Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN FMEA PELAYANAN FARMASI

DENGAN MENERAPKAN METODE FMEA


(FAILURE MODE AND EFFECT AFFECT)

RS Islam “Ibnu Sina” YARSI SUMBAR Padang Panjang


Jl. Soekarno-Hatta No. 17 Padang Panjang
Telp. (0752) 82127 – Fax (0752)83997
Sumatera Barat

2019
LAPORAN PADA PELAYANAN FARMASI DENGAN MENERAPKAN METODE
FMEA (FAILURE MODE AND EFFECT AFFECT) TAHUN 2019

A. Latar Belakang
Pelayanan farmasi merupakan wilayah berisiko tinggi dalam menunjang mutu
sebuah pelayanan kesehatan. Rumah Sakit Islam Ibnu Sina Padang merupakan rumah
sakit yang merespon gerakan sistematis dalam pelayanan yang berfokus pada
keselamatan pasien dan salah satunya adalah menekan kejadian medication error yang
masih sering terjadi.
Dalam hal ini RS Islam “Ibnu Sina” YARSI SUMBAR Padang Panjang, berupaya
untuk melakukan evaluasi dan monitoring terhadap resiko yang ditimbulkan di
pelayanan farmasi. Beberapa permasalahan yang timbul pada proses penggunaan obat
muncul karena kurangnya evaluasi dan monitoring terhadap proses penggunaan obat
pada pelayanan farmasi RS Islam “Ibnu Sina” YARSI SUMBAR Padang Panjang.
Sesuai dengan kebutuhan akreditasi rumah sakit, maka setiap rumah sakit berkewajiban
untuk menghitung, mengevaluasi dan memonitoring pelaksanaan mutu yang ada
disetiap unit yang ada di rumah sakit termasuk farmasi.

B. Tujuan
 Mengidentifikasi resiko medication error pada proses penggunaan obat di unit
pelayanan farmasi
 Merancang desain manajemen risiko pelayanan farmasi
 Mengembangkan pelaksanaan redesain manajemen risiko

C. Proses Pemilihan
Proses pemilihan resiko mana yang akan dijadikan FMEA dimulai dengan identifikasi
risiko dari masing-masing unit kerja di lingkungan RS Islam “Ibnu Sina” YARSI
SUMBAR Padang Panjang. Identifikasi risiko dilakukan dengan melihat potensi adanya
kejadian yang berdampak negatif dan mempengaruhi tujuan yang ingin dicapai rumah
sakit. Kemudian ditentukan prioritas risiko untuk membantu proses pengambilan
keputusan berdasarkan hasil analisis risiko. Analisis risiko dilakukan dengan menghitung
semua probabilitas kejadian (Probability/ Occurrence /Peluang), seringnya terjadi
(Severity / Frekuensi/), dengan besaran dampak (Detection/Akibat) serta scoring/ tingkat
resiko.
RPN (Risk Priority Number) Score / CI (Criticality Index)
Computer criticality index (CI) :
Occurrence X Severity X Detection

FMEA
Occurrence/Probability/ FREKWENSI/Peluang

Severity/DAMPAK

Detection/Akibat

FMEA
Berikut adalah daftar risiko yang menjadi prioritas di masing-masing unit kerja:
Daftar Risiko di masing-masing unit kerja
Unit Failure Mode Occ Sev Det RPN
Rajal Salah identifikasi Pasien 4 3 3 36
Ranap Insiden terkait pelayanan Pasien
4 4 3 48
(Selama Perawatan)
IGD Kekurangan Tenaga Jika Pasien 3 3 4 36
IGD rami
KB dan Perina kehilangan Bayi/Penculikan bayi 5 3 2 30

Farmasi Insiden terkait pelayanan Farmasi 5 4 5 100


(salah pemberian obat
RAJAL/RANAP,Medication
error ,dll)
Laboratorium Resiko tertusuknya jarum bekas 4 5 3 60
pakai
RADIOLOGI Film rusak sebelum dipakai 4 3 4 48
karena terkena cahaya
MR Kehilangan Status 4 4 5 80

Sistem Server bermasalah 5 3 3 45


Informasi/ IT
FISIOTHERAPY Kerusakan alat Fisiotherapy Jika 4 3 4 48
listrik sering mati-mati dan
tidak stabil
Dari seluruh daftar risiko yang ada di unit kerja, unit farmasi menjadi prioritas untuk
FMEA.
D. Manajemen Resiko Pada Pelayanan Farmasi
Resiko munculnya kejadian/Insiden medication error yang potensial meliputi :
1. Proses peresepan
2. Tindakan yang terkait dengan pemilihan, penyiapan dan penggunaan obat.
3. Sistem penggunaan obat
4. Peresepan dan catatan tindakan yang terkait pemilihan, penyiapan, penggunaan
obat.
5. Laporan kegiatan harian di unit farmasi.

