Pendahuluan Tanaman Jagung
Pendahuluan Tanaman Jagung
PERTANIAN
Dosen pengajar:
Kelompok 2
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukut kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmatNya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas berjudul “Hama Tanaman
Jagung’’ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk
memenuhi tugas yang diberikan oleh Dr. Ir. A.A Ayu Agung Sri Sunari M.S. pada
program studi Agroekoteknologi. Selain itu, paper ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang Hama Tanaman Jagung bagi para pembaca dan juga bagi kami.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. A.A Ayu Agung Sri Sunari
M.S.selaku dosen Hama penting tanaman pertanian pada program studi
Agroekoteknologi yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Kami menyadari, bahwa paper yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna baik
segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca guna menjadi
acuan agar bisa lebih baik lagi di masa mendatang.
Penulis
i
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR.........................................................................................................i
DAFTAR ISIi......................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
13 Tujuan
2
BAB II
Famili : Cicadellidae (kelompok serangga bersayap dua yang disebut juga leafhopper)
Genus : Nephotettix
Siklus hidup Nephotettix epicalis melalui empat tahapan, yaitu telur, nimfa, pupa, dan
dewasa. Berikut adalah penjelasan mengenai masing-masing tahapan siklus hidup Nephotettix
epicalis:
3
Nimfa: Setelah menetas, Nephotettix epicalis berubah menjadi nimfa. Nimfa
berukuran lebih kecil daripada dewasa dan tidak memiliki sayap. Nimfa ini akan
melakukan beberapa kali pergantian kulit atau molting sebelum mencapai stadium
dewasa. Jumlah pergantian kulit yang dilakukan oleh nimfa sekitar 5-6 kali,
tergantung pada kondisi lingkungan.
Pupa: Setelah nimfa mengalami pergantian kulit terakhir, Nephotettix epicalis akan
berubah menjadi pupa. Pada tahap ini, tubuh Nephotettix epicalis akan berada di
dalam kapsul pupa yang terletak di bawah permukaan tanah. Pada tahap pupa,
Nephotettix epicalis tidak melakukan aktivitas apa pun.
Dewasa: Setelah masa pupa, Nephotettix epicalis akan keluar sebagai dewasa. Dewasa
memiliki warna hijau dengan panjang sekitar 4-5 mm. Nephotettix epicalis dewasa
biasanya hidup selama 30-50 hari dan melakukan aktivitas seperti makan dan
berkembang biak.
Predator serangga: Beberapa serangga seperti kepik dan kepik hijau merupakan
predator alami Nephotettix apikalis. Serangga predator ini memakan telur, nimfa, dan
dewasa Nephotettix apikalis.
Parasitoid: Parasitoid adalah serangga kecil yang bertelur pada tubuh hama dan
larvanya mengkonsumsi tubuh hama sebagai inangnya. Beberapa parasitoid yang
menginfeksi Nephotettix apikalis antara lain Anagrus sp., Oligosita sp., dan
Gonatocerus sp.
Jamur entomopatogenik: Jamur entomopatogenik seperti Beauveria bassiana dan
Metarhizium anisopliae dapat membunuh Nephotettix apikalis dengan cara
menginfeksi tubuh hama dan mengkonsumsinya.
Predator vertebrata: Beberapa predator vertebrata seperti burung, kadal, dan kecoa
juga memakan Nephotettix apikalis dan membantu mengendalikan populasi hama ini.
Tanaman inang utama dari Nephotettix apikalis adalah tanaman padi. Namun, wereng
ini juga dapat ditemukan pada tanaman lain seperti jagung, sorgum, dan tebu. Meskipun
demikian, dampak serangan Nephotettix apikalis pada tanaman tersebut tidak sebesar pada
tanaman padi.
4
Nephotettix apikalis merupakan hama penting pada tanaman padi dan memiliki
ketergantungan terhadap faktor fisik tertentu untuk mempertahankan kehidupannya.
Beberapa faktor fisik yang memengaruhi kehidupan Nephotettix apikalis adalah:
Suhu: Suhu merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan Nephotettix
apikalis. Hama ini dapat hidup dan berkembang biak pada suhu 20-32°C, namun suhu
optimalnya adalah sekitar 28-30°C.
