1. Mazhab klasik
Pemikiran ekonomi David Ricardo (1772-1823) adalah salah satu pilar dalam sejarah
pemikiran ekonomi klasik (Vaggi et al, 2003). Ricardo dikenal karena kontribusinya terhadap
teori-nilai tenaga kerja, teori komparatif keunggulan, dan analisisnya tentang perdagangan
internasional (Meoqui, 2011). Pemikiran dan teori ekonomi David Ricardo secara lebih rinci
beserta dampaknya yang berlangsung hingga saat ini, serta bantahan atau penyempurnaan
terhadap aliran pemikiran sebelumnya adalah sebagai berikut:
David Ricardo menganut pandangan bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh
jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam produksi, dan ia memperdalam konsep
teori nilai tenaga kerja yang pertama kali diusulkan oleh Adam Smith (Sandmo,
2011). Pandangan ini mengakui bahwa jumlah jam kerja yang diperlukan untuk
memproduksi suatu barang adalah faktor penentu utama dari nilai relatif barang
tersebut.
Konsep ini, yang dikenal sebagai teori nilai tenaga kerja inheren atau nilai kerja relatif,
menyatakan bahwa nilai suatu barang mencerminkan jumlah tenaga kerja yang
dibutuhkan untuk menghasilkannya. Ricardo menganggap bahwa penentuan nilai
barang oleh tenaga kerja ini lebih objektif dan konsisten daripada konsep nilai yang
mungkin tergantung pada preferensi subjektif (Groenewegen, 1993).
Pandangan Ricardo ini menjadi salah satu aspek kunci dalam ekonomi klasik dan
merupakan perbaikan atau penyempurnaan dari pandangan Adam Smith tentang
teori nilai tenaga kerja. Meskipun konsep nilai tenaga kerja ini telah melalui kritik dan
perkembangan selama berabad-abad, pengaruh pemikiran Ricardo tetap terasa
dalam pemikiran ekonomi dan teori nilai ekonomi.
Salah satu kontribusi terbesar David Ricardo dalam ekonomi adalah teori komparatif
keunggulan (Ruffin, 2002). Teori ini menjelaskan mengapa perdagangan internasional
dapat menguntungkan dua negara, bahkan jika salah satu negara lebih efisien dalam
memproduksi semua barang. Konsep ini telah menjadi dasar bagi pemahaman
perdagangan internasional dalam ekonomi dan kebijakan perdagangan.
Inti dari teori komparatif keunggulan adalah bahwa negara sebaiknya fokus pada
produksi barang yang mereka bisa hasilkan dengan biaya yang lebih rendah daripada
negara lain (Warr, 1994). Dalam hal ini, "keunggulan komparatif" merujuk pada
kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang tertentu dengan biaya yang
lebih rendah relatif dibandingkan dengan barang lainnya, atau dengan biaya yang
lebih rendah dibandingkan dengan negara lain. Dengan kata lain, setiap negara
seharusnya memproduksi barang di mana mereka memiliki keunggulan komparatif.
Teori komparatif keunggulan David Ricardo tetap sangat berpengaruh dalam studi
ekonomi internasional dan kebijakan perdagangan hingga saat ini, dan konsep ini
digunakan untuk merumuskan strategi perdagangan dan kebijakan ekonomi
internasional.
David Ricardo, seorang ekonom klasik terkemuka, juga dikenal karena kontribusinya
dalam teori distribusi pendapatan (Stirati, 1994). Menurut pemikiran Ricardo, ada
konflik inherent antara pemilik modal (yang memperoleh keuntungan perusahaan)
dan buruh (yang menerima upah) (Hayek, 1942). Ia berpendapat bahwa keuntungan
perusahaan cenderung meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi, terutama
karena permintaan yang semakin tinggi terhadap tanah pertanian produktif, yang
mengakibatkan harga sewa tanah naik. Di sisi lain, upah buruh cenderung tetap
rendah karena persaingan di pasar tenaga kerja. Konsep ini memberikan dasar untuk
memahami ketidaksetaraan pendapatan dan konflik kelas dalam masyarakat.
Pandangan Ricardo tentang distribusi pendapatan, meskipun telah mengalami
perkembangan dan kritik sepanjang sejarah, masih memiliki dampak besar dalam
ekonomi politik dan analisis ekonomi modern, dan membantu membentuk dasar-
dasar pemikiran tentang isu-isu sosial dan ekonomi yang relevan hingga saat ini.
Pemikiran terkait teori nilai tanah oleh David Ricardo adalah bahwa harga tanah
cenderung meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi dan permintaan lahan
(Murray, 1977). Pandangan ini merupakan salah satu elemen kunci dalam teori
distribusi pendapatan dan memainkan peran penting dalam pemahaman kita
tentang pasar properti dan pertumbuhan urban hingga saat ini.
Menurut Ricardo, karena pertumbuhan populasi dan perkembangan ekonomi, lahan
pertanian yang produktif menjadi semakin berharga (Lambin, 2012). Permintaan
yang lebih tinggi terhadap tanah ini mendorong harga sewa tanah naik. Hal ini
menciptakan ketidaksetaraan pendapatan yang lebih besar karena pemilik tanah
yang memegang hak sewa mendapatkan manfaat dari kenaikan harga tanah ini.
