Anda di halaman 1dari 34

PENATALAKSANAAN DEFEK TULANG

GUIDED BONE REGENERATION

Disusun Oleh : Kelompok 3

LEVI NATYA ALUS 2110026001


SEVIA SISKA SAPUTRI 2110026002
FANIA TRIWIDYANTI SUBAGIO 2110026004
NUR UMMI DONA ADELIA 2110026007
SHIVA YOLANDA 2110026008
ANNISA MIFTAHUL JANNAH 2110026012
SHAKTI PERNANDA CAESARIO 2110026014
SALSABILA SANRANG 2110026021
HUSNA AYUANA 2110026033
ISHMAH YANTY HIDAYAH NUR 2110026035
A. ALICIA 2110026036

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
limpahan rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Penatalaksanaan Defek Tulang (Guided Bone Regeneration)” ini tepat
pada waktunya.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga terselesaikannya laporan ini, antara lain :

1. Dr. drg. Lilies Anggarwati Astuti, Sp. Perio selaku dosen penanggungjawab
modul Bedah Periodontal yang telah membimbing kami dalam
menyelesaikan makalah ini.
2. Teman-teman kelompok 3 yang telah menyampaikan pemikiran dan
tenaganya sehingga dapat menyelesaikan makalah dengan baik.

Kami menyadari bahwa kemampuan kami dalam menyusun makalah ini sangat
terbatas. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi tercapainya kesempurnaan dari isi makalah ini.

Samarinda, 18 Desember 2023

Kelompok 3

i
ABSTRAK

Defek tulang merupakan proses resorpsi tulang alveolar dan remodeling


tulang rahang sering terjadi pasca pencabutan gigi. Setelah gigi terlepas dari
tulang alveolar maka akan terjadi perubahan ukuran tulang vertikal maupun
horizontal. Secara fungsional, hal ini dapat mengganggu proses pengunyahan
makanan. Peningkatan resorpsi tulang alveolar juga akan menimbulkan
permasalahan pada saat rehabilitasi prostetik. Pembahasan: Defek tulang,
tidak hanya terjadi karena adanya resorpsi tulang alveolar melainkan
disebabkan juga karena gangguan remodeling tulang yang disebabkan oleh
diabetes melitus, tumor, infeksi tulang rahang dan juga gangguan hormonal.
Selain itu terdapat defek tulang yang sudah muncul sejak lahir yang disebut
sebagai defek kongenital. Hal ini dikarenakan adanya malformasi atau
kelainan genetik Simpulan: Dengan adanya permasalahan defek tulang yang
disebabkan oleh berbagai faktor, membuat pemikiran tentang pemilihan bahan
yang adekuat untuk menggantikan defek tulang terus berkembang dari waktu
ke waktu. Cangkok tulang menjadi pilihan pertama yang harus dilakukan
sebelum dilakukan pergantian menggunakan bahan biomaterial.

Cangkok tulang digunakan untuk menggantikan tulang yang hilang dan


membantu pembentukan dan penyembuhan tulang baru. Bahan-bahan ini
dapat berasal dari tubuh pasien sendiri (yaitu bahan pengganti alami), atau
bahan pengganti alami, atau dapat berasal dari bahan sintetis. Pembahasan:
Cangkok tulang memiliki berbagai jenis diantaranya ada cangkok tulang
autogenous, allograft, xenograft, bahan sintetik dan juga ada cangkok tulang
dengan basis polimer Simpulan: Cangkok digunakan untuk memberikan
dukungan struktural dan meningkatkan proses penyembuhan tulang. Cangkok
tulang yang ideal harus menyediakan 3 komponen penting diantaranya
osteokonduktif, osteoinduksif, dan osteogenic. Berbagai cangkok tulang
memiliki kelebihan dan kekurangan masing masing.

Guided Bone Regeneration atau GBR merupakan metode perawatan


dengan berfokus pada daerah defek di prosesus alveolaris untuk menginisiasi

ii
sisa tulang bertumbuh dengan bantuan membran dan cangkok tulang yang
diletakkan di daerah defek tersebut. Pembahasan: GBR terbukti menjadi
teknik yang dapat diprediksi untuk mendapatkan tulang di area atrofi guna
memungkinkan penempatan implan. Bukti ilmiah terkini dalam bentuk
tinjauan sistematis dengan jelas menunjukkan bahwa implan yang dipasang
pada tulang augmented tidak berbeda dengan implan pada tulang asli,
sehubungan dengan tingkat kelangsungan hidupnya. Simpulan: GBR
merupakan metode perawatan yang berfokus pada prosesus alveolaris yang
berfungsi untuk menginisiasi sisa tulang. GBR juga merupakan suatu proses
penggantian jaringan yang hilang dengan elemen untuk mengembalikan fungsi
dan struktur normal untuk penempatan implan gigi yang ideal. GBR
didasarkan pada GTR (Guided Tissue Regeneration) dan memiliki prinsip
mekanis dan biologis yang sama.

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
ABSTRAK..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................v
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH........................................................1

1.2 RUMUSAN MASALAH.........................................................................1

1.3 TUJUAN PENULISAN...........................................................................2

1.4 MANFAAT PENULISAN......................................................................2

BAB II.....................................................................................................................3
PEMBAHASAN.....................................................................................................3
2.1 KLASIFIKASI TULANG ALVEOLAR...............................................3

2.2 PERMASALAHAN DEFEK TULANG................................................4

2.3 KEMAMPUAN CANGKOK TULANG...............................................6

2.4 JENIS JENIS CANGKOK TULANG...................................................8

2.5 GUIDED BONE REGENERATION....................................................19

2.6 KOMPLIKASI CANGKOK TULANG..............................................23

BAB III..................................................................................................................25
PENUTUP.............................................................................................................25
3.1. KESIMPULAN......................................................................................25

3.2. SARAN...................................................................................................26

iv
DAFTAR GAMBAR

v
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Defek tulang dapat terjadi karena resorpsi tulang alveolar dan juga
disebabkan karena adanya proses remodelling tulang yang disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu disebabkan karena adanya penyakit diabetes melitus, tumor,
infeksi tulang rahang, dan juga gangguan hormonal. Terdapat juga defek tulang
yang sudah muncul sejak lahir yang disebut defek kongenital yang biasanya
disebabkan karena adanya malformasi atau kelainan genetik. Salah satu
contohnya yaitu pasien dengan celah celah langit. Untuk malformasi, disebabkan
karena adanya penyatuan wajah yang tidak sempurna selama perkembakangan
embrionik. Untuk permasalahan defek tulang ini bisa diatasi dengan cangkok
tulang (bone graft)

Cangkok tulang (bone graft) merupakan pilihan pertama yang harus


dilakukan untuk menggantikan tulang yang hilang dan dengan adanya cangkok
tulang ini bisa membantu dalam proses pembentukan dan penyembuhan tulang
baru. Cangkok tulang memiliki berbagai macam jenis bahan yang dapat
digunakan, yaitu bahan yang berasal dari tubuh pasien sendiri (bahan alami), dan
juga bahan sintetik. Selain itu terdapat juga metode lain yang dapat dilakukan
untuk penatalaksanaan cangkok tulang, yaitu guided bone regeneration (GBR).

Guided bone regeneration (GBR) adalah metode perawatan lain yang dapat
dilakukan dalam penatalaksaksanaan defek tulang yang dimana metode ini
berfokus pada daerah defek prosesus alveolaris dengan bantuan membran. Untuk
bahan dari membrane bisa berasal dari kolagen, polimer sintetik, dan membrane
dari bahan silk. Selain itu membrane juga dapat berasal dari bahan polimer alami,
dan komponen inorganic seperti kalsium sulfat (CaS).

1.2 RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dari penulisan paper yang berjudul “Penatalaksanaan Defek


Tulang (Guided Bone Regeneration)” adalah sebagai berikut:

1. Apa itu permasalahan defek tulang?

1
2. Bagaimana penatalaksanaan dari defek tulang?
3. Apa saja kemampuan yang ada pada cangkok tulang (bone graft)?
4. Apa saja jenis jenis dari cangkok tulang (bone graft)?
5. Apa itu metode guided bone regeneration (GBR)? Dan bagaimana
tahapannya?
6. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi saat melakukan cangkok tulang (bone
graft)?

