Iffah Putri Andini - 018.06.0002 - Laporan CBD - Stase Paru
Iffah Putri Andini - 018.06.0002 - Laporan CBD - Stase Paru
STASE PARU
NIM : 018.06.0002
FAKULTAS KEDOKTERAN
TAHUN 2024
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusunan Laporan Case Based
Discussion dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Dalam menyelesaikan Laporan Case Based Discusion ini, penulis
mendapatkan banyak bimbingan, petunjuk, dan dukungan dari berbagai pihak.
Maka dari itu izinkan penulis untuk mengucapkan terimakasih kepada . Penyusunan
laporan ini tidak dapat berjalan lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka dari
itu dalam kesempatan ini, izinkan penulis untuk mengucapkan terimakasih kepada:
1. dr. Kana Wulung A.I.P., Sp.P., FAPSR. Sebagai pembimbing yang
senantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam penyusunan
laporan Case Based Discussion.
2. Sumber literatur dan jurnal-jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi
dalam penyusunan laporan Case Based Discussion.
3. Keluarga yang senantiasa memberikan dorongan dan motivasi.
4. Serta berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang
ikut serta membantu dalam penyelesaian penyusunan laporan ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB IV PENUTUP....................................................................................................... 22
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
Umur : 26 tahun
Suku/Bangsa : WNI
Agama : Islam
2.1 Anamnesa
a. Keluhan Utama: Nyeri di seluruh badan
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang diantar oleh keluarganya ke Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Kota Mataram dengan keluhan sakit di seluruh badan terutama dibagian
dada, nyeri ulu hati, dan kulit terasa seperti disayat-sayat. Keluhan ini disertai
dengan sesak nafas, muka bengkak dan ruam-ruam kemerahan hampir di seluruh
anggota badan. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada kaki dan lemas. Selama 1
tahun ini pasien mengeluhkan keringat berlebihan pada malam hari, nyeri dada,
penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan dari yang awalnya 65 kg
menjadi 49 kg, disertai benjolan pada area leher dan ketiak yang hilang timbul,
sesak nafas dan demam yang hilang timbul, dan kadang disertai batuk. Kemudian
karena benjolan pada area leher dan ketiak semakin membesar disertai nyeri,
2
akhirnya pasien di operasi pada bulan Desember 2023. Berdasarkan keterangan
pasien, untuk diagnosis Limfadenitis TB, baru diketahui sekitar 3 minggu yang
lalu, dan setelah 2 minggu pasien mengkonsumsi OAT, pasien mulai
mengeluhkan munculnya ruam-ruam kemerahan, muka bengkak, mual muntah,
serta rasa nyeri diseluruh badannya. Sebelumnya pasien memiliki riwayat
penyakit limfadenitis TB. Untuk BAB dan BAK masih dalam batas normal.
e. Riwayat pengobatan
• OAT Kategori 1
3
2.2 Pemeriksaan Fisik
a. Tanda Vital
• Keadaan Umum : Sakit Sedang
• GCS : E4V5M6
• Nadi : 79 x/mnt
• Suhu : 36,2C
b. Status Generalis
• Kepala : Normochepali, rambut rontok (-)
• Mata : Pupil (+/+) bulat isokor 2/2 mm, konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), refleks cahaya pada kedua pupil mata (+/+).
4
• Abdomen : Ruam kemerahan (+), BU (+), nyeri tekan (-), timpani (+).
• Ekstremitas : Akral (hangat), luka (-), CRT < 2 Detik, edema (-).
(20/01/2024)
NILAI
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN
RUJUKAN3
Kimia Darah
SGOT H 230.8 U/L 13-35
SGPT H 153.1 U/L 7-35
Elektrolit
Natrium (Na) 137.7 mmol/l 136-145
Kalium (K) L 3.11 mmolL 3.5-5.1
Klorida (Cl) L 97.7 mmol/L 98-107
(23/01/2024)
NILAI
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN
RUJUKAN3
Kimia Darah
SGOT H 129.9 U/L 13-35
SGPT H 64.8 U/L 7-35
Bilirubin Total 0.34 mg/dL 0.3-1.2
1
25/01/2024)
NILAI
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN
RUJUKAN3
Kimia Darah
SGOT 31.7 U/L 13-35
SGPT H 80.0 U/L 7-35
Bilirubin Total L 0.26 mg/dL 0.3-1.2
Bilirubin Direk 0.10 mg/dL <1.2
Bilirubin Indirek 0.16 mg/dL 0-0.75
Interpretasi:
Cor: Besar dan bentuk normal
Pulmo: Tak tampak infiltrate/nodul. Corakan broncovascular normal.
