Anda di halaman 1dari 22

Makalah

Antara Taqlid Dan Tajdid (Konsep Ijtihad Menurut Aimmah Al Arba’ah Serta
Implikasinya Dalam Istinbath Hukum Nahdlatul Ulama’ Dan Muhammdiyah)
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Hukum Islam

Dosen Pengampu:
Dr. Rahmat, M.Pd.I

Disusun oleh :
Muhammad purba salam
Akhmad faizul muhtadi
Haris Firmansyah

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS PESANTREN KH.ABDUL CHALIM MOJOKERTO
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini. Sholawat dan Salam, semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
pemimpin umatnya menjalani kehidupan ini dengan bimbingan yang sempurna.
Judul makalah ini adalah “Antara Taqlid dan Tajdid: Konsep Ijtihad Menurut
Aimmah Al Arba’ah dan Implikasinya dalam Istinbath Hukum Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah”. Dengan ini kami berupaya mendalami konsep ijtihad yang
melandasi taqlid dan tajdid, serta bagaimana keempat imam mazhab menerapkan
konsep tersebut. Kemudian kita analisa bagaimana konsep ini berkembang dalam
pemahaman hukum Islam di dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul
Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Tujuan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman lebih dalam mengenai
konsep ijtihad dan pengaruhnya terhadap perkembangan hukum Islam. Melalui
penelitian dan analisis, makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap
pemahaman umum tentang hukum Islam, khususnya dalam konteks taqlid, tajdid, dan
ijtihad.
Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah memberikan dukungan, bimbingan dan gagasan selama penulisan artikel ini.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan masukan berharga dalam penyusunan artikel ini. Semoga artikel ini
dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya para pelajar, ulama dan semua pihak yang
berkepentingan untuk memahami konsep ijtihad dan penerapannya dalam konteks
hukum Islam. Akhir kata, penulis menyadari bahwa artikel ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan di masa
mendatang sangat kami harapkan.

Mojokerto, 5 Desember
2023

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar balakang
Dalam sejarah pemikiran dan praktik Islam, konsep taqlid (pengikutan) dan
tajdid (pembaruan) selalu menjadi pokok perhatian para ulama dan komunitas Muslim.
Kedua konsep ini memiliki keterkaitan erat dengan praktik ijtihad, yaitu usaha untuk
memahami dan menerapkan hukum Islam dalam konteks zaman. Pemahaman terhadap
konsep ijtihad ini menjadi semakin penting, terutama ketika melibatkan Aimmah Al
Arba’ah, empat imam besar dalam tradisi Sunni Islam, yakni Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Al-Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Pergeseran zaman membawa tantangan dan perubahan yang kompleks dalam
masyarakat Muslim. Globalisasi, kemajuan teknologi, dan dinamika sosial memicu
kebutuhan untuk menyesuaikan pemahaman agama dengan konteks yang berkembang.
Di tengah perubahan ini, konsep taqlid sebagai tradisi mengikuti pemikiran imam-imam
terdahulu dan tajdid sebagai pembaruan menjadi sangat relevan.
Aimmah Al Arba’ah, dengan pemikiran dan metodologi ijtihadnya masing-
masing, memberikan landasan bagi perkembangan fikih Islam. Meskipun berbagi
tujuan utama yakni penerapan syariat Islam, mereka memberikan berbagai pendekatan
dalam memahami dan mengeluarkan hukum. Oleh karena itu, pemahaman terhadap
konsep ijtihad dari perspektif Aimmah Al Arba’ah menjadi kunci dalam menjawab
kompleksitas tantangan zaman.
Di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, sebagai dua
organisasi Islam terbesar, memiliki peran yang signifikan dalam merespons perubahan
zaman melalui praktik ijtihad. NU, dengan tradisi keilmuannya, dan Muhammadiyah,
dengan semangat pembaruan dan tajdid, memberikan sumbangan penting dalam
membentuk pandangan dan praktik Islam di Indonesia.
Tulisan mengenai "Antara Taqlid dan Tajdid: Konsep Ijtihad Menurut
Aimmah Al Arba’ah dan Implikasinya dalam Istinbath Hukum Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah" menjadi penting karena memberikan wawasan mendalam tentang
bagaimana konsep-konsep ini diaplikasikan dalam konteks Indonesia. Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang keseimbangan
antara mempertahankan tradisi dan merespons kebutuhan zaman dalam kerangka
pemikiran Islam Dengan merinci latar belakang ini, penelitian lebih lanjut tentang
konsep ijtihad, taqlid, dan tajdid dapat memberikan pandangan yang komprehensif
tentang dinamika pemikiran Islam dan praktik hukum di masyarakat Muslim,
khususnya di Indonesia.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana konsep dasar taqlid ?
2. Bagaimana konsep dasar tajdid ?
3. Bagaimana implikasi ijtihad para imam 4 madzhab terhadap NU dan
Muhammadiyah ?

