Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PENDAHULUAN DAN

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN


DIABETES MELLITUS DENGAN MASALAH GANGGUAN
INTEGRITAS JARINGAN

A. Diabetes Mellitus
1. Definisi
Diabetes adalah penyakit kronis serius yang terjadi baik ketika pankreas
tidak menghasilkan cukup insulin (hormon yang mengatur glukosa darah), atau
ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkannya
(WHO, 2016). Diabetes Melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang
ditandai dengan kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Smeltzer
& Bare, 2013).
Diabetes mellitus, kencing manis atau penyakit gula, diketahui sebagai
suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya gangguan menahun terutama pada
sistem metabolisme karbohidrat, lemak, dan juga protein dalam tubuh (Endang
Lanywati, 2011). Diabetes mellitus adalah meningkatnya kadar gula dalam darah
seseorang yang tinggi. Meningkatnya kadar gula dikarenakan glukosa sulit masuk
kedalam sel yang disebabkan tubuh tidak bisa memproduksi insulin sama sekali
(Sudarmoko, A.,2010).

2. Klasifikasi
Klasifikasi dari Diabetes Mellitus sebagai berikut :
a. DM tipe 1, Insulin dependent diabetes mellitus (IDDM)
Pada diabetes mellitus tipe ini tubuh sama sekali tidak memproduksi
insulin. Pada diabetes tipe ini sel – sel penghasil insulin pada pancreas mengalami
kerusakan.Diabetes tipe ini biasanya diderita sejak kecil. Terjadi karena kerusakan
sel beta pancreas (reaksi autoimun). Sel beta pancreas merupakan satu – satunya
sel tubuh yang menghasilkan insulin yang berfungsi untuk mengatur kadar
glukosa dalam tubuh. Bila kerusakan sel beta pancreas telah mencapai 80-90%
maka gejala DM mulai muncul. Kerusakan sel ini lebih cepat terjadi pada anak-
anak daripada dewasa. Kerusakan pada sel-sel tersebut disebabkan karena virus
tersebut menyebabkan peradangan pada kelenjar pancreas sehingga insulin tidak

6
dapat keluar. Sebagian besar penderita DM tipe 1 sebagian besar oleh karena
proses autoimun dan sebagian kecil non autoimun. Gejala biasanya muncul secara
mendadak, berat dan perjalanannya sangat progresif, jika tidak diawasi, dapat
berkembang menjadi ketoasidosis dan koma. DM tipe 1 sebagian besar (75%
kasus) terjadi sebelum usia 30 tahun.
b. DM tipe 2, Non-insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM)
Bentuk DM ini bervariasi mulai yang dominan resistensi insulin, defisiensi
insulin relative sampai defek sekresi insulin.Pada diabetes ini, orang yang
bersangkutan tidak mengalami kerusakan pada sel – sel penghasil insulin yang
terdapat dalam pankreasnya. Terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di
jaringan perifer (insulin resistence) dan disfungsi sel beta. Akibatnya, pancreas
tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi insulin
resistance. Kedua hal ini menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif.
Kegemukan sering berhubungan dengan kondisi ini. DM tipe 2 umumnya terjadi
pada usia>40 tahun. Pada DM tipe 2 terjadi gangguan peningkatan glukosa oleh
reseptornya tetapi produksi insulin masih dalam batas normal sehingga penderita
tidak tergantung pada pemberian insulin.
c. Diabetes tipe spesifik lain
Misalnya : gangguan genetic pada fungsi sel beta, gangguan genetic pada
kerja insulin, penyakit eksokrin pancreas dan yang dipicu oleh obat atau bahan
kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ).
d. Diabetes Mellitus Gestasional (DMG)
Didefinisikan sebagai gangguan toleransi glukosa berbagai tingkat yang
diketahui pertama kali saat hamil tanpa membedakan apakah penderita perlu
mendapat insulin atau tidak. Pada kehamilan trimester pertama kadar glukosa
akan turun antara 55-65% dan hal ini merupakan respon terhadap transportasi
glukosa dari ibu ke janin. Sebagaian besar DMG asimtomatis sehingga diagnosis
ditemukan secara kebetulan pada saat pemeriksaan rutin. Diabetes mellitus
gestational adalah keadaan intoleransi karbohidrat dari seorang wanita yang
diketahui pertama kali ketika dia sedang hamil. Diabetes gestational terjadi

7
karena kelainan yang dipicu oleh kehamilan, diperkirakan karena terjadinya
perubahan poda metabolisme glukosa. (Padila, 2012)

3. Etiologi
a. Diabetes tipe 1 :
1) Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi
suatu predisposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya DM tipe I.
kecenderungan genetik iniditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen
HLA.
2) Faktor – faktor imunologi
Adanya rspon otoimun yang merupakan respon abnormal dimana antibodi
terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan
tersebut yang dianggapnya seolah – olah sebagai jaringan asing. Yaitu antibodi
terhadap sel –sel pulau langerhans dan insulin endogen.
3) Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan
destruksi sel beta.
b. Diabetes tipe 2:
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin pada diabetes tipe 2 masih belum diketahui. Faktor genetik
memegang peranan dalam proses terjadinnya resistensi insulin.
Faktor – faktor resiko :
a. Usia
Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara dramatis
menurun dengan penurunan fungsi cepat pada usia setelah 40 tahun. Penurunan
ini yang akan beresiko pada penurunan fungsi endokrin pankreas untuk
memproduksi insulin.
b. Obesitas
Obesitas mengakibatkan sel beta pankreas mengalami hipertropi yang akan
berpengaruh terhadap penurunan produksi insulin. Hipertropi pancreas disebabkan

8
karena peningkatan beban metabolisme glukosa pada penderita obesitas untuk
mencukupi energy sel yang terlalu banyak.
c. Riwayat keluarga
Faktor genetik mempengaruhi perkembangan Diabetes mellitus tipe 2,
sehingga riwayat keluarga merupakan faktor resiko yang penting. Resiko untuk
pasien dengan riwayat keluarga yang mempunyai diabetes mellitus tipe 2 adalah
lima sampai sepuluh kali lebih tinggi dari pasien tanpa riwayat keluarga diabetes.
Dalam suatu studi, 39% peserta dengan diabetes mellitus tipe 2 memiliki
setidaknya satu orangtua yang mempunyai penyakit yang sama. (Padila, 2012)

9
4. PATHWAY (POHON MASALAH)

Faktor Kerusakan sel Ketidakseimbang Gula dalam darah


Genetik beta an produksi tidak dapat dibawa
insulin masuk dalam sel
Infeksi virus

Pengerusakan
imunologik
Batas melebihi Hiperglokemia Anabolisme protein
Glukosuria
ambang ginjal menurun

Dieresis osmotik Vikositas darah Syok hiperglikemik Kerusakan pada


meningkat antibodi

Kekebalan tubuh
Poliuri retensi aliran darah lambat Koma diabetik
menurun
urine

Kehilangan Iskemik jaringan Resiko infeksi Neuropati sensori


elektrolit dalam sel perifer

Ketidakefektifasn Neukrosis luka Klien tidak merasa


Dehidrasi jaringan perfusi sakit
perifer

Kehilangan kalori
Resiko syok Gangrene Kerusakan
integritas
jaringan
Sel kekurangan
Merangsang Protein dan lemak BB menurun
bahan untuk
hipolatamus dibakar
metabolisme

Pusat lapar dan


haus Keletihan
Katabolisme lemak Pemecahan protein
Polidipsia
polipagia

Asam lemak Keton Ureum


Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh

Keteasidosis

Gambar 1 WOC Diabetes Mellitus dan Gangren (Nurarif, 2015)

10
Pada Gambar 1 patofisiologi diabetes mellitus menurut Nurarif, 2015,
diatas dapat dijelaskan bahwa kejadian diabetes mellitus diawali dengan
kerusakan sel beta yang diakibatkan oleh adanya factor genetic, infeksi virus dan
gangguan imun dan menyebabkan ketidakseimbangan produksi insulin dalam
tubuh. Keadaan ini ketidakmampuan organ menbawa darah masuk kedalam sel,
sehingga insulin tidak bisa befungsi optimal dalam mengatur metabolisme dalam
tubuh seperti metabolisme protein menurun dan hiperglikemia. Metabolisme
protein menurun menyebabkan kerusakan pada antibody atau kekebalan tubuh
Gambar 2.1 menurun
WOC Diabetes Mellitus dan
dan dampaknya Gangren
terjadi resiko infeksi dan neuropati sensori perifer.
(Nurarif, 2015, Patofisiologi Diabetes Mellitus)
Terganggunya neuro sensori perifer menyebabkan klien tidak meras sakit
dikarenakan Nekrosis luka menjadi ganggren, setelah itu kerusakan integritas pun
terjadi. Hiperglikemia menjadi syok hipirglikemia dan menyebabkan koma
diabetic. Hiperglikemia pun menyebabkan viskositas darah meningkat
mengakibatkan ketidakefektifan perfusi jaringan karena iskemik jaringan yang
menerima aliran darah yang lambat. Gula darah yang tinggi dan melebihi batas
ambang ginjal menyebabkan glukosuria dan mengakibatkan penderita sering
berkemih dalamjumlah yang banyak (poliuri). Kehilangan elektrolit dalam sel
terganggu mengakibatkan dehidrasi dan resiko syok yang dapat merangsang
hipotalamus membuat asupan nutrisi penderita tidak seimbang, selalu lapar dan
haus.

