Anda di halaman 1dari 42

SOCIAL SKILL FOR EARLY CHILD SCHOOL (PAUD/TK)

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Social Skill

Dosen Pengampu:

Dr. Pargito, M.Pd.

Disusun Oleh Kelompok 1 Kelas A (Ganjil):

1. 2113034003 Lian Nurhaliza


2. 2113034011 Sanda Dara Saskia
3. 2113034013 Dela Dwi Putri Gumay
4. 2113034019 Rizka Dwi Dayanti
5. 2113034035 Windy Isabela Marito S.
6. 2113034043 Dwita Ramadhona
7. 2113034045 Nova Arum Palupi
8. 2113034049 Yunita Safitri
9. 2113034071 Uswatun Hasanah
10. 2113034079 Khatami Hammam
11. 2113034083 Bhita Septiana Sari

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “SOCIAL SKILL FOR EARLY CHILD SCHOOL
(PAUD/TK)” dengan tepat waktu. Makalah ini disusun dengan harapan dapat menambah
pengetahuan dan wawasan mengenai pengaplikasian social skill pada anak usia dini di dalam
kehidupan sehari - hari. Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Pargito, M.Pd. selaku dosen pengampu pada mata kuliah Social Skill.
2. Kedua orang tua kami, yang telah memberikan semangat dan kasih sayang.
3. Rekan-rekan mahasiswa-mahasiswi semester 3 (tiga) yang telah membantu dalam
berjalannya perkuliahan.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kritik
dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Harapan kami,
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami pribadi dan pembaca.

Bandarlampung, 07 Oktober 2022

Tim Penyusun

DAFTAR ISI

i
KATA PENGANTAR............................................................................................................ i

DAFTAR ISI........................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang..................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah................................................................................................ 2

1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................................. 2

1.4 Manfaat Penulisan................................................................................................ 2

BAB II KAJIAN PUSTAKA................................................................................................. 4

2.1 .............................................. 4

2.2 ................................................................................................. 5

BAB III PEMBAHASAN...................................................................................................... 6

3.1 ............................................................ 6

3.2 ............................. 11

3.3 ......... 13

3.4 .................. 14

3.5 .............................................................................. 16

3.6 ....................... 24

BAB IV PENUTUP............................................................................................................... 25

4.1 Kesimpulan......................................................................................................... 25

4.2 Saran................................................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR GAMBAR

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan memiliki peranan penting dalam kemajuan dan kelangsungan


suatu bangsa dan negara. Di negara-negara maju, pendidikan sangat diperhatikan
sehingga banyak yang sekolah sesuai dengan karakter dan kebutuhan perkembangan
zaman. Hal ini sudah kita ketahui bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi setiap detik
memiliki perubahan yang dapat dikatakan memiliki pengaruh bagi setiap segi
kehidupan manusia. Oleh karena itu, pendidikan harus diarahkan dengan upaya
pembentukan manusia yang tanggap terhadap lingkungan dan peka terhadap
perubahan.

Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang dilaksanakan


secara terus menerus dan berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran dan berbagai faktor yang berkaitan dengannya, dengan arah agar tujuan
pendidikan dapat dicapai secara efektif dan lebih efisien. Menurut Zamroni program
peningkatan kualitas pendidikan adalah tercapainya tujuan pendidikan nasional secara
substantif, yang diwujudkan dalam kompetensi yang utuh pada diri peserta didik,
meliputi kompetensi akademik atau modal intelektual, kompetensi sosial atau modal
sosial dan kompetensi moral atau modal moral (Aman, 2011: 3). Ketiga modal dasar
ini merupakan kekuatan yang diperlukan oleh setiap bangsa agar mampu bersaing di
era global.

Sosiologi ditinjau dari sifatnya digolongkan sebagai ilmu pengetahuan murni


(pure science) bukan ilmu pengetahuan terapan (applied science). Pembelajaran
sosiologi dimaksudkan untuk memberikan kompetensi kepada peserta didik dalam
memahami konsep-konsep sosiologi seperti sosialisasi, kelompok sosial, struktur
sosial, lembaga sosial, perubahan sosial, dan konflik sampai pada terciptanya integrasi
sosial. Sosiologi mempunyai dua pengertian dasar yaitu sebagai ilmu dan sebagai
metode. Sebagai ilmu, sosiologi merupakan kumpulan pengetahuan tentang
masyarakat dan kebudayaan yang disusun secara sistematis berdasarkan analisis
berpikir logis. Sebagai metode, sosiologi adalah cara berpikir untuk mengungkapkan

1
realitas sosial yang ada dalam masyarakat dengan prosedur dan teori yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dalam kedudukannya sebagai sebuah disiplin
ilmu sosial yang sudah relatif lama berkembang di lingkungan akademika, secara
teoretis sosiologi memiliki posisi strategis dalam membahas dan mempelajari
masalah-masalah sosial-politik dan budaya yang berkembang di masyarakat dan
selalu siap dengan pemikiran kritis dan alternatif menjawab tantangan yang ada.

Pada makalah ini yang akan dibahas yaitu social skill pada ilmu sosiologi.
Dimana IPS atau studi sosial itu merupakan bagian dari kurikulum sekolah yang
diturunkan dari isi materi cabang-cabang ilmu-ilmu sosial: sosiologi, sejarah,
geografi, ekonomi, politik, antropologi, filsafat, dan psikologi sosial. Tujuan utama
Ilmu Pengetahuan Sosial ialah untuk mengembangkan sosial skill dari para siswanya
yaitu keterampilan yang diasah atas dasar kepekaan terhadap masalah sosial yang
terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala
ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-
hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Untuk
mengetahui keterampilan sosial apa yang bisa dibentuk dan dilihat dari anak usia dini
(PAUD/TK), maka kelompok kami membuat makalah dengan judul “SOCIAL SKILL
FOR EARLY CHILD SCHOOL (PAUD/TK)”.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa definisi social skill?

1.2.2 Apa definisi Pendidikan Anak Usia Dini?

1.2.3 Apa definisi social skill Pendidikan Usia Dini?

1.2.4 Apa karakteristik dan kemampuan interpersonal anak usia dini?

1.2.5 Apa social skill yang harus dimiliki for Early Child School (PAUD/TK)?

1.2.6 Apa faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial pada anak usia

dini?

1.2.7 Bagaimana penerapan social skill pada program pengembangan indikator

capaian belajar di PAUD/TK?

2
1.2.8 Bagaimana peran guru PAUD/TK dalam pembentukan dan pengembangan

social skill pada pembelajaran PAUD/TK?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Menjelaskan definisi social skill.

1.3.2 Menjelaskan definisi Pendidikan Anak Usia Dini.

1.3.3 Menjelaskan definisi social skill Pendidikan Usia Dini.

1.3.4 Menjelaskan karakteristik dan kemampuan interpersonal anak usia dini.

1.3.5 Menjelaskan social skill yang harus dimiliki for Early Child School
(PAUD/TK).

1.3.6 Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial pada anak

usia dini.

1.3.7 Menjelaskan penerapan social skill pada program pengembangan indikator

capaian belajar di PAUD/TK.

1.3.8 Menjelaskan peran guru PAUD/TK dalam pembentukan dan pengembangan

social skill pada pembelajaran PAUD/TK.

1.4 Manfaat Penulisan

Penulisan makalah ini bermanfaat untuk penulis maupun pembaca. Makalah


ini bisa digunakan sebagai literatur belajar social skill untuk anak usia dini
(PAUD/TK). Agar kita sebagai calon guru dan calon orang tua di masa depan dapat
mengetahui bagaimana cara mengembangkan keterampilan sosial sejak dini atau sejak
kecil.

3
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Social Skill (Keterampilan Sosial)

2.1.1 Pengertian Keterampilan Sosial

Keterampilan sosial (social skills) merupakan bagian penting dari


kemampuan hidup manusia. Tanpa memiliki keterampilan ini manusia tidak
mulus dalam berinteraksi dengan orang lain, sehingga hidupnya kurang
harmonis. Keterampilan sosial dijelaskan Cartledge dan Milburn (1992 : 8)
sebagai kemampuan seseorang atau warga masyarakat dalam mengadakan
hubungan interaksi dengan orang lain dan kemampuan memecahkan masalah,
sehingga memperoleh adaptasi yang harmonis di masyarakat maupun
lingkungan sekolah (Subqi Imam, 2015).

Keterampilan sosial sangat diperlukan ketika siswa memasuki


kelompok sebaya. Beberapa fakta menunjukan siswa dengan keterampilan
sosial rendah uumumnya tidak disukai, dikucilkan, atau diabaikan oleh teman-
teman. Siswa yang sering kali mengalami kegagalan dalam lingkungannya,
akan mendapatkan penilaian negatif dari lingkungannya, demikian juga siswa
yang tidak mempunyai keterampilan sosial akan sulit mempertahankan dan
menjalin hubungan dengan lain, perilakunya sering kali merugikan diri
sendiri dan orang lain sehingga menimbulkan reaksi negatif dari teman-teman
lain.

Keterampilan sosial dapat membawa anak untuk lebih berani


menyatakan diri, mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan yang
dihadapi dan sekaligus menemukan penyelesaian yang adaptif, sehingga
mereka tidak mencari pelarian ke hal-hal lain yang justru dapat merugikan diri
sendiri dan orang lain (Subqi Imam, 2015).

Beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa keterampilan


sosial adalah suatu kehidupan manusia dalam segala aktifitas yang dilakukan
dapat terterima secara baik dilingkuungan sosial mereka.

4
2.2.2 Aspek-aspek Keterampilan Sosial

Menurut Jhon Jarolimek (1993 : 9), keterampilan sosial yang perlu


dimiliki oleh siswa tersebut yakni :

a. Bekerja sama, toleransi, menghormati hak-hak orang lain, dan memiliki


kepekaan sosial.
b. Memiliki kontrol diri.
c. Berbagi pendapat dan pengalaman dengan orang lain. Pernyataan
Jaromelik tersebut menunjukkan bahwa keterampilan sosial itu terdiri dari
aspek-aspek keterampilan untuk hidup dan bekerjasama, keterampilan
untuk mengontrol diri dan orang lain, kerampilan untuk saling berinteraksi
antara satu dengan yang lainnya, saling bertukar pikiran dan pengalaman
sehingga tercipta suasana yang menyenangkan bagi setiap anggota dari
kelompok tersebut. Maka untuk meningkatkan keterampilan sosial tersebut
diperlukan berbagai aspek-aspek keterampilan sosial, menurut janice.

J Beaty (1998 : 147) menyebutkan bahwa keterampilan sosial mencakup


perilaku-perilaku sebagai berikut :

a. Empati yang didalamnya anak-anak mengekspresikan rasa haru dengan


memberikan perhatian kepadaseseorang yang sedang tertekan karena suatu
masalah dan mengungkapkan perasaan orang lain yang sedang mengalami
konflik sebagai bentuk bahwa anak menyadari perasaan yang dialami
orang lain.
b. Kemurahan hati atau kedermawaan yang didalamnya anak-anak berbagi
dan memberikan suatu barang miliknya pada seseorang.
c. Kerjasama yang di dalamnya anak-anak mengambil giliran atau bergantian
dan menuruti perintah secara sukarela tanpa menimbulkan pertengkaran.
d. Memberi bantuan yang didalamnya anak-anak membantu seseorang untuk
melengkapi suatu tugas dan membantu seseorang yang membutuhkan.

