Anda di halaman 1dari 10

AKAD NIKAH DAN SEGALA HAL YANG BERSANGKUTAN

DENGANNYA

Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah Fiqih Munakahat
Dosen Pengampu Abdul Azid, M.Pd

Disusun Oleh :
Fahmi Fuadi (21.01.3967)
Inez Indriyani (23.01.4559)

JURUSAN TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) BREBES
TAHUN 1445 H/2024 M
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Akad Nikah merupakan salah satu aspek penting dalam pernikahan menurut ajaran
Islam. Prosesi tersebut bukan hanya sekedar formalitas, tapi memiliki makna yang dalam
juga tata cara yang sudah ditentukan. Akad Nikah adalah momen di mana terjadi ijab dan
qabul, yaitu penawaran dan penerimaan antara wali nikah dan calon suami, yang disaksikan
oleh saksi-saksi yang memenuhi syarat.
Dalam makalah ini, kita akan membahas tentang akad nikah, yang mencakup definisi
dan esensi dari akad itu sendiri. Selanjutnya, kita akan menggali lebih dalam mengenai tata
cara akad nikah. Kita juga akan mengeksplorasi bentuk akad nikah, yang bisa beragam
tergantung pada budaya dan tradisi setempat, namun tetap berlandaskan pada prinsip-prinsip
Islam. Terakhir, makalah ini akan menjelaskan prosedur akad nikah, yang harus diikuti agar
pernikahan dianggap sah menurut syariat Islam.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana Tata cara akad nikah ?
2. Bagaimana bentuk-bentuk pernikahan yang batal ?
C. Tujuan pembahasan
1. Mengetahui Tata cara akad nikah.
2. Mengetahui bentuk-bentuk akad nikah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad Nikah


Akad nikah dalam madzhab Syafi’i, seperti yang dijelaskan dalam kitab “Al-Majmu’
Syarah Muhadzab” karya Imam Nawawi, adalah akad yang mengandung kebolehan saling
mengambil kenikmatan biologis antar suami dan istri sesuai dengan prosedur yang diajarkan
oleh syara’.1 Dalam kitab “Fathul Mu’in”, akad nikah didefinisikan sebagai akad yang
berisikan pembolehan melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafal nikah atau
tazwij2. Sedangkan didalam Kitab “Uqudullujain” dijelaskan bahwa akad nikah adalah
perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam
bentuk Ijab dan Qabul.
B. Tata Cara Akad Nikah
Dalam ajaran agama Islam, akad nikah merupakan salah satu moment yang sakral
dan penting dalam kehidupan seorang Muslim. Hal ini tidak hanya menyatukan jiwa dan
raga dua insan yang berbeda dalam sebuah ikatan suci, akan tetapi juga perwujudan dari
ibadah dan ketaatan kepada Allah ‫ ﷻ‬. Berdasarkan dari penjelasan beberapa kitab fiqih
yang saya pelajari dan saya pahami, berikut uraian mengenai tata cara akad nikah yang
sesuai dengan syariat Islam:
1. Akad nikah harus memenuhi rukun dan syarat yang sudah ditetapkan oleh syariat.
Rukun nikah meliputi adanya calon suami, calon istri, wali dari calon istri, saksi-saksi,
serta shighot (ijab & qabul) yang sah.
2. Syarat akad nikah yang harus di penuhi agar sah pernikahannya:
a. Syarat calon pengantin laki-laki
1) Beragama Islam
2) Bukan mahram dengan calon Istri
3) Tidak sendang dalam haji atau umroh
4) Tidak dipaksa
5) Mengetahui wali yang sah
6) Mengetahui calon Istri yang dinikahi
1
Imam Nawawi, Kitab Al Majmu Syarah Al Muhadzdzab, Juz 22
2
Ahmad Zainuddin Alfannani, Kitab Fathul Mu’in, Hal 97-100
7) Tidak mempunyai empat orang Istri yang sah.

