NPM : 22422048
Mata Kuliah : Public Speaking
Email : elysiahildam01@gmail.com
BAB I
PENGERTIAN PUBLIC SPEAKING
Public speaking adalah sebuah proses, sebuah tindakan dan seni dalam membentuk
pidato (speech) di hadapan audiens. Setiap orang sejak usia 10 hingga 90 tahun mendapati
diri mereka dalam situasi dimana mereka harus berbicara di depan publik (Nikitina, 2011).
Public speaking melibatkan pengiriman kata-kata kepada audiens sebagaimanahalnya seorang
juru bicara, untuk persoalan/isu tertentu. Storytelling melibatkan video atau tulisan atau kisah
pribadi tentang pengalaman hidup dan menggunakan kisah tersebut untuk mempengaruhi
peserta (Compassion&Choices, 2017).
Seni dalam berpidato di depan publik dielaborasi lebih dari 2000-an tahun oleh filsuf
Yunani Aristoteles yang mengemukakan “Three Basic Parts of Persuassion”. Ketiga elemen
kunci agar pembicara berhasil dalam public speaking yakni ethos (kredibilitas atau
pembicara), logos (logika dibalik setiap kesimpulan yang digambarkan oleh pembicara), dan
pathos atau daya tarik emosional atau kemampuan untuk menciptakan koneksi antara
pembicara dan audiensnya (Nikitina, 2011).
Seorang pembicara yang tertarik untuk membujuk/mempengaruhi khalayaknya harus
mempertimbangkan tiga bukti retoris tersebut yaitu logika, emosi, dan etika. Dalam Teori
Retorika, ketika berhubungan dengan persuasi, retorika menjadi seni penyusunan argumen
dan pembuatan naskah pidato. Fokus retorika mencakup segala cara manusia dalam
menggunakan simbol untuk memengaruhi lingkungan di sekitarnya dan untuk membangun
dunia tempat mereka tinggal (West & Turner, 2010).
Salah satu cara terbaik untuk melibatkan individu, keluarga dan komunitas adalah
melalui presentasi dan berbagi kisah pribadi tentang pengalaman hidup secara mendalam
(Compassion&Choices, 2017). Menggunakan kisah pribadi (personal stories) sangat
berpengaruh karena memberi audiens bahan baru. Bahan yang disampaikan belum pernah
didengar sebelumnya sehingga membuat audiens tertarik untuk mendengar. Selain itu,
penggunaan kisah pribadi secara alami akan mempengaruhi emosi pembicara sehingga
mempengaruhi audiens (Karia, 2013).
Komunikator dalam hal ini pembicara memiliki banyak kesempatan untuk
mempengaruhi audiensnya antara lain dengan storytelling (bercerita), body language (bahasa
tubuh), tone of voice (nada suara), pauses (jeda), visual cues atau menggunakan isyarat visual
(Nikitina, 2011). Dalam hal ini, tim pengabdian masyarakat menggunakan storytelling
sebagai bentuk public speaking untuk untuk mempengaruhi audiens.
Hal ini bersandar pada dua asumsi dalam Teori Retorika bahwa: pertama, pembicaraan
yang efektif harus mempertimbangkan khalayak mereka. Dalam hal ini, pembicara tidak
boleh menyusun atau menyampaikan pidato mereka tanpa mempertimbangkan khalayak
mereka. Pembicara harus memikirkan khalayak sebagai sekelompok orang yang memiliki
motivasi, keputusan, dan pilihan dan bukannya sebagai sekelompok besar orang yang
homogen dan serupa. Kedua, pembicaraan yang efektif menggunakan beberapa bukti dalam
presentasi mereka (West & Turner, 2010).
BAB 2.
PELANGGARAN DALAM PUBLIC SPEAKING DAN CARA MEMINIMALISIR
BAB 3
JENIS – JENIS LISTENING
1. Appreactive Listening
Appreactive Listening adalah cara mendengarkan yang benar-benar terfokus. Dalam
kata lain, kamu benar-benar memperhatikan apa yang sedang disampaikan oleh lawan
bicara. Beberapa ciri orang yang mempraktikkan Appreactive Listening adalah
mereka mengerahkan seluruh perhatian kepada lawan bicara, tidak menginterupsi
pembicaraan, dan merespon dengan netral. Ketika mempraktikkan skill ini, maka
kamu akan membuat lawan bicara merasa benar-benar didengar dan dihargai.