Glukosuria menyebabkan kehilangan kalori mengakibatkan BB menurun


dan mengalami keletihan. Katabolisme lemak dan pemecahan protein juga terjadi
menghasilkan lemak dan keton yang mengakibatkan ketoasidosis.

5. Gejala Klinis
Manifestasi klinis yang sering dijumpai pada pasien diabetes mellitus
menurut Sujono Riyadi (2010) yaitu :
Diabetes Tipe 1
a. Hiperglikemia berpuasa

11
b. Glukosuria, dieresis osmotic, poliuria, polidipsia, dan polifagia
c. Gejala – gejala lain termasuk keletihan dan kelemahan
d. Ketoasidosis diabetic (DKA) menyebabkan tanda – tanda dan gejala – gejala
nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilisasi, napas bau buah; jika tidak
ditangani, perubahan tingkat kesadaran, koma, kematian.
Diabetes Tipe 2
Gejala – gejala seringkali ringan dan dapat mencakup
a. Keletihan dan kelemahan, perubahan pandaangan secara mendadak, sensasi
kesemutan atau kebas ditangan atau kaki, kulit kering, lesi kulit atau luka
yang lambat sembuh, atau infeksi berlubang.
b. Poliuria (peningkatan pengeluaran urine) jika ada kadar gula darah melebihi
nilai ambang ginjal (>180 mg/dl), gula akan keluar bersama urine. Untuk
menjaga agar urine yang keluar tidak pekat, tubuh akan menarik air sebanyak
mungkin kedalam urine sehingga volume urine yang keluar banyak dan
kencing pun menjadi sering dalam jumlah banyak.
c. Polidipsia (peningkatan rasa haus) akibat volume urine yang sangat besar dan
keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel
mengikuti dehidrasi ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel
mengikuti penurunan gradient kosentrasi ke plasma yang hipertonik (sangat
pekat). Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran ADH (Anti Deuretik
Hormone) dan menimbulkan rasa haus.
d. Polifagia (peningkatan rasa lapar) pada diabetes dengan insulin bermasalah,
pemasukan gula kedalam sel – sel tubuh kurang sehingga energy yang
dibentuk pun kurang. Inilah sebabnya orang kurang merasa kurang tenaga.
Dengan demikian, otak juga “berpikir” bahwa kurang energy itu karena
kurang makan, maka tubuh berusaha meningkatkan asupan makanan dengan
menimbulkan rasa lapar, jadi timbulah perasaan selalu ingin makan.
e. Penglihatan kabur (retinopati)
Kadar gula darah yang tinggi bisa menyebabkan kerusakan pada pembuluh
darah, saraf, dan organ tubuh.Gula darah tinggi pada diabetes menyebabkan
lensa mata membengkak, yang mengubah kemampuan untuk melihat.

12
6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Prabowo (2012) Pemeriksaan gula darah pada pasien diabetes
mellitus antara lain :
a. Gula darah puasa 70 – 110 mg/dl
kriteria diagnose untuk DM >140 mg/dl paling sedikit dalam dua kali
pemeriksaan. Atau >140 mg/dl disertai gejala klasik hiperglikemia atau IGT 115-
140 mg/dl.
b. Gula darah 2 jm post prodinal <140 mg/dl
Digunakan untuk skrining atau evaluasi pengobatan bukan diagnostic.
c. Gula darah sewaktu <140 mg/dl
Digunakan untuk skrining atau diagnostic.
d. Test toleransi glukosa oral (TTGO)
GD <115 mg/dl ½ jam, 1 jam, 1 ½ jam <200 mg/dl, 2 jam <140 mg/dl. TTGO
dilakukan hanya pada pasien yang telah bebas diet dan beraktivitas fisik 3 hari
sebelum tes tidak dianjurkan pada a. Hiperglikemia yang sedang puasa b. orang
yang mendapat thiazide, dilatin, propranolol, lasik, thyroid, estrogen, pil KB,
steroid. c. pasien yang merawat atau sakit akut atau pasien ini aktif.
e. Test toleransi glukosa intravena (TTGI)
Dilakukan jika TTGO merupakan kontra indikasi atau terdapat kelainan
gastrointestinal yang mempengaruhi absorsi glukosa.
f. Test toleransi kortison glukosa
Digunakan jika TTGO tidak bermakna, kortison menyebabkan peningkatan
kadar gula darah abnormal dan menurunkan penggunaan gula darah perifer pada
orang yang berpredisposisi menjadi DM kadar glukosa darah 140 mg/dl pada
akhir 2 jam dianggap sebagai hasil positif.
g. Glycosatet Hemoglobin
Berguna dalam memantau kadar glukosa darah rata – rata selama lebih dari 3
bulan

13
h. C-Pepticle
1-2 mg/dl (puasa) 5-6 kali meningkat setelah pemberian glukosa untuk
mengukur proinsulin (produk samping yang tidak aktif secara biologis) dari
pembentuk insulin dapat membantu mengetahui sekresi insulin.
i. Insulin serum puasa
2-20 mg/dl post glukosa sampai 120 mg/dl, tidak digunakan dalam diagnose
banding hipoglikemia atau dalam penelitian diabetes.

7. Komplikasi
a. Komplikasi Akut
1) Hipoglikemia
Hipoglikemia (kadar gula darah yang abnormal rendah) terjadi apabila
kadar glukosa darah turun dibawah 50 mg/ dl. Keadaan ini dapat terjadi akibat
pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang
terlalu sedikit atau karena aktivitas fisik yang berat. Gejala hipoglikemia dapat
dikelompokkan menjadi dua kategori : gejala adrenergik dan gejala sistem saraf
pusat.
Hipoglikemia ringan : ketika kadar glukosa darah menurun, sistem saraf
simpatis akan terangsang. Pelimpahan adrenalin kedalam darah menyebabkan
gejala seperti perspirasi, tremor, takhikardia, palpitasi, kegelisahan dan rasa lapar.
Hipoglikemia Sedang : Penurunan kadar glukosa darah menyebabkan sel-sel
otak tidak mendapatkan cukup bahan bakar untuk bekerja dengan baik. Tanda-
tanda gangguan fungsi pada sistem saraf pusat mencakup ketidakmampuan
berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo, confuse, penurunan daya ingat, mati rasa
didaerah bibir serta lidah, gerakan tidak terkoordinasi, perubahan emosional,
perilaku yang tidak rasional, penglihatan ganda, dan perasaan ingin pingsan.
Hipoglikemia Berat : Fungsi sitem saraf pusat menagalami gangguan yang
sangat berat sehingga pasien memerlukan pertolongan orang lain untuk mengatasi
Hipoglikemia yang dideritanya. Gejala dapat mencakup perilaku yang mengalami

