Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

MEMAHAMI DAN MENGHARGAI PERBEDAAN BUDAYA

Disusun untuk melengkapi tugas


Mata Kuliah Konseling Lintas Budaya

Dosen Pengampu : Putri Waliyyan Estafetta. M.Pd

Di susun oleh : Kelompok 3

Iin Sindy Lestari 202001500204


Nanda difia wahyuni 202001500116
Ramansyah Gumilang 202001500219
Widia Rahmasari 202001500176

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
2021
KATA PENGANTAR

Mata kuliah Konseling Lintas Budaya Konseling dalam Jurusan Program


Studi Bimbingan Konseling pada Fakultas Ilmu Pendidikan dan Pengetahuan Sosial
– Universitas Indraprasta PGRI Jakarta, merupakan salah satu upaya pembekalan
kepada mahasiswa agar setelah menyelesaikan studinya setiap individu memiliki
pemahaman aspek etika dan legal dalam hubungannya dengan konseling.
Sebagaimana makalah ini disusun dalam tahap belajar dan tentu belum
sempurna, maka kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
menjadi masukan dalam perbaikannya di masa yang akan datang. Harapan kami
dalam penyusunan makalah ini dapat menjadi bahan diskusi dalam kelas yang akan
memperluas wawasan dan pemahaman kita terkait topik pembelajaran ini. Untuk
itu sudah sepatutnya kami memanjatkan rasa puji syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah Konseling
Lintas Budaya.
Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Ibu Putri Waliyyan Estafetta
M.Pd sebagai Dosen mata kuliah Konseling Lintas Budaya, karena telah
memberikan kesempatan dan bimbingan kepada kami dalam menyusun dan
mempresentasikan makalah Kelompok 3 dengan judul tema “Menghargai dan
Memahamai Perbedaan Budaya”. Harapan kami makalah ini memberikan refrensi
dalam proses pembelajaran di dalam kelas serta bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya.
Kiranya Tuhan yang Maha Esa memberikan pencerahan dalam segala usaha
kita dalam belajar dan menganugerahkan kepada kita kelimpahan kesehatan dalam
kehidupan sehari-hari begitu juga dalam proses belajar maupun pekerjaan kita
semua. Amin

Jakarta, September 2023

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………...1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Rasisme……………………………………………………………………3
B. Etnosentrisme……………………………………………………………...3
C. Etik dan Emik……………………………………………………………...5
D. Hambatan dalam Konseling Lintas Budaya…………………………….…8
E. Kesadaran Budaya………………………………………………………..10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………………16
B. Saran……………………………………………………………………..17
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kita hidup di lingkungan yang beragam, baik dalam agama, suku,
dan budaya. Dalam hal agama, di Indonesia ada beberapa macam agama
diantaranya adalah: Islam, Kristen protestan, Kristen katolik, Hindu, Budha,
Kong Hu Chu dan aliran kepercayaan. Suku bangsa penduduk Indonesia
tersebar di berbagai wilayah mulai Sabang sampai ke Merauke.
Begitu pula budaya yang ada di masyarakat sangat beragam. Budaya
tersebut tercermin di dalam bahasa daerah, lagu daerah, tarian daerah,
rumah adat, senjata khas, dan alat musik tradisional. Dari segi bahasa,
misalnya: ada bahasa Batak, Sunda, Bali, Bugis, Betawi, Jawa, dll. Lagu
daerah juga bermacam-macam, contohnya: Bungong Jeumpa dari aceh,
Apuse dan Yamko Rambe Yamko dari Papua, Kicir-Kicir dari Jakarta,
Soleram dari Riau, dll. Tarian daerah, diantaranya adalah: tari payung, tari
piring dari Sumatera Barat, tari Saman dan Seudati dari Aceh, tari Serimpi
dan Bambang Cakil dari Jawa Tengah. Rumah adatpun beragam, misalnya:
rumah Tongkonan di Sulawesi Selatan, rumah Joglo di Jawa Tengah, rumah
Honai di Papua. Senjata khas tiap daerah juga berbeda, ada celurit dari
Madura (Jawa Timur), Piso Surit dari Sumatera Utara, Rencong dari Aceh,
dll. Alat musik contohnya Rifai dari Aceh, Tifa dari Papua, Sasando dari
NTT, dll. Keberagaman ini merupakan kekayaan Negara Indonesia yang
tidak ternilai harganya dan sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri
keberadaannya. Keberagaman ini juga menunjukkan banyaknya perbedaan
yang dimiliki. Dan jika perbedaan itu dikelola dengan benar akan menjadi
kekuatan yang positif bagi Indonesia. Contoh sederhananya, apabila dalam
kelas kita ada teman yang berbeda suku. Jika kita saling menghormati dan
menghargai maka kita akan dapat belajar dengan tenang dan proses belajar
mengajar akan berlangsung dengan lancar sehingga tujuan pembelajaran