Kelembaban: Nephotettix apikalis sangat membutuhkan kelembaban untuk hidup.
Hama ini dapat bertahan hidup pada kelembaban relatif sekitar 70-80%.
Cahaya: Nephotettix apikalis adalah hama yang aktif pada siang hari dan cenderung
beristirahat pada malam hari. Oleh karena itu, cahaya juga memengaruhi kehidupan
dan aktivitas hama ini.
Ketinggian tempat: Nephotettix apikalis lebih sering ditemukan di lahan sawah yang
berada di dataran rendah dengan ketinggian sekitar 0-500 mdpl.
Tekstur tanah: Nephotettix apikalis lebih banyak terdapat pada tanah berstruktur
lempung dan liat yang subur.
Nephotettix apikalis juga dapat dipengaruhi oleh faktor kimia yang terdapat di
lingkungan sekitarnya. Beberapa faktor kimia yang memengaruhi kehidupan Nephotettix
apikalis adalah:
5
Komposisi tanah: Komposisi tanah yang berbeda juga dapat mempengaruhi
keberadaan Nephotettix apikalis. Hama ini lebih banyak ditemukan pada tanah
berstruktur lempung dan liat yang subur.
Penggunaan varietas tahan: Varietas padi tahan Nephotettix apikalis dapat dijadikan
solusi efektif dalam pengendalian hama ini. Varietas tahan biasanya memiliki
ketahanan terhadap serangan hama yang tinggi dan cocok untuk ditanam di daerah
dengan serangan hama yang tinggi.
Pengendalian hayati: Penggunaan pengendalian hayati seperti penggunaan parasitoid
dan predator alami, seperti Epiricania melanoleuca, Anagrus spp., dan Cyrtorhinus
lividipennis, dapat membantu mengurangi populasi Nephotettix apikalis dengan cara
yang aman dan ramah lingkungan.
Pengelolaan lingkungan: Pengelolaan lingkungan seperti menjaga kelembaban tanah,
pengaturan waktu tanam dan panen, serta pembuangan sisa tanaman dapat membantu
mengurangi populasi Nephotettix apikalis dengan cara yang alami.
Penggunaan pupuk organik: Penggunaan pupuk organik dapat meningkatkan
kesuburan tanah dan mengurangi kebutuhan akan pupuk kimia, yang dapat
mengurangi populasi Nephotettix apikalis.
Penggunaan teknologi tanam jajar legowo: Penggunaan teknologi tanam jajar legowo
dapat membantu mengurangi populasi Nephotettix apikalis dengan cara meningkatkan
sirkulasi udara dan mengurangi kelembaban di lahan pertanian.
Penggunaan insektisida nabati: Penggunaan insektisida nabati seperti ekstrak daun
mimba, tembakau, dan bawang putih dapat membantu mengurangi populasi
Nephotettix apikalis secara alami dan ramah lingkungan.
Penggunaan insektisida sintetis: Penggunaan insektisida sintetis dapat menjadi solusi
dalam pengendalian Nephotettix apikalis, namun penggunaannya harus sesuai dengan
6
dosis yang direkomendasikan dan dihindari penggunaan yang berlebihan karena dapat
menyebabkan hama menjadi resisten.
Genus : Nilaparvata
Morfologi Nilaparvata lugens memiliki tubuh kecil dengan panjang sekitar 3-4 mm.
Tubuhnya berwarna coklat dengan sayap yang transparan. Wereng coklat memiliki kepala
yang memanjang dan mulut yang disesuaikan untuk menghisap cairan. Serangga ini juga
memiliki dua buah antena, tiga pasang kaki, dan sayap yang transparan.
7
Telur: Telur wereng coklat berbentuk oval dan diletakkan dalam barisan di
atas daun padi atau tanaman inang lainnya. Telur wereng coklat berwarna
kekuningan dan dapat menetas dalam waktu 5-7 hari.
Nimfa: Nimfa wereng coklat melewati lima tahap perkembangan sebelum
mencapai tahap dewasa. Saat nimfa pertama kali menetas, mereka memiliki
ukuran sekitar 1 mm dan berwarna hijau atau coklat kekuningan. Nimfa akan
terus tumbuh dan mengalami beberapa pergantian kulit sebelum mencapai
tahap dewasa.