14
disorientasi, serangan kejang, sulit dibangunkan, atau bahkan kehilangan
kesadaran (David Dorales, 2004 Dalam Abdullah, 2015).
2) Diabetes Ketoasidosis
Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak
cukup jumlah insulin yang nyata. Keadaan ini mengakibatkan gangguan
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak (Jonathan 2005 dalam Abdullah,
2015). Ada tiga gambaran klinik yang penting pada diabetes ketoasidosis:
a) Dehidrasi
b) Kehilangan elektrolit
c) Asidosis
Apabila jumlah insulin berkurang, maka jumlah glukosa yang memasuki
sel akan berkurang pula. Selain itu prroduksi glukosa oleh hati menjadi tidak
terkendali, kedua faktor tersebut akan mengakibatkan hiperglikemia. Diuresis
osmotik yang ditandai oleh urinasi yang berlebihan (poliuria) ini akan
menyebabkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit (David Dorales, 2004 Dalam
Abdullah, 2015).
3) Syndrom Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik (SHHNK)
Merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan
hipergklikemia yang disertai perubahan tingkat kesadaran (Sense of Awareness).
Keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis osmotik sehingga terjadi
kehilangan cairan dan elektrolit. Dengan adanya glukosuria dan dehidrasi, maka
akan dijumpai keadaan hipernatremia dan peningkatan osmolaritas (Jonatha 2005
dalam Abdullah, 2015).
b. Komplikasi Kronik
Komplikasi kronik dari diabetes mellitus dapat menyerang semua sistem
organ tubuh. Kategori komplikasi kronik diabetes yang lajim digunakan adalah
penyakit makrovaskuler, mikrovaskuler, dan neurologis menurut David Dorales,
2004 Dalam Abdullah, 2015 yaitu :.
1) Komplikasi Makrovaskuler
Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar sering terjadi pada
diabetes. Perubahan aterosklerotik ini serupa degan pasien-pasien non diabetik,

15
kecuali dalam hal bahwa perubahan tersebut cenderung terjadi pada usia yang
lebih muda dengan frekuensi yang lebih besar pada pasien-pasien diabetes.
2) Komplikasi Mikrovaskuler
a) Retinopati Diabetik
Disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil pada
retina mata, bagian ini mengandung banyak sekali pembuluh darah dari berbagai
jenis pembuluh darah arteri serta vena yang kecil, arteriol, venula dan kapiler.
b) Nefropati Diabetik
Bila kadar gluoksa darah meninggi maka mekanisme filtrasi ginjal ajkan
mengalami stress yang mengakibatkan kebocoran protein darah ke dalam urin.
Sebagai akibatnya tekanan dalam pembuluh darah ginjal meningkat. Kenaikan
tekanan tersebut diperkirakan berperan sebagai stimulus untuk terjadinya nefropat.
Ada Dua tipe neuropati diabetik yang paling sering dijumpai adalah :
a. Polineuropati Sensorik
Polineuropati sensorik disebut juga neuropati perifer. Neuropati perifer
sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya saraf extremitas bagian
bawah. Gejala permulaanya adalah parastesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan dan
peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya pada malam hari). Dengan
bertambah lanjutnya neuropati ini kaki akan terasa baal.
b. Neuropati Otonom (Mononeuropati)
Neuropati pada system saraf otonom mengakibatkan berbagai fungsi yang
mengenai hampir seluruh system organ tubuh. Ada lima akibat utama dari
neuropati otonom antara lain :
1) Kardiovaskuler
Tiga manifestasi neuropati pada sistem kardiovaskuler adalah frekuensi
denyut jantung yang meningkat tetapi menetap, hipotensi ortostatik, dan infark
miokard tanpa nyeri atau silent infark
2) Pencernaan
Kelambatan pengosongan lambung dapat terjadi dengan gejala khas,
seperti perasaan cepat kenyang, kembung, mual dan muntah. Konstipasi atau

16
diare diabetik (khususnya diare nokturia) juga menyertai neuropati otonom
gastrointestinal.
3) Perkemihan
Retensi urine penurunan kemampuan untuk merasakan kandung kemih
yamg penuh dan gejala neurologik bladder memiliki predisposisi untuk
mengalami infeksi saluran kemih.
4) Kelenjar Adrenal (“Hypoglikemik Unawarenass”)
Neuropati otonom pada medulla adrenal menyebabkan tidak adanya atau
kurangnya gejala hipoglikemia. Ketidakmampua klien untuk mendeteksi
tanda-tanda peringatan hipoglikemia akan membawa mereka kepada resiko
untuk mengalami hipoglikemi yang berbahaya.
5) Disfungsi Seksual
Disfungsi Seksual khususnya impotensi pada laki-laki merupakan salah
satu komplikasi diabetes yang paling ditakuti. Efek neuropati otonom pada
fungsi seksual wanita tidak pernah tercatat dengan jelas. (Margaret TH,2012)

8. Penalataksanaan
Kaki diabetik dapat timbul karena tidak terkontrolnya gula darah, oleh
sebab itu sangat diperlukan manajemen diabetes yang baik dalam upaya
pencegahan primer kaki diabetik. Menurut Perkeni (2011), manajemen Diabetes
Melitus terdiri dari:
a. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi.
b. Terapi gizi medis atau Perencanaan Makan
Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes
secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri).

17
Menurut Smeltzer et al, (2008) yang juga mengutip dari ADA bahwa perencanaan
makan pada pasien diabetes meliputi :
1) Memenuhi kebutuhan energi pada pasien Diabetes Melitus
2) Terpenuhinya nutrisi yang optimal pada makanan yang disajikan seperti
vitamin dan mineral
3) Mencapai dan memelihara berat badan yang stabil
4) Menghindari makan makanan yang mengandung lemak, karena pada pasien
Diabetes Melitus jika serum lipid menurun maka resiko komplikasi penyakit
makrovaskuler akan menurun
5) Mencegah level glukosa darah naik, karena dapat mengurangi komplikasi yang
dapat ditimbulkan dari Diabetes Melitus
c. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari - hari dan latihan jasmani secara teratur (3 - 4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan Diabetes Melitus. Kegiatan sehari – hari seperti berjalan kaki ke
pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Selain untuk
menjaga kebugaran juga, latihan jasmani dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat
aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan
jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Pasien
yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang
sudah mendapat komplikasi Diabetes Melitus dapat dikurangi.
d. Intervensi farmakologis
Pengobatan diabetes secara menyeluruh mencakup diet yang benar, olah raga
yang teratur, dan obat - obatan yang diminum atau suntikan insulin. Pasien
Diabetes tipe 1 mutlak diperlukan suntikan insulin setiap hari. Pasien Diabetes
tipe 2, umumnya pasien perlu minum obat antidiabetes secara oral atau tablet.
Pasien diabetes memerlukan suntikan insulin pada kondisi tertentu, atau bahkan
kombinasi suntikan insulin dan tablet.
e. Monitoring keton dan gula darah

18
Ini merupakan pilar kelima yang dianjurkan kepada pasien Diabetes Melitus.
Monitor level gula darah sendiri dapat mencegah dan mendeteksi kemungkinan
terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia dan pasien dapat melakukan keempat
pilar diatas untuk menurunkan resiko komplikasi dari Diabetes Melitus (Smeltzer
et al, 2008).

9. Pencegahan
a. Pencegahan primer
Menjelaskan kepada masyarakat bahwa mencegah lebih baik daripada
mengobati, kampanye makanan sehat dengan pola tradisional yang mengandung
lemak rendah atau pola makanan yang seimbang adalah alternatif terbaik dan
harus mulai di tanamkan pada anak –anak sekolah sejak taman kanak – kanak.
Jaga berat badan agar tidak gemuk dengan berolahraga secara teratur .
b. Pencegahan sekunder
Mencegah timbulnya kompilkasi dengan cara pasien diabetes mellitus berobat
seacara teratur untuk mengetahui kadar glukosanya agar terkendali,
mengendalikan kadar glukosa darah lipid dengan diet sesuai kebutuhan, olahraga,
menggunakan obat oral yang baik atau insulin, penyuluhan kepada keluarga
pasien diabetes .
c. Pencegahan Tersier
Upaya mencegah komplikasi kecacatan yang di akibatkan diabetes mellitus
di perlukan kerjasama antara pasien dan dokter, dalam hal ini peran penyuluhan
sangat penting untuk meningkatkan motivasi pasien untuk mengendalikan
diabetesnya. (Sudoyo, 2009 )

B. Gangguan Integritas Jaringan


1. Definisi
Gangguan integritas jaringan menurut SDKI 2017 adalah keadaan
kerusakan kulit (dermis dan atau epidermis) atau jaringan (membrane mukosa,
kornea, fasia, otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi dan atau ligament)
(PPNI, 2017).

19
Gangguan intergritas jaringan adalah ketika individu mengalami atau
beresiko mengalami kerusakan jaringan epidermis dan dermis. Kerusakan
Integritas Kulit adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau
beresiko terhadap kerusakan jaringan epidermis dan dermis (Herdman Dan
Kamitsuru,2015).
Gangguan integritas jaringan adalah kerusakan jaringann dan/atau
lapisan kulit yang meluas ke jaringan bawah kulit meliputi tendon, otot,
tulang, atau persendian serta membrane mukosa, kornea, dan fasia (Tarwoto,
Wartonah, 2012).

