2019
LAPORAN PADA PELAYANAN FARMASI DENGAN MENERAPKAN METODE
FMEA (FAILURE MODE AND EFFECT AFFECT) TAHUN 2019
A. Latar Belakang
Pelayanan farmasi merupakan wilayah berisiko tinggi dalam menunjang mutu
sebuah pelayanan kesehatan. Rumah Sakit Islam Ibnu Sina Padang merupakan rumah
sakit yang merespon gerakan sistematis dalam pelayanan yang berfokus pada
keselamatan pasien dan salah satunya adalah menekan kejadian medication error yang
masih sering terjadi.
Dalam hal ini RS Islam “Ibnu Sina” YARSI SUMBAR Padang Panjang, berupaya
untuk melakukan evaluasi dan monitoring terhadap resiko yang ditimbulkan di
pelayanan farmasi. Beberapa permasalahan yang timbul pada proses penggunaan obat
muncul karena kurangnya evaluasi dan monitoring terhadap proses penggunaan obat
pada pelayanan farmasi RS Islam “Ibnu Sina” YARSI SUMBAR Padang Panjang.
Sesuai dengan kebutuhan akreditasi rumah sakit, maka setiap rumah sakit berkewajiban
untuk menghitung, mengevaluasi dan memonitoring pelaksanaan mutu yang ada
disetiap unit yang ada di rumah sakit termasuk farmasi.
B. Tujuan
Mengidentifikasi resiko medication error pada proses penggunaan obat di unit
pelayanan farmasi
Merancang desain manajemen risiko pelayanan farmasi
Mengembangkan pelaksanaan redesain manajemen risiko
C. Proses Pemilihan
Proses pemilihan resiko mana yang akan dijadikan FMEA dimulai dengan identifikasi
risiko dari masing-masing unit kerja di lingkungan RS Islam “Ibnu Sina” YARSI
SUMBAR Padang Panjang. Identifikasi risiko dilakukan dengan melihat potensi adanya
kejadian yang berdampak negatif dan mempengaruhi tujuan yang ingin dicapai rumah
sakit. Kemudian ditentukan prioritas risiko untuk membantu proses pengambilan
keputusan berdasarkan hasil analisis risiko. Analisis risiko dilakukan dengan menghitung
semua probabilitas kejadian (Probability/ Occurrence /Peluang), seringnya terjadi
(Severity / Frekuensi/), dengan besaran dampak (Detection/Akibat) serta scoring/ tingkat
resiko.
RPN (Risk Priority Number) Score / CI (Criticality Index)
Computer criticality index (CI) :
Occurrence X Severity X Detection
FMEA
Occurrence/Probability/ FREKWENSI/Peluang
Severity/DAMPAK
Detection/Akibat
FMEA
Berikut adalah daftar risiko yang menjadi prioritas di masing-masing unit kerja:
Daftar Risiko di masing-masing unit kerja
Unit Failure Mode Occ Sev Det RPN
Rajal Salah identifikasi Pasien 4 3 3 36
Ranap Insiden terkait pelayanan Pasien
4 4 3 48
(Selama Perawatan)
IGD Kekurangan Tenaga Jika Pasien 3 3 4 36
IGD rami
KB dan Perina kehilangan Bayi/Penculikan bayi 5 3 2 30
FMEA
Petugas yang akan diamati : Dokter, Apoteker dan Asisten Apoteker
E. Tim FMEA
Tim FMEA terdiri dari
Ketua : dr. Adri Buthia (Kabid. Lay. & Manaj. Risiko, Ketua Komite
PMKP)
Sekretaris : Lili Indriani, S.Farm, Apt (Kainst. Penunjang Medis)
Anggota : 1. Ns. Agusnaldi, S.Kep (Kasie Manaj. Risiko)
2. dr. Fuadi Sazli (Kasie Pelayanan Medis & Ketua PFT (Panitia
Farmasi dan Terapi)
3. dr. Wahyudi Firmana (Ketua Tim Pasien Safety)
4. Ns. Harpendi Yunita, S.Kep (Kasie Keperawatan & Tim PMKP)
5. Meta Sukma Wardani, S.Farm, Apt (PJ. Farmasi)
6. Egi Evanda, Amd. Farm (Pelaksana Farmasi)
7. Yulia Detti Amd.Kep (Karu Poliklinik)
8. Ns. Fitria Afriani, S.Kep (Tim Pasien Safety & Perawat
Ruangan)
FMEA
Hasil yang didapatkan bahwa dari data sekunder diketahui bahwa data mengenai
KTC selama 1 tahun yaitu pada tahun 2018 :
- Diketahui bahwa yang tercatat paling potensial terjadi kesalahan adalah pada
unit farmasi dengan kesalahan obat terjadi 5 kali.
- Salah serah obat 5 kali dan salah pemberian etiket 3 kali.