1
akan tercapai. Namun jika ada yang saling mengolok dan menonjolkan
budayanya sendiri maka akan meyebabkan kegaduhan, pertikaian, bahkan
perkelahian. Untuk itulah dibutuhkan penanaman nilai-nilai pendidikan
multikultural seperti toleransi, perdamaian, sikap rendah hati, dan saling
menghargai.
Penerapan nilai-nilai multikultural sangat penting karena dengan
membiasakan hidup yang saling menghormati, maka peserta didik
diharapkan akan menjadi manusia yang menghargai keberagaman, selain itu
ia juga akan belajar biasa hidup rukun dan bekerjasama, saling
berdampingan meskipun berbeda agama sehingga akan terbentuk pribadi
yang memiliki sikap sosial yang baik, penuh dengan kedamaian dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Berdasarkan masalah-masalah yang telah diuraikan diatas, maka
penulis, menulis makalah yang berjudul “ Memahami dan Menghargai
Perbedaan Budaya”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan Rasisme?
2. Apa yang dimaksud Etnosentrisme?
3. Apa pengertian dari Etik dan Emik ?
4. Apa saja hambatan dalam konseling lintas budaya?
5. Apa saja tingkat kesadaran Budaya?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian dari Rasisme
2. Mengetahui pengertian dari Etnosentrisme
3. Mengetahui sudut pandang Etik dan Emik
4. Mengetahu dan memahami hambatan dalam konseling lintas budaya.
5. Mengetahui tingkatan kesadaran budaya

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Rasisme
Rasisme atau rasialisme adalah suatu paham yang merasa ras diri sendiri
merupakan ras yang paling tinggi daripada ras lainnya. Rasisme ini biasanya
dikaitkan dengan paham diskriminasi suku, agama, ras, adat, golongan atau ciri-
ciri fisik pada seseorang.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rasisme
diartikan sebagai rasialisme. Di mana rasialisme adalah prasangka berdasarkan
keturunan bangsa; perlakuan berat sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-
beda.Jadi, rasisme merupakan paham diskriminasi suku, agama, ras, adat (SARA),
golongan ataupun ciri-ciri fisik umum untuk tujuan tertentu (biologis).
Rasisme secara umum dapat diartikan sebagai serangan sikap,
kecenderungan, pernyataan, dan tindakan yang mengunggulkan atau memusuhi
kelompok masyarakat terutama karena identitas ras.Tindakan-tindakan rasisme
terjadi dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, seperti pendidikan,
pelayanan kesehatan, hiburan, dan lain sebagainya. Adanya perilaku rasisme
tersebut bisa menyebabkan perpecahan, baik antarsesama maupun golongan
tertentu.
B. Etnosentrisme
a. Pengertian Etnosentrisme Menurut Para Ahli
Berikut Ini Merupakan Pengertian Etnosentrisme Menurut Para Ahli.
1. Dayakisni dan Yuniardi (2004)
Menurut Dayakisni dan Yuniardi, etnosentrisme adalah sikap dalam
melihat dan melakukan interpretasi terhadap seseorang ataupun
kelompok lain berdasarkan nilai-nilai yang ada pada budayanya
sendiri.
2. Poerwanti
Poerwanti mengartikan etnosentrisme sebagai pandangn bahwa
kelompok sendiri merupakan pusat segalanya dan kelompok lain