2. Batasan Karakteristik
Menurut Standart Diagnosa Keperawatan Indonesia (2017) batasan
karakteristik pada masalah keperawatan gangguan integritas kulit yaitu :
a. Data Mayor
Kerusakan jaringan dan / lapisan kulit
b. Data Minor
1) Nyeri
2) Perdarahan
3) Kemerahan
4) Hematoma
Menurut Herdman dan kamitsuru (2015) batasan karakteristik diagnosa
keperawatan gangguan integritas jaringan dalam daftar diagnose nanda yaitu :
a. Data Mayor
1) Kerusakan jaringan
2) Cedera jaringan
b. Data Minor
1) Gangguan permukaan kulit (epidermis)
2) Invasi struktur tubuh
3) Hiperemi (kemerahan)
4) Nyeri
5) Gangguan sensasi

20
3. Faktor yang berhubungan
Menurut Prabowo (2010) faktor berhubungan dengan gangguan
intergritas kulit :
a. Eksternal :
Hipertermia atau hipotermia , substansi kimia atau kelembapan
udara ,faktor mekanik (misalnya :alat yang menimbulkan luka, tekanan,
restrain), imobilisasai fisik, radiasi, usia yang ekstrim, kelembaban kulit,
obat –obatan .
b. Internal
Perubahan status metabolik, tulang menonjol, defisit imunologi, faktor
yang berhubungan dengan pengembangan, perubahan status nutrisi
(obesitas, kerusakan), perubahan status cairan, perubahan pigmentasi,
perubahan sirkulasi, perubahan turgor (elastis kulit )

C. Konsep Asuhan Keperawatan Kerusakan Intergritas Jaringan


1. Pengkajian

Pengkajian keperawatan yaitu menilai informasi yang dihasilkan dari


pengkajian skrining untuk menentukan normal atau abnormal respon pasien
yang didasarkan pada banyak faktor yang nantinya akan digunakan sebagai
pertimbangan dalam kaitannya dengan diagnosis yang berkokus pada masalah
atau risiko. Pengkajian dilakukan dengan dua tahap yaitu pengumpulan data
(informasi subjektif dan objektif) dan peninjauan informasi riwayat pasien
pada rekam medik (Herdman Dan Kamitsuru, 2015). Pengkajian keperawatan
gangguan integritas jaringan pada penderita diabetes mellitus menurut
Purwanto (2016) yaitu :
a. Keluhan Utama :
Nyeri, kesemutan pada ekstremitas bawah, luka yang sukar sembuh, kulit
kering, merah.
b. Riwayat kesehatan sekarang :
Biasanya klien masuk ke RS atau puskesmas dengan keluhan nyeri,
kesemutan pada ekstremitas bawah, luka yang sukar sembuh, kulit kering,

21
merah, dan bola mata cekung, Sakit kepala, menyatakan seperti mau
muntah, kesemutan, lemah otot, disorientasi, letargi, koma dan bingung.

c. Riwayat kesehatan lalu


Biasanya klien DM mempunyai Riwayat hipertensi, penyakit jantung
seperti Infart miokard
d. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya Ada riwayat anggota keluarga yang menderita DM
e. Pola persepsi
Pada pasien kaki diabetik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana
hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak kaki diabetik
sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan
kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan
yang lama, lebih dari 6 juta dari penderita DM tidak menyadari akan
terjadinya resiko Kaki diabetik bahkan mereka takut akan terjadinya
amputasi.
f. Pola nutrisi metabolik
Akibat produksi insulin tidak adekuat atau adanya defisiensi insulin maka
kadar gula darah tidak dapat dipertahankan sehingga menimbulkan
keluhan sering kencing, banyak makan, banyak minum, berat badan
menurun dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi
status kesehatan penderita. Nausea, vomitus, berat badan menurun, turgor
kulit jelek, mual/muntah.
g. Pola eliminasi
Adanya hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresis osmotik yang
menyebabkan pasien sering kencing (poliuri) dan pengeluaran glukosa
pada urine (glukosuria). Pada eliminasi alvi relatif tidak ada gangguan.
h. Pola aktivitas dan latihan
Kelemahan, susah berjalan/bergerak, kram otot, gangguan istirahat dan
tidur, tachicardi/tachipnea pada waktu melakukan aktivitas dan bahkan

22
sampai terjadi koma. Adanya luka gangren dan kelemahan otot – otot pada
tungkai bawah menyebabkan penderita tidak mampu melaksanakan
aktivitas sehari-hari secara maksimal, penderita mudah mengalami
kelelahan.
i. Pola tidur dan istirahat
Istirahat tidak efektif Adanya poliuri, nyeri pada kaki yang luka, sehingga
klien mengalami kesulitan tidur.
j. Kognitif persepsi
Pasien dengan gangren cenderung mengalami neuropati / mati rasa pada
luka sehingga tidak peka terhadap adanya nyeri. Pengecapan mengalami
penurunan, gangguan penglihatan.
k. Persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita
mengalami gangguan pada gambaran diri. Luka yang sukar sembuh,
lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan
menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada
keluarga (self esteem).
l. Peran hubungan
Luka gangren yang sukar sembuh dan berbau menyebabkan penderita
malu dan menarik diri dari pergaulan.
m. Seksualitas
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi
sehingga menyebabkan gangguan potensi sek, gangguan kualitas maupun
ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme.
Adanya peradangan pada daerah vagina, serta orgasme menurun dan
terjadi impoten pada pria. risiko lebih tinggi terkena kanker prostat
berhubungan dengan nefropati
n. Koping toleransi
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, perasaan
tidak berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang
negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain,

23
dapat menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan mekanisme
koping yang konstruktif / adaptif.
o. Nilai keprercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta luka
pada kaki tidak menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi
mempengaruhi pola ibadah penderita.
p. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien diabetes mellitus dengan masalah gangguan
integritas jaringan menurut Wijaya (2013) yaitu :
1) Sistem Pernafasan (B1: Breating)
pasien diabetes mellitus biasanya mengalami gangguan pada saluran
pernafasan terkadang pada inspeksi bentuk dada simestris, tidak ada
retraksi alat bantu nafas, terkadang ada yang membutuhkan bantu
nafas O2. Pada palpasi didapatkan data RR : ≥ 22 x/menit, vokal
premitus antara kanan dan kiri sama, susunan ruas tulang belakang
normal. Pada auskultasi tidak ditemukan suara tambahan, suara nafas
vesikuler, mungkin terjadi pernafasan cepat dan dalam, frekuensi
meningkat. Nafas bau aseton.
2) Sistem Kardiovaskular (B2: Blood)
Pada inspeksi penyembuhan luka yang lama. Pada palpasi ictus cordis
tidak teraba, nadi ≥ 84 x/menit, irama reguler, CRT dapat kembali ≤ 2
detik, pulsasi kuat lokasi radialis. Pada perkusi suara
dullness/redup/pekak, bisa terjadi nyeri dada. Pada auskultasi bunyi
jantung normal dan mungkin tidak ada suara tambahan seperti gallop
rhytme ataupun murmur.
3) Sistem Persyarafan (B3: Brain)
Kesadaran bisa baik ataupun menurun, pasien bisa pusing, merasa
kesemutan, mungkin tidak disorientasi, sering mengantuk, pola tidur
pada malam hari mungkin terganggu karena sering Buang Air Kecil,
tidak ada gangguan memori.ketajaman penglihatan biasanya mulai
menurun.