Dewasa: Setelah mencapai tahap dewasa, wereng coklat memiliki panjang
tubuh sekitar 4-5 mm. Wereng coklat jantan memiliki sayap dan dapat
terbang, sementara wereng coklat betina tidak memiliki sayap dan biasanya
tetap di atas tanaman inang.
Kopulasi: Wereng coklat jantan mencari pasangan betina dengan cara
mengeluarkan suara ultrasonik. Setelah menemukan pasangan betina, wereng
coklat jantan akan mengawini betina dan menghasilkan telur-telur yang akan
diletakkan pada tanaman inang.
Oviposisi: Wereng coklat betina meletakkan telur-telurnya pada tanaman
inang dalam barisan. Setiap telur diletakkan di bawah lapisan daun
menggunakan rahangnya. Telur wereng coklat betina berwarna kuning atau
coklat pucat dan biasanya menetas dalam waktu 5-7 hari.
Reproduksi: Wereng coklat dapat menghasilkan sekitar 5-10 generasi dalam
setahun, tergantung pada kondisi lingkungan dan keberadaan sumber daya
makanan yang cukup. Wereng coklat biasanya menjadi lebih aktif pada musim
kemarau ketika persediaan air berkurang dan musim hujan ketika persediaan
makanan melimpah.
Pola penyebaran wereng coklat menyebar ke berbagai jenis tanaman padi di seluruh
wilayah tropis dan subtropis. Serangga ini memiliki kemampuan untuk terbang jarak jauh dan
dapat menyebar melalui angin. Wereng coklat juga dapat bermigrasi ke tanaman padi yang
berdekatan melalui pergerakan aktif.
Preferensi makanan wereng coklat lebih memilih varietas padi yang memiliki tingkat
kelembaban yang tinggi, dan lebih sering menyerang tanaman yang tumbuh di daerah yang
lembab. Serangga ini menyerang bagian tanaman yang berisi cairan atau getah, seperti bagian
8
ujung daun, dan mengisap cairan itu dengan mengeluarkan saliva yang beracun. Saat
menyerang tanaman, wereng coklat juga dapat menularkan virus ke tanaman padi.
Pada fase reproduksi, wereng coklat betina menghasilkan telur sebanyak 2-3 butir per
hari dan dapat menghasilkan telur hingga 100 butir selama hidupnya. Telur wereng coklat
diletakkan di bagian ujung daun tanaman padi dan menetas setelah 7-10 hari.
Faktor lingkungan yang memengaruhi kelangsungan hidup wereng coklat adaah suhu
dan kelembaban. Suhu dan kelembaban adalah faktor lingkungan utama yang memengaruhi
perkembangan dan reproduksi wereng coklat. Serangga ini lebih aktif pada suhu sekitar 25-
30°C dan kelembaban sekitar 70%. Pada kondisi yang sangat kering atau basah, populasi
wereng coklat cenderung menurun.
Interaksi dengan tanaman wereng coklat dapat menimbulkan kerusakan yang signifikan
pada tanaman padi dengan menghisap cairan atau getah dari bagian tanaman yang masih
muda. Selain itu, serangga ini juga dapat menularkan virus ke tanaman padi dan
memperburuk kondisi tanaman yang telah terserang hama atau penyakit lainnya
Ada beberapa jenis musuh alami dari Nilaparvata lugens, seperti parasitoid telur,
predator, dan parasitoid pupa. Contoh parasitoid telur yang sering menyerang telur wereng
coklat adalah Anagrus sp., Trissolcus sp., dan Gonatocerus sp. Sementara itu, beberapa
predator alami dari wereng coklat adalah kumbang, laba-laba, dan serangga pemangsa
lainnya. Beberapa parasitoid pupa yang umum dari wereng coklat adalah Tetrastichus sp. dan
Pediobius sp.
Tanaman inang utama dari Nilaparvata lugens adalah padi, tetapi serangga ini juga
dapat menyerang tanaman gulma seperti Rumex sp., Eleusine sp., dan Echinochloa sp. Selain
itu, wereng coklat juga dapat menyerang tanaman jagung dan sorgum.
