Anda di halaman 1dari 15

KEHARUSAN DAN KEMUNGKINAN PENDIDIKAN

MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pedagogik

Dosen pengampu:

Dr. H. Agus Muharam, M.Pd. dan Ihsan Rizali, S.Psi., M.Pd.

Oleh

Kelompok 6
1. Azhar Syifa Fauzia (2202569)
2. Herlina (2209699)
3. Khadijah Khansa Syahira (2204565)

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
KAMPUS DI PURWAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
selesainya makalah yang berjudul "Keharusan dan Kemungkinan Pendidikan".
Makalah ini isinya menjelaskan mengenai seberapa harus dan mungkinkah
pendidikan pada manusia itu. Tidak lupa pula dukungan baik secara material dan
nonmaterial yang diberikan kepada penulis dalam penyusunan makalah ini,
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada:
- Bapak Drs. H. Agus Muharam, M.Pd & Bapak Ihsan Rizali, S.Psi., M.Pd.,
selaku dosen pengampu mata kuliah Pedagogik, yang memberikan dorongan dan
masukan kepada penulis.
- Orang tua penulis yang banyak memberikan dukungan.
- Semua pihak yang tidak dapat penulis rinci satu per satu yang telah membantu
dalam proses penyusunan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kata sempurna dan masih terdapat beberapa kekurangan baik dari segi susunan
kalimat maupun tata bahasanya, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca untuk penyempurnaan makalah
ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah mengenai keharusan dan
kemungkinan pendidikan ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi
terhadap pembaca.

Purwakarta, 18 Februari 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................1
1.3 Tujuan Masalah............................................................................................1
BAB II.....................................................................................................................2
PEMBAHASAN.....................................................................................................2
2.1 Keharusan Pendidikan.................................................................................2
2.2 Kemungkinan Dididik..................................................................................5
2.3 Tut Wuri Handayani....................................................................................5
2.4 Naturalisme...................................................................................................6
2.5 Nativisme.......................................................................................................6
2.6 Empirisme.....................................................................................................7
2.7 Konvergensi..................................................................................................7
BAB III....................................................................................................................9
PENUTUP...............................................................................................................9
3.1 Kesimpulan...................................................................................................9
3.2 Saran............................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia sejak lahir sangatlah membutuhkan bantuan orang lain,
khususnya kedua orang tuanya. Dapat dibayangkan apabila anak manusia
pada saat lahir dibiarkan begitu saja oleh ibunya, tanpa menerima sentuhan
sedikitpun. Dengan mengabaikan anugerah Tuhan, maka kematianlah yang
akan menjemput anak yang diterlantarkan tersebut.
Keharusan mendidik anak seringkali disebut-sebut, karena
misalnya ketika lahir, anak berada dalam keadaan tidak berdaya karena
anak tidaklah langsung dewasa, sehingga anak memerlukan perhatian dan
bantuan orang lain. Dengan keterbatasan kemampuan, menyebabkan sang
anak perlu mendapat pendidikan. Keterbatasan anak disebabkan karena
anak lahir dalam keadaan tidak berdaya, dan tidak langsung begitu saja
dewasa. Maka dari itu manusia membutuhkan pendidikan dan didikan dari
orang tua dan orang lain untuk menjadi manusia yang bisa berdiri sendiri
dimasa depannya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Seberapa penting manusia untuk mendapatkan pendidikan?
2. Mungkinkah manusia dapat dididik?
3. Apa itu Tut Wuri Handayani?
4. Apa saja aliran-aliran pendidikan?

1.3 Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui seberapa pentingnya manusia mendapatkan
pendidikan
2. Untuk mengentahui apa itu Tut Wuri Handayani
3. Untuk mengetahui mungkinkah manusia dapat dididik
4. Untuk mengetahui aliran-aliran pendidikan

