Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH PSIKOLOGI PENDIDIKAN

TENTANG
TIPE-TIPE DAN KESULITAN BELAJAR

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 11


KELAS : 4C2

ANGGOTA :
1. IKHLAS SIRRI 201015
2. NELYTA 20101587

DOSEN PENGAMPU : SUMARNI, M.Pd

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN
NASIONAL PADANG PARIAMAN

2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala Rahmat-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya yang mungkin sangat sederhana. Makalah ini berjudul tentang
“Tipe-tipe dan kesulitan belajar”.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman dan juga berguna untuk menambah pengetahuan bagi
para pembaca.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
kami miliki sangat kurang. Oleh karena itu, kami harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Padang Pariaman, 18 Februari 2022

penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..............................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................1
C. Tujuan Makalah.............................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Tipe-Tipe Belajar..........................................................3
B. Kesulitan Belajar...........................................................
C. Anak Bermasalah..........................................................
D. Masalah Transfer Dan Lupa..........................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................
B. Saran .............................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada masa sekarang ini banyak sekali anak-anak mengalami kesulitan
dalam belajar. Hal tersebut tidak hanya dialami oleh siswa-siswa yang
berkemampuan kurang saja. Hal tersebut juga dialami oleh siswa-siswa yang
berkemampuan tinggi. Selain itu, siswa yang berkemampuan rata-rata juga
mengalami kesulitan dalam belajar. Sedangkan yang namanya kesulitan
belajar itu merupakan kondisi proses belajar yang ditandai oleh hambatan-
hambatan tertentu untuk mencapai kesuksesan.
Kesulitan belajar ini tidak selalu disebabkan oleh faktor intelegensi yang
rendah (kelainan mental) akan tetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor
nonintelegensi. Dengan demikian, IQ yang tinggi belum tentu mendapatkan
jaminan keberhasilan belajar. Setiap anak datang kesekolah tidak lain kecuali
untuk belajar dikelas agar menjadi orang yang berilmu pengetahuan di
kemudian hari. Sebagian besar waktu yang tersedia harus digunakan oleh
anak didik untuk belajar, tidak mesti ketika disekolah, dirumah pun harus ada
waktu yang disediakan untuk kepentingan belajar. Tiada hari tanpa belajar
adalah ungkapan yang tepat untuk anak didik.
Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat
fundamental dalam setiap penyelenggaran jenis dan jenjang pendidikan. Ini
berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat
bergantung pada proses beljaar yang dalami siswa, baik ketika ia berada
dalam sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarga sendiri.