b. Syarat calon pengantin perempuan


1) Islam
2) Jenis kelamin perempuan
3) Tidak dalam masa Idah
4) Tidak sedang ihram haji atau umroh
5) Tidak dipaksa
6) Bukan mahram dengan calon suami
7) Tidak bersuami dengan pria lain (masih hidup)
c. Syarat wali
1) Laki-laki
2) Dewasa (baligh)
3) Berakal
4) Tidak dalam ihram haji atau umrah
5) Adil
6) Tidak ada paksaan
7) Tidak muflis atau di tahan kuasa hartanya.
d. Syarat saksi
Menurut Madzab Syafi’i saksi adalah syarat sahnya pernikahan dengan kata lain
saksi harus hadir ketika akad nikah di langsungkan. Berikut syarat saksi yang
harus di penuhi;
1) Beragama Islam
2) Baligh
3) Berakal
4) Merdeka
5) Sekurang-kurangnya dua orang saksi
6) Memahami kandungan ijab dan qabul
7) Tidak cacat pendengaran, bercakap dan penglihatan
8) Adil.3
e. Syarat ijab dan qabul
3
Imam Abu Suja’, Matan al-Ghâyah wa Taqrîb (Surabaya: Al-Hidayah, 2000), hal. 31
Yaitu sesuatu yang di ucapkan oleh wali, sedangkan qabul adalah sesuatu
yang di ucapkan oleh mempelai pria di saksikan oleh dua orang saksi. As-
Syarbini di dalam kitab yang sama beliau menyebutkan beberapa syarat sighat
ijab qabul yakni:
1) Tidak adanya penggantungan (ta’lîq) dan pembatasan waktu (ta’qît). Tidak
sah sebuah akad nikah di mana di dalam pengucapan ijab qabulnya
menyertakan kalimat yang menggantungkan pernikahan tersebut pada suatu
kejadian tertentu. Misal ucapan seorang wali “bila anak perempuanku dicerai
oleh suaminya dan telah habis masa idahnya maka aku kawinkah engkau
dengannya.” Pun tidak sah bila dalam ijab qabul disertai dengan pembatasan
waktu tertentu. Seperti wali mengucapkan “aku nikahkan kamu dengan anak
perempuanku untuk waktu dua tahun.” Ini merupakan nikah mut’ah.
2) Harus menggunakan kata yang terbentuk dari kata inkâh (nikah) atau tazwîj
(kawin). Tidak sah akad nikah bila tidak menggunakan kedua kata tersebut,
baik salah satunya atau kedua-duanya.
Itu dua syarat yang disebutkan oleh As-Syarbini di dalam Al-Iqnâ’.
Adapun ulama-ulama Syafii’iyah lainnya, seperti Imam Nawawi masih
memberikan satu syarat lagi yaitu harus bersambung antara kabul yang diucapkan
oleh suami dengan ijab yang diucapkan oleh wali. Terpisahnya ijab dan kabul
oleh jeda waktu yang lama menjadikan akad nikah tidak sah. Namun jeda waktu
yang singkat, seperti untuk mengambil napas masih bisa diterima dan akad nikah
tetap dihukumi sah.4
C. Pernikahan yang Batal
Layaknya akad-akad yang lain, pernikahan bisa jadi tidak sah (batal dan rusak)
bilamana tidak memenuhi syarat dan rukunnya. Dalam kaitan ini, Syekh Wahbah ibn
Mushthafa al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu telah menguraikannya
kepada kita semua berdasarkan beberapa pendapat. Namun, mengingat keterbatasan
ruang, yang akan diuraikan di sini hanyalah pernikahan batal menurut para ulama
Syafi‘iyah saja.