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Keharusan Pendidikan


Keharusan manusia untuk mendapatkan pendidikan dapat dipahami
dengan poin-poin uraian berikut:
a. Anak Dilahirkan dalam Keadaan Tidak Berdaya
Dilihat dari sudut anak, pendidikan merupakan suatu keharusan.
Pada waktu lahir anak manusia belum bisa berbuat apa-apa. Sampai usia
tertentu anak masih memerlukan bantuan orang tua untuk dapat
melangsungkan hidup dan kehidupannya. Berbeda dengan binatang yang
begitu lahir sudah dapat berbuat sesuatu untuk mempertahankan
hidupnya.
Manusia perlu mendapat bantuan orang lain untuk menolong
dirinya sampai dewasa. Oleh karena itu, anak/bayi manusia belajar
setahap demi setahap untuk memperoleh bekal nilai-nilai moral,
kepandaian dan keterampilan, serta pembentukan sikap dan tingkah laku
sehingga dapat berdiri sendiri.
Dilihat dari sudut orang tua pendidikan juga merupakan suatu
keharusan. Tanpa ada yang memaksa, orang tua akan mendidik anaknya
karena adanya rasa kasih sayang dan rasa tanggung jawab. Rasa tanggung
jawab menyebabkan orang tua tahu bahwa anak perlu memperoleh
bimbingan dan pendidikan. Kedua hal tersebut bertemu dalam kegiatan
pendidikakn yag berlangsung secara alamiah dalam kehidupan sehari-hari
dalam keluarga.
Pendidikan dari dorongan orang tua, untuk mendidik anaknya
adalah untuk memenuhi rasa tanggung jawab moral atas hadirnya anak
yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Kuasa untuk di rawat, dan dididik
dengan sebaik-baiknya dapat terlaksana.
b. Manusia Lahir Tidak Langsung Dewasa
Untuk sampai pada kedewasaan yang merupakan tujuan
pendidikan dalam arti khusus, memerlukan waktu. Untuk mengarungi
kehidupan yang dewasa, manusia perlu menyiapkan bekal. Bekal tersebut

2
3

dapat diperoleh dengan pendidikan, yang mana orang tua atau generasi
sebelumnya akan mewariskan pengetahuan, nilai-nilai, serta keterampilan
mereka pada anak-anaknya atau generasi berikutnya.
Manusia makhuk yang dapat dididik, dan memperoleh pendidikan.
Manusia juga adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan
sesamanya.
c. Manusia sebagai Makhluk Sosial
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Manusia hidup
dengan orang lain tidak sendirian, mereka menunjukan gejala-gejala
sosial yang mana senang hidup bersama dengan orang lain.
Untuk hidup dengan orang lain manusia perlu mendapatkan
pendidikan. Apabila manusia bukan makhluk sosial maka mereka akan
hidup sendiri-sendiri dan pendidikan tidak perlu lagi karena memang
tidak diperlukan.
d. Manusia sebagai Makhluk Individu yang Berdiri Sendiri
Pengertian manusia adalah makhluk sosial bukan berarti individu
(perorangan) tidak ada. Pengertian sosial harus diartikan bahwa manusia
hidup bersama dalam kepribadian sendiri-sendiri, manusia berdiri sendiri
namun bersama-sama dengan orang lain dan hidup secara individu dan
individu.
Pendidikan tidak mendidik agar setiap orang berperilaku sama,
namun mendidik agar setiap orang dapat berperilaku sebagai individu
bersama dengan individu laiinya.
e. Manusia sebagai Makhluk yang Dapat Bertanggung Jawab
Seorang manusia harus mampu bertanggung jawab atas segala
perbuatannya karena setiap tindakan manusia tentu membawa akibat.
Hanya hewan yang berbuat sesuatu tidak memahami akibat yang ditimbul
dari tindakannya, karena hewan tidak berfikir, tindakannya hanya
didasakan oleh insting belaka.
Maka pendidikan mengembangkan sikap yang utama yaitu sikap
betanggung jawab, karena makhluk sosial harus bertanggung jawab.
4

Apabila sikap ini tidak dimiliki maka kehidupan akan kacau karena setiap
orang akan bertindak semaunya dan hanya menuruti kehendaknya sendiri.
Pendidikan itu sendiri merupakan tindakan yang bertanggung
jawab terhadap generasi manusia selanjutnya karena anak membutuhkan
bantuan, apabila tidak anak-anak akan terlantar. Disinilah pendidikan
nertanggung jawab bagi kelanjutan kehidupan dan hidup generasi
berikutnya.
Untuk melaksanakan pendidikan perlu adanya kesediaan anak
didik untuk menerima pengaruh. Saat anak masih kecil kesediaan
dididiknya belum ada, dan baru akan timbul kalau anak merasa tidak
mampu melakukan sesuatu dan perlu bantuan orang lain sehingga perlu
dibantu dan belajar dari orang lain. Ketika anak sudah menyadari
kekurangannya, anak akan mau menerima kewibawaan pendidik
(pengaruh dan taat).
f. Sifat Manusia dan Kemungkinan Terjadinya Pendidikan
Apa sebabnya pendidikan hanya terjadi pada manusia? Tumbuhan
dan hewan sebagai makhluk hidup sama sekali tidak terjadi pendidikan.
Ada yang mengatakan pada tingkat hewan ada perilaku yang mirip
dengan pendidikan, namun sanagt jauh berlainan dengan pengertian
pendidikan yang sesungguhnya. Tindakan yang mirip pendidikan itu
disebut “dressur” (pembiasaan dan dilatih terus menrus).
Pada manusia juga sebenarnya terjadi “dressur” pada saat anak
belum memiliki kesadaran akan kekurangan dirinya. Pada saat itulah anak
merasakan untuk meniru dan berbuat, maka anak akan berbuat sesuatu.
Anak berusia 2-6 tahu misalnya, ia akan berbuat apa saja anak akan
bergerak menurut kemauanya. Contoh, anak akan mengambil benda yang
ia temukan di sekelilingnya. Anak melihat orang tuanya waktu
menggosok gigi, dengan cepat anak mengambil sikat gigi ibunya dan
ingin memakai pastanya. Di sinilah ibu mencoba melatih si anak untuk
menggosok giginya, dan anak dengan senangnya menggosok giginya
walaupun tidak benar.
5