B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini sebagai berikut:
1. Apa saja tipe-tipe belajar?
2. Apa saja kesulitan dalam belajar?
3. Bagaimana mengatasi anak bermasalah?
4. Apa maksud masalah transfer dan lupa?
C. Tujuan makalah
Adapun tujuan pembuatan dari makalah ini sebagai berikut:
1. Mahasiswa mengetahui tipe-tipe belajar.
2. Mahasiswa mengetahui kesulitan dalam belajar.
3. Mahasiswa mengetahui anak bermasalah.
4. Mahasiswa mengetahui transfer dan lupa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tipe-Tipe Belajar
1. Pengertian belajar
Belajar adalah usaha untuk membentuk hubungan antara perangsang
dan reaksi. Pandangan ini dikemukakan oleh aliran psikologi yang
dipelopori oleh Thorndike aliran Koneksionisme. Menurut ajaran
Koneksionisme orang belajar karena menghadapi masalah yang harus
dipecahkan. Masalah itu merupakan perangsang atau stimulus terhadap
individu. Kemudian individu itu mengadakan reaksi terhadap rangsangan,
dan bila reaksi itu berhasil, maka terjadilah hubungan perangsang dan
reaksi dan terjadi pula peristiwa belajar.
Menurut Witherigton, terdapat dalam buku Educatinal Psyhology
mengemukakan belajar adalah suatu perubahan didalam kepribadian yang
menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari reaksi yang berupa
kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian. Menurut
Gagne dalam buku The of Learning (1977) menyatakan bahwa belajar
terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan
mempengaruhi stimulus siswa bersama dengan isi ingatan mempengaruhi
siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya berubah dari waktu sebelum
ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, dapat dikemukakan
adanya beberapa eleman penting yang mencirikan pengertian tentang
belajar, yaitu bahwa:
a. Belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku, dimana
perubahan itu dapat mengarah kepada tingkah laku yang lebih baik,
tetapi juga ada kemungkinan mengarah kepada tingkah laku yang lebih
buruk.
b. Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan atau
pengalaman, dalam arti perubahan-perubahan yang disebabkan oleh
pertumbuhan atau kematangan tidak dianggap sebagai hasil belajar,
seperti perubahan-perubahan yang terjadi pada diri seorang bayi.
c. Untuk dapat disebut belajar, maka perubahan itu harus relatife mantap,
harus merupakan akhir dari suatu periode waktu yang cukup panjang.
Berapa lama periode waktu itu berlangsung sulit ditentukan dengan
pasti, tetapi perubahan itu hendaknya merupakan akhir dari suatu
periode yang mungkin berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan,
ataupun bertahun-tahun.
d. Tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut
berbagai aspek kepribadian, baik fisik maupun psikis, seperti:
perubahan dalam pengertian pemecahan suatu masalah atau berpikir,
keterampilan, kecakapan, kebiasaan, ataupun sikap.
Manifestasi atau perwujudan perilaku belajar biasanya lebih sering
tampak dalam perubahan-perubahan sebagai berikut:
a. Kebiasaan
Setiap siswa yang telah mengalami proses belajar, kebiasaan-
kebiasaan akan tampak berubah. Menurut Burghardt (1973), kebiasaan
itu timbul karena proses penyusutan kecenderungan respons dengan
menggunakan stimulus yang berulang-ulang. Dalam proses belajar,
pembiasaan juga meliputi pengurangan perilaku yang tidak diperlukan.
Karena proses penyusutan atau pengurangan inilah muncul suatu pola
bertingkah laku baru yang relatife menetap dan otomatis.
b. Keterampilan
Keterampilan ialah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat
saraf dan otot-otot yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah
seperti menulis, mengetik, olahraga, dan sebagainya. Meskipun sifatnya
motorik, namun keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang
teliti dan kesadaran yang tinggi. Dengan demikian, apabila seorang
siswa yang melakukan gerakan motorik dengan koordinasi dan
kesadaran yang rendah dapat dianggap kurang atau tidak terampil,
begitu juga sebalinya denag sebaliknya.
c. Pengamatan
Pengamatan artinya proses menerima, menafsirkan, dan memberi
arti rangsangan yang masuk melalui indra-indra seperti mata dan
telinga. Berkat pengalaman belajar seorang siswa akan mampu
mencapai pengamatan yang benar objektif sebelum mencapai
pengertian. Pengamatan yang salah akan mengakibatkan timbulnya
pengertian yang salah pula.
d. Berpikir asosiatif dan daya ingat
Secara sederhana, berpikir asosiatif adalah berpikir dengan cara
mengasosiasikan sesuai dengan yang lainnya. Berpikir asosiatif itu
merupakan proses pembentukan hubungan antara rangsangan dengan
respons. Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa kemampuan siswa untuk
melakukan hubungan asosiatif yang benar amat diperlukan oleh tingkat
pengertian atau pengetahuan yang diperoleh dari hasil belajar.
e. Berpikir rasional dan kritis
Berpikir rasional dan kritis adalah perwujudan perilaku terutama
yang bertalian dengan pemecahan masalah. Pada umumnya siswa yang
berpikir rasional akan menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar
pengertian dalam menjawab pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa”.
Dalam berpikir rasional, siswa dituntut menggunakan logika untuk
menentukan adanya sebab akibat, menganalisis, menarik kesimpulan-
kesimpulan, dan bahkan juga menciptakan hukum-hukum dan ramalan-
ramalan.
f. Sikap
Dalam arti yang sempit sikap adalah pandangan atau
kecenderungan mental. Menurut Bruno (1987), sikap adalah
kecenderungan yang relatife menetapkan untuk bereaksi dengan cara
baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu. Dengan demikain,
pada prinsipnya sikap itu dapat kita anggap suatu kecenderungan siswa
untuk bertindak dengan cara tertentu. Dalam hal ini perwujudan
perilaku belajar siswa akan ditandai dengan munculnya yang baru.
g. Inhibisi
Inhibisi adalah upaya pengurangan atau pencegahan timbulnya
suatu respons tertentu karena adanya proses respons lain yang sedang
berlangsung (Reber, 1988). Dalam hal belajar, yang dimaksud dengan
inhibisi ialah kesanggupan siswa untuk mengurangi atau menghentikan
tindakan yang tidak perlu, lalu memilih atau melakukan tindakan
lainnya yang lebih baik ketika ia berinteraksi dengan lingkungannya.
h. Apresiasi
Apresiasi berarti suatu pertimbangan mengenai arti penting atau
nilai sesuatu (Chaplin, 1982). Dalam penerapannya, apresiasi sering
diartikan sebagai penghargaan atau penilaian terhadap benda-benda
(baik abstrak maupun konkret) yang memiliki nilai luhur. Apresiasi
adalah gejala ranah afektif yang pada umumnya ditunjukkan pada
karya-karya seni budaya seperti: seni sastra, seni musik, seni lukis,
drama, dan sebagainya.
i. Tingkah laku afektif
Tingkah laku afektif adalah tingkah laku yang menyangkut
keanekaragaman perasaan seperti: takut, marah, sedih, gembira,
kecewa, senang, benci, was-was, dan sebagainya. Tingkah laku seperti
ini tidak terlepas dari pengaruh pengalaman belajar. Karenanya, ia juga
dapat dianggap sebagai perwujudan perilaku belajar.

2. Beberapa aktivitas belajar


Setiap situasi dimana pun dan kapan saja memberi kesempatan belajar
kepada seseorang. Situasi ini ikut menentukan sikap belajar kepada
seseorang. Berikut ini dikemukakan aktivitas belajar sebagai berikut:
a. Mendengarkan.
b. Memandang.
c. Meraba, mambau, dan mencicipi atau mencekap.
d. Menulis atau mencatat.
e. Membaca.
f. Membuat ikhtisar atau ringkasan, dan menggaris bawahi.
g. Mengamati tabel-tabel, diagram-diagram, dan bagan-bagan.
h. Menyususn paper atau kertas kerja.
i. Mengingat.
j. Berpikir.
k. Latihan atau praktik.

