Penafsiran Dan Ketetapan Pajak
Penafsiran Dan Ketetapan Pajak
Kelas A2
Pertemuan 4
Kelompok 4 :
Pembahasan
Kesimpulan ............................................................................................. 8
Lampiran ................................................................................................ 11
i
PETA KONSEP
Suatu peraturan ada masanya tidak dapat dimengerti secara jelas maupun
tidak jelas sehingga diperlukan cara penafsiran untuk menerobos peraturan yang
dianggap kurang jelas tadi. Penafsiran atau interpretasi hukum peraturan undang-
undang adalah mencari dan menetapkan pengertian asas dalil-dalil yang tercantum
dalam Undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki serta ynag dimaksud oleh
pembuat Undang-undang. Dibawah ini dijelaskan berbagai penafsiran yang sering
digunakan dalam hukum pajak, yaitu :
1
4.3 Penafsiran Sistematik
Penafsiran tata bahasa ialah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang
undang berdasarkan bunyi kata-kata secara keseluruhan dalam kalimat-kalimat
yang disusun oleh pembuat undang-undang. Dengan kata lain, penafsiran tata
bahasa merupakan cara penafsiran yang paling sederhana untuk mengetahui
makna ketentuan Undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa,
susunan kata, atau bunyinya. Inilah pentingnya pembuat undang-undang untuk
memilih kata-kata di dalam menyusun suatu kalimat menjadi suatu aturan supaya
tidak menimbulkan salah pengertian bagi masyarakat yang membacanya.
Contohnya, KUH Pidana Pasal 372 kata “memiliki” dan “menggelapkan” dalam
pasal 372 tidak selalu mangandung sifat bermanfaat bagi diri pribadi. Perbuatan
terdakwa tidak merupakan penggelapan, tetapi suatu kasus perdata.
2
hukumnya. Tafsiran analogis, yaitu penafsiran atas sesuatu peraturan dengan cara
memperluas cakupan peraturan tersebut ke permasalahan yang sejenis, setara, atau
analog yang tidak ada aturannya secara spesifik. Penafsiran cara ini akan bersifat
ekstensif karena akan memperluas arti suatu peraturan.
3
d. Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai dan perubahannya tidak melaporkan kegiatan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).
e. Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi
membuat faktur pajak.
f. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tidak
membuat atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu atau tidak
mengisi faktur pajak secara lengkap.
Apabila wajib pajak menerima surat tagihan dengan alasan pada point a
dan b, jumlah kekurangan pajak terutang yang tercantum dalam surat tersebut
ditambah dengan bunga sebesar 2% sebulan untuk maksimal 24 bulan. Waktu
terhitung sejak terutangnya pajak, atau bagian tahun pajak, atau sampai
terbitanya surat tagihan pajak. Namun, Apabila wajib pajak menerima surat
tagihan seperti pada point d,e,f akan dikenakan denda sebesar 2% dari dasar
pengenaan pajak.
4
c. Berdasarkan hasil pemeriksaan atas PPN dan PPnBM ternyata tidak
seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya
dikenakan tarif 0%.
d. Jika Wajib Pajak tidak melakukan kewajiban pembukuan dan tidak
memenuhi permintaan dalam pemeriksaan pajak, sehingga tidak dapat
diketahui besarnya pajak yang terutang.
e. Apabila wajib pajak diterbitkan NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak secara Jabatan .
5
tidak seharusnya terutang. Dalam Pasal 17 Undang-Undang KUP mengatur
tentang SKPLB yang diterbitkan dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a. Pada Pajak Penghasilan (PPh) jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah
pajak yang terutang, atau sudah dilakukan pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang.
b. Pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN), jumlah kredit pajak lebih besar dari
jumlah pajak yang terutang atau sudah dilakukan pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang.
c. Pada Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), jumlah pajak yang
dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, atau sudah dilakukan
pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang.
Apabila wajib pajak setelah menerima STP lebih bayar dan menghendaki
pengembalian kelebihan pembayaran pajak, maka wajib pajak dapat
mengajukan permohonan tertulis yang diatur dalam pasal 11 ayat (2).
a. Dalam PPh, jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang, atau
pajak yang tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
6
b. Dalam PPn, jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang
atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
c. Dalam PPnBM, jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak
yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak.
7
KESIMPULAN
Suatu peraturan ada masanya tidak dapat dimengerti secara jelas maupun
tidak jelas sehingga diperlukan cara penafsiran untuk menerobos peraturan yang
dianggap kurang jelas tadi. Penafsiran atau interpretasi hukum peraturan undang-
undang adalah mencari dan menetapkan pengertian asas dalil-dalil yang tercantum
dalam undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki serta ynag dimaksud oleh
pembuat undang-undang. Ada beberapa penafsiran yang digunakan dalam hukum
pajak, sebagai berikut.
Penafsiran tata bahasa ialah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang
undang berdasarkan bunyi kata-kata secara keseluruhan dalam kalimat-kalimat
yang disusun oleh pembuat undang-undang. Dengan kata lain, penafsiran tata
bahasa merupakan cara penafsiran yang paling sederhana untuk mengetahui
makna ketentuan Undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa,
susunan kata, atau bunyinya. Penafsiran analogis merupakan penafsiran yang
memberikan tafsiran pada peraturan hukum dengan mengibaratkan pada kata-kata
tersebut sesuai dengan hukumnya. Penafsiran acontrario adalah penafsiran
8
undang-undang yang didasarkan atas pengingkaran, artiya berlawanan pengertian
antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam suatu pasal dalam
undang-undang.
9
DAFTAR PUSTAKA
10
LAMPIRAN
KUH Pidana Pasal 372; UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 Nomor 15;
Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2000 KUP; UU RI Nomor 16 Tahun 2009;
Pasal 13 ayat 1 Undang Undang Nomor 6 tahun 1983; Pasal 13 UU KUP; Pasal
17 Undang-Undang KUP; pasal 11 ayat (2); Pasal 17A Undang-Undang KUP;
Pasal 13 UU KUP No. 16 Tahun 2000.
11