3
akan selalu dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar
kelompoknya sendiri.
3. Menurut KBBI
Etnosentrisme adalah sikap atau pandangan yang berpangkal pada
masyarakat dan kebudayaan sendiri, biasanya disertai dengan sikap
dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan lain.
4. Wikipedia
Etnosentrisme adalah penilaian terhadap kebudayaan lain atas dasar
nilai dan standar budaya sendiri.

Etnosentrisme merupakan suatu persepsi atau pandangan


yang dimiliki oleh masing- masing individu yang menganggap
bahwa kebudayaan yang dimilikinya lebih baik dari budaya lainnya
atau membanggakan budayanya sendiri dan mengganggap rendah
budaya lain.Secara singkat, etnosentrisme dapat dikatakan sebagai
sikap fanatisme suku bangsa. Orang-orang etnosentris akan menilai
kelompok lain relatif terhadap kelompok atau kebudayaannya
sendiri, terutama bila berkaitan dengan, perilaku, bahasa, kebiasaan,
dan agama.
Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk melihat dunia
hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Berdasarkan definisi
ini etnosentrisme tidak selalu negatif sebagimana umumnya
dipahami.Etnosentrisme dalam hal tertentu juga merupakan sesuatu
yang positif. Tidak seperti anggapan umum yang mengatakan bahwa
etnosentrisme merupakan sesuatu yang semata-mata buruk,
etnosentrisme juga merupakan sesuatu yang fungsional karena
mendorong kelompok dalam perjuangan mencari kekuasaan dan
kekayaan.

4
b. Dampak Terjadinya Etnosentrisme
Sikap etnosentrisme akan berdampak baik bagi individu maupun
masyarakat. Berikut ini beberapa dampak yang timbul akibat dari
etnosentrisme :
 Dampak Positif
 Menumbuhkan semangat patriotisme
 Menjaga keutuhan dan stabilitas kebudayaan
 Mempertinggi rasa cinta tanah air atau terhadap bangsa sendiri.
 Dampak Negatif
 Dapat memicu konflik antar suku
 Memunculkan berbagai macam aliran politik
 Menghambat asimilisai budaya yang berbeda satu sama lain
c. Contoh Etnosentrime di Indonesia
Penggunaan koteka bagi laki-laki dewasa di Papua. Bagi
masyarakat non Papua pedalaman, penggunaan koteka mungkin
merapakan hal yang memalukan. Namun bagi masayarakat pedalaman
Papua, menggunakan koteka sebagai penutup kelamin mereka adalah
hal wajar dan menjadi kebanggaan tersendiri.
Perilaku carok di Madura. Carok adalah sebuah upaya
pembunuhan yang dilakukan oleh laki-laki Madura ketika merasa harga
dirinya terusik oleh orang lain. Bagi masyarakat di luar Madura,
mungkin perilaku tersebut dianggap sebagai bar-bar dan brutal, namun
bagi masyarakat Madura perilaku tersebut dianggap sakral dan sangat
dijunjung tinggi.
C. Etik dan Emik
1. Pengertian Etik dan Emik
Etik dan Emik adalah dua macam sudut pandang dalam etnografi
yang cukup mengundang perdebatan. Emik (native point of view)
misalnya, mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat

5
dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri. Sebaliknya, etik
merupakan penggunaan sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam
hal ini siapa yang mengamati) untuk menjelaskan suatu fenomena dalam
masyarakat. Secara sangat sederhana emik mengacu pada pandangan
warga masyarakat yang dikaji, sedangkan etik mengacu pada pandangan
si pengamat. pendekatan emik dalam hal ini memang menawarkan
sesuatu yang lebih obyektif. karena tingkah laku kebudayaan memang
sebaiknya dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang yang
dikaji itu sendiri berupa definisi yang diberikan oleh masyarakat yang
mengalami peristiwa itu sendiri. bahwa pengkonsepan seperti itu perlu
dilakukan dan ditemukan dengan cara menganalisis proses kognitif
masyarakat yang dikaji dan bukan dipaksakan secara etnosentrik.
Etik mencakup pada temuan-temuan yang tampak konsisten atau
tetap di berbagai budaya, dengan kata lain sebuah etik mengacu pada
kebenaran atau prinsip yang universal. Sedangkan emik sebaliknya,
mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang
berbeda dengan demikian sebuah emik mengacu pada kebenaran yang
bersifat khas-budaya (culture-specific). Karena implikasinya pada apa
yang kita ketahui sebagai kebenaran, emik dan etik merupakan konsep-
konsep yang kuat (powerful). Kalau kita tahu sesuatu tentang perilaku
manusia dan menganggapnya sebagai kebenaran dan hal itu adalah suatu
etik (alias universal), maka kebenaran sebagaimana kita ketahui itu
adalah juga kebenaran bagi semua orang dari budaya apa pun. Kalau
yang kita ketahui tentang perilaku manusia dan yang kita anggap
sebagai kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (alias bersifat khas-
budaya), maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut belum tentu
merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain.
Contoh kasus: pada sebuah fenomena masyarakat seperti
pengemis. bila perilaku pengemis disebut sebagai sebuah fakta sosial
atau sebuah keniscayaan, maka berlaku sebutan: pengemis adalah

6
sampah masyarakat, manusia tertindas, manusia yang perlu dikasihani,
manusia kalah, manusia korban kemiskinan struktural, dsb. anggapan
ini bukan sebuah kesalahan berpikir, melainkan sebuah sudut pandang
etik orang di luar pengemis untuk menunjukkan fakta yang semestinya
berlaku seperti itu, bukan pandangan emik bagaimana pengemis melihat
dirinya sendiri. Dalam pandangan emik yang bersifat interpretif atau
fenomenologis, pengemis adalah subjek. mereka adalah aktor
kehidupan yang memiliki hasrat dan kehidupan sendiri yang unik.
pandangan subjektif seperti ini diperlukan untuk mengimbangi
pandangan obyektif yang seringkali justru memojokkan mereka, melihat
mereka sebagai korban kehidupan, kesenjangan ekonomi, atau
ketidakadilan sosial, bukan sebagai entitas masyarakat yang memiliki
pemikiran dan pengalaman hidup yang mereka rasakan dan alami
sendiri.
2. Proses Pendekatan Etik dan Emik.
Proses Pendekatan Etic dan Emic dalam Konseling Lintas Budaya
sedikitnya ada tiga pendekatan dalam konseling lintas budaya:
1) Pendekatan universal atau etik yang menekankan inklusivitas, atau
keuniversalan kelompok-kelompok.
2) Pendekatan emik (kekhususan budaya)yang menyoroti
karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan
kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka.
3) Pendekatan inklusif atau transcultural, yang terkenal sejak
diterbitkan sebuah karya Ardenne dan Mahtani’s (1989) berjudul
Transcultural Counseling in Action. Mereka menggunakan istilah
trans sebagai lawan dari inter atau cross cultural counseling untuk
menekankan bahwa keterlibatan dalam konseling merupakan proses
yang aktif dan resiprokal (Palmer and Laugngani, 2008 : 156).
Namun, Fukuyama (1990) yang berpandangan universal pun
menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula konseling

7
“transcultural” yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan
titik anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan karakteristik-
karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja dengan
populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan.

