi penelitian. Hal tersebut diduga jenis lamun di atas
dapat beradaptasi dengan baik pada habitat dengan rataan kedalaman 0,5-1,6
m. Menurut Kiswara (1997) Enhalus acoroides dan Thalassia hempricii termasuk
dalam kategori jenis lamun yang tumbuh di daerah dangkal dan selalu
terpapar matahari langsung dengan kedalaman kurang dari 1m saat surut
terendah.
Ganguan biologi yang ditimbulkan aktivitas hewan pengali lubang (udang,
kepeting, dan beberapa jenis ikan) serta aktivitas hewan pemakan lamun
(bintang laut, bulu babi, dan duyung). Selain ganguan alam, kerusakan
ekosistem lamun juga disebabkan oleh kegiatan manusia terutama pulau-pulau
yang dijadikan resort wisata, pemukiman dan kegiatan penambangan pasir laut.
Kondisi substrat dasar, kecerahan perairan, dan adanya pencemaran sangat
berperan dalam menentukan komposisi jenis, kerapatan jenis dan
biomasalamun. Kondisi ekosistem lamun dapat diketahui dengan melihat
persentase penutupan lamun (Nainggolan, 2011).
Di wilayah perairan Indonesia terdapat sedikitnya 7 marga dan 13 spesies
lamun, dimana penyebarannya hampir ada di seluruh pulau di Indonesia. namun
ketepatan data luasnya padang lamun masih belum ada. menurut Strategi
nasional dan Rencana Aksi Pengelolaan lahan Basah Indonesia, luas padang
lamun di Indonesia mencapai 30.000 km2. ekosistem padang lamun merupakan
habitat penting di daerah beriklim tropis. lamun merupakan satu-satunya
angiospermae atau tumbuhan berbunga yang memiliki daun, batang dan akar
sejati yang telah beradaptasi untuk hidup sepenuhnya didalam air laut (Septian &
Azizah, 2015). Berikut adalah peta sebaran jenis lamun di Indonesia.

12
13

2.2 Klasifikasi Makrozoobenthos


2.2.1 Definisi Benthos
Benthos adalah Organisme yang hidup di dasar perairan dan mendiami
kedalaman tertentu. Organisme benthos mendiami daerah intertidal dengan
kedalaman yang bervariasi. Dengan mempelajari berbagai jenis benthos, akan
diketahui berbagai jenis makhluk hidup yang ada diperairan laut. Kehidupan
benthos dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Adapun faktor yang
mempengaruhi yaitu tipe sedimen, salinitas, dan kedalaman di bawah
permukaan.

2.2.2 Makrozoobenthos
Salah satu aspek biologi yang paling sering dikaji dalam penilaian kualitas
air adalah makrozoobenthhos. Makrozoobenthos merupakan organisme yang
hidupmenetap (sesile) dan memiliki daya adaptasi yang bervariasi terhadap
kondisilingkungan (Ulum dkk., 2012). Selain itu tingkat keanekaragaman yang
terda-pat di lingkungan perairan dapat digunakan sebagai indikator pencemaran.
Makrozoobenthos sangat baik digunakan sebagai bioindikator lingkungan
perairan karena habiat hidupnya yang menetap. Hewan ini memegang beberapa
peran penting dalam perairanseperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi
material organik yangmemasuki perairan serta menduduki beberapa tingkatan
trofik dalam rantaimakanan. Makrozoobenthos dapat bersifat toleran maupun
bersifat sensitifterhadap perubahan lingkungan. Komunitas makrozoobentos
yang hidup di perairan ekosistem perairansungai dapat menggambarkan tekanan
lingkungan yang terjadi. Hal ini di karenakan habitat hidupnya berada disekitar
sedimen, terpapar langsungdengan cemaran, dan bersifat immobile atau
menetap (Sulphayrin dkk., 2018). Oleh karena itu, penilaian pada komunitas
makrozoobentos dapat digunakan sebagai bioindikator dan dapat mengevaluasi
dampak dari akumulasi logam beratyang terjadi pada suatu perairan sungai
(Gitarama et al., 2016).

2.2 Identifikasi Makrozoobenthos


2.2.1 Fungsi Makrozoobenthos
Makrozoobentos merupakan kelompok bentos berupa hewan yang
berukuran makro dan memiliki peranan penting dalam ekosistem perairan
sebagai biota kunci dalam jaring makanan dan agen degradasi bahan organik.
Kelompok hewan tersebut sensititif terhadap faktor-faktor perubahan lingkungan
dari waktu ke waktu (Ansal, 2017). Makrozoobentos merupakan salah satu
kelompok biota air yangterpenting dalam ekosistem perairan sehubungan
dengan peranannya dalam jaring makanan, dan berfungsi sebagai degradator
bahan organik. Dengankondisi demikian biota makrozoobentos memiliki fungsi
sebagai penyeimbang nutrisi dalam lingkungan perairan dan dapat juga
digunakansebagai biota indikator kondisi lingkungan perairan (Minggawati,
2013).