FMEA
Petugas yang akan diamati : Dokter, Apoteker dan Asisten Apoteker
E. Tim FMEA
Tim FMEA terdiri dari
Ketua : dr. Adri Buthia (Kabid. Lay. & Manaj. Risiko, Ketua Komite
PMKP)
Sekretaris : Lili Indriani, S.Farm, Apt (Kainst. Penunjang Medis)
Anggota : 1. Ns. Agusnaldi, S.Kep (Kasie Manaj. Risiko)
2. dr. Fuadi Sazli (Kasie Pelayanan Medis & Ketua PFT (Panitia
Farmasi dan Terapi)
3. dr. Wahyudi Firmana (Ketua Tim Pasien Safety)
4. Ns. Harpendi Yunita, S.Kep (Kasie Keperawatan & Tim PMKP)
5. Meta Sukma Wardani, S.Farm, Apt (PJ. Farmasi)
6. Egi Evanda, Amd. Farm (Pelaksana Farmasi)
7. Yulia Detti Amd.Kep (Karu Poliklinik)
8. Ns. Fitria Afriani, S.Kep (Tim Pasien Safety & Perawat
Ruangan)

F. Penerapan Metode FMEA


Metode yang digunakan dalam pengukuran manajemen resiko di medication error
pelayanan farmasi Rumah Sakit Islam “Ibnu Sina” YARSI SUMBAR Padang Panjang
adalah metode FMEA (Failure Mode and Effect Affect).
Metode FMEA diuraikan atas 4 tahap sebagai berikut :
1. Tahap Diagnosing
Tahap diagnosing merupakan tahap untuk mengetahui apakah kejadian medication
error pada proses pelayanan farmasi secara umum telah terjadi, dan pada tahap ini
dilakukan langkah FMEA 1 sampai dengan 5 yaitu :
a. Memilih faktor yang berisiko tinggi dan membentuk Tim
b. Menyusun flowchart proses pelayanan
c. Menentukan kemungkinan penyebab kegagalan
d. Menetapkan kemungkinan tingkat keparahan dan efek kegagalan dengan
scoring (Risk Priority Number)
e. Melakukan identifikasi masalah dengan fishbone.

FMEA
Hasil yang didapatkan bahwa dari data sekunder diketahui bahwa data mengenai
KTC selama 1 tahun yaitu pada tahun 2018 :
- Diketahui bahwa yang tercatat paling potensial terjadi kesalahan adalah pada
unit farmasi dengan kesalahan obat terjadi 5 kali.
- Salah serah obat 5 kali dan salah pemberian etiket 3 kali.

Dari kejadian ini maka ditetapkan bahwa unit pelayanan farmasi memiliki potensial
risiko yang tinggi dengan setidaknya lima sebab yaitu :
a. Pelayanan farmasi menimbulkan komplain yang lebih besar.
b. Setiap proses pelayanan farmasi tergantung intervensi dari petugas farmasi
c. Langkah-langkah dalam proses penyiapan obat terkait satu sama lain
d. Apabila ada kesalahan dalam proses penyiapan obat pada pelayanan farmasi
tidak dapat langsung ditangani
e. Kontrol yang rendah dari petugas farmasi karena langsung berhadapan dengan
pasien(Rawat Jalan).

Kemudian dilakukan dengan menetapkan kemungkinan tingkat keparahan dan efek


kegagalan (risk priority number).
Pada langkah menetapkan tingkat keparahan dan efek kegagalan ini tim
memulai menentukan tingkat keparahan (severity) dengan berupa skor untuk
masalah sistem utama dan menengah dan juga luka ringan dan berat, selanjutnya
melakukan skor frekuensi terjadinya suatu kemungkinan kegagalan (occurance)
yaitu :
- Bila kemungkinannya kecil diberi skor 1 dari 100.000 kesempatan atau
kemungkinannya terjadi tinggi diberi skor 1 dari 10.
o Kemudian melanjutkan dengan melakukan skor terhadap kemudahan untuk
di deteksi (detectable). Adapun hasil yang didapatkan, RPN tertinggi
adalah pada kegagalan dalam membaca obat dengan nilai sebesar 294
(occurance =7, severity = 7,dan detectable 6),
o Validasi resep yaitu pada kegagalan dalam komunikasi dengan dokter
memiliki nilai skoring RPN sebesar 216 (occurance =6, severity=6 dan
detectable =6).