D. Hambatan Dalam Konseling Lintas Budaya


Menurut Sue (1981 : 1) faktor-faktor penghambat konseling lintas-budaya
a. Bahasa
Perbedaan bahasa merupakan penghambat terbesar yang perlu
diperhatikan dalam proses konseling lintas budaya. Menurut
Arredondo pada waktu ini hanya sedikit praktisi konseling bilingual
(menguasai dua bahasa). Keadaan seperti itu juga terjadi di
Indonesia, apalagi masyarakat kita multi etnis. Adapun yang
menjadi penyebab adanya hambatan- hambatan ini ialah sebagai
berikut:
1) Tingkat penguasaan bahasa sangat kurang
2) Minim dalam kosa kata
3) Minim dalam ungkapan-ungkapan
4) Penggunaan dialek yang berbeda- beda.
5) Merasa menjadi etnis yang mayoritas sehingga menganggap
orang lain selalu mengerti apa yang ia maksudkan.
6) Perbedaan kelas sosial
7) Usia
8) Latar pendidikan keluarga
9) Penggunaan bahasa gaul.
b. Nilai (value)
Dalam proses konseling, tingkat perbedaan pengalaman antara
konselor dengan klien, persepsi dan wawasan mereka terhadap
dunia dapat merupakan hambatan besar. Konselor dari kelas sosial

8
menengah mungkin kurang paham terhadap kebiasaan hidup klien
dari kelas sosial bawah dan atas.
Merupakan kecenderungan/disposisi mengenai preferensi (kelebih-
sukaan) yang didasarkan pada konsepsi tertentu, yaitu hal yang
dikehendaki/diinginkan dan disukai orang banyak. Ini berkenaan
dengan baik/buruk, pantas/tidak pantas, patut/tidak patut.
Nilai merupakan konstruk yang disimpulkan (sebagai sesuatu yang
dianut masyarakat secara kolektif dan pribadi-pribadi secara
perorangan). Istilah nilai menunjuk suatu konsep yang dikukuhi
individu atau anggota suatu kelompok secara kolektif mengenai
sesuatu yang diharapkan dan berpengaruh terhadap pemilihan cara
maupun tujuan tindakan dari beberapa alternative (Kluckhohn
dalam Berry, 1999). Nilai menjadi faktor penghambat dalam
Konseling Lintas Budaya bilamana:
a. Memaksakan Nilai diri terhadap orang lain
b. Memaksakan Nilai golongan mayoritas terhadap nilai golongan
minoritas.

Di Indonesia tidak sedikit terdapat perbedaan nilai yang


ada pada konselor dan nilai-nilai yang dianut klien. Klien
menganut nilai dari kehidupan keluarga itupun masih sering
terdapat kesenjangan dengan orang tuanya apalagi dengan
konselor yang merupakan orang asing bagi klien. Kesenjangan
nilai bisa juga terjadi karena antara konselor dan klien berasal
dari latar kehidupan sosial yang berbeda, tingkat sosial ekonomi,
usia, agama, suku, jenis kelamin dan sebagainya.

c. Kelas Sosial
Dalam proses konseling, tingkat perbedaan pengalaman antara
konselor dengan klien, persepsi dan wawasan mereka terhadap