Costo phrenic angle kanan kiri tajam
Diafragma kanan kiri normal
Tulang dan soft tissue tak tampak kelainan
Kesan :
Saat ini cor dan pulmo tidak tampak kelainan
2
2.5 Diagnosis Kerja
1) Limfadenitis TB
2) DIH Derajat 2
2.6 Tatalaksana
a) Mulai Oat Reg DIH INH 1x300mg
b) Rifampicin 1x450
c) MG Etambutol 1x1000mg
d) Pro Hepar 1x1
e) Nacl 0.9% 500cc/8jam
f) Snmc 2 amp/hari selama 2 hari
g) Lanso 2x30mg iv + estazor 2x1
3
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Limfadenitis TB
A. Definisi
Limfadenitis tuberkulosis adalah peradangan dan pembesaran pada
kelenjar getah bening atau kelenjar limfe. Limfadenitis adalah bentuk tersering
tuberkulosis di luar paru, biasanya terjadi pada regio leher (“scrofula”).
B. Epidemiologi
Tuberkulosis terbagi atas dua, yaitu tuberkulosis paru dan tuberkulosis
ekstraparu, dimana sekitar 35% kasus TB ekstraparu adalah limfadenitis
tuberkulosis. Tuberkulosis ekstraparu bisa terjadi di kelenjar getah bening,
abdomen, kulit, pleura, tulang, sendi, saluran kencing, dan lainnya. Limfadenitis
TB kebanyakan terjadi pada usia 20 tahun keatas, dan lebih sering dijumpai pada
wanita dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 2:1, terjadi pada pasien dengan
sesio ekonomi rendah. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI, tahun 2017
jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994. Limfadenitis TB lebih
banyak terjadi pada usia dewasa muda yakni dengan rentang usia 17-25 tahun.
C. Etiologi
Terdapat 5 bakteri yang berkaitan erat dengan infeksi TB: Mycobacterium
tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, Mycobacterium
microti and Mycobacterium cannettii. Mycobacterium tuberculosis, hingga saat ini
merupakan bakteri yang paling sering ditemukan, dan menular antar manusia
melalui rute udara. Limfadenitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis.
D. Manifestasi Klinis
Gambaran utama limfadenitis TB berupa masa palpable yang dijumpai
sekitar 75% dari pasien tanpa gejala yang khas. Gambaran klinis berupa demam,
penurunan berat badan dan keringat malam dapat bervariasi yaitu pada 10% hingga
100% pasien. Lama timbulnya gejala sebelum terdiagnosis berkisar antara minggu
4
hingga bulan. Manifestasi klinis yang paling banyak timbul pada limfadenitis TB
yaitu pembesaran kelenjar getah bening yang lambat. Limfadenitis TB yang paling
sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis, kemudian diikuti berdasarkan
frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris, mesentrikus, portal hepatikus,
perihepatik dan kelenjar inguinalis.
Bedasarkan penelitian Geldmacher didapatkan kelenjar limfe yang terlibat
yaitu 63,3 % padakelenjar limfe servikalis, 26,7% kelenjar mediastinal, dan 8,3%
pada kelenjar aksila dandidapatkan pula pada 35% pasien mengalami
pembengkakan lebih dari satu tempat. Pembengkakan terjadi dapat secara unilateral
maupun bilateral, tunggal maupun multipel. Biasanya benjolan tidak nyeri dan
membesar dalam hitungan minggu sampai bulan dan paling sering terjadi pada
region servikalis posterior dan lebih jarang pada regio supraklavikular.
Pembengkakan yang terjadi biasanya tidak menimbulkan nyeri kecuali jika
telah terjadi infeksi sekunder bakteri, pembesaran kelenjar getah bening yang
progresif atau konsidensi dengan infeksi HIV.