FMEA
Kedua proses ini yang akan menjadi prioritas untuk melakukan desain yang
harapannya dapat meminimalkan risiko terjadinya kesalahan dalam proses
pelayanan di Unit farmasi.

FMEA
Kemungkinan Penyebab Kegagalan di Setiap Alur Proses Pelayanan Unit Farmasi
Proses (langkah) Failure Mode Cause Failure Effect Failure Keparahan Frekuensi Kemungkinan
Kejadian di deteksi
1. Menerima resep Apoteker gagal mendeteksi Tidak dilakukan skrining Pasien mendapatkan obat yang salah, Sedang Jarang Susah dideteksi
kesalahan identitas pasien (salah identitas pasien, resep waktu tunggu pasien lama.
nama pasien, tertukar resep pasien) langsung diletakkan di kotak, Proses lain menjadi terhambat
tidak ada tatap muka, tidak
ada komunikasi. Tidak ada
petugas jaga yang di loket
penerimaan.
2. Telaah resep 1. Kegagalan dalam membaca Tulisan dokter yang tidak Salah dalam penyiapan obat, terapi Parah Jarang Mudah dideteksi
nama obat jelas, petugas yang kurang tidak sempurna, kesalahan dalam
2. Kegagalan dalam menteksi berpengalaman (kompetensi penggunaan dosis.
jumlah obat kurang), kurang teliti
3. Kegagalan dalam mendeteksi
cara penggunaan
4. Kegagalan dalam mendeteksi
petunjuk khusus
5. Kegagalan dalam perhitungan
dosis
3. Konfirmasi ke Kegagalan komunikasi dengan Adanya rasa sungkan dan Akan terjadi salah interpretasi resep Parah Jarang Susah dideteksi
dokter penulis dokter ketakutan oleh petugas apotek sehingga mengakibatkan salah dosis,
resep untuk konfirmasi ke dokter. salah obat, salah aturan pakai.
Dokter lupa karena banyak
sekali pasien.
4. Buat nota 1. Kegagalan dalam entri data Kurang teliti petugas. Biaya tinggi, biaya tidak tertagihkan. Tidak parah Jarang Mudah dideteksi
2. Kegagalan memberikan harga
kategori pasien.
5. Pelayanan resep Kegagalan dalam penghitungan Kurang teliti dalam Lama waktu tunggu, salah peracikan, Tidak parah Tidak sering Mudah dideteksi
di bagian dosis menghitung dosis dosis tidak sesuai peresepan
peracikan
6. AA mengambil/ 1. Kegagalan dalam mengambil Letak obat yang berdekatan, Kegagalan pengobatan/terapi, parah sering
meracik obat obat nama obat yang hampir sama, penyembuhan yang tidak berhasil,
2. Kegagalan dalam meracik obat kurangnya kompetensi adanya efek samping.
3. Kegagalan dalam menimbang petugas.
dan mengukur Letak penyimpanan yang
4. Kegagalan dalam penggunaan belum rapi, Belum semua ada
pelarut penanda nama obat yang
5. Kegagalan dalam pembagian mirip, alat tidak dikalibrasi.
obat racikan
7. Membuat etiket 1. Kegagalan dalam menulis Kurang kompetensi, ruangan Kesalahan dosis pemakaian obat, Parah Jarang Mudah dideteksi
aturan pakai yang gelap, tulisan terlalu kesalahan aturan pakai.
2. Kegagalan dalam menempel kecil, petugas kurang teliti.
etiket
3. Kegagalan dalam pembelian
label
4. Kegagalan dalam pengentrian
etiket
8. Apoteker/ AA Ketidaksesuaian obat yang diambil Beban kerja yang tinggi, tidak Dapat terjadi salah pasien, tertukar Tidak Parah Jarang Mudah dideteksi
menyerahkan obat dengan permintaan resep teliti. obat.
ke bagian
penyerahan
9. Telaah Obat Tidak dilakukan telaah obat Kelelahan karena proses yang Dapat terjadi salah obat, salah pasien, Parah Jarang Mudah dideteksi
cukup panjang, beban kerja salah etiket, salah pemberian obat
tinggi, kurang teliti petugas
10. Apoteker 1. Kegagalan dalam memberikan Kurang teliti apoteker, nama Kegagalan pengobatan, pasien Parah Sering Sulit dideteksi
menyerahkan obat informasi yang mirip, beban kerja yang semakin parah, pasien tidak sembuh,
kepada pasien 2. Kegagalan dalam meberikan tinggi, pasien terlalu banyak, pasien tidak mendapatkan informasi,
obat (salah obat) tempat tidak representatif pasien mengonsumsi obat yang salah
3. Kegagalan dalam pemberian
ke pasien (salah pasien).