1.3 TUJUAN

1. Mahasiswa/I mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan defek


tulang
a. Kemampuan Cangkok Tulang (Bone Graft)
b. Jenis Jenis Cangkok Tulang (Bone Graft)
 Cangkok Tulang Autogenous (Autograft)
 Allograft
 Xenograft
 Bahan Sintetik
 Cangkok Tulang dengan Basis Polimer
c. Guided Bone Regeneration
d. Komplikasi Cangkok Tulang (Bone Graft)

1.4 MANFAAT

Manfaat dari penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui
dan menjelaskan penatalaksanaan defek tulang berupa cangkok tulang (Bone
graft) yang didalamnya akan membahas mengenai kemampuan, jenis jenis
beserta komplikasi dari cangkok tulang. Selain itu dari penulisan makalah ini
kami akan mengetahui dan menjelaskan juga mengenai teknik Guided Bone
Generation.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 KLASIFIKASI TULANG ALVEOLAR

Tulang adalah jaringan ikat vaskular termineralisasi yang tersusun dari bahan
organik dan bahan anorganik yang mengandung banyak kalsium dan fosfat.
Tulang mampu beradaptasi dan menyesuaikan terhadap beban tubuh. (buku
tulang levi) Pada tindakan penambahan tulang untuk pemasangan implan perlu
memperhatikan klasifikasi resorpsi tulang rahang maksila dan mandibula
berdasarkan klasifikasi Cawood dan Howell yang dideskripsikan dalam gambar 3
dan 4. Klasifikasi resorpsi residual ridge menurut Cawood dan. Howell
sebagai berikut:
Kelas I : Bergigi (pre ekstraksi atau dentate)
Kelas II : Post ekstraksi
Kelas III : Ridge berbentuk cembung, dengan tinggi dan lebar yang ideal dari
proses resorpsi tulang alveolar
Kelas IV : Ridge berbentuk knife edge dengan tinggi yang ideal, tetapi
mempunyai lebar yang tidak ideal dari proses resorpsi tulang alveolar.
Kelas V : Ridge berbentuk flat dari resorpsi tulang alveolar
Kelas VI : Hilangnya tulang basal secara ekstensif tetapi tidak mengikuti pola
yang dapat diprediksi.

3
Gambar 1 dan Gambar 2
Tulang alveolar yang baik, akan dapat menjadi pondasi yang baik pada saat
pemasangan gigi tiruan ataupun pemasangan implan gigi. Terdapat klasifikasi
defisiensi linggir alveolar dalam kaitannya dengan tindakan augmentasi (Mercier
dan Lafontant, 1979):
Kelas 1 : Linggir alveolar memiliki ketinggian yang cukup, tetapi lebarnya
kurang. Biasanya defisiensi dalam arah lateral dan disertai undercut.
Kelas II : Ketinggian dan lebar linggir alveolar berkurang dan biasanya
berbentuk knife edge.
Kelas III : Resorpsi linggir alveolar mencapai basis tulangnya, yakni maksila
atau mandibula. Biasanya tampak berupa bentuk cekungan di daerah posterior
mandibula dan bentuk knife edge disertai hypermobile tissue pada maksila.
Kelas IV : Telah terjadi resorpsi pada basis tulang baik maksila atau mandibula.
Tampak berupa bidang datar, baik pada maksila atau mandibula.

4
2.2 PERMASALAHAN DEFEK TULANG

Proses resorpsi tulang alveolar dan remodeling tulang rahang sering terjadi
pasca pencabutan gigi. Setelah gigi terlepas dari tulang alveolar maka akan
terjadi perubahan ukuran tulang vertikal maupun horizontal. Secara fungsional,
hal ini dapat mengganggu proses pengunyahan makanan. Peningkatan resorpsi
tulang alveolar juga akan menimbulkan permasalahan pada saat rehabilitasi
prostetik. Kasus yang paling sering menyebabkan perubahan ukuran rahang
adalah terjadinya atrofi tulang rahang karena kehilangan gigi (Tettamanti, dkk.,
2017). Setelah pasien mengalami edentulous, remodeling alveolar ridge menjadi
progresif dengan lebih banyak resorpsi pada tahun pertama pasca ekstraksi.
Proses resorpsi rahang atas dan rahang bawah bervariasi antar individu (Alsaggaf
dan Fenlon, 2020). Klasifikasi rahang edentulous yang sering digunakan adalah
klasifikasi Cawood dan Howell (1988) yang mengkategorikan residual ridge
menjadi 6 kelas sesuai dengan jumlah resorpsi. Klasifikasi ini membuat dokter
gigi agar dapat mengantisipasi proses resorpsi alveolar dan mempersiapkan
rencana perawatan pada rahang tidak bergigi (Cawood dan Howell, 1988).
Defek tulang rahang juga dapat terjadi karena gangguan remodeling tulang
yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti: diabetes melitus, tumor, infeksi
tulang rahang dan gangguan hormonal. Penyakit diabetes melitus menjadi
penyebab perubahan tulang rahang dikarenakan terjadinya gangguan
mikrovaskular dan disregulasi sitokin. Gangguan remodeling tulang rahang dan
tingkat kerusakan pada jaringan periodontal juga menjadi lebih parah pada pasien
dengan diabetes melitus (Liu, dkk., 2006; Al-Jabrah, 2011; Limeira, dkk., 2017).
Ukuran tulang rahang dapat berubah apabila terdapat tumor pada tulang rahang.
Setelah dilakukan tindakan operasi pada tulang dengan massa yang semakin
membesar, maka akan meninggalkan defek tulang yang besar juga, sehingga
harus dilakukan perawatan untuk mengurangi defek yang terjadi tersebut. Infeksi
atau nekrosis pada tulang rahang juga menjadi tantangan yang cukup besar bagi
para ahli bedah mulut untuk mempertahankan rahang semaksimal mungkin.
Penyebab infeksi dan nekrosis tulang rahang paling banyak berasal dari infeksi
odontogen dengan bakteri Streptococcus mutans sebagai penyebabnya.
Gangguan hormon pada penyakit osteoporosis, dapat menyebabkan resorpsi pada

5
tulang alveolar rahang. Pada penyakit ini, proses kerusakan tulang rahang tidak
hanya terjadi pada area edentulous namun juga pada daerah tulang yang bergigi
Jonasson dan Rythén, 2016).
Defek yang muncul sejak lahir merupakan defek kongenital oleh karena
adanya malformasi atau kelainan genetik. Salah satu contohnya adalah pasien
dengan celah pada langit-langit. Malformasi tersebut disebabkan oleh penyatuan
wajah yang tidak sempurna selama perkembangan embrionik. Apabila celah
palatum tersebut melibatkan defek pada tulang alveolaris rahang atas maka akan
mengganggu proses erupsi gigi. Pencangkokan tulang pada celah tulang alveolar
pasien tersebut merupakan langkah penting dalam mengembalikan kontinuitas
lengkung tulang alveolar sehingga dapat menciptakan anatomi yang sesuai untuk
rehabilitasi gigi (Kamal, dkk., 2018; Ma, dkk, 2021).
Terdapat berbagai cara untuk tata laksana defek pada alveolar, dengan
cangkok tulang autogenous sebagai prosedur standar dan paling ideal, karena
menyediakan sel tulang hidup dan imunokompatibel, dapat menyatu dengan
maksila, serta sangat diperlukan untuk osteogenesis. (buku rekayasa tulang)