Appreactive Listening adalah kualitas yang sangat dihargai oleh orang lain, terutama
rekruter. Ketika mencari karyawan baru, rekruter pastinya akan melihat apakah
pelamar tersebut memiliki sikap yang bagus dan sesuai dengan perusahaan. Jenis
prilaku mendengarkan dimana pendengar mencari informasi tertentu yang akan
mereka hargai, dan memenuhi kebut dan tujuannya. Seseorang menggunakan
pendengaran yang apresiatif ketika mendengarkan musik, puisi, atau kata-kata yang
menggugah dalam sebuah pidato. (Hanum Salma, 2005 & Saifuddin Zuhri 2010)
2. Comprehensive Listening
Comprehensive Listening adalah seseorang yang menyerap sebanyak mungkin
informasi yang diterima tanpa berusaha untuk memprosesnya. Comprehensive
Listening berperan sebagaimana sepon. Ada situasi di mana mendengarkan secara
comprehensive penting dan bermanfaat. Misalnya, jika Anda memberikan presentasi
atau berpidato, Anda cenderung memilih audiens yang tidak memberikan umpan balik
di tengah jalan. Demikian pula, jika Anda bertemu dengan manajer Anda untuk
penilaian kinerja, Anda akan mendengarkan terlebih dahulu sebelum menanggapi.
Kemampuan untuk mendengarkan dan memahami bahasa yang digunakan dalam
percakapan, pidato, atau materi audio lainnya dengan baik. Ini melibatkan
kemampuan untuk memahami kata-kata, frasa, intonasi, aksen, dan konteks secara
menyeluruh. (Hanum Salma, 2005 & Saifuddin Zuhri 2010)
Contoh :
Mendengarkan mata kuliah
Mendengarkan arahan
3. Emphatic Listening
Emphatic Listening adalah memahami perasaan, kebutuhan, dan keinginan pembicara.
Keterampilan teknik komunikasi yang melibatkan pemahaman, interpretasi, perasaan
sudut pandang orang lain, dan pikiran orang lain dengan cara menunjukkan empati
dan pemahaman yang tulus. (Hanum Salma, 2005 & Saifuddin Zuhri 2010)
Contoh :
Mendengarkan sahabat curhat
Mendengarkan teman yang sedang bersedih
4. Critical Listening
Critical Listening adalah memahami dan mengevaluasi arti pesan pembicara,
termasuk maksud dan motif pembicara. Proses yang disengaja dan aktif dalam
menganalisis, mengevaluasi, dan menafsirkan kata-kata ide, dan informasi yang
diucapkan untuk memahami makna, kredibilitas, dan relevansinya yang sebenarnya.
(Hanum Salma, 2005 & Saifuddin Zuhri 2010)
Contoh :
Iklan
Pidato kampanye kandidat presiden
Argumen pengacara dalam siding
BAB 4
AUDIENS CENTERED
A. AUDIENS CENTERED
1. Audiens Centered
Audiens centered adalah ketika sang pembicara (public speaker) mengutamakan
kepentingan audiens dibandingkan kepentingan dia sendiri. Jadi hal terpenting adalah
audiens nya yang menjadi fokus utama, karena akankah para audiens tertarik untuk
mendengarkan apa yang ingin kita sampaikan, dan yang paling penting akankah
mereka mengerti dengan pesan yang kita sampai. Dalam audience centered
speechmaking, Beebe dan Beebe (2010: 21) mengatakan “as a public speaker, you
will learn to adapt to your audience based on who your listeners are, their
expectations for your speech, and their actions to what you are saying”. Menurut
perspektif ini, dalam konteks pembelajaran, seorang presenter harus benar-benar
mengenal audiensnya, serta apa harapan mereka melalui pelajaran yang disampaikan.
Lebih lanjut, Beebe dan Beebe (2010: 21) menyatakan bahwa “the audience is the
most important component in the communication process”. Hal ini benar jika ditinjau
dari persepektif audience-centered approach. Jadi pembicara (public speaker) baik
adalah mereka yang mau mengadaptasi atau menyesuaikan pesan dan cara
penyampaiannya dengan karakteristik audiens nya. Untuk mengetahui karakteristik
audiens, hal yang perlu diingat adalah para audiens ini merupakan manusia yang
memiliki sifat “Egosentric”, yang berarti mereka hanya ingin mendengarkan sesuatu
yang sesuai dengan nilai, background, ketertarikan, dan juga hal-hal yang
mendatangkan manfaat bagi kehidupannya.
BAB 5
ANALISIS DEMOGRAFI & SITUASI AUDIENS SERTA PESIAPAN PUBLIC
SPEAKING