Anda di halaman 1dari 11

Aktifkan notifikasi untuk mendapatkan berita terbaru dari

Kompas.id.

Nanti saja
Ya, aktifkan
BerlanggananMasuk


Ekonomi›Pemulihan Tidak Merata,...
Iklan
KEMISKINAN

Pemulihan Tidak Merata, Ketimpangan Semakin Tajam


Meski kemiskinan menurun, jurang antara yang kaya dan miskin semakin melebar
akibat pemulihan laju konsumsi yang timpang pascapandemi. Kesenjangan tidak
bisa diatasi hanya dengan mengandalkan bantuan sosial.
Audio Berita
7 menit
Oleh
agnes theodora, Agustinus Yoga Primantoro
18 Juli 2023 07:27 WIB·4 menit baca
Warga menjemur kasurnya di antara rel yang melalui kawasan hunian
semipermanen padat penduduk di Pademangan, Jakarta Utara, Kamis (17/7/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun
tingkat kemiskinan menurun, ketimpangan ekonomi di Indonesia per Maret 2023
melebar dan mencatat rekor terburuk lima tahun terakhir. Potret tersebut
menggambarkan laju pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 yang belum
merata dirasakan masyarakat sampai ke lapisan terbawah.
Kondisi itu tecermin dari data Profil Kemiskinan di Indonesia edisi Maret 2023
yang dirilis Badan Pusat Statistik pada Senin (17/7/2023). BPS mencatat, tingkat
kemiskinan per Maret 2023 turun menjadi 9,36 persen dari total populasi Indonesia
atau 25,9 juta orang.
Angka itu lebih rendah dari angka kemiskinan per September 2022 yang tercatat
9,57 persen atau 26,36 juta orang serta data kemiskinan per Maret 2022 yang
tercatat 9,54 persen atau 26,16 juta orang.
Baca juga: Kemiskinan Menurun, tetapi Ketimpangan Meningkat
Penurunan tingkat kemiskinan itu juga semakin mendekati kondisi sebelum
pandemi meski belum kembali pulih sepenuhnya. Pada September 2019, angka
kemiskinan menyentuh level terendah dalam sejarah, yakni 9,22 persen atau 24,78
juta orang.
Namun, jurang antara yang kaya dan miskin justru semakin lebar. BPS mencatat,
per Maret 2023, rasio gini naik ke level 0,388 dari sebelumnya 0,381 pada
September 2022 dan 0,384 pada Maret 2022. Ketimpangan yang menajam itu
terjadi di wilayah perkotaan, sementara di perdesaan tetap stagnan.
Sebagai catatan, rasio gini digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan
pengeluaran masyarakat. Nilai rasio gini berkisar 0-1. Semakin tinggi nilai rasio
gini, semakin tinggi ketimpangan di suatu wilayah.
Kondisi ketimpangan per Maret 2023 itu tercatat sebagai yang terburuk dalam lima
tahun terakhir. Sebelumnya, pada Maret 2018, rasio gini menyentuh level 0,389,
kemudian trennya menurun. Pada puncak pandemi, rasio gini meningkat, tetapi
hanya menyentuh level tertinggi 0,385 pada September 2020.
Kendati kemiskinan menurun, jurang antara yang kaya dan miskin justru semakin
lebar.
Konsumsi timpang
Sekretaris Utama BPS Atqo Mardiyanto menjelaskan, ketimpangan meningkat
karena laju pengeluaran kelompok terkaya selama September 2022-Maret 2023
lebih tinggi dibandingkan kelompok masyarakat menengah dan bawah. Indonesia
memang mengukur tingkat kemiskinan dan ketimpangan berdasarkan pengeluaran
atau konsumsi bukan pendapatan.
Berdasarkan data BPS, sumbangan dari kelompok 20 persen terkaya terhadap total
pengeluaran masyarakat meningkat sebesar 1,59 persen. Sementara, kontribusi dari
kelompok 40 persen terbawah turun -1,10 persen dan sumbangan pengeluaran dari
kelompok 40 persen menengah menurun -1,48 persen.
”Jadi, ’kue’ pertumbuhan pengeluaran yang dikuasai kelompok 20 persen teratas
itu semakin besar, sementara 40 persen kelompok menengah dan bawah itu
semakin kecil,” kata Atqo dalam konferensi pers di Jakarta, Senin.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Perkampungan padat penduduk dengan latar belakang gedung bertingkat di
Jakarta, Jumat (23/12/2022).
Naiknya tingkat ketimpangan terjadi di hampir seluruh wilayah. Satu-satunya