24
4) Sistem Perkemihan (B4 : Bladder)
Pada inspeksi didapatkan bentuk kelamin normal, kebersihan alat
kelamin bersih, frekuensi berkemih normal atau tidak, bau, warna,
jumlah, dan tempat yang digunakan. Pasien menggunakan terkadang
terpasang kateter dikarenakan adanya masalah pada saluran kencing,
seperti poliuria, anuria, oliguria.
5) Sistem Pencernaan (B5 : Bowel)
Pada inspeksi keadaan mulut mungkin kotor, mukosa bibir kering atau
lembab, lidah mungkin kotor, kebiasaan menggosok gigi sebelum dan
saat MRS, tenggorokan ada atau tidak ada kesulitan menelan, bisa
terjadi mual, muntah, penurunan berat badan, polifagia, polidipsi. Pada
palpasi adakah nyeri abdomen. Pada perkusi didapatkan bunyi
thympani. Pada auskultasi terdengar peristaltik usus. Kebiasaan BAB
di rumah dan saat MRS, bagaimana konsistensi, warna, bau, dan
tempat yang digunakan.
6) Sistem Muskuluskeletal (B6 : Bone)
Pada inspeksi kulit tampak kotor, adakah luka, kulit atau membaran
mukosa mungkin kering, ada oedema, lokasi, ukuran. Pada palpasi
kelembapan kulit mungkin lembab, akral hangat, turgor kulit hangat.
Kekuatan otot dapat menurun, pergerakan sendi dan tungkai bisa
mengalami pada penurunan. Pada perkusi adakah fraktur, dislokasi

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai


respon pasien terhadap masalah kesehatan yang dialami baik secara aktual
maupun potensial. Diagnosa keperawatan bertujuan untuk dapat
mengidentifikasi berbagai respon pasien baik individu, keluarga dan
komunitas terhadap situasi yang berakaitan dengan kesehatan. Diagnosa
keperawatan dibagi menjadi dua jenis, yaitu diagnosis negatif dan diagnosis

25
positif. Diagnosis negatif menunjukkan bahwa pasien dalam kondisi sakit
atau berisiko mengalami sakit sehingga penegakan diagnosis ini
mengarahkan pemberian intervensi keperawatan yang bersifat penyembuhan,
pemulihan, dan pencegahan. Diagnosis negatif terdiri atas diagnosis aktual
dan diagnosis risiko. Sedangkan diagnosis positif menunjukkan bahwa pasien
dalam kondisi sehat dan dapat mencapai kondisi sehat atau optimal. Diagnosa
positif terdiri dari promosi kesehatan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2018)
Diagnosa keperawatan yang dirumuskan sesuai dengan acuan SDKI
yaitu
1. Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan perubahan sirkulasi
ditandai dengan kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit, nyeri,
perdarahan, kemerahan, dan hematoma.
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis ( inflamasi dan
iskemi)
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan adanya nyeri
4. Hambatan mobilitas fisik b.d adanya ulkus pada kaki
5. Deficit nutrisi berhubungan dengan ketidak mampuan untuk mengabsorbsi
nutrien
6. Resiko infeksi b.d penyakit kronis (diabetes melitus)

3. Rencana Asuhan atau Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan terdiri dari intervensi utama dan intervensi


pendukung. Intervensi utama dari diagnosa keperawatan gangguan integritas
jaringan adalah perawatan integritas kulit dan perawatan luka. Intervensi
pendukung diantaranya dukungan perawatan diri, edukasi perawatan diri,
edukasi perawatan kulit, edukasi perilaku upaya kesehatan, edukasi pola
perilaku keberihan, edukasi program pengobatan, konsultasi, latihan rentang
gerak, manajemen nyeri, pelaporan status kesehatan, pemberian obat,
pemberian obat intradermal, pemberian obat intramuskular, pemberian obat
intravena, pemberian obat kulit, pemberian obat topikal, penjahitan luka,
perawatan area insisi, perawatan imobilisasi, perawatan kuku, perawatan skin

26
graft, teknik latihan penguatan otot dan sendi (Tim Pokja SIKI DPP PPNI,
2018).
Luaran (outcome) keperawatan merupakan aspek-aspek yang dapat
diobservasi dan diukur meliputi kondisi, perilaku, atau pesepsi pasien keluarga
atau komunitas sebagai respon terhadap intervensi keperawatan. Luaran
keperawatan menunjukkan status diagnosis keperawatan setelah dilakukan
intervensi keperawatan. Hasil akhir intervensi keperawatan yang terdiri dari
indikator-indikator atau kriteria hasil pemulihan masalah. Terdapat dua jenis
luaran keperawatan yaitu luaran positif (perlu ditingkatkan) dan luaran negatif
(perlu diturunkan) (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018).
Adapun komponen luaran keperawatan diantaranya label (nama luaran
keperawatan berupa kata-kata lunci informasi luaran), ekspektasi (penilaian
terhadap hasil yang diharapkan, meningkat, menurun, atau membaik), kriteria
hasil (karakteristik pasien yang dapat diamati atau diukur, dijadikan sebagai
dasar untuk menilai pencapaian hasil intervensi, menggunakan skor 1-3 pada
pendokumentasian computer-based). Ekspektasi luaran keperawatan terdiri
dari ekspektasi meningkat yang artinya bertambah baik dalam ukuran, jumlah,
maupun derajat atau tingkatan, menurun artinya berkurang baik dalam ukuran,
jumlah maupun derajat atau tingkatan, membaik artinya menimbulkan efek
yang lebih baik, adekuat, atau efektif (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018)

27
Tabel 1
Perencanaan Keperawatan Pasien Diabetes Mellitus

Diagnosa Tujuan Dan Intervensi (SIKI)


Keperawatan (SDKI) Kriteria Hasil (SLKI)

Gangguan integritas Setelah dilakukan Perawatan Integritas Kulit


jaringan berhubungan intervensi Observasi
dengan neuropati keperawatan selama 3 1. Identifikasi penyebab
perifer ditandai dengan x 24 jam, maka gangguan integritas kulit
kerusakan jaringan Integritas Jaringan (misalnya perubahan
dan/atau lapisan kulit, meningkat dengan sirkulasi, perubahan status
nyeri, perdarahan, kriteria hasil: nutrisi, penurunan
kemerahan, dan a. Kerusakan kelembaban, suhu
hematoma. integritas jaringan lingkungan ekstrim,
menurun penurunan mobilitas)
b. Nyeri menurun
c. Perdarahan Terapeutik
menurun 1. Ubah posisi tiap 2 jam
d. Kemerahan jika tirah baring
menurun 2. Lakukan pemijatan pada
e. Hematoma area penonjolan tulang, jika
menurun perlu
3. Gunakan produk berbahan
petroleum dan minyak pada
kulit kering
4. Hindari produk berbahan
dasar alcohol pada kulit
kering

Edukasi
1. Anjurkan menggunakan
pelembab (misalnya lotion
serum)
2. Anjurkan meningkatkan
asupan buah dan sayur
3. Anjurkan menghindari
terpapar suhu ekstrem
4. Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun
secukupnya

28
Diagnosa Tujuan Dan Intervensi (SIKI)
Keperawatan Kriteria Hasil
(SDKI) (SLKI)
Perawatan Luka
Observasi
1. Monitor karakteristik luka
(misalnya drainase, warna,
ukuran, bau)
2. Monitor tanda-tanda infeksi
Terapeutik
3. Lepaskan balutan dan plester
secara perlahan
4. Bersihkan dengan cairan NaCl
atau pembersih nontoksik,
sesuai kebutuhan
5. Bersihkan jaringan nekrotik
6. Pasang balutan sesuai jenis
luka
7. Pertahankan teknik steriil saat
melakukan perawatan luka
Ganti balutan sesuai jumlah
eksudat dan drainase
Gangguan Pola Tujuan : Dukungan Tidur
Tidur Setelah dilakukan Observasi:
tindakan keperawatan  Identifikasi pola aktivitas
selama 3 x 24 jam dan tidur
dharapkan pola tidur  Identifikasi faktor
membaik pengganggu tidur (fisik
dan/atau psikologis)
Kriteria Hasil :  Identifikasi makanan dan
1. Keluhan sulit tidur minuman yang mengganggu
menurun tidur (mis. kopi, teh, alkohol,
2. Keluhan sering makanan mendekati waktu
terjaga menurun tidur, minum banyak air
3. Keluhan tidur tidak sebelum tidur)
puas menurun  Identifikasi obat tidur yang
4. Keluhan pola tidur dikonsumsi
berubah menurun
5. Keluhan istirahat
tidak cukup
menurun

29
Gangguan Pola Terapeutik:
Tidur  Modifikasi lingkungan
(mis. pencahayaan,
kebisingan, suhu, matras,
dan tempat tidur)
 Batasi waktu tidur siang,
jika perlu
 Fasilitasi menghilangkan
stres sebelum tidur
 Tetapkan jadwal tidur rutin
 Lakukan prosedur untuk
meningkatkan kenyamanan
(mis. pijat, pengaturan
posisi, terapi akupresur)
 Sesuaikan jadwal
pemberian obat dan/atau
tindakan untuk menunjang
siklus tidur-terjaga
Edukasi
 Jelaskan pentingnya tidur
cukup selama sakit
 Anjurkan menepati
kebiasaan waktu tidur
 Anjurkan menghindari
makanan/minuman yang
mengganggu tidur
 Anjurkan penggunaan obat
tidur yang tidak
mengandung supresor
terhadap tidur REM
 Ajarkan faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap
gangguan pola tidur (mis.
psikologis:gaya hidup,
sering berubah shift
bekerja)
 Ajarkan relaksasi otot
autogenik atau cara
nonfarmakologi lainnya