Kejadian tersebut, ibu melatih anaknya menggosok gigi. Itu belum


termasuk pendidikan yang sebenarnya, karena anak beum memahami,
menyadari apa artinya perintah atau kemauan mengapa harus menggosok
gigi. Yang dilakukan orang tua itu bukan pendidikan dalam arti
sesungguhnya melainkan suatu “dressur”
Jadi dengan sifat anak yang suka meniru beridentifikasi dengan
orang lain, suka bermain, bisa menerima pengaruh dan kewibawaan orang
lain, merupakan suatu keharusan bagi otang tua (pendidik)
membimbingnya. Pendidik
2.2 Kemungkinan Dididik
Batas kemungkinan pendidikan tidak dapat disamaratakan bagi
semua orang. Tidak dapat dikatakan, bahwa untuk semua orang terdapat
batas kemungkinan dididik yang sama. Sebab masing-masing individu
bersifat unik. Akan tetapi secara umum dapat dikatakan, bahwa
kemungkinan dididik itu tercapai manakala tidak dapat dikembangkan lagi
lebih lanjut kehidupan rohaninya khususnya kehidupan moralnya. Adapun
yang menjadi latar belakangnya dapat beraneka ragam. Mungkin karena
bakat bawaannya, mungkin karena potensi kecerdasan yang berbeda.
2.3 Tut Wuri Handayani
Tut wuri handayani merupakan konsep pendidikan dari Ki Hajar
Dewantara, Pahlawan Nasional Pendidikan. Tut wuri handayani berasal
dari bahasa Jawa: “tut wuri” berarti mengikuti dari belakang, “handayani”
mendorong, memotivasi, atau membangkitkan semangat. Dari arti katanya
dapat ditafsirkan, bahwa tut wuri handayani, mengakui adanya
pembawaan, bakat, ataupun potensi yang dimiliki anak yang dibawa sejak
lahir. Dengan kata “tut wuri” pendidik diharapkan dapat melihat,
menemukan, dan memahami bakat atau potensi yang muncul dan terlihat
pada anak didik, untuk selanjutnya mengembangkan potensi-potensi
tersebut.
Tut wuri handayani tidak bisa dipisahkan dari konsep pendidikan
Ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, ing ngarso sung tulodo.
Ing ngarso sung tulodo berarti apabila pendidik berada di depan, ia harus
6