13
14

2.3 Komunitas makrozoobenthos padang lamun


Bentos adalah organisme yang mendiami dasar perairan atau tinggal di
dalam sedimen dasar perairan. Bentos meliputi organisme nabati yang disebut
fitobentos dan organisme hewani yang disebut zoobentos (Odum, 1993).
Hutabarat dan Evans (1985), mengklasifikasikan zoobentos berdasarkan
ukurannya yaitu: mikrofauna yaitu hewan-hewan yang mempunyai ukuran lebih
kecil dari 0,1 mm, meiofauna yaitu hewan-hewan yang mempunyai ukuran antara
0,1 - 1 mm dan makrofauna yaitu hewan-hewan yang mempunyai ukuran lebih
besar dari 1,0 mm Lind (1979). Makrozoobentos berdasarkan ukurannya terbagi
menjadi dua kelompok besar yaitu makrozoobentos dan mikrozoobentos.
Makrozoobentos adalah organisme air yang hidup dan tinggal di dasar perairan,
baik yang berada di atas maupun yang berada di bawah permukaan sedimen.
Selanjutnya dikatakan bahwa makrozoobentos merupakan hewan dasar perairan
yang tersaring oleh saringan bertingkat ukuran 0,6 mm. Pada saat mencapai
pertumbuhan maksimum, makrozoobentos akan berukuran sekurang-
kurangnya 3 hingga 5 mm (Sudarja, 1987). Berdasarkan tempat hidupnya,
makrozoobentos di bagi atas dua kelompok, yaitu: (a) epifauna adalah organisme
bentik yang hidup pada permukaan substrat; (b) infauna adalah organisme yang
hidup di substrat lunak dengan menggali lubang (Nybakken,1998). Odum (1993)
mengklasifikasikan zoobentos berdasarkan kebiasaan makannya ke dalam dua
kelompok yaitu : (a) filter-feeder yaitu hewan yang menyaring partikelpartikel
detritus yang melayang-layang dalam perairan misalnya Balanus (Crustacea),
Chaetopterus (Polyhaeta) dan Crepudia (Gastropoda). (b) deposit-feeder yaitu
hewan bentos yang memakan partikel-partikel detritus yang telah mengendap di
dasar perairan misalnya Terebella dan Amphitrile (Polychaeta), Tellina dan Arba
(Bivalvia). Pada ekosisitem ini hidup beranekaragam biota laut seperti ikan,
krustasea, moluska (Pinna sp, Lambis sp, Strombus sp), ekinodermata
(Holothuria sp, Synapta sp, Diadema sp, Linckia sp) dan cacing (Polychaeta).
Makrozoobentos yang menetap di padang lamun kebanyakan hidup pada daerah
berpasir sampai berlumpur (Jalaludin dkk., 2020). Makrozoobentos di padang
lamun hidup pada substrat dengan cara menggali dalam lumpur, berada di
permukaan substrat, ataupun menempel pada rhizoma, akar dan daun lamun.
Pada saat air surut organisme makrozoobentos mulai mencari makan. Beberapa
makrozoobentos yang umum di temui di padang lamun Indonesia adalah
makrozoobentos dari kelas Gastropoda, Krustasea, Pelecypoda dan Polychaeta.
Kehidupan makrozoobentos ini sangat menunjang keberadaan unsur hara,
karena selain mereka mengkonsumsi zat 7 hara yang berupa detritus, mereka
juga berfungsi sebagai dekomposer awal (Hutabarat dan Evans, 1985). Substrat
dasar mempunyai pengaruh terghadap komposisi dan distribusi makrozoobentos
karena merupakan salah satu faktor pembatas penyebaran organisme
makrozoobentos. Jenis substrat hubungannya dengan kandungan oksigen dan
ketersediaan nutrient dalam sedimen. Pada susbstrat pasir, kandungan oksigen
relative besar dibandingkan dengan jenis substrat yang lebih halus, hal ini
dikarenakan pada jenis substrat pasir terdapat pori udara yang memungkinkan
terjadinya pencampuran yang lebih intensif dengan air di atasnya. Namun
demikian, nutrien tidak banyak terdapat dalam substrat berpasir.
14
15

2.4 Parameter kualitas air


Faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, arus, pasang surut, karakteristik
substrat/sedimen dan kedalaman air memiliki pengaruh yang besar terhadap
struktur komunitas, pertumbuhan, morfometri, dan pola penyebaran lamun
beserta hewan laut yang berasosiasi dengannya baik secara langsung maupun
tidak langsung (Amri dkk., 2011).
2.4.1 Suhu
Suhu merupakan faktor yang sangat penting dalam mengatur kehidupan
organisme perairan karena keberadaan suatu spesies dan keadaan seluruh
kehidupan suatu komunitas cendrung bervariasi dengan berubahnya suhu
(Nurjannah & Irawan, 2013). Pengaruh suhu bagi lamun sangat besar,
diantaranya mempengaruhi fisiologi lamun seperti laju respirasi, sintesis, dan
pertumbuhan. Suhu optimal untuk pertumbuhan lamun yaitu 28 hingga 30°C.
Kelimpahan ikan juga meningkat dengan meningkatnya suhu dan bertambahnya
biomassa lamun dan sebaliknya menurun dengan menurunnya suhu dan
berkurangnya biomassa lamun, karena naik turunnya kelimpahan ikan berkaitan
dengan naik turunnya biomasa lamun dan suhu perairan (Jalaludin dkk., 2020).
oleh suhu air. Suhu sebesar 38 °C dapat menyebabkan lamun menjadi stres dan
pada suhu sebesar 48 °C dapat menyebabkan kematian. (Hidayatullah dkk.,
2018).