30
Nyeri akut Setelah diberikan 1. Pemberian Analgesik
berhubungan asuhan keperawatan Observasi
dengan agen selama 2 x 24 jam a. Identifikasi riwayat alergi
pencedera fisik diharapkan nyeri obat
(inflamasi dan menurun dengan b. Monitor tanda-tanda vital
iskemi) kriteria hasil : sebelum dan sesudah
 Keluhan nyeri pemberian analgetik
menurun Terapeutik
 Tampak meringis Dokumentasikan respons
menurun terhadap efek analgetik dan efek
 Sikap protektif yang tidak diinginkan
menurun Edukasi
 Gelisah menurun Jelaskan efek terapi dan efek
 Kesulitan tidur samping obat
menurun Kolaborasi
 Frekuensi nadi Kolaborasi pemberian dosis dan
membaik jenis analgetik sesuai terapi
 Tekanan darah
membaik 2. Manajemen Nyeri
 Pola napas Observasi
membaik a. Identifikasi lokasi,
karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
b. Identifikasi skala nyeri
Identifikasi respons nyeri
non verbal
c. Identifikasi faktor yang
memperberat dan
memperingan nyeri
Terapeutik
• Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
• Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
(misalnya, suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
• Fasilitasi istirahat dan tidur

31
Hambatan Tujuan : Observasi
mobDeilitas fisik Setelah dilakukan  Identifikasi adanya
asuhan keperawatan nyeri atau keluhan fisik
mobilitas fisik lainnya
diharapkan  Identifikasi toleransi
mobilisasi fisik melakukan ambulasi
meningkat.  Monitor frekuensi
jantung dan tekanan darah
Kriteria Hasil : sebelum memulai ambulasi
a. Pergerakan  Monitor kondisi
ekstremitas umum selama melakukan
meningkat ambulasi
b. Kekuatan otot Terapeutik
meningkat  Fasilitasi aktivitas
c. Rentang gerak ambulasi dengan alat bantu
(ROM) (mis. tongkat, kruk)
meningkat  Fasilitasi melakukan
d. Nyeri menurun mobilisasi fisik, jika perlu
e. Kekakuan sendi  Libatkan keluarga
menurun untuk membantu pasien
dalam meningkatkan
ambulasi
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan
prosedur ambulasi
 Anjurkan
melakukan ambulasi dini
 Ajarkan ambulasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis. berjalan
dari tempat tidur ke kursi
roda, berjalan dari tempat
Deficit nutrisi Tujuan : Observasi
Setelah dilakukan  Identifikasi status
asuhan keperawatan nutrisi
diharapkan status  Identifikasi alergi
nutrisi terpenuhi dan intoleransi makanan
 Identifikasi
makanan yang disukai
 Identifikasi
kebutuhan kalori dan jenis
nutrient
 Identifikasi
perlunya penggunaan

32
Deficit nutrisi Kriteria Hasil :  Monitor asupan
1. Porsi makanan makanan
yang dihabiskan  Monitor berat badan
meningkat  Monitor hasil
2. Berat badan pemeriksaan laboratorium
meningkat Terapeutik
3. Nafsu makan  Lakukan oral
meningkat hygiene sebelum makan,
4. Frekuensi makan jika perlu
meningkat  Fasilitasi
menentukan pedoman diet
(mis. Piramida makanan)
 Sajikan makanan
secara menarik dan suhu
yang sesuai
 Berikan makan
tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
 Berikan makanan
tinggi kalori dan tinggi
protein
 Berikan suplemen
makanan, jika perlu
 Hentikan pemberian
makan melalui selang
nasigastrik jika asupan oral
dapat ditoleransi
Edukasi
 Anjurkan posisi
duduk, jika mampu
 Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi
 Kolaborasi
pemberian medikasi
sebelum makan (mis.
Pereda nyeri, antiemetik),
jika perlu

33
Resiko infeksi Tujuan : Pencegahan infeksi
Setelah dilakukan 1. Observasi
tindakan keperawatan :
3x24 jam derajat Monitor tanda dan gejala
infeksi menurun atau infeksi loka l dan sistemik
tidak terjadi infeksi.
2. Terapeuti
k
Kriteria Hasil :
a. Berikan perawatan
1. Tidak terjadinya
kulit pada daerah luka
tanda-tanda infeksi
atau edema
seperti :
a. Demam b. Cuci tangan sebelum
menurun dan sesudah kontak
b. Kemerahan dengan pasien dan
tidak ada lingkungan pasien
c. Nyeri menurun c. Pertahankan teknik
d. Bengkak aseptic pada pasien
menurun berisiko tinggi
e. Kadar sel darah 3. Edukasi :
putih membaik a. Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
b. Ajarkan cara
memeriksa luka
c. Ajarkan cara mencuci
tangan dengan benar
d. Anjurkan
meningkatkan asupan

4. Pelaksanaaan (Implementasi)
Pada proses keperawatan, pelaksanaan atau implementasi adalah fase
ketika perawat mengimplementasikan intervensi keperawatan. Perawat
melaksanakan atau mendelegasikan tindakan keperawatan untuk intervensi
yang disusun dalam tahap perencanaan (Kozier, Erb, Berman, & Synder,
2011). Tindakan keperawatan adalah perilaku atau aktivitas yang dikerjakan
oleh perawat untuk mengimplementasikan intervensi keperawatan. Tindakan-
tindakan pada intervensi keperawatan terdiri atas observasi, terapeutik,
edukasi, dan kolaborasi (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018). Implementasi
keperawatan membutuhkan fleksibilitas dan kreativitas perawat. Setelah
melakukan implementasi, perawat mencatat tindakan keperawatam dan respon
pasien terhadap tindakan tersebut (Kozier et al., 2011).

34
5. Evaluasi
Menurut Purwanto (2016) Evaluasi merupakan tahap terakhir dari
proses keperawatan, kegiatan evaluasi ini adalah membandingkan hasil yang
telah di capai setelah implementasi keperawatan dengan tujuan di harapkan
dalam perencanaan.
Evaluasi keperawatan pada pasien gangguan integritas jaringan
dilakukan untuk meningkatkan integritas jaringan. Dalam perumusan evaluasi
keperawatan menggunakan empat komponen yang dikenal dengan SOAP,
yaitu S (Subjektive) merupakan data informasi berupa ungkapan pernyataan
keluhan pasien, O (Objective) merupakan data hasil pengamatan, penilaian
dan pemeriksaan, A (Assesment) merupakan perbandingan antara data
subjective dan data objective dengan tujuan dan kriteria hasil, kemudian akan
diambil sebuah kesimpulan bahwa masalah teratasi, teratasi sebagian, atau
tidak teratasi, dan P (Planning) merupakan rencana keperawatan lanjutan yang
akan dilanjutkan, dihentikan, dimodifikasi, atau ditambah dari rencana
tindakan keperawatan yang telah ditentukan sebelumnya (Dinarti, Aryani,
Nurhaeni, Chairani, & Tutiany, 2013). Perawat mempunyai tiga alternatif
dalam menetukan sejauh mana tujuan tercapai:
1. Berhasil: perilaku sesuai pernyataan tujuan dalam waktu atau tanggal
yang di tetapkan di tujuan.
2. Tercapai sebagaian: pasien menunjuakan prilaku tetapi tidak sebaiknya
yang di tentukan dalam pernyataan tujuan.
3. Belum tercapai: pasien tidak mampu sama sekali menunjukan prilaku
yang di harapkan sesuai dengan pernyataan tujuan

35
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pola Kesehatan Fungsional


1. Identitas Pasien

Nama : Tn. M
Umur : 50 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Suku / Bangsa : Jawa/ Indonesia
Alamat :
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Status : Kawin
Pekerjaan : Swasta
Tgl. MRS : 12-12-2020
Jam : 10.00 WIB
Tgl. Pengkajian : 12-12-2020
Jam : 10.00 WIB
Diagnosa Medis : DM Gangren

2. Pola Persepsi Kesehatan Fungsional


a. Keluhan Utama
Pasien mengatakan terdapat luka di kaki yang sulit sembuh dan tampak
kemerahan di sekitar luka
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengatakan kurang lebih 6 bulan yang lalu terdapat luka di kaki
pasien, kemudian luka menjadi semakin membesar dan tak kunjung
sembuh, terasa nyeri. Pasien merasa badannya lemas, pusing, dan mual,
sering kesemutan
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan baru mengetahui penyakitnya ± 2 tahun yang lalu.
Pasien mengatakan mempunyai riwayat hipertensi.