memberi contoh yang baik terhadap anak didiknya. Ing ngarso = di depan,
sung-asung = memberi, tulodo = contoh.
Ing madya mangun karso, berarti apabila pendidik berada “di
tengah-tengah” bersama anak didiknya, ia harus mendorong kemauan
anak, membangkitkan kreativitas dan hasrat untuk berinisiatif dan berbuat.
Ing madya = di tengah-tengah, mangun = membangun, karso = kehendak
atau kemauan. Ketiganya merupakan kesatuan yang tak terpisahkan satu
sama lainnya.
Jadi pendidikan menurut konsep Ki Hajar Dewantara merupakan
hasil interaksi antara pembawaan dan potensi dengan bakat yang dimiliki
anak dimana dalam proses interaksi tersebut pendidik memiliki peran
aktif, tidak menyerahkan begitu saja kepada anak didik, dan sebaliknya
pendidik tidak boleh dominan menguasai anak.
2.4 Naturalisme
Aliran Naturalisme yang dipelopori Rousseau berpandangan bahwa
semua anak yang dilahirkan berpembawaan baik, dan pembawaan baik
anak tersebut akan menjadi rusak karena dipengaruhi lingkungan.
Pendidikan yang diberikan orang dewasa bisa merusak pembawaan anak
yang baik itu. Aliran ini biasa disebut juga negativisme, karena pendidik
harus membiarkan pertumbuhan anak pada alam. Jadi pendidikan dalam
arti bimbingan dari orang luar (orang dewasa) tidak diperlukan.
2.5 Nativisme
Schopenhauer (filosof Jerman: 1788-1860) berpendapat bahwa
"the world is my idea, the world like man, is through idea". segala
kejadian di dunia dipandangnya sebagai manifestasi dari benih yang ada
padanya sejak semula. perkembangan manusia hanyalah semacam
penjabaran yang telah dibawakan dari yang telah disiapkan semula, yang
telah dibawakan sejak kelahirannya.
Aliran nativisme ini berkeyakinan bahwa anak yang baru lahir
membawa bakat, kesanggupan dan sifat-sifat tertentu. Bakat kemampuan
dan sifat-sifat yang dibawa sejak lahir sangat menentukan dalam
pertemuan dan perkembangan anak manusia. Pendidikan dan lingkungan
7

tidak berpengaruh terhadap perkembangan anak. Misalnya seorang anak


yang memiliki bakat melukis maka pikirannya, perasaannya, dan
kemauannya, serta seluruh kepribadiannya tertuju pada melukis.
Teori ini menunjukan berbagai kesamaan atau kemiripan antar
orang tua dengan anak-anaknya. Misal jika ada seorang ayah seniman dan
memiliki bakat bernyanyi maka anaknya yang menjadi penyanyi
merupakan keturunan genetik yang di ambil dari sang ayah dan ini
merupakan bakat bawaan sejak lahir.
2.6 Empirisme
Pandangan empirisme dari John Locke mengatakan bahwa keadaan
manusia saat lahir diumpamakan sebagai "tabula rasa", yaitu sebuah meja
yang dilapisi lilin, yang digunakan di sekolah dalam rangka belajar
menulis. teori tabularasa mengatakan bahwa anak yang baru dilahirkan itu
dapat diumpamakan sebagai kertas putih yang bersih yang belum ditulisi
titik sejak lahir anak tidak memiliki bakat dan bawaan apa-apa, anak dapat
dibentuk semaunya pendidik, di sini kekuatan untuk membentuk anak ada
pada pendidik, sehingga lingkungan dalam hal ini pendidikan berkuasa
atas pembentukan anak.
Aliran empirisme merupakan aliran yang menolak secara kuat
pandangan mengenai aliran nativisme. Aliran empirisme menekankan
bahwa hanya lingkungan lah yang berpengaruh terhadap perkembangan
anak. Namun ternyata aliran empirisme ini masih diragukan. Jika aliran ini
betul-betul benar, maka kita dapat menciptakan manusia yang ideal
sebagaimana yang diinginkan dengan menyediakan kondisi-kondisi yang
dibutuhkan. Namun pada kenyataannya banyak anak orang kaya dan
pandai yang gagal meskipun mereka memiliki fasilitas yang lengkap.
Begitupula banyak dijumpai maka dari keluarga yang kurang mampu dan
tidak memiliki fasilitas yang memadai, malah berhasil dalam belajar. Jadi
aliran empiris ini juga tidak dapat dipertahankan
sebagaimana aliran natisme.
8