3. Tipe-tipe belajar
Dalam proses belajar dikenal adanya bermacam-macam kegiatan yang
memiliki corak yang berbeda antara satu dengan lainnya, baik dalam aspek
materi dan metodenya maupun dalam aspek tujuan dan perubahan tingkah
laku yang diharapkan. Keanekaragaman jenis belajar ini muncul dalam
dunia pendidikan sejalan dengan kebutuhan kehidupan manusia yang juga
bermacam-macam.
a. Belajar abstrak
Belajar abstrak adalah belajar yang menggunakan cara-cara
berpikir abstrak. Tujuannya adalah untuk memperoleh pemahaman dan
pemecahan masalah-masalah yang tidak nyata. Dalam mempelajari hal-
hal yang abstrak diperlukan peranan akal yang kuat di samping
penguasaan atas prinsip, konsep, dan generalisasi. Termasuk dalam
jenis ini misalnya belajar matematika, kimia, kosmografi, astronomi,
dan juga sebagian materi bidang studi agama seperti taujid.
b. Belajar keterampilan
Belajar keterampilan adalah belajar dengan menggunakan gerakan-
gerakan motorik yakni yang berhubungan dengan urat-urat saraf dan
otot-otot. Tujuannya adalah memperoleh dan menguasai keterampilan
jasmaniah tertentu. Dalam belajar jenis ini latihan-latihan intensif dan
teratur amat diperlukan. Termasuk belajar dalam jenis ini misalnya
belajar olahraga, musik, menari, melukis, memperbaiki benda-benda
elektronik, dan juga sebagian materi pelajaran agama seperti ibadah
salat, dan haji.
c. Belajar sosial
Belajar sosial pada dasarnya adalah belajar memahami masalah-
masalah dan teknik-teknik untuk memecahkan masalah tersebut.
Tujuannya adalah untuk menguasai pemahaman dan kecakapan dalam
memecahkan masalah-masalah sosial seperti: masalah keluarga,
masalah persahabatan, masalah kelompok, dan masalah-masalah lain
yang bersifat kemasyarakatan.
Selain itu, belajar sosial juga bertujuan untuk mengatur dorongan
nafsu pribadi demi kepentingan bersama dan memberi peluang kepada
orang lain atau kelompok lain untuk memenuhi kebutuhannya secara
berimbang dana proporsional. Bidang-bidang studi yang termasuk
bahan pelajaran sosial antara lain pelajaran agama dan PPKN.
d. Belajar pemecahan masalah
Belajar pemecahan masalah pada dasarnya adalah belajar
menggunakan metode-metode ilmiah atau berpikir secara sistematis,
logis, teratur, dan teliti. Tujuannya ialah untuk memperoleh
kemampuan dan kecakapan kognitif untuk memecahkan masalah secara
rasional, lugas, dan tuntas. Untuk itu, kemampuan siswa dalam
menguasai konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan generalisasi serta
insight (tilikan akal) amat diperlukan.
Dalam hal ini, hampir semua bidang studi dapat dijadikan sarana
belajar pemecahan masalah. Untuk keperluan ini, guru sangat
dianjurkan menggunakan model dan strategi mengajar yang berorientasi
pada cara pemecahan masalah (Lawson,1991).
e. Belajar rasional
Belajar rasional ialah belajar dengan menggunakan kemampuan
berpikir secara logis dan rasional (sesuai dengan akal sehat). Tujuannya
ialah untuk memperoleh anekaragam kecakapan menggunakan prinsip-
prinsip dan konsep-konsep. Jenis belajar ini sangat erat kaitannya
dengan belajar pemecahan masalah. Dengan belajar rasional, siswa
diharapkan memiliki kemampuan rational problem solving, yaitu
kemampuan memecahkan masalah dengan menggunakan pertimbangan
strategi akal sehat, logis, dan sistematis (Reber, 1998).
Bidang-bidang studi yang dapat digunakan sebagai sarana belajar
rasional sama dengan bidang-bidang studi untuk belajar pemecahan
masalah. Perbedaannya, belajar rasional tidak memberi tekanan khusus
pada penggunaan bidang studi eksakta. Artinya, bidang-bidang studi
non eksakta pun dapat memberi efek yang sama dengan bidang studi
eksakta dalam belajar rasional.
f. Belajar kebiasaan
Belajar kebiasaan ialah proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan
baru atau perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Belajar
kebiasaan, selain menggunakan perintah suri teladan dan pengalaman
khusus, juga menggunakan hukum dan ganjaran. Tujuannya agar siswa
memperoleh sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan perbuatan baru yang
lebih tepat dan positif dalam arti selaras dengan kebutuhan ruang waktu
(kontekstual).
Selain itu, arti tepat dan positif di atas ialah selaras dengan norma
dan tata nilai moral yang berlaku, baik yang bersifat religious maupun
tradisional dan kultural. Belajar kebiasaan akan lebih tepat dilaksanakan
dalam konteks pendidikan keluarga sebagaimana yang dimaksud oleh
undang-undang sistem pendidikan nasional/1989 Bab IV pasal 10 (4).
Namun demikian, tentu tidak tertutup kemungkinan penggunaan
pelajaran agama dan PPKN sebagai sarana belajar kebiasaan bagi para
siswa.
g. Belajar apresiasi
Belajar apresiasi adalah belajar mempertimbangkan (judgment) arti
penting atau nilai suatu objek. Tujuannya adalah agar siswa
memperoleh dan mengembangkan kecakapan ranah rasa yang dalam hal
ini kemampuan menghargai secara tepat terhadap nilai objek tertentu
misalnya apresiasi sastra, apresiasi musik, dan sebagainya.
h. Belajar pengetahuan
Belajar pengetahuan ialah belajar dengan cara melakukan
penyelidikan mendalam terhadap objek pengetahuan tertentu. Studi ini
juga diartikan sebagai sebuah program belajar terencana untuk
menguasai materi pelajaran dengan melibatkan kegiatan investigasi atau
penelitian dan eksperimen atau percobaan (Reber, 1988). Tujuan belajar
pengetahuan ialah agar siswa memperoleh atau menambah informasi
dan pemahaman terhadap pengetahuan tertentu yang biasanya lebih
rumit dan memerlukan kiat khusus dalam mempelajarinya, misalnya
dengan menggunakan alat-alat laboratorium dan penelitian lapangan.