E. Klasifikasi
Terduga (presumptive) pasien TB adalah seseorang yang mempunyai
keluhan atau gejala klinis mendukung TB (sebelumnya dikenal sebagai terduga
TB).
Pasien TB yang terkonfirmasi bakteriologis adalah pasien TB yang
terbukti positif bakteriologi pada hasil pemeriksaan (contoh uji bakteriologi adalah
sputum, cairan tubuh dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis langsung,
TCM TB, atau biakan. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
1. Pasien TB paru BTA positif
2. Pasien TB paru hasil biakan M.TB positif
3. Pasien TB paru hasil tes cepat M.TB positif
4. Pasien TB ekstra paru terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA,
biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
5. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
5
Pasien TB terdiagnosis secara klinis adalah pasien yang tidak memenuhi
kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif
oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB. Termasuk dalam
kelompok pasien ini adalah:
1. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks mendukung
TB.
2. Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan klinis setelah diberikan
antibiotika non OAT, dan mempunyai faktor risiko TB
3. Pasien TB ekstra paru yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan
histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
4. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring
6
d) Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir pengobatan.
e) Kasus setelah loss to follow up adalah pasien yang pernah menelan OAT
1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari 2 bulan
berturut-turut dan dinyatakan loss to follow up sebagai hasil pengobatan.
f) Kasus lain-lain adalah pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan
hasil akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak didokumentasikan.
g) Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui adalah pasien yang tidak
diketahui riwayat pengobatan sebelumnya sehingga tidak dapat dimasukkan
dalam salah satu kategori di atas.
F. Patofisiologi
TB ekstraparu merupakan penyakit TB yang terjadi di luar paru, organ
yang sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura,
saluran kemih, tulang, meningens, peritoneum dan perikardium. Limfadenitis TB
adalah manifestasi lokal dari penyakit sistemik. Hal ini bisa terjadi pada infeksi TB
primer atau sebagai akibat dari reaktivasi dari fokus aktif dan bisa langsung
menyebar dari fokus yang berdekatan. Infeksi primer terjadi pada paparan awal dari
tuberkel basil. Dihirup dari droplet nuklei yang berukuran cukup kecil untuk
melewati pertahanan muco-silia pada bronkus dan berlanjut ke alveoli. Sampai di
paru, droplet ini akan di fagosit oleh makrofag dan akan mengalam i dua
kemungkinan.
Pertama, basil TB akan mati akibat difagosit oleh makrofag. Kedua, basil
TB akan bertahan hidup dengan cara bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil
TB akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen bahkan
hematogen. Basil berkembang biak di paru-paru yang disebut fokus Ghon. sistem
limfatik mengalirkan basil ke kelenjar getah bening hilus. Fokus Ghon dapat
membentuk kompleks primer. Infeksi dapat menyebar dari fokus primer ke getah
bening regional. Dari nodus regional, basil dapat terus menyebar melalui sistem
limfatik ke kelenjar lain dan bisa mencapai aliran darah kemudian dapat menyebar
ke hampir semua organ tubuh. Hilus, mediastinum dan lymphnodes paratrakeal
adalah tempat pertama dari penyebaran infeksi dari parenkim paru. Limfadenitis
TB merupakan penyebaran dari infeksi fokus primer dari tonsil, adenoid sinonasal
atau osteomyelitisdari tulang etmoid.
7
TB primer dapat terjadi pada seseorang yang terpapar basil tuberkulosis
untuk pertama kalinya. Penyebaran basil TB secara limfogen pertama kali menuju
kelenjar limfe regional, dimana penyebaran basil TB tersebut mengakibatkan reaksi
inflamasi di sepanjang saluran limfe dan dan kelenjar limfe regional. Basil TB juga
dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu sebelum menginfeksi paru.
Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB akan difagosit oleh
makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke kelenjar limfe di leher.
Limfadenitis TB merupakan penyakit radang kelenjar getah bening yang
disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Limfadenitis TB
terjadi karena bakteri TB yang menyebar dari bagian paru ke kelenjar getah bening
melalui sistem limfatik.