Berikut adalah beberapa cara pengendalian wereng batang coklat (Nilaparvata lugens)
pada tanaman padi:
9
batang coklat di antaranya adalah laba-laba, kecoa air, dan serangga predator
lainnya.
Penggunaan Varietas Tahan Terhadap Serangan: Pemilihan varietas padi yang
tahan terhadap serangan wereng batang coklat dapat menjadi alternatif
pengendalian secara preventif. Varietas padi yang tahan terhadap serangan
wereng batang coklat, diantaranya IR 36, IR 64, dan Ciherang.
Pengendalian Budaya: Pengendalian wereng batang coklat juga dapat
dilakukan dengan cara budidaya padi secara teratur dan memperhatikan aspek
agronomi yang baik. Seperti perbaikan kualitas tanah, pemupukan yang cukup,
pengairan yang cukup, penggunaan varietas padi yang tahan terhadap serangan
dan penyakit serta menjaga kebersihan saluran air.
Penggunaan Pestisida: Penggunaan pestisida termasuk insektisida bisa
menjadi alternatif pengendalian wereng batang coklat yang cukup efektif.
Namun penggunaan pestisida harus sesuai dengan dosis yang dianjurkan agar
tidak menimbulkan efek samping pada manusia dan lingkungan. Contohnya:
Imidacloprid, Thiamethoxam, Lambda-cyhalothrin,BuprofezinTop of Form
Pengendalian Fisik: Pengendalian wereng batang coklat secara fisik dapat
dilakukan dengan cara memukul daun padi dengan menggunakan sapu yang
terbuat dari anyaman bambu atau kayu. Cara ini cukup efektif dalam
mengurangi populasi wereng batang coklat pada tanaman padi.
10
Filum : Chordata (vertebrata)
Ukuran tubuh: Rattus argentiventer memiliki ukuran tubuh sedang, dengan ltraso
tubuh sekitar 16-25 cm dan berat badan antara 120-250 gram.
Bulu: Bulu pada bagian punggungnya berwarna kecoklatan atau kehitaman,
sedangkan bagian perutnya berwarna perak keputihan. Terdapat garis-garis hitam di
sekitar mata dan telinga. Bagian ujung ekornya ltras selalu berwarna hitam.
Telinga: Telinga Rattus argentiventer kecil dan bundar, tertutup oleh bulu halus.
Mata: Mata Rattus argentiventer cukup besar dan terletak agak ke samping.
Kaki: Rattus argentiventer memiliki kaki pendek dan kuat, dengan jari-jari yang
dilengkapi dengan kuku yang kuat untuk menggali lubang atau menempuh medan
berat.
Gigi: Tikus perak-bellied memiliki gigi-gigi tajam dan kuat yang digunakan untuk
mengunyah makanan.
Reproduksi: Rattus argentiventer mencapai kematangan seksual pada usia 2-3 bulan.
Betina biasanya melahirkan sekitar 4-6 anak dalam setiap kandungan dan dapat
melahirkan hingga 8 kali setiap tahun.
Rattus argentiventer, atau tikus perak-bellied, memiliki siklus hidup sebagai berikut:
Kehamilan: Betina Rattus argentiventer hamil selama sekitar 21-24 hari.
Kelahiran: Biasanya, Rattus argentiventer melahirkan 4-6 anak per kandungan, tetapi
dapat melahirkan hingga 8 anak. Anak tikus ini tidak memiliki bulu dan buta saat
dilahirkan.
Perkembangan: Anak tikus perak-bellied mulai tumbuh bulu pada usia 7-10 hari.
Mereka membuka mata mereka pada usia sekitar 12 hari dan mulai mengunyah
11
makanan padat pada usia 18-21 hari. Anak tikus perak-bellied menjadi dewasa pada
usia sekitar 2-3 bulan.
Reproduksi: Setelah mencapai kematangan seksual, tikus perak-bellied dapat
berkembang biak sepanjang tahun. Betina biasanya melahirkan hingga 8 kali per
tahun.
Usia hidup: Rata-rata, Rattus argentiventer hidup sekitar 1-2 tahun dalam lingkungan
alaminya, tetapi dalam lingkungan yang terkendali seperti dalam penangkaran,
mereka dapat hidup hingga 3-4 tahun.