9
dunia dapat merupakan hambatan besar. Konselor dari kelas sosial
menengah mungkin kurang paham terhadap kebiasaan hidup klien
dari kelas sosial bawah dan atas.
E. Kesadaran Budaya
a. Kesadaran Budaya.
Kesadaran Budaya (Cultural awareness) Kesadaran budaya
adalah kemampuan seseorang untuk melihat ke luar dirinya sendiri
dan menyadari akan nilai-nilai budaya, kebiasaan budaya yang
masuk. Selanjutnya, seseorang dapat menilai apakah hal tersebut
normal dan dapat diterima pada budayanya atau mungkin tidak lazin
atau tidak dapat diterima di budaya lain. Oleh karena itu perlu untuk
memahami budaya yang berbeda dari dirinya dan menyadari
kepercayaannya dan adat istiadatnya dan mampu untuk
menghormatinya. (Vacc et al, 2003).
Wunderle (2006) menyebutkan bahwa kesadaran budaya
(cultural awareness) sebagai suatu kemampuan mengakui dan
memahami pengaruh budaya terhadap nilainilai dan perilaku
manusia. Implikasi dari kesadaran budaya terhadap pemahaman
kebutuhan untuk mempertimbangkan budaya, faktor-faktor penting
dalam menghadapi situasi tertentu. Pada tingkat yang dasar,
kesadaran budaya merupakan informasi, memberikan makna
tentang kemanusian untuk mengetahui tentang budaya. Prinsip dari
tugas untuk mendapatkan pemahaman tentang kesadaran budaya
adalah mengumpulkan informasi tentang budaya dan
mentranformasikannya melalui penambahan dalam memberikan
makna secara progresif sebagai suatu pemahaman terhadap budaya.
Pantry (dalam Sturges, 2005) mengidentifikasikan 4
kompetensi yang dapat terhindari dari prejudis, miskonsepsi dan
ketidakmampuan dalam menghadapi kondisi masyarakat majemuk
yaitu: Kemampuan berkomunikasi (mendengarkan, menyimpulkan,

10
berinteraksi), Kemampuan proses (negosiasi, lobi, mediasi,
fasilitasi), Kemampuan menjaga informasi (penelitian, menulis,
multimedia), Kemampuan 6 memiliki kesadaran dalam informasi,
cara mengakses informasi, dan menggunakan informasi. Keempat
kompetensi tersebut memberikan peran penting dalam menghadapi
masyarakat yang multikultural dan juga penting bagi konselor dalam
kesadaran budaya.
Fowers & Davidov (Thompkins et al, 2006) mengemukakan
bahwa proses untuk menjadi sadar terhadap nilai yang dimiliki, bias
dan keterbatasan meliputi eksplorasi diri pada budaya hingga
seseorang belajar bahwa perspektinya terbatas, memihak, dan relatif
pada latar belakang diri sendiri.Terbentuknya kesadaran budaya
pada individu merupakan suatu hal yang terjadi begitu saja. Akan
tetapi melalui berbagai hal dan melibatkan beragam faktor
diantaranya adalah persepsi dan emosi maka kesadaran (awareness)
akan terbentuk.
Berdasarkan hal di atas, pentingnya nilai-nilai yang menjadi
faktor penting dalam kehidupan manusia akan turut mempengaruhi
kesadaran budaya (terhadap nilai-nilai yang dianut) seseorang dan
memaknainya. Penting bagi kita untuk memiliki kesadaran budaya
(cultural awareness) agar dapat memiliki kemampuan untuk
memahami budaya dan faktor-faktor penting yang dapat
mengembangkan nilainilai budaya sehingga dapat terbentuk
karakter bangsa.
b. Tingkat Kesadaran Budaya (cultural awareness)
Wunderle (2006) mengemukakan lima tingkat kesadaran budaya
yaitu:
a) Data dan information.
Data merupakan tingkat terendah dari tingkatan informasi secara
kognitif. Data terdiri dari signal-signal atau tanda-tanda yang