Pandangan ini juga telah memengaruhi pemikiran tentang pembangunan kota dan
tata ruang kota, di mana permintaan atas lahan perkotaan biasanya mengarah pada
kenaikan harga properti dan lahan.
Pemahaman ini tentang nilai tanah dan hubungannya dengan pertumbuhan populasi
dan perkembangan ekonomi masih relevan dalam analisis pasar properti,
perencanaan kota, dan kebijakan perumahan modern. Karena itu, pemikiran David
Ricardo tentang teori nilai tanah memiliki dampak yang berkelanjutan dalam
ekonomi dan perencanaan wilayah hingga saat ini.
Pemikiran David Ricardo sangat berpengaruh dalam ekonomi klasik dan tetap relevan
hingga saat ini (Barber, 2009). Kontribusinya dalam teori komparatif keunggulan, nilai
tenaga kerja, ketidaksetaraan pendapatan, dan hukum tanah adalah elemen-elemen
penting dalam sejarah pemikiran ekonomi yang terus memengaruhi pemahaman
ekonomi modern.
Pemikiran tentang ketidaksetaraan pendapatan dan peran hukum tanah juga tetap
penting dalam analisis ekonomi saat ini, terutama dalam pemahaman dinamika
distribusi pendapatan dan isu-isu tanah dan properti dalam perkembangan
perkotaan dan pertumbuhan populasi.
Dengan demikian, kontribusi David Ricardo dalam ekonomi klasik masih memiliki
dampak yang kuat dan relevan dalam studi ekonomi kontemporer, dan pemikirannya
terus membentuk pemahaman kita tentang berbagai aspek ekonomi.
Namun, ada beberapa bantahan dan penyempurnaan terhadap pemikiran David Ricardo:
1. Teori Nilai
Meskipun teori komparatif keunggulan yang dikemukakan oleh David Ricardo telah
berperan sentral dalam pemahaman perdagangan internasional, ada kritik dan
pengecualian yang menunjukkan bahwa teori ini mungkin tidak selalu berlaku dalam
situasi dunia nyata. Salah satu kritik utama adalah ketidaksetaraan akses terhadap
sumber daya, di mana negara-negara atau kelompok dalam masyarakat dapat
memiliki akses yang sangat tidak seimbang terhadap sumber daya ekonomi, yang
menghambat kemampuan mereka untuk mengembangkan keunggulan komparatif
dalam produksi (Chase-Dunn, 1975). Selain itu, perbedaan dalam tingkat
perkembangan ekonomi antara negara-negara dapat mengakibatkan negara yang
kurang berkembang kesulitan untuk mengikuti dan memanfaatkan keunggulan
komparatif mereka (Bell & Pavitt, 1995). Faktor-faktor non-ekonomi seperti politik,
hambatan perdagangan, dan aspek sosial juga dapat berperan dalam mengubah
dinamika perdagangan internasional (Mistry, 2003). Terakhir, ada situasi di mana
negara mungkin ingin melindungi atau membangun industri strategis yang dianggap
penting, meskipun tidak memiliki keunggulan komparatif dalam produksi industri
tersebut. Dengan demikian, dalam dunia nyata, analisis perdagangan internasional
dan kebijakan ekonomi harus mempertimbangkan berbagai faktor ekonomi dan non-
ekonomi yang kompleks dan kontekstual untuk membuat keputusan yang tepat
(Jackson, 1997).
Kritik terhadap teori distribusi pendapatan yang dikemukakan oleh David Ricardo
adalah kritik yang beralasan dalam ekonomi kontemporer (Kurz, 2010). Salah satu
kritik utama adalah bahwa teori ini seringkali terlalu sederhana dan tidak
mencerminkan faktor-faktor modern yang mempengaruhi pendapatan individu.
Sebagian besar ekonom kontemporer setuju bahwa pendapatan individu tidak hanya
ditentukan oleh faktor tenaga kerja atau kepemilikan tanah, seperti yang dinyatakan
dalam teori distribusi Ricardo (Morishima, 1990). Faktor-faktor seperti modal
manusia, keterampilan, pendidikan, teknologi, dan inovasi juga memainkan peran
besar dalam menentukan tingkat pendapatan individu (Dakhli & De Clercq, 2004).
Misalnya, individu dengan keterampilan atau pendidikan yang tinggi cenderung
memiliki pendapatan yang lebih tinggi daripada individu dengan keterampilan atau
pendidikan yang rendah (Hendel et al, 2005). Selain itu, faktor teknologi dan inovasi
memengaruhi peluang dan produktivitas individu dalam dunia kerja (Pot, 2011).
Dengan kata lain, teori distribusi pendapatan Ricardo telah berkembang dan
diperluas untuk mencakup faktor-faktor modern yang lebih kompleks dalam analisis
ketidaksetaraan pendapatan. Ini mencerminkan kompleksitas ekonomi dan sosial
masyarakat kontemporer, dan menunjukkan bahwa pendapatan individu dipengaruhi
oleh sejumlah faktor yang lebih luas daripada apa yang diakui dalam teori distribusi
pendapatan klasik.
