Anda di halaman 1dari 7

Tinjauan Kejahatan dan Penyimpangan Seksual dari

Aspek Biologi, Sosiologi Hukum, dan Psikoanalisis

Retno Wulan Seroja


Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan kasus pornografi dan


cybercrime yang melibatkan anak mencapai 3.178 kasus sampai tahun 2020.
Jumlah ini belum termasuk kasus anak sebagai pelaku kekerasan seksual
(pemerkosaan, pencabulan, sodomi/pedofilia, dan lainnya). Kasus anak sebagai
pelaku kekerasan seksual sendiri mencapai 44 kasus pada tahun 2020 (KPAI, 2020).
Women Crisis Center (WCC) pada tahun 2011 mendapatkan 81 pengaduan, dengan
15 kasus merupakan perkosaan, 6 kasus pelecehan seksual, dan 5 kasus kekerasan
dalam keluarga (KDK). Angka tersebut menunjukkan betapa rawanya masalah
kejahatan seksual dan kerusakan moral di Indonesia (Abidin, 2021; Aisyah, 2017).

Perbincangan penyimpangan seksual sudah bukan hal tabu bagi masyarakat


Indonesia. Banyaknya kasus kekerasan dan kejahatan seksual terutama yang
menimpa anak di bawah umur di berbagai tempat, terutama lingkungan sekitar,
sekolah, bahkan tempat bermain. Fenomena tersebut menunjukkan seolah tidak ada
lagi lingkungan yang aman dan nyaman (Fathonah, 2016).

Definisi perilaku menyimpang adalah perilaku yang tidak sesuai dengan nilai
kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut pandang agama secara individu
maupun sebagai bagian makhluk sosial (Hisyam & Hamid, 2015). Kata seks (sex)
berarti jenis kelamin yang digunakan untuk mengidentifikasi laki-laki dan
perempuan dari segi biologi. Sehingga, penyimpangan seksual berarti perilaku
seksual yang dianggap menyimpang atau menyalahi aturan yang sudah ditetapkan
(hukum, agama, dan kebiasaan) termasuk kepada akal sehat dan fitrah (Fathonah,
2016). Pengertian lain menyebutkan bahwa penyimpangan seksual (sexual
deviation), ketidakwajaran seksual (sexual perversion), atau kejahatan seksual
(sexual harassment) adalah bentuk dorongan dan kepuasan seksual yang diperoleh
atau ditunjukkan kepada objek seksual dengan tidak lazim (Masmuri & Kurniawan,
2016).

Paraphilia atau parafilia dapat diartikan sebagai aktivitas seksual yang tidak pada
umumnya, terminologi ini kerap kali diartikan sebagai penyimpangan seksual.
Parafilia didefinisikan oleh Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder
(DSM) sebagai gairah seksual yang terus menerus dan berulang terhadap objek atau
aktivitas atipikal, ditunjukkan dalam fantasi, dorongan, atau perilaku seksual
setidaknya selama 6 bulan. Delapan gangguan yang terdaftar dalam DSM V dan
termasuk pedofilia, eksibisionisme, voyeurisme, sadisme seksual, masokisme
seksual, frotteurisme, fetisisme, dan fetisisme transvestic (Fathonah, 2016; Seto et
al., 2014). Jurnal lain menambahkan bahwa homo seksual, bestially, incest,
necrophilia, dan sodomi sebagai penyimpangan seksual (Sarwono dalam Masmuri
& Kurniawan, 2016).

Penyebab dari parafilia belum diketahui pasti, untuk saat ini kombinasi proses
neurobiologis, interpersonal, dan kognitif dianggap berperan dalam perjalanannya.
Penelitian menyebutkan ada beberapa neurotransmitter yang dikaitkan dengan
kejadian gangguan parafilik (Fisher & Marwaha, 2023). Penyebab terjadinya
penyimpangan seksual dapat berasal dari faktor intrinsik atau ekstrinsik, sehingga
psikologis atau kejiwaan, pengalaman saat kecil, lingkungan pergaulan, dan faktor
genetik mampu mempengaruhi secara bersamaan (Martiasari, 2019).

Kajian sosiologi hukum mampu menjadi penengah dalam menjelaskan perilaku


menyimpang dan ideologi yang berkaitan. Sosiologi nantinya berhubungan dengan
norma sosial dan nilai kultural di masyarakat yang dilanggar dan ilmu hukum
digunakan dalam pengaturan hukum yang positif (Martiasari, 2019). Ideologi
menurut Soerjanto Poespowardoyo adalah “kompleks pengetahuan serta juga
macam-macam nilai, yang secara universal menjadi landasan bagi seseorang atau
juga masyarakat untuk dapat memahami jagat raya serta juga bumi seisinya dan
juga menentukan sikap dasar untuk dapat mengolahnya. Berdasarkan pemahaman
yang diyakini itu, seseorang menangkap apa yang dilihat baik serta juga tidak baik”.
Pancasila sebagai ideologi dalam kehidupan bermasyarakat mengatur bagaimana
masyarakat bijak dalam bersikap, taat akan aturan, dan perwujudan nilai pancasila
dalam kehidupan sehari-hari (Asatawa, 2017).

Tata urutan peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia, Undang-Undang


Dasar Republik Indonesia 1945 pada pasal 28I ayat 1 yang berbunyi “hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” erat sekali
dikaitkan pada masalah ini. Salah satu sumber mengartikan ini sebagai kesamaan
setiap orang sebagai “person” sehingga diharapkan ada perlakuan sama di mata
hukum pada komunitas LGBT (Sujana et al., 2018).