2.4.2 Salinitas
Faktor lain yang mempengaruhi kehidupan lamun adalah salinitas. Lamun
memiliki kemampuan toleransi yang berbeda terhadap salinitas, namun sebagian
besar toleran pada kisaran 10-40‰. Salinitas optimum untuk lamun adalah 35‰
(Aziizah dkk., 2016). Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan
fotosintesis spesies ekosistem padang lamun (Pratiwi, 2010)
2.4.3 Ph
Derajat keasaman (pH) merupakan ukuran tentang nilai kosentrasi ion
hidrogen sehingga menunjukkan apakah larutan itu bersifat asam atau basa
dalam reaksinya. Derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh yang sangat
besar terhadap organisme perairan sehingga dipergunakan sebagai petunjuk
untuk menyatakan baik buruknya suatu perairan. Kisaran pH yang optimal untuk
air laut antara 7,5-8,5. Kisaran pH yang baik untuk lamun ialah pada saat pH air
laut 7,5-8,5 , karena pada saat kondisi pH berada dikisaran tersebut maka ion
bikarbonat yang dibutuhkan oleh lamun untuk fotosintesis dalam keadaan
melimpah (Lessy & Ramili, 2018).
2.4.4 Kecepatan arus
Pada padang lamun, kecepatan arus mempunyai pengaruh yang sangat
penting. Produktivitas padang lamun tampak dari pengaruh keadaan kecepatan
arus perairan. Kecepatan arus perairan dikelompokkan berarus sangat cepat
(>100 cm/det), cepat (50-100 cm/det), sedang (25-50 cm/det), lambat (10-25
cm/det), dan sangat lambat (<10 cm/det) (Daeng, 2018).

15
16

2.4.5 Substrat
Karakteristik substrat berpengaruh terhadap struktur dan kelimpahan
lamun. Setiap jenis lamun memiliki karakteristik substrat yang sangat disukai
(Barus, 2019) . Keberadaan substrat sangat penting bagi lamun, sebagai tempat
hidup dan pemasok nutrisi. Padang lamun di Indonesia dikelompokkan dalam
enam kategori berdasarkan tipe substratnya, yaitu lamun yang hidup pada
substrat lumpur, lumpur pasiran, pasir, pasir lumpuran, puing karang, dan batu
karang (Yunitha dkk., 2014). Selain itu, karakteristik substrat dan kondisi gerakan
air (arus perairan) memepengaruhi penyebaran horizontal lamun (Oktavianti &
Purwanti, 2014).
2.4.5 Pasang surut
Pengaruh pasang surut serta struktur substrat dapat mempengaruhi
zonasi sebagian jenis lamun dan pertumbuhannya (Oktavianti & Purwanti, 2014).
Proses pasang surut yang terjadi pada suatu perairan sangat berpengaruh
terhadap distribusi dan kelimpahan biota-biota laut, hal ini dikarenakan pola
pasang surut berhubungan dengan fase bulan. Pola pasang purnama (full moon)
terjadi pada fase bulan baru dan purnama sedangkan pola pasang perbani terjadi
pada bulanseperempat dan tiga perempat, dimana kekuatan pasang yang terjadi
pada bulan purnama lebih besar dari pada kekuatan pasang bulan perbani
(Wahab dkk., 2018). Pasang surut juga mempengaruhi kecepatan arus di
ekosistem padang lamun (Latuconsina dkk., 2019).

16
17

3 METODE PRAKTIK

3.1 Waktu dan tempat praktek


Praktek akhir ini dilaksanakan pada tanggal 20 februari – 20 mei 2023 lokasi
praktik akhir ini dilaksanakan di kota Ambon Provinsi Maluku adapun peta lokasi
pelaksanaan praktik akhir adalah sebagai berikut.

Gambar 6 Peta Wilayah Lokasi Praktik Akhir

3.2 Alat dan bahan

Tabel 1 Alat dan bahan


No Jenis peralatan Spesifikasi Jumlah Kegunaan
1 Kuadran Ukuran 50 x 50 1 buah Sebagai batas
cm pengamatan
2 Meteran rol Panjang 100 m 1 buah Mengukur
panjang transek
3 Global position Garming 1 buah Menentukan
system (GPS) (akurasi 5 r) posisi

4 Kamera bawah Camera tahan 1 buah Dokumentasi


air air kegiatan praktek
5 Alat tulis kedap Pensil 2B dan 2 buah Pencatatan data
air sabak 15x25
2
cm