Habitat: Tikus perak-bellied dapat ditemukan di berbagai habitat, termasuk hutan,
sawah, kebun, perkebunan, dan pemukiman manusia.
Peran dalam ekosistem sebagai hewan ltrason, Rattus argentiventer dapat berperan
sebagai pemakan dan penyebar biji-bijian serta buah-buahan. Namun, mereka juga dapat
merusak tanaman dan menjadi ltras penyakit yang dapat menular pada manusia.
Perilaku tikus perak-bellied umumnya aktif pada malam hari dan memiliki kemampuan
berenang dan memanjat yang baik. Mereka juga dapat membentuk koloni yang besar di
dalam lingkungan yang sesuai.
Potensi sebagai hama Rattus argentiventer dapat merusak tanaman pertanian dan
menyebarkan penyakit seperti leptospirosis dan hantavirus, yang dapat berdampak ltrason
pada ltrasoni manusia.
Suhu. Suhu menjadi ltras penting karena tikus rumah membutuhkan suhu yang hangat
untuk berkembang biak dan bertahan hidup. Suhu optimal untuk perkembangan tikus
rumah adalah antara 20-27°C, namun tikus rumah masih dapat bertahan hidup pada
suhu yang lebih rendah atau lebih tinggi dengan penyesuaian tertentu.
Kelembaban. Kelembaban juga sangat penting bagi perkembangan tikus rumah
karena mereka membutuhkan akses ke air untuk minum dan beraktivitas. Kondisi
kelembaban yang ideal adalah sekitar 50-60%, namun tikus rumah dapat bertahan
hidup pada kondisi yang lebih kering atau lebih lembab dengan cara meminum air dan
mencari tempat perlindungan yang sesuai.
12
Pencahayaan. Pencahayaan juga memainkan peran penting dalam perkembangan tikus
rumah karena mereka lebih aktif pada malam hari dan mencari tempat yang gelap dan
tersembunyi untuk berlindung. Lingkungan yang terang dapat mengganggu aktivitas
dan perkembangan tikus rumah.
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hama merupakan salah satu organisme
penganggu tanaman yang dapat menyebabkan tanaman menjadi terganggu pertumbuhanya,
sehingga tanaman menjadi tidak dapat berproduksi secara maksimal. Faktor ini juga yang
menyebabkan terjadinya fluktuasi pada produksi hasil pertanian, karena apabila serangan
yang berat maka produksi tanaman akan menurun. Salah satu kendala yang menyebabkan
terjadinya fluktuasi produktivitas tanaman jagung disebabkan oleh serangan serangga
herbivora dan pathogen Tanaman. Jenis- jenis hama yang sering menyerang tanaman jagung
adalah penggerek tongkol (Helicoverpa armigera), ulat grayak (Spodoptera litura), Kumbang
daun (Chaetocnema sp). Pengendalian hama tersebut dapat dilakukan dengan penggunaan
pestisida, pengendalian hayati, penggunaan varietas tahan, penggunaan predator alami,
pengendalian populasi dan sanitasi lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
14
Baktir, I. (2014). Inventarisasi Populasi Tikus di Perumahan dan Potensi sebagai Penyakit
Zoonosis. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 13(2), 105-112.
Istianto, E. P., Sumarsono, & Sulistyowati, E. (2016). Serangan hama wereng batang coklat
pada padi di desa Tanjungsari kecamatan Bululawang kabupaten Malang. Jurnal
Produksi Tanaman, 4(8), 1683-1693.
Iswanto, A. B., Lubis, I. R., & Karyanto. (2016). Keanekaragaman serangga tanaman padi di
daerah endemik penyakit hawar daun bakteri di Jawa Tengah. Jurnal Perlindungan
Tanaman Indonesia, 20(2), 90-98.
Kurniawan, A., & Prayogo, Y. (2015). Potensi Serbuk Kulit Biji Nangka (Artocarpus
heterophyllus) sebagai Bahan Aktif Rodentisida pada Tikus Sawah (Rattus
argentiventer). Jurnal Agroekoteknologi, 3(1), 208-215.