B. Kesulitan Belajar
1. Pengertian kesulitan belajar
Aktivitas belajar bagi setiap individu, tidak selamanya dapat
berlangsung secara wajar. Kadang-kadang lancar, kadang-kadang tidak,
kadang-kadang dapat cepat menangkap yang dipelajari. Setiap individu
memang tidak ada yang sama. Perbedaan individu ini pulalah yang
menyebabkan perbedaan tingkah laku belajar dikalangan anak didik.
Dalam keadaan dimana anak didik tidak dapat belajar sebagaimana
mestinya, itulah yang disebut dengan “kesulitan belajar”.
Macam-macam kesulitan belajar ini dapat dikelompokkan menjadi
empat macam:
a. Dilihat dari jenis kesulitan belajar
1.) Ada yang berat.
2.) Ada yang sedang.
b. Dilihat dari bidang studi yang dipelajari
1.) Ada yang sebagian bidang studi.
2.) Ada yang keseluruhan bidang studi.
c. Dilihat dari sifat kesulitannya
1.) Ada yang sifatnya permanen atau menetap.
2.) Ada yang sifatnya hanya sementara.
d. Dilihat dari segi faktor penyebabnya
1.) Ada yang karena faktor inteligensi.
2.) Ada yang karena faktor noninteligensi.
2. Faktor-faktor penyebab kesulitan belajar
a. Faktor internal
1) Sebab bersifat fisik
a.) Karena sakit
Seorang anak yang sakit akan mengalami kelemahan fisiknya,
sehingga saraf sensoris dan motorisnya lemah. Akibatnya
rangsangan yang diterima melalui indranya tidak dapat diteruskan
ke otak.
b.) Karena kurang sehat
Anak yang kurang sehat dapat mengalami kesulitan belajar,
sebab ia mudah capek, mengantuk, pusing, daya konsentrasinya
hilang, kurang semangat, pikiran terganggu. Karena hal-hal ini
maka penerimaan dan respon pelajaran berkurang, saraf otak tidak
mampu bekerja secara optimal untuk memproses, mengelola,
menginterpretasi dan mengirganisasi bahan pelajaran melalui
indranya.
c.) Sebab karena cacat tubuh
Cacat tubuh dibedakan atas, cacat tubuh yang ringan seperti
kurang pendengaran, kurang penglihatan, gangguan psikomotor.
Cacat tubuh yang tetap seperti buta, tuli, bisu, hilang tangannya,
dan kakinya. Bagi golongan yang serius, maka harus masuk
pendidikan khusus seperti SLB, Bisu, tuli,dan lain-lainnya.
2) sebab-sebab kesulitan belajar karena rohani
Belajar memerlukan kesiapan rohani, ketenangan yang baik. Jika
hal-hal di atas tidak ada pada diri anak belajar sulit dapat masuk.
a.) Intelegensi
Anak yang IQ-nya tinggi dapat menyelesaikan segala
persoalan yang dihadapi. Anak yang normal (90-110), dapat
menamatkan SD tepat pada waktunya. Mereka yang memiliki IQ
110-140 dapat digolongkan cerdas, 140 ke atas tergolong genius.
Golongan ini mempunyai potensi untuk dapat menyelesaikan
pendidikan di perguruan tinggi. Jadi, semakin tinggi IQ seseorang
maka akan semakin cerdas pula.
b.) Bakat
Bakat adalah potensi atau kecakapan dasar yang dibawa sejak
lahir. Setiap individu mempunyai bakat yang berbeda-beda.
Seseorang yang berbakat dibidang musik bisa saja dibidang lain
ketinggalan. Seorang yang berbakat dibidang teknik tetapi di
bidang olahraga lemah. Jadi seseorang akan mudah mempelajari
yang sesuai dengan bakatnya. Apabila seseorang anak harus
mempelajari bidang yang lain dari bakatnya maka ia akan cepat
bosan, mudah putus asa, dan tidak senang.
c.) Minat
Tidak adanya minat seseorang anak terhadap suatu pelajaran
akan timbul kesulitan belajar. Belajar yang tidak ada minatnya
mungkin tidak sesuai dengan bakatnya, tidak sesuai dengan
kebutuhan, tidak sesuai dengan kecakapan, tidak sesuai dengan
tipe-tipe khusus lalu anak banyak menimbulkan problem pada
dirinya. Karena itu, pelajaran pun tidak pernah terjadi proses
dalam otak, akibatnya timbul kesulitan.
d.) Motivasi
Motivasi sebagai faktor inner (batin) berfungsi menimbulkan,
mendasari, mengarahkan perbuatan belajar. Motivasi dapat
menentukan baik tidaknya dalam mencapai tujuan sehingga
semakin besar motivasinya akan semakin besar juga kesuksesan
belajarnya. Seorang yang besar motivasinya akan giat berusaha,
tampak gigih tidak mau menyerah, giat membaca buku-buku
untuk meningkatkan prestasinya untuk memecahkan masalahnya,
begitu juga dengan sebaliknya.
e.) Faktor kesehatan mental
Dalam belajar tidak hanya menyangkut segi intelek, tetapi juga
menyangkut segi kesehatan mental dan emosional. Hubungan
kesehatan mental dan ketenangan emosi akan menimbulkan hasil
belajar yang baik, demikian juga belajar yang selalu sukses akan
membawa harga diri seseorang.
