Anda di halaman 1dari 45

Makalah Belajar

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Pengajaran Psikologi Dan Bimbingan
Dosen: Enasely Mega Wenyi Rohi, M.Psi

Oleh:
Kelompok 1

Imakulata Palang Beda (11121030)


Maria Damaris Berek (11121032)
Maria Novensia Tia (11121034)
Arnoldus Yansen Ane (11121068)

Program Studi Bimbingan Dan Konseling


Jurusan Ilmu Pendidikan

Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan


Universitas Katolik Widya Mandira
Kupang 2024

i
Kata Pengantar

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas berkat dan
rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Belajar”. Makalah ini kami buat
untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengajaran Psikologi dan Bimbingan.
Kami menyadari terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini, maka dari itu saran dan
kritik sangat diperlukan untuk kesempurnaan penulisan di masa mendatang. Kami mohon maaf
apabila ada kesalahan penulisan pada makalah ini. Demikianlah makalah ini, semoga
bermanfaat.

ii
Daftar Isi

Kata Pengantar.................................................................................................................................ii
Daftar Isi.........................................................................................................................................iii
Bab I Pendahuluan...........................................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan...................................................................................................................1
Bab II Pembahasan..........................................................................................................................2
A. Apa itu Belajar?....................................................................................................................3
B. Jenis-jenis Belajar.................................................................................................................9
1. Menurut A. De Block....................................................................................................9
2. Menurut C. Van Parreren............................................................................................28
Bab III Penutup ...........................................................................................................................41
A. Kesimpulan.........................................................................................................................41
B. Saran ...................................................................................................................................41
Daftar Pustaka................................................................................................................................42

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Belajar merupakan kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar. Belajar terjadi
dalam interaksi dengan lingkungan, dalam bergaul dengan orang, dalam memengang benda,
dan dalam meghadapi peristiwa manusia belajar. Belajar pada manusia merupakan suatu
aktivitas mental atau psikis, yang berlangsung aktif dengan lingkungan, sehingga
menghasilkan sejumlah perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, keterampilan dan nilai
sikap. Dalam proses belajar banyak hal-hal penting yang harus diketahui dan dipahami oleh
pengajar atau guru mengenai apa saja yang harus diperhatikan dalam proses pembelajaran
sehingga proses belajar siswa/peserta didik dapat berjalan dengan baik.
Oleh karena itu, sebagai seorang yang bergerak dalam bidang pendidikan khususnya
guru, perlu belajar hakikat dari belajar, agar dapat memahami proses belajar peserta didik
yang beragam tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Itu Belajar?
2. Apa saja jenis-jenis Belajar?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan tentang belajar
2. Untuk menguraikan jenis-jenis belajar

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Apa itu belajar?


Belajar merupakan kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar. Apa yang sedang
terjadi dalam diri seorang yang sedang belajar tidak dapat diketaui secara langsung hanya
dengan mengamati orang lain. Belajar terjadi dalam interaksi dengan lingkungan, dalam
bergaul dengan orang, dalam memengang benda, dan dalam meghadapi peristiwa manusia
belajar. Jadi, belajar pada manusia merupakan suatu aktivitas mental atau psikis, yang
berlangsung aktif dengan lingkungan, sehingga menghasilkan sejumlah perubahan dalam
pengetahuan-pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif
konstan dan berbekas. Dengan berpegang pada perumusan tentang belajar, sebagaimana
dikemukakan di atas, jelaslah bahwa kasus-kasus perubahan yang disebutkan di bawah ini
bukan kasus gejala belajar:
1. Perubahan akibat kelelahan fisik, Misalnya, seorang atlet renang, sehabis memberikan
prestasi yang gemilang dalam perlombaan/pertandingan yang berat, akan habis
tenaganya. Seandainya dipaksa untuk masuk lagi ke kolam renang dan langsung
mengikuti pertandingan berikutnya, dia tidak akan memberikan prestasi yang sebegitu
gemilang, sehingga penonton berkesan: dibanding tadi, ada perubahan. Perubahan dalam
tingkah laku perenang itu merupakan akibat dari kelelahan jasmani, namun bersifat
sementara saja. Sesudah diberi periode istirahat yang cukup lama, tenaganya pulih
kembali dan prestasinya baik kembali.
2. Perubahan akibat menggunakan obat. Misalnya, seorang pemuda yang menginjeksi
tubuhnya dengan obat bius, mengalami perubahan dalam alam pikiran dan perasaan,
tingkah lakunya pun mulai berubah. Misalnya, perubahan yang terjadi dalam tingkah
laku seorang yang sedang mabuk minuman keras, diketahui umum, karena itu orang
mabuk itu dapat membahayakan keselamatan orang lain seandainya mengendarai
kendaraan bermotor. Namun, perubahan ini pun bersifat sementara. Setelah efek dari
obat bius habis, tingkah laku akan kembali seperti biasa, kecuali bila terjadi kerusakan
pada alat-alat vital tubuh.

2
3. Perubahan akibat penyakit parah atau trauma fisik. Misalnya, seorang anak yang
terserang penyakit virus yang sampai merusak susunan jaringan saraf dalam otak dapat
sampai mengalami akibat negatif yang membawa serta gangguan dalam kelancaran
berbicara. Demikian pula, seorang pemuda yang tertimpa kecelakaan berat di jalan raya,
dapat sampai mengalami perubahan dalam gerak-geriknya. Akibat-akibat semacam itu,
biarpun mungkin permanen, tidak dapat dikatakan merupakan hasil dari suatu proses
belajar. Ini bukan sesuatu yang diperoleh me lalui interaksi aktif subjek dengan
lingkungannya, sebagaimana terjadi bila belajar, orang ditimpa oleh penyakit atau
trauma fisik itu.
4. Perubahan akibat pertumbuhan jasmani. Misalnya, pada masa pubertas anak
menunjukkan banyak perubahan dalam kejasmaniannya dan tingkah lakunya, yang
untuk sebagian besar bukan akibat dari usaha belajar. Perubahan semacam ini terjadi
dengan sendirinya, asal anak mendapat perawatan seperlunya biarpun perubahan itu
bersifat permanen.
Dapat dipersoalkan pula, apakah proses belajar harus disertai kesadaran subjek, bahwa dia
sedang belajar. Ini tidak mutlak perlu, sebab orangnya mungkin sedang belajar sesuatu tanpa
menyadari sepenuhnya, bahwa dia sedang belajar. Misalnya, seorang ibu mengajarkan kepada
anak yang masih kecil untuk menggunakan tangan kanannya, bila menerima atau memberikan
sesuatu. Dengan demikian, anak belajar agar beretiket baik dan bersikap tepat, biarpun pada
saat-saat itu anak tidak menyadari sedang belajar. Tentu saja, anak berada dalam keadaan
sadar, dalam keadaan tidak sadar, anak tidak aktif sendiri, padahal aktivitas sendiri merupakan
syarat untuk belajar. Terutama dalam bidang belajar sikap dan nilai, banyak terjadi perubahan
positif yang menjadi milik untuk seumur hidup, namun diperoleh pada waktu masih muda
tanpa menyadari hal itu. Kesadaran telah belajar suatu sikap, mungkin baru timbul pada waktu
kemudian.
Selain itu, masih ada kemungkinan orang belajar sesuatu tanpa mempunyai maksud atau
intensi yang jelas untuk belajar hal itu. Dalam hal ini terdapat dua hasil belajar, yang satu
memang dituju, sedangkan yang lain tidak, hasil yang kedua itu merupakan efek sampingan.
Misalnya, seseorang pergi ke stasiun kereta api untuk mengetahui jadwal keberangkatan
kereta api. Dalam perjalanan menuju ke stasiun, dia kebetulan melihat terpampangnya papan

3
pengumuman di depan suatu toko, yang bertuliskan "Agen travel, melayani pesanan karcis
kereta api dan bis malam". Pada lain waktu, ketika akan membeli karcis kereta api, orang itu
mengingat alamat yang melayani pesanan karcis kereta api, kemudian dia langsung pergi ke
tempat itu tanpa bertanya-tanya di mana alamatnya. Hasil belajar utama yang dituju ialah
pengetahuan mengenai jadwal keberangkatan kereta api. Di samping itu juga diperoleh
informasi lain yang dicatat dalam ingatan untuk dipergunakan kemudian hari, bila akan
membeli karcis penumpang. Maka, terdapat efek sampingan. Kemungkinan besar bahwa
sejumlah sikap yang tercerminkan dalam perilaku orang, diperoleh sebagai efek sampingan
dari usaha belajar di bidang kognitif dan sensorik-motorik, bahkan mungkin telah terjadi
kombinasi dengan belajar yang tidak disertai kesadaran sebagaimana dijelaskan di atas.
Dengan demikian jelaslah kiranya, bahwa tidak semua perubahan merupakan akibat
langsung dari usaha belajar. Perolehan perubahan itu dapat berupa suatu hasil yang baru atau
pula penyempurnaan terhadap hasil yang telah diperoleh. Hasil belajar dapat berupa hasil
yang utama, dapat juga berupa hasil sebagai efek sampingan. Proses belajar dapat berlangsung
dengan penuh kesadaran, dapat juga tidak demikian. Belajar menghasilkan perubahan, per
ubahan itu meliputi hal-hal yang bersifat internal seperti pemahaman dan sikap, serta
mencakup hal-hal yang bersifat eksternal seperti keterampilan motorik dan berbicara dalam
bahasa asing. Yang bersifat internal tidak dapat langsung diamati, sedangkan yang bersifat
eksternal dapat diamati.
Ada kelompok psikolog belajar yang menitikberatkan perubahan internal, karena
perubahan dalam perilaku (yang dapat diamati) dianggap hanya mencerminkan perubahan
internal yang telah terjadi sebelumnya dalam bentuk suatu kemampuan internal. Maka yang
pertama-tama dan terutama disoroti adalah hal-hal seperti pengetahuan, pemahaman, maksud,
sikap, harapan dan penafsiran sebagai wujud pikiran. Kelompok psikolog ini disebut para
kognitivis (cognitive psychologists), seperti J. Piaget, J. Bruner, D. Ausubel, J. Anderson dan
R. Flaser. Terdapat pula kelompok psikolog belajar yang mengutamakan perubahan dalam
perilaku karena perubahan macam ini dapat diamati dan disaksikan, bahwa ada yang hanya
memerhatikan perilaku eksternal itu, karena apa yang berlangsung dalam benak dan batin
seseorang tidak dapat diamati dan diteliti secara ilmiah. Kelompok psikolog ini disebut para
behavioris (behavioral psychologists) yang dewasa ini dibedakan atas mereka yang

4
berpandangan radikal, dalam arti tidak menerima adanya perubahan internal, seperti J. Watson
dan B. Skinner, dan mereka yang berpandangan lebih lunak, dalam arti menerima adanya
perubahan internal yang melandasi perubahan nyata, seperti E. Tolman dan A. Bandura.
Perbedaan pandangan di antara kedua kelompok psikolog ini juga nampak dalam macam
persoalan yang diteliti, dalam subjek yang digunakan dalam penelitian dan dalam metode
yang diterapkan dalam mengadakan penelitian. Para kognitivis menaruh perhatian khusus
pada tata cara manusia memecahkan suatu problem, membentuk konsep (pengertian),
mengolah dan menyimpan informasi, serta menyelesaikan banyak tugas mental lain yang
serba kompleks. Para behavioris radikal memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip belajar
yang dapat ditemukan dengan mengobservasi tingkah laku hewan dan manusia dalam lingkup
eksperimen yang diatur secara ketat, tanpa mempertanyakan apa yang terjadi dalam pikiran
dan perasaan seseorang. Para psikolog behavioris yang lain memperluas pandangan mereka
tentang perilaku sebagai hasil belajar dan menaruh perhatian pula pada pikiran, keyakinan,
harapan dan maksud yang terkandung dalam batin. Pandangan para behavioris radikal tidak
dinilai serba menyimpang, tetapi dinilai tidak lengkap.
Tenaga pengajar yang mendampingi siswa dalam belajar harus mengenal dan memahami
beraneka pandangan yang disebut di atas, karena mereka berhadapan baik dengan perilaku
siswa yang nampak dalam tingkah laku di kelas, dalam jawaban lisan dan dalam jawaban
tertulis atas soal-soal, maupun dengan cara berpikir siswa, harapan dan keyakinan, sikap dan
nilai dalam batin siswa.
Belajar berdasarkan kontiguitas berlangsung bila dua kesan yang diterima melalui suatu
alat indra terjadi berkali-kali di tempat yang sama (kontiguitas tempat) atau pada waktu yang
sama (kontiguitas waktu), misalnya siswa SD mendengar guru berkali-kali berkata "Ibu kota
Republik Indonesia ialah Jakarta". Setelah beberapa waktu guru itu akan bertanya di kelas:
"Ibu kota Republik Indonesia ialah....?" dan siswa menjawab spontan: "Jakarta". Misalnya
pula, banyak orang secara spontan saling menghubungkan kata "wanita" dengan kata "rumah
tangga", karena mereka telah bertahun-tahun mengalami kaum wanita dalam keluarganya
mengurus rumah tangga. Dalam kerangka alam pikiran para behavioris kata "Ibu kota RI" dan
"wanita" adalah perangsang (Stimulus) dan kata "Jakarta" dan "rumah tangga" adalah reaksi
(Response), yang telah dihubungkan atau diasosiasikan satu sama lain. Belajar berdasarkan