36
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan ada anggota keluarga yang pernah menderita penyakit
DM yaitu bapak pasien, dan tidak ada anggota keluarga yang mempunyai
riwayat penyakit menular.
e. Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah : 140/80 mmHg
Nadi : 84 x/mnt
RR : 24 x/mnt
Suhu : 36,7 0C
f. Pola Persepsi Kesehatan
Pasien mengatakan ketika sakit klien akan berobat ke pelayanan
kesehatan
g. Pola Nutrisi
Pasien makan 3 x sehari dengan komposisi nasi, lauk dan sayur. Akan
tetapi saat ini klien merasa kurang nafsu makan, karena khawatir dengan
keadaannya saat ini
h. Pola aktivitas
Pasien mengatakan sebelum sakit aktivitas dapat dilakukan secara mandiri,
tetapi saat sudah ada luka aktivitas klien banyak dibantu keluarga, dan
klien hanya beraktivitas ringan
i. Pola Istirahat tidur
Selama sakit klien mengatakan sulit tidur, kualitas tidur sebentar kurang
lebih 5 menit bangun dalam sehari klien tidur kurang lebih 3-5 jam/hari
karena merasa tidak nyaman dengan luka di kaki.
j. Pola Koping dan toleransi stress
Pasien mengatakan selalu mendiskusikan dengan keluarga setiap ada
peramasalahan untuk menentukan jalan keluarnya
B. Pengkajian Sistem
1. Breating
Inspeksi : Tidak terdapat pernafasan cuping hidung, RR : 24 x/menit,
bentuk dada simetris tidak terdapat benjolan, Pergerakan dinding dada
simetris, tidak ada tarikan interkoste, keluhan sesak (-), batuk (-), tidak ada
nyeri saat bernafas, pola nafas dan iramaregular. Palpasi : Tidak ada nyeri
tekan pada daerah dada. Perkusi : Sonor ( paru kiri dan paru kanan).
Auskultasi : suara nafas vesikuler, suara jantung normal , tidak ada bunyi
tambahan
2. Blood
TD : 140/80 mmhg, N : 84x/menit, S : 36.7 0C, GDA : 342 mg/dl, CRT : <

2 detik, turgor kulit normal. Tidak ada nyeri tekan ictus cordis teraba jelas

tiga jari dibawah putting susu. Perkusi : redup. Auskultasi : normal S1

dan S2 tunggal regular. Klien mengatakan tidak ada keluhan pada jantung.
3. Brain
Glasgow Coma Scale (GCS) 15 (E : 4, V : 5, M : 6), Klien nampak
meringis, kepala dan wajah simetris, gerakan wajah normal, sklera putih,
pupil sama besarnya kiri dan kanan, kornea bening, bola mata simetris,
kelopak mata dapat membuka dan menutup secara spontan, fungsi
pendengaran normal, fungsi penciuman normal, fungsi pengecapan
normal, fungsi penglihatan agak kabur
4. Bladder
frekuensi minum klien 4-5x/hari, urine warna kuning bening dengan bau
khas amoniak. Klien mengatakan tidak ada gangguan pada pola eliminasi
urine.
5. Bowel
tidak terdapat peradangan pada mulut, nyeri pada abdomen kuadran kiri
atas, BAB 1 kali/hari dengan konsistensi lunak, klien mengatakan kurang
nafsu makan.
6. Bone
Pergerakan sendi terbatas, terdapat ulkus diabetikum digiti 1 pedis (S)
grade 4-5 fase inflamasi, panjang 4 cm dan lebar 3 cm , selulitis (+),
odor (+), nekrosis (+), bledding (+), hole (+), pus (+), slough (+) kulit
disekitar luka kehitaman dan mengelupas. Kulit sekitar luka terasa hangat,
terdapat krepitasi.
7. Psikososial
a. Sosial/interaksi
Klien mengatakan mendapat dukungan penuh dari keluarga, klien
kooperatif saat berinteraksi kepada perawat dan keluarga. Tidak ada
konflik yang terjadi baik berupa konflik peran, nilai dan lainnya.
b. Psikologis
Klien mengatakan tidak paham tentang penyakit penyakitnya saat
ini, klien terilhat bingung dan gelisah serta selalu bertanya tentang
kondisinya. Klien mengatakan tidak mengerti cara pengobatan yang
diberikan untuk penyembuhan penyakitnya dan klien mengatakan
berharap bias cepat sembuh dan bisa beraktivitas seperti biasanya.
c. Spiritual
Tidak ada masalah dalam beribadah. Klien aktif dalam beribadah
menjalankan kewajibannya.

C. Pemeriksaan Penunjang
Glukosa sewaktu : 342 mg/dl
D. Terapi
Pioglitazone HCL 30 mg 2 x 1
Intervask 10 mg 1 x 1
Asam mefenamat 500 mg 3 x 1
E. Analisa Data
DATA ETIOLOGI MASALAH
DS : Klien mengatakan Hiperglikemi Gangguan integritas
kaki sebelah kiri jaringan
terdapat luka, bengkak
dan nyeri
DO :
k/u : cukup, Kesadaran :
Composmentis GCS 4-5-6
Konjungtiva pucat Skala
nyeri 4 (sedang) CRT < 2
detik
TTV :
TD : 140/80 mmhg N :84
x/mnt, S : 36,7 0C RR : 24
x/mnt GDS : 342 mg/dL
Gambaran klinis luka :
terdapat ulkus diabetikum
manus (S) grade 3-4 fase
inflamasi, panjang 4 cm
dan lebar 3 cm , selulitis
(+), odor (+), nekrosis (+),
bledding (+), hole (+), pus
(+), kulit disekitar luka
kehitaman dan
mengelupas dan terdapat
krepitasi.
Ds : Kurang terpapar informasi Defisit Pengetahuan
− Klien mengatakan tentang penyakit DM
tidak paham tentang
penyakit penyakitnya
saat ini
− Klien mengatakan
berharap bisa cepat
sembuh dan bisa
beraktivitas seperti
biasanya

F. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul


5. Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan hiperglikemia
6. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya terpapar informasi
tentang penyakit
G. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan Dan Intervensi (SIKI)
Keperawatan (SDKI) Kriteria Hasil (SLKI)
Gangguan integritas Setelah dilakukan Perawatan Integritas Kulit
jaringan berhubungan intervensi keperawatan
Observasi
dengan neuropati selama 3 x 24 jam,
perifer ditandai dengan maka Integritas 1. Identifikasi penyebab
kerusakan jaringan Jaringan meningkat gangguan integritas kulit
dan/atau lapisan kulit, dengan kriteria hasil: (misalnya perubahan
nyeri, perdarahan, a. Kerusakan sirkulasi, perubahan status
kemerahan, dan integritas jaringan nutrisi, penurunan
hematoma. menurun kelembaban, suhu lingkungan
b. Nyeri menurun ekstrim, penurunan mobilitas)
c. Perdarahan
menurun Edukasi
d. Kemerahan 1. Anjurkan menggunakan
menurun pelembab (misalnya lotion
e. Hematoma serum)
menurun 2. Anjurkan meningkatkan
asupan buah dan sayur
3. Anjurkan menghindari
terpapar suhu ekstrem
4. Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun
secukupnya

Perawatan Luka
1. Monitor karakteristik luka
(misalnya drainase, warna,
ukuran, bau)
2. Monitor tanda-tanda infeksi
Terapeutik
3. Lepaskan balutan dan plester
secara perlahan
4. Bersihkan dengan cairan NaCl
atau pembersih nontoksik,
sesuai kebutuhan
5. Bersihkan jaringan nekrotik
6. Pasang balutan sesuai jenis
luka
7. Pertahankan teknik steriil saat
melakukan perawatan luka
Ganti balutan sesuai jumlah
eksudat dan drainase