Dari kejadian ini maka ditetapkan bahwa unit pelayanan farmasi memiliki potensial
risiko yang tinggi dengan setidaknya lima sebab yaitu :
a. Pelayanan farmasi menimbulkan komplain yang lebih besar.
b. Setiap proses pelayanan farmasi tergantung intervensi dari petugas farmasi
c. Langkah-langkah dalam proses penyiapan obat terkait satu sama lain
d. Apabila ada kesalahan dalam proses penyiapan obat pada pelayanan farmasi
tidak dapat langsung ditangani
e. Kontrol yang rendah dari petugas farmasi karena langsung berhadapan dengan
pasien(Rawat Jalan).
FMEA
Kedua proses ini yang akan menjadi prioritas untuk melakukan desain yang
harapannya dapat meminimalkan risiko terjadinya kesalahan dalam proses
pelayanan di Unit farmasi.
FMEA
Kemungkinan Penyebab Kegagalan di Setiap Alur Proses Pelayanan Unit Farmasi
Proses (langkah) Failure Mode Cause Failure Effect Failure Keparahan Frekuensi Kemungkinan
Kejadian di deteksi
1. Menerima resep Apoteker gagal mendeteksi Tidak dilakukan skrining Pasien mendapatkan obat yang salah, Sedang Jarang Susah dideteksi
kesalahan identitas pasien (salah identitas pasien, resep waktu tunggu pasien lama.
nama pasien, tertukar resep pasien) langsung diletakkan di kotak, Proses lain menjadi terhambat
tidak ada tatap muka, tidak
ada komunikasi. Tidak ada
petugas jaga yang di loket
penerimaan.
2. Telaah resep 1. Kegagalan dalam membaca Tulisan dokter yang tidak Salah dalam penyiapan obat, terapi Parah Jarang Mudah dideteksi
nama obat jelas, petugas yang kurang tidak sempurna, kesalahan dalam
2. Kegagalan dalam menteksi berpengalaman (kompetensi penggunaan dosis.
jumlah obat kurang), kurang teliti
3. Kegagalan dalam mendeteksi
cara penggunaan
4. Kegagalan dalam mendeteksi
petunjuk khusus
5. Kegagalan dalam perhitungan
dosis
3. Konfirmasi ke Kegagalan komunikasi dengan Adanya rasa sungkan dan Akan terjadi salah interpretasi resep Parah Jarang Susah dideteksi
dokter penulis dokter ketakutan oleh petugas apotek sehingga mengakibatkan salah dosis,
resep untuk konfirmasi ke dokter. salah obat, salah aturan pakai.
Dokter lupa karena banyak
sekali pasien.
4. Buat nota 1. Kegagalan dalam entri data Kurang teliti petugas. Biaya tinggi, biaya tidak tertagihkan. Tidak parah Jarang Mudah dideteksi
2. Kegagalan memberikan harga
kategori pasien.
5. Pelayanan resep Kegagalan dalam penghitungan Kurang teliti dalam Lama waktu tunggu, salah peracikan, Tidak parah Tidak sering Mudah dideteksi
di bagian dosis menghitung dosis dosis tidak sesuai peresepan
peracikan
6. AA mengambil/ 1. Kegagalan dalam mengambil Letak obat yang berdekatan, Kegagalan pengobatan/terapi, parah sering
meracik obat obat nama obat yang hampir sama, penyembuhan yang tidak berhasil,
2. Kegagalan dalam meracik obat kurangnya kompetensi adanya efek samping.
3. Kegagalan dalam menimbang petugas.
dan mengukur Letak penyimpanan yang
4. Kegagalan dalam penggunaan belum rapi, Belum semua ada
pelarut penanda nama obat yang
5. Kegagalan dalam pembagian mirip, alat tidak dikalibrasi.
obat racikan
7. Membuat etiket 1. Kegagalan dalam menulis Kurang kompetensi, ruangan Kesalahan dosis pemakaian obat, Parah Jarang Mudah dideteksi
aturan pakai yang gelap, tulisan terlalu kesalahan aturan pakai.
2. Kegagalan dalam menempel kecil, petugas kurang teliti.
etiket
3. Kegagalan dalam pembelian
label
4. Kegagalan dalam pengentrian
etiket
8. Apoteker/ AA Ketidaksesuaian obat yang diambil Beban kerja yang tinggi, tidak Dapat terjadi salah pasien, tertukar Tidak Parah Jarang Mudah dideteksi
menyerahkan obat dengan permintaan resep teliti. obat.
ke bagian
penyerahan
9. Telaah Obat Tidak dilakukan telaah obat Kelelahan karena proses yang Dapat terjadi salah obat, salah pasien, Parah Jarang Mudah dideteksi
cukup panjang, beban kerja salah etiket, salah pemberian obat
tinggi, kurang teliti petugas
10. Apoteker 1. Kegagalan dalam memberikan Kurang teliti apoteker, nama Kegagalan pengobatan, pasien Parah Sering Sulit dideteksi
menyerahkan obat informasi yang mirip, beban kerja yang semakin parah, pasien tidak sembuh,
kepada pasien 2. Kegagalan dalam meberikan tinggi, pasien terlalu banyak, pasien tidak mendapatkan informasi,
obat (salah obat) tempat tidak representatif pasien mengonsumsi obat yang salah
3. Kegagalan dalam pemberian
ke pasien (salah pasien).