Mardiah, S., Sujak, & Yadi, R. (2020). Pengendalian wereng batang coklat (Nilaparvata
lugens) pada tanaman padi dengan menggunakan pestisida hayati. Jurnal Pertanian
dan Lingkungan, 11(1), 27-34.
Nur, M., Hidayat, P., & Hartatik, W. (2018). Pengaruh Varietas Padi dan Aplikasi Feromon
terhadap Populasi Nephotettix virescens dan Hasil Padi. Jurnal Agroteknologi, 12(2),
77-84.
Nuraini, F., Widoretno, W., & Setyobudi, L. (2021). Pengaruh cekaman kekeringan pada
tanaman padi terhadap populasi wereng batang coklat (Nilaparvata lugens) dan upaya
pengendaliannya. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan, 9(1), 1-8.
Pratama, S., Nurfahmi, & Anwar, E. (2019). Evaluasi pestisida kimia dan hayati terhadap
wereng batang coklat (Nilaparvata lugens) pada tanaman padi. Jurnal Perlindungan
Tanaman Indonesia, 23(2), 92-98.
Setiawati, W., & Syarief, R. (2017). Deteksi dan Identifikasi Virus Tungro pada Nephotettix
virescens dan Nilaparvata lugens dengan Metode RT-PCR. Jurnal Proteksi Tanaman
Indonesia, 21(1), 31-38.
Siregar, E. D., & Tampubolon, D. P. (2015). Identifikasi Kerusakan Gigi pada Tikus Sawah
(Rattus argentiventer) yang Terpapar Pestisida Secara In Vitro. Jurnal Kedokteran
Hewan - Indonesian Journal of Veterinary Sciences, 9(1), 28-31.
15
Sujiprihati, S., & Hartati, S. (2018). Pemberian Ekstrak Tanaman sebagai Bioinsektisida
terhadap Mortalitas dan Perkembangan Nephotettix virescens. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Pertanian, 3(2), 9-15.
Sulistyaningsih, E., & Darmawan, E. (2018). Pengaruh pupuk kandang dan intensitas cahaya
terhadap serangan wereng batang coklat (Nilaparvata lugens) pada tanaman padi.
Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika, 18(1), 69-75.
Suparyono, S., & Adi, N. K. (2019). Resistensi Nephotettix virescens (Distant) (Hemiptera:
Cicadellidae) terhadap Insektisida di Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Jurnal Hama
dan Penyakit Tumbuhan Tropika, 19(1), 47-55.
Supriyanto, D. D., & Mulyadi, M. (2016). Kajian Resistensi Nephotettix virescens Dist pada
Varietas Padi Gogo di Tanah Laut. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 21(3), 207-212.
Susanti, S. (2019). Deteksi Virus Tungro pada Nephotettix virescens dan Nilaparvata lugens
Suwarto, S., & Hidayat, S. H. (2017). Efektivitas Ekstrak Daun dan Buah Jarak Pagar
(Jatropha curcas) terhadap Nephotettix virescens dan Nilaparvata lugens pada
Tanaman Padi. Jurnal Agroekoteknologi, 5(1), 16-24.
Tufaila, M., Abidin, Z., & Munir, E. (2018). Efektivitas Beberapa Jenis Insektisida terhadap
Pengendalian Nephotettix sp. pada Tanaman Padi Sawah. Jurnal Hama dan Penyakit
Tumbuhan Tropika, 18(2), 142-150.
Utami, D. F., & Nurcahyani, D. (2019). Studi Populasi Tikus Sawah (Rattus argentiventer)
dan Penyakit yang Dapat Ditularkan pada Manusia di Desa Ngaglik, Kecamatan
Ngaglik, Kabupaten Sleman. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 11(2), 139-146.
Widiastuti, T., & Anwar, C. (2018). Pemanfaatan Minyak Atsiri Kayu Manis (Cinnamomum
burmannii) sebagai Agen Pengendali Tikus pada Lahan Pertanian. Jurnal Fitofarmaka
Indonesia, 6(1), 22-26.
http://scholar.unand.ac.id/30541/2/BAB%20I%20PENDAHULUAN.pdf
http://siat.ung.ac.id/files/wisuda/2016-2-2-54211-613412030-bab1-29032017042853.pdf
16