f.) Tipe-tipe khusus seorang pelajar
Seseorang yang bertipe visual, akan cepat mempelajari bahan-
bahan yang disajikan secara tertulis, bagan, grafik, dan gambar.
Pokoknya mudah mempelajari bahan pelajaran yang dapat dilihat
dengan alat penglihatannya. Sebaliknya merasa sulit belajar
apabila dihadapkan bahan-bahan dalam bentuk suara, atau
gerakan.
Anak yang bertipe auditif, mudah mempelajari bahan yang
disajikan dalam bentuk suara, begitu guru menerangkan ia cepat
menangkap bahan pelajaran, disamping itu kata dari teman atau
suara radio ia mudah menangkapnya. Individu yang bertipe
motorik, mudah mempelajari bahan yang berupa tulisan-tulisan,
gerakan-gerakan dan sulit mempelajari bahan yang serupa suara
dan penglihatan.
b. Faktor eksternal
1.)Faktor keluarga
a.) Cara mendidik anak
Orang tua yang tidak atau kurang memperhatikan pendidikan
anak-anaknya, mungkin acuh tidak acuh, tidak memperhatikan
kemajuan belajar anak-anaknya akan menjadi penyebab kesulitan
belajarnya.
b.) Hubungan orang tua dan anak
Sifat hubungan orang tua dan anak sering dilupakan. Faktor ini
penting sekali dalam menentukan kemajuan belajar anak. Yang
dimaksud hubungan adalah kasih sayang penuh pengertian atau
kebencian, sikap keras, acuh tak acuh, memanjakan dan lain-lain.
Kasih sayang dari orangtua, perhatian atau penghargaan kepada
anak-anak menimbulkan mental yang sehat bagi anak. Kurangnya
kasih sayang akan menimbulkan emosional insecuriti. Demikian
juga sikap keras, kejam, acuh tidak acuh akan menyebabkan hal
yang serupa.
c.) Suasana rumah atau keluarga
Suasana keluarga yang sangat ramai atau gaduh, tidak
mungkin anak dapat belajar dengan baik. Anak akan selalu
terganggu konsentrasinya, sehingga sukar untuk belajar.
Demikian juga suasana rumah yang selalu tegang, selalu banyak
cekcok di antara anggota keluarga selalu ditimpa kesedihan,
antara ayah dan ibu selalau cekcok atau selalu membisu akan
mewarnai suasana keluarga yang melahirkan anak-anak tidak
sehat mentalnya.
d.) Keadaan ekonomi keluarga
Faktor biaya merupakan faktor yang sangat penting karena
belajar dan kelangsungannya sangat memerlukan biaya, misalnya
dalam memenuhi alat-alat tulisnya. Keadaan yang sebaliknya,
dimana ekonomi keluarga berlimpah ruah. Mereka akan menjadi
segan belajar karena ia terlalu banyak bersenang-senang. Keadaan
seperti ini akan dapat menghambat kemajuan belajar.
2.)Faktor sekolah
a.) Guru
Guru yang tidak berkualitas, baik dalam pengambilan metode
yang digunakan atau dalam mata pelajaran yang dipegangnya. Hal
ini bisa saja kurang persiapan sehingga kurang menguasai dan
cara menerangkan kurang jelas. Dan juga guru-guru menuntut
standar pelajaran diatas kemampuan anak. Hal ini biasa terjadi
pada guru yang masih muda yang belum berpengalaman hingga
belum dapat mengukur kemampuan murid-murid, sehingga hanya
sebagian kecil muridnya dapat berhasil dengan baik.
b.) Alat
Alat pelajaran yang kurang lengkap membuat penyajian
pelajaran yang tidak baik. Terutama pelajaran yang bersifat
pratikum, kurangnya alat laboratorium akan banyak menimbulkan
kesulitan dalam belajar.
c.) Kondisi gedung
Terutama ditunjukan pada ruang kelas atau ruangan tempat
belajar anak. Ruangan harus memenuhi syarat kesehatan seperti:
ruangan harus berjendela, ventilasi cukup, udara segar dapat
masuk ruangan, sinar dapat menerangi ruangan, dinding harus
bersih, lantai tidak becek.
d.) Kurikulum.
Kurikulum yang kurang baik, misalnya: bahan-bahannya
terlalu tinggi, pembagian bahan tidak seimbang, adanya
pendataan materi.
e.) Waktu sekolah dan disiplin kurang.
Apabila sekolah masuk sore, siang, dan malam maka kondisi
anak tidak lagi dalam keadaan yang optimal untuk menerima
pelajaran, sebab energi sudah berkurang.
3.)Faktor mass media dan lingkungan sosial
a.) Faktor mass media meliputi: bisokop, TV, surat kabar, majalah,
buku-buku komik yang ada disekeliling kita. Hal itu akan
menghambat belajar apabila anak terlalu banyak waktu yang
dipergunakan untuk itu, hingga lupa akan tugas belajarnya.
b.) Lingkungan sosial meliputi: teman bergaul yang mana
pengaruhnya sangat besar dan lebih cepat masuk dalam jiwa anak,
lingkungan tetangga, dan aktivitas dalam masyarakat yang maan
jika terlalu banyak berorganisasi akan menyebabkan belajar anak
menjadi terbengkalai.
3. Cara mengenal murid yang mengalami kesulitan belajar