11
tidak melalui proses komukasi antara setiap kode-kode yang
terdapat dalam sistim, atau rasa yang berasal dari lingkungan
yang mendeteksi tentang manusia. Dalam tingkat ini penting
untuk memiliki data dan informasi tentang beragam perbedaan
yang ada. Dengan adanya data dan informasi maka hal tersebut
dapat membantu kelancaran proses komunikasi.
b) Culture consideration.
Setelah memiliki data dan informasi yang jelas tentang suatu
budaya maka kita akan dapat memperoleh pemahaman terhadap
budaya dan faktor apa saja yang menjadi nilai-nilai dari budaya
tertentu. Hal ini akan memberikan pertimbangann tentang
konsep-konsep yang dimiliki oleh suatu budaya secara umum
dan dapat memaknai arti dari culture code yang ada.
Pertimbangan budaya ini akan membantu kita untuk
memperkuat proses komunikasi dan interaksi yang akan terjadi.
c) Cultural knowledge.
Informasi dan pertimbangan yang telah dimiliki memang tidak
mudah untuk dapat diterapkan dalam pemahaman suatu budaya.
Namun, pentingnya pengetahuan budaya merupakan faktor
penting bagi seseorang untuk menghadapi situasi yang akan
dihadapinya. Pengetahuan budaya tersebut tidak hanya
pengetahuan tentang budaya orang lain namun juga penting
untuk mengetahui budayanya sendiri. Oleh karena itu,
pengetahuan terhadap budaya 7 dapat dilakukan melalui
pelatihan-pelatihan khusus. Tujuannya adalah untuk membuka
pemahaman terhadap sejarah suatu budaya. Ini termasuk pada
isu-isu utama budaya seperti kelompok, pemimpin, dinamika,
keutaman budaya dan keterampilan bahasa agar dapat
memahami budaya tertertu.

12
d) Cultural Understanding.
Memiliki pengetahuan tentang budaya yang dianutnya dan juga
budaya orang lain melalui berbagai aktivitas dan pelatihan
penting agar dapat memahami dinamika yang terjadi dalam
suatu budaya tertentu. Oleh karena itu, penting untuk terus
menggali pemahaman budaya melalui pelatihan lanjutan.
Adapun tujuannya adalah untuk lebih mengarah pada kesadaran
mendalam pada kekhususan budaya yang memberikan
pemahaman hingga pada proses berfikir, faktor-faktor yang
memotivasi, dan isu lain yang secara langsung mendukung
proses pengambilan suatu keputusan.
e) Cultural Competence.
Tingkat tertinggi dari kesadaran budaya adalah kompetensi
budaya. Kompetensi budaya berfungsi untuk dapat menentukan
dan mengambil suatu keputusan dan kecerdasan budaya.
Kompetensi budaya merupakan pemahaman terhadap
kelenturan budaya (culture adhesive). Dan hal ini penting karena
dengan kecerdasan budaya yang memfokuskan pemahaman
pada perencanaan dan pengambilan keputusan pada suatu situasi
tertentu. Implikasi dari kompetensi budaya adalah pemahaman
secara intensif terhadap kelompok tertentu.

13
Selain itu, Robert Hanvey menyebutkan 4 tingkat cross-cultural awareness
(Yan-li, 2007) yaitu:
 Awareness of superficial or visible cultural traits. Pada tingkat ini informasi
yang diperoleh oleh seseorang berasal dari media atau saat dia mengunjungi
suatu Negara atau daerah atau dari pelajaran di sekolah. Yan-li (2007)
menyatakan pada level ini pemahaman mereka hanya terlihat dari cirri yang
nampak danmereka jadikan sebagai pandangan streotipe terhadap budaya yang
tidak benar-benar mereka pahami.
 Awareness of significant and subtle cultural traits that others are different and
therefore problematic. Pada level ini seseorang mulai memahami dengan baik
tentang signifikansi dan ciri budaya yang sangat berbeda dengan caranya sendiri.
Hal ini terkadang menimbulkan frustrasi dan kebingungan sehingga terjadi
konflik dalam dirinya.
 Awareness of significant and subtle cultural traits that others are believable in
an intellectual way. Pada level ini seseorang sudah memahami secara signifikan
dan perbedaan budayanya dengan orang lain, namun pada level ini seseorang
sudah mampu untuk menerima budaya lain secara utuh sebagai manusia.
 Awareness of how another culture feels from the standpoint of the insider. Level
ini adalah level yang tertinggi dari cross-cultural awareness. Pada level ini
seseorang mengalami bagaimana perasaan yang dirasakan oleh budaya lain
melalui pandangan dari dalam dirinya. Hal ini melibatkan emosi dan juga
perilaku yang dilakukannya melalui pengalaman- pengalaman langsungnya
dengan situasi dan budaya tertentu seperti belajar bahasa, kebiasaan, dan
memahami nilai-nilai yang ada dalam budaya tersebut.