2.3 KEMAMPUAN CANGKOK TULANG

Osteogenesis

Pada tulang yang mengalami kerusakan atau defek, maka secara fisiologis
akan terjadi proses osteogenesis di daerah defek tersebut. Osteogenesis
merupakan proses pembentukan tulang kembali melalui sel-sel osteoblas. Pada
penggunaan cangkok tulang untuk daerah defek, maka tujuan utamanya adalah
agar tercipta proses osteogenesis pada daerah tersebut. Sifat osteogenesis ini
dapat dicapai dengan menciptakan biomaterial yang stiff atau kaku yang
mendukung diferensiasi osteogenik, atau dengan menyediakan rongga dalam
biomaterial yang dapat merangsang terjadinya perlekatan dan diferensiasi sel,
atau dengan menggabungkan faktor-faktor dari biomaterial yang dapat menarik
sel-sel progenitor osteogenik (Huebsch, dkk., 2015; Lee, dkk.,, 2014; Cipitria,
dkk., 2017). Bahan cangkok osteogenik mengandung sel-sel yang dapat hidup
dengan kemampuan membentuk tulang atau berpotensi untuk berdiferensiasi
menjadi sel-sel pembentuk tulang. Sel-sel ini yang berpartisipasi dalam tahap

6
awal proses penyembuhan untuk menyatukan cangkok dengan tulang inang harus
dilindungi selama prosedur pencangkokan untuk memastikan
kelangsungan hidup. (buku husna) Sehingga dalam proses osteogenesis, bahan
cangkok tulang tersebut idealnya harus memiliki kemampuan osteokonduksi dan
osteoinduksi serta dapat memfasilitasi terjadinya angiogenesis pada daerah defek
agar dapat meniru kekuatan mekanis dan biokimia tulang yang sesungguhnya
(Rather, dkk., 2019).

Osteokonduksi

Osteokonduksi cangkok tulang merupakan kemampuan material cangkok


tulang untuk menyediakan kerangka yang mendukung perlekatan sel osteoblas
dan osteoprogenitor, serta memungkinkan pertumbuhan sel-sel osteoblas dalam
arsitektur tiga dimensi dari cangkok tulang tersebut (Albrektsson dan Johansson,
2001). Kerangka dari material cangkok tulang berperan sebagai kerangka untuk
pertumbuhan sel, memungkinkan sel osteoblas dari tepi luka bermigrasi di antara
celah cangkok tulang dan membawa sel-sel osteoblas tersebut ke area cangkok
tulang dan bertumbuh (Saima, dkk., 2016). Dengan kemampuan osteokonduksi
maka akan dapat menginisiasi proses infiltrasi kapiler, jaringan perivaskular yang
melibatkan stimulasi sel osteoprogenitor untuk berdiferensiasi menjadi osteoblas
dan kemudian memulai pembentukan tulang baru. Osteokonduksi merupakan
kemampuan minimal yang harus dimiliki oleh material cangkok tulang (Fesseha
dan Fesseha, 2020). Struktur osteokonduktif suatu biomaterial dapat bervariasi
dari struktur tulang yang matang hingga menyerupai struktur yang lebih spesifik
terhadap proses pembentukan tulang selama taha penyembuhan awal, misalnya
menjadi struktur yang menyerupa growth plate dalam biomaterial yang dapat
mendukung prose pembentukan tulang endokondral (Winkler, dkk., 2018).

Osteoinduksi

Osteoinduksi cangkok tulang berarti kemampuan bahan tersebut untuk


menginduksi sel mesenkim primitif yang dibawa melalui suplai darah dari tulang
atau periosteum yang berdekatan dengan tempat cangkok tulang tersebut untuk
berdeferensiasi menjadi osteoblast (Roberts dan Rosenbaum, 2012; Yu, dkk.,
2015). Proses ini dikaitkan dengan adanya faktor pertumbuhan tulang di dalam

7
bahan cangkok sebagai pelengkap cangkok tulang. Protein morfogenetik tulang
dan matriks tulang yang terdimineralisasi merupakan bahan osteoinduktif utama.
(buku husna) Mekanisme kerja osteoinduksi dari bahan cangkok tulang dalam
proses pembentukan tulang atau regenerasi tulang di daerah defek dapat terjadi
melalui berbagai area di daerah cangkok tulang tersebut. Proses osteoinduksi
terjadi di berbagai area, yaitu:

1. Di jaringan tulang, akan secara aktif memfasilitasi pertukaran nutrisi, oksigen


antara bahan dan jaringan. Selain itu, biomaterial yang memiliki sifat
osteoinduksi akan mendorong terjadinya vaskularisasi yang sangat penting
untuk pertumbuhan jaringan tulang yang baru (Enezei, dkk., 2018; Bracey,
dkk., 2019).
2. Di dalam sel, pada biomaterial dengan sifat osteoinduktif, akan mendorong
pembentukan lapisan apatit berkarbonasi yang kemudian memicu deferensiasi
stem cell atau sel osteoprogenitor untuk menuju proses osteogenesis.
3. Pada tingkat molekuler, bahan osteoinduksi dapat mengonsentrasikan protein
osteogenik seperti BMP-2 dan BMP-7 karena afinitasnya yang tinggi.
Mineralisasi yang dilepaskan akan mempercepat pembentukan tulang
(Zhou, dkk., 2019).

2.4 JENIS JENIS CANGKOK TULANG (BONE GRAFT)


Cangkok tulang digunakan untuk menggantikan tulang yang hilang dan
membantu pembentukan dan penyembuhan tulang baru. Bahan-bahan ini dapat
berasal dari tubuh pasien sendiri (yaitu bahan pengganti alami), atau bahan
pengganti alami, atau dapat berasal dari bahan sintetis. (buku shakti)
A. Cangkok Tulang Autogenous
Cangkok tulang autogenous adalah cangkok tulang yang diperoleh dari
individu yang sama namun berbeda lokasi anatomi dengan daerah defek
tulang pada individu tersebut. Berdasarkan pertimbangan yang telah
dikemukakan, sampai saat ini autograft dianggap sebagai Gold standard
cangkok tulang. (buku biokeramik dan rekayasa jaringan) Hal ini disebabkan
cangkok tulang autogenous memiliki semua kemampuan dasar dari cangkok
tulang, yaitu osteokonduktif, osteoinduktif dan osteogenesis. (Wang dan
Yeung, 2017; Fesseha dan Fesseha, 2020). Salah satu alasan utama

8
keberhasilan autograft, yaitu adanya kemampuan osteoinduktifnya karena
adanya darah, faktor-faktor pertumbuhan, dan protein di dalam graft yang
merangsang dan memfasilitasi penyembuhan. (buku rekayasa). Pada bidang
kedokteran gigi, penggunaan cangkok tulang autogenous lebih banyak
ditujukan untuk membantu memperbaiki defek pada soket gigi atau defek
pada tulang alveolar (Kloss, Offermanns dan Kloss-Brandstätter, 2018).
Pemilihan daerah untuk cangkok tulang autogenous, tergantung dari jumlah
dan kualitas tulang yang diperlukan. Pada perbaikan tulang alveolar karena
penyakit periodontal, penambahan tulang untuk augmentasi rongga sinus dan
rekonstruksi alveolar ridge untuk rencana pemasangan implan gigi dapat
menggunakan cangkok tulang autogenous dimana jumlah yang diperlukan
sebagai bahan pengganti tidak terlalu banyak. Sumber cangkok tulang
tersebut dapat diperoleh dari daerah simfisis dan ramus mandibula bagian
bukal (Reininger,dkk., 2016; Pereira, dkk., 2019). Penambahan cangkok
tulang pada kerusakan tulang alveolar dapat mempertahankan tinggi tulang
secara vertikal, lebar tulang alveolar secara horizontal maupun memberikan
volume tulang alveolar yang adekuat. Rekonstruksi tulang pada regio
maksilofasial oleh karena tumor dapat menggunakan cangkok tulang
autogenous untuk memperbaiki defek. Pada kasus reseksi rahang di tulang di
mandibula atau di maksila, maka dilakukan penambahan tulang agar
kontinuitas tulang tetap terjaga.
Rekonstruksi tulang pada regio maksilofasial oleh karena tumor dapat
menggunakan cangkok tulang autogenous untuk memperbaiki defek. Pada
kasus reseksi rahang di tulang di mandibula atau di maksila, maka dilakukan
penambahan tulang agar kontinuitas tulang tetap terjaga. Cangkok tulang
akan mendukung perbaikan tulang wajah secara optimal dengan membantu
meminimalkan gangguan estetik di area wajah. Cangkok tulang autogenous
untuk defek yang luas dapat menggunakan tulang fibula, krista iliaka, tulang
rusuk dan skapula. Tindakan pengambilan cangkok tulang juga dapat
menyertakan pembuluh darah atau tanpa menyertakan pembuluh darah.
Keputusan penggunaan pembuluh darah atau tidak, dipengaruhi oleh banyak
faktor. Seperti besar defek yang harus diganti, komorbiditas dari pasien dan
kemampuan operator untuk melakukan tindakan tersebut. Pengambilan