Meskipun ada bantahan dan penyempurnaan terhadap pemikiran David Ricardo, warisan
intelektualnya tetap menjadi bagian penting dalam sejarah pemikiran ekonomi dan terus
memengaruhi kebijakan ekonomi dan analisis ekonomi hingga saat ini. Kontribusinya dalam
teori komparatif keunggulan, nilai tenaga kerja, teori distribusi pendapatan, dan konsep nilai
tanah telah membentuk dasar-dasar pemahaman ekonomi politik dan perdagangan
internasional.
Pemikiran David Ricardo mencerminkan warisan yang kuat dalam sejarah ekonomi, dan
konsep-konsepnya tetap memberikan landasan penting dalam memahami dinamika
ekonomi saat ini dan merumuskan kebijakan ekonomi yang relevan dengan kompleksitas
zaman modern.
Thomas Robert Malthus (1766-1834) adalah seorang ekonom Inggris dan pendeta Gereja
Inggris yang dikenal atas pemikirannya dalam bidang ekonomi dan demografi. Pemikiran
utamanya berkaitan dengan pertumbuhan populasi, sumber daya, dan permasalahan sosial.
Berikut mengenai pemikiran ekonomi Malthus dan dampaknya yang berlangsung hingga
saat ini, serta bantahan atau penyempurnaan terhadap aliran pemikiran sebelumnya:
Pemikiran Malthus juga memengaruhi pemikiran dalam ekonomi klasik (Wrigley, 1988).
Konsep-konsepnya tentang keterbatasan sumber daya dan krisis populasi menciptakan
pemahaman tentang teori nilai tenaga kerja, distribusi pendapatan, dan ketidaksetaraan
yang masih relevan dalam analisis ekonomi modern.
Bantahan utama terhadap teori Malthusian adalah bahwa teori ini tidak
mempertimbangkan peran inovasi teknologi dalam meningkatkan produksi makanan
dan sumber daya alam lainnya (Pender, 1998). Dalam realitas sejarah, perkembangan
teknologi pertanian yang lebih baik, praktik produksi yang lebih efisien, serta inovasi
dalam pemenuhan kebutuhan manusia telah memungkinkan pertumbuhan produksi
makanan yang lebih cepat daripada pertumbuhan populasi (Juma, 2015). Hal ini telah
menggugurkan prediksi Malthus tentang kelaparan yang terus-menerus.
Teknologi pertanian yang lebih maju, seperti mesin pertanian, pemuliaan tanaman,
pupuk kimia, dan praktik irigasi yang lebih efisien, telah memungkinkan produksi
makanan untuk mengimbangi atau bahkan melampaui pertumbuhan populasi. Inovasi-
inovasi ini telah mengubah dinamika ketersediaan makanan dan sumber daya alam,
sehingga kelaparan yang terus-menerus seperti yang diperkirakan oleh Malthus tidak
terjadi (Friedrichs, 2014).
Dalam dunia ekonomi dan demografi yang semakin kompleks, banyak ekonom dan
demografer telah mengembangkan model-model yang lebih komprehensif untuk
menjelaskan hubungan antara pertumbuhan populasi dan ketersediaan sumber daya
(Kelley & Schmidt, 2001). Model-model ini memasukkan faktor-faktor yang lebih luas,
seperti teknologi, perkembangan ekonomi, dan struktur sosial, untuk memberikan
pemahaman yang lebih holistik. Teknologi berperan kunci dalam model-model ini,
karena inovasi teknologi memungkinkan peningkatan produktivitas dan dapat
memitigasi ketidakseimbangan antara pertumbuhan populasi dan produksi. Selain itu,
model-model tersebut mempertimbangkan aspek-aspek ekonomi seperti tingkat
pertumbuhan ekonomi, alokasi sumber daya, dan investasi dalam infrastruktur sebagai
faktor-faktor penting dalam mengatasi tantangan populasi dan sumber daya. Struktur
sosial, termasuk pendidikan, kesehatan, ketidaksetaraan, dan akses terhadap sumber
daya, juga menjadi perhatian dalam pemodelan modern ini. Terakhir, keberlanjutan dan
dampak lingkungan menjadi sorotan penting, dengan upaya untuk memahami dan
merumuskan kebijakan yang lebih berkelanjutan dalam menghadapi tantangan
pertumbuhan populasi dan ketersediaan sumber daya (Xiaoman et al, 2021). Model-
model ini mencerminkan pemahaman yang lebih menyeluruh tentang interaksi antara
manusia, populasi, dan lingkungan, dan digunakan sebagai dasar untuk merumuskan
kebijakan dan strategi yang lebih berkelanjutan dalam menghadapi tantangan masa
depan.
Meskipun banyak dari prediksi Malthus tidak terbukti dalam konteks sejarah modern,
pemikirannya tetap relevan dalam analisis dan perdebatan tentang pertumbuhan
populasi global, ketersediaan sumber daya, dan keberlanjutan (Linnér, 2023). Pemikiran
Malthus telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman isu-isu global yang
terkait dengan ketahanan sumber daya dan dampak lingkungan (Floyd & Matthew,
2013).
Upaya-upaya ini juga telah melahirkan diskusi yang lebih luas tentang isu-isu global
seperti ketahanan pangan, redistribusi kekayaan, dan pertumbuhan ekonomi inklusif.
Pemikiran Malthusian, dalam hal ini, telah memicu kesadaran akan tantangan-tantangan
sosial dan ekonomi yang perlu diatasi dalam rangka mencapai keberlanjutan dan
kesejahteraan manusia.