H. Implementasi Keperawatan
Diagnosa Tgl 13 Desember Tgl 14 Desember Tgl 15 Desember
Keperawata 2020 2020 2020
n

Kerusakan Jam 08.00 WIB Jam 08.00 WIB Jam 08.00 WIB
integritas 7. Observasi TTV 1. Observasi TTV 1. Observasi TTV
jaringan TD : 140/70 TD : 140/70 TD : 140/80
mmhg N :80 mmhg N :84 mmhg N :84
x/mnt, x/mnt, x/mnt,
S : 36,5 0C S : 36,4 0C S : 36,7 0C
RR : 24 x/mnt RR : 24 x/mnt RR : 24 x/mnt
GDA : 342 GDA : 285 GDA : 200
mg/dL mg/dL mg/dL
8. Memonitor 2. Memonitor 2. Memonitor
karakteristik karakteristik karakteristik
luka. pada luka. pada luka. pada
balutan terdapat balutan terdapat balutan terdapat
rembesan carian rembesan carian rembesan carian
berwarna hijau berwarna hijau berwarna hijau
dan berbau khas dan berbau khas dan berbau khas
gangren. gangren. gangren.
9. Mengganti 3. Mengganti 3. Mengganti
balutan untuk balutan untuk balutan untuk
mempertahanka mempertahanka mempertahanka
n luka tetap n luka tetap n luka tetap
steril. steril. steril.
10. Mengukur luas 4. Mengukur luas 4. Mengukur luas
luka yang sesuai luka yang sesuai luka yang sesuai
panjang luka : 6 panjang luka : 6 panjang luka : 6
cm dan lebar cm dan lebar cm dan lebar
luka : 3 cm luka : 3 cm luka : 3 cm
11. Membersihkan 5. Membersihkan 5. Membersihkan
luka dengan luka dengan luka dengan
pembersih yang pembersih yang pembersih yang
tidak beracun, tidak beracun, tidak beracun,
drainase luka drainase luka drainase luka
dengan cairan dengan cairan dengan cairan
NaCl. NaCl. NaCl.
12. Memberikan 6. Memberikan 6. Memberikan
perawatan ulkus perawatan ulkus perawatan ulkus
pada kulit, pada kulit, pada kulit,
evakuasi pus evakuasi pus evakuasi pus
dan evakuasi dan evakuasi dan evakuasi
slough. slough. slough.
13. Mempertahanka 7. Mempertahanka 7. Mempertahanka
n teknik n teknik n teknik
balutan steril balutan steril balutan steril
ketika ketika ketika
melakukan melakukan melakukan
perawatan luka perawatan luka perawatan luka
dengan tepat. dengan tepat. dengan tepat.
14. Mengajarkan 8. Mengajarkan 8. Mengajarkan
klien dan klien dan klien dan
keluarga pada keluarga pada keluarga pada
prosedur prosedur prosedur
perawatan klien perawatan klien perawatan klien
dan keluarga dan keluarga dan keluarga
dapat dapat dapat
mengetahui mengetahui mengetahui
teknik teknik teknik
perawatan luka. perawatan luka. perawatan luka.
15. Menjelaskan 9. Menjelaskan 9. Menjelaskan
pada pasien dan pada pasien dan pada pasien dan
keluarga tentang keluarga tentang keluarga tentang
tanda – tanda tanda – tanda tanda – tanda
infeksi yaitu infeksi yaitu infeksi yaitu
nyeri, nyeri, nyeri,
kemerahan kemerahan kemerahan

I. Evaluasi
Diagnosa Tgl 13 Desember Tgl 14 Desember Tgl 15 Desember
Keperawatan 2020 2020 2020
Kerusakan S: S: S:
integritas Klien mengatakan Klien mengatakan Klien mengatakan
jaringan kaki sebelah kiri kaki sebelah kiri kaki sebelah kiri
terdapat luka, terdapat luka, terdapat luka,
bengkak dan nyeri bengkak dan nyeri bengkak dan nyeri

O: O: O:
k/u : cukup, k/u : cukup, k/u : cukup,
Kesadaran : Kesadaran : Kesadaran :
Composmentis GCS Composmentis Composmentis GCS
4-5-6 GCS 4-5-6 4-5-6
Konjungtiva pucat Konjungtiva pucat Konjungtiva pucat
Skala nyeri 4 Skala nyeri 4 Skala nyeri 4
(sedang) CRT < 2 (sedang) CRT < 2 (sedang) CRT < 2
detik detik detik
TTV : TTV : TTV :
TD : 140/70 mmhg TD : 140/70 mmhg TD : 140/80 mmhg
N :80 x/mnt, N :84 x/mnt, N :84 x/mnt,
S : 36,5 0C S : 36,4 0C S : 36,7 0C
RR : 24 x/mnt RR : 24 x/mnt RR : 24 x/mnt
GDA : 342 mg/dL GDA : 285 mg/dL GDA : 200 mg/dL
Terdapat ulkus Terdapat ulkus Terdapat ulkus
diabetikum manus diabetikum manus diabetikum manus
(S) grade 3-4 fase (S) grade 3-4 fase (S) grade 3-4 fase
inflamasi, panjang 6 inflamasi, panjang inflamasi, panjang 6
cm dan lebar 3 cm , 6 cm dan lebar 3 cm dan lebar 3 cm ,
selulitis (+), odor cm , selulitis (+), selulitis (+), odor
(+), nekrosis (+), odor (+), nekrosis (+), nekrosis (+),
bledding (+), hole (+), bledding (+), bledding (+), hole
(+), pus (+), kulit hole (+), pus (+), (+), pus (+), kulit
disekitar luka kulit disekitar luka disekitar luka
kehitaman dan kehitaman dan kehitaman dan
mengelupas dan mengelupas dan mengelupas dan
terdapat krepitasi. terdapat krepitasi. terdapat krepitasi.

A : Masalah belum A : Masalah belum A : Masalah belum


teratasi teratasi teratasi

P : Intervensi P : Intervensi P : Intervensi


dilanjutkan dilanjutkan dilanjutkan
1. Monitor 1. Monitor 1. Monitor
karakteristik karakteristik karakteristik
luka (misalnya luka (misalnya luka (misalnya
drainase, drainase, drainase, warna,
warna, ukuran, warna, ukuran, ukuran, bau)
bau) bau) 2. Monitor tanda-
2. Monitor tanda- 2. Monitor tanda infeksi
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. 2015. Referrat Penatalaksanaan DM Tipe II. Jakarta : Fakultas


Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Agromedia.2009. Solusi Sehat Mengatasi Diabetes . Edisi 1 . Jakarta : Agromedia
Pustaka
Carpenito Lynda Juall. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi
13.Jakarta:EGC
Contra & Robbins. 2010. Dasar Patologis Penyakit. Edisi 7. Jakarta: EGC

Corwin, E.J, 2011, Patofisiologi, Alih Bahasa Brahm U, Pandit Jakarta : EGC.

Dongoes, Marlyn E.2015. Rencana Asuhan Keperawatan.Jakarta:EGC.

Hermand, T. H., & Katmitsuru, S. 2018. Diagnosis Keperawatan Definisi &


Klasifikasi 2015-2017. Edisi 10. Jakarta: EGC.

Mansjoer, Arif, dkk.2012.Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Jakarta : FKUI


Media Aesculapius
Nurarif, 2015. Apilkasi Asuhan Keperawatan berdasarkan NANDA. Yogyakarta :
Media Action

Nuril Huda.2014. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Eksokrin


Dan Endokrin Pada Pankreas. Edisi 1 Yogyakarta :Graha Ilmu
Okatiranti. 2013. Diabetes Mellitus:Gangren,Ulcer,Infeksi. Jakarta: Pustaka.
Populer Obor.

Padila, 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Bengkulu

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). 2011. Konsensus


Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Mellitus di Indonesia. Jakarta
Prabowo. 2012.Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Endokrin Jakarta:EGC

Smeltzer et al, Suzanne C. 2013. Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth. Jakarta: EGC
Sudoyo. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : FKUI IPD
Sukarmin Riyadi .2009. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan
Eksokrin Dan Endokrin Pada Pankreas. Edisi 1 Yogyakarta :Graha
Ilmu
Sutedjo,A dkk.2010. Asuhan Keperawatan pada klien dengan Gangguan
Endokrin. Jakarta : EGC

Taqiyyah. 2013. Buku Panduan Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 1. Yogyakarta

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2018. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI

Widharto, 2009. Kencing manis (Diabetes). Jakarta: PT Sunda Kelapa

Wilkinson, Judith M. 2013.Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis


NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil/NOC.Yogyakarta: Media
Hardi.

Anda mungkin juga menyukai