2.7 Konvergensi
Dari kedua aliran nativisme dan empiris yang tidak dapat dengan
kuat dipertahankan, maka muncullah aliran yang dapat mengatasi
kedua aliran tersebut. Aliran yang dimaksud yaitu aliran konvergen yang
dirumuskan oleh ahli psikologi berkebangsaan Jerman, bernama William
Stern, yang berpendapat bahwa pembawaan dan Iingkungan keduanya
membentuk perkembangan manusia Implikasinya bagi pendidikan adalah,
bahwa dalam melaksanakan pendidikan, kedua momen pembawaan dan
lingkungan (pengalaman), hendaknya mendapat perhatian seimbang.
Dalam perkembangan manusia, pendidikan memegang peranan yang
penting, namun demikian seorang pendidik tidak pada tempatnya dengan
bangga menunjukkan. "Inilah hasil didikan saya!" Sebab upayanya itu
tergantung pula dari situasi saat pendidikan itu berlangsung. dari cara anak
menerimanya (atau menolaknya), dari bakat dan kemampuan yang ada
pada anak sangat sulit ditentukan mana hasil didikan, mana penjabaran
bakat bawaan. Hendaknya seorang pendidik tetap memiliki optimisme,
namun patut diingat, bahwa banyak variabel yang turut menentukan
keberhasilan pendidikannya.
Teori konvergen ini mengemukakan bahwa perkembangan
individu yang baik dipengaruhi oleh faktor bawaan dan lingkungan.
Potensi yang dimiliki oleh masing-masing individu perlu menemukan
lingkungan yang sesuai yang dapat mengoptimalkan perkembangan
bahkan tersebut. Sebagai contoh setiap anak manusia yang normal
berpotensi untuk dapat berdiri tegak dengan kedua kakinya. Potensi untuk
berdiri tegak dengan kedua kakinya ini akan terealisasi dengan sempurna
jika anak manusia ini dirawat dan diajarkan untuk berdiri tegak oleh
pengasuhnya. Namun akan berbeda jika anak manusia ini diasuh atau
tinggal bersama serigala. Anak tersebut tidak akan dapat berdiri tegak
dengan kedua kakinya meskipun memiliki potensi untuk dapat berdiri
tegak. Bisa jadi anak tersebut akan berdiri dengan kedua
tangan dan kakinya.
9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Keharusan seorang anak manusia mendapatkan pendidikan karena
anak dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya dilahirkan tidak langsung
dewasa sebagai makhluk sosial, sebagai individu yang berdiri sendiri
sebagai makhluk yang dapat bertanggung jawab, serta sifat manusia dan
memungkinan terjadinya pendidikan. Kemungkinan seorang manusia
untuk dididik yaitu karena semua orang terdapat batas kemungkinan
dididik yang sama dan sebab setiap individu bersifat unik.
Tut Wuri Handayani atau konsep Ki Hajar Dewantara merupakan
hasil interaksi antara pembawaan dan potensi dengan bakat yang dimiliki
anak dimana dalam proses interaksi tersebut pendidik memiliki peran
aktif, tidak menyerahkan begitu saja kepada anak didik, dan sebaliknya
pendidik tidak boleh dominan menguasai anak.
Aliran naturalisme menyatakan bahwa semua anak yang dilahirkan
berpembawaan baik, dan pembawaan baik anak tersebut akan menjadi
rusak karena dipengaruhi lingkungan. Aliran Netivisme menyatakan
bahwa anak yang baru lahir membawa bakat, kesanggupan dan sifat-sifat
tertentu. Bakat kemampuan dan sifat-sifat yang dibawa sejak lahir sangat
menentukan dalam pertemuan dan perkembangan anak manusia.
Aliran Empirisme menyatakan bahwa anak yang baru dilahirkan
itu dapat diumpamakan sebagai kertas putih yang bersih yang belum
ditulisi titik sejak lahir anak tidak memiliki bakat dan bawaan apa-apa,
anak dapat dibentuk semaunya pendidik, di sini kekuatan untuk
membentuk anak ada pada pendidik, sehingga lingkungan dalam hal ini
pendidikan berkuasa atas pembentukan anak. Aliran Konvergensi
menyatakan bahwa pembawaan dan Iingkungan keduanya membentuk
perkembangan manusia Implikasinya bagi pendidikan adalah, bahwa
dalam melaksanakan pendidikan, kedua momen pembawaan dan
lingkungan (pengalaman), hendaknya mendapat perhatian seimbang.

10
11

3.2 Saran
Penulis memberikan saran kepada para orang tua dan guru
bahwasanya seorang anak memiliki hak untuk dididik, karena anak
dilahirkan ibaratkan kertas putih yang bersih tanpa coretan. Yang tentu
kertas putih itu akan diisi oleh coretan-coretan orang tua dan gurunya,
maka dari itu orang tua dan guru sebaiknya mendidik dan
membimbingnya sebaik mungkin.
Penulis juga menyarankan pada peneliti selanjutnya agar meneliti
lebih lanjut terkait Keharusan dan Kemungkinan Pendidikan, dengan
menggunakan sumber yang lebih banyak dan juga materi yang lebih
lengkap dan lebih rapih untuk penulisan makalah berikutnya, sehingga
dapat menambahkan kembali kekurangan yang ada pada makalah ini dan
pembaca dapat menambah wawasannya mengenai masalah ini.
12

DAFTAR PUSTAKA

Sadulloh, U., Muharram, A., Robandi, B. (2010). Pedagogik (Ilmu Mendidik).


Bandung: Alfabeta.
Anshory, I., & Utami, I. W. P. (2018). Pengantar Pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai