Disusun Oleh :
Pada masa atau usia anak-anak, bermain merupakan strategi pembelajaran yang tepat
digunakan untuk mengajarkan pengetahuan kepadanya, karena pada hakikatnya dunia anak
adalah dunia bermain. Anak dan permainan merupakan dua pengertian yang hampir tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Berpikir mengenai anak selalu menimbulkan asosiasi mengenai
bermain. Bermain sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Para ahli
sepakat bahwa anak-anak harus bermain agar dapat mencapai perkembangan yang
optimal. Bermain adalah aktivitas yang menyenangkan dan sudah melekat dalam
diri setiap anak. Dengan demikian anak dapat belajar berbagai keterampilan dengan
gembira, tanpa merasa terpaksa atau dipaksa untuk mempelajarinya. ( Rofiah, 2016 )
Kesempurnaan fisik seringkali menjadi ukuran pertama kenormalan seseorang bayi saat ia
dilahirkan. Pada kebanyakan orang tua mereka selalu berharap, bahwa Allah mentakdirkan
mereka untuk mendapatkan anak yang sempurna baik secara fisik maupun secara psikis.
Biasanya ketidaksempunaan fisik lebih mudah didetekesi karena terlihat secara langsung.
Tetapi ketidaksempurnaan secara psikis ataupun mental sulit dikenali seiring dengan waktu
pertumbuhan dan perkembangan anak. Salah satu dari anak yang memiliki kekurangan atau
keterbelakangan mental adalah autisme. Autisme adalah gangguan perkembangan pada anak
yang gejalanya sudah timbul sebelum anak itu mencapai usia tiga tahun. Penyebab autisme
adalah gangguan neurobiologis berat yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa
sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif.
( Suteja, 2014 )
Anak autis memiliki keinginan untuk berinteraksi sosial dengan orang lain, hanya anak
dengan hambatan autis tidak mampu mengembangkannya secara alami. Maka dari itu anak
dengan hambatan autis memerlukan bantuan untuk mengembangkan kemampuan interaksi
sosialnya. Karakteristik anak Autis dalam interaksi sosialnya pun berbeda dengan anak pada
umumnya. Jika anak pada umumnya cendrung senang ketika diajak bermain, maka hal itu tidak
terjadi pada anak Autis. Anak autis cendrung menyendiri dan menghidar ketika di ajak untuk
bermain. ( Nur, 2018 )
Menurut Mudjito dkk (2014:40) menyebutkan bahwa interaksi social anak autis meliputi
gangguan menolak atau menghindari untuk bertatap muka, tidak menoleh bila dipanggil,
merasa tidak senang atau menolak di peluk, bilang menginginkan sesuatu anak hanya menarik
tangan orang yang terdekat dan berharap orang tersebut melakukan sesuatu untuknya, serta
tidak berbagi kesenangan dengan orang lain. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka
diperlukan upaya untuk mengembakan kemapuan interaksi sosial anak dengan hambatan autis.
Salah satu metode untuk mengembangakan kemampuan interaksi sosial pada anak autis
adalah metode bermain peran. Bermain peran adalah salah satu metode yang dapat
mengembangkan interaksi sosial yang di miliki oleh anak melalui permainan pura-pura yang
dapat melibatkan anak dalam situasi sosial seperti dalam situasi di sebuah pusat perbelanjan di
mana masing - masing anak memerankan perannya seperti pada tokoh-tokoh yang ada dalam
naskah. Bermain peran adalah salah satu bentuk permainan pendidikan yang di gunakan untuk
menjelaskan perasaan, sikap, tingkah laku dan nilai, dengan tujuan untuk menghayati perasaan,
Isi
Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan yang sangat kompleks, yang secara
klinis ditandai oleh adanya tiga gejala utama berupa kualitas yang kurang yaitu :
Dalam kemampuan interaksi sosial dan emosional, Kemampuan komunikasi timbal
balik dan minat yang terbatas, serta perilaku yang tidak wajar yang disertai dengan
gerakan berulang tanpa tujuan (stereotif), dan adanya respon yang tidak wajar
terhadap pengalaman sensorisnya. Ketiga gejala utama inilah yang membedakan antara
anak autis dengan anak -anak yang lainnya, sekaligus yang mengakibatkan mereka
mengalami hambatan dalam perilaku adaptifnya. Kondisi yang demikian bukan
merupakan sesuatu yang harus diperdebatkan, melainkan bagaimana kondisi yang
terbatas ini dapat dikembangkan secara optimal. ( Ismaya, 2021 )
Sattler (2002) mengatakan bahwa simtom dari gangguan autistik adalah gangguan dalam
interaksi sosial, komunikasi dan perilaku.
Metode bermain peran dikenal juga sebagai metode sosiodrama. Metode ini sering
digunakan untuk mengajarkan nilai-nilai dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi
dalam hubungan sosial, seperti dengan orang-orang di lingkungan keluarga, pada lingkungan
sekolah, maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Kelebihan dari metode bermain peran
adalah: untuk melatih diri dalam memahami, dan mengingat isi bahan skenario yang akan
didramakan atau dipentaskan; akan terlatih untuk berinisiatif dan dapat berkreatifitas penuh;
akan memunculkan bibit seni drama atau aktor; menumbuhkan adanya rasa kerjasama antar
pemain dan rasa tanggungjawab; dan tata bahasa lisan dapat menjadi baik dan dapat dengan
mudah dipahami oleh orang lain. Penelitian menyimpulkan bahwa metode bermain peran
berpotensi meningkatkan dan mengembangkan kemampuan sosial bagi anak penyandang autis,
terutama bila adanya dukungan lingkungan dalam melaksanakannya. ( Rustandar & Dini, 2023
)
Tejasaputra (1995:25) yang menyatakan bahwa anak menyukai bermain drama. Hal
ini dikarenakan di dalam permainan drama anak dapat mencoba berbagai peran sosial
yang ada di masyarakat, serta belajar untuk bekerja sama. Dalam upaya mengembangkan
kemampuan interaksi sosial yang dimiliki oleh anak metode bermain peran dapat
dijadikan salah satu sarana untuk mengembangkan kemampuan komunikasi yang
dimiliki oleh anak. Bermain peran adalah salah satu metode yang berkesinambungan dengan
gaya belajar anak autis, Seperti gaya belajar visual learner di mana anak lebih mudah
memahami dengan apa yang mereka lihat ketika anak diperlihatkan gambar-gambar atau
video. Oleh sebab itu peneliti menggunakan video sebagi media pendukung kegiatan
pembelajaran sehingga hasil akan lebih optimal. Selain itu bermain peran juga sesuai
dengan gaya belajar Handson Learner di mana anak akan memperoleh pengetahuan dengan
cara anak mencoba langsung, dalam hal ini anak diajak untuk terjun langsung dalam
pembelajaran. Bermain peran juga sesuai dengan gaya belajar Auditory Learner di mana
dalam proses pembelajaran senang untuk berbocara dan mendengarkan orang lain.
Data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2013, prevalensi autisme di
Indonesia mengalami peningkatan yang tinggi dibandingkan 10 tahun yang lalu, yaitu dari 1
per 1000 penduduk menjadi 8 per 1000 penduduk. Angka ini bahkan melampaui ratarata dunia
yaitu 6 per 1000 penduduk. Di Indonesia tahun 2015 diperkirakan satu per 250 anak mengalami
gangguan autisme dan diperkirakan terdapat kurang lebih 12.800 anak penyandang autisme
dan 134.000 penyandang autisme di Indonesia ( Oktaviana dkk, 2018 )
Pertumbuhan anak autis yang ada sangat tinggi, di Kanada dan Jepang pertambahan ini
mencapai 40 persen sejak 1980. Di California sendiri pada tahun 2002 di simpulkan terdapat 9
kasus autis per harinya. Di Amerika Serikat disebutkan autis terjadi pada 60.000–15.000 anak
dibawah 15 tahun. Kepustakaan lain menyebutkan prevalens autis 10-20 kasus dalam 10.000
orang, bahkan ada yang mengatakan 1 diantara 1000 anak. Di Inggris pada awal tahun 2002
bahkan dilaporkan angka kejadian autisma meningkat sangat pesat, dicurigai 1 diantara 10 anak
menderita autis. Perbandingan antara laki dan perempuan adalah 2,6 – 4 : 1, namun anak
perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat. ( Widiawati, 2014 )
Sedangkan prevalensi penyandang autisme di seluruh dunia menurut data UNESCO pada
tahun 2011 adalah 6 di antara 1000 orang mengidap autisme. Gangguan autisme lebih sering
terjadi pada anak laki-laki dibandingkan pada anak perempuan dengan perbandingan 3:1 atau