17
18

6 Lembar Print 1 lembar Sebagai acuan


identifikasi laminating identifikasi
7 Perlengkapan - 1 set Alat bantu
snorkling pengamatan
lamun
8 Termometer Alkohol 1 buah Mengukur suhu
ketelitian 10C, perairan
range -10-
0
110 C
9 Refraktometer Ketelitian 10/∞ 1 buah Mengukur
salinitas
10 Timbangan Ketelitian 0,001 1 buah Menimbang berat
digital gr sampel lamun
11 Sekop - 1 buah Alat bantu
mengambil
sampel sedimen
12 Plastik sampel - secukupny Alat untuk
atau toples a menyimpan
sampel
13 pH paper Kertas pH 1 kotak Mengukur pH air
paper universal
lakmus 0-14
14 label Tahan air secukupny Untuk memberi
a tanda pada
sampel lamun
15 saringan Ukuran mata 1 buah Untuk menyaring
saring makrozoobenthos

3.3 Metode pengumpulan data


Metode yang digunakan dalam penumpulan data adalah dengan cara
pengamatan langsung di lapangan. Data yang dikumpulkan adalah data primer
dan data sekunder. Data primer berupa observasi langsung di setiap stasiun
yang telah ditentukan, meliputi; identifikasi jenis, persentase penutupan dan
kerapatan lamun. Sedangkan data sekunder merupakan jenis data yang
diperoleh dari studi literatur.

3.3.1 Pengambilan data lamun


Metode yang digunakan adalah metode seagrass watch ((McKenzie et
al., 2009) Cara pengumpulan data adalah dengan mengamati dan melakukan
pengukuran langsung kondisi ekosistem lamun, dengan menggunakan “Line
Intersecpt Transect” yang merupakan garis lurus yang ditarik di atas padang
lamun, tegak lurus dari pinggir Pulau. Sedangkan kuadran adalah frame atau
bingkai berbentuk kuadran (segi empat) yang diletakan pada garis transek.
Adapun Langkah-langkah pengukuran struktur komunitas lamun menurut adalah
sebagai berikut, seperti pada Gambar

18
19

Gambar 7 Skema transek kuadran padang lamun

Keterangan:
1. Apabila luas lamun tidak mencapai 100x100 m², maka pertama
disarankan untuk mencari lokasi yang sesuai dengan kriteria disekitar
stasiun yang telah ditetapkan.
2. Apabila tidak terdapat kondisi lamun yang sesuai untuk monitoring,
panjang transek dan jarak antar transek disesuaikan dengan luas padang
lamun.
Cara kerja:
a) Titik awal transek ditandai dengan tanda permanen seperti patok besi
yang dipasangi pelampung kecil, serta keramik putih agar mudah
menemukan titik awal transek pada monitoring tahun selanjutnya.
b) Transek dibuat dengan menarik roll meter sepanjang 100 meter ke arah
tubir. Pengamat yang lain mengamati pembuatan transek agar transek
lurus.
c) Kuadran 50 x 50 cm² ditempatkan pada titik 0 m, disebelah kanan
transek. Pengamat berjalan disebelah kiri agar tidak merusak lamun yang
akan diamati.
d) Tentukan nilai persentase tutupan lamun ditentukan pada setiap kotak
kecil dalam frame kuadran, berdasarkan penilaian pada Tabel dan catat
pada lembar kerja lapangan, seperti pada Gambar 8.

Gambar 8. Nomor kotak pada kuadran 50x50 cm²

19
20

Pada setiap kotak kecil, komposisi jenis lamun dicatat dengan bantuan
panduan identifikasi lamun. Penilai penutupan lamun perjenis dapat dilihat
seperti pada Tabel 2 :

Tabel 2 Presentase tutupan lamun (Izuan et al., 2014)


No. Kategori Nilai Penutupan Lamun
1. Tutupan penuh 100
2. Tutupan ¾ kotak kecil 75

3. Tutupan ½ kotak kecil 50

4. Tutupan ¼ kotak kecil 25

5. Kosong 0

Keterangan :
1) Karakteristik substrat diamati secara visual dan dengan memilinnya
menggunakan tangan, lalu dicatat. Karakteristik substrat dibagi menjadi:
berlumpur, berpasir, rubble (pecahan karang).
2) Pengamatan dilakukan setiap 10 meter sampai meter ke-100 (0m, 10m, 20,
30m, dst.) atau sampai batas lamun, apabila luasan padang lamun kurang
dari 100 m.
3) Patok dan penanda dipasang pada titik terakhir.
4) Posisi titik terakhir ditandai dengan GPS dan catat koordinat (Latitude dan
Longitude) serta kode di GPS pada lembar kerja lapangan.

3.4 Metode analisis data


3.4.1 Lamun
Kerapatan Jenis Lamun (KJi), yaitu jumlah total individu jenis dalam suatu
unit area yang diukur, seperti pada Tabel 3. Kerapatan jenis lamun dihitung
dengan menggunakan rumus (Barus, 2019)
ni
KJi =
A

Keterangan :
KJi = Kerapatan jenis (tegakan/m²)
ni = Jumlah total tegakan spesies i (tegakan)
A = Luas daerah yang di sampling (1 m²)
21

Tabel 3 Penilaian kerapatan jenis lamun (Gosari, 2013)