4
Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Raudlatut Thâlibîn wa ‘Umdatul Muftîn, 1991 [Beirut: Al-Maktab Al-Islami], juz VII,
hal. 39
Dijelaskan al-Zuhaili, yang dimaksud pernikahan batal ialah pernikahan yang
tidak memenuhi rukun. Sedangkan pernikahan rusak ialah pernikahan yang tidak
memenuhi syarat. Namun, baik yang batal maupun yang rusak, oleh para ulama
Syafi’iyah, hukumnya tidak dibedakan. Karenanya, tak mengherankan jika jumlah bentuk
pernikahan batal ini cukup banyak dan berbeda jumlahnya dengan pendapat mazhab lain.
Ada beberapa bentuk pernikahan batal menurut mazhab ini, namun yang paling utama,
ungkap al-Zuhaili, ada sembilan:
1. Pernikahan syighar. pernikahan syighar adalah pernikahan di mana seorang laki-
laki menikahkan putri atau saudari perempuannya dengan laki-laki lain dengan
mahar, dirinya dinikahkan dengan putri laki-laki lain tersebut. Contohnya
ungkapan akadnya, “Aku nikahkan engkau dengan putriku dengan mahar engkau
menikahkanku dengan putrimu.”
Akad ini tidak sah karena ada gabungan dua akad dan menjadikan akad masing-
masing sebagai maharnya. Artinya, jika keduanya tidak menggabungkan dua akad
dan tidak menjadikan akad masing-masing sebagai maharnya, maka
pernikahannya sah. Ketidaksahan pernikahan ini berdasarkan hadis Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tidak ada nikah syighar dalam Islam.” Larangan ini
berimplikasi pada rusaknya perkara yang dilarang.
2. Pernikahan mut‘ah. Pernikahan mut‘ah adalah pernikahan yang dibatasi oleh
waktu tertentu, baik sebentar maupun lama. Contohnya ungkapan laki-laki kepada
istri yang ingin dinikahinya, “Aku menikahimu selama satu bulan,” atau, “Aku
menikahimu hingga selesai kuliah,” atau “Aku menikahimu sampai aku
mencampurimu, hingga engkau halal bagi suami yang telah menalakmu dengan
talak tiga.” Mestinya, akad pernikahan dilakukan secara mutlak—tanpa ikatan
waktu—dan ditujukan untuk selama-lamanya atau hingga terjadi perceraian yang
tak dipersyaratkan sejak akad.
3. Pernikahan orang ihram. Tidak sah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang
sedang ihram, baik uhram haji, ihram umrah, atau ihram keduanya, baik dengan
akad yang sah maupun dengan akad yang rusak, berdasarkan sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, “Orang yang ihram tidak boleh menikah dan tak
boleh dinikahkan.” Namun, selain menikah, orang yang sedang ihram boleh
melakukan rujuk atau menjadi saksi pernikahan. Pasalnya, rujuk adalah
melanjutkan perkawinan, bukan mengawali perkawinan.
4. Pernikahan dengan beberapa akad, dimana dua orang wali menikahkan satu orang
perempuan dengan dua orang laki-laki. Tidak diketahui secara pasti siapa yang
akadnya lebih dahulu. Jika salah seorang laki-laki itu menggaulinya, maka wajib
baginya mahar mitsli. Jika keduanya menggaulinya, maka si perempuan berhak
mahar mitsil dari keduanya. Pertanyaannya, bagaimana jika diketahui akad yang
dilakukan lebih dahulu, maka akad itu yang sah.
5. Pernikahan perempuan yang beriddah dan sedang istibra dari mantan suaminya
walaupun dari hasil senggama syubhat. Jika laki-laki yang menikahi perempuan
beriddah itu menggaulinya, maka ia harus dijatuhi hukuman (had) kecuali jika ia
tidak mengetahui status keharaman menikahi dengan perempuan beriddah dan
sedang istibra. Orang yang tidak tahu harus dimaafkan, terlebih jika ia awal-awal
masuk Islam atau jauh dari para ulama.
6. Pernikahan dengan perempuan yang ragu akan kehamilannya sebelum habis masa
iddah. Sehingga, haram menikahi perempuan yang seperti itu hingga keraguannya
hilang, meskipun masa iddah dengan 3 kali quru (masa suci) telah habis.
Keharaman ini lahir dari keraguan tadi. Demikian pula siapa pun yang menikahi
perempuan yang diduga masih masa iddah atau sedang istibra dari kehamilan,
atau sedang ihram haji dan umrah, atau karena salah satu mahram, namun ternyata
sebaliknya, maka nikahnya batil karena ragu akan kehalalannya.
7. Pernikahan seorang Muslim dengan perempuan non-Muslim selain Kitabiyyah
(ahli kitab) asli, seperti perempuan penyembah berhala, penyembah api (majusi),
penyembah matahari, atau perempuan murtad, atau perempuan kitabiyyah tidak
murni seperti keturunan antara kitabi dan majusi atau sebaliknya. Hal ini
berdasarkan firman Allah, Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman, (QS al-Baqarah [2]: 221).
Maksud perempuan Kitabiyyah adalah perempuan Yahudi dan Nasrani.
Perempuan Yahudi boleh dinikah dengan catatan asal-usul agama Yahudi-nya
tidak termasuk ke dalam agama Yahudi setelah di-mansukh. Sementara
perempuan Nasrani boleh dinikah jika diketahui asal-usul agama Nasrani-nya
masuk ke dalam agama Nasrani sebelum di-mansukh, walaupun setelah terjadi
perubahan selama mereka berusaha menjauhi ajaran-ajaran yang diubah tersebut.
Dasar kebolehan menikahi keduanya adalah firman Allah, (Dan dihalalkan
mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al-Kitab sebelum kamu, (QS al-Maidah [5]: 5). Maksud kitab yang
diberikan kepada mereka adalah Taurat dan Injil, namun tidak termasuk kitab-
kitab lain, seperti suhuf Nabi Syits, suhuf Nabi Idris, atau suhuf Nabi Ibrahim a.s.
8. Pernikahan dengan perempuan yang pindah dari satu agama kepada agama lain.
Singkatnya, ia tidak boleh dinikah, tidak boleh diterima agamanya kecuali agama
Islam.
9. Pernikahan seorang Muslimah dengan laki-laki non-Muslim atau pernikahan
perempuan yang murtad dengan laki-laki Muslim. Atas dasar ijmak ulama, tidak
boleh seorang Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim, sebagaimana
dalam Al-Quran, Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin), (QS al-Baqarah [2]: 221). Bagaimana, jika salah
seorang dari suami atau istri ada yang murtad sebelum bergaul suami istri, maka
batallah pernikahannya. Adapun setelah bergaul suami-istri, maka harus ditunggu.
Jika mereka dipersatukan kembali oleh Islam selama masa iddah, maka
langgenglah pernikahnnya. Namun jika tidak, pernikahannya terputus. Selain
pernikahan yang batal, ada lagi pernikahan yang makruh, yaitu pernikahan atas
perempuan yang telah dilamar orang lain dan pernikahan muhallil dengan niat
menghalalkan perempuan yang telah ditalak tiga tanpa ada syarat harus talak
sewaktu akad. Namun, jika pernikahannya dengan syarat, seperti syarat setelah
istrinya dicampuri harus ditalak, maka pernikahannya menjadi batal. Demikian
pernikahan-pernikahan yang batal, rusak, dan makruh dalam pandangan
Syafi‘iyyah sebagaimana dikutip oleh Syekh al-Zuhaili.5

5
al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, [Darul Fikr: Damaskus] jilid 9, hal. 6613).
BAB III
KESIMPULAN

Akad nikah dalam Islam adalah prosesi yang tidak hanya mengikat dua insan dalam
sebuah ikatan suci, tetapi juga merupakan manifestasi dari ibadah kepada Allah SWT.
Berdasarkan kitab-kitab fiqih yang dijadikan rujukan, terdapat beberapa poin penting yang harus
diperhatikan dalam melaksanakan akad nikah:
10. Kitab Syarah Muhadzab menekankan pentingnya memenuhi rukun dan syarat yang telah
ditetapkan oleh syariat, termasuk keberadaan calon suami, wali dari calon istri, saksi-
saksi, serta ijab dan qabul yang sah.
11. Kitab Fathul Mu’in menyunnahkan bagi calon pengantin untuk saling melihat satu sama
lain sebelum akad nikah dan menegaskan bahwa akad nikah harus dilakukan dengan ijab
dan qabul yang jelas serta disaksikan oleh dua orang saksi yang adil.
12. Kitab Uqudullujain mengajarkan bahwa akad nikah harus diniatkan sebagai ibadah dan
diikuti dengan walimah sebagai bentuk syukur serta pengumuman pernikahan kepada
masyarakat.
Dari ketiga kitab tersebut, dapat disimpulkan bahwa akad nikah adalah prosesi yang harus
dilakukan dengan niat yang tulus sebagai ibadah, memperhatikan syarat dan rukun yang telah
ditetapkan, serta dijalankan dengan penuh kesadaran akan tanggung jawab sebagai suami dan
istri dalam membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
DAFTAR PUSTAKA

Nawawi, Imam Kitab Al Majmu Syarah Al Muhadzdzab, Dar al Fikr


Zainuddin Alfannani, Ahmad Kitab Fathul Mu’in
Dr. Wahab Zuhaili, Kitab Fiqih al islam wa adillatuhu, Dar al Fikr, Cetakan ke-2, 1985

Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Raudlatut Thâlibîn wa ‘Umdatul Muftîn, 1991 [Beirut: Al-
Maktab Al-Islami], juz VII, hal. 39

Imam Abu Suja’, Matan al-Ghâyah wa Taqrîb (Surabaya: Al-Hidayah, 2000).

Anda mungkin juga menyukai