4:1, namun biasanya penyandang autis pada anak perempuan akan memiliki gejala yang lebih
berat dan hasil tes intelegensinya lebih rendah dari pada anak laki-laki. ( Rahmawati, 2017 )
Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS (Badan Pusat Statistik) Kota Jambi diketahui
bahwa jumlah anak dengan kebutuhan Khusus di Kota Jambi sekitar 560 anak. Sedangkan data
yang diperoleh dari SDLB Kota Jambi diketahui bahwa jumlah penderita Autis di Sekolah
tersebut sebanyak 17 orang ( Suryati & Rahmawati, 2016 )
Berdasarkan Laporan Tahunan Dinas Sosial Kota Jambi tahun 2016, terdapat 1.475 orang
mengalami gangguan autisme yang tersebar disepuluh kabupaten dan kota di Provinsi Jambi,
namun data ini belum mewakili jumlah secara keseluruhan dikarenakan kurangnya
pengetahuan orang tua terhadap gejala gangguan ini ( Anwar, 2021 )
Kesimpulan
Dapat ditarik kesimpulan bahwa anak autisme adalah gangguan perkembangan pada anak /
gangguan neurobiologis yang berat sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan
berkomunikasi secara effektif . Untuk mengatasi hal tersebut diberikanlah satu metode yang
tepat yaitu metode bermain peran/ Asosiasi yang bertujuan untuk meningkatkan interaksi
dengan lawan mainnya dan setelah dilakukan beberapa penelitian terhadap anak autis dengan
diterapkan nya metode ini membuat interaksi mereka semakin meningkat dan mengalami
perubahan dari yang sebelumnya.
Daftar Referensi
Suteja, J. (2014). Bentuk dan metode terapi terhadap anak autisme akibat bentukan perilaku
sosial. Edueksos Jurnal Pendidikan Sosial & Ekonomi, 3(1).
AK, Mudjito, Dkk. 2014. Pendidikan Anak Autis. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan
Mawardah, V., & Ainin, K. (2014). Interaksi Sosial Anak Autis Dengan Metode Bermain Peran
di SLB. Jurnal Pendidikan Khusus.(Online), https://jurnalmahasiswa. unesa. ac. id/index.
php/jurnal-pendidikan-khusus/article/download/6338/7172, date Desember, 19, 2018.
Fadhila, S. N., Pratiwi, I. A., Herawati, J. C., Amelia, R., & Napitupulu, R. H. M. (2023).
Efektivitas Metode Bermain Peran Untuk Meningkatkan Sosial Emosional Pada Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) Usia 6-8 Tahun Di SD Kupu-Kupu Jakarta
Selatan. JUTEKBIDIK: Jurnal Teknologi, Bisnis & Pendidikan, 1(1), 93-101.
Rustandar, A., & Widinarsih, D. (2023). Metode dan Media Pembelajaran untuk Pendidikan
Inklusi bagi Penyandang Autis di Indonesia. Jurnal Pendidikan Kebutuhan Khusus, 7(1), 38-
56.
Rahmawati, S. (2018). Pengaruh religiusitas terhadap penerimaan diri orangtua anak autis di
sekolah luar biasa XYZ. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Humaniora, 4(1), 17-24.
Oktaviana, W. (2018). Identifikasi tingkat pengetahuan ibu tentang diet casein free dan gluten
free pada anak autis.
Suryati, S., & Rahmawati, R. (2017). Pengaruh terapi bermain terhadap interaksi sosial anak
autis di SDLB Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchun Sofwan, SH Jambi tahun 2014. Jurnal Ilmiah
Universitas Batanghari Jambi, 16(1), 142-147.
Widiawati, S. ( 2017 ). Pengaruh Terapi Musik Terhadap Perkembangan Komunikasi Anak
Autis di Kiddy Autissm Centre Kota Jambi Tahun 2011. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari
Jamb, 14(2), 113-116
Anwar Tahsa, O. (2021). Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Anak Autis Dalam Menjalani
Program Terapi di Pusat Layanan Autis Provinsi Jambi (Doctoral dissertation, Psikologi).
Sattler, J. M. (2002). Assessment of children: behavioral and clinical applications. San Diego:
Jerome M. Sattler, Publisher.