NNo Kondisi Tegakan (ind/m²)
1.1 Rapat/Lebat ≥ 100 ind/m²
2.2 Sedang/kurang ≥ 50 - < 100 ind/m²
3.3 Sangat jarang < 50 ind/m²

a. Kerapatan Relatif (KR),


merupakan perbandingan antara jumlah individu jenis dan jumlah total
individu seluruh jenis. Kerapatan relatif lamun dapat dihitung dengan persamaan
(Septian dkk., 2016) :

ni
KR = × 100%
∑n
Keterangan :
KR = Kerapatan relatif (%)
ni = Jumlah individu jenis ke-i (ind/m²)
∑n = Jumlah individu seluruh jenis (ind/m²)
Frekuensi Jenis (FJi), merupakan perbandingan antara jumlah petak sampel
yang ditemukan suatu jenis lamun dengan jumlah total petak sampel yang
diamati. Frekuensi jenis lamun dapat dihitung dengan persamaan (Septian dkk.,
2016) :
Pi
FJi =
∑P
Keterangan :
FJi = Frekuensi jenis ke-i
Pi = Jumlah petak sampel tempat ditemukan jenis ke-i
∑P = Jumlah total petak sampel yang diamati

Frekuensi Relatif (FR), merupakan perbandingan antara frekuensi jenis ke-i


dengan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis. Frekuensi relatif lamun dapat
dihitung dengan persamaan

Fi
FR =
∑F

Keterangan :
FR = Frekuensi relatif (%)
Fi = Frekuensi jenis ke-i
∑F = Jumlah frekuensi untuk seluruh jenis
Penutupan Jenis (PJ), merupakan perbandingan antara luas area yang ditutupi
oleh jenis lamun ke-i dengan jumlah total area yang ditutupi lamun. Penutupan
jenis lamun dapat dihitung dengan persamaan (Septian dkk., 2016) :

21
22

ɑi
PJ =
A

Keterangan :
PJ = Penutupan jenis ke-i (%/m²)
ɑi = Luas total penutupan jenis ke-i (%)
A = jumlah total area yang ditutupi lamun (m²)

Tabel 4 Luas Area Penutupan Lamun (Kep. MNLH. No.200/2004)


No Kelas Luas Area Penutupan % Penutupan Area
1 5 ½ - penuh 50 – 100
2 4 ¼-½ 25 – 50
3 3 1/8 – ¼ 12,5 – 25
4 2 1/16 – 1/8 6,25 – 12,5
5 1 <1/16 <6,25
6 0 Tidak ada 0

b. Penutupan Relatif (PR)


Yaitu perbandingan antara penutupan individu jenis ke-i dan total
penutupan seluruh jenis. Penutupan relative lamun dapat dihitung dengan
pesamaan (Firmana, 2018)
Pi
PR =
P
Keterangan :
PR = Penutupan relatif (%/m²)
Pi = Penutupan jeni ke-i (%/m²)
P = Penutupan seluruh jenis lamun (%/m²)

Tabel 5 Status Padang Lamun (Kep. MNLH. No.200/2004)


No Kondisi Penutupan (%)
1 Baik Kaya/Sehat ≥ 60
Kurang
2 Sedang Kaya/kurang 30 - 59,9
sehat
3 Rusak Miskin ≤ 29,9

c. Indeks Nilai Penting (INP)


Digunakan untuk menghitung keseluruhan dari peranan jenis lamun di
dalam satu komunitas. Rumus yang digunakan untuk menghitung indeks nilai
penting adalah

INP = FR + KR + PR
23

Keterangan :
INP = Indeks nilai penting
FR = Frekuensi relatif
KR = Kerapatan relatif
PR = Penutupan relatif

Indeks Keanekaragaman, keanekaragaman jenis lamun dihitung menggunakan


indeks keanekaragaman Shannon-Weaner (Odum et al., 1971):
H ' = Pi log 2 Pi
Keterangan :
H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon Weaner
Pi = 𝑛𝑖/𝑁 (peluang spesies i dari total individu)

Indeks keanekaragaman ditentukan dengan kriteria H’<H’3 = keanekaragaman


tinggi.
Indeks Keseragaman Indeks keseragaman lamun dapat dihitung dengan rumus
(Odum et al., 1971) :
H'
e=
H max
Keterangan :
e = Indeks keseragaman
H’ = Indeks Keanekaragaman
H max = Log2 (S) S = Jumlah spesies
Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0 – 1, dengan kategori, e < 0.4 =
Keseragaman kecil; 0,4< e < 0.6 = Keseragaman sedang; e > 0,6 =
Keseragaman besar.
Indeks Dominansi Rumus indeks dominansi (Odum et al., 1971) dihitung dengan
rumus dihitung dengan rumus :
ni
C = ∑( )2
N
Keterangan:
C = Indeks dominansi
Ni = Jumlah individu spesies-i
N = Jumlah individu seluruh spesies
Kategori indeks dominansi lamun dibagi atas 3, yaitu 0,00< C ≤ 0,50 termasuk
kedalam kategori rendah; 0,50 < C ≤ 0,75 termasuk kedalam kategori sedang,
nilai indeks dominansi 0,75 < C ≤ 1,00 termasuk kedalam kategori tinggi.