FMEA
Menetapkan kemungkinan tingkat keparahan dan efek kegagalan kepada pasien
tersebut (critical index)
Tahapan proses Kegagalan OCC SEV DET RPN Prioritas
1. Menerima resep 1. Apoteker gagal mendeteksi 2 5 3 30
kesalahan identitas pasien (salah
nama pasien, tertukar resep
pasien)
2. Telaah resep 1. Kegagalan dalam membaca 7 7 6 294 1
nama obat
2. Kegagalan dalam mendeteksi 1 2 7 14
jumlah obat
3. Kegagalan dalam mendeteksi 4 5 6 120
cara penggunaan
4. Kegagalan dalam mendeteksi 7 3 6 126
petunjuk khusus
5. Kegagalan dalam perhitungan 5 5 6 150
dosis
3. Konfirmasi ke dokter 1. Kegagalan komunikasi dengan 6 6 6 216 2
penulis resep dokter
4. Buat nota 1. Kegagalan dalam entri data 5 3 2 30
2. Kegagalan dalam pemberian 2 3 2 12
harga obat
3. Kegagalan memberikan harga 3 2 2 12
kategori pasien.
5. Penyerahan resep ke 1. Kegagalan dalam penyerahan 1 1 1 1
bagian peracikan resep ke bagian peracikan
6. AA 1. Kegagalan dalam mengambil 4 7 6 168 3
mengambil/meracik obat
obat 2. Kegagalan dalam meracik obat 5 3 3 45
3. Kegagalan dalam menimbang 2 5 7 70
dan mengukur
4. Kegagalan dalam pembagian 2 6 3 36
obat racikan
7. Membuat etiket 1. Kegagalan dalam menulis aturan 3 4 6 72
pakai
2. Kegagalan dalam menempel 2 2 2 8
etiket
8. Apoteker/ AA 1. Kegagalan dalam penyerahan 2 2 2 8
menyerahkan obat ke obat ke bagian penyerahan
bagian penyerahan
9. Telaah Obat 1. Tidak dilakukan koreksi 7 5 2 70
10. Apoteker 1. Kegagalan dalam memberikan 4 6 7 168 5
menyerahkan obat informasi
kepada pasien 2. Kegagalan dalam memberikan 3 8 7 168 4
obat (salah obat)
3. Kegagalan dalam pemberian ke 3 8 4 96
pasien (salah pasien).
Langkah selanjutnya setelah dilakukan identifikasi masalah dari kegagalan dengan RPN
yang tertinggi dengan model diagram fish bone yaitu untuk menentukan penyebab
kegagalan setiap proses pelayanan farmasi rawat jalan akan dilakukan dengan metode fish
bone sebagai berikut :
Man Material
4. Tahap Evaluating
Tahap evaluasi ini dilakukan setelah implementasi desain baru yaitu SPO,
pengaturan penempatan obat dan pelabelan obat, PIO (Pemberian Informasi Obat).
Untuk pengaturan penempatan dan pelabelan obat dilakukan observasi tingkat
keberhasilan desain baru dengan melakukan wawancara dengan asisten apoteker
untuk mengetahui apakah dengan penandaan obat tersebut mengurangi kesalahan
dalam hal pengambilan obat dan mempermudah asisten apoteker dalam pelayanan
obat ke pasien. Untuk evaluasi desain SPO, dilakukan dengan melihat kepatuhan
terhadap SPO tersebut apakah dilaksanakan sesuai langkah langkah yang ada. Pada
evaluasi desain penandaan obat dengan menggunakan stiker warna diperkuat
dengan wawancara dengan asisten apoteker. Dari wawancara dapat ditarik
kesimpulan bahwa desain penandaan obat dapat diterima dengan baik, namun pada
tahap awal perlu adaptasi dengan desain yang baru untuk minggu pertama yaitu
membiasakan mata dengan warna-warna yang beraneka ragam. Untuk minggu-
minggu selanjutnya asisten apoteker sudah terbiasa dengan warna. Kemudian akhir
dari tahap evaluasi ini adalah berkurangnya angka RPN dari FMEA pada failure
mode kegagalan dalam komunikasi dengan dokter dan kegagalan dalam mengambil
obat. Adapun hasil RPN evaluasi failure mode setelah dilakukan desain ulang:
FMEA
Hasil RPN evaluasi failure mode setelah dilakukan desain ulang
Desain Lama Desain Baru
Proses FM
K P D RPN K P D RPN
FMEA