5
2.2 Pendidikan Anak Usia Dini

2.2.1 Pengertian Pendidikan Anak Usia Dini

Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum


jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang
ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang
dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki
kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada
jalur formal, nonformal, dan informal (Sisdiknas).

Pendidikan Anak Usia Dini merupakan program pendidikan yang


dilakukan bagi anak sejak berusia 0 hingga memasuki usia dasar. Di
Indonesia, rentang usia PAUD 0-6 Tahun. Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak
lahir hingga usia enam tahun, dilakukan melalui pemberian rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan
rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Pendidikan anak usia dini memiliki pengembangan sesuai tahap
perkembangan usia anak tersebut (Herdina, 2016: 105).

Peneliti menyimpulkan dari pemaparan diatas bahwa PAUD memiliki


arti penting, karena di dalamnya terkandung unsur pendidikan, pengasuhan,
dan pengembangan potensi anak yang secara langsung terkait dengan orang
tua, keluarga, dan masyarakat. Karena pendidikan anak usia dini merupakan
pendidikan dasar untuk memberikan pondasi pada anak di awal masa
perkembangannya sesuai tahap dan kemampuannya. PAUD adalah salah satu
upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia
enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk
membantu pendidikan jasmani dan rohani anak agar anak memiliki kesiapan
dalam memasuki pendidikan yang lebih lanjut.

6
2.2.2 Landasan Penyelenggaraaan PAUD

Penyelenggaraan PAUD harus didasari dengan beberapa landasan


diantaranya: Landasan Yuridis: Berdasarkan Undang- Undang Nomer ⁵ Tahun
1989, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia yang seutuhnya, yaitu
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha Esa, dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantab dan mandiri serta rasa tanggung
jawab kemasyarakatan dan berkebangsaan.

Selanjutnya Pasal 28b Ayat 2 dan Pasal 28c Ayat 2 yang didalamnya
tertulis bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan, berhak untuk
tumbuh dan berkembang serta mendapatkan perlindungan dari diskriminasi,
maka penyelenggaraan PAUD tersebut telah diatur pada Undang-Undang
sehingga memiliki tujuan yuridis yang berdasar demi memajukan pendidikan
anak usia dini (Herdina, 2016: 105).

Selanjutnya berdasarkan UU No: 20 Tahun 2003, tentang Sistem


Pendidikan Nasional, Bab 1, Pasal 1, Butir 14 dinyatakan, bahwa Pendidikan
Anak Usia Dini adalah salah satu upaya pembinaan yang ditujukan kepada
anak sejak lahir hingga usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian
rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhannya. Adapun Pasal 28
yang menjelaskan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini diselenggarakan
sebelum memasuki sekolah dasar, Pendidikan Anak Usia Dini dapat
diselenggarakan melalui jalur formal/ non formal, atau informal. Selanjutnya
yang terdapat pada UU. No: 23 Tahun 2002, Pasal 9 ayat 1 tentang
Perlindungan Anak dinyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh
pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan minat pendidikan
dan pengajaran dalam rangka mengembangkan pribadinya berdasarkan minat
dan bakatnya.

Selanjutnya Landasan Filosofis, dan Religi, berdasarkan aspek


pedagogis, masa usia dini merupakan masa peletak dasar atau pondasi awal
bagi pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya. Artinya, masa kanal-kanak
yang bahagia merupakan bagi keberhasilan dimasa datang dan sebaliknya.

7
Untuk itu, agar pertumbuhan dan perkembangan tercapai secara optimal, maka
dibutuhkan situasi dan kondisi yang kondusif pada saat memberikan simulasi
dan upaya pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak yang berbeda satu
dengan yang lainnya, karena penyelenggaraan pendidikan anak usia dini harus
disesuaikan dengan tahap usia anak (Herdina, 2016:105).

Selanjutnya landasan Keilmuan, PAUD dibangun bersifat isomorfis,


artinya kerangka keIlmuan PAUD dibangun dari interdisiplin ilmu, antara lain
psikologi, fisologi, ilmu pendidikan anak (pedagogie), sosiologi, antropologi,
humaniora, managemen, kesehatan, gizi, serta neurosains. Landasan keilmuan
merupakan syarat mutlak PAUD sehingga dalam mengenal serta memahami
dunia anak pendidik tidak mengalami kesulitan. (Herdina, 2016:106).

Berdasarkan ilmu filsafat landasan ontologi anak sebagai makhluk


individu yang memiliki aspek biologis, psikologis, sosiologis, dan
antropologis. Adapun secara epistemologis, pembelajaran pada anak usia dini
harus menggunakan konsep belajar sambil bermain (Learning by Playing),
belajar dengan berbuat (learning by doing), belajar melalui simulasi (Learning
by Simulating) (Herdina, 2016:107). Selanjutnya secara aksiologis pendidikan
haruslah benar, dalam isi kurikulum dapat dipertanggungjawabkan dalam
rangka optimalisasi potensi anak dan berhubungan dengan nilai seni,
keindahan, keselarasan, yang mengarah pada kebahagiaan dalam kehidupan
anak sesuai dengan akar budaya (estetika). Serta nilai-nilai agama yang
dianutnya.

Berdasarkan pemaparan diatas peneliti menyimpulkan bahwa landasan


yuridis, filosofis, keilmuan, dan ilmu filsafat dapat ditelaah bahwa landasan
pada penyelenggaraan PAUD harus kuat sehingga berdasarkan hukum
Undang-undang, dasar agama, dasar pendidikan (pedogogie), dan kerangka
keilmuan PAUD memiliki acuan, sehingga kebijakan PAUD memiliki
landasan mendidik anak dalam menyelenggarakan pendidikan anak usia dini,
dan demi memberikan pendidikan yang menyenangkan dengan merangkum
seluruh enam aspek perkembangan pada usia dini.

8
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Definisi Social Skill

Keterampilan sosial (social skills) merupakan bagian penting dari kemampuan


hidup manusia. Tanpa memiliki keterampilan sosial manusia tidak dapat berinteraksi
dengan orang lain yang ada dilingkungannya karena keterampilan sosial dibutuhkan
dalam hidup bermasyarakat. Keterampilan sosial menurut wikipedia (2007) yaitu
keterampilan sosial adalah keterampilan yang digunakan untuk berinteraksi dan
berkomunikasi dengan orang lain sesuai peran dalam struktur sosial yang ada. Cara
berkomunikasi tersebut diciptakan, dikomunikasikan, serta dilakaukan secara verbal
dan nonverbal dalam kompleksitas sosial untuk mengetahui tingkat kecerdasan emosi
seseorang. Adapun proses pembelajaran keterampilan ini dinamakan sosialisasi.
Definisi keterampilan sosial menurut Comb dan Slaby (1977: 162) sebagai
berikut: “The social skill is the ability to interact with others in a given social context
in specific ways that are socially acceptable or valued at the same time persobality
benefecial, manually benefecial, or benefecial primary to others”. Artinya,
Keterampikan sosial merupakan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain
dalam satu konteks sosial dengan suatu cara yang spesifik yang secara sosial dapat
diterima atau diniai dan menguntungkan orang lain.
Menurut Sjamsuddin dan Maryani (2008 : 6), keterampilan sosial adalah suatu
kemampuan secara cakap yang tampak dalam tindakan, mampu mencari, memilah
dan mengelola informasi, mampu mempelajari hal-hal baru yang dapat memecahkan
masalah sehari-hari, mampu memiliki keterampilan berkomunikasi baik lisan maupun
tulisan, memahami, menghargai, dan mampu bekerjasama dengan orang lain yang
majemuk, mampu mentranformasikan kemampuan akademik dan beradaptasi dengan
perkembangan masyarakat.
Definisi keterampilan sosial menurut Bellack and Hersen (1977 : 145) “Social
skills as individual’s ability to express both positive and negative feelings in the
interpersonal context without suffering consequent loss of social reinforcement in a
large variety of interpersonal contexts (inolving) the coordinated delivery of
appropriate verbal and non verbal response.” Artinya, keterampilan sosial

9
mempunyai makna sebagai kemampuan individu dalam mengungkapkan perasaan
baik perasaan positif maupun perasaan negatif dalam hubungannya dengan orang lain
tanpa kehilangan penguatan sosial dan dalam berbagai ragam hubungan dengan orang
lain yang mencakup respon verbal dan non verbal.
Keterampilan sosial menurut Morgan (1980 : 104) mengatakan bahwa “Social
skill as the ability to achieve the objecttives that a person has for interacting with
others the more frequent, or the greater the extent to wich a person achieves his
objectives in interacting with other, the more skilled we would judge his to be.”
Artinya, keterampilan sosial merupakan kemampuan untuk mencapai tujuan yang
dimiliki seseorang melalui hubungan dengan orang lain. Hubungan dengan orang lain
tersebut merupakan sarana dalam mencapai tujuan hidup seseorang. Seseorang yang
terampil berhubungan dengan orang lain, maka ia akan lebih berhasil dalam mencapai
tujuannya.
Keterampilan sosial menurut Mu’tadin, Zainun (2006) adalah kemampuan
atau kecakapan yang dimiliki seseorang untuk menyesuaikan diri dan berinteraksi
dengan lingkungannya yang meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan
dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, memberi dan menerima
kritik yang diberikan orang lain.
Menurut Junice.J. Beaty (dalam Moerdani,1992) mengatakan bahwa
keterampilan sosial disebut juga pro social behaviour yang mencakup perilaku
seperti:
a) Empati yang di dalamnya anak-anak mengekspresikan rasa haru dengan
memberikan perhatian kepada seseorang yang sedang tertekan karena suatu
masalah dan mengungkapkan perasaan orang lain yang sedang mengalami konflik
sebagai bentuk bahwa anak menyadari perasaan orang lain.
b) Kemurahan hati atau dermawan di dalamnya anak-anak berbagi dan memberikan
suatu barang miliknya pada seseorang.
c) Kesadaran yang di dalamnya anak-anak mengambil giliran atau bergantian dan
dapat memenuhi perintah secara sukarela tanpa menimbulkan pertengkaran
d) Memberi bantuan yang di dalamnya anak-anak membantu orang lain untuk
melengkapi suatu tugas dan membantu orang lain yang membutuhkannya.

Keterampilan sosial merupakan kemampuan untuk mengadakan komunikasi satu


individu dengan individu yang lain seperti; perilaku yang berorientasi pada tugas
10
yaitu: kemampuan untuk mengambil tanggung jawab, untuk bekerja dan bekerjasama
dalam kelompok, menjadi kreatif dalam bekerja, dan berusaha untuk mendapat
kualitas dalam bekerja. Pada hakekatnya keterampilan sosial dapat dikembangkan dan
dimanifestasikan dalam interaksional.

3.2 Definisi Pendidikan Anak Usia Dini

Anak usia dini memiliki batasan usia tertentu, karakteristik yang unik, dan
berada pada suatu proses perkembangan yang sangat pesat dan fundamental bagi
kehidupan berikutnya. Selama ini orang dewasa mengidentikkan anak usia dini
sebagai orang dewasa mini, masih polos dan belum bisa berbuat apa-apa karena
belum mampu berpikir. Pandangan ini berdampak pada pola perlakuan yang diberikan
pada anak, antara lain sering memperlakukan anak sebagaimana orang dewasa. Saat
mendidik atau membimbing anak dipaksa mengikuti pola pikir dan aturan orang
dewasa. Namun, seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan banyaknya
studi tentang anak usia dini, orang dewasa semakin memahami bahwa anak usia dini
bukanlah orang dewasa mini, dan berbeda dengan orang dewasa.
National Association for the Education of Young Children (NAEYC) yaitu
asosiasi para pendidik anak yang berpusat di Amerika, mendefinisikan rentang usia
anak usia dini berdasarkan perkembangan hasil penelitian di bidang psikologi
perkembangan anak yang mengindikasikan bahwa terdapat pola umum yang dapat
diprediksi menyangkut perkembangan yang terjadi selama 8 tahun pertama kehidupan
anak. NAEYC membagi anak usia dini menjadi 0-3 tahun, 3-5 tahun, dan 6-8 tahun.
Menurut definisi ini anak usia dini merupakan kelompok manusia yang berada pada
proses pertumbuhan dan perkembangan. Hal ini mengisyaratkan bahwa anak usia dini
adalah individu yang unik yang memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan fisik,
kognitif, sosio-emosional, kreativitas, bahasa dan komunikasi yang khusus sesuai
dengan tahapan yang sedang dilalui oleh anak tersebut.
Beberapa ahli pendidikan anak usia dini mengategorikan anak usia dini
sebagai berikut: (1) kelompok bayi (infancy) berada pada usia 0-1 tahun, (2)
kelompok awal berjalan (toddler) berada pada rentang usia 1-3 tahun, (3) kelompok
pra-sekolah (preschool) berada pada rentang usia 3-4 tahun, (4) kelompok usia
sekolah (kelas awal SD) berada pada rentang usia 5-6 tahun, (5) kelompok usia
sekolah (kelas lanjut SD) berada pada rentang usia 7-8 tahun. Namun, ada juga yang

11
membagi rentang masa anak usia dini berdasarkan penelitian perkembangan motorik
halus, motorik kasar, sosial, dan kognitif serta perkembangan perilaku bermain dan
minat permainan. Sementara itu terdapat enam tahap perkembangan anak usia dini
menurut Bronson, yaitu (1) young infants (lahir hingga usia 6 bulan); (2) older infants
(7 hingga 12 bulan); (3) young toddlers (usia satu tahun); (4) older toddlers (usia 2
tahun); (5) prasekolah dan kindergarten (usia 3 hingga 5 tahun); serta (6) anak sekolah
dasar kelas rendah atau primary school (usia 6 hingga 8 tahun).
Anak usia dini, dilihat dari rentang usia menurut Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ialah anak sejak lahir sampai usia
enam tahun. Anak usia dini menurut undang-undang ini berada pada rentang usia lahir
sampai usia taman kanak-kanak. Menurut UU Pendidikan No.2 Tahun 1989 yang
disebut pendidikan adalah usaha secara sadar yang dilakukan oleh seseorang untuk
membantu bagi yang belum dewasa ke arah dewasa. Sedangkan pengertian anak usia
dini atau pra TK adalah anak kecil yang usia atau numurnya 3-4 tahun. Menurut
Marimba menyatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara
sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani atau rohani anak didik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama. Jadi pendidikan adalah berbagai usaha sadar
yang dilakukan oleh seseorang (pendidik) terhadap seseorang (anak didik) agar
tercapai perkembangan yang maksimal (positif). Usaha itu banyak macamnya, satu di
antaranya adalah dengan cara pengajaran, yaitu mengembangkan pengetahuan dan
keterampilannya.
Selain itu, pendidikan juga dapat ditempuh melalui usaha lain, yakni dengan
memberi contoh (teladan) agar ditiru, memberi pujian dan hadiah, mendidik dengan
cara membiasakan dan lain-lain yang tak terbatas jumlahnya. Menurut pengertian
umum pendidikan adalah tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun
maksud pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-
anak itu sendiri, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat
mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Dengan demikian
pengertian pendidikan anak usia pra TK adalah suatu usaha yang dilakukan secara
sadar yang diberikan pendidik kepada anak didik (anak usia 3-4 tahun) yang berguna
untuk memajukan perkembangan budi pekerti dan jasmani anak serta sebagai
persiapan (bekal ) pendidikan formal selanjutnya.
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang
ditujukan kepada anak sejak dini usia yang dilakukan melalui pembinaan rangsangan
12
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani
agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan dasar dalam kehidupan
tahap berikutnya. Pengembangan anak usia dini adalah suatu bentuk layanan
pendidikan bagi anak usia 3-6 tahun yang berfungsi untuk membantu meletakkan
dasar-dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan bagi anak usia dini dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan
untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya, sehingga siap memasuki
pendidikan dasar, dengan upaya yang dilakukan oleh masyarakat dan atau pemerintah
untuk memebantu anak usia dini dalam pengembangan potensinya secara holistik baik
aspek pendidikan, gizi maupun kesehatan.
Dengan acuan pembelajaran seperangakat rencana dan pengaturan kegiatan
pengembangan dan pendidikan yang dirancang sebagai pedoman dalam
menyelenggarakan kegiatan pendidikan, dengan wahana pendidikan dan pembinaan
kesejahteraan anak yang berfungsi sebagai pengganti keluarga untuk jangka waktu
tertentu selama orang tuanya berhalangan atau tidak memiliki waktu yang cukup
dalam mengasuh anaknya karena kerja atau sebab lain.

3.3 Definisi Social Skill Pendidikan Anak Usia Dini

Keterampilan sosial berasal dari dua kata yakni keterampilan dan sosial.
Keterampilan adalah suatu keahlian ataupun kemampuan yang dimiliki oleh seorang
individu dalam melakukan suatu perbuatan motorik secara kompleks dengan benar
dan baik. Selanjutnya sosial ialah kata yang berasal dari kata societis yang artinya
masyarakat, lebih lanjut sosial juga berasal dari bahasa latin yaitu socius yang berarti
teman dan hubungan antar manusia dalam lingkup masyarakat atau lingkungan sekitar
(Musfhi, 2017).
Dalam pengertian lain keterampilan sosial adalah suatu bentuk prilaku,
perbuatan serta sikap individu yang ditampilkan kepada individu lain saat melakukan
proses interaksi baik yang dilakukan secara verbal maupun secara non verbal (Tuti
Istianti, 2015). Lebih lanjut keterampilan sosial merupakan suatu keahlian bergaul
yang dimiliki oleh seorang atau individu untuk mampu berinteraksi dengan
lingkungan sekitar yang meliputi kemampuan dalam berkomunikasi, beradaptasi
dengan lingkungan, menghargai orang lain serta menerima kritikan atau masukan dari
orang lain (Diana, 2018:39-34). Sejalan dengan pendapat diatas keterampilan sosial

13
adalah suatu kesatuan yang terdiri dari kemampuan berinteraksi, berkomunikasi
dengan baik, kemampuan untuk menampilkan prilaku yang baik serta mampu
menjalin hubungan baik dengan lingkungan sekitar sesuai yang diharapkan oleh sosial
(Fitriah, 2017).
Jadi bisa disimpulkan bahwa keterampilan sosial merupakan suatu
keterampilan individu yang dimiliki dalam melaksanakan proses sosialisasi atau
interaksi dengan individu lain baik secara verbal atau non verbal seperti komunikasi,
beradaptasi di dalam masyarakat.
Oleh karena itu keterampilan sosial begitu penting dalam kehidupan anak
untuk membentuk kepribadiannya agar anak memiliki sebuah nilai positif dalam
dirinya serta sebagai modal utama untuk hidup di lingkungan atau masyarakat tempat
ia tinggal. Keterampilan sosial anak dapat diperoleh melalui interaksinya dengan
masyarakat atau lingkungan. Apabila anak mampu beradaptasi dalam lingkungan
tersebut dengan baik maka akan berdampak positif bagi kehidupan anak tersebut.
Jarolimek dalam Neli Yulianti & dkk (2016: 84-91) berpendapat bahwa ada
beberapa keterampilan sosial yang hendak dimiliki oleh anak usia dini meliputi,
Pertama, living and working to gether, kedua, learning self-control and self-direction,
ketiga, sharing ideas and experience with other. Artinya ialah dalam keterampilan
sosial anak hendaknya memiliki aspek keterampilan hidup dan berkerjasama,
keterampilan untuk mengontrol diri dengan orang lain, keterampilan untuk saling
berinteraksi antara satu dengan yang lainnya dan saling bertukar pikiran serta
pengalaman sehingga terciptanya suasana yang menyenanagkan.
Adapun ciri-ciri keterampilan sosial menurut Elksnin meliputi (1) prilaku
interpersonal, artinya prilaku yang ditunjukan kepada orang lain saat melakukan
interaksi sosial. (2) prilaku interapersonal, artinya kemampuan diri anak dalam dalam
menjalankan interaksi sosial. (3) prilaku akademis, tingkah laku anak yang
berhubungan dengan akademis seperti keterampilan sosial yang dapat mendukung
prestasi belajar. Dan (4) Peer accaptace, tingkah laku anak yang berhubungan dengan
sikap serta kemampuan berkomunikasi dengan teman sebabayanya (Musfhi, 2017).
Tidak jauh berbeda dengan pendapat diatas Gresham & Reschly menyatakan bahwa
ciri-ciri keterampilan sosial ialah meliputi (1) prilaku interpersonal yaitu prilaku yang
berhubungan dengan keterampilan saat melakukan interaksi sosial, (2) prilaku yang
berhubungan dengan diri sendiri, artinya tingkah laku seseorang yang mampu
mengatur diri sendiri dalam situasi sosial seperti mampu keluar dari keadaan stress
14
dan memngontrol kemarahannya, (3) prilaku yang berhubungan dengan akademis,
prilaku ini merupakan sebuah prilaku yang mampu memberikan dorongan serta
dukungan seseoarang dalam aspek akademis, (4) penerimaan teman sebaya, hal
semacam ini biasanya didasarkan pada setiap individu yang memiliki kemampuan
sosial yang rendah dan cendrung ditolak oleh teman-teman sebayanya, dikarenakan
tidak mampu bergaul dengan baik, dan (5) keterampilan berkomunikasi. keterampilan
ini merupakan keterampilan yang sangat urgen dimiliki oleh anak dikarenakan dengan
adanya kemampuan sosial seperti ini anak akan lebih mudah dalam beriteraksi dengan
orang lain (Firiah, 2017).
Diantara ciri-ciri keterampilan sosial anak diatas terdapat juga bentuk-bentuk
daripada keterampilan sosial anak. Hurlock menyatakan bahwa terdapat beberapa
bentuk keterampilan sosial meliputi (1) Kerjasama, (2) Kemurahan hati, (3)
Persaingan, (4) Hasrat dan penerimaan sosial, (5) Simpati, (6) Ketergantungan, (7)
Empati, (8) Sikap ramah, (9) Sikap tidak memntingkan diri sendiri, (10) Meniriu, dan
(11) Prilaku kelekatan (Intan Larasati, 2017).
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya keterampilan sosal anak tidak bisa
hanya dinilai dari pribadi anak tersebut melainkan perlu diperhatikan dari luar diri
anak juga. Maka penting untuk mengetahui hal-hal yang mempengaruhi keterampilan
sosial anak. Dengan adanya perhatian serta penilaian terhadap keterampilan sosial
anak maka akan berdampak baik terhadap perkembangan anak. Dalam hal ini faktor-
faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial anak antara lain ialah faktor internal,
faktor eksternal dan faktor internal eksternal. (Nur Bani, 2015).
Adapun faktor internal menurutnya ialah faktor yang dimiliki oleh setiap
individu yang lahir kedunia meliputi kecerdasan, bakat khusus, jenis kelamin serta
sifat-sifat kepribadiannya. Sedangkan faktor eksternal ialah sesuatu yang dihadapi
oleh setiap individu pada waktu setelah anak dilahirkan yang dipengaruhi oleh
keluarga, sekolah, lingkungan dan masyarakat. Kemudian faktor internal eksternal
ialah faktor yang memadukan antara faktor dalam dan luar yang mencakup kebisaan,
sikap, emosi dan kepribadian anak.
Sejalan dengan pendapat diatas sebuah penelitian yang dilakukan oleh Davies
dan Forysth bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial yaitu
keluarga dan lingkungan (Fitriah, 2017). Undang-undang Nomor 23 tahun 2002
tantang perlindungan anak menjelaskan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam
masyarakat yang terdiri dari suami, istri, anak, atau keluarga sedarah dalam garis
15
lurus ke atas, atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga (UUD No.23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan anak). Menurut Partini (2010:55) keluarga merupakan sekolah
pertama bagi anak. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa anak sejak awal lahir ke dunia
bagaikan kertas putih tanpa goresan sedikitpun, dan akan terpengaruhi oleh orang-
orang yang terdekatnya yaitu keluarga.
Lebih lanjut Suyadi (2013:149-150) mengatakan keluarga sebagai rumah yang
merupakan pendidikan pertama bagi anak. Hal ini tentunya sangat berpengaruh
terhadap anak tersebut. Dipertegas kembali bahwa dalam keluarga ataupun rumah
bukan hanya orang tua yang akan memberikan pendidikan kepada anak melainkan
juga kakek, nenek, serta saudara-sadarinya yang lebih dewasa.
Dalam perkembangan anak khususnya perkembangan sosialnya akan
terpengaruh oleh keadaan keluarga tempat ia tinggal, maka hal yang paling penting
untuk diperhatikan oleh keluarga ialah menciptakan suasana yang harmonis,
demokratis dalam keluarga agar supaya anak-anak dapat menjalin komunikasi dengan
baik bersama keluarganya.
Selanjutnya ialah faktor lingkungan. Dalam perkembangan anak lingkungan
merupakan aspek yang sangat mempengaruhi keterampilan anak. Sejak anak lahir
anak sudah berada di lingkungan tempat ia tinggal. Sehingga penting sekali anak-anak
untuk diperkenalkan dengan lingkungan yang sehat, bersih, nyaman, bagus serta
positif. Hal ini dikarenakan berkaitan dengan hukum, aturan serta tradisi-tradisi yang
ada dalam masyarakat tersebut. Apabila semakin maju lingkungan tersebut maka
secara tidak langsung akan berdampak bagi perkembangan anak, pun sebaliknya
apabila kurang bagus akan berdapak pula terhadap perkembangan anak (Nadlifah,
dkk: 2019:109). Lingkungan yang dimaksud meliputi lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa keterampilan sosial anak usia dini
adalah keterampilan yang dimiliki oleh anak dalam berinteraksi serta berkomunikasi
baik secara verbal maupun non verbal dengan lingkungan anak baik lingkungan
keluarga, sekolah maupun masyarakat sehingga anak memiliki pengalaman sosial
yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain serta dapat membentuk anak menjadi
pribadi yang memiliki kecakapan hidup dibidang sosial.

16
3.4 Karakteristik dan Kemampuan Interpersonal Anak Usia Dini

3.4.1 Karakteristik Anak Usia Dini

Pada saat anak menjadi dewasa, anak harus mampu hidup


bermasyarakat sesuai dengan normanorma yang berlaku, sehingga akan
bertindak dan berperilaku yang menyesuaikan. Tingkat keberhasilan seseorang
pada saat berinteraksi sosial tergantung pada faktor-faktor dalam diri dan
pemberian respon oleh orang lain kepadanya. Beaty (dalam Siska 2011, 33)
memberikan tambahan yaitu, keterampilan sosial yang bersifat prosocial
behavior memiliki bentuk perilaku sebagai berikut:
a) Empati, bentuk ekspresi atas rasa haru yang diwujudkan dengan pemberian
perhatian kepada orang sekitar yang sedang dilanda kesedihan.
b) Kemurahan hati atau kedermawanan, sebuah aktivitas sosial yang
berbentuk saling memberi atau berbagi.
c) Kerja sama, perilaku dalam kegiatan yang melibatkan beberapa anak
dalam mengerjakan sesuatu, tanpa terjadinya perselisihan diantaranya.
d) Memberi bantuan, perilaku dalam membantu yang lain untuk melengkapi
atau memberikan yang dibutuhkannya.

Anak merupakan individu yang berbeda, unik dan memiliki


karakteristik yang berbeda sesuai dengan tahapan usianya. Pada usia lima
tahun pertama, anak berada pada masa “the golden years”, yaitu merupakan
masa emas perkembangan anak (Soegeng Santoso, 2002: 1). Pada usia
tersebut anak memiliki potensi yang sangat besar unuk mengoptimalkan
segala aspek perkembangannya, baik perkembangan kognitif, sosial,
kepribadian dan motorik. Masa golden age hanya bisa terjadi sekali pada
seumur hidup seseorang. Pertumbuhan dan perkembangan anak pada masa
golden age ini lebih cepat dari pada usia setelahnya. Hal ini dikarenakan
perkembangan otak yang ada pada usia golden age mencapai 80%.
Perkembangan otak tersebut didapatkan anak melalui stimulasi-stimulasi dan
rangsangan yang diberikan orang sekitar anak. Semakin baik rangsagan yang
diberika kepada anak, maka perkembangan otak anak akan semakin baik.
Bahkan sebaliknya, ketika pada usia ini anak tidak mendapat stimulasi yang

17
baik, maka sangat dimungkinkan perkembangan pada usia setelahnya menjadi
lambat juga.

Stimulasi yang diberikan sesuai dengan proses dan tahapan


perkembangan anak. Pada masa golden age bukan berarti orang tua harus
menjejali anak dengan berbagai pengetahuan-pengetahuan yang memberatkan
anak. Stimulasi dengan cara yang menyenangkan akan sangat mudah diterima
oleh anak. Sedangkan pemaksaan terhadap anak justru akan membuat anak
merasa tidak nyaman sehingga stimulasi yang diberikan tidak sampai diterima
oleh anak. Berbagai pernyataan diatas tentunya mengingatkan pada pendapat
para filsuf dalam pendidikan anak usia dini yang masing-masing memiliki
karakteristik dan ciri yang melekat sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan. Martin Luther menekankan pada perlunya pendirian sekolah untuk
mengajar anak membaca. Kemampuan membaca anak dipandang sangat
penting untuk dikembangkan,terutama menggunakan bahasa ibu. Bahasa ibu
merupakan bahasa yang paling dekat dengan anak, sehingga bekal utama
untuk anak yaitu menguasai bahasa ibu dan pengajaran membaca. Sedangkan
John Amos Comenius berpendapat bahwa pengalaman masa kecil akan
membentuk anak di masa depannya. Pengalaman yang diperoleh anak melalui
lingkungan sekitarnya melalui panca indera. Dengan demikian, semua
kegiatan anak yang baik yang diajarkan maupun pegalaman yang diperoleh
sendiri oleh anak dengan menggunakan panca indera merupakan hal yang
dilakukan anak pada masa golden age. (George S. Morrison, 2012: 61-66).

John Locke dikenal dengan teori tabula rasa nya. Teori ini
mengungkapkan bahwa anak diumpakan sebagai kertas putih kosong dimana
pengalaman dan pembelajaran yang diberikan orang tua di sekitarnya yang
akan membentuk fikiran anak. Jean-Jacques Rousseau sangat dikenal karena
bukunya Emile, Rousseau berpendapat bahwa pendidikan alami untuk anak,
diyakini sangat mendukung perkembangan anak tanpa campur tangan atau
batasan yang tidak dapat diperlukan. Rousseau juga meyakini gagasan tentang
keterbukaan, dimana sifat alami anak akan menjadi siapa mereka kelak,
terbuka sebagai akibat dari kematangan pertumbuhan mereka. Berbagai
pendapat dari para ahli tersebut yang kemudian digunakan sebagai panduan
dalam pendidikan anak usia dini sehingga ditemukan beberapa karakteristik-

18
karakteristik yang melekat pada anak yang harus menjadi perhatian bagi orang
yang ada di lingkungan sekitar anak.

Simpulan dari berbagai teori anak usia dini dapat digambarkan


bahwasanya anak usia dini adalah seorang anak yang berada di usia 0-8 tahun
dimana otak anak berkembang dengan pesatnya sesuai karakteristik yang
dimiliki anak dan dengan rangsangan yang diberikan oleh lingkungan di
sekitar anak. Kemudian anak pada usia dini cenderung memiliki karakteristik
individu sebagai berikut.

1. Anak Bersifat Egosentris


Pada umumnya anak masih bersifat egosentris, ia melihat dunia
dari sudut pandang dan kepentingannya sendiri. Hal itu bisa diamati ketika
anak saling berebut mainan, atau menangis ketika menginginkan sesuatu
namun tidak dipenuhi oleh orang tuanya. Karakteristik ini terkait dengan
perkembangan kognitif anak. Menurut Piaget, anak usia dini berada pada
tahapan-tahapan sebagai berikut: (1) tahap Sensorimotorik yaitu usia 0-2
tahun, (2) tahap Praoperasional yaitu usia 2-6 tahun, (3) tahap Operasi
Konkret yaitu usia 6-11 tahun. Pada fase Praoperasional pola berpikir anak
bersifat egosentris dan simbolis, karena anak melakukan operasi-operasi
mental atas pengetahuan yang mereka miliki, belum dapat bersikap sosial
yang melibatkan orang yang ada di sekitarnya, asyik dengan kegiatan
sendiri dan memuaskan diri sendiri. Mereka dapat menambah dan
mengurangi serta mengubah sesuatu sesuai dengan pengetahuan yang
mereka miliki. Operasi ini memungkinkannya untuk dapat memecahkan
masalah secara logis sesuai dengan sudut pandang anak. (Vasta Ross, et
all:1999).

2. Anak Memiliki Rasa Ingin Tahu (Curiosity)


Anak berpandangan bahwa dunia ini dipenuhi hal-hal yang
menarik dan menakjubkan. Hal ini mendorong rasa ingin tahu (curiosity)
yang tinggi. Rasa ingin tahu anak sangat bervariasi, tergantung apa yang
menarik perhatiannya. Rasa ingin tahu ini sangat baik dikembangkan
untuk memberikan pengetahuan yang baru bagi anak dalam rangka
mengembangkan kognitifnya. Semakin banyak pengetahuan yang didapat

19
berdasar kepada rasa ingin tahu anak yang tinggi, semakin kaya daya pikir
anak.

3. Anak Bersifat Unik


Menurut Bredekamp (1987), anak memiliki keunikan sendiri
seperti dalam gaya belajar, minat, dan latar belakang keluarga. Keunikan
dimiliki oleh masing-masing anak sesuai dengan bawaan, minat,
kemampuan dan latar belakang budaya serta kehidupan yang berbeda satu
sama lain. Meskipun terdapat pola urutan umum dalam perkembangan
anak yang dapat diprediksi, namun pola perkembangan dan belajarnya
tetap memiliki perbedaan satu sama lain.

4. Anak Memiliki Imajinasi dan Fantasi


Anak memiliki dunia sendiri, berbeda dengan orang di atas
usianya. Mereka tertarik dengan hal-hal yang bersifat imajinatif sehingga
mereka kaya dengan fantasi. Terkadang mereka bertanya tentang sesuatu
yang tidak dapat ditebak oleh orang dewasa, hal itu disebabkan mereka
memiliki fantasi yang luar biasa dan berkembang melebihi dari apa yang
dilihatnya. Untuk memperkaya imajinasi dan fantasi anak, perlu diberikan
pengalaman-pengalaman yang merangsang kemampuannya untuk
berkembang.

5. Anak Memiliki Daya Konsentrasi Pendek


Pada umumnya anak sulit untuk berkonsentrasi pada suatu
kegiatandalam jangka waktu yang lama. Ia selalu cepat mengalihkan
perhatian pada kegiatan lain, kecuali memang kegiatan tersebut, selain
menyenangkan juga bervariasi dan tidak membosankan. Rentang
konsentrasi anak usia lima tahun umumnya adalah sepuluh menit untuk
dapat duduk dan memperhatikan sesuatu secara nyaman. Daya perhatian
yang pendek membuat ia masih sangat sulit untuk duduk dan
memperhatikan sesuatu untuk jangka waktu yang lama, kecuali terhadap
hal-hal yang menarik dan menyenangkan bagi mereka. Pembelajaran dapat
dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang bervariasi dan

20
menyenangkan, sehingga tidak membuat anak terpaku di tempat dan
menyimak dalam jangka waktu lama.

3.4.2 Kemampuan Interpersonal Anak Usia Dini

Kemampuan menjalin hubungan intrapersonal anak usia lima tahun


berkaitan dengan berbagai kemampuan dalam mengendalikan emosi. Menurut
Copple dan Bredekamp (dalam Utami, A.d, 2012, hlm. 114) menyatakan
bahwa “Kemampuan menjalin hubungan intrapersonal anak usia lima tahun
yaitu: (1) anak mulai melihat perbedaan dan persamaan antara dirinya dengan
orang lain, tapi pada dasarnya masih egosentris, namun mereka memahami
dunia ini dari sudut pandang mereka sendiri, dan suka berhubungan dengan
jenis kelamin yang sama semakin kuat; (2) menikmati kebersamaan dengan
orang lain dan berusaha bersikap menyenangkan dan berempatik; (3) mulai
belajar bertanggung jawab, dalam batas tertentu mereka bebas, berkompeten,
dan dapat dipercaya serta dapat menilai kemampuan mereka sendiri dengan
tepat dan teliti; (4) mulai mampu bersopan santun, mereka mulai dapat
mengarahkan diri dengan lebih mengendalikan diri, dan secara umum mereka
dapat menilai (judgement) apakah mereka dapat melakukan sesuatu atau tidak;
dan (5) mempunyai perasaan yang kuat, dan perasaan takut yang dapat
meningkatkan keterampilan berimajinasi. Mereka masih bingung
membedakan antara fantasi dengan realita (kenyataan) dan semakin
bertambahnya kesadaran mereka dapat menimbulkan realitas yang
menakutkan. Seluruh kemampuan tersebut menandakan bahwa anak memiliki
kemampuan intrapersonal.

Adapun menurut Nurhidayah, 2006; Harms & Crede, 2010; Ruiz, dkk,
2010; Wahyudin &Agustin, 2012 dan Yusuf, 2012 (dalam Gandana, 2015,
hlm. 18) menyatakan bahwa “Indikator capaian dari kemampuan menjalin
hubungan intrapersonal antara lain meliputi kemampuan mengemukakan rasa
cinta dan kasih sayang kepada orang lain, mampu menyelesaikan
perselisihan, dan mampu memberikan pengaruh secara positif kepada orang
lain”.

21
3.5 Social Skill yang Harus Dimiliki for Early Child School (PAUD/TK)

Keterampilan sosial akan berkembang dengan baik dengan cara menjalin


interaksi sosial melalui permainan, komunikasi serta kegiatan yang bersifat
kebersamaan. Masa usia dini adalah masa anak-anak bermain dan bereksplorasi
dengan lingkungan, karena pada saat bermain anak akan membangun pengetahuan
dan belajar tentang banyak hal. Jika seorang anak memiliki keterampilan sosial yang
bagus, maka akan mudah bergaul. Namun sebaliknya, jika anak memiliki
keterampilan sosial yang tidak matang, anak akan cendrung menjadi individu yang
anti sosial dan tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya.
Macam-macam keterampilan sosial yang harus dimiliki seorang anak dan
bagaimana cara menstimulasinya, Indri Savitri, M.Psi., dari Lembaga Psikologi
Terapan UI memaparkannya berikut ini.

1. Kenal Diri
Ini merupakan bagian dari kecerdasan diri/intrapersonal yang diperlukan anak
untuk bisa menjalin hubungan sosial yang baik dengan orang lain. Kenal diri tak
hanya sebatas mengenal identitas: siapa namanya, siapa nama orang tuanya, di
mana tempat tinggalnya, apakah jenis kelaminnya (lelaki atau perempuan) dan
identitas lainnya, tetapi juga mencakup apa kesukaannya, harapan dan
keinginannya, maupun perilaku dirinya seperti apa dalam menghadapi lingkungan.
Jadi, anak memiliki kesadaran akan dirinya sendiri (awareness).
Keterampilan kenal diri akan membantu anak untuk bisa memilih sendiri
kegiatan yang ingin dilakukan, dengan teman/orang seperti apa dia akan bermain,
serta bagaimana ia bisa bersikap menghadapi situasi sosial yang ditemuinya dan
bisa mencari alternatif lain. Contoh, anak sudah mengenal identitas dirinya
sebagai anak perempuan dan ia ingin bermain dengan teman perempuannya untuk
bermain boneka. Ketika temannya tidak mau bermain, dia bisa melakukan
alternatif lain dengan bermain peran bersama anak lainnya. Jadi, anak sudah tahu
apa yang menjadi keinginan dirinya. Ia tidak bersikap marah pada temannya yang
tidak mau main boneka dengannya.
Stimulasi dapat diberikan sejak usia sebelumnya, sekitar 1 tahun. Sambil
bermain orangtua pura-pura bertanya mengenai identitas anaknya, “Nama Adek
siapa sih?” “Rumahnya di mana, ya?” “Nama ibunya siapa?” dan seterusnya.
Seiring usia bertambah, orangtua juga memasukkan nilai-nilai mana yang boleh

22
dan tidak, baik dan buruk pada si anak. Selain itu, bantu anak untuk menggali apa
yang jadi kesukaan, keinginan dan harapannya, “Oh, Adek sukanya mobil-
mobilan Batman ini ya.” Kenalkan juga sikap dan perilaku seperti apa yang
diharapkan dari anak, “Sayang, kalau bicara tak perlu sampai berteriak-teriak
seperti itu. Adek kan, bisa bicara baik-baik.” Lakukan lewat contoh konkret dalam
kehidupan sehari-hari. Semakin lama anak akan mengenal dirinya dengan lebih
baik.

2. Kenal Emosi
Pengenalan aneka emosi seharusnya sudah lebih baik lagi di usia prasekolah.
Anak yang mengenal emosinya dengan baik akan belajar mengatur dan
mengendalikan emosinya sehingga bisa bersikap dan berperilaku sesuai tuntutan
lingkungan. Contoh, saat marah, si kecil bisa mengendalikan amarahnya dengan
tidak memukul atau mengamuk, melainkan dengan mengungkapkannya baik-baik
secara verbal. Bisa juga anak memberikan isyarat pada lingkungannya, semisal,
“Jangan berisik dong, aku sedang pusing. Nanti aku bisa marah nih.” Anak yang
tak bisa mengendalikan emosinya dapat mengalami hambatan dalam menjalin
hubungan sosial dengan orang lain. Ia bisa dijauhi teman-temannya lantaran
sikapnya yang tidak disukai, selain juga bisa timbul konflik dalam berinteraksi.
Stimulasinya yaitu kenalkan anak pada beragam emosi yang ada dan
dialaminya serta bahasa tubuh dirinya maupun orang lain. Ketika anak tampak
senang, misalnya kenalkan emosi tersebut, “Wah, rupanya Adek lagi senang, ya.
Apa sih yang membuat Adek senang sekali?” Atau, “Kok, wajahmu cemberut sih,
lagi kesal, ya?” Bantu anak untuk mengungkapkan apa emosi yang dirasakannya.
Bisa saja anak mengatakan, “Aku kesal karena robotku diambil Todi.”Ajarkan
pula bagaimana anak mengungkapkan ekspresi emosinya dan harus bersikap.
“Adek boleh marah sama Todi karena Todi telah mengambil robot Adek, tapi
Adek tidak memukul ya. Bilang baik-baik sama Todi untuk mengembalikan robot
Adek.”

3. Empati
Anak harus memiliki keterampilan untuk mengerti dan merasakan emosi
orang lain serta mampu untuk merasakan dan membayangkan dirinya berada di
posisi orang tersebut. Keterampilan sosial ini diperlukan dalam melakukan
23
hubungan sosial untuk menumbuhkan rasa saling menghargai, menghindari dari
kesalahpahaman, juga melatih kepedulian dan kepekaan sosial anak.
Stimulasinya caranya sama seperti dalam mengenalkan emosi pada anak.
Orangtua pun perlu mencontohkan pada anak dalam kehidupan sehari-hari.
Umpama, ketika anak sedang sedih, orangtua turut berempati dengan
mengajaknya bicara, “Kenapa Adek bersedih seperti itu?” Mungkin anak
menjawab, “Habis, kelinciku satu-satunya mati.” Orangtua menunjukkan empati
dengan memahami perasaan anak. “Bunny, memang tidak ada lagi. Mama paham
kamu sedih.” Contoh lain, ketika melihat si kecil kelelahan, orangtua bisa
mengatakan, ”Aduh, capek sekali ya Adek tadi jalan di kebun binatang?”Di usia
ini anak masih dalam tahap peniruan, sehingga semakin sering anak belajar dari
contoh yang ada, keterampilan diri berempati semakin terasah. Mungkin akan
tampak dari hal-hal sederhana, semisal ketika dia melihat ibunya capek sepulang
kerja, mungkin dia akan bertanya, “Mama, capek, ya? Sini aku bantu pijitin.”
Atau, ketika sedang bermain ada temannya yang diam saja atau menangis, si kecil
akan peduli, “Kamu kenapa menangis?”

4. Simpati
Keterampilan untuk mengerti perasaan dan emosi orang lain ini, biasanya
dipengaruhi oleh emosi iba atau belas kasihan dan ada suatu tindakan yang ingin
dilakukan. Berbeda pada orang dewasa, semisal kalau ada teman yang dimarahi
bos maka teman lainnya bersimpati dengan membelanya, maka pada anak ketika
ada temannya diganggu oleh teman lainnya, dia menunjukkan simpatinya dengan
memberitahukan hal itu kepada gurunya. Jadi, dengan memiliki simpati, anak
dapat menghayati perasaan orang lain, memiliki kepekaan sosial yang tinggi, tak
bersikap semena-mena pada orang lain, memunculkan sikap pemurah. Semua nilai
ini amat dibutuhkan dalam menjalin hubungan sosial dengan orang lain.
Stimulasinya caranya dengan paparan (pengalaman secara langsung). Ketika
sedang jalan-jalan dan bertemu anak jalanan di perempatan lampu merah,
orangtua menjelaskan pada anaknya, “Itu lihat, Dek. Kasihan ya. Bajunya sudah
jelek, dia cari uang untuk bisa makan. Coba, Adek kasih nih uang recehan lima
ratus.” Atau lewat pemberitaan di media mengenai orang kelaparan dan orang
yang tak beruntung lainnya.

24
5. Berbagi
Keterampilan sosial ini diperlukan anak untuk memperoleh persetujuan sosial
dengan membagi apa yang jadi miliknya. Anak dituntut untuk merasakan
kebersamaan dengan berbagi kepunyaannya. Keterampilan sosial ini mengajarkan
pada anak untuk tidak mementingkan dirinya sendiri, bisa menghargai milik
dirinya maupun orang lain, juga menimbulkan sifat pemurah.
Stimulasinya caranya, ajarkan berbagi secara konkret dalam kehidupan sehari-
hari. Contoh, ketika anak berebut kue dengan adiknya, ajarkan bagaimana anak
harus berbagi dengan saudaranya. Ketika anak bermain bersama temannya dan
terjadi rebutan mainan, ajari anak untuk berbagi mainan dengan cara bergiliran
memainkannya.

6. Negosiasi
Di usia ini anak masih negativistik sehingga perlu diajarkan keterampilan
bernegosiasi agar ia bisa mengungkapkan pendapat dan keinginannya dengan cara
yang diterima, serta membantu anak menyelesaikan masalah yang dihadapi, dan
bagaimana anak bersikap dalam menghadapi berbagai situasi sosial yang ada dan
mungkin tak menyenangkan. Selain juga dapat menghindari timbulnya konflik.
Biasanya sekitar usia 5 tahunan anak sudah percaya diri untuk melakukan
negosiasi.
Stimulasinya caranya, jalinlah komunikasi yang baik dengan anak dalam
kehidupan sehari-hari, serta contoh konkret yang dilakukan. Ajari anak untuk
selalu mengungkapkan perasaan, keinginan, maupun pendapatnya. Orangtua
hendaknya menjadi pendengar yang baik, mau mendengarkan apa yang
diungkapkan anak. Misal, orangtua ingin anak merapikan mainannya tapi si anak
tak juga melakukannya. Nah, tanyakan pada anak alasannya, lalu beri penjelasan,
dan bantu anak membereskan mainannya secara bersama-sama. Begitu pun dalam
situasi sosial di sekolah. Umpama, anak diejek oleh temannya. Nah, ajari anak
untuk tidak lari menghindar dengan menangis, tetapi ungkapkan rasa tidak suka
yang diterima dari perlakuan temannya dan utarakan apa yang dia harapkan dari
temannya.

25
7. Menolong
Keterampilan sosial ini terkait dengan keterampilan sosial lain seperti simpati
dan empati. Menolong menumbuhkan kesadaran diri pada anak untuk membantu
orang lain, dapat mengembangkan sikap kepedulian sosial anak sehingga anak
pun bisa diterima dalam lingkungan kelompok pertemanan maupun lingkungan
sosial lain yang lebih luas.
Stimulasinya lakukan dengan contoh konkret dalam kehidupan sehari-hari.
Tentunya bagi anak usia ini diberikan tugas yang sesuai usianya. Contoh, orangtua
mengajari anak membantu adiknya yang terjatuh untuk kembali berdiri, menolong
ibu dengan membantu membereskan mainannya setiap usai bermain, dan
sebagainya.

8. Kerjasama
Di usia ini anak sudah bermain secara berkelompok dan bersama-sama.
Keterampilan bekerja sama dibutuhkan untuk anak belajar saling menghargai dan
menghormati, tidak mementingkan diri sendiri, merasakan kebersamaan dengan
lingkungan sosialnya.
Stimulasinya dapat dilakukan di rumah maupun saat anak bermain dengan
teman-temannya. Anak diajarkan untuk bersikap kooperatif dalam menyelesaikan
suatu tugas, semisal mewarnai gambar bersama.

9. Bersaing
Keterampilan untuk mengungguli dan mengalahkan anak lain ini, akan
membantu anak untuk mengetahui kelemahan maupun kelebihan dirinya, bersikap
fleksibel dalam menghadapi tantangan, kemenangan maupun kekalahan yang akan
ditemui nantinya dalam kehidupan sosial.
Stimulasinya lakukan sambil bermain. Umpama, bermain sepeda sambil
dilombakan dengan temantemannya untuk mengukur mana yang jadi kekuatan
maupun kelemahan anak. Bisa juga lewat permainan benteng dimana ada yang
menang dan kalah. Ajarkan pula bagaimana anak menerima kekalahan maupun
kemenangan, dengan relaks. “Adek memang kalah dalam main sepeda dengan
Todi, tapi Adek hebat dalam berlari. Kalau Adek giat berlatih sepeda, Adek

26
juga nanti bisa hebat seperti Todi.”

Keterampilan sosial dapat dikembangkan di PAUD/TK guna membantu anak


didik menumbuhkan dan memperkuat sistem nilai yang dimilikinya sebagai dasar
untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Keterampilan sosial menekankan
pada pengembangan kemampuan sikap yang baik, konsisten dengan perbuatan
berdasarkan kepada sistem nilai yang berlaku di tengah-tengah masyarakat.
Keterampilan sosial dapat dikembangkan guru dipadukan dengan metode bermain
peran menggunakan strategi yang tepat dan sesuai dengan karakteristik perkembangan
anak.
Jarolimek dalam Neli Yulianti & dkk (2016: 84-91) berpendapat bahwa ada
beberapa keterampilan sosial yang hendak dimiliki oleh anak usia dini meliputi,
Pertama, living and working to gether, kedua, learning self-control and self-direction,
ketiga, sharing ideas and experience with other. Artinya ialah dalam keterampilan
sosial anak hendaknya memiliki aspek keterampilan hidup dan berkerjasama,
keterampilan untuk mengontrol diri dengan orang lain, keterampilan untuk saling
berinteraksi antara satu dengan yang lainnya dan saling bertukar pikiran serta
pengalaman sehingga terciptanya suasana yang menyenanagkan.
Terdapat juga bentuk-bentuk daripada keterampilan sosial anak. Hurlock
menyatakan bahwa terdapat beberapa bentuk keterampilan sosial meliputi (1)
Kerjasama, (2) Kemurahan hati, (3) Persaingan, (4) Hasrat dan penerimaan sosial, (5)
Simpati, (6) Ketergantungan, (7) Empati, (8) Sikap ramah, (9) Sikap tidak
memntingkan diri sendiri, (10) Meniriu, dan (11) Prilaku kelekatan (Intan Larasati,
2017).
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya keterampilan sosal anak tidak bisa
hanya dinilai dari pribadi anak tersebut melainkan perlu diperhatikan dari luar diri
anak juga. Maka penting untuk mengetahui hal-hal yang mempengaruhi keterampilan
sosial anak. Dengan adanya perhatian serta penilaian terhadap keterampilan sosial
anak maka akan berdampak baik terhadap perkembangan anak. Dalam hal ini faktor-
faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial anak antara lain ialah faktor internal,
faktor eksternal dan faktor internal eksternal. (Nur Bani, 2015).

27
3.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Sosial pada Anak Usia Dini

Sebagai sebuah kemampuan yang diperoleh melalui proses belajar, maka


perkembangan keterampilan sosial anak tergantung pada berbagai faktor, yaitu
kondisi anak sendiri serta pengalaman interaksinya dengan lingkungan sebagai sarana
dan media pembelajaran. Secara lebih terperinci, faktor-faktor tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut:

1. Kondisi Anak
Ada beberapa kondisi anak yang mempengaruhi tingkat keterampilan sosial
anak, antara lain temperamen anak dan kemampuan sosial kognitif. Temperamen
yaitu suasana hati yang menetap dan khas pada orang yang bersangkutan,
misalnya pemurung, pemarah, periang, dan sebagainya (Sarlito Wirawan
Sarwono, 1976:82).
Penelitian yang dilakukan Bates dan Rubin, Bukowski dan Parker menemukan
bahwa anak-anak yang memiliki temperamen sulit ini cenderung lebih agresif dan
impulsive sehinga sering ditolak oleh teman sebayanya. Kedua kondisi ini
menyebabkan kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya berkurang,
padahal interaksi merupakan media yang penting dalam proses belajar
keterampilan sosial. Selain itu Rubin, Bukowski dan Parker menjelaskan beberapa
penemuan antara lain: (1) penelitian Kagan dan Bates yang memperlihatkan
bahwa anak-anak yang memiliki temperamen sulit dan cenderung mudah terluka
secara psikis, biasanya akan takut atau malu-malu dalam menghadapi stimulus
sosial yang baru, sedangkan anak-anak yang ramah dan terbuka lebih responsive
terhadap lingkungan sosial, (2) penelitian yang dilakukan oleh Rubin, Coplan, Fox
dan Calknis yang mengatakan kemampuan mengatur emosi juga mempengaruhi
keterampilan sosial anak. Dibuktikan bahwa pengaturan emosi sangat membantu
baik bagi anak yang mampu bersosialisasi dengan lancar maupun yang tidak.
Anak yang mampu bersosialisasi dan mengatur emosi akan memiliki
keterampilan sosial yang baik sehingga kompetensi sosialnya juga tinggi. Anak
yang kurang mampu bersosialisasi namun mampu mengatur emosi, maka walau
jaringan sosialnya tidak luas tetapi ia tetap mampu bermain secara konstruktif dan
berani bereksplorasi saat bermain sendiri. Sedangkan anak-anak yang mampu
bersosialisasi namun kurang dapat mengontrol emosi, cenderung akan berperilaku
agresif dan merusak. Adapun anak-anak yang tidak mampu bersosialisasi dan

28
mengontrol emosi, cenderung lebih pencemas dan kurang berani berekspresi.
Selanjutnya Dogdem dkk dalam Robinson dan Garber mengungkapkan bahwa
perkembangan keterampilan sosial anak juga dipengaruhi oleh kemampuan sosial
kognitifnya yaitu keterampilan memproses semua informasi yang ada dalam
proses sosial. Kemampuan ini antara lain kemampuan mengenali isyarat sosial,
mengintepretasi isyarat sosial dengan cara yang tepat dan bermakna,
mengevaluasi konsekuensi dari beberapa kemungkinan respon serta memilih
respon yang akan dilakukan. Kemampuan sosial kognitif lainnya yang juga
penting adalah kemampuan melihat dari perspektif orang lain (perspective taking)
dan kemampuan empati. Semakin baik keterampilan memproses informasi sosial
anak, maka akan semakin mudah baginya untuk membentuk hubungan suportif
dengan orang lain, yang berarti akan menambah luas jaringan sosial sebagai media
pengembangan keterampilan sosialnya.

2. Interaksi Anak dengan Lingkungan


Keterampilan sosial anak terutama dipengaruhi oleh proses sosialisasinya
dengan orang tua yang mulai terjalin sejak awal kelahiran. Melalui proses
sosialisasi ini, orang tua menjamin bahwa anak mereka memiliki standar perilaku,
sikap, keterampilan dan motifmotif yang sedapat mungkin sesuai dengan yang
diinginkan atau tepat dengan perannya dalam masyarakat. Proses sosialisasi yang
berawal sejak bayi ini, menjadi lebih disadari dan sistematis seiring dengan
bertambahnya kemampuan anak dalam keterampilan motorik dan penggunaan
bahasa. Pelukan yang diberikan oleh orang tua dan pujian yang mereka terima saat
memperoleh kemampuan baru atau larangan saat melakukan sesuatu merupakan
beberapa contoh sosialisasi yang secara sistematis mempengaruhi anak. Nilai,
kepercayaan, keterampilan, sikap dan motif yang disosialisasikan oleh orang tua
ini kemudian diinternalisasikan oleh anak dan menjadi dasar perilakunya dalam
kehidupan.
Sebagai figure yang paling banyak dengan anak, orang tua tidak hanya
berperan dalam mengajarkan keterampilan sosial secara langsung pada anak,
tetapi juga berperan dalam pembentukan hubungan dengan lingkungan terutama
dengan teman sebaya. Orang tua mempengaruhi perkembangan perilaku sosial,
pola interaksi dan kualitas hubungan anak dengan sebayanya melalui: (1) member
anak kesempatan untuk berhubungan dengan teman sebayanya, (2) mengawasi
29
pertemuan anak dengan teman sebayanya (bila dibutuhkan), (3) mengajarkan anak
untuk mampu memenuhi tugas-tugas yang berkaitan dengan hubungan
interpersonal dengan teman sebaya dan (4) menegakkan disiplin terhadap perilaku
yang tidak dapat diterima dan mal adaptif.
Menurut Loree, MR, (1970:86), sosialisasi merupakan suatu proses dimana
individu (terutama) anak melatih kepekaan dirinya terhadap rangsangan-
rangsangan sosial terutama tekanan-tekanan dan tuntutan kehidupan (kelompok)
serta belajar bergaul dengan bertingkah laku, seperti orang lain di dalam
lingkungan sosialnya.
Adapun ciri sosialisasi periode prasekolah adalah sebagai berikut: (1)
membuat kontak sosial dengan orang di luar rumahnya; (2) dikenal dengan istilah
“pregang age”. Dikatakan pregang karena anak pra sekolah berkelompok belum
mengikuti arti sosialisasi yang sebenarnya. Mereka mulai belajar menyesuaikan
diri dengan harapan lingkungan sosial; (3) hubungan dengan orang dewasa baik
dengan orang tua maupun guru. Mereka selalu berusaha untuk berkomunikasi dan
menarik perhatian orang dewasa.

3. Perkembangan Sosial Anak Usia Dini


Pengembangan perilaku sosial anak dilakukan melalui pembiasaan dan
interaksi dengan lingkungannya. Dalam pengembangan perilaku ini disesuaikan
dengan taraf dan kebutuhan perkembangan anak sehingga tidak menjadi beban
bagi anak. Pemberian dukungan dan penciptaan lingkungan kondusif harus
diupayakan oleh pendidik. Solehudin menjelaskan, anak usia dini sering disebut
sebagai usia bermain kelompok. Perkembangan sosialnya ditandai dengan mulai
tingginya minat anak terhadap aktivitas teman-teman dan meningkatnya keinginan
yang kuat untuk diterima sebagai anggota suatu kelompok. Anak ini akan merasa
tidak puas hanya jika bermaindi rumah atau dengan saudara-saudaranya saja yang
ada di lingkungan rumahnya. Sejalan dengan keterampilan fisiknya, anak usia
sekitar lima tahun semakin berminat pada teman-temannya. Ia mulai menunjukkan
hubungan kemampuan kerjasama yang lebih aktif dengan teman-temannya. Ia
biasanya memilih teman berdasarkan kesamaan aktivitas dan kesenangan. Namun
dalam usia ini masih sering terjadi konflik atau berebut sesuatu dengan temannya,
karena sifat egosentriknya yang masih melekat. Kualitas dari anak usia ini adalah
abilitas untuk memahami pembicaraan dan pandangan orang lain semakin
30
meningkat, sehingga keterampilan komunikasinya juga meningkat. Penugasan
akan keterampilan komunikasi dapat menimbulkan rasa senang bagi anak untuk
bergaul dan berhubungan dengan orang lain (Solehuddin, 2007:109).
Muhibin (1999:35) mengatakan bahwa perkembangan sosial merupakan
proses pembentukan “social self” (pribadi dalam masyarakat), yakni pribadi dalam
keluarga, budaya, bangsa dan seterusnya. Sedangkan Hurlock (1978: 250)
mengutarakan bahwa perkembangan sosial merupakan perolehan kemampuan
berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Sosialisasi adalah kemampuan
bertingkah laku sesuai dengan norma, nilai atau harapan sosial. Lebih lanjut
dikatakan bahwa untuk menjadi individu yang mampu bermasyarakat diperlukan
tiga proses sosialisasi yakni: (1) belajar bertingkah laku dengan cara yang dapat
diterima masyarakat; (2) belajar memainkan peran sosial yang ada di masyarakat;
(3) mengembangkan sikap/tingkah laku sosial terhadap individu lain dan aktivitas
sosial yang ada di masyarakat.
Perubahan anak dari sifat egosentris ke sifat sosial sangat dipengaruhi oleh
kesempatan bergaul yang diberikan orang tua. Melalui kesempatan bergaul
khususnya dengan teman sebaya ini merupakan media bagi anak untuk proses
sosialisasi terjadi. Melalui media ini anak banyak belajar memainkan perannya
dalam masyarakat. Untuk itu sasaran pengembangan sosial anak difokuskan pada
keterampilan-keterampilan sosial yang diharapkan dapat dimiliki anak.
Keterampilan sosial tersebut menurut Lawrence dan Hurlock dalam Nugraha
Rachmawati (1978: 9.3-9.6), antara lain:
a. Keterampilan bercakap-cakap. Komunikasi adalah pertukaran pikiran dan
perasaan. Pertukaran ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk bahasa, yaitu
gerak tubuh, ekspresi wajah secara lisan atau lewat bahasa tulisan. Di antara
semua bentuk bahasa, bahasa lisan adalah yang paling efektif.
b. Menumbuhkan “sense of humor”. Pengembangan sense of humor bagi anak
perlu diperhatikan. Anak yang memiliki rasa humor biasanya lebih disukai
oleh temantemannya. Sense of humor akan membantu anak mengembangkan
kreativitas, berpikir devergen, imajinatif, menumbuhkan kepercayaan diri,
memperluas pertemanan, serta terhindar dari stress.
c. Menjalin persahabatan. Kita mengenal bahwa manusia adalah makhluk sosial
dan kebersamaan dalam melakukan aktivitas sangat diperlukan dalam

31
pergaulan. Tolong menolong antar sesame akan membuat seseorang merasa
nyaman.
d. Berperan serta dalam kelompok. Adaptasi seorang anak tidak semudah
adaptasi orang dewasa. Biasanya seorang anak akan melihat situasi kegiatan
yang sedang berlangsung. Apabila kegiatan itu menarik hatinya maka tanpa
rasa malu anak itu akan langsung larut pada kegiatan tersebut tanpa melihat
teman atau bukan, kenal atau tidak, perempuan atau laki-laki yang penting dia
bisa mengekspresikan keinginannya.
e. Memilih tata karma. Si anak akan melihat dan meniru kebiasaan orang dewasa
atau bahkan mungkin akan menuruti perintah orang dewasa. Disini kita harus
bisa memanfaatkan sifat tersebut. Orang tua, lingkungan keluarga, dan
lingkungan sekitarnya sangat mempengaruhi sosialisasi anak dalam
berperilaku. Sifat positif yang dimiliki orang dewasa khususnya dalam tata
karma sangat membantu si anak untuk berperilaku baik, sopan dan hormat
pada sesama.

3.7 Penerapan Social Skill pada Program Pengembangan Indikator Capaian Belajar
di PAUD/TK

Pengetahuan sosial pada hakikatnya merupakan pengetahuan yang digunakan


untuk memberikan informasi sosial agar anak mengenal lingkungan dan dunia secara
sederhana sesuai dengan kebutuhan dankarakteristik anak. National Council for the
Social Studies (NCSS) mendefinisikan ilmu sosial adalah ilmu yang terintegrasi dari
ilmu pengetahuan sosial dan humanistik untuk memajukan kompetensi yang sifatnya
kewarganegaraan. Pengetahuan sosial yang sesuai untuk anak antara lain kebudayaan,
sosiologi, ekonomi, politik, antropologi, sejarah, psikologi, geogrofi dan lain-lain.
Berdasarkan Curriculum Standards for Social Studies yang dibuat oleh National
Council for the Social Studies pada tahun1994 mengidentifikasi bahwa ada 10
(sepuluh) hal yang dapat dipelajari anak melalui pembelajaran sosial. Pengetahuan
sosial yang anak pelajari ini dapat menjadi pengetahuan yang akan terus berkembang
sesuai dengan usia dan tahapan perkembangan anak. Adapun 10 (sepuluh)
pengetahuan yang dapat dipelajari anak, yaitu:

32
1. Kebudayaan; pendidik anak usia dini harus memahami konsep kunci untuk
mempelajari tentang kebudayaan. Pendidik memberikan pemahaman pada anak
yang terkait dengan kebudayaan seperti: (i) memahami keterkaitan dan saling
ketergantungan, memberikan pemahaman kepada anak bahwa setiap orang akan
saling berhubungan dan membutuhkan. (ii) mengetahui berbagai keragaman bisa
dalam berbagai bentuk, termasuk jenis kelamin, etnisitas, usia, agama, struktur
keluarga, kemampuan tingkat, bentuk tubuh, warna rambut/ mata, budaya, bahasa,
gagasan, estetika, dan sebagainya. (iii) menghargai keragaman berarti menerima
dan menghargai perbedaan diri kita dan dari orang lain sebagai normal dan positif.
(iv) mendeskripsikan cara dalam berbahasa, cerita, dongeng, musik, dan kreasi
seni yang disajikan sebagai ekspresi dari budaya dan pengaruh tingkah laku dari
orang yang tinggal dalam satu bagian budaya. (v) membandingkan cara berpikir
orang dari budaya yang berbeda dan bagaimana membentuk perjanjian dengan
lingkungan fisik dan kondisi sosial (vi) memberi contoh dan menjelaskan
pentingnya persatuan dan perbedaan di dalam dan di luar kelompok.
2. Waktu, Kelestarian, dan Perubahan; pembelajaran sosial tentang waktu,
kelestarian dan perubahan berkaitan dengan bagaimana anak memahami tentang
sejarah kehidupan. Pembelajaran sosial terkait dengan waktu dan perubahan ini
akan memberikan pemahaman kepada anak bahwa dalam kehidupan manusia
akan terus tumbuh dan berubah. Mereka yang saat ini masih kecil tentu saja
nantinya akan menjadi dewasa. Oleh karena itu, anak perlu diberikan pengetahuan
bahwa kehidupan ini pasti akan ada masa lalu, masa sekarang, dan juga masa
depan. Pembelajaran tentang konten sejarah ini tentu saja diberikan sesuai dengan
tingkat pemahaman anak.
3. Orang-orang, Tempat, dan Lingkungan; dalam pembelajaran sosial tentang orang,
tempat, dan lingkungan, anak diberi pengalaman belajar untuk mengenal
hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya. Anak sedang belajar
memahami konsep tempat dan lingkungan orang-orang yang terdekat dengan
mereka, anak belajar tentang hal penting yaitu tentang jarak, tempat, dan posisi
dirinya dibandingkan dengan orang-orang yang ada di sekitarnya.
4. Identitas dan Perkembangan Individu; dalam pembelajaran tentang perkembangan
individu, anak diberikan pemahaman bahwa setiap individu mengalama
perkembangan yang berlangsung secara berurutan atau berkesinambungan melalui
periode atau masa. Perkembangan dimulai sejak terjadinya konsepsi. Setelahlahir,
33
bayi menjalani masa kanak-kanak, remaja, dewasa, sampai masa tua. Proses
perkembangan itu berkesinambungan dalam arti bahwa perkembangan itu
merupakan proses siklus dengan berkembangnya kemampuan-kemampuan dan
kemudian menghilang, dan akan muncul kembali pada usia berikutnya.
5. Individu-individu, Kelompok-kelompok, dan Lembaga-lembaga; pembelajaran
sosial ini mengajarkan anak untuk bekerja sama, memberikan kontribusi di dalam
aktivitas yang dilakukan dalam kelompok. Setiap anggota dalam kelompok akan
memndapatkan tugas dan perannya masing- masing. Anak perlu menjalin
komunikasi yang baik dengan orang lain, bersikap dan berbahasa yang santun
ketika berbicara dengan tujuan untuk dapat diterima di dalam lingkungan
sosialnya.
6. Kekuatan, Wibawa, dan Kuasa; konten pembelajaran ini bertujuan untuk
memberikan kesadaran bahwa anak merupakan bagian dari sebuah kehidupan
sosial. Anak- anak dipersiapkan untuk menjadi anggota masyarakat yang
demokratis, tetapi mereka benar-benar menjadi warga negara yang demokrasi.
Dalam pembelajaran sosial ini anak perlu memperoleh pengalaman untuk
memahami bahwa dalam kehidupan sosial terdapat struktur kekuatan, wibawa,
dan kekuasaan yang berguna dalam mengatur kehidupan bermasyarakat.
Memberikan pemahaman bahwa anak merupakan bagian dari sebuah negara, yang
ketika dewasa nanti harus berpartisipasi sebagai warga negara yang baik. Dalam
pembelajaran sosial tentang kekuatan, kekuasaan dan pemerintah, anak belajar
untuk hidup dan berpartisipasi dalam suatu kelompok berarti mengatur peraturan
dan mengikuti mereka (civitas, 2003). Untuk mengajarkan pembelajaran sosial
tentang hal ini, anak dapat dilibatkan dalam pembuatan peraturan, mereka dapat
menggunakan kesempatan ini untuk mendiskusikan mengapa penting untuk
mengikuti aturan-aturan tertentu, mengapa peraturan dibuat, siapa yang membuat
mereka, dan bagaimana mereka dibuat.
7. Produksi, Distribusi, dan Konsumsi; anak usia dini dapat mempelajari tentang
konsep ekonomi dengan memahami proses yang terjadi dalam kegiatan ekonomi
dan membedakan mana bentuk barang dan mana yang jasa. Dalam mempelajari
konten ekonomi ini, guru perlu merancang kegiatan yang dapat melibatkan anak
secara langsung agar anak lebih mudah memahami konsep yang terdapat dalam
kegiatan belajar yang dilakukan anak.

34
8. Sains, Teknologi, dan Masyarakat; pembelajaran tentang sains, teknologi, dan
masyarakat diharapkan dapat memberikan pemahaman pada anak, antara lain: (1)
memberikan contoh bagaimana sains dan teknologi dapat merubah kehidupan
seseorang (seperti transportasi); (2) Memberikan contoh bagaimana sains dan
teknologi merubah lingkungan (seperti bendungan atau hilangnya hutan hujan);
(3) memberikan contoh bagaimana perubahan sikap memiliki hasil dari ilmu
pengetahuan dan teknologi (seperti daur ulang); (4) menyarankan cara untuk
memantau ilmu pengetahuan dan teknologi untuk melindungi individu,
lingkungan dan kesejahteraan umum.
9. Hubungan Global; pengetahuan sosial tentang hubungan global akan mempelajari
bahwa setiap individu memiliki saling ketergantungan satu sama lain.
Mengajarkan tentang berbagai macam hubungan global yang terjadi pada
masyarakat, baik antar wilayah sampai masyarakat dunia. Konsep tentang
hubungan global dan kebebasan yang dapat diberikan pada anak usia dini yaitu
tentang bagaimana membangun interaksi dengan orang lain dari berbagai daerah
dan negara. Studi sosial tentang hubungan global akan mempelajari tentang
hubungan interaksi antara manusia dengan manusia juga antara manusia dengan
makhluk lainnya. Sosial studi pada bagian ini juga membahas mengenai
bagaimana seharusnya manusia harus bersikap dengan baik kepada sesama.
Pendidikan global berfokus pada bagaimana membuat anak-anak peka terhadap
sudut pandang orangdari daerah dan kebudayaan yang berbeda. Pembelajaran
sosial tentang hubungan global dan kekebasan diharapkan anak memiliki rasa
cinta terhadap budayanya dan memahami bahwa mereka tidak hanya merupakan
bagian dari sebuah Negara tetapi juga bagian dari kehidupan di dunia.
10. Kewarganegaraan. Pengetahuan sosial tentang kewarganegaraan bertujuan untuk
menumbuhkan wawasan, kesadaran bernegara, sikap serta prilakuyang cinta tanah
air yang berisikan dengan kebudayaan bangsa, wawasan nusantara, serta
ketahanan nasional dalam diri para calon-calon penerus bangsa (Hartati, Pratiwi,
2017). Pengenalan pendidikan kewarganegaraan pada anak usia dini akan
menumbuhkan nilai-nilai moral dalam prilaku sehari-harinya dan anak akan
dengan karakter yang baik untuk masa depan anak.

35
Pengenalan konsep dasar dari 10 tema di atas dapat diberikan dengan berbagai
pendekatan pembelajaran untuk mendorong keingintahuan dan keterampilan
memecahkan masalah. Pengetahuan sosial dapat mendukung anak-anak saat mereka
memecahkan masalah di kelas dan sekolah serta menyelidiki masalah yang terjadi di
masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kewaspadaan dan
kebanggaan sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri. Tujuan pembelajaran studi
sosial tidak hanya fokus pada konten pengetahuan (knowledge) yang harus dipahami
anak, tetapi penting juga bagi anak untuk memiliki sikap yang baik dan memahami
nilai-nilai yang berlaku di masyarakat (Attitude dan Value), dan sampai pada tahapan
bagaimana anak memperoleh keterampilan (Skills) yang berguna ketika mereka
dewasa. Pengenalan berbagai konsep dalam ilmu sosial membantu anak dalam
menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosialnya. Pembelajaran pengetahuan sosial
juga harus membekali anak keterampilan dalam membangun kerjasama, kemampuan
untuk berkomunikasi dan berbagi, serta belajar memahami bahwa setiap individu
merupakan bagian dari sebuah kelompok (Hartati, Pratiwi, 2017).

3.8 Peran Guru PAUD/TK dalam Pembentukan dan Pengembangan Social Skill
pada Pembelajaran PAUD/TK
Berikut dipaparkan beberapa contoh keterampilan sosial yang dapat
dikembangkan guru di PAUD:
a) Untuk melatih anak agar memiliki kesadaran akan dirinya sendiri (awareness)
pada tujuan kenal diri, kegiatan yang bisa dilakukan guru untuk mengenali
identitas diri anak dengan cara bertanya: siapa namanya, siapa nama orangtuanya,
di mana tempat tinggalnya, apakah jenis kelaminnya, lelaki atau perempuan, apa
kesukaannya, cita-cita, maupun perilaku dirinya seperti apa dalam menghadapi
lingkungan.
b) Kegiatan yang melatih rasa empati anak atau melatih kepedulian dan kepekaan
anak, dengan cara mengajak anak untuk merasakan dan membayangkan jika ada
orang lain mengalami musibah, guru bercakap-cakap bertanya tentang bagaimana
perasaan anak jika musibah itu dialami oleh kita sendiri.
c) Keterampilan untuk melatih rasa simpati anak, guru bisa bercerita atau melihat
langsung penderitaan orang lain dengan segala kekurangannya, anak diajak

36
bersama-sama memikirkan apa yang dilakukan dengan kondisi tersebut dan
perbuatan apa yang harus dilakukan anak. Anak belajar terlibat dengan perasaan
dan emosinya dan tindakan yang pantas dilakukan anak.
d) Keterampilan sosial ini mengajarkan pada anak untuk mau berbagi, ajari anak
untuk berbagi makanan, berbagi mainan dengan cara bergiliran memainkannya.
e) Keterampilan bernegosiasi, guru membiasakan anak untuk belajar
mengungkapkan pendapat, keinginannya, membiasakan anak berlatih
menyelesaikan masalah yang dihadapi, dan bagaimana bersikap pada saat
menghadapi berbagai situasi sosial. Mengajarkan anak tidak menangis jika diejek
teman, beri kesempatan pada anak untuk mengungkapkan perasaan yang
diterimanya dari perlakuan temannya, mengutarakan harapan dari temannya.
Latihan negosiasi di PAUD/TK dengan tujuan selain akan menumbuhkan rasa
percaya diri anak juga belajar untuk menghindari dan berlatih menyelesaikan
konflik. Contoh-contoh melatih keterampilan sosial tersebut guru bisa melakukan
kegiatannya melalui bermain peran, metode proyek, dan kerja kelompok.

37
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

4.2 Saran

Penyusun menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan. Maka dari itu, kritik dan saran dibutuhkan untuk perbaikan makalah
selanjutnya.

38
DAFTAR PUSTAKA

39

Anda mungkin juga menyukai