Thomas Malthus adalah salah satu pemikir ekonomi klasik yang memiliki dampak yang
signifikan pada pemikiran ekonomi dan perkembangan sosial. Meskipun pemikirannya telah
menjadi subjek perdebatan dan revisi sepanjang sejarah, kontribusinya terhadap
pemahaman tentang pertumbuhan populasi dan sumber daya masih menjadi topik yang
sangat penting dalam ekonomi dan perdebatan kebijakan hingga saat ini.
Pemikiran Malthus telah mendorong kesadaran akan tantangan ketahanan sumber daya,
dampak lingkungan, isu-isu kelaparan, dan kemiskinan. Ini telah memotivasi upaya-upaya
untuk mencari solusi inovatif dan kebijakan yang dapat mengatasi ketidakseimbangan antara
pertumbuhan populasi dan ketersediaan sumber daya. Selain itu, pemikirannya juga telah
mendorong pengembangan model-model ekonomi yang lebih komprehensif dan inklusif
yang mempertimbangkan faktor-faktor seperti teknologi, perkembangan ekonomi, dan
struktur sosial.
Dengan demikian, warisan pemikiran Malthus tetap relevan dalam pemahaman tantangan-
tantangan global seperti pertumbuhan penduduk, ketahanan sumber daya, dan
keberlanjutan, dan terus memberikan panduan untuk merumuskan kebijakan yang
berkelanjutan dan menjaga kesejahteraan manusia dan planet kita.
John Stuart Mill (1806-1873) adalah salah satu tokoh utama dalam ekonomi klasik yang juga
memiliki kontribusi besar dalam filsafat, politik, dan etika (Hollander, 2015). Pemikirannya
yang luas mencakup banyak aspek ekonomi dan masyarakat. Berikut mengenai pemikiran
ekonomi John Stuart Mill dan dampaknya yang berlanjut hingga saat ini, serta bantahan atau
penyempurnaan terhadap aliran pemikiran sebelumnya:
1. Utilitarianisme
John Stuart Mill, seorang pemikir etika yang dikenal sebagai seorang utilitarian, telah
memberikan kontribusi signifikan dalam pemahaman etika dan kebijakan public
(O'Connor, 1997). Pemikirannya didasarkan pada prinsip bahwa tindakan etis harus
dinilai berdasarkan konsekuensinya, dengan fokus pada penciptaan "kebahagiaan
terbesar bagi sebanyak mungkin orang." Prinsip ini menekankan pentingnya
menciptakan manfaat yang maksimal bagi mayoritas individu yang terlibat dalam suatu
tindakan, dengan kalkulasi yang rasional dan pertimbangan dampak positif dan negatif.
Prinsip utilitarianisme yang dianut oleh Mill bersifat universal dan mengikat semua
individu tanpa memandang perbedaan sosial atau latar belakang. Konsep ini memiliki
dampak dalam pembuatan kebijakan publik di berbagai bidang, memandu upaya
pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun utilitarianisme
mendapatkan kritik terkait subjektivitas penilaian kebahagiaan dan masalah hak
individu, pemikiran Mill tetap relevan dalam pembahasan etika dan kebijakan publik,
dan prinsip "kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang" tetap menjadi
panduan dalam banyak pertimbangan etis dan kebijakan yang ada saat ini.
Mill adalah seorang pendukung kuat gagasan pasar bebas dan kebebasan individu
(Persky, 2016). Pemikirannya terkait dengan ekonomi dan politik sangat sejalan dengan
prinsip-prinsip ekonomi klasik yang menekankan pentingnya pasar yang bebas,
persaingan, dan efisiensi ekonomi.
Mill berpendapat bahwa campur tangan pemerintah dalam ekonomi harus dibatasi dan
hanya dapat diterima jika tujuannya adalah melindungi individu atau masyarakat dari
bahaya atau penindasan (Claeys, 2013). Dia memahami bahwa pasar bebas dan
persaingan adalah cara yang efisien untuk mencapai kemakmuran ekonomi, tetapi juga
merasa bahwa pemerintah memiliki peran dalam mengoreksi ketidakadilan sosial dan
melindungi hak-hak individu. Ini mencakup upaya untuk mengatasi masalah seperti
ketidaksetaraan, eksploitasi buruh, dan perlindungan lingkungan.
Pandangan Mill mencerminkan konsep yang lebih luas dalam pemikiran liberal klasik,
yang menghargai kebebasan individu dan memiliki keyakinan dalam kemampuan pasar
untuk mencapai efisiensi ekonomi (Goodlad, 2008). Meskipun pendapat-pendapatnya
telah menjadi subjek perdebatan dalam konteks ekonomi dan politik modern, warisan
pemikiran Mill tetap relevan dalam pembahasan tentang peran pemerintah dalam
ekonomi dan hubungan antara kebebasan individu dan efisiensi pasar.
Dalam pandangan Mill, nilai suatu barang tidak hanya ditentukan oleh jumlah tenaga
kerja yang digunakan dalam produksinya, tetapi juga dipengaruhi oleh mekanisme pasar
seperti permintaan dan penawaran (Baumol, 1977). Dengan kata lain, nilai suatu barang
tidak hanya bersifat inheren dari segi tenaga kerja yang terlibat dalam produksi, tetapi
juga dapat berfluktuasi berdasarkan tingkat permintaan dan penawaran di pasar. Ini
adalah perluasan yang signifikan terhadap teori nilai tenaga kerja yang lebih klasik yang
lebih menekankan pada aspek-produksi.