9
cangkok dengan menyertakan vascular memerlukan tahapan pemotongan
pembuluh darah kemudian menyambungnya dengan menggunakan
mikroskop dan menjadi bagian dari bedah mikrovaskular (Hennocq, dkk.,
2020; Yamamoto, dkk., 2018).
Cangkok tulang autogenous terdiri dari tulang kanselus dan tulang kortikal.
Cangkok tulang yang diambil dari bagian kanselus memiliki kemampuan
untuk mengisi defek pada ossesous, namun tidak memiliki kekuatan untuk
mendukung tulang secara mekanis. Autograft kanselus dapat diperoleh dari
krista iliaka, femur, proksimal tibia, distal radius dan olekranon. Oleh karena
keterbatasannya dalam menopang struktur secara mekanis, sehingga tulang
kanselus ini digunakan sebagai bahan tambahan setelah dilakukan fiksasi
internal atau fiksasi eksternal pada daerah defek. Autograft kanselus memiliki
kemampuan yang baik pada sifat osteogenik, osteoinduktif dan
osteokonduktif, karena memiliki kandungan osteoblas, Mesenchymal Stem
Cell (MSC) dan memiliki beberapa faktor pertumbuhan. . Autograft dar
tulang kanselus memiliki kemampuan inisiasi pertumbuhan pembuluh darah
dan infiltrasi sel osteoblas, sehingga dalam jangka waktu 6 bulan sampai 1
tahun akan terjadi regenerasi di daerah yang diberikan cangkok tersebut dan
akan memiliki kekuatan seperti menggunakan cangkok kortikal (Baldwin,
dkk, 2019; Roberts dan Rosenbaum, 2012).
Autograft kortikal memiliki sifat utama osteokonduktif dengan sedikit
kemampuan osteoinduktif. Cangkok ini dapat digunakan dengan disertai
pembuluh darah atau tanpa pembuluh darah. Area yang sering digunakan
untuk autograft kortikal adalah krista iliaka, tulang kosta, fibula dan tulang
skapula (Wang dan Yeung, 2017; Faldini, dkk., 2009). Perhatian khusus pada
autograft kortikal non-vaskularisasi, maka risiko terjadinya nekrosis tulang
dan resorpsi lebih besar dibandingkan autograft kortikal yang menggunakan
vaskularisasi.
Penggunaan autograft kortikal non vaskular ideal pada defek tulang sekitar
6-9cm, sedangkan pada defek lebih dari 12cm menggunakan autograft
kortikal dengan vaskular. Kemampuan autograft kortikal non vaskular untuk
bertumbuh, harus mendapat dukungan dari struktur di sekitarnya terutama
periosteum. Melalui periosteum, dukungan nutrisi dan vaskular akan

10
membantu pencangkokan tersebut untuk berkembang (Marechek, dkk., 2019;
Baldwin, dkk., 2019; Biazzo, De Paolis dan Donati, 2018).
Meskipun menjadi pilihan terbaik, namun terdapat beberapa pertimbangan
penggunaan cangkok tulang tipe ini di antaranya adalah:
 Adanya risiko kehilangan darah,
 Pemanjangan waktu operasi,
 Risiko infeksi pada daerah donor,
 Kerusakan saraf di sekitar tempat pengambilan cangkok
 Keterbatasan volume tulang yang dibutuhkan pada daerah defek, dan
 Nyeri dan pembengkakan pasca operasi

Upaya yang dilakukan untuk meminimalkan morbiditas adalah dengan


penggunaan analgesia yang adekuat, anestesi jangka panjang, dan teknik
pengambilan cangkok dengan trauma minimal seperti operasi menggunakan
piezoelektrik (Wang dan Yeung, 2017; Pereira, dkk., 2019; Pommer, dkk.,
2008). Untuk memaksimalkan pemanfaatan cangkok tulang autogenous
dengan beberapa keterbatasan di atas adalah dengan melakukan pencampuran
atau kombinasi dengan bahan allograft atau menggunakan campuran
biomaterial sintetik termasuk penggunaan campuran growth factor.

B. Allograft
Allograft adalah cangkok tulang yang berasal dari manusia, namun
berbeda individu dengan penerima cangkok. Matriks ekstraseluler tulang
jaringan mengandung berbagai jenis faktor pertumbuhan tulang, protein, dan
bahan bioaktif lain yang diperlukan untuk osteoinduksi dan penyembuhan
tulang. Penggunaan cangkok tulang tipe allograft ini memungkinkan adanya
kemampuan osteokonduktif dan osteoinduktif. Prosedur pembuatan allograft
membutuhkan sterilisasi dan deaktivasi protein. Kandungan protein yang
tidak dinginkan dapat dikeluarkan dari jaringan tulang dengan menggunakan
demineralisasi agen seperti asam klorida. Sedangkan kandungan mineral
tulang terdegradasi, dan agen osteoinduktif tetap berada di matriks tulang
demineralisasi. Proses tersebut bertujuan untuk meminimalkan risiko
penyebaran penyakit dari cangkok tulang berasal dan memberikan
kemampuan yang optimal sebagai bahan cangkok tulang. Secara umum

11
terdapat tiga jenis allograft yaitu fresh frozen bone (FFB), freeze dried bone
allograft (FDBA), dan demineralized freeze dried bone allograft (DFDBA)
(Sohn dan Oh, 2019; Sheikh, Sima dan Glogauer, 2015).
Fresh Frozen Bone (FFB) adalah cangkok yang diambil dari individu lain,
biasanya berasal dari kadaver, dimana tulang dipersiapkan dalam kondisi
steril dan disimpan pada suhu - 80°C, hingga waktunya digunakan. Tidak ada
preparasi tambahan pada persiapan pembuatan FFB ini, karena lebih
mengutamakan proses screening pada calon donor. FFB dalam kondisi steril
dan disimpan pada bank jaringan. Jaringan dirujuk terlebih dahulu untuk
pemeriksaan serologis untuk sifilis, HIV, hepatitis A, B, dan C, HTLV-1, dan
jamur kultur serta pemeriksaan bakteri aerobik maupun anaerobik hingga
didapatkan semua hasil pemeriksaan aman. Proses pembekuan ini, membantu
menurunkan imunogenisitas dari cangkok tulang, sehingga Fresh Frozen
Bone dianggap sebagai bahan yang aman, dari sudut pandang imunologis dan
virologi (Coutinho, dkk., 2017; Contar, dkk., 2011). Pada bidang kedokteran
gigi, FFB telah digunakan dalam kombinasi dengan tulang autogenous untuk
memperbaiki atrofi pada maksila dan mandibula. FFB memberikan hasil yang
baik karena tingkat resorpsi cangkok rendah, menghasilkan volume tulang
yang optimal dan kepadatan tulang yang tinggi: Penggunaan untuk mengatasi
defek vertikal juga memberikan hasil yang baik. Hal tersebut memungkinkan
penempatan implan dengan stabilitas primer dan dengan posisi yang ideal
(Rodella, dkk., 2015; D'Aloja, dkk., 2011; Macedo, dkk., 2012).
Freeze-Dried Bone Allograft (FDBA) merupakan cangkok allograft yang
diproses dan disiapkan dengan pengeringan beku atau freeze drying. FDBA
memiliki kemampuan osteokonduksi yang baik, dimana cangkok ini berperan
sebagai rangka pertumbuhan alami tulang di dalam area defek. Seiring
dengan waktu, cangkok akan teresorpsi dan digantikan oleh tulang. FDBA
masih digunakan hingga saat ini, namun FDBA yang dikombinasikan dengan
autograft memberikan hasil yang lebih efektif dibandingkan dengan
menggunakan FDBA saja (Corning dan Mealey, 2019; Grassi, dkk., 2020).
Freeze-dried menghilangkan lebih dari 95% kandungan air dari tulang.
Pemrosesan FDBA melibatkan beberapa langkah dimulai dengan pemilihan
donor menyeluruh, proses stripping jaringan lunak, pengurangan ukuran,