3.4.2 Makrozoobenthos
Identifikasi Jenis Spesies
Kelimpahan Spesies, sebagai jumlah individu per satuan luas atau volume
(Widianingsih dkk., 2021), yang dirumuskan sebagai berikut:

23
24

Ind Jumlah individu suatu jenis


Kepadatan ( 2
)=
m Luas plot pengamatan

3. Indeks keanekaragaman
Indeks yang digunakan untuk menentukan keanekaragaman spesies adalah
indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H'), dengan rumus sebagai berikut
menurut (Shannon and Wiener 1949 dalam (Widianingsih dkk., 2021)) :
H ' = -Pi In (Pi)
Keterangan
H’ = Indeks Keanekaragaman
Pi = Proporsi jumlah individu (ni/N).
Kriteria indeks keanekaragaman (H') (Shannon and Wiener, 1949 dalam
(Widianingsih dkk., 2021)):
1. H’ < 1 = rendah, produktivitas sangat rendah sebagai indikasi adanya tekanan
yang berat dan ekosistem tidak stabil

2. < H’ < 3 = sedang, produktivitas cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang,


tekanan ekologis sedang.

3. H’ > 3,0 = tinggi ekosistem, stabilitas ekosistem mantap, produktivitas tinggi,


tahan terhadap tekanan ekologis.

4. Indeks keseragaman yang digunakan menurut (Krebs, 1989 dalam


(Widianingsih dkk., 2021)), sebagai berikut:

H'
E=
InS
Keterangan:
E = Indeks keseragaman
H' = Indeks keanekaragaman
S = jumlah spesies
Kriteria hasil nilai indeks keseragaman adalah:
1. E < 0.4 : Keseragaman rendah, berarti ekosistem berada dalam kondisi dan
keseragaman tertekan.
2. E < 0.6 : Keseragaman sedang, berarti ekosistem berada dalam kondisi
kurang stabil.
3. E > 0.6 : Keseragaman tinggi, berarti ekosistem berada dalam kondisi
stabil.

5. Dominansi spesies dinyatakan dalam indeks dominansi Simpson


(Widianingsih dkk., 2021), sebagai berikut:

(ni)2
D=
N
Keterangan:
D : Indeks dominasi
ni : Jumlah individu spesies ke-i
N : Jumlah total individu dari seluruh spesies
25

Kriteria nilai indeks dominasi, yaitu:


1. 0 < D < 0,5 : Dominasi rendah (tidak terdapat spesies yang secara
ekstrim mendominasi spesies lainnya), kondisi lingkungan stabil, dan
tidak terjadi tekanan ekologis terhadap biota di lokasi tersebut.
2. 0,5 < D < 0,75 : Dominasi sedang, kondisi lingkungan cukup stabil
3. 0,75 < D < 1,0 : Dominasi tinggi (terdapat spesies yang mendominasi
spesies lainnya), kondisi lingkungan tidak stabil dan terdapat suatu
tekanan ekologi.
3.4.3 Hubungan Tutupan Lamun dan kelimpahan mikrozoobenthos

Untuk mengetahui apakah ada tidaknya hubungan antara kerapatan lamun


terhadap kelimpahan makrozoobenthos digunakan analisis regresi linier
sederhana yang digunakan untuk memprediksi pengarauh variabel bebas
terhadap variabel terikat, degan menggunakan bantuan Software Statistical For
Social Science (SPSS) (Wajuna, 2018). Analisis regresi juga dapat dilakukan
untuk mengetahui linearitas variabel terikat dengan variabel bebasnya (Vindia
dkk., 2018).

Y = a + bx

Keterangan :
Y : Variabel dependen (Variabel Terikat)
X : Variabel independen (Variabel Bebas)
a : Konstanta regresi
b : Kemiringan garis regresi
Adapun untuk mengetahui hubungan antara kerapatan lamun terhadap
kelimpahan makrozoobenthos digunakan koefisien korelasi (r) dimana nilai r
berbeda antara 0-1. (Wicaksono dkk., 2012)
Menurut Razak (1991), kriteria nilainya adalah:
 0,0±0,20 = Hubungan sangat lemah
 0,21±0,40 = Hubungan lemah
 0,40±0,79 = Hubungan sedang
 0,70 ±0,90 = Hubungan kuat
 0,90±1,00 = Hubungan sangat kuat

25
26

4. RENCANA DAN ANGGARAN KEGIATAN


4.1 Rencana kegiatan
Pelaksanaan Praktik Akhir ini akan dilaksanakan selama 3 bulan yaitu dari
Bulan Februari – Mei 2023, di Kota Ambon, Provinsi Maluku. Adapun rencana
kegiatan yang akan di lakukan selama pelaksanaan praktk akhir, dapat dilihat
pada tabel berikut:

Kegiatan Februari Maret April Mei


1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Penyusunan
Proposal
Studi Pustaka
Seminar proposal
Keberangkatan
dan Pengenalan
lokasi praktik akhir
Pelaksanaan
Kegiatan Praktik
Analisis Data
Penyusunan
Laporan

4.2 Anggaran Kegiatan


Adapun rincian biaya yang dibutuhkan selama kegiatan praktik akhir
dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1.Biaya transportasi
Jakarta-Maluku (PP) Rp.2.000.000
3 .Makan (Rp.15.000 x 3 kali x 90 hari) Rp.4.000.000
4 .Penyusunan proposal Rp.300.000,
5. Penginapan Rp500.000 x 3 bulan Rp.1.500.000
6 .Perlengkapan Alat Rp.500.000
7. Lain-lain (biaya tak terduga) Rp.500.000
Jumlah Rp.8.800.000

26
DAFTAR PUSTAKA

Adrim, M. (2006). ASOSIASI IKAN DI PADANG LAMUN. 4, 7.


Amri, K., Setiadi, D., Qayim, I., & Djokosetiyanto, D. (2011). Dampak aktivitas
antropogenik terhadap kualitas perairan habitat padang lamun di
Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Universitas Hasanuddin.[Skripsi].
Ansal, M. H. (2017). Struktur Komunitas Padang Lamun di Perairan Kepulauan
Waisai Kabupaten Raja Ampat Papua Barat. Jurnal Ilmu Alam dan
Lingkungan, 8(1).
Ario, R., Riniatsih, I., Pratikto, I., & Sundari, P. M. (2019). Keanekaragaman
Perifiton pada Daun Lamun Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata
di Pulau Parang, Karimunjawa. Buletin Oseanografi Marina, 8(2), 116.
https://doi.org/10.14710/buloma.v8i2.23274
Assuyuti, Y. M., Rijaluddin, A. F., Ramadhan, F., & Zikrillah, R. B. (2016).
Estimasi jumlah biomassa lamun di Pulau Pramuka, Karya dan Kotok
Besar, Kepulauan Seribu, Jakarta. Depik, 5(2).
Aziizah, N. N., Siregar, V. P., & Agus, S. B. (2016). Analisa spasial luas tutupan
lamun di Pulau Tunda Serang, Banten. Omni-Akuatika, 12(1).
Barus, M. B. (2019). Studi Tentang Tutupan dan Kerapatan Lamun di Pulau
Poncan Gadang Kota Sibolga Provinsi Sumatera Utara [PhD Thesis].
Universitas Sumatera Utara.
Daeng, B. (2018). Keterkaitan Jenis Dan Kerapatan Lamun Dengan Tekstur
Sedimen Di Dusun Biringkassi Desa Sapanang Kecamatan Binamu
Kabupaten Jeneponto. Skripsi Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Universitas Hasanuddin. Makassar, 43.
Daud, M., Pin, T. G., & Handayani, T. (2019). The spatial pattern of seagrass
distribution and the correlation with salinity, sea surface temperature, and
suspended materials in Banten Bay. IOP Conference Series: Earth and
Environmental Science, 243, 012013. https://doi.org/10.1088/1755-
1315/243/1/012013
EKOSISTEM PADANG LAMUN (manfaat, fungsi, rehabilitasi).pdf. (t.t.).
Firmana, Y. (2018). Studi Persentase Tutupan Lamun Di Pantai Gatra, Malang,
Jawa Timur [PhD Thesis]. Universitas Brawijaya.
Gultom, C. R., Muskananfola, M. R., & Purnomo, P. W. (2018). Hubungan
kelimpahan makrozoobenthos dengan bahan organik dan tekstur
sedimen dikawasan mangrove di Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak. Management of Aquatic Resources Journal
(MAQUARES), 7(2), 172–179.
Hidayatullah, A., Sudarmadji, S., Ulum, F. B., Sulistiyowati, H., & Setiawan, R.
(2018). Distribusi Lamun di Zona Intertidal Tanjung Bilik Taman Nasional
Baluran Menggunakan Metode GIS (Geographic Information System).
BERKALA SAINSTEK, 6(1), 22–27.
Izuan, M., Viruly, L., & Raza’i, T. S. (t.t.). Kajian Kerapatan Lamun Terhadap
Kepadatan Siput Gonggong (Strombus epidromis) di Pulau Dompak. 14.
28

Jalaludin, M., Octaviyani, I. N., Putri, A. N. P., Octaviyani, W., & Aldiansyah, I.
(2020). Padang lamun sebagai ekosistem penunjang kehidupan biota laut
di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Indonesia. Jurnal Geografi Gea,
20(1), 44–53.
Kholis, N., Patria, M. P., & Soedjiarti, T. (2017). Composition and diversity of fish
species in seagrass bed ecosystem at Muara Binuangeun, Lebak,
Banten. 030119. https://doi.org/10.1063/1.4991223
Latuconsina, H., Padang, A., & Ena, A. M. (2019). Iktiofauna di Padang Lamun
Pulau Tatumbu Teluk Kotania, Seram Barat–Maluku. Agrikan: Jurnal
Agribisnis Perikanan, 12(1), 93–104.
Lessy, M. R., & Ramili, Y. (2018). Restorasi lamun; studi transplantasi lamun
Enhalus acaroides di perairan pantai Kastela, Kota Ternate. Jurnal Ilmu
Kelautan Kepulauan, 1(1).
Litaay, M., Priosambodo, D., Asmus, H., & Saleh, A. (2007). Makrozoobentos
yang Berasosiasi dengan Padang Lamun diperairan Pulau Barrang
Lompo, Makassar, Sulawesi Selatan. Berita Biologi, 8(4), 299–305.
McKenzie, L. J., Yoshida, R. L., Mellors, J. E., & Coles, R. G. (2009). Seagrass-
watch. Proceedings of a Workshop for Monitoring Seagrass Habitats in
Indonesia. The Nature Concervancy, Coral Triangle Center, Sanur, Bali
(ID), 9th Mei.
Nainggolan, P. (t.t.). DISTRIBUSI SPASIAL DAN PENGELOLAAN LAMUN
(SEAGRASS) DI TELUK BAKAU, KEPULAUAN RIAU. 96.
NURFALAH, S. (2016). Korelasi Sedimen Dasar Dengan Struktur Komunitas
Lamun Di Pantai Sindangkerta Kabupaten Tasikmalaya [PhD Thesis].
FKIP UNPAS.
Nurjannah, M., & Irawan, H. (2013). Keanekaragaman Gastropoda Di Padang
Lamun Perairan Kelurahan Senggarang Kota Tanjungpinang Provinsi
Kepulauan Riau. Repository UMRAH.
Oktavianti, R., & Purwanti, F. (2014). Kelimpahan echinodermata pada ekosistem
padang lamun di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Jakarta.
Management of Aquatic Resources Journal (MAQUARES), 3(4), 243–
249.
Pratiwi, R. (2010). Asosiasi Krustasea di ekosistem padang lamun perairan Teluk
Lampung. ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences,
15(2), 66–76.
Riniatsih, I., Hartati, R., Redjeki, S., & Endrawati, H. (2018). Studi
keanekaragaman makrozoobentos pada habitat lamun hasil transplantasi
dengan metode ramah lingkungan. Jurnal Kelautan Tropis, 21(1), 29–36.
Rustam, A., Kepel, T. L., Afiati, R. N., Salim, H. L., Astrid, M., Daulat, A.,
Mangindaan, P., Sudirman, N., Puspitaningsih, Y., & Dwiyanti, D. (2014).
Peran ekosistem lamun sebagai blue carbon dalam mitigasi perubahan
iklim, studi kasus Tanjung Lesung, Banten. Jurnal Segara, 10(2), 107–
117.
Seagrasswatch Proceedings of a workshop for monitoring seagrass habitats in
Indonesia.pdf. (t.t.).
29

Septian, E. A., & Azizah, D. (t.t.). TINGKAT KERAPATAN DAN PENUTUPAN


LAMUN DI PERAIRAN DESA SEBONG PEREH KABUPATEN BINTAN.
15.
Septian, E. A., Azizah, D., & Apriadi, T. (2016). Tingkat Kerapatan dan
Penutupan Lamun di Perairan Desa Sebong Pereh Kabupaten Bintan.
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Sulphayrin, S., Ola, L. O. L., & Arami, H. (2018). Komposisi dan Jenis
Makrozoobenthos (Infauna) Berdasarkan Ketebalan Substrat pada
Ekosistem Lamun di Perairan Nambo Sulawesi Tenggara. Jurnal
Manajemen Sumber Daya Perairan, 3(4), 343–352.
Tangke, U. (2010). Ekosistem padang lamun (manfaat, fungsi dan rehabilitasi).
Agrikan: Jurnal Agribisnis Perikanan, 3(1), 9–29.
Ulum, M. M., Widianingsih, W., & Hartati, R. (2012). Komposisi dan Kelimpahan
Makrozoobenthos Krustasea di Kawasan Vegetasi Mangrove Kel.
Tugurejo, Kec. Tugu, Kota Semarang. Journal of marine research, 1(2),
243–251.
Vindia, W. I., Julyantoro, P. G. S., & Wulandari, E. (2018). Asosiasi
Echinodermata pada Ekosistem Padang Lamun di Pantai Samuh, Nusa
Dua, Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 5(1), 100.
https://doi.org/10.24843/jmas.2019.v05.i01.p13
Wahab, I., Madduppa, H., & Kawaroe, M. (2018). Perbandingan kelimpahan
makrozoobentos di ekosistem lamun pada saat bulan purnama dan
perbani di Pulau Panggang Kepulauan Seribu Jakarta. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis, 10(1), 217–229.
Wajuna, W. (2018). Studi Tutupan dan Kerapatan Lamun di Pesisir Pantai
Pandaratan Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara [PhD
Thesis]. Universitas Sumatera Utara.
Wicaksono, S. G., Widianingsih, W., & Hartati, S. T. (2012). Struktur vegetasi dan
kerapatan jenis lamun di perairan Kepulauan Karimunjawa Kabupaten
Jepara. Journal of Marine Research, 1(2), 1–7.
Widianingsih, W., Hartati, R., Endrawati, H., Mahendrajaya, R. T., & Soegianto,
A. (2021). Redescription of Stichopus monotuberculatus (Echinodermata,
Holothuroidea, Stichopodidae) of Parang Island, Karimunjawa
Archipelago, Central Java, Indonesia. 6.
Yunitha, A., Wardiatno, Y., & Yulianda, F. (2014). Diameter substrat dan jenis
lamun di pesisir Bahoi Minahasa Utara: Sebuah analisis korelasi. Jurnal
Ilmu Pertanian Indonesia, 19(3), 130–135.

29
30

30

Anda mungkin juga menyukai