Pendekatan Mill ini membantu menjelaskan mengapa harga barang bisa berfluktuasi
dalam respon terhadap perubahan dalam permintaan dan penawaran di pasar (Nelson,
1985). Pemikirannya yang lebih inklusif ini telah memengaruhi perkembangan teori nilai
dan harga dalam ekonomi, dan memberikan landasan bagi pemahaman dinamika pasar
dan harga dalam konteks ekonomi modern.
4. Distribusi Pendapatan
John Stuart Mill mengakui pentingnya isu distribusi pendapatan dan setuju dengan
pandangan David Ricardo tentang konflik yang mungkin muncul antara keuntungan dan
upah buruh dalam ekonomi (Aßländer, 2015). Mill memandang bahwa ketidaksetaraan
dalam distribusi pendapatan dapat menciptakan ketidakadilan sosial dan konflik dalam
masyarakat.
Mill memandang bahwa jika keuntungan suatu perusahaan terlalu besar dan
menyebabkan ketidaksetaraan pendapatan yang berlebihan, pemerintah dapat memiliki
peran dalam mengoreksi ketidaksetaraan tersebut (Mankiw, 2013). Dalam hal ini,
campur tangan pemerintah dapat berarti pengenakan pajak yang lebih tinggi pada
keuntungan, pembuatan undang-undang perlindungan buruh, atau langkah-langkah
kebijakan lainnya untuk mengurangi ketidaksetaraan pendapatan.
Selain itu, Mill juga menganggap partisipasi politik yang lebih luas sebagai fondasi
demokrasi yang kuat (Duncan, 1969). Ia memandang bahwa semakin banyak orang yang
terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik, semakin demokratis suatu
masyarakat. Partisipasi politik yang aktif dan informasi yang baik adalah kunci bagi
masyarakat yang cerdas dan efisien dalam mengatasi masalah dan mengambil
keputusan yang tepat.
Pemikiran Mill tentang pendidikan universal dan partisipasi politik yang lebih luas telah
memengaruhi perkembangan sistem pendidikan dan pembentukan nilai-nilai
demokratis di banyak negara (Bovens & Wille, 2017). Pandangannya tentang peran
pendidikan dan partisipasi politik dalam membangun masyarakat yang kuat dan inklusif
tetap relevan dalam diskusi tentang pendidikan dan demokrasi hingga saat ini.
John Stuart Mill adalah seorang pemikir yang mendukung campur tangan pemerintah
dalam upaya memerangi kemiskinan ekstrem dan ketidaksetaraan (Kurer, 2016).
Meskipun ia adalah seorang pendukung pasar bebas dan kebebasan individu, Mill juga
memandang bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi masyarakat
yang paling rentan dan mempromosikan kesejahteraan umum.
Pandangan ini mencerminkan pendekatan sosial liberal dalam pemikiran Mill, di mana
kebebasan individu diimbangi dengan tanggung jawab sosial pemerintah (Mill, 1998). Ia
memandang bahwa campur tangan pemerintah dalam mempromosikan kesejahteraan
umum adalah suatu cara untuk mencapai keseimbangan antara kebebasan individu dan
keadilan sosial.
Pemikiran John Stuart Mill tentang kebebasan individu, utilitarianisme, dan peran
pemerintah dalam mempromosikan kesejahteraan tetap relevan dalam debat-debat
kontemporer tentang kebijakan ekonomi, sosial, dan politik (O'Connor, 1997). Pemikiran
Mill mengenai kebebasan individu yang kuat, serta perlunya membatasi campur tangan
pemerintah dalam kehidupan pribadi dan ekonomi, terus menjadi dasar dalam
perdebatan tentang hak-hak individu, privasi, dan kebebasan berpendapat dalam era
digital dan konteks hak sipil yang berkembang pesat. Konsep utilitarianisme yang dianut
oleh Mill, yang berfokus pada penciptaan "kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin
orang," masih digunakan sebagai kerangka kerja etika dalam evaluasi kebijakan dan
tindakan pemerintah. Ini membantu memahami dan menilai dampak konsekuensial dari
berbagai tindakan dan kebijakan. Selain itu, pemikiran Mill tentang peran pemerintah
dalam melindungi masyarakat yang paling rentan dan mempromosikan kesejahteraan
umum masih menjadi dasar bagi pembahasan kebijakan sosial, termasuk pendirian
sistem kesejahteraan sosial dan tindakan pemerintah dalam mengatasi ketidaksetaraan
ekonomi. Pemikiran Mill mencerminkan keseimbangan antara kebebasan individu dan
tanggung jawab sosial pemerintah, yang menjadi subjek sentral dalam pembahasan
kebijakan kontemporer, yang mencerminkan nilai-nilai etika, hak individu, dan
kesejahteraan sosial dalam masyarakat modern.