C. Tujuan
1. Menjelaskan konsep dasar taqild
2. Menjelaskan konsep tajdid dalam konteks pemikiran islam
3. Menjelaskan implikasi ijtihad para imam 4 madzhab terhadap NU dan
Muhammadiyah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep dasar taqild
1. Pengertian
Secara etimologi, kata taqlid adalah bentuk masdar dari qallada-yuqallidu
taqlīdan, yang bermakna menggantungkan, mengalungkan, meniru dalam kosa kata
arab, kata tersebut digunakan seperti dalam kalimat :
1
‫َقَّلْدُت اْلَم ْر َأَة َتْقِلْيًدا َجَع ْلُت اْلِقاَل َد َة ِفي ُع ُنِقَها‬
Aku mengalungkan sesuatu pada leher perempuan
Dalam tanwīr al-Qulūb, kata Taqlid secara istilah didefinisikan sebagai
‫العمل بقول المجنهدين من غير معرفة دليله‬
“mengamalkan pendapat mujtahid dengan tanpa mengetahui dalilnya2
2. Dasar hukum taqlid
Dasar bertaqlid dalam Islam berdasarkan pada ayat al-Qur’an Surat al-Nahl
43.
‫َو َم ٓا َأۡر َس ۡل َنا ِم ن َقۡب ِلَك ِإاَّل ِر َج ااٗل ُّنوِح ٓي ِإَلۡي ِه ۖۡم َفَٔ‍ۡسُلٓو ْا َأۡه َل ٱلِّذ ۡك ِر ِإن ُك نُتۡم اَل َتۡع َلُم وَن‬
”Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang
Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,”
3. Syarat- syarat bertaqlid
1) Mengetahui hal-hal yang oleh imamnya dianggap sebagai syarat dan
kewajiban dalam suatu masalah yang di ikuti. Jadi, jika seseorang yang
bermadzhab Syafi’i ingin bertaqlid terhadap pendapat imam Maliki tentang
tidak batalnya wudlu karena bersentuhan kulit (dengan tanpa syahwat)
dengan ajnabiy, maka taqlid tersebut dianggap sah ketika ia mengetahui
kewajiban-kewajiban wudlu menurut imam Maliki.
2) Terjadinya taqlid sebelum melakukan permasalahan yang ia taqlidi, jika
taqlidnya setelah usai melakukan, maka taqlid tersebut dianggap tidak sah.
Kecuali jika pada saat mengamalkannya tidak menganggap batal.
3) Tidak taqlid terhadap pendapat yang ringan-ringan saja tatabbu’ al-rukhaş
sehingga menghilangkan taklīf (kewajiban) sama sekali Sayyid ‘Alawi bin
Ahmad Assegaf menuturkan, bahwa hal ini tidak dapat di kategorikan
1
Al-Fayyoumi, Al-Misbahul Munirrr Fi Ghorib Syarh Al-Kabir(Dar ibn jauzy)
2
Al-Kurdi, Tanwīr Al-Qulūb Fī Mu’āmalah ‘Allām Al-Ghuyūb, (Surabaya: Maktabah Wa Mathba’ah Al-
Hidayah,Hal 396)
sebagai syarat terhadap sahnya taqlid, melainkan hanya sebatas antisipasi
agar tidak melakukan perbuatan yang menyebabkan kefasiqan karena
tatabbu’ al-rukhaş, sebagaimana pendapat Ibn Hajar yang menyatakan bahwa
tatabbu’ al-rukhaş dapat menyebabkan kepada kefasiqan pelakunya.
4) Imam yang diikuti hendaknya berkapasitas sebagai mujtahid, meskipun
mujtahid fatwa. Seperti al-Rafi’i, al-Nawawi, Ahmad bin Hajar al-Haitami
dan Muhammad bin Ahmad al-Ramli. Selagi tidak ada penjelasan bahwa
pendapat yang ia ikuti statusnya adalah lemah.
5) Tidak terjadi talfīq dalam satu kasus masalah (qadliyah). Sebagai contoh,
seseorang dalam berwudlunya mengikuti pendapat imam Syafi’i yang
mencukupkan hanya mengusap sebagian kepala, namun ketika bersentuhan
dengan perempuan yang bukan mahram ia mengikuti pendapat imam Malik.
Taqlid semacam ini tidak sah karena adanya talfīq
6) Hukum perkara yang diikuti bukan suatu keputusan yang apabila dijadikan
keputusan oleh Qādli harus dibatalkan, sebab bertentangan dengan dalil teks
al-Qur’an, Hadits atau Ijma’. misalnya adalah pendapat yang menyatakan
bahwa perempuan yang ditalak tiga dapat kembali padasuaminya dengan
adanya perkawinan dengan orang lain walaupun belum disetubuhi3
4. Hukum analisa taqlid
Menurut Al-Kurdi, dalam kitab Tanwīr Al-Qulūb Fī Mu’āmalah ‘Allām Al-
Ghuyūb Ketika seseorang berniat untuk bertaqlid maka cukup dengan dengan
hatinya, Meskipun tidak melafadzkan. Taqlid hukumnya wajib bagi selain mujtahid
dan haram bagi seorang mujtahid atas perkara perkara baru (al-hawadits).
Menurut pendapat yang kuat, pada dasarnya seseorang boleh bertaqlid
terhadap salah satu empat mahdzhab kemudian setelah bertaqlid kepada satu
madzhab yang dikehendaki, boleh baginya berpindah ke madzhab lain baik untuk
selamanya atau berpindah pada sebagian hukum syariat saja meskipun hal ini
dilakukan tanpa adanya kebutuhan. 4
5. Implementasi hukum taqlid
Telah dijelaskan rumusan hukum taqlid yang diuraikan oleh para ahli fuqaha,
lalu apa saja syarat dan kriteria seorang yang bisa diikuti muqollad ?

3
Nasrudin Syafik Ubaidilah, “Ijtihad dan Taqlid,” 2 (2019).
4
Al-Kurdi
a. Seorang yang berpredikat mujtahid adalah orang yang boleh untuk diikuti oleh orang
awam, mujtahid di sini tidak di maksudkan tertentu pada mujtahid muthlaq, melainkan
juga memasukkan mujatahid fatwa, seperti al- Rafi’i, al-Nawawi, al-Ramli dan Ibn
Hajar, dengan syarat bahwa pendapatnya tidak dinyatakan sebagai pendapat yang
sangat lemah oleh para ulama ahli fiqh.5
b. Wahbah Zuhaili menambahkan syarat kriteria bagi seseorang yang boleh untuk diikuti
adalah:
1. Berakal; orang yang tidak berakal, secara otomatis tidak dapat untuk di jadikan
panutan (muqallad).
2. Merdeka; hamba sahaya tidak sah untuk dijadikan muqallad.
3. Hidup; syarat hidupnya muqallad menjadi kontroversi ulama fiqh, Wahbah Zuhaili
menuturkan bahwa syarat ini adalah pendapat ulama Syi’ah dan Al-Razi, namun
menurut mayoritas ulama adalah boleh secara mutlak bertaklid terhadap seseorang
(mujtahid) yang telah meninggal, al-Syafi’i sebagai salah satu pendukung pendapat
ini menyatakan bahwa madzhab-madzhab tidak akan sirna bersama wafatnya
pemiliknya, karena eksistensi sebuah madzhab disebabkan dalil-dalil yang
menyokongnya (bukan di sebabkan ‘diri’ pemilik madzhab).
4. al-A’lamiyyah Keilmuan yang lebih tinggi; Dalam ketentuan ini juga terdapat
debatable di kalangan ulama, pendapat pertama menyatakan wajib bertanya kepada
orang yang memiliki keunggulan dari segi keilmuan, kehati-hatian warā’ dan
keberagamaannya. Ini adalah madzhab Ahmad bin Hanbal, Ibn Suraij, al-Qaffal,
Abu Ishaq al-Isfirayini dan Abi Hasan al-Thabari. Al-Ghazali juga mendukung
pendapat ini. Adapun pendapat kedua adalah pendapat mayoritas ulama ushul, dan
fiqh. Diantaranya adalah Hanafiyah, Malikiyah, Mayoritas Syafi’iyah dan
Hanabilah. Pendapat ini menyatakan bahwa seorang ‘āmi dapat secara bebas
memilih untuk bertanya kepada ulama siapa saja (yang telah memenuhi prasyarat),
baik ada diferensi kualitas diantara mereka (ulama) atau sama
5. Al‘adālah; Iftā’ yakni berhati-hati dalam berfatwa dan tidak serampangan dalam
berfatwa hal ini dalam agama adalah sesuatu hal yang memiliki urgensitas yang
tinggi, sehingga syarat ‘adālah bagi seorang mufti nyaris tidak terjadi khilāf sama
sekali, mayoritas ulama sunni dan syi’ah bersepakat untuk mensyaratkan hal ini pada
diri seorang mufti, sehingga mereka menyatakan “orang awam tidak diperbolehkan

5
Al-Kurdi
untuk meminta fatwa kecuali terhadap orang yang diketahui bahwa ia seorang
mujtahid dan diketahui sifat ‘adālahnya”.6
B. Konsep dasar tajdid
Tajdid secara etimologi, tajdid berasal dari Bahasa Arab “jaddada” yang
artinya memperbaharuhi, dan “tajaddada al-syai’”, artinya sesuatu itu menjadi baru.
Sebagai contoh adalah kata-kata “jaddada al-wudûi”, artinya memperbaharuhi wudhu,
dan “jaddada al-’ahda”, artinya memperbaharuhi janji. Lawan dari jadid adalah qadim
(lama/telah usang).
Secara terminologi tajdid adalah menghidupkan kembali apa yang telah
dilupakan/ ditinggalkan dari ajaran-ajaran agama guna mereformasi kehidupan kaum
muslim secara umum ke arah yang lebih baik. Dalam hal ini makna tajdid bukanlah
mengubah yang lama dan menghilangkannya dari aslinya untuk kemudian digantikan
dengan sesuatu yang baru.
Sebagian ulama mendefinisikan tajdid sebagai upaya menghidupkan kembali
apa yang telah hilang dan terhapus dalam penerapan kandungan al-Qur’an dan al-
Sunah, serta perkara yang wajib dikerjakannya, hal ini senada dengan hadis nabi yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah.
‫إن هللا يبعث لهذه األمة على رأس كل مائة سنة من يججد لها دينها‬
“Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung
seratus tahun, orang yang memperbaharuhi agamanya”. Dalam riwayat yang lain
“seorang yang memperbaharui perkara ajaran agamanya”.
Adapun makna “yujaddidu lahâ dînahâ” berarti menjelaskan dan
membedakan antara sunah dan bidah, memperbanyak ilmu dan mendukung ulama,
serta memberantas ahli bidah7
1. Pedoman tajdid dalam pemikiran islam
Makna dari “pemikiran Islam” di sini adalah semua hasil karya akal Kaum
Muslim yang menyangkut masalah-masalah akidah, syariah, dan kehidupan rohaniah
dan jasmaniah, kehidupan dunia, politik, ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Dalam
dunia akademis, umumnya pemikiran Islam meliputi bidang- bidang Ilmu Kalam,
Filsafat Islam, Tasawuf, dan Usul Fiqh.
Kalau nisbah pemikiran itu kepada Islam, maka sudah seharusnya pemikiran
itu tidak boleh berlawanan dan bertentangan dengan ajaran pokok Islam yang
6
Syafik Ubaidilah.
7
Amal Fathullah Zarkasyi, “Tajdid dan Modernisasi Pemikiran Islam,” Tsaqafah, 9.2 (2013), 395
<https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v9i2.59>.
besumber kepada al-Qur’an dan hadis. Kalau pemikiran tersebut bertentangan dan
tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka tidak boleh dinisbahkan kepada pemikiran
Islam. Untuk itu, perlu ada pedoman yang dijadikan standar dalam tajdid dan
pemikiran Islaminya.
Adapun standar tersebut adalah sebagai berikut:
 Komitmen terhadap masdariyyah dan marji’iyyah Yang dimaksud dengan
masdariyyah adalah sumber-sumber pokok dan sumber pengetahuan yang
dipakai sebagai landasan berpikir, tempat berpijak ilmu pengetahuan, dan
sumber dari hasil pemikiran. Sumber dalam pemikiran Islam adalah wahyu dan
syariah dari al-Qur’an dan sunah, dan sumber tasyrî’ yang disepakati ulama.
Sedangkan yang dimaksud dengan marji’iyyah adalah para perantara-perantara
pemikiran yang dianggap sebagai rujukan dalam membaca, memahami literatur
klasik secara komprehensif, dan menyeleseksi kegunaannya untuk pemikiran
dan pengetahuan.
 Mempunyai metode berpikir dan metode tajdid yang jelas. Maksud dari prinsip
ini tertuang dalam dua prinsip berikut: pertama, ta’sîl sebelum tanhîr, artinya
melihat terlebih dahulu warisan klasik Islam dalam bidang fikih dan pemikiran
sebelum melihat yang lain, sebab warisan kita cukup untuk menyelesaikan
problema pemikiran masa kini. Kedua, mengetahui maksud dan tuntutan zaman,
supaya tajdid yang diinginkan tidak terjadi pengulangan yang tidak berarti. Oleh
karenya, perlu mempelajari kondisi Kaum Muslim dan kebutuhan mereka pada
masa kini dan yang akan datang
 Pemahaman yang benar terhadap syariah dan kondisi zaman Bagi seorang
mujadid perlu mempunyai pengetahuan luas dan mendalam, bukan hanya
tentang teks agama, tetapi juga realitas masyarakat, bahkan mengetahui fikih
syariah dan fikih zaman, ilmu umum dan agama, tahu mendiagnosa penyakit
umat dan mengobatinya

2. Para tokoh mujadid serta pemikirannya


Berikut para mujadid dan bentuk-bentuk tajdid mereka, yang dilakukan baik
oleh ulama salaf maupun ulama modern, sebagai perbandingan untuk memilih dan
memilah mana yang sesuai dengan ajaran Islam dan mana yang tidak sesuai:
A. Tajdid pada Zaman al-Khulafâ al-Râsyidûn.
 Tajdid Abu Bakar al-Shiddiq: memerangi kaum murtad, mengumpulkan al-
Quran, dan memulai gerakan ekspansi Islam.
 Tajdid Umar bin Khattab: membuat Kalender Hijriyah, memperluas daerah
ekspansi Islam dan membangun kota-kotanya, menciptakan keadilan sosial di
kalangan muslimin, menjaga pedoman akhlak di masyarakat, dan
memperbaharui fikih politik dan administrasi.
 Tajdid Usman bin Affan: menyebarkan kebudayaan Islam dan memperluas
pembangunan negara dan mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf
(Mushaf Usmani).
 Tajdid Ali bin Abi Thalib:memerangi aliran ekstrem dalam agama dan,
memerangi kelompok Khawarij yang menyimpang akidahnya.
B. Tajdid setelah Zaman al-Khulafâ al-Râsyidûn
 Khalifah Umar bin Abdul Aziz: mengembalikan sistem pemerintahan dari
kerajaan ke khilafah, membentuk bait al-mâl, untuk kesehjahteraan Kaum
Muslim, mene- rapkan prinsip keadilan dalam hukum, dan memperbaiki
perangai rakyat dan amar makruf dan nahi mungkar.
 Imam al-Syafi’i: pembukuan Usul Fikih, pembetulan beberapa penyimpangan
dalam akidah, dan pembelaan terhadap sunah
 Imam al-Asy’ari: memerangi para penyeleweng akidah, menampilkan metode
baru dalam pembahasan akidah, dan meluruskan pendapat mutakalimun dalam
bidang akidah.
 Imam al-Ghazali: mengkritik para filosof tentang beberapa perkara, mengkritik
penyelewengan terhadap Ilmu Kalam, mengkritik ahli kebatinan, dan
mengkritik ahli tasawuf yang menyeleweng.
C. Tajdid pada Zaman Modern
 Jamaluddin al-Afghani: membebaskan ikatan taqlid dan membuka pintu
ijtihad, berhukum kepada al-Qur’an dan hadis, meluruskan pemahaman yang
salah terhadap prinsip-prinsip Islam, menolak aliran naturalisme dan
menegaskan pentingnya agama, dan seruan terhadap pembentukan Pan-
Islamisme dan berpegang terhadap mazhab salaf.
 Muhammad Abduh: memerangi bidah dan khurafat, seruannya agar dibuka
pintu ijtihad, dan reformasi dalam bidang pendidikan, pengajaran, dan bahasa
Arab8
 Rasyid Ridha: menyebarluaskan fatwa-fatwa kontemporer dan menetapkan al-
Qur’an antara fiqih kontemporer dan fiqih ahkam, memberikan penerangan
kepada umat tentang perbedaan antara agama dan tradisi yang ada di
masyarakat9.
C. Implikasi ijtihad para imam 4 madzhab terhadap NU dan Muhammadiyah
Sebelum membahas bentuk implikasi ijtihad para imam 4 madzhab terhadap
ormas NU dan Muhammadiyah, maka sangat penting untuk memahami tentang
madzhab itu sendiri serta konsep dasar ijtihad yang telah dipraktikkan oleh imam
madzhab yang menghasilkan produk-produk fikih. Sehingga dapat terlihat implikasi
ijtihadnya terhadap dua ormas terbesar di indonesia
a. Pengertian madzhab
Menurut bahasa Arab, “mazhab” (‫)مذهب‬berasal dari shighah masdar mimy
(kata sifat) dan isim makan (kata yang menunujukkan keterangan tempat) dari akar
kata fiil madhy “ dzahaba”(‫ )ذهب‬yang bermakna pergi. Jadi, mazhab itu secara
bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (at-thariq). Menurut istilah mazhab adalah
kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari
dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawa’id) dan landasan (ushul)
yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga
menjadi satu kesatuan yang utuh (M. Husain Abdullah : 1995). Dari uraian ini bisa
kita simpulkan bahwa mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh
Imam mujtahid dalam memecahkan masalah; atau mengistinbathkan hukum islam. 10
b. Hukum islam masa tabi’in dan metode istinbathnya
Setelah masa Khulafaurrasyidin berakhir, masa selanjutnya adalah zaman
Tabi'in. Perkembangan hukum Islam pada masa ini ditandai dengan munculnya
aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum.
Faktor-faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam antara lain adalah
perluasan wilayah dan perbedaan dalam penggunaan ra'yu. Setelah masa sahabat dan

8
Zarkasyi.
9
Asep Hilmi, “Pemikiran Modern Hukum Islam Rasyid Ridha,” Tazkia Jurnal Keislaman, Kemasyarakatan &
Kebudayaan, 18.2 (2014), 95–105.
10
Nanang Abdillah, “Madzhab Dan Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan,” Fikroh: Jurnal Pemikiran
dan Pendidikan Islam, 8.1 (2016), 20–38 <https://doi.org/10.37812/fikroh.v8i1.20>.
tabi'in berakhir, muncul tiga belas aliran fiqih Islam dengan mujtahidnya masing-
masing. Empat di antaranya, yaitu Abu Hanifah, Malik ibn Annas, Muhammad ibn
Idris al-Syafi'i, dan Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, menjadi terkenal dengan
madzhab pemikiran fiqihnya, yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, dan
Hanbaliyah.
1. Madzhab hanafi
Langkah-langkah ijtihad Imam Abu Hanifah melibatkan Alquran, Sunnah,
fatwa (Ijma'ash-shahabi) dari teman yang disepakati, dan dipilih dalam kasus hukum
Salah satu fatwa yang berbeda dari sahabat. Imam Abu Hanifah (Imam Abu Hanifah)
tidak akan bertindak sendiri, selama dia mengikuti sumber-sumber rujukan tersebut.
Yang menarik ialah, Imam Metodologi istimbath hukum Hanafi tidak menjadikan
pendapat ulama tabi’in sebagai rujukan karena rentang waktu yang sudah jauh antara
Rosulullah dan ulama dari generasi tabi’in. Ia berpendapat, kedudukannya sama
dengan kedudukan tabi’in dalam hal berijtihad.11
Dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar Imam Abu Hanifah dalam berijtihad
adalah:
1) Kitab Allah (Al-Qur’an Karim)
2) Sunnah Rasulullah yang telah masyhur/mutawatir.
3) Pendapat dari para sahabat nabi.
4) Al – Qiyas
5) Istihsan
6) Ijma para ulama
7) Al – Urf masyarata muslim
2. Madzhab Maliki
Sumber hukum yang dijadikan dasar didalam menetapkan setiap persoalan
hukum yang digunakan oleh kalangan ulama Malikiyah adalah sebagaimana berikut:
1. Al-Qur’an;
2. Al-Hadits as-Shahihah;
3. Ijma’ ulama Madinah. Dalam hal ini terkadang imam Malik menolak hadits yang
bertentangan dengan amalan ulama Madinah pada masa itu, maksudnya hadits yang
tidak diamalkan kandungannya;
4. Qiyas;

11
Abd. Rahman Dahlan, Ushul FIqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h.25. 16
5. Maslahah mursalah.12
3. Madzhab Syafi’i
Adapun sumber hukum yang menjadi dasar asy-Syafi’I didalam menetapkan
setiap persoalan hukum adalah sebagaimana berikut:
1. Al-Qur’an;
2. Al-Sunnah;
3. Ijma’, dalam hal ini asy-Syafi’I lebih mendahulukan hadits ahad daripada ijma’,
kecuali terdapat keterangan yang menjelaskan bahwa ijma’ itu bersendikan nash
dan diriwayatkan oleh orang banyak sehingga sampai kepada Rasulullah;
4. Qiyas,
5. Istidlah (istishab). Dalam hal ini terdapat dua sumber yang diambil oleh asy-
Syafi’I untuk dijadikan dasar pendapatnya, yakni adat dan kebiasaan, yang mana
keduanya dijadikan dasar berpikir jika tidak bertentangan dengan jiwa al-Qur’an.
Dalam hal ini juga kiranya dapat disimpulkan bahwa dasar ini merupakan bentuk
penolakannya terhadap orang yang mendasarkan pendapatnya melalui istihsan.
Asy-Syafi’I menganggap bahwa seseorang yang menetapkan hukum berdasarkan
istihsan berarti ia membuat-buat syari’at.
Cara ijtihad (istinbath) imam al-Syafi‟i seperti imam-imam madzhab yang
lainnya, namun imam al-Syafi‟i disini menentukan thuruq al- istinbath al-ahkam
tersendiri. Adapun langkah-langkah ijtihadnya adalah; Ashal yaitu Al-qur‟an dan
Sunnah. Apabila tidak ada didalamnya maka beliau melakukan qiyas terhadap
keduanya. Apabila hadits telah muttashil dan sanadnya sahih, berarti ia termasuk
berkualitas. Makna hadits yang diutamakan adalah makna zhahir, ia menolak hadits
munqathi’ kecuali yang diriwayatkan oleh Ibn al-Musayyab pokok (al-ashl) tidak
boleh dianalogikan kepada pokok, bagi pokok tidak perlu dipertanyakan mengapa dan
bagaimana (lima wa kaifa), hanya dipertanyakan kepada cabang (furu’).

4. Madzhab Hanbali
Sedangkan, sumber hukum yang menjadi dasar imam Ahmad dan para
pengikutnya (Hanabilah) didalam menetapkan setiap persoalan hukum adalah
sebagaimana berikut:
1. Al-Qur’an;
12
Abd. Rahman Dahlan, Ushul FIqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 54
2. Al-Hadits;
3. Fatawa Sahaby;
4. Pendapat sebagian sahabat, dalam hal ini imam Ahmad menggunakan metode tarjih
didalam mengambil pendapat diantara para sahabat;
5. Hadits mursal dan dha’if yang tidak bertentangan dengan atsar dan
pendapat sahabat; Qiyas, dalam hal ini imam Ahmad menggunakan qiyas sebagai
alternative terakhir yang digunakannya manakala dari kelima runtutan tersebut tidak
didapati suatu penjelasan tentang permasalahan yang memerlukan jawaban atasnya.
D. Pengaruh ijtihad para imam 4 madzhab terhadap ormas NU dan Muhammadiyah
Pengaruh ijtihad (penalaran dan penafsiran hukum Islam) dari empat imam
madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad ibn
Hanbal) terhadap organisasi Islam di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah, dapat tercermin dalam pendekatan hukum dan pemikiran keagamaan
yang diadopsi oleh masing-masing organisasi tersebut
1. Nahdlatul Ulama’ dan model ijtihadnya
NU memiliki akar yang kuat dalam tradisi Sunni yang mengikuti ajaran Imam
Syafi'i. Oleh karena itu, ijtihad Imam Syafi'i memiliki pengaruh signifikan dalam
penentuan hukum Islam yang diterapkan oleh NU. Pendekatan ini memungkinkan NU
untuk mengikuti prinsip-prinsip hukum Islam yang sesuai dengan pandangan Imam
Syafi'i.
Hadirnya buletin LINO (Lailatul Ijtima’ Nahdatul Oelama) sebelum berdirinya
NU merupakan bukti adanya semangat diskusi para kiai NU yang melibatkan santri
dalam merumuskan urusan keagaman yang aktual dengan melakukan diskusi jarak jauh
atau saling menanggapi tulisan melewati buletin ini. Setelah NU berdiri pada tahun
1926, beberapa bulan setelahnya, yakni pada tanggal 21-23 Oktober 1926, NU
mengadakan bahtsul masail pertama. Kemudian pada Muktamar XXVIII tahun 1980,
lajnah bahtsul masail ini menjadi lembaga bahtsul masail yang resmi dan permanen
membahas persoalan-persoalan keagaaman yang muncul di masyarakat. Hal ini sesuai
dengan ART NU tahun 2004 yang menyatakan bahwa tugas bahtsul masail ialah
membahas dan memecahkan masalah-masalah yang mawdu’iyyah atau tematik dan
waqi’iyyah atau aktual yang memerlukan kepastian hukum. Kemudian dibentuk
menjadi bahtsul masail diniyyah waqi’iyah yang memberikan jawaban secara singkat
dan tegas mengenai status hukum terkait fikih parktis dalam kehidupan sehari-hari,
bahtsul masail diniyyah maudlu’iyyah yang menjawab persoalan secara keseluruhan
dan konseptual dengan kaidah dan metodologi penetapan hukum, serta bahtsul masail
qanuniyah yang menjadi rekomendasi atau pendapat NU mengenai sebuah regulasi.
Model pendekatan yang dipakai NU bersifat tradisionalis, terkenal dengan kaidahnya
yang berbunyi
‫المحافظة على القديم الصالح واألخذ بالجديد األصلح‬
memelihara nilai-nilai terdahulu yang sudah baik dan mengambil nilai-nilai baru yang
lebih baik.
Dengan pendekatan ini, NU berusaha menerapkan soft approach dalam upaya
mengenalkan hukum Islam kepada masyarakat dengan menerima budaya dan kearifan
lokal yang menjadi bagian masa lalu yang tidak mengandung syirik atau dengan
mengubah konten budaya dan kearifan lokal tersebut menjadi berkonten Islami.
Sesuai dengan keputusan Muktamar ke I tahun 1926, jika terdapat perbedaan
pendapat dalam rujukan kitab Syafi’i, maka disesuaikan dengan cara memilih terlebih
dahulu pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhani atau al-Nawawi dan al-Rafi’i,
kemudian pendapat yang dipegangi oleh al-Nawawi, pendapat yang dipegangi oleh al-
Rafi’i, pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama, pendapat ulama yang terpandai,
pendapat ulama yang paling wara’.10 Alasan NU lebih condong kepada salah satu
madzhab ini telah dinyatakan oleh pendiri NU dalam risalah fi taakkudi alakhdzi
bimadzhabi al-arba’ah, bahwa bermadhzab adalah hal yang penting dan bermanfaat
untuk membawa kesejahteraan, Nabi SAW juga memerintahkan untuk mengikuti
golongan mayoritas umat Islam (al-sawad al-a’dzam).
Selain itu ilmu agama tidak boleh putus dan harus bersanad kepada madzhab
yang mempunyai sanad kepada Nabi SAW. Hal ini membuat tidak langsung merujuk
siti persoalan kepada alquran dan assunah, melainkan kepada kitab-kitab mu’tabaroh,
yang kemudian menghasilkan metode qauli dan manhaji Metode qauli ialah cara
penetapan hukum dengan merujuk kitab fikih karya ulama atau pengikut madzhab
dengan mengacu langsung pada bunyi teks. Tahapan yang dipakai dalam metode ini,
ialah dengan merujuk langsung kepada ta’bir suatu kitab, taqrir jama’i atau menentukan
suatu teks dari sekian teks yang dianggap paling sesuai dengan persoalan yang dibahas,
dan tahapan ilhaq almasail atau melakukan analogi terhadap teks lain yang mempunyai
kesamaan makna.
Penentuan ini dilakukan secara musyawarah dalam kegiatan bahtsul masail.
Pada tahapan taqrir jama’i, maka melakukan pertimbangan pada titik kemaslahatannya.
Adapun dalam melaksanakan ilhaq, terdapat hal yang harus dipenuhi seorang mulhiq
(pelaku ilhaq), yakni adanya mulhaq bih atau permasalahan yang hendak disamakan
yang belum ada ketetapannya dalam kitab, kemudian mulhaq ‘alaih atau permasalahan
yang sudah ada ketetapan hukumnya yang, terhadap permasalahan ini, permasalahan
lain yang belum ada ketetapannya hendak disamakan, dan wijh al-ilhaq atau sisi
keserupaan antara mulhaq bih dan mulhaq ‘alaih.
Adapun metode manhaji ialah dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah
penetapan hukum yang telah disusun imam mazhab. Metode ini adalah jalan alternatif
ketika metode qauli tidak mampu menyeselaikan persoalan yang dibahas. Term yang
digunakan ialah istinbat}, namun istinbat} hukum di kalangan NU, sesuai dengan sikap
dasar bermazhab, men-tat}biq-kan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha
dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Sehingga tidak langsung merujuk
kepada alquran dan assunah seperti arti istinbat} dalam ilmu us}ul fiqh. Hal ini
dikarenakan syarat dan tahapan menjadi mujtahid tidaklah mudah. Namun NU
memiliki sikap ideal dalam bermadzhab, yaitu tawassut}-i’tidal (moderat) dan
menghindari bersifat tatarruf (ekstrem), tasamuh (toleran) terhadap perbedaan
pendapat, tawazun (adil dan berimbang) atau bersikap seimbang baik dalam takdzhim
kepada Allah, manusia, lingkungan maupun alam, dan amar ma’ruf nahi munkar atau
adanya kepekaan sosial dalam melakukan perbuatan yang memberi manfaat dan
mencegah dari hal buruk.13
2. Muhammdiyah dan ijtihadnya
Muhammadiyah, yang mendukung pendekatan ijtihad dan pembaruan dalam
Islam, mungkin lebih terbuka terhadap ijtihad dari berbagai madzhab, tidak terbatas
pada satu madzhab tertentu. Pemikiran dan ijtihad dari empat imam madzhab, atau
bahkan pemikiran di luar madzhab, dapat memengaruhi cara Muhammadiyah
menafsirkan dan menerapkan hukum Islam.
Majelis Tarjih dan Tajdid lahir satu tahun setelah lembaga bahtsul masail
lahir, yakni pada tahun 1927 atau 15 tahun setelah Muhammadiyah lahir. Lahirnya MT
ini didasari pada banyaknya anggota yang memiliki perbedaan pandangan terhadap
permasalahan keagamaan, maka untuk menghindari meluasnya perselisihan dan
retaknya hubungan anggota Muhammadiyah, dibentuk MT pada Kongres ke 16 di
Pekalongan. Pada awal pembentukannya, MT hanya bersifat memillih pendapat ulama
yang paling kuat terhadap suatu permalahan, namun kemudian meluas menjadi usaha

13
Neng Eri Sofiana, “Relasi Ijtihad NU , Muhammadiyah , dan MUI,” Al-Syakhsiyyah Journal of Law and
Family Studies, 4.2 (2022), 141–55.
menemukan ketentuan hukum terhadap permasalahan baru yang tidak atau belum
pernah diriwayatkan qaul ulama. Kemudian pada tahun 1995 berganti nama menjadi
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (tajdid). Adapun tugas MT sesuai
Qa’idah Majlis Tarjih 1961 yang diperbaharui dengan keputusan Pimpinan Pusat
Muhammadiyah No. 08/SKPP/I.A/8.c/200, Bab II pasal 4 ialah melakukan kajian dan
penelitian tentang Islam, menyampaikan fatwa untuk membimbing umat, dan
mengarahkan umat kepada pendapat yang maslahah.14
Adapun metode ijtihad yang digunakan Majlis Tarjih meliputi:
 Ijtihād bayānī, yaitu ijtihad terhadap nash yang mujmal, baik karena
belum jelas makna lafaz yang dimaksud, maupun karena lafaz itu
mengandung makna ganda, mengandung arti musytarak, ataupun
karena pengertian lafaz dalam ungkapan yang konteksnya mempunyai
arti yang (ta’arrud). Dalam hal yang terakhir digunakan jalan ijtihad
dengan jalan Tarjih, apabila tidak dapat ditempuh dengan cara
jama’tawfiq
 Ijthād qiyāsī, yaitu menyeberangkan hukum yang telah ada nashnya
kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash,
karena adanya kesamaan ‘illah.
 Ijtihad istislāhi, yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak ditunjuki
nash sama sekali secara khusus, maupun tidak adanya nash mengenai
masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah yang demikian
penetapan hukum dilakukan berdasarkan ‘illah untuk kemaslahatan.
Dengan demikian metode ijtihad yang digunakan Majlis Tarjih
Muhammadiyah identik dengan metode penaalaran, baik melalui kajian semantik (pola
bayānī), penentuan ‘illat (pola ta’līlī) maupun pertimbangan kemaslahatan berdasarkan
nash umum (pola istislahi) dalam pandangan Muhammad Ma’ruf al-Dawalibi.16
Disamping itu, ijtihad yang dilakukan Majlis Tarjih Muhammadiyah merupakan ijtihād
jamā’i (ijtihad kolektif dari orang- orang Muhammadiyah yang memilki kompetensi
mengeluarkan fatwa) Dari uraian diatas dapat dikemukakan, bahwa istinbat hukum
dalam
Majelis Tarjih Muhammadiyah menggunakan beberapa metode (manhāj)
berdasarkan eksitensi nash dari kasus hukum yang dihadapi antara lain:
 Masalah yang telah mempunyai nas yang qathi tidak lagi diperdebatkan.
14
Sofiana.
 Masalah yang mempunyai nas namun masih diperselisishkan, atau saling
bertentangan antara satu nas dengan nas lainnya, atau nilai nas itu berbeda,
maka Majelis Tarjih Muhammadiyah menempuh cara: Tawaqqūf, yaitu bersikap
membiarkan tanpa mengambil keputusan, karena kedua dalil atau lebih yang
saling bertentangan itu tidak dapat dikompromikan dan tidak dapat dicarikan
alternatif mana yang dianggap paling kuat dalilnya, seperti kasus qūnut dalam
salat witir.
Tarjīh, yaitu mengambil dalil yang lebih kuat diantara dalil-dalil yang
bertentangan. Dalam hal ini ditempuh beberapa metode, yakni:
a) Mendahulukan jarh (cela) daripada ta’dīl setelah ada keternagan yang jelas dan
sah menurut anggapan syara’.
b) Riwayat orang yang terkenal suka melakukan tadlis dapat diterima bila ia
menerangkan bahwa apa yang ia riwayatkan itu bersambung sanadnya, dan
tadlisnya itu tidak sampai tercela.
c) Pendapat sahabat tentang perkataan musytarak, pada salah satu artinya wajib
diterima.
d) Penafsiran sahabat antara arti kata yang tersurat dengan yang tersirat, arti kata
yang tersurat itu yang diutamakan/atau diamalkan.19
Jam’u, yaitu menjama’atau menggabungkan atau menghimpun antara kedua
dalil atau lebih yang saling bertentangan dengan melakukan penyelesaian-penyelesaian.
Misalnya, bila ada hadis ahad yang sahih tetapi bertentangan dengan prinsip dasarAjaran
Islam, maka kemungkinan hadis itu bersifat insidental atau anjuran yang tidak mengikat
secara hukum.
Masalah-masalah yang tidak nashnya, padahal dibutuhkan ketentuan
hukumnya oleh masyarakat, maka Majlis Tarjih berijtihad mengistinbatkan hukumnya
dengan berpedoman kepada prinsip-prinsip ajaran Islam, seperti prinsip kemaslahatan
dan menolak kemasfadatan, atau dengan alasan adanya darurat yang dapat menimbulkan
ke mudaratan.
Dengan demikian, dalam melakukan istinbāt hukum, Majlis Tarjih
Muhammadiyah meletakkan Alquran dan hadis sebagai dasar mutlak. Sedangkan ijtihad
dilakukan hanya digunakan jika persoalan yang dihadapi belum disebutkan secara
tersurat dalam Alquran dan hadis15

15
Abdi Wijaya, “Manhāj Majelis Tarjih Muhammadiyah Dalam Transformasi Hukum Islam ( Fatwa ),” Al-
Risalah Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, 19.1 (2019), 66 <https://doi.org/10.24252/al-risalah.v19i1.9688>.
Contoh fatwa antara Nahdlatul ulama dan Muhammadiyah fatwa Rokok
menjadi fatwa yang paling disorot karena terdapat warna yang berbeda dari hasil fatwa
yang dilakukan antara NU dan Muhammadiyah Fatwa terkai rokok dalam NU telah ada
dan telah dibahas sejak lama, yakni pada kongres NU tahun 1927 di Surabaya yang
merespon jual beli petasan dan rokok yang diperbolehkan seusia kitab fathul mu’in dan
i’anatut t}alibin, kemudian pada bathsul masail tahun 1990 di Kudus yang menurut KH
Turaichan Ajhuri menyatakan bahwa rokok bisa menjadi makruh jika diyakini akan
timbul dampak negatif dan menjadi wajib jika terdapat orang yang tidak dapat berkreasi
atau berkarya tanpa didahului rokok, dan tahun 2010 di Surabaya untuk menanggapi
fatwa MUI. NU mengklasifikasikan hukumnya pada tiga hal, yakni pertama, hukum
merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa mud}arat.
Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang
memabukkan. Kedua, hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mud}arat
relatif kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram. Ketiga, hukum
merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak
mud}arat. Landasan hukum makruhnya rokok berdasarkan kaidah fikih yang berbunyi
‫“األص ل يف األش ياء اإلباح ة‬segala sesuatu asalnya adalah mubah”, dan berdasarkan qaul ‘Abdur

Rahman ibn Muhammad ibn Husain ibn ‘Umar Ba’alawiy dalam Bughyatul
Mustarsyidin.
Sedangkan Muhammadiyah dalam fatwa MMT Nomor 6/SM/MTT/III/2010
yang dikeluarkan pada 9 Maret 2010 mengharamkan rokok secara mutlak. Hal ini
didasari pada surat Al-A’raf ayat 157 bahwa rokok termasuk al-khaba’its, merupakan
tindakan bunuh diri secara perlahan, melemahkan manusia dengan kandungan zat adiktif
yang dikandungnya, termasuk ke dalam pemborosan, bertentangan dengan tujuan syariah
atau maqa\s}id asy-syar’iyyah.16
E. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas penulis menyimpulkan bahwa taqlid secara harfiah
berarti "mengikuti" atau "mengambil dari sumber lain". Taqlid merujuk pada tindakan
mengikuti pendapat atau pandangan ulama atau tokoh agama tertentu dalam masalah-masalah
hukum Islam tanpa melakukan penelitian atau ijtihad sendiri. Mereka mengikuti salah satu
dari empat madzhab yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi'i, atau Mazhab
Hanbali. Seorang muqallid meyakini bahwa ulama-ulama dari satu madzhab memiliki

16
Sofiana.
pengetahuan terkait hukum yang lebih baik dan pemahaman yang lebih mendalam terhadap
hukum Islam daripada dirinya sendiri, sehingga dia memilih untuk mengikuti pandangan
mereka.
Begitu juga Tajdid yang bermakna "pembaruan" atau "penyegaran." tajdid merujuk
pada usaha atau gerakan untuk melakukan pembaruan dalam pemahaman dan praktik agama
Islam. Tujuan dari tajdid adalah untuk membawa kesegaran dan relevansi Islam dalam
menghadapi perubahan zaman dan tantangan yang muncul. Pemikiran tajdid mengakui
bahwa sumber ajaran Islam utama, yaitu Al-Quran dan Hadis, tetap konstan, tetapi penafsiran
dan aplikasinya dapat mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan zaman dan kondisi
masyarakat.
Menjawab dari rumusan masalah penulis juga menyimpukan terkait Hukum Islam
adalah hukum yang berawal dan menjadi bagian dari agama. Adapun konsep hukum Islam,
kerangka dasarnya bersumber dari Allah SWT yaitu dari Alquran. Para ulama ushul fiqh dan
fiqh sepakat bahwa Istinbāţh diperoleh dari ijma 'Kitabullah dan Qiyas. Hanya saja beberapa
orang mengambil semua atau sebagian konten. Meski arah perkembangan masingmasing
mazhab berbeda, namun mereka semua menerima dan mengembangkan empat poin utama
yang ditekankan oleh As Syafii, yaitu: "Alquran", "Sunnah", "Hadits" dan landasan. Namun
menurut mazhab pemikiran masing-masing, intensitas penggunaan keempat proposisi
tersebut tentunya akan berbeda-beda antara satu mazhab dengan mazhab lainnya.
Hal ini beimplikasi terhadap ormas yang yang ada pada contoh yakni NU dan
Muhammadiyah yang mana berbeda juga dalam menentukan hukum islam dengan metode-
metode tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Nanang, “Madzhab Dan Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan,” Fikroh: Jurnal
Pemikiran dan Pendidikan Islam, 8.1 (2016), 20–38
<https://doi.org/10.37812/fikroh.v8i1.20>
Fadli, Muhammad Rijal, “Tinjauan Historis: Pemikiran Hukum Islam Pada Masa Tabi’in
(Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i Dan Imam Hanbali) Dalam Istinbat Al-
Ahkam,” Jurnal Tamaddun : Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, 8.1 (2020)
<https://doi.org/10.24235/tamaddun.v8i1.5848>
Hilmi, Asep, “Pemikiran Modern Hukum Islam Rasyid Ridha,” Tazkia Jurnal Keislaman,
Kemasyarakatan & Kebudayaan, 18.2 (2014), 95–105
Sofiana, Neng Eri, “Relasi Ijtihad NU , Muhammadiyah , dan MUI,” Al-Syakhsiyyah Journal
of Law and Family Studies, 4.2 (2022), 141–55
Syafik Ubaidilah, Nasrudin, “Ijtihad dan Taqlid,” 2 (2019)
Wijaya, Abdi, “Manhāj Majelis Tarjih Muhammadiyah Dalam Transformasi Hukum Islam
( Fatwa ),” Al-Risalah Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, 19.1 (2019), 66
<https://doi.org/10.24252/al-risalah.v19i1.9688>
Zarkasyi, Amal Fathullah, “Tajdid dan Modernisasi Pemikiran Islam,” Tsaqafah, 9.2 (2013),
395 <https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v9i2.59>

Anda mungkin juga menyukai