5
kontiguitas menjadi unsur yang pokok dalam cara belajar yang lebih kompleks yang diteliti
oleh Pavlov dan disebut "Belajar Responden (respondent conditioning), "Belajar Terkondisi"
(classical conditioning) atau "Belajar Sinyal/Tanda" (signal learning).
Kalau belajar responden menggunakan suatu bentuk tingkah laku yang sudah ada, cara
belajar yang diteliti oleh Skinner menyangkut perilaku yang baru sebagai hasil belajar. Cara
belajar ini disebut "Belajar Operan" (operant conditioning). Peneguhan atau penguatan
(reinforcement) memegang peranan kunci, yaitu akibat atau konsekuensi dari suatu bentuk
tingkah laku yang meningkatkan frekuensi tingkah laku itu di waktu kemudian. Misalnya,
bilamana siswa di SD menyapa guru kelas dengan cara yang sopan dan kemudian mendapat
pujian (peneguhan) dari guru itu, pada lain-lain kesempatan siswa akan berbuat yang sama,
apalagi bila dia kerap dipuji kembali. Perilaku siswa adalah reaksi (Response atau Behavior),
sedangkan berdirinya guru di depan kelas adalah perangsang (Stimulus) dan diberikannya
pujian adalah akibat atau konsekuensi dari perilaku siswa (Consequence).
Istilah "Stimulus" kerap diganti dengan istilah "Antecedent" karena perangsang adalah
sesuatu yang mendahului perilaku. Dengan demikian terbentuk paradigma A g B g C, di mana
Antecedent mendahului Behavior dan diikuti oleh Consequence. Para behavioris meneliti tata
cara untuk mengontrol dan mengubah B dengan memanipulasikan A atau C, bahkan
memanipulasikan kedua-duanya. Skinner terutama menaruh perhatian pada manipulasi C,
supaya dengan demikian memperoleh perubahan dalam B. Secara teknis dikatakan bahwa C
"memperkuat" B, dalam arti mempunyai efek bahwa perilaku cenderung diulang kembali atau
ditingkatkan frekuensinya. Daya penguatan itu terletak dalam sifat C itu, yaitu menyenangkan,
memuaskan dan menggembirakan dengan satu atau lain cara. C itu bernada positif (positive
reinforcement) bilamana disajikan sesuatu yang sebelumnya belum dimiliki, misalnya
diberikan hadiah, uang, pujian atau diperbolehkan berbuat sesuatu yang memang disukai. C
itu bernada negatif (negative reinforcement) bila ditarik kembali/diambil sesuatu yang
sebelumnya sudah ada, tetapi tidak menyenangkan, ditariknya kembali hal itu justru
memuaskan dan menggembirakan, misalnya bunyi yang mengganggu dihilangkan atau sinar
lampu yang menyilaukan dimatikan. Dengan kedua cara itu efek yang dicapai adalah sama,
yaitu perilaku yang diinginkan dan diharapkan akan muncul.

6
Berbeda dengan hukuman (punishment). Hukuman dirancang untuk mengurangi atau
meniadakan dan menghilangkan perilaku tertentu yang tidak diinginkan, sedangkan penguatan
dirancang untuk memperkuat perilaku yang diinginkan. Hukuman juga mengenal dua bentuk
yang dalam literatuf profesional kerap disebut hukuman positif (positive punishment) bila
disajikan sesuatu yang sebelumnya tidak ada, misalnya anak yang berbicara kasar kepada
orang tua dipukul pada mulutnya, dan hukuman negatif (negative punishment) bila ditarik
kembali/diambil sesuatu yang sebelumnya sudah ada, misalnya anak yang kerap pulang
terlambat tanpa alasan yang wajar dilarang untuk nonton acara TV yang digemarinya. Namun,
penggunaan kata positif dan negatif di sini dapat menyesatkan, karena penerapan hukuman
yang dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan perilaku tertentu, untuk subjek
yang dikenai hukuman itu tidak pernah terasa "positif", dalam arti menyenangkan dan
memuaskan. Maka ada pengarang yang menggunakan istilah lain, seperti "hukuman
penyajian" dan "hukuman pengambilan". Namun, apa pun bentuknya, penerapan suatu
hukuman dengan memberikan kata-kata celaan atau berbuat sesuatu kerap dihadapkan pada
kenyataan, bahwa perilaku yang ingin dihilangkan tidak jadi menghilang atau sesudah hilang
selama beberapa waktu muncul kembali. Misalnya, sesudah guru yang mencela tingkah laku
siswa keluar dari kelas, siswa berbuat kembali karena mendapat reaksi positif dari teman
sekelas. Maka, Skinner lebih mengupayakan tidak memberikan penguatan sama sekali, jadi
tidak menyajikan C sama sekali, baik yang bernada positif maupun yang bernada negatif,
seolah-olah perilaku yang tidak diinginkan/diharapkan itu tidak pernah terjadi. Pertimbangan
di sini ialah perilaku yarig tidak diberi tanggapan dalam wujud peneguhan atau penguatan,
akan menghilang sendiri. Tetapi, dalam konteks pengajaran dan pendidikan di sekolah, siasat
ini juga menimbulkan kesulitan praktis.
Sebagaimana dikatakan di atas, B juga dapat dipengaruhi (dikontrol, diubah) dengan cara
memanipulasikan A, jadi subjek belajar berperilaku tertentu sesudah disajikan suatu petunjuk
atau indikasi kepadanya (cuecing, prompting). Misalnya, guru yang sedang bertugas piket
selama waktu istirahat di antara jam pelajaran, cukup berdiri di suatu tempat yang strategis
sehingga dapat melihat semua siswa dan dilihat oleh mereka. Kehadiran guru piket itu sudah
mengingatkan siswa akan tuntutan terhadap mereka dalam hal berperilaku, tentunya harus
diandaikan bahwa siswa sudah mengetahui berperilaku yang tepat itu yang bagaimana.

7
Misalnya pula, berdirinya seorang petugas kepolisian di dekat persimpangan jalan sudah
menjadi cambuk bagi pengendara kendaraan bermotor untuk menaati peraturan lalu lintas,
bahkan diharapkan bahwa patung seorang polisi lalu lintas sudah menjadi tanda, petunjuk atau
indikasi tentang bagaimana seharusnya cara berlalu lintas yang tepat. Ini semua dapat
diaplikasikan oleh tenaga pengajar dalam rangka manajemen kelas, sehingga siswa
mengetahui perilaku apa yang diharapkan daripadanya dan membawa konsekuensi positif
(peneguhan), serta perilaku apa yang harus dihindari supaya tidak kena konsekuensi negatif
(tidak adanya peneguhan atau diberi hukuman).
Bandura mengembangkan suatu teori belajar yang disebut teori kognitif sosial (social
cognitive theory), yang di dalamnya belajar melalui observasi dan imitasi menjadi suatu
komponen dasar (observational learning). Belajar ini dapat berlangsung melalui dua jalur,
yaitu dengan mengubah perilaku sendiri sesudah menyaksikan orang lain mendapat
peneguhan atau hukuman, dan dengan meniru perilaku suatu model. Dalam kasus yang
pertama seseorang menyaksikan bahwa orang lain mendapat peneguhan sesudah bertingkah
laku tertentu, atau menerima hukuman sesudah berperilaku tertentu. Kemudian penyaksi
mengubah tingkah lakunya sendiri dengan meningkatkan pada diri sendiri frekuensi tingkah
laku yang sama atau mirip dengan tingkah laku pada orang lain yang tadinya diberi
peneguhan, atau dengan mengurangi pada diri sendiri perilaku yang tadinya disaksikan
mendapat akibat hukuman. Misalnya, banyak anak kecil berbuat seperti temannya yang
tadinya diberi uang, permen atau pujian, banyak orang dewasa mengurangi kecepatan
kendaraannya setelah melihat orang lain yang berjalan terlalu cepat, distop oleh polisi dan
ditilang. Dalam kasus yang kedua seseorang meniru perilaku orang lain yang dikaguminya,
yang baginya menjadi model mengenai cara berpakaian atau cara berperilaku, lebih-lebih bila
orang yang meniru itu memang ingin belajar sesuatu dari model itu. Misalnya, anak kecil
meniru cara ibu atau ayahnya memegang tangannya bila berdoa, anak remaja meniru cara
bintang film yang menjadi idolanya berpakaian dan berbicara, anak yang sedang belajar main
piano meniru cara gurunya meletakkan tangannya di atas keyboard. Dalam kedua kasus itu
terjadi sesuatu dalam benak orang yang mengamati orang lain atau meniru perilaku orang lain,
yaitu timbul suatu pikiran, suatu harapan atau suatu keyakinan, jadi S→r→ R.

8
Dalam studi ilmiah tentang motivasi, termasuk motivasi belajar di sekolah, terdapat pula
kemajuan besar sejak mulai ditinjau pula aneka faktor kognitif seperti keyakinan, tujuan,
penafsiran, dan harapan. Selama masa sebelumnya motivasi pada manusia dipandang terlalu
sempit, dianggap sesuatu yang hanya terpengaruh oleh suatu faktor eksternal seperti
peneguhan dan hukuman; kalau ada faktor internal, paling-paling yang di luar kontrol manusia
sendiri seperti kebutuhan fisik dan dorongan naluri. Sekarang ini pengaruh dari aneka faktor
internal lebih ditekankan, khususnya yang bersifat kognitif. Misalnya, siswa yang biasanya
mempunyai harapan besar akan mencapai sukses dalam usahanya belajar, menghadapi tugas
belajar dengan disposisi yang jauh berbeda dengan siswa yang hanya berharap untuk tidak
gagal/menghadapi kegagalan. Yang pertama rela ditantang, sedangkan yang kedua tidak
begitu karena takut salah, yang pertama tidak akan merasa terlalu cemas tentang hasil yang
akan diperoleh, sedangkan yang kedua cenderung untuk merasa cukup cemas dan karena itu
mengacaukan konsentrasinya sendiri (sedang bergulat batin untuk menghilangkan rasa
cemas). Misalnya, siswa yang menghubungkan sukses dalam belajarnya dengan kemampuan
yang dimiliknya (hubungan sebab-akibat) akan cenderung untuk merasa percaya diri;
sedangkan siswa yang menghubungkan sukses itu dengan sesuatu yang di luar dirinya sendiri,
seperti "untung saja, kebetulan tesnya mudah atau kebetulan pikiran saya jalan lancar", paling-
paling merasa bersyukur dan berterima kasih karena keuntungan itu.