Pandangan John Stuart Mill tentang keadilan dalam distribusi pendapatan dan peran
pemerintah dalam melindungi yang rentan telah memainkan peran kunci dalam
perkembangan ekonomi sosial dan konsep negara kesejahteraan. Pemikiran Mill yang
menekankan perlunya mengoreksi ketidaksetaraan pendapatan dan memberikan
perlindungan bagi individu dan kelompok yang paling rentan telah memicu
pembentukan sistem kesejahteraan sosial di banyak negara. Negara kesejahteraan, yang
melibatkan peran pemerintah dalam menyediakan layanan publik dan jaringan
perlindungan sosial, adalah konsep yang sangat dipengaruhi oleh pandangan Mill. Selain
itu, pemikiran Mill juga berperan dalam pembentukan kebijakan terkait pendapatan
minimum, hak asasi sosial, dan perlindungan hak-hak individu dalam konteks ekonomi
dan sosial. Pemikiran ini terus memengaruhi upaya-upaya yang bertujuan untuk
mencapai kesejahteraan sosial dan keadilan ekonomi, dan konsep-konsep tersebut tetap
relevan dalam menangani masalah sosial dan ekonomi kontemporer di seluruh dunia.
John Stuart Mill, sementara meneruskan beberapa pandangan ekonomi klasik sebelumnya,
seperti teori-nilai tenaga kerja, juga memberikan nuansa dan perluasan yang signifikan
dalam pemikirannya. Salah satu elemen yang membedakan pemikiran Mill adalah inklusi
unsur etika yang kuat dalam analisis ekonomi dan kebijakan. Konsep utilitarianisme yang
dianutnya, yaitu menciptakan "kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang," adalah
contoh bagaimana Mill mengintegrasikan etika ke dalam pemikirannya tentang ekonomi dan
masyarakat.
Pandangan-pandangan ini tetap menjadi topik penting dalam ekonomi, etika, dan kebijakan
publik hingga saat ini. Konsep-konsep seperti kebebasan individu, peran pemerintah dalam
melindungi masyarakat yang rentan, dan distribusi pendapatan yang adil terus menjadi
pusat perdebatan dalam perkembangan kebijakan ekonomi dan sosial. Pemikiran Mill telah
memberikan landasan untuk memahami dan merumuskan kebijakan yang mencerminkan
nilai-nilai etika dan keadilan dalam masyarakat modern. Oleh karena itu, warisan intelektual
Mill tetap relevan dalam memahami dan mengatasi tantangan dan masalah kontemporer.
2. Mazhab Sosialis
François-Noël Babeuf (1760-1797), yang lebih dikenal dengan julukan "Gracchus Babeuf" Ia
adalah seorang tokoh penting dalam sejarah pemikiran sosialis, terutama pada masa
Revolusi Prancis (Hanson, 2015). Berikut mengenai pemikiran ekonomi dan teori ekonomi
yang dikemukakan oleh François-Noël Babeuf:
1. Sosialisme Agrarian
2. Komunisme Awal
François-Noël Babeuf juga merupakan salah satu pemikir awal dalam gerakan komunis
(Greene, 2013). Gagasannya tentang pembagian sumber daya dan harta bersama untuk
mencapai kesetaraan sosial yang lebih besar sejalan dengan prinsip-prinsip dasar
komunisme. Meskipun gagasannya belum sepenuhnya berkembang menjadi konsep
komunisme modern yang lebih terstruktur, ia memberikan dasar bagi pemikiran ini.
Pandangan Babeuf tentang kepemilikan bersama sumber daya dan distribusi yang
merata dari hasil pertanian dan harta benda adalah bagian dari upaya untuk
menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara. Ide ini merupakan salah satu aspek
yang berkembang dalam pemikiran komunis modern, di mana kepemilikan bersama atas
produksi dan distribusi hasilnya menjadi prinsip sentral.
Babeuf dan kontribusinya dalam pemikiran komunis awal menjadi bagian dari sejarah
perkembangan pemikiran sosialis dan komunis (Mason, 1929). Konsep-konsep yang
muncul dari pemikiran Babeuf, bersama dengan pemikiran tokoh-tokoh komunis seperti
Karl Marx dan Friedrich Engels, telah membentuk dasar untuk perkembangan ideologi
komunis modern dan perjuangan untuk mencapai kesetaraan sosial. Meskipun gagasan-
gagasan komunisme telah mengalami evolusi sepanjang sejarah, pengaruh pemikiran
awal seperti Babeuf tetap relevan dalam pemahaman sejarah dan perkembangan
komunisme.
François-Noël Babeuf sangat kritis terhadap ketidaksetaraan sosial dan ekonomi pada
zamannya (Roza, 2019). Ia melihat sistem feodal dan kapitalis sebagai akar penyebab
ketidaksetaraan ini. Pemikirannya mencerminkan kritik terhadap ketidakadilan sosial
yang mewarnai masyarakat Prancis pada masa Revolusi Prancis dan setelahnya.
Meskipun François-Noël Babeuf dan gerakan sosialis awalnya tidak berhasil mencapai
tujuannya pada masanya, pemikiran dan gagasan yang ia kemukakan tentang
kepemilikan bersama, komunisme, dan ketidaksetaraan sosial tetap menjadi topik
relevan dalam pemikiran ekonomi dan sosial hingga saat ini. Gagasan-gagasannya telah
memberikan landasan dan inspirasi bagi perkembangan pemikiran sosialis dan komunis
selanjutnya, serta menjadi bagian penting dari sejarah perjuangan untuk keadilan sosial.