12
dekontaminasi, perawatan antimikroba, pengeringan beku atau freeze drying,
dehidrasi, pengurangan ukuran sekunder dan sterilisasi terminal. Di dalam
proses tersebut juga dilakukan penghilangan lemak yang dapat menghambat
osteogenesis dan menonaktifkan virus. Selama proses pengeringan beku
dilakukan analisis dari kultur bakteri, tes serologis, dan tes antibodi dan
antigen. Jika ditemukan kontaminasi, tulang dibuang atau disterilkan dengan
cara tambahan. Penyegelan vakum dalam wadah kaca melindungi terhadap
kontaminasi dan degradasi material sekaligus memungkinkan penyimpanan
pada suhu kamar untuk jangka waktu yang tidak terbatas (Gothi, dkk., 2015;
Grover, dkk., 2011; Jaiswal, dkk., 2017).
Demineralized Freeze-Dried Bone Allograft (DFDBA) merupakan tipe
dari allograft yang hampir memiliki kesamaan proses dengan FDBA, hanya
berbeda pada proses demineralisasi. DFDBA dilakukan tambahan proses
demineralisasi matriks tulang setelah proses demineralisasi dari freeze-dried
bone allograft (FDBA). Berbagai penelitian menunjukkan DFDBA
memberikan hasil yang sangat baik untuk regenerasi jaringan periodontal.
Telah terbukti efektif dalam rekonstruksi furkasi dan defek periodontal dan
juga menunjukkan efek osteoinduktif. Ketika ditanamkan di tulang yang
sudah tervaskularisasi dengan baik, maka DFDBA memiliki kemampuan
untuk merangsang perlekatan sel, migrasi sel, dan osteogenesis. DFDBA
mengandung protein morfogenik tulang (BMP) yang menyebabkan
pembentukan tulang baru berlangsung selama penyembuhan. Oleh karena itu,
ini merupakan pilihan yang efektif untuk regenerasi tulang. (Grover, dkk.,
2011; Corning dan Mealey, 2019; Shah dan Kolte, 2019; Harnik, dkk., 2017).
DFDBA dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan FDBA maupun
autograft. Dibandingkan dengan material regenerasi ulang lain, DFDBA
memiliki potensi osteokonduktif dan osteoinduktif. osteoinduktif dengan
merangsang pembentukan tulang di ekstraskeletal. Penggunaan DFDBA lebih
baik daripada FDBA untuk tujuan preservasi ridge, karena dapat mencapai
pembentukan tulang baru yang lebih besar, dengan asumsi bahwa DFDBA
memiliki setidaknya beberapa potensi induktif (Márton, dkk., 2018;
Khosropanah, dkk., 2018; Basireddy, dkk., 2019; Wood dan Mealey, 2012).

C. Xenograft

13
Xenograft adalah cangkok tulang yang berasal dari spesies selain
manusia, yang sering digunakan adalah dari sapi (bovine) dan digunakan
sebagai matriks kalsifikasi. Sumber lain yang tersedia seperti dari tulang babi
atau kuda. Xenografts melibatkan transplantasi jaringan tulang lintas spesies.
Penggunaan xenotransplantasi memberikan sejumlah tantangan biologis,
yang meliputi risiko penularan penyakit dan respons imun jaringan host
setelah pemberian cangkok tulang. Xenograft menyebabkan reaksi imunologi
yang berat karena divergensi molekuler sehingga tidak digunakan lagi.
(reddy) Xenograft setiap jenis hewan berbeda, yang dapat menghasilkan
kinerja klinis yang berbeda pula. Oleh karena itu, perubahan sifat fisikokimia
dapat mempengaruhi biokompatibilitas substitusi tulang, osteokonduktivitas,
integrasi, dan laju resorpsi (Bracey, dkk., 2018; Bracey, dkk., 2019).
Penggunaan cangkok tulang xenograft bertujuan mempertahankan sifat
osteokonduktif. Ketersediaan sumber penghasil cangkok tulang, biaya
produksi yang relatif rendah, dan jumlah yang tidak terbatas adalah
keuntungan cangkok tulang dari sumber xenograft (Bracey, dkk., 2019).
Bovine xenografts memiliki kemampuan yang cukup baik pada aplikasi di
regio kraniomaksilofasial. Pemanfaatan cangkok tulang dari bahan bovine
juga memberikan hasil yang baik pada stabilitas implan gigi (Haugen, dkk.,
2019). Penelitian Musson, dkk., (2019) menunjukkan bahwa protein matriks
tulang sapi yang diisolasi dari partikular tulang sapi memiliki kemampuan
osteoinduktif dan menunjukkan aktivitas anabolik dan anti-katabolik yang
kuat dalam sel-sel tulang in vitro. Kemampuan tersebut dapat dicapai dengan
penambahan faktor pertumbuhan. Namun untuk partikular tulang sapi yang
berdiri sendiri, tetap hanya memiliki kemampuan osteokonduksi.
D. Bahan Sintetik
Adanya kebutuhan cangkok tulang yang tidak pernah berhenti dari pasar,
sedangkan ketersedian dari bahan autograft maupun allograft memiliki
keterbatasan jumlah, sehingga produksi bahan sintetik pengganti tulang
semakin meningkat (Kumar, Vinitha dan Fathima, 2013). Di dalam subbab
ini akan dibahas beberapa bahan sintetik cangkok tulang yaitu kalsium fosfat,
kalsium sulfat, dan bioglass.

14
Kalsium fosfat merupakan bahan yang memiliki sifat kimia paling mirip
dengan tulang dan gigi. Bahan ini termasuk dalam golongan bahan bioaktif
sintetis dengan biokompatibilitas dan non toksisitas yang baik. Kalsium fosfat
biasa digunakan dalam bentuk hidroksiapatit (HA) dan trikalsium fosfat
(TCP). Bahan- bahan tersebut merupakan jenis kalsium fosfat yang paling
sering digunakan karena memiliki sifat osteokonduktif, berstruktur kristal,
dan komposisi kimia yang mirip dengan jaringan tulang.
Bahan tersebut diklasifikasikan berdasarkan kemampuan penyerapannya,
dengan hidroksiapatit sebagai bahan non- resorbable dan trikalsium fosfat
sebagai bahan resorbable (Al-Sanabani, Madfa dan Al-Sanabani, 2013).
Hidroksiapatit merupakan jenis kalsium fosfat yang paling sering
digunakan. Bahan ini tersedia sebagai bahan pelapis, dan semen.
Hidroksiapatit dibagi berdasarkan porositas, fase, dan metode pembuatan. HA
memiliki biokompatibilitas yang baik dan dapat memicu osteokonduksi dan
oseointegrasi. Karena kelebihan tersebut, bahan ini sering digunakan dalam
bidang kedokteran gigi maupun ortopedik. HA sintetis memiliki komposisi
yang sama dengan komponen mineral tulang dan gigi (Jeong, dkk., 2019).
Hidroksiapatit memiliki sifat mekanis yang sama dengan tulang kanselus,
yaitu rapuh dan lemah apabila terpapar tegangan geser, namun resisten
terhadap tekanan kompresif. Kekuatan mekanis bahan ini dapat berkurang
sampai 30-40% setelah implantasi, Makroporositas (pori dengan diameter
>100mm) dan keterikatan antarpori dari bahan ini akan memicu adhesi,
proliferasi, dan diferensiasi sel progenitor tulang dan menginisiasi
revaskularisasi hingga terbentuk tulang baru. Rasio Ca/P yang tinggi dapat
menghambat laju penyerapan hidroksiapatit oleh makrofag dan sel giant,
sehingga bahan cangkok yang tersisa di dalam tulang akan mengurangi
kekuatan intrinsik tulang. Oleh karena itu, hidroksiapatit lebih sering
digunakan untuk melapisi implan dan pin fiksasi eksternal yang memiliki
tekanan mekanis rendah (LeGeros dan LeGeros, 2005; Bartmanski, Berk dan
Wójcik, 2016).
Trikalsium fosfat (TCP) merupakan material osteokonduktif yang dapat
memicu pertumbuhan tulang pada permukaannya. Bahan ini tersedia dalam
berbagai polimorf (a, B, y, dan super-a), namun hanya dua jenis polimorf

15
yang digunakan sebagai biomaterial (a dan B). Trikalsium fosfat merupakan
jenis kalsium fosfat yang sangat cepat terserap, sehingga keseluruhan bahan
akan digantikan oleh tulang pada jangka panjang. Meski begitu, bahan ini
sukar dalam proses sintering dan memiliki kekuatan mekanis yang lemah
dengan resistensi yang rendah terhadap crack-growth propagation (Al-
Sanabani, Madfa dan Al-Sanabani, 2013).
Kalsium fosfat memiliki interaksi positif dengan jaringan hidup, seperti
memicu diferensiasi sel imatur menjadi sel tulang. Bahan ini juga memiliki
ikatan kimia dengan permukaan tulang yang dipicu oleh absorpsi protein
pemicu pertumbuhan tulang, sehingga akan terbentuk ikatan biokimia yang
kuat dan memicu osteogenesis. Kekuatan tekan pada permukaan juga akan
disalurkan pada ikatan tulang yang terbentuk (Al-Sanabani, Madfa dan Al-
Sanabani, 2013). Kalsium fosfat juga terbukti dapat membentuk lapisan apatit
bioaktif pada permukaan dan dapat berikatan dengan sitokin dan protein
adesif seperti fibronektin, sehingga dapat meningkatkan oseointegritas.
Kalsium fosfat juga dapat memicu osteoinduksi apabila memiliki komposisi
kimia, struktur permukaan, dan ukuran pori yang sesuai (García-Gareta,
Coathup dan Blunn, 2015)
Kalsium fosfat dapat diaplikasikan untuk reparasi jaringan periodontal,
augmentasi tulang alveolar, sinus lift, penggantian gigi, dan reparasi defek
tulang luas yang disebabkan oleh tumor. Kalsium fosfat juga dapat digunakan
sebagai scaffold pada rekayasa jaringan untuk regenerasi tulang atau dentin.
Kalsium sulfat dapat digunakan dalam bentuk injeksi semen pada permukaan
titanium dan implan berbahan titanium alloy untuk menggabungkan sifat
bioaktif kalsium fosfat dan kekuatan bahan metal (Enezei, dkk., 2018;
Hannink dan Arts, 2011). Biomaterial kalsium fosfat sintesis (CaP) memiliki
komposisi mineral yang hampir mirip dengan tulang dan gigi. Bahan
biomaterial tersebut tersedia dalam berbagai bentuk (butiran, blok, semen,
kaca, komposit, dan pelapis implan). Bahan-bahan ini juga dapat digunakan
sebagai scaffold untuk regenerasi tulang dengan rekayasa jaringan dan
memiliki potensi untuk aplikasi terapeutik di bidang-bidang seperti kanker
dan osteoporosis. Dapat terurai secara hayati, bioaktif, osteokonduktif dan
dengan geometri yang sesuai dapat menjadi osteoinduktif. Biomaterial CaP

16
memiliki afinitas tinggi terhadap protein, menjadikannya pembawa ideal
untuk peptida bioaktif, faktor pertumbuhan tulang (misalnya BMP) atau sel
induk mesenkimal (LeGeros dan LeGeros, 2005; Jeong, dkk., 2019)
Kalsium sulfat juga dikenal sebagai plaster of paris. Bahan ini tersusun
oleh partikel CaS04 dan bersifat osteokonduktif. Kalsium sulfat tidak
memiliki struktur makroporus dan dapat teresorpsi dengan cepat. Bahan ini
dapat kehilangan kekuatan mekanisnya saat terdegradasi, oleh karena itu
bahan ini hanya dapat digunakan untuk mengisi defek tulang kecil dengan
fiksasi internal rigid. Vaskularisasi dan pertumbuhan tulang baru terjadi
bersamaan dengan terserapnya bahan cangkok (García-Gareta, Coathup dan
Blunn, 2015). Bahan ini digunakan dengan cara memanaskan gipsum lalu
dicampur dengan kristal alphahemihydrate hingga berbentuk pasta yang
dapat diinjeksikan ke dalam defek tulang. Pasta tersebut akan mengeras in
vivo. Meskipun memiliki kekuatan mekanis yang terbatas, kalsium sulfat
mash digunakan karena persiapan bahan yang mudah dan harga terjangkau
(Favvas, dkk, 2016; Yashavantha Kumar, dkk., 2013).
Bioactive glass atau kaca bioaktif pertama kali ditemukan oleh Hench di
University of Florida pada tahun 1969. Pada saat itu, bahan-bahan yang
digunakan untuk implan (metal dan polimer) memiliki kekurangan karena
menyebabkan enkapsulasi jaringan fibrous setelah implantasi dan tidak
membentuk ikatan yang stabil dengan jaringan. Hench menciptakan bahan
kaca yang dapat terdegradasi dengan struktur Na20-CaO-Si02-P205 dan
komposisi 46.1 mol.% Si02, 24.4 mol.% Na20, 26.9 mol.% CaO dan 2.6 mol.
% P205 yang lalu disebut 45S5 atau Bioglass. Bioglass cepat membentuk
ikatan yang erat dengan tulang dan menstimulasi pertumbuhan tulang di luar
ikatan implan tulang (Yang, dkk., 2019). Bioglass merupakan bahan aktif
yang terbuat dari silika. Bahan ini memiliki karakteristik modulus yang tinggi
dan rapuh. Meskipun memiliki sifat rapuh, bioglass memiliki sifat
biodegradasi yang dapat dikontrol. Saat terdegradasi, bahan ini melepaskan
ion-ion yang dapat memicu osteogenesis dan angiogenesis.
Setelah itu, bahan ini akan terkonversi menjadi partikel HA terkarbonasi
aktif yang akan mengikat secara erat pada permukaan jaringan keras dan
jaringan lunak (García-Gareta, Coathup dan Blunn, 2015). Bioglass memiliki

17
struktur amorf, sedangkan bahan kaca keramik memiliki bentuk kristal.
Meski bahan kaca keramik memiliki sifat mekanis yang lebih unggul,
bioglass dengan struktur amorf memiliki biokompatibilitas yang lebih baik.
Beberapa jenis bioglass seperti silicate glass dapat memicu proliferasi dan
diferensiasi sel prekursor osteoblas serta sel stromal sumsum tulang (Iviglia,
Kargozar dan Baino, 2019).
Terdapat beberapa jenis bioglass, yaitu kaca silikat seperti 45S5 atau 13-
93 atau kaca borosilikat seperti 13-93B2 dan 13-93B3 atau yang biasa disebut
Pyrex. Kaca silikat 45S5 memiliki sifat osteoinduktif dimana dapat memicu
pembentukan tulang in vivo. Sifat osteogenik dari bioglass 45S5 disebabkan
oleh produk degradasinya yang dapat menstimulasi sel osteoprogenitor. Kaca
borosilikat 19-93B tidak memiliki sifat osteoinduktif, namun menghasilkan
pembentukan tulang yang lebih besar dibandingkan dengan kaca silikat 45S5
setelah 12 minggu. Kedua jenis bioglass ini berubah menjadi HA sepenuhnya
dalam penelitian in vivo (García-Gareta, Coathup dan Blunn, 2015).

E. Cangkok Tulang dengan Basis Polimer


Polimer yang digunakan untuk cangkok tulang dapat dibagi menjadi
polimer natural dan sintetis. Dan bisa disubklasifikasikan lagi menjadi tipe
degradable dan nondegradable. Polimer sintetis degradable, seperti polimer
natural, akan teresorpsi oleh tubuh. Keuntungan dari polimer jenis ini adalah
tubuh dapat meresorpsi sepenuhnya tanpa meninggalkan sebagai benda asing
(Kumar, Vinitha dan Fathima, 2013; Wang dan Yeung, 2017). Polimer
natural memiliki sifat yang baik dan memfasilitasi penambahan bahan kimia,
protein, peptida, dan sel. Porositas dan kekuatan mekanisnya dapat dikontrol
oleh konsentrasi polimer yang dapat diubah-ubah. Polimer natural yang
sering diteliti adalah kolagen/gelatin, chitosan, silk, alginate, hyaluronic acid,
dan peptida. Kolagen memiliki karakteristik yaitu biodegradabilitas,
biokompatibilitas, dan biorearbsorbabilitas. Kolagen memiliki antigenisitas
dan penularan silang yang rendah, namun sulit untuk mengontrol
degradabilitasnya. Kolagen merupakan protein utama matriks ekstraselular,
bertugas untuk mendukung jaringan ikat seperti kulit, tulang, pembuluh

18
darah, dan ligamen sehingga kolagen dapat digunakan untuk penanganan
fraktur tulang panjang (Shi, dkk., 2016).
Polimer sintetis yang sering digunakan adalah polyester, seperti Poly
Glycolid Acid (PGA), Poly Lactic Acid (PLA), dan Poly Lactic-co-Glycolic
Acid (PLGA). Polimer ini memiliki bioaktivitas yang rendah, namun polimer
ini memiliki kemampuan untuk dapat dijadikan suatu material dengan sifat
kimia dan mekanis yang dikehendaki (Saima, dkk., 2016). PLA telah terbukti
dapat menginduksi mature osteogenic phenotypes. PLA menunjukkan adhesi
dan pertumbuhan dari sel osteoprogenitor yang memicu penyembuhan tulang.
PGA memiliki rangkaian sintetis yang lebih panjang dan tidak dapat larut
dengan kebanyakan pelarut organik. PGA memiliki sifat mekanis yang buruk
dan permukaan yang tidak baik untuk perlekatan sel dan proliferasi produk
(Karageorgiou dan Kaplan, 2005). PLA, PLG, dan PLGA merupakan polimer
sintetis yang digunakan untuk memfasilitasi Bone Morphogenic Proteins
(BMP). Polimer lain yang berperan dalam BMP delivery systems adalah
polyanhydrides, polypropylene fumurate, polyethylene glycol-PLA, dan
polyphosphate (Iviglia, Kargozar dan Baino, 2019; Wang dan Yeung, 2017).

2.5 GUIDED BONE REGENERATION


Guided Bone Regeneration atau GBR merupakan metode perawatan dengan
berfokus pada daerah defek di prosesus alveolaris untuk menginisiasi sisa tulang
bertumbuh dengan bantuan membran dan cangkok tulang yang diletakkan di
daerah defek tersebut (Tal, dkk, 2012). GBR juga merupakan suatu proses
penggantian jaringan yang hilang dengan elemen untuk mengembalikan fungsi
dan struktur normal untuk penempatan implan gigi yang ideal. GBR didasarkan
pada GTR (Guided Tissue Regeneration) dan memiliki prinsip mekanis dan
biologis yang sama. (buku micro)
GBR terbukti menjadi teknik yang dapat diprediksi untuk mendapatkan
tulang di area atrofi guna memungkinkan penempatan implan. Bukti ilmiah
terkini dalam bentuk tinjauan sistematis dengan jelas menunjukkan bahwa implan
yang dipasang pada tulang augmented tidak berbeda dengan implan pada tulang
asli, sehubungan dengan tingkat kelangsungan hidupnya [4,5]. Namun, uji klinis
dengan kriteria keberhasilan yang jelas dan tindak lanjut jangka panjang

19
diperlukan untuk menentukan secara akurat tingkat keberhasilan implan yang
dipasang pada tulang augmented GBR [4,5]. (buku clinical)
Prinsip biologis dari Guided Bone Regeneration (GBR) telah berhasil
digunakan dalam prosedur pemeliharaan alveolar ridge segera setelah pencabutan
gigi. Keuntungannya bagi pasien termasuk penurunan volume alveolar ridge,
mempercepat regenerasi jaringan, mengurangi kebutuhan cangkok tulang
tambahan, peningkatan kemungkinan implan di masa depan dalam hal
pemasangan dan stabilitas oseointegrasi implan, dan hasil estetika yang optimal
untuk prosthesis (Pagni, dkk, 2012). Untuk mengarahkan bentuk tulang sesuai
dengan yang diharapkan peran membran sangat penting, karena membran ini
yang akan menahan cangkok tulang untuk membentuk kontur baru. Ada
membran yang dapat mengalami penyerapan dan ada juga yang tidak mengalami
penyerapan. Hal yang harus diperhatikan adalah waktu penyerapan membran
yang terbaik adalah setelah pencangkokan sebagai kerangka (scaffold) sudah
terisi dengan sel-sel tulang dan vaskularisasi, sehingga bentuknya sudah stabil.
Membran tersebut dapat berasal dari kolagen, polimer sintetik, dan membran dari
bahan silk (Lee dan Kim, 2014). Membran juga dapat berasal dari bahan polimer
alami, titanium dan komponen inorganik seperti Kalsium sulfat (CaS) (Elgali,

dkk., 2017).
Pada gambar 5 menunjukkan tahapan GBR untuk membentuk tulang baru.
Penggunaan pembatas berupa membran atau semacamnya berfungsi untuk
mengarahkan bentuk dari tulang yang baru. Pada gambar a. dilakukan insisi
untuk membuat flap sesuai dengan kasus; gambar b. dilakukan adaptasi membran
atau membran titanium menyesuaikan ukuran defek dan bentuk tulang yang
diharapkan; gambar c. meletakkan partikel cangkok tulang sebagai kerangka atau

20
scaffold kemudian dipasang penahan membran dan d hasil akhir tulang baru yang
diharapkan (Tal, dkk., 2012).
Membran untuk GBR yang sering digunakan berasal dari
polytetrafluoroethylene Membran yerlere dans yaitu membran expanded
polytetrafluoroethylene (ePTFE) membutuhkan penutupan penuh dari flap,
sehingga membutuhkan insisi dari mukosa gingiva untuk mengubah bentuk
gingiva dan posisi mucogingival line (MGL) (Carbonell, dkk, 2014). Bentuk lain
adalah membran dense polytetrafluoroethylene (d-PTFE) dengan porositas
<0,2mm (seperti ditunjukkan pada Gambar 6). Membran ini dapat menahan
masuknya bakteri ke dalam strukturnya dan dapat dibiarkan terbuka di rongga
mulut dengan risiko infeksi rendah (Barber, dkk., 2007). Membran d- PTFE
memiliki kemampuan meningkatkan keratinisasi pada preservasi soket pasca
ekstraksi gigi. Penurunan tinggi dan lebar tulang alveolar oleh karena resorpsi
juga berkurang. Dan hal lain yang penting, bahwa meskipun terbuka, membran
ini tidak mengganggu proses penyembuhan soket gigi baik pada jaringan lemak
maupun tulangnya (Mandarino, dkk., 2018).

Pada kasus penambahan cangkok tulang dengan defek lokal di sekitar daerah
pemasangan implan gigi, menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada
resorpsi tulang menggunakan membran atau tidak menggunakan membran. Pada
pencangkokan tulang tanpa menggunakan membran, maka penahan cangkok dan
yang menginisiasi vaskularisasi dilakukan oleh periosteum. Sehingga sangat
penting menjaga periosteum tetap dalam kondisi baik saat melakukan insisi serta
saat memisahkan flap dan periosteum dengan tulang. Untuk merangsang

21
vaskularisasi dapat dilakukan juga dengan menambahkan porus-porus kecil pada
daerah yang akan diberikan cangkok (Lee, Lee dan Kim, 2013; Almutairi, 2018).
Membran lain yang dapat digunakan untuk GBR adalah membran dari
titanium. Titanium banyak digunakan dalam operasi bedah karena kekakuannya
yang tinggi, kepadatan rendah, ketahanan korosi, dan biokompatibilitas yang
baik. Titanium mesh sebagai produk aplikasinya, memiliki karakteristik unik
sebagai membran penghalang GBR untuk augmentasi tulang (Xie, dkk., 2020).
Titanium mesh memiliki biokompatibilitas yang baik dan dapat kompatibel
dengan jaringan. Biokompatibilitas bahan dapat dibagi menjadi ketahanan korosi
dan sitotoksisitas. Karena konduktivitas elektriknya rendah, titanium dapat
melakukan oksidasi elektrokimia untuk membentuk lapisan oksida pasif

(Elias, dkk., 2008).

Seperti ditunjukkan pada Gambar 7, titanium mesh memiliki sifat mekanis


yang baik, kekuatannya yang tinggi dan kekakuan memungkinkan dukungan
ruang untuk osteogenesis. Kestabilannya diperlukan untuk menjaga volume
cangkok tulang selama penyembuhan luka, dan elastisitasnya dapat mengurangi
penekanan pada mukosa mulut (Jung, dkk., 2014). Seiring dengan kemajuan
penelitian, prosedur klinis GBR dengan titanium mesh terus diperbaiki untuk
mempersingkat waktu operasi mengurangi trauma pasien, dan
meningkatkan tingkat keberhasilan augmentasi tulang. Aplikasi titanium mesh di
GBR telah mencapai kelayakan dan prediktabilitas dalam augmentasi tulang
horizontal, vertikal, maupun tiga dimensi. Titanium mesh adalah metode

22
augmentasi tulang yang sangat baik untuk rekonstruksi alveolar ridge
(Xie, dkk., 2020).
2.6 KOMPLIKASI
Sakkas, dkk., (2017) dalam penelitiannya membagi komplikasi pada prosedur
augmentasi tulang menjadi:
A. Komplikasi intra-operatif
Perforasi membran Schneiderian pada prosedur sinus lifting
B. Komplikasi awal post-operatif
 Dehisensi jaringan lunak
 Infeksi atau inflamasi luka
 Tereksposnya cangkok tulang
 Gangguan sensoris
 Gejala sinusitis
 Hemoragi sekunder
C. Komplikasi akhir post-operatif
Kegagalan cangkok tulang yang didefinisikan sebagai keadaan yang
mengharuskan diambilnya cangkok tulang secara bedah. Indikasi untuk
pengambilan cangkok tulang adalah adanya tanda infeksi berupa fistula yang
tidak kunjung sembuh dan adanya pus meskipun telah diberikan perawatan
secara bedah dan medikasi, serta tereksposnya cangkok tulang secara luas
dan longgarnya cangkok tulang.
Dari adanya komplikasi tersebut kita bisa meminimalkan risiko
morbiditas pasca operasi dengan memperhatikan prinsip prinsip berikut:
1. Evaluasi secara hati-hati lokasi pemanenan untuk mengetahui potensi
risikonya. Evaluasi radiografi kritis sebelum operasi dapat mengidentifikasi
individu dengan cabang saraf alveolar inferior yang memanjang ke anterior
melampaui foramen mental.
2. Berhati-hatilah saat membuat sayatan ke arah lateral saraf mental, dan
bedah area tersebut dengan instrumen tumpul untuk menemukan lokasi
foramen.
3. Jangan meninggikan dan merefleksikan perlekatan otot melebihi batas
inferior mandibula.

23
4. Batasi pemotongan tulang pada area minimal 5 mm dari gigi apeks, tepi
inferior mandibula, dan foramen mentalis. Jangan memperluas potongan atau
mengambil tulang lebih dalam dari 6 mm, dan jangan menyertakan pelat
kortikal labial dan lingual.
5. Jahit luka berlapis-lapis (otot dan mukosa di atasnya secara terpisah)
untuk mencegah terpisahnya luka pasca operasi. (caranza)

24
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Proses resorpsi tulang alveolar dan remodeling tulang rahang sering terjadi
pasca pencabutan gigi. Setelah gigi terlepas dari tulang alveolar maka akan
terjadi perubahan ukuran tulang vertikal maupun horizontal. Secara fungsional,
hal ini dapat mengganggu proses pengunyahan makanan. Peningkatan resorpsi
tulang alveolar juga akan menimbulkan permasalahan pada saat rehabilitasi
prostetik.

Defek tulang rahang juga dapat terjadi karena gangguan remodeling tulang
yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti: diabetes melitus, tumor, infeksi
tulang rahang dan gangguan hormonal. Penyakit diabetes melitus menjadi
penyebab perubahan tulang rahang dikarenakan terjadinya gangguan
mikrovaskular dan disregulasi sitokin. Gangguan remodeling tulang rahang dan
tingkat kerusakan pada jaringan periodontal juga menjadi lebih parah pada pasien
dengan diabetes melitus . Defek yang muncul sejak lahir merupakan defek
kongenital oleh karena adanya malformasi atau kelainan genetik. Salah satu
contohnya adalah pasien dengan celah pada langit-langit.

Cangkok tulang merupakan salah satu tindakan medis yang dilakukan untuk
memperbaiki atau mengganti tulang yang hilang atau rusak. Cangkok tulang
dapat berasal dari bahan autogenous, allograft, xenograft, atau bahan sintetik.
Masing-masing jenis cangkok tulang memiliki kelebihan dan kekurangannya
masing-masing. Jenis jenis cangkok tulang diantaranya, cangkok tulang
autogenous, allograft, xenograft, bahan sintetik, cangkok tulang dengan basis
polimer.

Guided Bone Regeneration atau GBR merupakan metode perawatan dengan


berfokus pada daerah defek di prosesus alveolaris untuk menginisiasi sisa tulang
bertumbuh dengan bantuan membran dan cangkok tulang yang diletakkan di
daerah defek ideal. GBR didasarkan pada GTR (Guided Tissue Regeneration)
dan memiliki prinsip mekanis dan biologis yang sama.

25
3.2. SARAN

Kami menyadari bahwa kemampuan kami dalam penyusunan makalah ini sangat
terbatas. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi tercapainya kesempurnaan dari dari isi makalah ini.

26
DAFTAR PUSTAKA

(1–5)Al Ankily M, Makkeyah F, Bakr M, Shamel M. Effect of different scaling


methods and materials on the enamel surface topography: An in vitro SEM
study. Journal of International Oral Health. 2020;12(6):579.
doi:10.4103/jioh.jioh_121_20

1. Astuti LA. Penatalaksanaan Penyakit periodontal di Klinik Kepanitraan


Mahasiswa profesi [Internet]. AGMA; 2021 [cited 2023 Oct 22]. Available
from: https://repository.unmul.ac.id/handle/123456789/29996
2. Harsas NA, Safira D, Aldilavita H, Yukiko I, Alfarikhi MP, Saadi MT, et al.
Curettage treatment on stage III and IV periodontitis patients [Internet]. [cited
2023 Oct 22]. Available from:
http://jurnal.pdgi.or.id/index.php/jida/article/view/501
3. Hemalatha D M, Arjun M R, Vishnu sri Priya, Ms.Eswari Nivetha. K, Ms.
Farheen Faisal. Periodontal probes enhancing our clairvoyance: A review
[Internet]. [cited 2023 Oct 22]. Available from:
https://www.jetir.org/papers/JETIR2212119.pdf
4. Newman MG, Carranza FA. Newman and Carranza’s clinical periodontology
13th Edition. Philadelphia, PA: Elsevier; 2019.
5. Nield-Gehrig JS. Fundamentals of periodontal instrumentation & advanced root
instrumentation. Lippincott Williams & Wilkins; 2013.
6. Reddy S. Periodontologi Gambaran Klinis & Terapi Edisi 4. Jakarta. EGC; 2019.

27
28

Anda mungkin juga menyukai