B. Jenis-jenis Belajar
1. Menurut A. De Block
De Block berpegang pada pembagian aspek-aspek kepribadian yang lazimnya
digunakan dalam ilmu psikologi, yaitu aspek kognitif yang mencakup pengetahuan dan
berbagai kemahiran intelektual, aspek dinamik-afektif yang mencakup perasaan, minat,
motivasi, sikap, kehendak, nilai; aspek sensorik-motorik yang meliputi proses
pengamatan dan segala gerakan motorik. Aspek-aspek itu mendasari sistematisasi
"fungsi-fungsi psikis", yaitu suatu cara khas manusia menghadapi lingkungan hidup yang
meliputi orang, benda dan kejadian/peristiwa. Misalnya, seseorang yang baru saja pulang
dari liburan di suatu tempat peristirahatan di daerah pegunungan, menghadapi peristiwa
itu dengan berbagai cara: dia mengingat masa beristirahat itu dan mengkhayalkannya
kembali (fungsi kognitif); dia masih merasa puas dan mengalami nada dasar senang
9
dalam alam perasaan (fungsi afektif); dia berhasrat sekali dan berkemauan kuat untuk
kembali ke tempat itu pada lain waktu (fungsi konatif atau dinamik). Selama hari-hari
beristirahat di daerah pegunungan, dia berkali-kali duduk di tepi jurang untuk menikmati
keindahan alam, sambil mengamati apa yang dilihat dan didengar (fungsi sensorik).
Pernah pula, dia naik kuda, naik turun tebing jurang, sambil menyesuaikan posisi
tubuhnya dengan gerakan kuda (fungsi motorik). Fungsi sensorik dan motorik itu sangat
melibatkan kejasmanian seseorang, namun yang melakukannya adalah seorang manusia
yang, sambil mengamati dan bergerak, juga mengenal, berkemauan dan berperasaan.
Maka, suatu fungsi sensorik dan motorik, sampai taraf tertentu, juga menjadi suatu fungsi
psikis/mental, sebagaimana mengenal, berpikir, berperasaan dan berkemauan sama-sama
bersifat psikis (terdapat istilah "psikomotorik"). Karena fungsi konatif/dinamik dan
fungsi afektif berkaitan erat sekali satu sama lain, maka kerap dipandang sebagai dua
komponen dalam satu aspek kepribadian. Demikian pula, fungsi sensorik dan motorik
saling berkaitan erat dan kerap dipandang sebagai dua komponen dalam satu aspek
kepribadian. Namun, dalam sistematika bentuk-bentuk belajar yang disusun oleh De
Block, fungsi dinamik dan fungsi afektif dipandang sebagai fungsi tersendiri, biarpun
tidak terlepas yang satu dari yang lain. Adapun sistematika bentuk belajar adalah sebagai
berikut:
a. Bentuk-bentuk belajar menurut fungsi psikis:
1) Belajar dinamik/konatif
Ciri khasnya terletak dalam belajar berkehendak sesuatu secara wajar,
sehingga orang tidak menyerah pada sembarang menghendaki dan juga tidak
menghendaki sembarang hal. Berkehendak adalah suatu aktivitas psikis, yang
terarah pada pemenuhan suatu kebutuhan yang disadari dan dihayati. Kebutuhan
itu dapat merupakan kebutuhan biologis, seperti kebutuhan akan
mengistirahatkan tubuh atau mendapatkan bahan makanan. Kebutuhan itu dapat
juga merupakan kebutuhan psikologis, seperti kebutuhan akan pengetahuan dan
lingkungan hidup yang aman. Penyadaran dan penghayatan kebutuhan itu
menimbulkan dorongan untuk bertindak, sehingga kebutuhannya dapat
terpenuhi. Dorongan itu terealisasi dalam berkehendak. Berkehendak itu bukan

10
sekadar berkeinginan saja, dalam arti "semoga dapat tercapai", melainkan
berdaya-upaya nyata untuk mencapai apa yang dikehendaki berdasarkan
penghayatan kebutuhan. Kehendak yang sungguh manusiawi, mengekspresikan
diri dalam berkemauan secara bebas dan sadar. Misalnya, seorang mahasiswa
menghayati kebutuhan untuk menjadi seorang insinyur sipil dan, dengan
demikian, memberikan sumbangan pada pembangunan bangsa di bidang fisik.
Penghayatan kebutuhan itu menimbulkan dorongan untuk belajar dengan rajin,
sehingga dapat menyelesaikan studi dalam waktu sesingkat mungkin.
Mahasiswa itu tidak sekadar berkeinginan saja, tetapi berdaya upaya dengan
sungguh-sungguh; dia berkehendak atau berkemauan tanpa dipaksa-paksa dan
dengan keyakinan sendiri. Mengingat kebutuhan yang dihayati biasanya lebih
dari satu, bahkan dapat banyak, maka kerapkali tidak mungkin untuk memenuhi
semua kebutuhan sekaligus. Kerapkali, kebutuhan yang satu akan diprioritaskan
atas kebutuhan yang lain, tergantung dari penilaian orang mengenai kebutuhan
manakah yang lebih mendesak. Misalnya, mahasiswa tadi juga menghayati
kebutuhannya untuk memperistrikan seseorang dan membangun keluarga
sendiri, tapi demi sukses studinya, dia menunda pernikahannya sampai sesudah
diwisuda. Maka, dalam berkehendak dan berkemauan, orang sering harus
memilih di antara beberapa kebutuhan, mana yang akan dipenuhi lebih dahulu
atau bahkan mana yang akan dikorbankan demi kebutuhan yang dinilai lebih
tinggi. Jelaslah kiranya, bahwa kemampuan berkehendak dan berkemauan yang
bercorak demikian, belum dimiliki pada waktu lahir. Berkehendak dan
berkemauan yang benar-benar bersifat manusiawi, harus dikembangkan dan ini
terjadi melalui proses belajar yang terarah. Berkehendak dan berkemauan secara
dewasa bercirikan mendalam, tekun, rela menunda bila perlu, sabar, penuh
pertimbangan, penuh keberanian dan mampu menentukan prioritas di antara
kebutuhan-kebutuhan.

2) Belajar afektif
Salah satu ciri ialah belajar menghayati nilai dari suatu objek yang dihadapi
melalui alam perasaan, entah objek itu berupa orang, benda atau

11
kejadian/peristiwa. Ciri yang lain terletak dalam belajar mengungkapkan
perasaan dalam bentuk ekspresi yang wajar. Di dalam merasa, orang langsung
menghayati apakah suatu objek baginya berharga/bernilai atau tidak. Bila objek
itu dihayati sebagai sesuatu yang berharga, maka timbullah perasaan senang,
bila objek itu dihayati sebagai sesuatu yang tidak berharga, maka timbullah
perasaan tidak senang. Misalnya, dua sejoli yang sedang asyik berpacaran,
menghayati kebersamaan mereka sebagai sesuatu yang sangat berarti dan penuh
makna positif, karena itu mereka berperasaan senang. Demikian pula, kehadiran
orang ketiga dihayati sebagai sesuatu yang mengganggu saja dan tidak
bermakna positif bagi mereka, karena itu mereka mengalami perasaan tidak
senang. Maka, terjadilah suatu penilaian secara spontan, mengenai apa yang
bermakna positif atau bermakna negatif. Perasaan senang dan tidak senang,
merupakan suatu reaksi dalam alam perasaan yang bersifat mendasar dan masih
agak umum. Perasaan senang meliputi sejumlah rasa yang lebih spesifik, seperti
rasa puas, rasa gembira, rasa nikmat, rasa simpati, dan rasa sayang. Perasaan
tidak senang meliputi sejumlah rasa yang lebih spesifik, seperti rasa takut, rasa
cemas, rasa gelisah, rasa iri hati, rasa cemburu, rasa segan, rasa marah, rasa
dendam, dan rasa benci. Perasaan dapat menjadi sedemikian kuat, sehingga
orang terbawa-bawa oleh perasaannya sendiri; dengan demikian, dia tidak
menguasai lagi ungkapan perasaannya dan kehilangan kontrol rasional.
Orang harus belajar menerima perasaan sebagai bagian dari kepribadiannya
sendiri yang berperanan positif, karena di dalamnya dia menilai secara spontan
apa yang baik dan apa yang jelek baginya. Kalau perasaan senang, orang
biasanya tidak mengalami kesulitan dalam menerimanya sebagai miliknya
sendiri, dia pun tidak ingin melepaskan diri dari perasaan senang itu, bahkan
berusaha supaya bertahan terus. Kalau perasaan tidak senang, umumnya lebih
sukar bagi orang untuk menerimanya sebagai kenyataan dalam dirinya sendiri,
karena dialami sebagai gangguan. Namun, bagaimanapun juga, kedua bentuk
perasaan itu mengungkapkan suatu penilaian terhadap suatu objek dan karena
ini merupakan sumber energi untuk berbuat sesuatu, yaitu mendekati apa yang

12
disenangi dan menjauhi atau menghilang dari apa yang tidak disenangi. Fungsi
dinamik dan afektif berkaitan satu sama lain, karena setiap kehendak dan
kemauan disertai perasaan dan setiap perasaan mengandung dorongan untuk
berkehendak dan berkemauan.
Selain belajar menerima perasaan sendiri sebagai sesuatu yang khas
manusiawi, orang juga harus belajar untuk bervariasi dalam berperasaan. Ada
saat dan situasi di mana orang akan khusus merasa puas, atau khusus merasa
gembira, atau khusus merasa sayang. Ada pula saat dan situasi di mana orang
khusus merasa takut, atau khusus merasa cemburu, atau khusus merasa marah.
Variasi dalam berperasaan senang dan berperasaan tidak senang yang demikian
itu, merupakan hasil belajar. Dalam hal ini, anak didik harus mendapat
pendidikan pula, supaya alam perasaan berkembang menjadi kaya dan luas.
Orang harus belajar pula untuk mengungkapkan perasaan dalam bentuk ekspresi
yang wajar dan dapat diterima oleh masyarakat. Misalnya, anak kecil yang naik
pitam bila keinginannya tidak segera dipenuhi, belum menguasai cara/bentuk
ekspresi rasa marah yang wajar. Demikian pula, orang dewasa yang mudah
menjadi mata gelap dan bertindak secara membabi-buta karena terbawa-bawa
oleh rasa marah yang meluap-luap, belum pernah belajar cara mengekspresikan
rasa marah secara wajar yang dapat diterima oleh orang lain.

3) Belajar kognitif: mengingat, berpikir


Ciri khasnya terletak dalam belajar memperoleh dan menggunakan suatu
bentuk representasi yang mewakili semua objek yang dihadapi, entah objek itu
orang, benda atau kejadian/peristiwa. Segala objek itu direpresentasikan atau
dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan atau lambang, yang
semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental. Misalnya, seseorang
menceritakan pengalamannya selama mengadakan perjalanan ke luar negeri,
setelah kembali ke negerinya sendiri. Tempat-tempat yang dikunjunginya
selama berada di negara lain tidak dapat dibawa pulang, orangnya sendiri juga
tidak hadir di tempat-tempat itu pada waktu sedang bercerita. Tetapi, semua
pengalamann tercatat dalam benaknya dalam bentuk berbagai gagasan dan

13
sejumlah tanggapan. Gagasan dan tanggapan itu dituangkan dalam kata-kata
yang disampaikan kepada orang yang mendengarkan ceritanya. Dengan
demikian, pengalamannya selama berkunjung ke tempat-tempat pariwisata,
diwakilkan/dipresentasikan dalam bentuk gagasan dan tanggapan yang kedua-
duanya bersifat mental, kemudian gagasan dan tanggapan dituangkan dalam
bentuk kata-kata yang dapat didengar oleh orang lain, yang menangkap apa
yang dimaksudkan. Dengan demikian, hal-hal yang tidak hadir secara fisik pada
saat sekarang, dapat menjadi bahan komunikasi antara dua orang, segala macam
hal seolah-olah dipegang, disentuh dan dipermainkan secara mental. Karena
kemampuan kognitif ini, manusia dapat menghadirkan realitas dunia di dalam
dirinya sendiri, dari hal-hal yang bersifat material dan berperaga seperti perabot
rumah tangga, kendaraan, bangunan dan orang, sampai hal-hal yang tidak
bersifat material dan berperaga seperti ide ’keadilan dan kejujuran’. Jelaslah
kiranya, bahwa semakin banyak tanggapan dan gagasan dimiliki seseorang,
semakin kaya dan luaslah alam internal-kognitif orang itu. Kemampuan kognitif
ini harus dikembangkan melalui belajar. Di samping itu, semakin besar
kemampuan berbahasa untuk mengungkapkan gagasan dan tanggapan itu,
semakin meningkatlah kemahiran untuk menggunakan kemampuan kognitif
secara efisien dan efektif. Kemampuan berbahasa pun harus dikembangkan
melalui belajar. Pembahasan tentang belajar kognitif di sini, akan dibatasi pada
dua aktivitas kognitif, yaitu mengingat dan berpikir.
(a) Mengingat adalah suatu aktivitas kognitif, di mana orang menyadari
bahwa pengetahuannya berasal dari masa yang lampau atau berdasarkan
kesan-kesan yang diperoleh di masa lampau. Terdapat dua bentuk
mengingat yang paling menarik perhatian, yaitu mengenal kembali
(rekognisi) dan mengingat kembali (reproduksi). Dalam mengenal
kembali, orang berhadapan dengan suatu objek dan pada saat itu dia
menyadari bahwa objek itu pernah dijumpai di masa yang lampau.
Misalnya, orang mencari film cerita yang telah direkam pada video kaset
di toko yang mempunyai banyak persediaan video kaset. Pada waktu

14
mencoba salah satu video kaset, dia mengingat pernah melihat film itu di
gedung bioskop,maka tidak jadi disewa. Dalam mengenal kembali,
aktivitas mengingat ternyata terikat pada kontak kembali dengan objek,
seandainya tidak ada kontak, juga tidak terjadi mengingat. Dalam
mengenal kembali, orang tahu bahwa objek yang dijumpainya sekarang
ini cocok dengan suatu gagasan, pikiran atau tanggapan yang tersimpan
dalam ingatannya, sejak bertemu dengan objek itu untuk pertama kali.
Dalam mengingat kembali, dihadirkan suatu kesan dari masa lampau
dalam bentuk suatu tanggapan atau gagasan, tetapi hal yang diingat itu
tidak hadir pada saat mengingat kembali seperti terjadi pada mengenal
kembali. Pada waktu mengingat kembali, orang mereproduksikan apa
yang pernah dijumpai, tanpa berkontak kembali dengan hal yang pernah
dijumpai itu. Misalnya, orang yang menceritakan kembali
pengalamannya selama mengunjungi aneka objek pariwisata di luar
negeri, menciptakan sendiri suatu kisah berdasarkan tanggapan dan
gagasan yang disimpan sejak mengunjungi semua objek itu.
Reproduksi berbagai kejadian atau pengalaman semacam ini, meme-
gang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Namun, yang
memegang peranan lebih penting di sekolah ialah reproduksi
pengetahuan, misalnya pada waktu ujian siswa harus mereproduksikan
kembali pengetahuan dan pemahaman yang telah diperoleh selama
mengikuti pelajaran. Pada saat-saat mempelajari materi untuk pertama
kali, siswa mengolah bahan pelajaran (fase fiksasi), yang kemudian
disimpan dalam ingatan (fase retensi), akhirnya materi yang dipelajari
dahulu dan disimpan itu direproduksikan kembali (fase evokasi). Siswa
dapat belajar untuk mengingat kembali dengan lebih baik, terutama
dengan memerhatikan dan mempelajari materi yang harus diingat kelak
dengan sungguh-sungguh. Jadi, kemajuan dalam mengingat kembali
sangat bergantung pada konsentrasi dan cara mengolah materi pelajaran
pada saat fiksasi. Hal ini menjadi nyata bila siswa menghafal sesuatu

15
dan bila siswa mencamkan sesuatu dengan mencari pemahaman. Dalam
menghafal, siswa mempelajari sesuatu dengan tujuan
mereproduksikannya kembali kelak dalam bentuk harafiah, sesuai
dengan perumusan dan kata-kata yang terdapat dalam materi asli.
Misalnya, siswa menghafal abjad dalam urutan A-B-C-D dan
seterusnya. Pada saat reproduksi kembali (mengingat kembali abjad itu,
siswa menyebutkan huruf-huruf abjad dalam urutan yang sama, bukan
dalam urutan Z-Y-X dan seterusnya. Hal itu merupakan prestasi hafalan
dan prestasi ini akan semakin tepat, bila siswa telah mencamkan materi
hafalan dengan baik pada waktu pertama kali berhadapan dengan materi
itu. Maka, siswa dapat belajar bagaimanakah cara-cara menghafal yang
baik, sehingga materi tersimpan dalam keadaan siap untuk
direproduksikan secara harafiah pada saat dibutuhkan.
Akan tetapi tidak semua materi pelajaran di sekolah perlu dihafal, hal itu
tidak mungkin, bahkan tidak baik. Misalnya, dalam mengerjakan suatu
tes esai (tes karangan) pada waktu ulangan, siswa biasanya tidak dapat
menjawab semua pertanyaan berdasarkan hafalan saja, tetapi harus
menguraikan garis-garis besar dari materi yang ditanyakan, dengan
memakai kata-kata sendiri. Prestasi semacam ini menuntut dari siswa
sudah mempelajari materi pelajaran dengan mencari pemahaman.
Pemahaman inilah yang menjadi pegangan dalam menjawab pertanyaan
ulangan. Semakin dalam pemahaman yang diperoleh pada waktu
mempelajari materi untuk pertama kali, makin baik pula prestasi
mengingat kembali pada waktu mengerjakan ulangan. Reproduksi ini
lebih menyerupai rekonstruksi, di mana siswa menyusun sendiri jawaban
secara bebas dengan menggunakan gagasan, pikiran dan tanggapan yang
telah terbentuk pada waktu belajar pertama kali. Jadi, terjadi reproduksi,
tetapi tidak secara harafiah seperti pada menghafal.
(b) Dalam aktivitas mental berpikir paling menjadi jelas, bahwa manusia
berhadapan dengan objek-objek yang diwakili dalam kesadaran. Jadi,

16
orang tidak langsung menghadapi objek secara fisik seperti terjadi dalam
mengamati sesuatu bila melihat, mendengar atau meraba-raba. Dalam
berpikir, objek hadir dalam bentuk suatu representasi. Bentuk-bentuk
representasi yang paling pokok adalah tanggapan, pengertian atau
konsep, dan lambang verbal. Tanggapan adalah suatu gambaran
sensorik, suatu representasi berperaga. Berarti, suatu gambaran mental
yang menghadirkan suatu objek dalam kesadaran, tetapi seolah-olah
orang sedang mengamati. Misalnya, orang dapat membentuk suatu
tanggapan "seekor kuda", sambil seolah-olah melihat bentuk tubuhnya,
keempat kakinya, warna kulitnya, mendengar suara bila kuda berlari
cepat, meraba-raba bulu pada lehernya. Pengertian atau konsep adalah
suatu satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang bercirikan sama,
dalam bentuk lambang mental yang penuh gagasan. Objek yang ada
berjumlah tak terbatas. Jumlah objek yang demikian banyak dan
bervariasi itu, ditempatkan dalam golongan-golongan tertentu, sehingga
jumlah objek dan aneka macam variasi dikurangi. Dengan demikian,
manusia akan dapat menguasai lingkungan hidupnya dengan lebih
mudah. Misalnya, seorang pemilik toko serba ada akan menempatkan
barang yang sejenis di tempat-tempat tertentu: makanan kecil di ruang
A, barang pecah belah di ruang B, alat-alat tulis di ruang C, pakaian
wanita di ruang D, pakaian pria di ruang E, barang kosmetika di ruang F
dan seterusnya. Dengan demikian, pemilik akan lebih mudah dalam
mengelola tokonya, sedang pihak pembeli akan lebih mudah mencari
barang yang dibutuhkan. Namun, baik si pemilik maupun si pembeli
mempunyai suatu pengertian atau konsep mengenai apa yang
dimaksudkan dengan "barang kosmetika" dan apa yang termasuk dalam
jenis barang itu. Misalnya, kosmetika adalah: "alat yang dilekatkan atau
dioleskan pada kulit untuk mempercantik tubuh". Ini adalah satuan arti
yang tidak berperaga, yaitu tidak dapat diamati. Maka, pengertian atau
konsep adalah bentuk representasi yang tidak berperaga. Yang termasuk

17
dalam jenis barang itu adalah lipstik, kutex, eyeshadow, foundation,
bedak, parfum, dan sebagainya. Konsep merupakan suatu lambang
mental.
Lambang verbal adalah suatu kata yang menunjuk pada suatu objek.
Dari dirinya sendiri, suatu kata tidak mempunyai arti apa-apa. Suatu kata
baru mengandung arti atau berarti, karena menjadi pengganti bagi
sesuatu yang lain, antara lain sesuatu yang terdapat dalam realitas fisik.
Manusia memberikan suatu "cap verbal" pada sesuatu dan kemudian
dapat berbicara dan berpikir mengenai hal itu, biarpun hal itu sendiri
tidak hadir lagi secara fisik. Misalnya, seseorang telah memberikan
nama "Solo" pada kota tertentu, dengan mengikuti kebiasaan orang lain
untuk menggunakan cap verbal ini. Kemudian, orang itu berbicara
mengenai suatu pertemuan di Solo, meskipun pada saat berbicara dia
berada di Jakarta. Maka, orang itu menggunakan suatu bentuk
representasi.
Semua konsep atau pengertian yang diperoleh, dapat dituangkan dalam
bentuk suatu lambang verbal, banyak konsep atau pengertian disimpan
dalam ingatan, dalam bentuk lambang verbal atau kata. Semua kata itu
kemudian, dapat diingat dan dihubungkan satu sama lain serta menjadi
alat dalam berpikir. Bahasa atau sistematika perlambangan verbal adalah
alat penting dalam berpikir, bahkan mungkin yang terpenting, sehingga
berpikir kerap juga dipandang sebagai percakapan batin. Bahasa internal
ini digunakan untuk mewakili pengertian atau konsep-konsep yang
terkandung di dalamnya dan akhirnya menghadirkan aneka ragam objek
dalam kesadaran, maka menjadi suatu bentuk representasi mental. Yang
paling menguntungkan ialah berpikir dengan menggunakan banyak
konsep dan banyak lambang verbal karena dengan demikian, manusia
melepaskan diri dari keterikatan pada tempat dan waktu, tanpa
kehilangan kontak dengan realitas hidup, karena semua itu telah berada
dalam kesadaran dalam bentuk representasi mental. Memang orang

18
dapat berpikir dengan menggunakan tanggapan-tanggapan saja. Cara
berpikir semacam itu disebut berpikir berperaga. Misalnya, seseorang
pergi bertamu ke tempat teman. Ketika sedang berhadapan dengan
temannya, orang itu melihat bahwa mata teman berwarna merah dan
agak bengkak, selain itu raut wajahnya menunjukkan kesuraman. Ketika
sudah kembali di rumahnya sendiri, orang itu masih membawa
gambaran raut wajah teman dan warna matanya. Orang itu mengerti
bahwa temannya tadi sedang berada dalam kesedihan, meskipun teman
itu tidak berkata apa-apa mengenai kesusahannya. Maka, orang itu
berpikir berperaga, karena tadi menghadapi suatu situasi berperaga dan
setelah pulang masih membawa tanggapannya, namun menangkap arti
dari situasi berperaga itu. Berpikir berperaga berguna sekali dalam
memecahkan soal yang disertai pengamatan, misalnya bila siswa, dalam
rangka praktikum fisika, memikirkan gejala pembiasan sinar dalam air
dengan merendam suatu benda dalam bak air. Tetapi, berpikir itu tidak
akan seluas cara berpikir tidak berperaga, yang hanya menggunakan
konsep dan lambang verbal. Dalam memecahkan berbagai persoalan,
cara berpikir terakhir inilah yang paling bermanfaat. Kemahiran
intelektual seseorang semakin meningkat, dengan se makin menguasai
cara berpikir yang tidak berperaga itu.
Segala konsep berfungsi sebagai batu-batu dalam berpikir, banyak batu
dapat disusun-susun menjadi suatu bangunan, dengan menghubung-
hubungkan konsep yang satu dengan yang lain. Dengan demikian,
dibuat/diciptakan suatu relasi antara dua pengertian atau lebih. Misalnya,
kata "kuda" mengandung pengertian tentang suatu jenis binatang
tertentu. Kemudian, pengertian tentang kuda itu dihubungkan dengan
pengertian lain yang tercakup dalam kata "pacuan". Dengan demikian,
diciptakan relasi antara kedua pengertian itu, sehingga diperoleh "suatu
pacuan kuda”. Kedua pengertian itu dapat dihubungkan dengan
beberapa pengertian lain yang tercakup dalam kata-kata seperti

19
"diperuntukkan", "orang", "berduit". Akhirnya, diperoleh suatu
himpunan pengertian yang dirumuskan dalam kalimat "pacuan kuda
diperuntukkan bagi orang yang berduit". Dengan demikian, tercipta
suatu rangkaian relasi antara sejumlah pengertian. Orang akan
menangkap arti dari kalimat tadi yang di dalamnya sejumlah konsep
dihubungkan satu sama lain, tanpa perlu menanggap seekor kuda, suatu
pacuan, perbuatan memperuntukkan sesuatu, salah seorang, suatu
kepingan uang logam. Dalam kenyataan, semua bidang ilmu
dikembangkan dengan menciptakan konsep-konsep, relasi-relasi antara
konsep-konsep, relasi/kaitan yang dikembangkan itu menjadi semakin
kompleks dan rumit, sehingga akhirnya lahirlah suatu bangunan mental
bidang ilmu tertentu yang mempunyai struktur yang jelas. Semua itu
terjadi dalam pikiran orang dan mewakili atau merepresentasikan
kompleksitas kenyataan hidup, namun kenyataan hidup tidak perlu
dihadapi secara fisik. Maka, dalam berpikir tidak berperaga, sangat
menonjollah manfaat dari apa yang disebut "kemahiran intelektual",
dimana orang memperoleh pemahaman dengan menggunakan konsep,
kaidah dan prinsip. Disini pula terdapat apa yang disebut "berpikir
intelektual", yaitu berpikir dengan mencari dan menggunakan
pemahaman melalui penguasaan konsep dan relasi/kaitan antara konsep
itu. Oleh karena itu, pemahaman semacam ini disebut "pemahaman
intelektual".
Jelaslah kiranya, bahwa aktivitas kognitif dengan tujuan
mengerti/memahami, harus dikembangkan menjadi kemampuan
kognitif. Untuk itu orang harus belajar, yaitu belajar berpikir, terutama
melalui pendidikan di sekolah. Di sekolah orang belajar berpikir
berperaga dan juga berpikir tidak berperaga, yang terakhir ini adalah
bekal yang berguna sekali untuk seumur hidup, terutama untuk
memecahkan soal. Selama berada di sekolah, siswa kerap harus berpikir
reproduktif, yaitu menggali dari ingatan pemahaman yang diperoleh

20
selama mengikuti pengajaran, misalnya pada waktu menempuh ujian
atau ulangan. Namun, di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan di
Perguruan Tinggi, semakin perlu dikembangkan kemampuan untuk
berpikir produktif, yaitu berpikir terarah (directed thinking) untuk
memecahkan masalah melalui jalan yang akan membawa ke pemecahan
soal, berpikir kritis (critical thinking) untuk menentukan benar tidaknya
suatu pernyataan, berpikir kreatif (creative thinking) untuk me-
mecahkan suatu persoalan yang dapat dipecahkan melalui berbagai
jalan. Melalui berpikir yang produktif itu, sesuatu yang mula-mula tidak
jelas akhirnya menjadi jelas, dimengerti dan dipahami. Hasil dari
mencari pemahaman itu disimpan dalam ingatan, untuk sewaktu-waktu
dipergunakan. Maka, belajar berpikir yang baik ikut meningkatkan daya
mengingat. Namun, belajar berpikir yang baik tidak mungkin tanpa
memiliki pengetahuan yang tepat. Pengetahuan mencakup penguasaan
fakta dan data yang merupakan kenyataan, tetapi tidak dapat dibuktikan
kebenarannya. Data dan fakta dalam kehidupan tidak dapat dihitung
jumlahnya, namun harus diketahui. Manusia mengetahui fakta dan data
itu dalam bentuk suatu representasi, khususnya lambang verbal (kata)
dan tanggapan. Fakta dan data inilah yang menjadi bahan baku untuk
berpikir. Fakta dan data harus "diperoleh" pula melalui belajar. Maka,
dapat dibedakan bentuk belajar "Belajar pengetahuan faktual", yang oleh
De Block dipandang sebagai suatu bentuk sub-belajar yang tergolong
pula dalam belajar berpikir.

4) Belajar senso-motorik: mengamati, bergerak, berketerampilan


Ciri khasnya terletak dalam belajar menghadapi dan menangani aneka objek
secara fisik, termasuk kejasmanian manusia sendiri. Misalnya, menggerakkan
anggota-anggota badan sambil naik tangga atau berenang, memegang alat
sambil menulis atau melukis, memindahkan jari-jari tangan dan memberikan
tekanan pada tombol-tombol mesin bila mengetik, menguasai dan mengatur
lajunya sebuah kendaraan dengan mempergunakan gerakan lengan dan kaki,

21
memberikan makan kepada dirinya sendiri sambil mengambil bahan makanan
dan memindahkannya ke mulut dengan mempergunakan alat-alat makan. Jadi,
berlangsunglah suatu penanganan atau operasi secara fisik, bukan hanya operasi
secara mental, sebagaimana terjadi bila berpikir. Dalam belajar ini, baik
aktivitas mengamati melalui alat-alat indra (sensorik) maupun bergerak dan
menggerakkan (motorik), memegang peranan penting.
Pengamatan adalah fungsi yang membuat manusia mengenal dunia real yang
fisik/berbadan. Terjadi pengamatan, bila seseorang melihat manusia lain,
sebatang pohon atau sebuah meja, bila mendengar suatu mesin mobil berlalu
atau bunyi lonceng, dan bila merasakan berat benda yang tersimpan dalam
kantong celana. Objek-objek yang diamati berupa manusia, benda atau
kejadian/peristiwa. Apa yang diamati, sungguh-sungguh berada dalam
kenyataan, sehingga dalam pengamatan terjadi kontak langsung dengan dunia
yang real dan nyata secara fisik. Biarpun dalam pengamatan, alat-alat indra
memegang peranan yang kerap kali tidak disadari, namun dalam pengalaman
orang terjadi kontak langsung dengan dunia yang terdapat dalam lingkungan
hidup yang berbadan dan dengan kejasmanian dirinya sendiri. Misalnya, bila
seseorang melihat sebuah meja, dipastikannya secara langsung bahwa meja
berada di sana. Orang itu tidak sadar akan gambaran yang terdapat pada retina
mata dan tidak menyadari rangkaian proses fisiologis dalam penyaluran
bermacam perangsang yang mengenai retina mata. Namun, secara psikologis,
orang itu mengadakan kontak dengan meja itu, sehingga mejanya dinyatakan
sebagai bagian dalam lingkungan hidup yang material. Ada tidaknya meja itu
tidak bergantung pada pengamatan orang tadi, seandainya matanya ditutup,
meja itu masih ada dan tidak menghilang. Dengan kata lain, dunia pengamatan
bersifat objektif dan nyata, seandainya tidak demikian, orang menciptakan
sesuatu yang tidak ada dalam kenyataan. Dunia pengamatan mempunyai
beberapa sifat umum, antara lain berdimensi ruang, berdimensi waktu,
berstruktur dan mengandung makna.

22
Berdimensi ruang berarti: dikenal adanya hubungan antara objek-objek yang
berkaitan dengan posisi dalam ruang, seperti atas-bawah, depan-belakang,
dekat-jauh dan kiri-kanan. Berdimensi waktu berart: objek pengamatan dikenal
sebagai sesuatu yang berubah atau tidak berubah selama beredarnya waktu,
misalnya sebuah kendaraan yang sedang bergerak berubah-ubah tempat dalam
waktu satu menit. Berstruktur berarti: sejumlah objek diamati dalam
hubungannya satu sama lain, misalnya dalam ruang kelas meja guru dan siswa,
papan tulis, para siswa, suara guru dan siswa, semuanya dilihat dan didengar
bersama-sama, sehingga membentuk suatu keseluruhan pengamatan.
Mengandung makna berarti bahwa suatu objek pengamatan seolah-olah
menyampaikan suatu pesan, misalnya melihat sebuah pesawat TV mengandung
ajakan untuk menghidupkan pesawat itu, sehingga muncullah gambar di layar
dan terdengar suara orang berbicara.
Terutama sifat berstruktur dan mengandung makna menunjukkan pada
kenyataan, bahwa manusia sendiri ikut menciptakan dunia pengamatannya
sendiri. Apa yang diamati dan caranya mengamati, tergantung pula pada
pengalaman, perhatian, perasaan, keinginan dan dugaan seseorang. Misalnya,
seseorang yang sejak kecil hidup dalam lingkungan hutan, akan segera
mendengar bunyi-bunyian dan melihat hal-hal yang bagi orang lain asing dan
tidak akan menarik perhatian. Misalnya, orang tuli atau buta akan menangkap
berbagai isyarat yang oleh orang lain, yang mampu melihat dan mendengar,
sama sekali tidak ditangkap, meskipun ada dalam kenyataan. Maka dunia
pengamatan sekaligus bersifat objektif dan subjektif. Unsur subjektivitas dalam
pengamatan memungkinkan untuk belajar. Misalnya, seorang dokter jauh lebih
tajam pengamatannya terhadap warna kulit tubuh, perubahan bentuk tubuh dan
bunyi-bunyian organ-organ dalam tubuh, dibanding dengan orang yang tidak
pernah belajar di Fakultas Kedokteran. Namun, dokter itu tidak mengada-ada
saja, dia memastikan adanya suatu gejala dan menangkap makna dari gejala itu,
ditinjau dari sudut pandangan ilmu kedokteran.

23
Disamping semua sifat yang umum bagi keseluruhan dunia pengamatan,
terdapat juga sifat-sifat yang khas bagi pengamatan melalui pengindraan
tertentu, misalnya mengamati warna adalah sifat khas bagi penglihatan dan
mengamati bunyi adalah sifat khas bagi pendengaran. Setiap indra mempunyai
sifat-sifatnya yang khas (modalitas pengamatan). Indra yang dikenal adalah
indra penglihatan, indra pendengaran, indra kimiawi, yaitu penciuman dan
pengecapan, indra perabaan dan indra kulit, indra keseimbangan yang
menyangkut posisi dan gerak-gerik kepala, indra kinestetis yang menyangkut
gerak-gerik badan. Semua indra itu mempunyai perlengkapan alat-alat indranya
sendiri. Alat-alat indra dipergunakan dalam belajar, dan gangguan atau kelainan
dalam peralatan indra tertentu dapat menimbulkan kesulitan dalam belajar,
misalnya siswa yang kurang dapat mendengar atau melihat akan mengalami
hambatan dalam belajar di sekolah.
Bergerak dan menggerakkan (motorik) meliputi baik gerakan badannya sendiri,
maupun memegang dan menangani peralatan dengan mengikutsertakan
kejasmaniannya sendiri. Namun, pengamatan yang cermat ikut memegang
peranan. Misalnya, bergerak secara tepat berlangsung berdasarkan melihat dan
mendengar, melayani tombol-tombol sebuah komputer secara tepat, menuntut
pengamatan visual lebih dahulu. Sebaliknya, pengamatan yang cermat menuntut
pula bergerak atau menggerakkan anggota badan tertentu. Maka, antara aktivitas
mengamati (sensorik) dan aktivitas bergerak (motorik) terdapat hubungan
timbal balik. Terdapat gerakan-gerakan yang merupakan refleks otomatis atas
sejumlah perangsang tertentu dan tidak bergantung pada usaha belajar
sebelumnya, misalnya meluruskan kaki bila pusat lutut kena pukulan. Terdapat
pula gerakan-gerakan yang merupakan rangkaian gerak-gerik yang telah
diotomatisasi serta bergantung pada usaha belajar tanpa atau dengan
menggunakan peralatan, misalnya berjalan, menulis dengan pensil, makan
dengan sendok. Rangkaian gerak-gerik itu disebut "keterampilan motorik".
Berketerampilan motorik berarti: melakukan suatu rangkaian gerak-gerik dalam
urutan tertentu tanpa menyadari sepenuhnya urutan dan bentuk gerak-gerik itu,

24
biarpun orangnya berada dalam keadaan sadar. Keterampilan motorik
merupakan hasil belajar. Pada awal mula proses belajar semacam ini, mungkin
dibutuhkan pengetahuan dan tingkat kesadaran yang tinggi, namun pada akhir
proses itu tinggal suatu kemampuan yang di dalamnya aspek motorik dan sifat
otomatisasi sangat menonjol. Kemampuan itu bersifat terbatas pada kemampuan
dalam hal tertentu saja, tetapi sekaligus sukar menghilang tanpa bekas.
Menurut Piaget, belajar senso-motorik merupakan dasar bagi belajar berpikir.
Mengamati aneka objek dan memegang serta menangani benda, mendasari
perkembangan berpikir. Dalam berpikir, orang "mempermainkan" realitas
lingkungan hidupnya dalam bentuk-bentuk representatif, tetapi tanpa
pengamatan yang cermat dan penanganan secara konkret, sukarlah
mengembangkan suatu bentuk representasi mental yang tepat. Belajar senso-
motorik mengandung arti penting bagi kehidupan manusia. Manusia
membutuhkan semua bentuk belajar itu kalau ingin hidup secara manusiawi,
namun, kemampuan belajar kognitif adalah mahkota bagi manusia. Maka,
bentuk belajar yang satu dapat dibedakan dari bentuk yang lain, tetapi tidak
boleh dipisahkan seolah-olah berdiri sendiri tanpa berkaitan satu sama lain.
Pada waktu tertentu, belajar kognitif akan menjadi lebih dominan, pada lain
waktu belajar senso-motorik akan lebih dominan dan seterusnya, tergantung
dari belajar pada taraf perkembangan yang mana, dari tujuan belajar dan dari
materi yang dipelajari.

b. Bentuk-bentuk belajar menurut materi yang dipelajari:


1) Belajar teoretis; Bentuk belajar ini bertujuan untuk menempatkan semua data
dan fakta (pengetahuan) dalam suatu kerangka organisasi mental, sehingga
dapat dipahami dan digunakan untuk memecahkan problem, seperti terjadi
dalam bidang-bidang studi ilmiah. Maka, diciptakan banyak konsep, relasi-
relasi diantara konsep-konsep dan struktur-struktur hubungan. Misalnya, konsep
"bujur sangkar" mencakup semua bentuk persegi empat, iklim dan cuaca
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, tumbuh-tumbuhan dibagi dalam

25
genus dan species. Sekaligus dikembangkan metode-metode untuk memecahkan
berbagai problem secara efisien dan efektif, misalnya dalam penelitian fisika.
2) Belajar teknis; Bentuk belajar ini bertujuan mengembangkan keterampilan-
keterampilan dalam menangani dan memegang benda-benda serta menyusun
bagian-bagian materi menjadi suatu keseluruhan, misalnya belajar mengetik dan
membuat suatu mesin ketik. Belajar semacam ini juga kerap disebut belajar
motorik. Belajar ini mencakup fakta, seperti siapa yang pertama membuat mesin
uap, konsep-konsep seperti arah pemutaran dan transmisi tenaga, relasi-relasi
seperti susunan bagian-bagian dalam motor mobil, metode-metode untuk
memecahkan problem teknis, seperti mencari sebab mesin mobil tidak dapat
dihidupkan.
3) Belajar sosial atau belajar bermasyarakat; Bentuk belajar ini bertujuan
mengekang dorongan dan kecenderungan spontan, demi kehidupan bersama,
dan memberikan kelonggaran kepada orang lain untuk memenuhi
kebutuhannya. Belajar ini mencakup fakta, seperti didirikannya badan
perserikatan bangsa untuk mengatur kehidupan bangsa-bangsa pada taraf
internasional, konsep-konsep seperti solidaritas, penghargaan dan kerukunan,
relasi-relasi, seperti hubungan antara penindasan dan pemberontakan, struktur-
struktur, seperti dalam badan-badan pemerintahan, metode-metode atau cara-
cara kehidupan bersama, seperti sopan-santun dan tata-cara berapat.
4) Belajar estetis; Bentuk belajar ini bertujuan membentuk kemampuan
menciptakan dan menghayati keindahan di berbagai bidang kesenian. Belajar ini
mencakup fakta, seperti nama Mozart sebagai penggubah musik klasik, konsep-
konsep, seperti ritme, tema dan komposisi, relasi-relasi seperti hubungan antara
bentuk dan isi, struktur-struktur seperti sistematika warna dan aliran-aliran
dalam seni lukis, metode-metode seperti menilai mutu dan originalitas suatu
karya seni.

c. Bentuk-bentuk belajar yang tidak sebegitu disadari:


1) Belajar insidental; Belajar insidental berlangsung, bila orang mempelajari
sesuatu dengan tujuan tertentu, tetapi disamping itu juga belajar hal lain yang

26
sebenarnya tidak menjadi sasaran. Misalnya, seseorang mencari informasi
dalam majalah atau surat kabar mengenai film-film baru yang bermutu, tetapi
kebetulan juga melihat kepala berita "Sekretaris Jendral PBB tutup usia".
Beberapa bulan kemudian, orang lain menyebutkan nama Sekretaris Jendral itu
dan orang tadi langsung mengatakan "Oh dia sudah meninggal beberapa waktu
yang lalu". Hasil belajar insidental biasanya terbatas pada pengetahuan tentang
fakta dan data. Belajar insidental dalam Bahasa Inggris disebut "incidental
learning" dan berperanan positif, yang disebut "accidental learning" adalah
belajar insidental yang berperanan negatif dan tidak diharapkan terjadi,
misalnya bila siswa tetap menulis suatu kata dengan ejaan yang salah meskipun
oleh guru diberi tanda merah. Belajar insidental selama siswa belajar di sekolah,
bukanlah bentuk belajar yang direncanakan oleh guru. Meskipun demikian, guru
harus menyadari bahwa bentuk belajar ini dapat saja terjadi dengan akibat
positif atau bahkan negatif.
2) Belajar dengan mencoba-coba; Belajar dengan mencoba-coba, yang dalam
Bahasa Inggris disebut “learning by doing”, merupakan sebuah metode
pembelajaran yang menekankan pada praktik dan eksperimen langsung untuk
memahami suatu konsep atau keterampilan.
3) Belajar tersembunyi; Dalam belajar tersembunyi, yang dalam Bahasa Inggris
disebut "latent learning", juga dipelajari sesuatu tanpa ada intensi/maksud untuk
belajar hal itu, namun tidak adanya maksud hanya terdapat pada pihak orang
yang belajar. Dalam mengajar di sekolah, guru dapat merencanakan supaya
siswa belajar sesuatu tanpa mereka menyadari sedang belajar yang dimaksudkan
oleh guru. Belajar secara tersembunyi dapat direncanakan oleh guru, lebih-lebih
dalam belajar sikap dijenjang pendidikan bawah, meskipun pada saat tertentu
siswa harus disadarkan akan sikap apa yang telah dikembangkan dalam dirinya.
Dalam belajar insidental, baik guru maupun siswa tidak mempunyai maksud
untuk belajar hal ini atau hal itu, sedangkan pada belajar tersembunyi hanyalah
siswa yang tidak mempunyai maksud. Misalnya, suatu kelas di Sekolah Dasar
dilatih oleh guru kelas, bagaimana caranya menyelenggarakan upacara kenaikan

27
bendera, tanpa guru itu mengatakan apa-apa mengenai sikap menghormati Sang
Merah Putih. Namun, guru itu bermaksud supaya siswa, dari cara berdiri dan
berjalan dengan hikmat, juga belajar sikap menghormati bendera nasional.

2. Menurut C. van Parreren


C.van Parreren menaruh banyak perhatian pada variasi dalam bentuk atau jenis
belajar. Misalnya, orang A, B, dan C diberi tugas untuk menghafal deretan bilangan
6756453423120, setelah beberapa waktu, ketiga orang itu dapat mereproduksikan deretan
bilangan itu dalam urutan yang tepat. Orang A telah mempelajari deretan itu sebagaimana
adanya, bilangan satu demi satu, kemudian dia menyebutkannya kembali. Orang B juga
telah mempelajarinya, tetapi sambil belajar membagikan deretan itu dalam beberapa
kelompok bilangan, misalnya 675//645//342//312//0. Pada waktu reproduksi, dia
menyebutkan kelompok/gabungan bilangan itu dalam urutan yang sama. Orang C pada
waktu belajar melihat, bahwa deretan itu disusun atas dasar kaidah tertentu, yaitu + 1 dan
-2. Maka, dia hanya menghafal bilangan yang pertama dan kaidah penyusunannya. Pada
waktu reproduksi, tinggal mulai dari bilangan yang pertama, kemudian bilangan-bilangan
yang lain langsung dapat disebutkan. Prestasi yang akhirnya diberikan oleh ketiga orang
itu sama isinya, tetapi cara prestasi itu diberikan berbeda. Ini pun berarti bahwa proses
belajar yang dilalui, untuk sampai pada prestasi itu, juga berbeda. Orang A mencamkan
bilangan satu per satu, orang B memberikan organisasi/struktur pada deretan bilangan itu,
orang C menemukan struktur yang terkandung dalam deretan bilangan itu. Maka, ketiga
proses belajar itu berbeda secara kualitatif dan ini mengakibatkan, bahwa cara
memberikan prestasi akhir juga berbeda secara kualitatif. Dengan demikian, jelas bahwa
ketiga orang itu belajar dengan cara yang berbeda.
Mungkin pula bahwa orang yang sama menjalani ketiga cara belajar itu sekaligus.
Mula-mula dia mencoba menghafal urutan bilangan itu satu per satu, kemudian dia
berubah siasat dan mulai membagi-bagi dalam kelompok, akhirnya tahu-tahu dia
menangkap struktur yang mendasari deretan hilangan dan kemudian berpegang pada
kaidah + 1 dan -2. Maka, selama proses belajar terjadi perubahan-perubahan dalam cara
belajar, yang bersifat perubahan kualitatif. Demikian, seorang yang belajar mengetik,
dapat mengalami perubahan kualitatif selama belajar. Mula-mula dia mempelajari

28
susunan tombol-tombol huruf pada mesin ketik, kemudian dia mulai mengetik kata-kata
dengan pelan-pelan, sambil menekan tombol huruf yang diperlukan, akhirnya dia
mengarang banyak kalimat sendiri tanpa khusus memerhatikan letak semua tombol.
Dengan demikian, terjadi suatu rangkaian perubahan kualitatif dari menangkap struktur
susunan semua tombol huruf, kearah melatihkan gerakan-gerakan jari, untuk kemudian
sampai fase otomatisme di mana keterampilan mengetik telah terbentuk.
Berdasarkan pola analisis, sebagaimana diterangkan dalam contoh-contoh di atas, van
Parreren menekankan perlunya menentukan ciri-ciri khas dari hasil belajar, kemudian
menemukan kekhususan dari proses belajar yang dilalui untuk sampai pada hasil itu, dan
akhirnya memikirkan syarat-syarat yang berlaku pada proses belajar semacam itu.
Disamping itu, van Parreren membedakan antara aktivitas kognitif dan nonkognitif.
Dalam aktivitas kognitif, prestasi diberikan berdasarkan mengetahui, memahami,
berpikir, mempertimbangkan, membandingkan, dan memilih, yang semuanya disertai
kesadaran tinggi. Misalnya, memberikan prestasi sebagai bukti hasil belajar:
menyebutkan deretan bilangan, menyebutkan kata "table" sebagai terjemahan dari
Bahasa Inggris bagi kata "meja", mendeklamasikan syair yang telah dihafal, mengambil
jurusan ke arah utara setelah mempelajari suatu peta kota, memecahkan problem
matematika dengan menerapkan rumus. Dalam memberikan semua prestasi itu, orang
harus "mampu mengenal". Lain keadaannya bila orang memberikan suatu prestasi
berdasarkan "mampu berbuat". Di situ terdapat aktivitas nonkognitif, di mana prestasi
diberikan berdasarkan menggerakkan, mengangkat, menurunkan, memindahkan,
menaikkan, dan memutarkan, yang semuanya berlangsung dengan sendirinya (secara
otomatis), tanpa disertai kesadaran tinggi mengenai apa yang dibuat dan mengapa dibuat
begitu. Misalnya, memberikan prestasi sebagai bukti hasil belajar: mendayung sepeda,
memainkan alat musik, menyalakan kompor, menyepak bola. Maka, van Parreren
mengelompokkan proses-proses belajar dalam kelompok yang membawa ke kemampuan
kognitif dan kelompok yang membawa ke kemampuan yang nonkognitif. Dalam belajar
di sekolah, kelompok proses belajar yang pertama sangat menonjol peranannya dan,
karena itu, mendapat perhatian khusus dalam psikologi pengajaran.

29
Adapun sistematika semua bentuk sebagaimana dikembangkan oleh van Parreren,
secara lengkap, adalah sebagai berikut:
a. Membentuk otomatisme Belajar nonkognitif (Kadang-kadang
kognitif)
b. Belajar insidental
c. Menghafal
d. Belajar pengetahuan
e. Belajar arti kata-kata
f. Belajar konsep (pengertian) Belajar kognitif
g. Belajar memecahkan problem melalui
pengamatan
h. Belajar berpikir
i. Belajar untuk belajar
j. Belajar dinamik Campuran belajar kognitif dan nonkognitif

a) Membentuk otomatisme
Bentuk belajar ini terutama meliputi belajar keterampilan motorik, tetapi dapat juga
meliputi belajar kognitif. Ciri khas dari hasil belajar/kemampuan yang diperoleh,
terletak dalam otomatisasi sejumlah rangkaian gerak-gerik yang terkoordinir satu sama
lain, seperti dalam berenang atau menjahit dengan mesin. Suatu program bergerak dan
berbuat, berlangsung seolah-olah dengan sendirinya, tanpa disertai kesadaran yang
tinggi tentang jalannya program itu, biarpun orang berada dalam keadaan sadar.
Otomatisasi atau keterkaitan pada suatu program tertentu, dapat juga ditemukan dalam
beberapa prestasi kognitif yang berdasarkan hafalan, misalnya banyak orang hanya
dapat menyebutkan abjad dalam urutan A-B-C-D-E dan seterusnya, tidak dalam urutan
Z-Y-X -W-V-U dan seterusnya. Demikian pula, dalam menyebutkan nama pada bulan
dalam satu tahun menurut urutan Januari - Februari - Maret dan seterusnya, tidak dalam
urutan terbalik Desember - November - Oktober dan seterusnya dalam kecepatan yang
sama. Keuntungan dari mempunyai kemampuan yang telah menjadi suatu otomatisme

30
ialah orang dapat mencurahkan perhatian pada aktivitas lain, misalnya menyusun
karangan sambil mengetik. Kelemahan yang kerap melekat pada otomatisme semacam
itu ialah prestasi keterampilan motorik atau hafalan menjadi kaku dan kurang fleksibel.
Misalnya, orang harus mengulang kembali seluruh rangkaian huruf dalam abjad, untuk
menemukan huruf yang mendahului huruf Q atau yang mengikutinya. Misalnya pula,
orang yang mengalami gangguan dalam motoriknya selama main piano karena salah
satu tuts sukar ditekan kebawah. Dalam proses belajar keterampilan motorik terdapat
beberapa fase, yaitu fase kognitif dimana orang mulai mengetahui macam-macam hal
mengenai keterampilan, fase latihan di mana orang akan berlatih untuk
"mendarahdagingkan" keterampilan itu, fase otomatisme di mana seluruh rangkaian
gerak-gerik telah berlangsung dengan lancar.
b) Belajar insidental
Orang ternyata belajar sesuatu tanpa mempunyai intensi atau maksud untuk
mempelajari hal itu, khususnya yang bersifat pengetahuan mengenai fakta atau data.
Sebagaimana telah ditekankan oleh De Corte, siswa di sekolah juga dapat mengalami
belajar semacam itu, tanpa direncanakan oleh guru, namun hasilnya, sebagai efek
sampingan pada belajar yang lain, dapat menguntungkan maupun menghambat bagi
perkembangan siswa.
c) Menghafal
Orang menanamkan suatu materi verbal di dalam ingatan, sehingga nantinya dapat
diproduksikan kembali secara harafiah, sesuai dengan materi yang asli, misalnya bila
anak menghafal lagu kebangsaan. Ciri khas dari hasil belajar/kemampuan yang
diperoleh ialah reproduksi secara harafiah dan adanya skema kognitif. Adanya skema
kognitif berarti, bahwa dalam ingatan orang tersimpan semacam program informasi
yang diputar kembali pada waktu dibutuhkan, seperti terjadi pada komputer. Program
itu terdiri atas serangkaian komponen yang telah digabung menjadi satu. Misalnya, bila
siswa telah menghafal kata "meja" "table", dia biasanya juga mengetahui kata
"table"→"meja". Jadi bukan hanya A B, melainkan juga BA, karena masing-masing A
dan B telah menjadi anggota dalam keseluruhan A B. Dengan demikian, telah terbentuk
suatu skema kognitif atau suatu Gestalt kognitif.

31
Dalam proses menghafal, orang menghadapi materi yang biasanya disajikan dalam
bentuk verbal (bentuk bahasa), entah materi itu dibaca entah didengarkan. Materi dapat
mengandung arti, misalnya suatu syair, definisi atau rumus, dapat pula tidak
mengandung arti, misalnya huruf dalam abjad, nomor telepon, sejumlah nama orang.
Orang akan sangat tertolong dalam menghafal, bila dia membentuk suatu skema
kognitif, entah dengan memerhatikan makna atau arti yang telah terkandung dalam
materi hafalan, entah dengan menciptakan sendiri suatu skema kognitif. Menciptakan
skema kognitif menjadi syarat bagi keberhasilan menghafal. Syarat lain yang harus
dipenuhi ialah mengulang-ulang kembali materi hafalan, sampai tertanam sungguh-
sungguh dalam ingatan (overlearning), lebih-lebih pada materi yang tidak mengandung
struktur yang jelas.
d) Belajar pengetahuan
Dalam bentuk belajar ini, orang mulai mengetahui berbagai macam data mengenai
kejadian, keadaan, benda-benda dan orang. Misalnya, orang mengetahui bahwa Perang
Dunia II berakhir pada tanggal 15 Agustus 1945 dan kemerdekaan Indonesia lalu
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, orang mengetahui keadaan di ibu kota
Mexico City sesudah terjadi bencana alam dalam bentuk gempa bumi yang dahsyat,
setelah membaca surat kabar atau melihat acara Dunia Dalam Berita di layar TV, orang
mengetahui bahwa panjangnya badan pesawat Boeing 747 adalah sekian meter, orang
mengetahui bahwa anak yang bernama Prabawa adalah anak tetangga, dan lain
sebagainya. Ciri khas dari hasil belajar/kemampuan yang diperoleh ialah orang dapat
merumuskan kembali pengetahuan yang dimiliki dalam kata-kata sendiri; tidak perlu
dirumuskan kembali dalam bentuk perumusan asli (secara harafiah). Fakta itu tidak
perlu dibuktikan kebenarannya, bahkan hal itu biasanya tidak mungkin, sebab fakta itu
merupakan kenyataan yang memang ada, tetapi tidak harus ada atau tidak harus terjadi
begini atau begitu. Misalnya, penyerahan tentara Jepang kepada pihak Sekutu memang
terjadi pada tanggal 15 Agustus 1945, tetapi peristiwa itu tidak harus terjadi pada
tanggal itu dan tidak dapat dibuktikan, bahwa peristiwa itu tidak mungkin jatuh pada
tanggal 14 Agustus atau 16 Agustus 1945. Demikian pula, tidak dapat dibuktikan,
bahwa proklamasi kemerdekaan seharusnya terjadi pada tanggal 19 Agustus 1945.

32
Namun, hasil belajar pengetahuan ini akan bersifat fungsional, kalau orang yang
telah mempelajari fakta itu melihat hubungan antara hal yang satu dan hal yang lain.
Misalnya, siswa yang mempelajari sejarah nasional dapat saja melihat/menangkap
hubungan yang terdapat antara peristiwa pada tanggal 15 Agustus 1945 dan peristiwa
tanggal 17 Agustus 1945. Seandainya siswa Sekolah Lanjutan Pertama itu ditanyai,
kapan tentara Jepang menyerah kepada pihak Sekutu dan menjawab tepat, kemudian
ditanyai kapan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya dan menjawab tepat,
tetapi atas pertanyaan apa hubungan di antara kedua peristiwa itu tidak menjawab,
maka ternyatalah bahwa siswa itu memiliki pengetahuan dalam keadaan siap digali dari
ingatan, namun belum bersifat fungsional. Maka, van Parreren membedakan antara
pengetahuan yang fungsional dengan pengetahuan yang tersedia saja, lebih-lebih bila
pengetahuan itu menyangkut fakta yang diketahui dari mempelajari dua bidang studi
yang berlainan. Misalnya, siswa Sekolah Lanjutan Pertama, dalam rangka mempelajari
ilmu bumi, mengetahui bahwa di lereng gunung kerap turun hujan, dalam rangka
belajar fisika, dia mulai mengetahui bahwa udara panas yang mengandung uap air akan
melepaskan uap air bila suhu turun. Siswa itu mempunyai pengetahuan akan dua fakta
yang masih terpisah satu sama lain, ini merupakan pengetahuan yang tersedia saja. Bila
ternyata siswa mampu menghubungkan kedua fakta itu, dia baru memiliki pengetahuan
yang fungsional.
Perbedaan antara pengetahuan yang tersedia dan pengetahuan yang fungsional,
sebenarnya berkaitan dengan cara informasi disimpan dalam ingatan. Dalam hal
pengetahuan yang tersedia saja, informasi disimpan secara terpisah, informasi yang satu
disimpan dalam "laci" ilmu bumi dan informasi yang lain disimpan da lam "laci" fisika.
Dalam hal pengetahuan fungsional, informasi yang baru, misalnya pengetahuan fisika,
diintegrasikan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki, misalnya pengetahuan ilmu
bumi. Maka, selama proses belajar pengetahuan, perlu diusahakan supaya pengetahuan
yang baru dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki, supaya pengetahuan
yang akhirnya dimiliki bersifat fungsional. Syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya
sasaran ini dicapai, untuk sebagian terletak pada pihak siswa, untuk sebagian pada
pihak guru. Siswa yang sungguh berminat terhadap materi pengetahuan yang dipelajari

33
dan berusaha untuk mengintegrasikannya dengan hal-hal lain yang sudah diketahui,
akan memperoleh pengetahuan fungsional. Guru yang mengaitkan materi pengetahuan
dengan pengalaman hidup siswa sehari-hari, serta menghubungkan fakta baru dengan
yang sudah diketahui, biarpun dalam rangka bidang studi yang lain, akan sangat
membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan fungsional.
e) Belajar arti kata-kata

Dalam bentuk belajar ini, orang mulai menangkap arti yang terkandung dalam kata-
kata yang digunakan. Misalnya, anak kecil sedikit demi sedikit akan menangkap, apa
arti kata "kalender" dan apa arti kata "lukisan". Setelah anak mendengar kata "kalender"
untuk menunjuk pada suatu benda tertentu yang berwarna-warni, yang digantungkan di
tembok/dinding di rumahnya, dia kemudian menyebut lukisan yang dilihat di rumah
tetangga sebagai "kalender". Penggunaan kata itu tentunya salah, maka orang tua atau
saudara memberikan koreksi "bukan kalender, melainkan lukisan". Dengan demikian,
anak membedakan arti yang terkandung dalam kata "kalender" dan arti yang
terkandung dalam kata "lukisan". Pada anak kecil, proses belajar arti kata-kata kerap
membuat orang dewasa merasa geli, karena seekor kucing, seekor anjing dan seekor
kelinci yang masih sama-sama kecil, semuanya disebut "kucing" setelah anak
mendengar kata itu untuk menunjuk pada seekor binatang peliharaan kecil yang berbulu
halus. Selain anak kecil, mahasiswa dan orang dewasa pun masih dapat belajar arti
yang khas dari kata-kata tertentu, dengan mengindahkan arti samar-samar yang sudah
terkandung di dalamnya atau dengan memberikan arti tertentu pada sebuah kata yang
sampai saat itu belum mengandung makna. Misalnya, seorang mahasiswa FKIP,
Program Studi Bimbingan dan Konseling, dapat belajar arti khas kata "Bimbingan" di
sekolah dengan bertitik tolak pada arti "Pendidikan" yang secara samar terkandung di
dalamnya. Bagi masyarakat luas yang kurang menguasai Bahasa Inggris, kata
"allocation" dan "monitoring" tidak mempunyai arti, namun dewasa ini masyarakat
luas, dalam rangka menentukan aturan disiplin berapat dan berdiskusi, sudah
menggunakan kata "alokasi waktu" dalam arti menentukan jadwal waktu dan kata
"monitoring" dalam arti mengawasi jalannya pertemuan. Ciri khas dari hasil belajar
semacam ini dan proses belajarnya untuk sampai pada hasil itu, tidak akan dibahas
34
lebih lanjut di sini, karena sudah termasuk Psikologi Bahasa dan banyak hal juga belum
jelas. Namun, perlu disadari bahwa suatu pengertian (konsep) dapat diperoleh lebih
dahulu, baru kemudian diberi suatu nama berupa kata.
f) Belajar konsep (pengertian)
Dalam bentuk belajar ini, orang mengadakan abstraksi, yaitu dalam semua objek
yang meliputi benda, kejadian dan orang, hanya ditinjau aspek-aspek tertentu saja.
Objek tidak ditinjau dalam semua detail-detailnya, tetapi aspek tertentu seolah-olah
diangkat dan disendirikan. Misalnya, pada sebuah pohon hanya ditinjau aspek
"mempunyai batang" atau "mempunyai daun-daun". Kemudian pada pohon-pohon lain
juga ditinjau aspek batang atau daun saja. Akhirnya terbentuk suatu pengertian abstrak
atau satuan arti yang abstrak "batang" dan "daun" yang keduanya menunjuk pada satu
aspek tertentu yang ditemukan pada semua pohon. Demikian pula pada bunga
flamboyan, kembang sepatu, bunga anggrek, bunga mawar dan lain sebagainya,
ditemukan sejumlah ciri yang terdapat pada semua bunga yang konkret itu, yaitu
"mekar, bertangkai, berwarna, sedap dipandang mata, berputik, berbenang sari". Semua
ciri bersama-sama ditangkap atau dikumpulkan dalam pengertian "bunga", yang
kemudian dilambangkan dengan kata "bunga". Maka pengertian/konsep adalah satuan
arti yang mewakili sejumlah objek yang memiliki ciri-ciri yang sama. Belajar konsep
merupakan salah satu cara belajar dengan pemahaman dan kerap dikenal dengan nama
"concept formation". Ciri khas dari konsep yang diperoleh sebagai hasil belajar
pengertian ini ialah adanya skema konseptual. Skema konseptual ialah suatu
keseluruhan kognitif, yang mencakup semua ciri khas yang terkandung dalam suatu
pengertian. Kalau beberapa ciri diketahui, sehingga dapat ditentukan pengertian
manakah yang dimaksud, ciri-ciri yang lain dengan sendirinya juga diketahui.
Misalnya, bila seseorang telah mengumpulkan sejumlah buah yang tergolong "buah
mangga", dia dengan sendirinya juga mengetahui bahwa sari buah, bila mengenai
pakaian, sulit dihilangkan biarpun buah-buahan itu belum dimakan. Dengan demikian
jelaslah, bahwa orang itu memiliki suatu pengertian yang mencakup sejumlah ciri yang
terdapat bersama-sama dan tergabung dalam suatu struktur, struktur inilah yang disebut
skema konseptual.

35
Berdasarkan ciri khas ini, muncullah beberapa ciri lain yang melekat pada
pengertian atau konsep, yaitu dapat diterapkan terhadap banyak objek, karena tidak
terikat pada objek tertentu, sulit dituangkan dalam bentuk tanggapan sensorik, karena
tanggapan sensorik hanya membayangkan satu hal yang konkret saja, harus dituangkan
atau dilambangkan dalam bentuk simbol seperti kata, huruf, bilangan atau gambar.
Misalnya, kata "keadilan" melambangkan suatu pengertian tertentu, huruf A
melambangkan taraf penilaian tertentu, rambu-rambu lalu-lintas melambangkan suatu
perintah atau larangan. Maka, orang yang memiliki sejumlah konsep bertindak pada
taraf abstrak-simbolis, dengan kata lain memiliki sejumlah representasi mental dari
realitas hidup di sekitarnya dan di dalam dirinya sendiri. Proses belajar konsep sudah
lama diteliti dan sejumlah hal tentang proses itu sudah diketahui, misalnya orang dapat
belajar konsep melalui suatu benda, aneka gambar dan penjelasan verbal.
Konsep-konsep dapat dihubungkan satu sama lain atau dikombinasikan yang satu
dengan yang lain, sehingga lahirlah apa yang disebut "kaidah". Kaidah sangat berguna
dalam memecahkan suatu problem. Misalnya, terdapat problem sebagai berikut: Suatu
bidang tanah mempunyai luas 7560 m²; panjangnya ialah 90 m. Tanah itu akan dipagari
dengan memakai kawat berduri, tetapi yang harus dipagari hanya tiga sisi saja, karena
pada sisi panjang yang satu telah dibangun suatu tembok. Berapa meter kawat berduri
yang dibutuhkan? Problem itu dapat dipecahkan dengan menggunakan kaidah "luas
empat persegi panjang ialah alas x tinggi" dan "keliling empat persegi panjang ialah 2 x
panjang + 2 x lebar".
g) Belajar memecahkan problem melalui pengamatan
Dalam belajar ini, orang dihadapkan pada problem yang harus dipecahkan dengan
mengamati baik-baik. Pemecahan problem adalah tujuan yang harus dicapai, tetapi
tindakan yang harus diambil supaya problem terpecahkan, belumlah diketahui.
Tindakan atau perbuatan itu masih harus ditemukan, dengan mengadakan pengamatan
yang teliti dan reorganisasi terhadap unsur-unsur di dalam problem. Dari reorganisasi
melalui perubahan dalam pengamatan, lahirlah suatu pemahaman yang membawa ke
pemecahan problem. Misalnya, dalam main catur orang mengamati susunan posisi
pion-pion dan kemudian membayangkan susunan posisi baru, yang akan timbul

36
sesudah letak salah satu pion diubah. Sesudah itu, orang mengangkat salah satu pion
dan menaruhnya di tempat lain pada papan catur. Dengan demikian problem yang
dihadapi tadi, terpecahkan; sekaligus lawan main catur dihadapkan pada problem baru,
karena posisi pion pada papan catur telah berubah.
h) Belajar berpikir
Dalam belajar ini, orang juga dihadapkan pada suatu problem yang harus
dipecahkan, namun tanpa melalui pengamatan dan reorganisasi dalam pengamatan.
Problem harus dipecahkan melalui operasi mental, khususnya menggunakan konsep
dan kaidah serta suatu metode bekerja tertentu. Misalnya, orang disuruh melengkapi
barisan bilangan 1-6-11 dengan menyebutkan dua bilangan berikutnya. Problem ini
dapat dipecahkan dengan metode mencari jumlah perbedaan antara bilangan pertama
dan bilangan kedua, serta antara bilangan kedua dan ketiga. Akan ditemukan kaidah
yang mendasari barisan bilangan itu, yaitu +5, sehingga dengan mudah dapat
disebutkan dua bilangan berikutnya, yaitu 11+5=16 dan 16+5=21. Di sini tidak
diadakan pengamatan, tetapi problem dipecahkan melalui operasi mental semata-mata.
Demikian pula dalam barisan bilangan 1-2-4-8-?-?, pemecahan akan ditemukan bila
dicari corak perbedaan antara deretan bilangan yang telah diberikan, yaitu 1 x 2 = 2, 2 x
2=4, 4 x 2=8. Berdasarkan penemuan kaidah "bilangan terakhir dikalikan dua", deretan
bilangan dapat dilengkapi, yaitu 8 x 2=16, 16 x 2=32.
Dalam belajar di sekolah, siswa kerap membutuhkan suatu metode bekerja tertentu,
supaya problem yang dihadapi dapat dipecahkan. Aneka metode itu ada yang pasti
membawa ke pemecahan yang tepat, namun hanya berlaku untuk jenis-jenis persoalan
tertentu. Metode seperti itu dikenal dengan nama algoritma. Dalam menghadapi
berbagai persoalan, siswa tidak selalu menemukan pemecahan dengan mengikuti
metode kerja yang dituangkan dalam bentuk algoritma saja. Namun, suatu metode kerja
tetap diperlukan, paling sedikit supaya pemecahan dapat ditemukan dengan lebih
mudah. Aneka metode kerja yang membantu dan mempermudah dalam mencari
pemecahan, dikenal dengan nama "heuristik". Misalnya, menentukan jumlah meter
kawat berduri yang dibutuhkan untuk memagari sebidang tanah, akan dipermudah bila
siswa membuat gambar lebih dahulu. Dengan demikian, siswa mungkin akan lebih

37
cepat menangkap, bahwa data tentang luas bidang tanah itu dan panjangnya, dapat
digunakan untuk menghitung lebarnya, dengan menerapkan kaidah menghitung luas
bidang tanah itu. Kalau panjang dan lebar diketahui, ukuran keliling juga dapat
ditentukan, paling sedikit untuk tiga sisi/batas tanah yang harus dipagari. Membuat
gambar lebih dahulu dapat membantu dalam pemecahan soal ini, biarpun tidak
menjamin bahwa hasilnya pasti akan tercapai. Boleh dikatakan bahwa penggunaan
suatu heuristik akan menyalurkan pikiran siswa, sehingga dia tidak bekerja secara
membabibuta atau mencoba-coba saja tanpa arah. Jumlah heuristik cukup banyak, dan
biasanya terikat pada tipe-tipe persoalan tertentu di berbagai bidang studi. Dalam
bidang studi matematika, khususnya hal soal hitungan yang dituangkan dalam bentuk
bahasa (seperti contoh bidang tanah tadi), siswa mungkin dibantu dengan membuat
gambar. Dalam bidang studi bahasa Indonesia, khususnya mengarang, siswa dapat
dibantu dengan membuat rencana tentang isi karangan lebih dahulu. Dalam mengambil
inti dari suatu bab dalam buku pelajaran, siswa biasanya akan dibantu, bila membaca
bab itu dalam keseluruhan lebih dahulu, baru kemudian bagian demi bagian. Jelaslah
kiranya, bahwa di sekolah siswa dapat belajar menggunakan algoritme dan heuristik.
Dengan demikian, siswa tidak mengacaubalaukan konsep dan kaidah yang dikuasainya,
melainkan menggunakan konsep dan kaidah itu secara lebih efisien. Oleh karena itu,
cara berpikir siswa menjadi lebih sistematis, dengan kata lain, siswa telah belajar
berpikir dengan efisien dan efektif.
i) Belajar untuk belajar
Makna bentuk belajar ini jauh lebih luas daripada semua bentuk belajar yang
dibahas sampai sekarang dan mencakup banyak unsur dari bentuk-bentuk itu. Bentuk
belajar ini paling tampak jelas dalam belajar di sekolah, bila diamati perbedaan antara
siswa-siswi dalam kemajuan belajar. Seringkali siswa-siswi tertentu pada umumnya
belajar dengan lebih cepat dan dengan lebih baik dan, karena itu, juga lebih maju.
Adanya perbedaan antara siswa-siswi itu tidak dapat dijelaskan hanya dengan
mengatakan, bahwa siswa yang lebih maju itu pasti lebih pandai daripada yang lain.
Dengan demikian, perbedaan dalam taraf inteligensi antara siswa dijadikan satu-
satunya alasan untuk menjelaskan perbedaan dalam hal kemajuan belajar. Biarpun ada

38
perbedaan dalam taraf inteligensi, namun yang harus diketahui ialah apa yang dibuat
oleh siswa yang lebih pandai itu, sehingga dia belajar dengan lebih cepat dan lebih
baik. Kalau itu diketahui, siswa-siswi yang tidak sebegitu pandai pun dapat melakukan
hal-hal yang sama, sehingga mereka pun dapat belajar dengan lebih cepat dan lebih
baik. Dalam kaitan ini, penelitian psikologis telah menemukan sejumlah ciri dari belajar
yang baik, sehingga semua siswa dapat meningkatkan mutu belajarnya sendiri; dengan
kata lain, mereka akan belajar untuk belajar. Pada dasarnya, ternyata bahwa siswa yang
belajar dengan baik adalah siswa yang menyadari sepenuhnya apa yang dituntut dalam
tugas belajar dan bagaimana caranya dia bekerja. Siswa yang demikian mengadakan
orientasi lebih dahulu terhadap tugas yang dihadapinya, misalnya membaca lebih
dahulu keseluruhan soal yang harus dikerjakan dan keseluruhan pertanyaan yang harus
dijawab. Setelah itu, siswa membuat rencana mengenai langkah-langkah yang akan
diambilnya dalam memecahkan soal atau menjawab pertanyaan. Jadi, siswa itu bekerja
secara sistematis dan tidak bekerja secara impulsif, misalnya membaca kata-kata
pertama dari suatu pertanyaan dan langsung menjawab tanpa membaca bagian lain dari
pertanyaan. Setelah hasil diperoleh, siswa itu masih mengadakan refleksi. Bila hasilnya
ternyata tidak sesuai atau tidak tepat, diadakan analisis terhadap kesalahan yang telah
dibuat, supaya lain kali tidak terulang kembali. Bila hasilnya ternyata tepat, ditinjau
sekali lagi apa yang membuat cara kerjanya tepat. Maka, siswa itu tidak pertama-tama
meninjau tepat atau tidak tepatnya hasil, melainkan bagaimana proses bekerja yang
telah dilalui untuk sampai pada hasil itu. Akhirnya, siswa itu menghubungkan hasil
baru yang diperoleh dengan apa yang telah diketahui atau dipahaminya, sehingga hasil
belajar yang baru diintegrasikan dengan hasil belajar yang lama. Mungkin sekali bahwa
siswa yang pandai menemukan sendiri segala siasat yang diterangkan diatas, sehingga
timbul kesan bahwa hasil belajarnya lebih baik berdasarkan taraf inteligensi yang lebih
baik, padahal hasil yang lebih baik itu bersumber pada cara belajar yang penuh
kesadaran, sistematis dan penuh refleksi diri. Maka, cara belajar yang demikian ini,
yang sebenarnya mencakup sejumlah heuristik mengenai cara belajar yang baik, dapat
juga diajarkan kepada siswa yang tidak sebegitu pandai. Dengan demikian, siswa yang
lemah pun dapat maju.

39
j) Belajar dinamik
Bentuk belajar ini bersifat sangat kompleks, karena menyangkut lahirnya banyak
sumber energi psikis, yang seolah-olah merupakan bahan bakar, yang memberikan
kekuatan dan dorongan kepada orang untuk melakukan berbagai aktivitas, di antaranya
kegiatan belajar. Sumber-sumber energi psikis itu adalah kemauan, sikap, motif dan
perasaan. Di dalam belajar dinamik, dibentuk kemauan, sikap, motif dan modalitas
perasaan, yang semuanya mengambil bagian dalam pembentukan watak. Dalam belajar
ini berperananlah unsur-unsur dari belajar kognitif dan belajar nonkognitif, yang sulit
untuk ditunjukkan satu per satu. Kompleksitas belajar ini bertambah rumit, karena hasil
belajar ini untuk sebagian besar diperoleh dalam bergaul dengan orang-orang lain.

40
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Belajar pada manusia merupakan suatu aktivitas mental atau psikis, yang berlangsung
aktif dengan lingkungan, sehingga menghasilkan sejumlah perubahan dalam pengetahuan-
pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan dan
berbekas. Ada beberapa jenis belajar yaitu; menurut A. De Block, antara lain a) bentuk-
bentuk belajar menurut fungsi psikis, terdiri dari belajar dinamik/konatif, belajar afektif,
belajar kognitif, dan belajar senso-motorik. b) bentuk-bentuk belajar menurut materi yang
dipelajari, terdiri dari: belajar teoretis, belajar teknis, belajar sosial atau belajar
bermasyarakat dan belajar estetis. c) bentuk-bentuk belajar yang tidak sebegitu disadari:
belajar incidental, belajar dengan mencoba-coba dan belajar tersembunyi. kemudian menurut
C. van Parreren yaitu membentuk otomatisme, belajar insidental, menghafal, belajar
pengetahuan, belajar arti kata-kata, belajar konsep (pengertian), belajar memecahkan
problem melalui pengamatan, belajar berpikir, belajar untuk belajar, belajar kognitif, dan
belajar dinamik.

B. Saran
Demikian makalah ini kami buat, jika terdapat hal-hal yang tidak berkenan dan
kekurangan pada sistematika penulisan atau pengggunaan bahasa yang kurang tepat, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran dalam rangka perbaikan makalah ini.

Daftar Pustaka

41
Winkel, W.S. 2014. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Sketsa

42

Anda mungkin juga menyukai