Infeksi primer terjadi setelah seseorang menghirup mikobakterium
tuberculosis, setelah melalui barier mukosilier saluran napas, basil TB akan
mencapai alveoli. Paru merupakan pintu utama masuknya kuman tuberkulosis ke
dalam tubuh. Kuman yang bersarang di paru bisa menimbulkan infeksi lokal atau
sarang primer. Sarang primer ini bisa tmbul di bagian mana saja dalam paru. Kuman
menyebar melalui aliran limfe menuju ke kelenjar getah bening hilus, terjadi proses
limfangitis lokal. Peradangan ini diikuti pembesaran kelenjar getah bening di hilus
(limfadenitis regional).
Jika infeksi tidak dapat diatasi oleh sistem imun lokal, kuman dapat
menyebar perkontinuatum, bronkogen, limfogen dan hematogen. Kuman dalam
makrofag yang lemah menyebar menuju jaringan dan organ tubuh lainnya. Kuman
yang mencapai aliran darah dapat menyebar ke paru bagian atas atau organ lainnya
seperti ginjal, otak dan tulang. Beberapa organ ini merupakan tempat ideal bagi
kuman karena tekanan oksigen yang ideal dan rendahnya perfusi aliran darah.
G. Faktor Risiko
Penyebab terjadinya limfadenitis TB dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor risiko yaitu Orang dengan HIV positif dan penyakit imunokompromais lain,
Orang yang mengonsumsi obat imunosupresan dalam jangka waktu panjang.
perokok, konsumsi alkohol tinggi, jenis kelamin, kondisi lingkungan tempat
tinggal, status gizi, ekonomi keluarga, dan yang paling signifikan adalah kontak
dengan penderita TB, serta berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi
8
tuberkulosis (contoh: lembaga permasyarakatan, fasilitas perawatan jangka
panjang). Limfadenitis TB lebih banyak terjadi pada usia dewasa muda yakni
dengan rentang usia 17-25 tahun. Hal tersebut dikarenakan usia dewasa muda
merupakan usia produktif, dimana risiko tertular penyakit TB akan lebih tinggi
karena pada usia tersebut memiliki kecenderungan berinteraksi dengan orang
banyak yang lebih tinggi dibandingkan dengan usia anak-anak.
H. Diagnosis
Keterangan alur:
1. Prinsip penegakan diagnosis TB:
a) Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu
dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang
dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis, tes cepat molekuler TB dan
9
biakan.
b) Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB, sedangkan
pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopis.
c) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik
pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi over diagnosis ataupun
under diagnosis.
d) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.
10
f) Jika hasil TCM indeterminate, lakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika hasil
tetap sama, berikan pengobatan TB lini 1, lakukan biakan dan uji kepekaan.
3. Fasyankes yang tidak mempunyai alat tes cepat molekuler (TCM) TB:
a) Fasyankes yang tidak mempunyai alat TCM dan kesulitan mengakses TCM,
penegakan diagnosis TB tetap menggunakan mikroskop.
b) Jumlah contoh uji dahak untuk pemeriksaan mikroskop sebanyak 2 (dua)
dengan kualitas yang bagus. Contoh uji dapat berasal dari dahak sewaktu-
sewaktu atau sewaktu-Pagi.
c) BTA (+) adalah jika salah satu atau kedua contoh uji dahak menunjukkan
hasil pemeriksaan BTA positif. Pasien yang menunjukkan hasil BTA (+)
pada pemeriksaan dahak pertama, pasien dapat segera ditegakkan sebagai
pasien dengan BTA (+)
d) BTA (-) adalah jika kedua contoh uji dahak menunjukkan hasil BTA negatif.
Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif, maka penegakan
diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan
klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai
dan ditetapkan oleh dokter.
11
e) Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif dan tidak memilki
akses rujukan (radiologi/TCM/biakan) maka dilakukan pemberian terapi
antibiotika spektrum luas (NonOAT dan Non-kuinolon) terlebih dahulu
selama 1-2 minggu. Jika tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian
antibiotik, pasien perlu dikaji faktor risiko TB. Pasien dengan f aktor risiko
TB tinggi maka pasien dapat didiagnosis sebagai TB Klinis. Faktor risiko
TB yang dimaksud antara lain:
• Terbukti ada kontak dengan pasien TB
• Ada penyakit komorbid: HIV, DM
• Tinggal di wilayah berisiko TB: Lapas/Rutan, tempat penampungan
pengungsi, daerah kumuh, dll.
12
gejala umum TBC senantiasa dapat pula ditemukan, seperti misalnya subfebril,
nafsu makan turun, berat badan turun, lemah badan, keringat malam. Penampakan
fisik dari lymfadenitis TBC diklasifikasikan dalam 5 stadium, yaitu:
(a) Stadium I: Pembesaran KGB dengan konsistensi kenyal, mobile/mudah
digerakan, terpisah dengan nodul yang lain, hal ini menunjukan nonspecific reaksi
hyperplasia;
(b) Stadium 2: lebih besar dari stadium 1 dengan konsistensi yang kenyal, melekat
dengan jaringn sekitarnya/berkonfluensi;
(c) Stadium 3: perlunakan sentral diakibatkan karena terbentuknya abses;
(d) Stadium 4: bentukan collar stud absess/warna kemerahan diatas kulit yang
mengalami absesa;
(e) Stadium 5: pembentukan sinus yang mengalirkan sekret bernanah.
13
Ketika penegakan diagnosa lymphadenitis TB meragukan, dapat
digunakan prosedur biopsi untuk pemeriksaan histologih, kultur dan PCR.
I. Tatalaksana
Pengobatan denagan anti tuberkulosis adalah andalan dalam pengelolaan
limfadenitis TB. The national tuberculosis programmes di seluruh dunia mengikuti
pedoman, pengobatan diamati secara langsung jangka pendek (DOTS). TB
limfadenitis diterapi dengan terapi OAT kategori TB ekstraparu selama semb ilan
2HRZE / 7HR.
Secara umum pengobatan TB pada ekstra paru lebih dari 6 bu lan, pada
beberapa kasus bahkan dapat diberikan sampai 18 bulan. Penatalaksanaan
limfadenitis TB secara umum dibagi dua yaitu terapi farmakologis dan non
farmakologis. Terapi farmakologis memiliki prinsip san regimen obat yang sama
dengan tuberkulosis sedangkan terapi non farmakologis berupa pembedahan.
Pembedahan dapat dipertimbangkan seperti prosedur seperti: Biopsi eksisional
untuk limfadenitis yang disebabkan oleh mycobacteria atypical yang bisa
mengubah nilai kosmetik dengan bedah eksisi, Aspirasi, Insisi dan drainase.
Adapun kategori Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terbagi menjadi dua,
yaitu:
• Bakterisidal, golongan yang termasuk yaitu INH, rifampisin, pirazinamid dan
Streptomisin
• Bakteriostatik, golongan yang termasuk yaitu etambutol. 2.OAT sekunder
(Second line Antituberculosis Drugs) yang terdiri dari Paraaminosalicyclic Acid
(PAS), ethionamid, sikloserin, kanamisin dan kapreomisin. OAT sekunder ini
selain kurang efektif juga lebih toksik sehingga jarang dipakai. Adapun prinsip-
prinsip pada pemberian OAT yang harus diperhatikan untuk memperoleh
keefektifitasan obat yaitu:
✓ Menghindari penggunaan monoterapi.
✓ Pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT) oleh seorang
PengawasMenelan Obat (PMO) untuk menjamin kepatuhan penderita
dalam menelan obat. Pengobatan TB diberikan dalam dua tahap, tahap
intensif dan tahap lanjutan.
14
Obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam
pengobatan TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk
mencegah penyebaran lebih lanjut dari bakteri penyebab TB. Pengobatan yang
adekuat harus memenuhi prinsip:
a) Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
b) Diberikan dalam dosis yang tepat
c) Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (pengawas
menelan obat) sampai selesai masa pengobatan.
d) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal
serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.
15
Dosis Rekomendasi OAT Lini Pertama Untuk Dewasa
16
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi adalah :
• Hepatitis imbas obat dan ikterik, bila terjadi maka OAT harus diberhentikan
sementara.
• Purpura, anemia hemolitik akut, syok, dan gagal ginjal. Bila salah satu dari
gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi
meskipun gejala telah menghilang.
• Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas.
Rifampisin dapat menyebabkan warna kemerahan pada air seni,
keringat, air mata, dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses
metabolisme obat dan tidak berbahaya.