wilayah yang mengalami penurunan tingkat ketimpangan selama periode
September 2022-Maret 2023 adalah Maluku Papua yang menurun sebesar 0,012
poin.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Haryono mengatakan, salah satu faktor
yang mendorong naiknya ketimpangan dalam pengeluaran itu adalah melejitnya
konsumsi dari kelompok teratas setelah pandemi berlalu dan pembatasan mobilitas
dicabut, seperti berwisata. Sementara pada periode yang sama, konsumsi kelompok
menengah dan bawah stagnan, tidak banyak meningkat.
”Jadi itu salah satu penyebab yang mendorong ketimpangan pengeluaran semakin
tajam. Ketimpangan bisa saja tidak terjadi jika konsumsi masyarakat menengah-
bawah juga naik dan ’menyodok’ ke atas,” katanya.
Baca juga: Pendapatan Rendah, Kemiskinan Bertambah
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal
menilai, ketimpangan yang melebar itu menunjukkan pemulihan ekonomi belum
merata dirasakan hingga ke lapisan terbawah.
Pendapatan masyarakat miskin dan rentan miskin di perkotaan menurun seiring
dengan terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja di sektor padat karya
yang terjadi mulai akhir tahun lalu sampai sekarang. Pendapatan yang turun itu
otomatis turut menekan tingkat pengeluaran atau konsumsi kelompok tersebut.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Warga beraktivitas di depan rumahnya yang berada di dalam kawasan hunian
semipermanen padat penduduk di Pademangan, Jakarta Utara, Kamis (17/7/2023).
”Ini berbeda dari kalangan atas. Spending mereka tidak berkurang karena
pendapatannya sudah besar. Kalaupun pendapatan mereka berkurang pun,
konsumsi mereka tetap jalan karena punya tabungan besar,” kata Faisal.
Akar masalah
Menurut dia, kesenjangan akan terus melebar selama akar masalah kemiskinan
tidak teratasi. Kemiskinan tidak cukup hanya diatasi dengan bantuan sosial. Bansos
dapat mengangkat kelompok masyarakat yang selama ini hidup di bawah garis
kemiskinan ke atas, tetapi jarak mereka dengan garis kemiskinan masih dekat.
”Masyarakat rentan miskin dan hampir miskin terangkat sedikit ke atas berkat
bansos, tetapi faktanya mereka masih hidup di sekitar garis kemiskinan. Tidak bisa
dibilang sudah mampu. Itu sebabnya, kemiskinan kita bisa menurun, tetapi
ketimpangan justru meningkat,” ujarnya.
Masyarakat rentan miskin dan hampir miskin terangkat sedikit ke atas berkat
bansos, tetapi faktanya mereka masih hidup di sekitar garis kemiskinan.
Untuk itu, akar masalah kemiskinan perlu diatasi antara lain dengan meningkatkan
akses masyarakat rentan terhadap lapangan kerja yang layak dan relevan dengan
kondisi mereka, seperti di sektor padat karya. Investasi dan penciptaan lapangan
kerja yang tinggi tetapi tidak selaras dengan kebutuhan masyarakat hanya akan
memperburuk ketimpangan.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Mural dan tulisan yang menyuarakan tentang ketimpangan dan ketidakadilan
menghiasi tembok di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (26/12/2020).
Selain itu, diperlukan perbaikan terhadap akses pendidikan, kesehatan, air bersih,
listrik, dan kebutuhan dasar lainnya. ”Harapannya, kalau masyarakat pintar, sehat,
dan bisa mengakses lapangan kerja yang cocok dengan mereka, mereka bisa
mendapat penghidupan yang lebih layak,” kata Faisal.
Baca juga: Garis Kemiskinan Dievaluasi, Pemerintah Kaji Pendekatan
Multidimensi
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto
dalam kesempatan terpisah mengatakan, pemerintah akan terus mendorong
pemulihan ekonomi untuk menekan angka kemiskinan dan ketimpangan.
”Kita punya target bahwa kemiskinan ekstrem tahun 2024 turun mendekati nol
persen. Tentu kualitas sumber daya manusia dan berbagai program akan kita
dorong terus untuk mencapai target itu,” katanya.

Anda mungkin juga menyukai