Selain itu, ketidaksetaraan sosial tetap menjadi perhatian utama dalam analisis sosial
dan kebijakan publik. Pemikiran Babeuf dan gerakan sosialis awalnya telah memberikan
sumbangan yang signifikan dalam pemahaman tentang ketidaksetaraan dan upaya
untuk mencapainya (Deranty, 2020). Gagasan-gagasan ini tetap mempengaruhi diskusi
tentang perubahan sosial, distribusi kekayaan, dan sistem ekonomi yang lebih adil dalam
masyarakat kontemporer. Dengan demikian, warisan intelektual Babeuf tetap relevan
dan menjadi bagian dari dialog sosial dan ekonomi hingga saat ini.
Beberapa konsep sosialisme dan komunisme yang lebih modern, terutama yang muncul
dalam teori-teori Karl Marx, dapat ditelusuri kembali ke pemikiran dan kontribusi
François-Noël Babeuf (Ostrowski & Ostrowski, 2021). Babeuf memainkan peran penting
dalam pengembangan pemikiran sosialis dan komunis, dan pemikirannya memberikan
fondasi yang memengaruhi pemikiran Marx dan gerakan sosialis dan komunis yang lebih
besar. Konsep utama yang bisa ditelusuri hingga pemikiran Babeuf meliputi kepemilikan
bersama, redistribusi kekayaan, kritik terhadap ketidaksetaraan sosial, dan panggilan
untuk perubahan revolusioner. Babeuf menganjurkan kepemilikan bersama sumber
daya alam dan hasil pertanian, ide yang sangat mirip dengan konsep kepemilikan
bersama alat produksi dalam pemikiran Marx, yang menjadi elemen kunci dalam teori
komunisme. Kedua pemikir ini juga menekankan pentingnya redistribusi kekayaan
secara radikal untuk mencapai kesetaraan sosial dan melihat ketidaksetaraan sosial
sebagai akibat dari struktur ekonomi yang tidak adil yang harus diubah melalui
perubahan revolusioner. Meskipun Marx mengembangkan teorinya secara lebih
sistematis dan komprehensif, kontribusi Babeuf dalam membentuk pemikiran sosialis
dan komunis menjadi bagian penting dalam sejarah perkembangan ideologi ini, dan
konsep-konsep yang muncul dari pemikiran Babeuf terus diperdebatkan dan
dieksplorasi dalam konteks pemikiran sosialis dan komunis modern.
Karl Marx, dalam teorinya tentang materialisme historis dan konflik kelas,
mengembangkan konsep-konsep yang lebih sistematis dan komprehensif dalam analisis
ketidaksetaraan ekonomi (Comninel, 2013). Namun, pengaruh pemikiran sosialis awal
seperti Babeuf terlihat dalam penekanannya pada perubahan struktural untuk mencapai
masyarakat yang lebih adil.
Dengan demikian, pemikiran dan kontribusi Babeuf adalah bagian penting dalam
sejarah perkembangan pemikiran sosialis dan komunis. Meskipun pemikiran ini telah
mengalami evolusi dan perubahan sepanjang sejarah, pengaruhnya masih dapat
ditemukan dalam perjuangan yang terus berlanjut untuk mengatasi ketidaksetaraan
ekonomi dan mencapai keadilan sosial.
François-Noël Babeuf dan gerakan sosialis awalnya mungkin tidak mencapai tujuannya pada
masanya, tetapi pemikiran dan gagasannya tetap memengaruhi perkembangan gerakan
sosialis dan komunis selanjutnya. Pandangannya tentang kepemilikan bersama, komunisme,
dan ketidaksetaraan sosial tetap relevan dalam debat-debat ekonomi dan sosial modern.
Kontribusi Babeuf terhadap pemikiran sosialis dan komunis adalah bagian penting dari
sejarah perkembangan ideologi ini, dan gagasan-gagasannya telah membentuk dasar untuk
pemikiran-pemikiran yang lebih modern tentang distribusi kekayaan, ketidaksetaraan, dan
perubahan sosial. Meskipun pemikiran ini telah mengalami evolusi sepanjang sejarah,
pengaruhnya terus terasa dalam upaya untuk mencapai masyarakat yang lebih adil dan
setara.
Referensi
Aßländer, M. S. (2015). Mill, John Stuart, on Ricardo. In The Elgar Companion to David
Ricardo. Edward Elgar Publishing Limited.
Antonelli, C. (2014). The economics of innovation, new technologies and structural change.
Routledge.
Baeten, G. (2000). The tragedy of the highway: Empowerment, disempowerment and the
politics of sustainability discourses and practices. European Planning Studies, 8(1), 69-
86.
Barras, R. (1986). Towards a theory of innovation in services. Research policy, 15(4), 161-173.
Baumol, W. J. (1977). Say's (at least) eight laws, or what Say and James Mill may really have
meant. Economica, 44(174), 145-161
Bell, M., & Pavitt, K. (1995). The development of technological capabilities. Trade,
technology and international competitiveness, 22(4831), 69-101.
Bovens, M., & Wille, A. (2017). Diploma democracy: The rise of political meritocracy. Oxford
University Press.
Brown, L. R., Gardner, G., & Halweil, B. (2014). Beyond malthus: The nineteen dimensions of
the population challenge. Routledge.
Carter, P. L., & Reardon, S. F. (2014). Inequality matters. New York, NY: William T. Grant
Foundation.
Charbit, Y. (2009). Economic, social and demographic thought in the XIXth century: The
population debate from Malthus to Marx. Springer Science & Business Media.
Comninel, G. C. (2013). Critical thinking and class analysis: Historical materialism and social
theory. Socialism and Democracy, 27(1), 19-56.
Dakhli, M., & De Clercq, D. (2004). Human capital, social capital, and innovation: a multi-
country study. Entrepreneurship & regional development, 16(2), 107-128.
David, J. (2009). Applying the concept of right: Fichte and Babeuf. History of political
thought, 30(4), 647-677.
Deranty, J. P. (2020). Redistribution and Recognition from the Point of View of Real Equality:
Anderson and Honneth through the lens of Babeuf. In Paradigms of Justice (pp. 67-89).
Routledge India.
Duncan, G. (1969). John Stuart Mill and Democracy. Politics, 4(1), 67-83.
Goodlad, L. M. (2008). “Character worth speaking of”: Individuality, John Stuart Mill, and the
critique of liberalism. Victorians Institute Journal, 36, 7-46.
Greene, D. E. (2013). Day of the people: Gracchus Babeuf and the communist idea. LINKS
International Journal of Socialist Renewal.
Fajgelbaum, P., Grossman, G. M., & Helpman, E. (2011). Income distribution, product quality,
and international trade. Journal of political Economy, 119(4), 721-765.
Floyd, R., & Matthew, R. (Eds.). (2013). Environmental security: approaches and issues.
Routledge.
Friedrichs, J. (2014). Who’s Afraid of Thomas Malthus?. Understanding Society and Natural
Resources: Forging New Strands of Integration Across the Social Sciences, 67-92.
Hanson, P. R. (2015). Historical dictionary of the French Revolution. Rowman & Littlefield.
Hendel, I., Shapiro, J., & Willen, P. (2005). Educational opportunity and income
inequality. Journal of Public Economics, 89(5-6), 841-870.
Jackson, B. (2013). Equality and the British Left: A study in progressive political thought,
1900-64. Equality and the British Left, 1-272.
Jackson, J. H. (1997). The world trading system: law and policy of international economic
relations. MIT press.
Jones, H. S. (1992). John Stuart Mill as Moralist. Journal of the History of Ideas, 53(2), 287-
308.
Juma, C. (2015). The new harvest: agricultural innovation in Africa. Oxford University Press.
Kelley, A., & Schmidt, R. (2001). Economic and Demographic Change: A Synthesis of Models,
Findings. and Perspectives. În N. Birdsall, A. Kelley úi S. Sinding (Eds.), Population
Matters: Demographic Change, Economic Growth, and Poverty in the Developing
World, New York: Oxford University Press, 67-105.
Kurer, O. (2016). John Stuart Mill (Routledge Revivals): The Politics of Progress. Routledge.
Lambin, E. F. (2012). Global land availability: Malthus versus Ricardo. Global Food
Security, 1(2), 83-87.
Mankiw, N. G. (2013). Defending the one percent. Journal of economic perspectives, 27(3),
21-34.
Mason, E. S. (1929). Blanqui and Communism. Political Science Quarterly, 44(4), 498-527.
Meoqui, J. M. (2011). Comparative advantage and the labor theory of value. History of
Political Economy, 43(4), 743-763.
Mill, J. S. (1998). John Stuart Mill's social and political thought: critical assessments.
Psychology Press.
Murray, R. (1977). Value and theory of rent: part one. Capital & Class, 1(3), 100-122.
O'Connor, M. (1997). John Stuart Mill's utilitarianism and the social ethics of sustainable
development. Journal of the History of Economic Thought, 4(3), 478-506.
Persky, J. (2016). The political economy of progress: John Stuart Mill and modern radicalism.
Oxford University Press.
Pot, F. (2011). Workplace innovation for better jobs and performance. International Journal
of Productivity and Performance Management, 60(4), 404-415.
Roza, S. (2019). Social rights and duties in Babeuf and the neo-Babouvists (1786–
1848). French History, 33(4), 537-553.
Silver, H. (1994). Social exclusion and social solidarity: Three paradigms. Int'l Lab. Rev., 133,
531.
Stirati, A. (1994). The theory of wages in classical economics: a study of Adam Smith, David
Ricardo, and their contemporaries. Edward Elgar Publishing.
Tönnesson, K. D. (1962). The Babouvists: from utopian to practical socialism. Past & Present,
(22), 60-76.
Vaggi, G., Groenewegen, P., Vaggi, G., & Groenewegen, P. (2003). David Ricardo, 1772–1823:
the Rate of Profit. A Concise History of Economic Thought: From Mercantilism to
Monetarism, 137-148.
Wrigley, E. A. (1988). The limits to growth: Malthus and the classical economists. Population
and Development Review, 14, 30-48.
Xiaoman, W., Majeed, A., Vasbieva, D. G., Yameogo, C. E. W., & Hussain, N. (2021). Natural
resources abundance, economic globalization, and carbon emissions: Advancing
sustainable development agenda. Sustainable development, 29(5), 1037-1048