Anda di halaman 1dari 16

Mata Kuliah : Psikologi Perkembangan Remaja

Dosen Pengampu : 1. Dr. Muh. Daud, M.Si

2. Eka Sufartianinsih Jafar, S.Psi.,M.Psi., Psikolog

PERKEMBANGAN DAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA

Disusun oleh :

Kelompok 9 ( Kelas B )

Arina Fitrimasha (200701501112)

Jaquellin Cahyani (200701502006)

Akhlakul Qarimah (200701500002)

Diah Nur Amelia (200701501041)

Chintana Nuanfirsha (200701501104)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha kuasa atas segala limpahan rahmat Hidayah Taufik
dan Hidayah nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pembaca dalam memahami materi perkembangan dan perilaku seksual pada remaja.

Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan serta pengalaman bagi para
pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga ke
depannya dapat lebih baik.

Makalah ini masih memiliki banyak kekurangan karena pengalaman kami yang masih sangat
kurang. Oleh karena itu diharapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan yang
bersifat membangun untuk menyempurnakan makalah ini.

Makassar, 22 Agustus 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………..………………………………………………………………..i

DAFTAR ISI………………………………………………………………………….……….ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………………………………………………………………….…1


1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………...………….1
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………...………...1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan dan Perilaku Seks Pada Remaja…………..………...………….…2


2.1.1 Perkembangan Seks Remaja…………………………...……………...2
2.1.2 Perilaku Seks Remaja………………….………………………………4
2.2 Seksualitas Remaja……….………………………………………………………..6
2.2.1 Identitas Seksual………….……………………………………………6
2.2.2 Waktu dan Perilaku SeksuaL Remaja…………….…………………...7
2.2.3 Bentuk Perilaku Seksual Remaja…………………………………...…7
2.2.4 Faktor-faktor Risiko Dalam Perilaku Seks Remaja…………...………8
2.3 Pentingnya Seks Education Pada Remaja…………………………………………9
2.4 Peran Orang Tua dan Lingkungan Terhadap Perilaku Seks Remaja……...……..10

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan…………………………………………………………….…………12
3.2 Saran…………………………………………………….…………….……….…12

DAFTAR PUSAKA……………………………………………….…………………………13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Remaja adalah masa antara anak-anak dan orang dewasa. Kata remaja
(adolescence) berasal dari perkataan latin yaitu adolescere yang bermakna sedang
tumbuh menuju kematangan (to grow into maturity). Setiap tahap perkembangan
akan terdapat tantangan dan kesulitan-kesulitan yang membutuhkan suatu
ketrampilan untuk mengatasinya (Santrock, 2009). Manakala Haditono, Monk, dan
Knoer (1994) berpendapat bahwa pada masa remaja, mereka dihadapkan pada dua
tugas utama, yaitu; mencapai ukuran kebebasan atau kemandirian dari orangtua
dan membentuk identitas untuk tercapainya integrasi diri dan kematangan pribadi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana perkembangan dan perilaku seks pada usia remaja?
2. Bagaimana seksualitas pada usai remaja?
3. Bagaimana seks education menjadi sangat penting bagi para remaja?
4. Bagaimana peran orang tua dan lingkungan terhadap seksualitas remaja?

1.3 Tujuan Penelitian


1. untuk mengetahui perkembangan dan perilaku seks pada remaja
2. untuk mengetahui seperti apa seksuaitas pada remaja
3. untuk mengetahui pentingnya seks education pada remaja
4. untuk mengetahui pentingnya peran orangtua dan lingkungan terhadap perilaku
seks remaja.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan dan Perilaku Seks Pada Remaja

2.1.1 Perkembangan Remaja

Remaja adalah masa antara anak-anak dan orang dewasa. Kata remaja
(adolescence) berasal dari perkataan latin yaitu adolescere yang bermakna sedang
tumbuh menuju kematangan (to grow into maturity). Setiap tahap perkembangan
akan terdapat tantangan dan kesulitan-kesulitan yang membutuhkan suatu
ketrampilan untuk mengatasinya (Santrock, 2009). Manakala Haditono, Monk, dan
Knoer (1994) berpendapat bahwa pada masa remaja, mereka dihadapkan pada dua
tugas utama, yaitu; mencapai ukuran kebebasan atau kemandirian dari orangtua
dan membentuk identitas untuk tercapainya integrasi diri dan kematangan pribadi.

- Kebebasan dan ketergantungan


Sifat remaja yang ingin memperoleh kebebasan emosional dan sementara
orangtua yang masih ingin mengawasi dan melindungi anaknya dapat
menimbulkan konflik diantara mereka. Terdapat pandangan umum yang tidak
sepenuhnya benar, bahwa remaja menggunakan konflik dan sikap menentang
sebagai cara untuk memperoleh otonomi dan kebebasan dari orangtua. Terdapat
suatu pendekatan yang menarik tentang bagaimana remaja mencari kebebasan dan
otonomi. Pengertian otonomi jelas menekankan bebas dari pengaruh orangtua,
otonomi adalah pengaturan diri (self regulation) dan kebebasan (independence)
adalah suatu kemampuan untuk membuat keputusan dan mengatur perilakunya
sendiri. “Pikirkanlah sendiri”, sering kita katakan bila kita ingin seseorang untuk
belajar mandiri. Melalui proses tersebut remaja akan belajar untuk melakukan
sesuatu secara tepat, mereka akan mengevaluasi kembali akan aturan, nilai dan
batasan-batasan yang diperoleh dari keluarga maupun sekolah.
Kadang-kadang remaja menemui pertentangan dari orangtua yang dapat
menimbulkan konflik, namun orangtua melalui proses tersebut berusaha
meminimalkan konflik dan membuat anak remaja untuk mengembangkan
kebebasan berpikirnya dan keebasan untuk mengatur dirinya sendiri. (Craig, 1995).
Dalam perkembangannya menuju kedewasaan, remaja berangsur-angsur

2
mengalami perubahan yang membutuhkan kedua kemampuan, yaitu kebebasan
dan ketergantungan secara bersama-sama. Hubungan-hubungan sosial adalah
merupakan suatu hubungan yang saling tergantung, sebagai contoh dalam
perkawinan yang tradisional, suami tergantung pada istri dalam hal mengurus
rumah tagga dan sebaliknya istri tergantung pada suami untuk mencari penghasilan
keluarga dan perlindungan dari bahaya. Ketergantungan (interdependence)
komitmen - komitmen dan ikatan pribadi merupakan ciri kondisi kehidupan
manusia. Remaja secara terus menerus meningkatkan kemampuan dalam
mengembangkan komitmen terhadap orang lain yang merupakan dasar dari
ketergantungan dan konsep dirinya yang merupakan dasar dari kebebasan atau
kemandiriannya.
- Pembentukan Identitas Diri
Proses pembentukan identitas diri adalah merupakan proses yang panjang dan
kompleks, yang membutuhkan kontinuitas dari masa lalu, sekarang dan yang akan
datang dari kehidupan individu dan hal ini akan membentuk kerangka berpikir
untuk mengorganisasikan dan mengintegrasikan perilaku ke dalam berbagai
bidang kehidupan (Rice, 2012). Sumber-sumber yang dapat mempengaruhi
pembentukan identitas diri adalah lingkungan sosial, dimana remaja tumbuh dan
berkembang seperti keluarga dan tetangga yang merupakan lingkungan masa kecil,
juga kelompok-kelompok yang terbentuk ketika mereka memasuki masa remaja,
misalnya kelompok agama atau kelompok yang mendasarkan pada kesamaan
minat tertentu. Kelompok-kelompok itu disebut sebagai reference group dan
melalui kelompok tersebut remaja dapat memperoleh nilai-nilai dan peran yang
dapat menjadi acuan bagi dirinya. Kelompok tersebut dapat membantu remaja
untuk mengetahui dirinya dalam perbandingannya dengan orang lain sehingga
mereka dapat membandingkan dirinya dengan kelompoknya, nilai-nilai yang ada
pada dirinya dengan nilainilai dalam kelompok yang selanjutnya akan berpengaruh
kepada pertimbanganpertimbangan apakah dia akan menerima atau menolak nilai-
nilai yang ada dalam kelompok tersebut.
Selain reference group, dalam proses perkembangan identitas diri, sering
dijumpai bahwa remaja mempunyai significant other yaitu seorang yang sangat
berarti, seperti sahabat, guru, kakak, bintang olahraga atau bintang film atau
siapapun yang dikagumi. Orang-orang tersebut menjadi tokoh ideal (idola) karena
mempunyai nilai-nilai ideal bagi remaja dan mempunyai pengaruh yang cukup

3
besar bagi perkembangan identitas diri, karena pada saat ini remaja sedang giat-
giatnya mencari model. Tokoh ideal tersebut dijadikan model atau contoh dalam
proses identifikasi. Remaja cenderung akan menganut dan menginternalisasikan
nilai-nilai yang ada pada idolanya tersebut ke dalam dirinya. Sehingga remaja
sering berperilaku seperti tokoh idealnya dengan meniru sikap maupun perilakunya
dan bahkan merasa seolah-olah menjadi seperti mereka.
Berdasarkan pada teori Erikson, terdapat empat keadaan atau status yang
berbedabeda dalam pembentukan identitas. Dia berpendapat bahwa perkembangan
identitas itu terjadi selain dari mencari aktif (eksplorasi) yang oleh Erikson disebut
sebagai krisis identitas, juga tergantung dari adanya commitments terhadap
sejumlah pilihan-pilihan seperti sistem nilai atau rencana hari depan. Dalam proses
perkembangan identitas maka seseorang dapat berada dalam status yan berbeda-
beda yaitu; diffussion status, foreclosure status, moratorium status, dan identity
achievement.

2.1.2. Perilaku Seksual pada Remaja

Memasuki masa remaja yang diawali dengan terjadinya kematangan seksual,


maka remaja akan dihadapkan pada keadaan yang memerlukan penyesuaian untuk
dapat menerima perubahan-perubahan yang terjadi (Steinberg, 1993: Santrock,
2002). Kematangan seksual dan terjadinya perubahan bentuk tubuh sangat
berpengaruh pada kehidupan kejiwaan remaja. Datangnya menarche dapat
menimbulkan reaksi yang positif maupun negatif bagi remaja perempuan. Apabila
mereka sudah dipersiapkan dan mendapat informasi tentang akan datangnya
menstruasi maka mereka tidak akan mengalami kecemasan dan reaksi negatif
lainnya, tetapi bila mereka kurang memperoleh informasi maka akan merasakan
pengalaman yang negatif.

Kematangan seksual yang terlalu cepat atau lambat juga dapat mempengaruhi
kehidupan psikososialnya, yaitu status mereka di dalam kelompok sebayanya
(Rice, 2011; Rice, 2012). Anak perempuan yang lebih dahulu mengalami
kematangan seksual akan merasa bahwa dirinya terlalu besar bila berada
dikelompok teman sekelasnya, sementara teman-teman perempuan lainnya masih
dapat merasakan kebersamaan dengan kelompok baik laki-laki ataupun

4
perempuan, karena umumnya laki-laki lebih lambat mengalami kematangan
seksual. Bagi anak laki-laki yang mengalami keterlambatan dalam kematangan
seksualnya, bentuk tubuhnya lebih kecil dibandingkan dengan teman sekelasnya
dan hal ini sangat tidak menguntungkan baginya, terutama dalam olah raga.
Sementara itu perhatian remaja sangat besar terhadap penampilan dirinya, oleh
karena itu mereka sering merisaukan bentuk tubuhnya yang kurang proposional
tersebut. Pada pertengahan masa remaja, mereka mulai memperhatikan apakah
tubuhnya terlalu gemuk atau kurus dan bagaimana menjaga bentuk tubuh yang
ideal, oleh karena itu sebagian remaja ada yang berusaha melakukan diet dan
sebagian lagi senam dan olahraga secara teratur. Pada umumnya remaja perempuan
mengkhawatirkan bila dirinya terlalu gemuk ataupun terlalu tinggi, sedangkan
remaja laki-laki bila terlalu kurus ataupun pendek. Disamping itu mereka, baik
laki-laki maupun perempuan mengawatirkan tentang kulitnya, yaitu tumbuhnya
jerawat maupun adanya bintik-bintik hitam.

Selain itu kematangan seksual juga mengakibatkan remaja mulai tertarik


terhadap anatomi fisiologi tubuhnya, mulai muncul kecemasan-kecemasan dan
pertanyaanpertanyaan seputar menstruasi, mimpi basah, masturbasi, ukuran buah
dada, penis dan lain sebagainya (Haditono, Monks & Knoers, 1994). Pada saat itu
mereka mulai memperhatikan tubuhnya dan penampilan dirinya dan sering
membandingkan dirinya dengan orang lain. Selain tertarik kepada dirinya, juga
mulai muncul perasaan tertarik kepada teman sebaya yang berlawanan jenis,
walaupun masih disembunyikan, karena mereka menyadari masih terlalu kecil
untuk berpacaran.

Perilaku seksual remaja adalah, pada banyak kasus, dipengaruhi oleh norma-
norma budaya dan adat istiadat, orientasi seksual mereka, dan isu-isu kontrol
sosial, seperti hukum umur dewasa. Perkembangan fisik, kognitif, sosioemosional
remaja pastinya berkaitan dengan sikap da perilaku seksual remaja. Rasa ingin tahu
dan fantasi seksual menyebabkan remaja ingin mempraktekan apa yang orang
dewasa lakukan .Teman sebaya (peer group) juga memainkan peranan yang sangat
kuat terhadap sikap dan perilaku seksual remaja. Zastrow dan Kirt-Ashman (2012)
berpendapat bahwa secara psikologis pada fase remaja ada dua aspek penting yang
dipersiapkan, antara lain:

5
- Orientasi seksual. Pada masa ini remaja diharapkan sudah menemukan
orientasi seksualitasnya atau arah ketertarikan seksualnya (heteroseksualitas atau
homoseksualitas). Norma umum yang berlaku lebih menyukai jika seseorang
menyukai orientasi seksualitas ke arah heteroseksualitas. Namun, tidak dipungkiri
ada remaja yang memilih orientasi seksualitas homoseksualitas. Orientasi ini
dipengaruhi oleh penghayatan terhadap jenis kelamin. Faktor individu (fisik atau
psikologis), keluarga dan lingkungan ikut mendorong dan berperan dalam
menguatkan identitas ini.
- Peran seks. Peran seks adalah menerima dan mengembangkan peran
serta kemampuan tertentu selaras dengan jenis kelaminnya. Laki-laki akan dekat
dengan sifat-sifat sebagaimana laki-laki, demikian pula perempuan akan dekat
dengan sifat-sifat sebagaimana perempuan. Peran seks ini sangat penting pada
tahap pembentukan identitas diri, apakah seseorang itu berhasil mengidentifikasi
dirinya atau justru melakukan transfer pada identitas yang lain (transsexual)

2.2 Seksualitas Remaja

2.2.1 Identitas Seksual Pada Remaja

Identitas seksual merupakan proses yang telah terbentuk pada masa kanank-
kanak. Remaja yang telah mengalami proses pembentukan identitas seksual akan
menegnali orientasi seksualnya hingga dapatmengembangkan dan mengenali
dirinya sendiri. Kemudian akan menentukan orientasi seksualnya, Marliana (2013).
Berdasarkan hasil wawancara yang ada pada salah satu jurnal, bahwa remaja laki-
laki memyadari bahwa dirinya bergender laki-laki dan remaja perempuan
bergender perempuan. Adapun beberapa penyimpangan yang ada pada remaja laki-
laki tetapi berperilaku seperti perempuan. Fenomena lain yang ditemukan ialah
rasa tidak percaya diri pada remaja Ketika berada pada lingkungan sekitarnya dan
terpengaruh oleh yang lain yang menurutnya lebih cantik dari dirinya .

Zastrow dan Kirt-Ashman (dalam Wardhani, 2012) membagi aspek identitas


seksual menjadi dua antara lain peran seks yang diartikan sebagai kemampuan
untuk mengembangkan peran sesuai dengan jenis kelaminnya dan orientasi seksual
yang artinya seorang remaja diharapkan mampu menentukan arah ketertarikan
seksualnya, seperti heteroseksual, homoseksual, dan biseksual.

6
2.2.2 Waktu Perilaku Seksual Remaja

Waktu inisiasi seksual seks. Apa yang menjadi ciri aktivitas seksual orang
dewasa yang baru muncul (18 hingga 25 tahun bervariasi menurut negara serta
berdasarkan jenis kelamin dan karakteristik sosial ekonomi lainnya. (Eaton &
lainnya, 2008). Dalam satu studi lintas budaya, di antara Wanita, proporsi yang
melakukan hubungan seksual pertama kali pada usia 17 tahun berkisar antara 72
persen di Mali hingga 47 persen di Amerika Serikat dan 45 persen di Tanzania
(Singh & lainnya, 2000). Persentase laki-laki yang melakukan hubungan seksual
pertama mereka pada usia 17 tahun berkisar antara 76 persen di Jamaika hingga 64
persen di Amerika Serikat dan 63 persen di Brazil. Di Amerika Serikat, pria, remaja
Afrika-Amerika, dan remaja dalam kota dilaporkan paling aktif secara seksual,
sedangkan remaja Asia-Amerika cenderung tidak aktif secara seksual
(Feldman,Turner,& Araujo, 1999). Sebuah survey nasional mengungkapkan
bahwa 63 persen siswa kelas 12 AS (64 persen laki-laki, 62 persen perempuan)
melaporkan bahwa mereka telah mengalami hubungan seksual dibandingkan
dengan 34 persen siswa kelas 9 (39 persen laki-laki, 29 persen perempuan)
(MMWR,2006). Pada usia 20, 77 pemuda AS telah melakukan hubungan seksual
(Dworkin & Santelli,2007). Sebuah studi nasional baru-baru ini menunjukkan
bahwa 35 persen siswa sekolah menegah AS saat ini aktif secara seksual (Eaton &
others, 2008). Studi nasional lain baru-baru ini tentang perilaku seksual remaja dari
tahin1991 hingga 2007 mengungkapkan bahwa pengalaman seksual dan memiliki
banyak pasangan seksual pada masa remaja menurun dari akhir 1990-an hingga
akhir tahun awal 2000-an, dan kemudian meningkat baru-baru ini (Santelli &
others, 2009). Telah terjadi peningkatan dramatis dalam seks oral selama masa
remaja (Brewster & Harker Tilman, 2008). Dalam surveri nasional, 55 persen anak
laki-laki AS berusia 15 hingga 19 tahun dan 54 persen anak perempuan dengan
rentang usia yang sama mengatakan bahwa mereka telah melakukan seks oral
(Pusat Statistik Kesehatan Nasional, 2002). Dalam suervei tersebut, lebih dari 20
persen remaja yang belum melakukan hubungan seksual pernah melakukan oral
seks.

7
2.2.3 Bentuk Perilaku Seksual Remaja

Menurut Masland (2004) dan Mu’tadin (2002), bentuk tingkah laku seks
bermacam-macam mulai dari perasaan tertarik, pacaran, kissing, kemudian sampai
intercourse. Tahap perilaku seks ini meliputi:

1. Kissing : Ciuman yang dilakukan untuk menimbulkan rangsangan


seksual, seperti di bibir disertai dengan rabaan pada bagian-bagian sensitif yang
dapat menimbulkan rangsangan seksual. Berciuman dengan bibir tertutup
merupakan ciuman yang umum dilakukan. Berciuman dengan mulut dan bibir
terbuka, serta menggunakan lidah itulah yang disebutfrench kiss. Kadang ciuman
ini juga dinamakan ciuman mendalam/ soul kiss.
2. Necking : Berciuman di sekitar leher ke bawah. Necking merupakan
istilah yang digunakan untuk menggambarkan ciuman disekitar leher dan pelukan
yang lebih mendalam.
3. Petting : Perilaku menggesek-gesekkan bagian tubuh yang sensitif,
seperti payudara dan organ kelamin. Merupakan langkah yang lebih mendalam dari
necking. Ini termasuk merasakan dan mengusap-usap tubuh pasangan termasuk
lengan, dada, buah dada, kaki, dan kadang-kadang daerah kemaluan, baik di dalam
atau di luar pakaian.

4. Intercrouse : Bersatunya dua orang secara seksual yang dilakukan oleh


pasangan pria dan wanita yang ditandai dengan penis pria yang ereksi masuk ke
dalam vagina untuk mendapatkan kepuasan seksual.

2.2.4 Faktor Risiko Perilaku Seksual Remaja

Banyak remaja tidak siap secara emosional untuk menangani pengalaman


seksual, terutama pada masa remaja awal. Aktivitas seksual dini dikaitkan dengan
perilaku berisiko seperti penggunaan narkoba, kenakalan, dan masalah terkait
sekolah (Dryfoos & Barkin, 2006). Sebuah studi baru-baru ini mengungkapkan
bahwa penggunaan alkohol, menarche dini, dan komunikasi orang tua-anak yang
buruk terkait dengan perilaku intim dini pada anak perempuan (Hipwell & others,
2010). Selain berhubungan seks pada masa remaja awal, faktor risiko lain masalah

8
seksual pada masa remaja antara lain faktor kontekstual seperti status sosial
ekonomi (SES), serta faktor keluarga/pengasuhan, teman sebaya, dan prestasi
akademik (Dupere & others, 2008; House & lainnya, 2010). Persentase remaja
muda yang aktif secara seksual lebih tinggi di daerah berpenghasilan rendah di
pusat kota (Silver & Bauman, 2006). Lebih lanjut, memiliki saudara kandung yang
lebih tua yang aktif secara seksual atau saudara perempuan remaja yang
hamil/mengasuh anak menempatkan remaja pada peningkatan risiko kehamilan
remaja (Miller, Benson, & Galbraith, 2001). Sebuah tinjauan penelitian baru-baru
ini menemukan bahwa hubungan seksual yang dimulai lebih awal dikaitkan dengan
tingkat pemantauan orang tua yang lebih rendah (Zimmer-Gembeck & Helfand,
2008). Dalam studi lain, komunikasi ibu tentang seks (sejauh ibu berbicara dengan
remaja mereka tentang melakukan hubungan seksual dan hal-hal negatif yang
dapat terjadi jika dia membuat seseorang hamil / dia hamil, misalnya) dikaitkan
dengan perilaku seksual yang kurang berisiko oleh remaja Latin (Trejos Castillo &
Vazonyi, 2009). Juga, sebuah penelitian terbaru dari siswa sekolah menengah
mengungkapkan bahwa prestasi akademik yang lebih baik merupakan faktor
pelindung dalam menjaga anak laki-laki dan perempuan dari terlibat dalam inisiasi
awal hubungan seksual (Laflin, Wang, & Barry, 2008).

2.3 Pentingnya Seks Education Pada Remaja

Pendidikan seks merupakan bidang studi yang penting karena dapat dijadikan
sebagai salah satu cara untuk membentuk kepribadian para remaja. Menurut Freud
alam Uyoh, masa remaja adalah suatu masa pencarian hidup seksual yang memiliki
bentuk Definitif karena adanya perpaduan hidup seksual yang banyak bentuknya.
Masa remaja adalah masa yang rentan terhadap pengaruh dari luar baik itu yang
positif maupun negatif. Para remaja kebanyakan memperoleh informasi tentang
seks dan seksualitas dari berbagai sumber, seperti teman, media massa (cetak dan
elektronik), dan buku yang membahas mengenai hal tersebut (Faturrahman, 2010).

Pendidikan seksual adalah cara yang dapat menolong para remaja untuk
menghadapi masalah hidup khususnya yang bersumber pada dorongan seksual.
Pendidikan seksual menerangkan untuk melakukan segala hal yang berhubungan
dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar. Anak perlu diberikan
pengetahuan mengenai adanya infeksi menular seksual (IMS), di mana penyakit

9
ini dapat ditularkan melalui hubungan seks serta seks oral-genital dan anal-genital.
Diantara IMS yang paling umum adalah adanya infeksi bakteri (seperti gonore,
Sifilis dan klamidia).

Para remaja perlu diberikan penanaman nilai-nilai luhur agar dapat


mengendalikan nafsu atau syahwatnya. Pengetahuan mengenai pentingnya
menjaga Kesehatan alat reproduksi dan organ vital juga perlu diberikan, agar anak
dapat mengetahui bagaimana cara memelihara serta melindungi organ organ
reproduksi nya, seperti melakukan khitan (laki-laki), bersuci dari menstruasi, serta
mengetahui batas pergaulan dengan lawan jenis dan akibat Pergaulan bebas bagi
Kesehatan reproduksi. Pemberian informasi mengenai seks dan seksualitas
menjadi sangat penting terlebih lagi mengingat bahwa para remaja berada dalam
potensi seksual yang aktif yang dipengaruhi oleh hormon mereka yang belum stabil
(Handbook of Adolecent psychology, 1980).

Seksualitas tidak hanya berbicara seputar hubungan intim pria dan wanita, tetapi
juga mengenai Kesehatan serta perkembangan emosi. Menurut Wimpie, terdapat
beberapa faktor lain yang mempengaruhi fenomena remaja yang menjajakan seks,
selain karena tidak adanya Pendidikan seks yang benar, minimnya perhatian dari
orang tua juga merupakan faktor utama hal ini dapat terjadi.

2.4 Peran Orang tua dan Lingkungan Terhadap Perilaku Seks Remaja

Menurut penelitian kebanyakan orang tua kurang berperan dalam memberikan


Pendidikan seks pada remaja (sapitri, 2008). Pemberian Pendidikan seks yang
benar oleh orang tua dapat mengurangi perilaku seksual negatif pada remaja.
Namun sayangnya Sebagian besar orang tua tidak memberikan Pendidikan seks
kepada anaknya karena menganggap bahwa Pendidikan seks setelah anak mereka
dapatkan di bangku sekolah. Berapa dari mereka juga memiliki pandangan yang
negative terhadap pemberian seks pada remaja, meskipun mereka memiliki
pengetahuan yang cukup mengenai hal tersebut. Oleh karena itu, selain di sekolah
anak juga membutuhkan Pendidikan seks yang diajarkan langsung oleh orang tua
mereka. Di mana hal ini tentu saja memiliki lebih besar dampak bagi perilaku seks
remaja.

10
Seperti bagaimana yang kita ketahui bahwa kasus kekerasan terhadap anak yang
paling sering dialami adalah kekerasan seksual, apalagi pada anak perempuan.
Kekerasan seksual ini berupa pemerkosaan, persetubuhan maupun pencabulan.
Sehingga orang tua itu diharapkan agar dapat menggali lebih banyak lagi informasi
mengenai Pendidikan seks bagi remaja melalui media massa (cetak dan elektronik),
dan buku yang membahas mengenai hal tersebut. Orang tua juga diharapkan untuk
lebih bersikap positif terhadap Pendidikan seks agar dapat memberikan Pendidikan
seks pada remaja sesuai dengan porsi umur mereka.

Selain orang tua lingkungan juga berperan aktif dalam pemberian Pendidikan
seks pada remaja. Pemerintah (BPPKB) dapat memberikan fasilitas Pendidikan
dan Kesehatan mengenai Pendidikan seks antara orang tua dan remaja seperti BKR
dan PIK-P. BKR dan PIK-P adalah bentuk kegiatan di mana orang tua
mendapatkan informasi tentang bagaimana cara untuk meningkatkan bimbingan
dan pembinaan tumbuh kembang pada anak remaja. BPPKB diharapkan untuk
memberikan Penyuluhan kepada orang tua mengenai pentingnya membangun
komunikasi mengenai Pendidikan seks kepada anak melalui Bina Keluarga
Remaja. Atau pemerintah juga dapat memberikan poster, buku dll kepada orang
tua agar mereka dapat lebih memahami pentingnya Pendidikan seks pada remaja.

11
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Masa remaja ialah jembatan antara anak yang aseksual dengan dewasa yang
seksual sehingga masa remaja merupakan masa dimana awal munculya perilaku
seksualitas. Tugas perkembangan seksualitas remaja menurut Zastrow dan Kirt-
Ashman (2012) adalah remaja harus menentukan orientasi seksual dan peran seks
mereka dan Terdapat faktor-faktor yang menyebabkan perilaku seksual remaja
muncul, salah satu faktor penyebab utama ialah perilaku berpacaran pada kalangan
remaja. Bila perilaku seksual remaja tidak ditangani dengan tepat, perilaku tersebut
akan berdampak negatif bagi kesehatan reproduksi remaja, seperti: kehamilan yang
tidak diinginkan (KTD), aborsi, tertular penyakit menular seksual dan HIV/AIDS,
hingga terjadi kematian.

3.2 Saran

1. Bagi orang tua hendaknya meningkatkan kewaspadaan dan bimbingannya


kepada putra-putrinya, dengan melakukan komunikasi seefektif mungkin.
2. Pembinaan dari para alim ulama dan tokoh-tokoh masyarakat lebih
ditingkatkan.
3. Bagi remaja, bisa menambah kegiatan yang positif di luar jam sekolah,
misalnya kegiatan olahraga kesenian, koperasi, wiraswasta.
4. Perlu dikembangkan model pembinaan remaja yang meliputi seks, PMS, KB
dan kegiatan lain yang berhubungan dengan reproduksi sehat, informasi yang
terarah baik secara formal maupun informal.
5. Perlu adanya wadah untuk menampung permasalahan reproduksi remaja yang
sesuai dengan kebutuhan remaja.

12
DAFTAR PUSTAKA

Santrock, John W. 2012. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Edisi 13 Jilid
1. Jakarta: Erlangga.

Wardhani, D. T. (2012). Perkembangan dan Seksualitas Remaja. Sosio Informa, 17(03), 184–
191.

Faswita, W & Suarni, L. (2018). Hubungan Pendidikan Seks Dengan Perilaku Seksual Pada
Remaja Putri di SMA Negeri 4 Binjai Tahun 2017. Jurnal Jumantik, 3(2): 28-45.

Hasanah, L. (2020). gambaran identitas seksual pada remaja di smk bondowoso (Doctoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Jember).

13

Anda mungkin juga menyukai