Beberapa gejala sebagai pertanda adanya kesulitan belajar misalnya:
a. Menunjukkan prestasi yang rendah atau di bawah rata-rata yang
dicapai oleh kelompok kelas.
b. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang dilakukan. Ia
berusahaa dengan keras tetapi nilainya selalu rendah.
c. Lambat dalam melakukan tugas-tugas belajar. Ia selalu tertinggal
dengan kawan-kawannya dalam segala hal, misalnya: dalam
mengerjakan soal-soal, dalam menyelesaikan tugas-tugas.
d. Menunjukkan sikap yang kurang wajar seperti: acuh tidak acuh,
berpura-pura, dusta, dan lain-lain.
e. Menunjukkan tingkah laku yang berlainan. Misalnya: mudah
tersinggung, murung, pemarah, bingung, cemberut, kurang gembira,
selalu sedih.
Disamping melihat gejala-gejala yang tampak, guru pun bisa
mengadakan penyelidikan antara lain:
a. Observasi: cara memperoleh data dengan langsung mengamati
terhadap objek. Observasi mencatat gejala-gejala yang tampak pada
diri subjek, kemudian diseleksi untuk dipilih yang sesuai dengan
tujuan pendidikan.
b. Interview: adalah cara mendapatkan data dengan wawancara langsung
terhadap orang yang diselidiki atau terhadap orang lain yang dapat
memberikan informasi tentang orang yang diselidiki.
c. Tes diagnostik: adalah suatu cara mengumpulkan data dengan tes.
d. Dokumentasi: adalah cara mengetahui sesuatu dengan melihat catatan-
catatan, arsip-arsip, dokumen-dokumen yang berhubungan dengan
orang yang diselidiki.
4. Usaha mengatasi kesulitan belajar
Secara garis besar, langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam
rangka mengatasi kesulitan belajar dapat dilakukan melalui enam tahap
yaitu:
a. Pengumpulan data
Untuk menemukan sumber penyebab kesulitan belajar, diperlukan
banyak informasi. Untuk memperoleh informasi tersebut, maka perlu
diadakan suatu pengamatan langsung yang disebut dengan
pengumpulan data. Menurut Sam Isbani dan R. Isbani, menyatakan
dalam pengumpulan data dapat dipergunakan berbagai metode,
diantaranya sebagai berikut:
1.) Observasi.
2.) Kunjungan rumah.
3.) Case Study.
4.) Case History.
5.) Daftar pribadi.
6.) Meneliti pekerjaan anak.
7.) Tugas kelompok.
8.) Melaksanakan tes.
b. Pengolahan data
Data yang telah terkumpul dari kegiatan tahap pertama tersebut,
tidak ada artinya jika tidak diadakan pengolahan secara cermat. Semua
data harus diolah dan dikaji untuk mengetahui secara pasti sebab-sebab
kesulitan belajar yang dialami oleh anak, langkah-langkah yang dapat
ditempuh antara lain:
1.) Identifikasi data.
2.) Membandingkan antar kasus.
3.) Membandingkan dengan hasil tes.
4.) Menarik kesimpulan.
c. Diagnosis
Diagnosis adalah keputusan penentuan mengenai hasil dan
pengolahan data. Diagnosis ini dapat berupa hal-hal sebagai berikut:
1.) Keputusan mengenai jenis kesulitan belajar anak.
2.) Keputusan mengenai faktor-faktor yang ikut menjadi sumber
penyebab kesulitan anak.
3.) Keputusan mengenai faktor utama penyebab kesulitan belajar dan
sebagainya.
d. Prognosis
Prognosis artinya “ramalan”. Apa yang telah ditetapkan dalam
tahap diagnosis, akan menjadi dasar utama dalam menyusun dan
menetapkan ramalan mengenai bantuan apa yang harus diberikan
kepadanya untuk membantu mengatasi masalahnya. Prognosis adalah
merupakan aktivitas penyusun rencana dan program yang diharapkan
dapat membantu mengatasi masalah kesulitan belajar anak didik.
e. Treatment (perlakuan)
Perlakuan disini maksudnya adalah pemberian bantuan kepada
anak yang bersangkutan (yang mengalami kesulitan belajar) sesuai
dengan program yang telah disusun pada tahap prognosis tersebut.
Bentuk treatment yang mungkin dapat diberikan yaitu:
1.) Melaui bimbingan belajar kelompok.
2.) Melalui bimbingan belajar individu.
3.) Melalui pengajaran remedial dalam beberapa bidang studi tertentu.
4.) Pemberian bimbingan pribadi untuk mengatasi masalah-masalah
psikologi.
5.) Melalui bimbingan orang tua, dan pengatasan kasus sampingan
yang mungkin ada.
f. Evaluasi
Evaluasi disini masksudnya untuk mengetahui, apakah treatment
yang telah diberikan di atas berhasil dengan baik, artinya ada kemajuan
atau bahkan kegagalan yang didapatkan. Kalau ternyata treatment yang
diterapkan tersebut tidak berhasil maka perlu ada pengecekan kembali
kebelakang faktor-faktor apa yang mungkin menjadi penyebab
kegagalan treatment tersebut. Mungkin program yang disusun tidak
tepat, sehingga treatment-nya juga tidak tepat atau mungkin
diagnosisnya yang keliru, dan sebagainya. Alat yang digunakan untuk
evaluasi ini dapat berupa Tes Prestasi Belajar (Achievement Test).
C. Anak Bermasalah
1. Urgensi pembahasan anak bermasalah
Di antara siswa adanya sejumlah siswa yang dapat dikategorikan
sebagai siswa yang bermasalah. Mereka harus dipahami mengenai latar
belakang masalahnya, bentuk-bentuk masalahnya sekaligus teknik-teknik
penanganannya. Dapat dijelaskan bahwa urgensi pembahasan anak
bermasalah dalam kajian psikologi pendidikan tidak dapat diabaikan.
Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa urgensinya meliputi adanya
pemahaman secara lebih menyeluruh dan mendalam tentang perbedaan-
perbedaan individual, pengenalan diri apabila ada kecenderungan
penyimpangan perilaku di antara para siswa dan mengetahui teknik-teknik
menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi.
2. Definisi anak bermasalah
Seorang siswa dikategorikan sebagai anak yang bermasalah apabila ia
menunjukkan gejala-gejala penyimpangan dari perilaku yang lazim
dilakukan oleh anak-anak pada umumnya. Penyimpangan perilaku ada
yang sederhana, ada juga yang ekstrim. Penyimpangan perilaku yang
sederhana misalnya: mengantuk, suka menyendiri, kadang terlambat
datang, sedangkan ekstrim misalnya: sering membolos, memeras teman-
temannya, ataupun tidak sopan kepada orang lain juga kepada gurunya.
3. Sebab-sebab bermasalah
a. Internal
1.)Kelainan fisik
Anak-anak yang menderita kelainan fisik akan merasa tertolak
untuk hadir di tengah-tengah temannya yang normal. Contohnya si
Udin yang terlalu gemuk akan jadi bahan ejekan teman-temannya.
Hal ini membuatnya merasa tidak aman untuk hadir di tengah teman-
temannya. Kelainan-kelainan fisik amatlah banyak bentuknya,
diantaranya ialah buta, bermata satu, bisu, tuli, kaki kecil atau
bahkan lumpuh total, supaya mereka tidak tersisihkan lebih baik
mereka menggunakan pendidikan yang khusus.
2.)Kelainan psikis
Yang dimaksud dengan kelainan psikis ialah kelainan yang terjadi
pada kemampuan berpikir seorang anak. Kelainan ini baik secara
inperior (lemah) maupun superior (kuat).
b. Eksternal
1.)Keluarga
Lingkungan keluarga adalah lingkungan yang pertama kali dikenal
oleh anak. Anak mulai menerima nilai-nilai baru dari dalam keluarga
dan dari keluargalah anak mulai tumbuh sejak kecil.
2.)Pergaulan
Lingkunagn kedua yang dikenal oleh anak adalah lingkungan
masyarakat atau lingkungan pergaulan anak-anak yang telah di didik
dengan baik oleh orang tuanya, anak mendapatkan kesulitan untuk
mengembangkan diri ditengah-tengah lingkungannya yang tidak
baik. Hal ini akan menjadikan jiwanya terguncang.
3.)Pengalaman hidup
Pepatah mengatakan “pengalaman adalah guru yang terbaik”.
Pepatah ini mengajarkan bahwa, pengalaman-pengalaman masa lalu
tidak akan pernah hilang. Semuanya tersimpan rapi dalam ruang
ingatan. Apabila salah satu dan yang lain hal pengalaman itu
terulang maka reproduksi ingatan itupun secara otomatis segera
terproses.
4. Bentuk-bentuk masalah
Masalah-masalah yang dihadirkan oleh siswa sebagai akibat dari
adanya sebab-sebab sebagaimana tersebut di muka amatlah banyak.
Sebanyak faktor-faktor yang menyebabkannya. Sekali lagi perlu
ditekankan disini bahwa apa yang ada hanyalah merupakan akibat, jadi
bukan penyebabnya tidak sekedar apa yang saat itu ada.
Bentuk-bentuk masalah yang diharapkan siswa dapat dibagi menjadi
dua sifat, regresif dan agresif. Bentuk-bentuk yang bersifat regresif antara
lain: suka menyendiri, pemalu, penakut, mengantuk, tidak mau masuk
sekolah. Sedangkan yang bersifat agresif antara lain ialah berbohong,
membuat onar, memeras temannya, beringas, dan perilaku-perilaku lain
yang bisa menarik perhatian orang lain.
Perilaku yang bersifat regresif biasanya ditunjukkan oleh anak-anak
dengan kepribadin introvert sedangkan yang bersifat agresif biasanya
ditunjukkan oleh anak-anak dengan kepribadian yang extrovert. Meskipun
demikian, ini tidak bisa dijadikan patokan yang kaku. Apabila kita
sinkronkan antara bentuk-bentuk kenakalan dan faktor-faktor penyebabnya
maka kita akan dapati bahwa ada hubungan yang korelatif antara
keduanya. Pemahaman terhadap keduanya akan membuat penanganan
terhadap masalahnya menjadi semakin mudah.

D. Masalah Transfer Dan Lupa


1. Lupa
Lupa adalah hilangnya kemampuan untuk menyebut atau
memproduksi kembali apa-apa yang sebelumnya telah kita pelajari. Secara
sederhana Gulo (1982) dan Reber (1988) dalam Muhibbin Syah (2001)
mendefinisikan lupa sebagai ketidak mampuan mengenal atau mengingat
sesuatu yang pernah di pelajari atau dialami. Lupa merupakan istilah yang
sangat populer di masyarakat. Setiap waktu pasti ada orang lupa akan
sesuatu, entah hal itu tentang peristiwa atau kejadian di masa lampau atau
sesuatu yang akan dilakukan (Muhibbin Syah, 2001).
2. Faktor-faktor penyebab lupa
Penyebab lupa menurut Ngalim Purwanto (1989) dalam Syaiful
Djaramah (2002) sebagai berikut:
a. Karena apa yang dialami itu tidak pernah digunakan lagi atau tidak
pernah dilatih atau diingat lagi.
b. Karena adanya hambatan-hambatan yang terjadi karena isi jiwa yang
lain. Maksudnya tidak baik mempelajari materi yang berbeda-beda pada
saat yang sama.
c. Karena depresi atau tekanan.
Beberapa penyebab terjadinya lupa menurut Muhibbin Syah sebagai
berikut:
a. Lupa karena perubahan situasi lingkungan, seperti antar waktu belajar
di sekolah dengan waktu belajar atau mengingat kembali di luar
sekolah. Misal: jika seorang anak hanya mengenal jerapah lewat
gambar di sekolah, kemungkinan dia akan lupa mengingat nama hewan
itu ketika ke kebun binatang.
b. Lupa karena perubahan sikap dan minat, misalnya: jika seorang guru
memahami anak di depan teman-temannya, anak menjadi takut
sehingga pelajaran mudah terlupakan.
c. Lupa karena perubahan urat syaraf otak, misal: keracunan, kecanduan,
gagar otak.
3. Kiat-kiat mengurangi lupa
Menurut W. S Winke (1989) dalam Syaiful Bahri Djaramah (2002)
adalah:
a. Adanya motivasi belajar yang kuat.
b. Memancing perhatian anak didik agar mereka tertarik dengan materi
yang diajarkan sehingga materi lebih mudah diingat.
c. Berkas-berkas yang tersimpan dalam memori dalam jangka panjang
siap diperbaharui dengan menggalinya ingatan, mengolah kembali, dan
memasukannya lagi ke ingatan.
d. Guru memberikan pertanyaan yang tearah agar anak didik berhasil
menggali informasi dari ingatannya.
4. Transfer belajar
Transfer dalam bahasa yang lazim disebut transfer belajar itu
mengandung arti pemindahan keterampilan hasil belajar dari satu situasi
kesituasi lainnya (Reber, 1988). Selanjutnya, menurut Gagne seorang
education psychologist (pakar psikologi pendidikan) yang Mahsyur,
transfer dalam belajar dapat digolongkan, yaitu:
a. Transfer positif, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan
belajar.
b. Transfer negatif, yaitu transfer yang berefek buruk terhadap kegiatan
belajar.
c. Transfer vertical, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan
belajar pengetahuan atau keterampilan yang lebih tinggi.
d. Transfer lateral, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan
belajar pengetahuan atau keterampilan yang sederajat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setiap siswa memiliki kemampuan dan perbedaannya masing-masing.
Pada dasarnya semua anak memiliki kemampuan, walaupun mungkin saja
kemampuan yang dimiliki berbeda satu dengan yang lainnya. Pada tingkat
pendidikan dasar berbagai kemampuan tersebut masih memiliki relasi yang
kuat, membaca, menulis, serta berhitung. Masalah yang mungkin ada pada
salah satu kemampuan tersebut dapat menganggu kemampuan yang lain.
Dengan demikian apa yang kita sering lakukan baik sebagai seorang orang
tua, ataupun guru dengan mengatakan seorang anak yang mendapatkan nilai
rendah merupakan anak yang bodoh perlu menjadi perhatian kita. Karena
mungkin saja anak hanya mengalami gangguan pada salah satu kemampuan
mengatasi masalah tersebut.

B. Saran
Kesulitan siswa dalam belajar merupakan suatu hal yang sering ditemui
oleh para pendidik, terutama guru. Sebagai seorang guru kita harus memilih
tipe belajar untuk anak, agar anak lebih mudah mengerti dan guru pun
menjadi akrab dengan siswa. Dalam hal ini pendidik di sekolah dan orang tua
di rumah dituntut untuk mengerti jenis masalah yang dihadapi oleh siswa atau
anak. Dengan memahami jenis masalahnya, diharapkan pendidik mampu
memberikan solusi penanggulangan sesuai dengan masalah yang
bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA

M. Dalyono. 2012. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka cipta

Anda mungkin juga menyukai