3. Pirazinamid
Efek samping berat yang dapat terjadi adlaah hepatitis imbas obat
(penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat
terjadi dan dapat diatasi dengan pemberian antinyeri, misalnya aspirin. Terkadang
dapat terjadi serangan artritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan penurunan
ekskresi dan penimbunan asam urat. Terkadang terjadi reaksi demam, mual,
kemerahan, dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa penurunan
ketajaman penglihatan dan buta warna merah dan hijau. Namun gangguan
penglihatan tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, sangat jarang terjadi pada
penggunaan dosis 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali
seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu
setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena
risiko kerusakan saraf okuler sulit untuk dideteksi, terutama pada anak yang kurang
kooperatif.
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien.
Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi
ginjal. Gejala efek samping yang dapat dirasakan adalah telinga berdenging
(tinitus), pusing, dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila
17
obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi. Jika pengobatan diteruskan maka
kerusakan dapat berlanjut dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitivitas kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-
tiba disertai sakit kepala, muntah, dan eritema pada kulit. Efek samping sementara
dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga berdenging
dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat
dikurangi 0,25gram. Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak
boleh diberikan pada perempuan hamil karena dapat merusak fungsi pendengaran
janin.
18
19
3.2 DIH
A. Definisi
DIH (drug-induced Hepar) atau hepatotoksisitas imbas obat, merupakan
kelainan pada kinerja dan fungsi hati yang disebabkan oleh pajanan akibat
penggunaan obat hepatotoksik, misalnya OAT.
B. Etiologi
DIH sendiri dapat disebabkan karena efek toksik langsung dari obat
itu sendiri atau berasal dari metabolitnya, atau bisa juga berasal dari mekanisme
immune-mediated tubuh. Namun, keduanya dapat juga saling berhubungan seperti
efek toksik yang disebabkan oleh reaksi lansung dari obat dapat meningkatkan
reaksi inflamasi di dalam tubuh. Salah satu obat yang dapat menyebabkan hal ini
adalah OAT. Pengobatan TB yang diketahui menyebabkan DIH adalah INH,
rifampisin, dan pirazinamid.
C. Manifestasi Klinis
Spektrum DIH pada TB bervariasi, mulai dari asimtomatik pada 2,3%–
28% kasus hingga gagal hati akut (<0.01% kasus). Gejala yang ditemukan adalah
jaundice, nyeri perut, mual, muntah, dan anoreksia. DIH akibat OAT dapat terjadi
dalam waktu 2 bulan setelah pemberian OAT, dan kejadian tertinggi pada 2 minggu
pertama pemberian OAT. Umumnya gejala mereda setelah obat dihentikan, dan
memburuk jika diteruskan.
D. Derajat
Tingkat hepatotoksisitas karena obat dibagi menjadi 4 berdasarkan kriteria WHO,
yaitu sebagai berikut:
a) Derajat 1 (ringan): peningkatan SGPT < 2,5 kali batas atas normal (51–125
U/L)
b) Derajat 2 (ringan): peningkatan SGPT 2,5 sampai 5 kali batas atas normal
(126-250 U/L)
c) Derajat 3 (sedang): peningkatan SGPT 5 sampai 10 kali batas atas normal (251-
500 U/L)
d) Derajat 4 (berat): peningkatan SGPT > 10 kali batas atas normal (>500 U/L).
20
E. Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko yang diketahui menjadi predisposisi untuk
terjadinya DIH akibat OAT yaitu konsumsi etanol yang lama, hepatitis virus,
penyakit hati sebelumnya, kehamilan atau 3 bulan post partum, konsumsi obat
hepatotoksik, nilai baseline SGOT/SGPT/bilirubin yang abnormal, infeksi HIV,
dan usia > 35 tahun. Jenis kelamin perempuan dipertimbangkan sebagai faktor
predisposisi terjadinya toksisitas OAT.