14
Berdasarkan tingkatan dari kesadaran budaya di atas, perlu bagi
konselor untuk memiliki pemahaman dalam menggunakan tingkatan-tingkatan
tersebut untuk memahami budaya. Tingkatan-tingkatan tersebut dapat
digunakan untuk menggambarkan aplikasi guna memahami fitur-fitur kunci
pada perbedaan budaya. Sehingga dapat diaplikasikan dengan menggunakan
teknik-teknik yang tepat untuk memahami dalam pelaksanaan konseling.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Di Indonesia tidak sedikit terdapat perbedaan nilai yang ada pada konselor
dan nilai-nilai yang dianut klien. Klien menganut nilai dari kehidupan keluarga
itupun masih sering terdapat kesenjangan dengan orang tuanya apalagi dengan
konselor yang merupakan orang asing bagi klien. Kesenjangan nilai bisa juga
terjadi karena antara konselor dan klien berasal dari latar kehidupan sosial yang
berbeda, tingkat sosial ekonomi, usia, agama, suku, jenis kelamin dan sebagainya.
Kesadaran Budaya Kesadaran budaya adalah kemampuan seseorang untuk melihat
ke luar dirinya sendiri dan menyadari akan nilai-nilai budaya, kebiasaan budaya
yang masuk.
Oleh karena itu perlu untuk memahami budaya yang berbeda dari dirinya
dan menyadari kepercayaannya dan adat istiadatnya dan mampu untuk
menghormatinya. Pada tingkat yang dasar, kesadaran budaya merupakan informasi,
memberikan makna tentang kemanusian untuk mengetahui tentang budaya.
Keempat kompetensi tersebut memberikan peran penting dalam menghadapi
masyarakat yang multikultural dan juga penting bagi konselor dalam kesadaran
budaya. Fowers & Davidov mengemukakan bahwa proses untuk menjadi sadar
terhadap nilai yang dimiliki, bias dan keterbatasan meliputi eksplorasi diri pada
budaya hingga seseorang belajar bahwa perspektinya terbatas, memihak, dan relatif
pada latar belakang diri sendiri.
Terbentuknya kesadaran budaya pada individu merupakan suatu hal yang
terjadi begitu saja. Berdasarkan hal di atas, pentingnya nilai-nilai yang menjadi
faktor penting dalam kehidupan manusia akan turut mempengaruhi kesadaran
budaya seseorang dan memaknainya. Penting bagi kita untuk memiliki kesadaran
budaya agar dapat memiliki kemampuan untuk memahami budaya dan faktor-
faktor penting yang dapat mengembangkan nilainilai budaya sehingga dapat
terbentuk karakter bangsa.

16
B. Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan kami menyadari bahwa
makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kami mengharapkan saran dari
pembaca guna kelengkapan isi makalah agar dapat mendekati kesempurnaan.

17
DAFTAR PUSTAKA

https://www.materikonseling.com/2021/03/perspektif-etik-dan-emik-dalam.html
http://silkyayu.blogspot.com/2017/12/hambatan-konseling-lintas-budaya.html
https://bkpemula.files.wordpress.com/2011/12/07-
fatchiah_kertamuda_prosiding_konselor_dan_ulture_awareness.pdf
https://www.bola.com/ragam/read/4433932/pengertian-rasisme-sejarah-penyebab-
dan-cara-menghindarinya

18

Anda mungkin juga menyukai