FMEA
Menetapkan kemungkinan tingkat keparahan dan efek kegagalan kepada pasien
tersebut (critical index)
Tahapan proses Kegagalan OCC SEV DET RPN Prioritas
1. Menerima resep 1. Apoteker gagal mendeteksi 2 5 3 30
kesalahan identitas pasien (salah
nama pasien, tertukar resep
pasien)
2. Telaah resep 1. Kegagalan dalam membaca 7 7 6 294 1
nama obat
2. Kegagalan dalam mendeteksi 1 2 7 14
jumlah obat
3. Kegagalan dalam mendeteksi 4 5 6 120
cara penggunaan
4. Kegagalan dalam mendeteksi 7 3 6 126
petunjuk khusus
5. Kegagalan dalam perhitungan 5 5 6 150
dosis
3. Konfirmasi ke dokter 1. Kegagalan komunikasi dengan 6 6 6 216 2
penulis resep dokter
4. Buat nota 1. Kegagalan dalam entri data 5 3 2 30
2. Kegagalan dalam pemberian 2 3 2 12
harga obat
3. Kegagalan memberikan harga 3 2 2 12
kategori pasien.
5. Penyerahan resep ke 1. Kegagalan dalam penyerahan 1 1 1 1
bagian peracikan resep ke bagian peracikan
6. AA 1. Kegagalan dalam mengambil 4 7 6 168 3
mengambil/meracik obat
obat 2. Kegagalan dalam meracik obat 5 3 3 45
3. Kegagalan dalam menimbang 2 5 7 70
dan mengukur
4. Kegagalan dalam pembagian 2 6 3 36
obat racikan
7. Membuat etiket 1. Kegagalan dalam menulis aturan 3 4 6 72
pakai
2. Kegagalan dalam menempel 2 2 2 8
etiket
8. Apoteker/ AA 1. Kegagalan dalam penyerahan 2 2 2 8
menyerahkan obat ke obat ke bagian penyerahan
bagian penyerahan
9. Telaah Obat 1. Tidak dilakukan koreksi 7 5 2 70
10. Apoteker 1. Kegagalan dalam memberikan 4 6 7 168 5
menyerahkan obat informasi
kepada pasien 2. Kegagalan dalam memberikan 3 8 7 168 4
obat (salah obat)
3. Kegagalan dalam pemberian ke 3 8 4 96
pasien (salah pasien).

Langkah selanjutnya setelah dilakukan identifikasi masalah dari kegagalan dengan RPN
yang tertinggi dengan model diagram fish bone yaitu untuk menentukan penyebab
kegagalan setiap proses pelayanan farmasi rawat jalan akan dilakukan dengan metode fish
bone sebagai berikut :
Man Material

- Tulisan dokter tidak/sulit terbaca - LASA


- Petugas Farmasi kurang teliti - belum baiknya penandaan obat mirip
- Karakter yang tergesa-gesa LASA
Kegagalan
- Kurang kompetensi - Letat penyimpanan yang belum rapi
- Petugas salah interpretasi Dalam
Membaca
Nama Obat
Methode Environment
e
- SPO tidak dijalankan - tidak tersedianya tempat yang representatif
- Tidak adanya mekanisme crosscheck - suhu ruangan kurang nyaman
Antar petugas farmasi - jumlah pasien yang banyak
- Informasi tentang obat baru kurang memadai

Metode Fish Bone


2. Tahap Planning Action
Tahap planning action adalah tahap melakukan langkah FMEA yang ke-6 yaitu
pada tahap ini pengumpulan data dilakukan dengan cara untuk melakukan design
ulang pada setiap failure mode. Adapun desain ulang yang akan dilakukan adalah :
a. Untuk kegagalan dalam membaca nama obat disebabkan oleh tulisan dokter
yang tidak jelas, cara penulisan belum benar (seperti masih menggunakan
singkatan istilah yang tidak baku) dapat diminimalisir dengan melakukan
sosialisasi dan edukasi ketentuan penulisan resep kepada para dokter
melalui Tim Farmasi dan Terapi, pelatihan penulisan resep yang benar bagi
para dokter, dan memperjelas tulisan bagi dokter serta tersedia daftar
singkatan. Jika disebabkan oleh petugas farmasi seperti petugas kurang
berpengalaman, dapat dengan mengadakan pelatihan/pendampingan bagi
karyawan baru farmasi.
b. Untuk kegagalan dalam komunikasi dan konfirmasi ulang dengan dokter
dapat dengan memperbaiki komunikasi dengan dokter yaitu dengan
dibuatnya SPO komunikasi dengan dokter dan SPO konfirmasi ke dokter
untuk resep-resep non cito. Standard Operating Procedure (SPO) ini
diharapkan dapat meminimalkan risiko akan resep yang tidak terbaca,
karena dengan SPO ini petugas farmasi dapat segera menghubungi dokter
untuk dapat melakukan konfirmasi.
c. Untuk kegagalan dalam mengambil obat dapat diminimalisir dengan cara
mengatur jarak obat agar tidak terlalu dekat, mengatur penempatan obat
LASA dan HIGH ALERT, pemisahan dan pelabelan obat yang mirip nama
dan penampilan.
d. Untuk kegagalan dalam memberikan obat dan informasi obat dapat dengan
membuatkan tempat yang representatif bagi apoteker dalam menyampaikan
PIO (Pemberian Informasi Obat) dan menyerahkan obat.

3. Tahap Taking Action


Pada tahap ini dilakukan langkah FMEA yang ke-7 adalah uji coba desain yang
berfokus pada kegagalan konfirmasi ke dokter penulis resep dan proses kegagalan
dalam membaca nama obat, dan mengambil obat. Uji coba desain ini diawali
dengan terlebih dahulu melakukan sosialisasi kepada dokter, apoteker, dan asisten
apoteker. Desain ini akan diawali dengan pelatihan penulisan resep bagi dokter dan
pelatihan good dispensing practise yang difokuskan bagi seluruh apoteker dan
asisten apoteker dimana hal ini akan mencegah medication error. Design baru yang
akan diuji cobakan adalah pembuatan SPO tata cara berkomunikasi dengan dokter,
prosedur konfirmasi farmasi ke dokter penulis resep, mengatur jarak obat agar tidak
terlalu dekat, mengatur penempatan obat LASA dan HIGH ALERT, pemisahan dan
pelabelan obat yang mirip nama dan penampilan sehingga obat diharapkan tersusun
rapi dan jelas, menyediakan tempat yang representatif bagi apoteker untuk
penyerahan obat sekaligus PIO (Pemberian Informasi Obat).

4. Tahap Evaluating
Tahap evaluasi ini dilakukan setelah implementasi desain baru yaitu SPO,
pengaturan penempatan obat dan pelabelan obat, PIO (Pemberian Informasi Obat).
Untuk pengaturan penempatan dan pelabelan obat dilakukan observasi tingkat
keberhasilan desain baru dengan melakukan wawancara dengan asisten apoteker
untuk mengetahui apakah dengan penandaan obat tersebut mengurangi kesalahan
dalam hal pengambilan obat dan mempermudah asisten apoteker dalam pelayanan
obat ke pasien. Untuk evaluasi desain SPO, dilakukan dengan melihat kepatuhan
terhadap SPO tersebut apakah dilaksanakan sesuai langkah langkah yang ada. Pada
evaluasi desain penandaan obat dengan menggunakan stiker warna diperkuat
dengan wawancara dengan asisten apoteker. Dari wawancara dapat ditarik
kesimpulan bahwa desain penandaan obat dapat diterima dengan baik, namun pada
tahap awal perlu adaptasi dengan desain yang baru untuk minggu pertama yaitu
membiasakan mata dengan warna-warna yang beraneka ragam. Untuk minggu-
minggu selanjutnya asisten apoteker sudah terbiasa dengan warna. Kemudian akhir
dari tahap evaluasi ini adalah berkurangnya angka RPN dari FMEA pada failure
mode kegagalan dalam komunikasi dengan dokter dan kegagalan dalam mengambil
obat. Adapun hasil RPN evaluasi failure mode setelah dilakukan desain ulang:

FMEA
Hasil RPN evaluasi failure mode setelah dilakukan desain ulang
Desain Lama Desain Baru
Proses FM
K P D RPN K P D RPN

1. Telaah resep Kegagalan dalam membaca 7 7 6 294 6 6 4 144


nama obat

2. Konfirmasi ke Kegagalan komunikasi dengan 6 6 6 216


dokter penulis dokter 5 5 4 100
resep
3. AA Kegagalan dalam mengambil 4 7 6 168 4 6 4 96
mengambil/ obat
meracik obat
4. Apoteker Kegagalan dalam memberikan 3 8 7 168 3 7 5 105
menyerahkan obat dan informasi obat
obat kepada
pasien
5. Apoteker Kegagalan dalam memberikan 4 6 7 168 3 5 5 75
menyerahkan informasi obat
obat kepada
pasien

FMEA

Anda mungkin juga menyukai