F. Diagnosis
Berdasarkan International Consensus Criteria, diagnosis ini berdasarkan:
Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksi nyata
adalah sugestif (5 – 90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel (kurang dari 5
hari atau lebih dari 90 hari sejak minum obat dan tidak lebih dari 15 hari dari
penghentian obat untuk reaksi hapatoseluler, dan tidak lebih dari 30 hari dari
penghentian obat dari reaksi kolestatik) dengan hepatotoksisitas obat. Kemudian,
perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan
enzim hati paling tidak 50% di atas batas atas normal dalam 8 hari) atau sugestif
(penurunan kadar enzim paling tidak 50% dalam 30 hari untuk reaksi hepatoseluler,
dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari reaksi obat. Dan dijumpai respons positif
pada pemaparan ulang dengan obat yang sama paling tidak kenaikan dua kali lipat
dari enzim hati).
G. Tatalaksana
Tatalaksana DIH yang paling penting adalah segera menghentikan obat
yang dicurigai sebagai penyebab. Pada sebagian besar kasus, jejas hati akan
menyembuh sendiri setelah obat dihentikan. Akan tetapi, apabila DILI
bermanifestasi sebagai hepatitis autoimun dan penyembuhan tidak terjadi dengan
penghentian obat, kortikosteroid sering digunakan sebagai terapi meskipun bukti
ilmiahnya masih kontroversial.
Secara umum pasien TB dengan DIH dianjurkan untuk menghentikan
semua OAT saat ditemukan peningkatan SGPT lebih dari 2 sampai 3 kali batas atas
normal yang disertai densgan gejala klinis hepatitis, atau tanpa gejala hepatitis
namun peningkatan SGPT lebih dari 5 kali batas atas normal.
21
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Jadi, diagnosis pada pasien ini adalah Limfadenitis Tuberkulosis yang disertai
dengan DIH derajat 2. Hal ini didasarkan karena pada pasien diketahui sebelumnya
memang ada riwayat Limfadenitis TB, dan dikatakan bahwa sebelumnya memang ada
benjolan yang terletak di leher dan ketiak yang semakin lama membesar, disertai
dengan beberapa gejala khas TB yaitu keringat malam, penurunan berat, demam, sesak
nafas, batuk, dan lemas. Pada pasien ini diberikan OAT. Pada pasien ini terjadinya DIH
setelah 2 minggu pasien mengkonsumsi OAT yang menimbulkan beberapa gejala nyeri
perut, mual, muntah, anoreksia, nyeri di seluruh badan yang disertai ruam kemerahan.
22
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, B.D.N. (2019). Diabetes Mellitus & Infeksi Tuberkulosis - Diagnosis Dan Pendekatan
Terapi. Yogyakarta: Anggota IKAPI.
Pribadi, S., Langitan, A., Anggara, A. (2020). Manajemen Limfadenitis Tuberkulosis. Jurnal
Medical Proffesion, 2(3).
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., K, M.S., Setiati, S., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, V. Ed. Interna Publishing, Jakarta.
Wesnawa, M.A.D.P., Kusmiati, T. (2019). Drug Induced Hepatitis Pada Tuberkulosis Paru
Dengan Multisite Tuberkulosis Ekstraparu. Jurnal Respirasi, 5(2).
Loho, I.M., Hasan, I. (2014). Drug-Induced Liver Injury – Tantangan Dalam Diagnosis.
Cermin Dunia Kedokteran, 41(3).
Shodikin, M.A., Ayu, P.P.N., Handoko, A. (2021). Hubungan Riwayat Tuberkulosis Paru
Pada Keluarga Dengan Terjadinya Limfadenitis Tuberkulosis Pada Anak . Jurnal
Kesehatan Masyarakat Indonesia, 16(3).
World Health Organization. (2018). Global Tuberculosis Report 2018. Geneva: World Health
Organization.
Kementerian Kesehatan RI. (2018). Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2018.
Jakarta: Direktoral Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, 2018.
23
Isbaniah, F., Et Al. (2021). Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan Di Indonesia. Edisi
Revisi 2. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI).
Anindyaguna, A., Mustofa, S., Anggraini, D.I., Oktarlina, R.Z. (2022). Drug-Inducedliver
Injuryakibat Penyalahgunaan Parasetamol. Medula, 12(3).
Pranata, J.R., Mariadi, I.K., Somayana, G. (2019). Prevalensi Dan Gambaran Umum Drug-
Induced Liver Injuryakibat Obat Anti Tuberkulosis Pada Pasien Tuberkulosisrsup
Sanglah Denpasar Periode Agustus 2016–Juli 2017. Jurnal Medika Udayana, 8(9).
24