Oleh karena itu, kajian penyimpangan seksual yang penulis bawakan dikerucutkan
pada bagian yang berkaitan dengan bentuk kejahatan yang jelas melanggar hak
asasi manusia, dasar negara, dan UUD 1945. Karena bentuk kejahatan seksual serta
zina yang terikat perkawinan jelas berkenaan sanksi pidana. Sementara, bentuk
penyimpangan yang tidak terikat perkawinan tidak dikenakan sanksi pidana apapun,
artinya bebas atas pasal 284 KUHP ayat 1 tentang perzinahan. Pengaturan berkaitan
persetubuhan dengan unsur paksaan juga diatur dalam pasal 285 dan 286 KUHP.
Pemerintah juga mengeluarkan Perpu yang mengatur hukuman kebiri bagi pelaku
pelecehan seksual terhadap anak, kemudian secara teknis diatur dalam Perpu
Perlindungan Anak pasal 81 ayat 3, 4, dan 5 (Martiasari, 2019).

Freud’s developmental theory oleh Sigmund Freud membawa psikologi dan


metodologi kedokteran ke dalam penjelasan psikoseksual sebagai perkembangan
seksual manusia normatif. Freud menjelaskan lima tahap perkembangan
psikoseksual sebagai berikut (Lantz & Ray, 2022):

1. Tahap I : 0-1 tahun, sebagai fase oral (mulut)


2. Tahap II : 1-3 tahun, sebagai fase anal (termasuk usus dan kandung
kemih)
3. Tahap III : 3-6 tahun, sebagai fase phallic (alat kelamin), Oedipus
kompleks
4. Tahap IV : 6-12 tahun, fase latensi (perasaan seksual tidak aktif)
5. Tahap V : 13-18 tahun, fase genital (perasaan seksual dewasa)

Tinjauan psikoanalisis menyebutkan bahwa parafilia merupakan suatu upaya


perlindungan ego untuk menghadapi ketakutan dan memori yang ditekan. Artinya
terdapat pembangkitan kembali trauma dalam masa kanak-kanak. Masalah ini
berkaitan dengan kembalinya seseorang ke tahap pregenital atau terfiksasi di tahap
pregenital yang menyebabkan adanya kecemasan dan gangguan dari parafilia,
seperti fetishme, voyeurism, dan pedofilia. Berdasarkan pendekatan behavioral
psychology pria-pria rendah diri mampu menjelaskan fenomena eksibisionis, hal ini
berkaitan dengan kurangnya kecakapan sosial dan membutuhkan seseorang untuk
meyakinkan diri atas kejantanannya (Lianawati, 2020).

Tatalaksana terapi parafilia dari aspek kedokteran dibagi menjadi dua kategori
utama, yaitu bidang psikologi melalui cognitive behavioral therapy (CBT) dan
perlakuan biologis untuk individu dengan gangguan parafilia yang menderita untuk
mendapat kebaikan dari masyarakat yang lebih besar (Fisher & Marwaha, 2023).
Solusi terhadap kejahatan dan penyimpangan sosial dari aspek sosiologis dan
pengaturan hukum berdasarkan sifat, watak, dan kehendak manusia yang berbeda
adalah melalui peraturan, norma, dan kaidah dalam kehidupan bermasyarakat.
Orang tua sebagai kontrol lingkup hidup mikro anak sangat berperan dalam akses
informasi yang diterima anak (Martiasari, 2019). Penanganan kasus penyimpangan
seksual dari sudut pandang psikoanalisis biasanya dengan menggali lebih dalam
masa lalu yang bersangkutan dan mengoreksi perkembangan yang tidak sesuai
(Lianawati, 2020).

KESIMPULAN

Pada akhirnya, perspektif setiap ilmu pengetahuan mengenai penyimpangan


seksual menyumbang berbagai macam pemikiran yang penyebabnya multifaktorial
dan penyelesaiannya cukup kompleks. Oleh karena itu, dukungan dari pihak banyak
pihak, mulai dari orang tua, guru atau pendidik, hubungan pertemanan &
pengetahuan agama, peran masyarakat, dan tokoh masyarakat di lingkungan sangat
penting.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, A. (2021). Perilaku Penyimpangan Seksual dan Upaya Pencegahannya di


Kabupaten Jombang. http://homecounselingulansari.weebly.com

Aisyah, S. (2017). Studi Kasus Penyimpangan Perilaku Seksual Pada Remaja


Tunalaras Tipe Conduct Disorder Case Study On Sexual Behavior Deviations
Of Adolescent With Conduct Disorder. Jurnal Widia Ortodidaktika, 6(8),
795–805.

Asatawa, I. P. A. (2017). Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang.

Fathonah, K. (2016). Parafilia: Nature atau Nurture? Tinjauan Teologis dan


Psikologis. Jurnal Pemikiran Islam Dan Filsafat, 284–308.
http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/ al-araf

Fisher KA, Marwaha R. Paraphilia. (2023). In: StatPearls [Internet]. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books /NBK554425/

Hisyam, C., & Hamid, A. (2015). Sosiologi Perilaku Menyimpang (Umasih (ed.);
I).

KPAI, 2016 Rincian Data Kasus Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak 2016-
2020, http://bankdata.kpai.go.id/tabulasi- data/data-kasus-per-tahun/rincian-
data-kasus-berdasarkan-klaster-perlindungan-anak-2016-2020, diakses pada
tanggal 14 Oktober 2023

Lantz SE, Ray S. Freud Developmental Theory. (2022). In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books /NBK557526/

Lianawati, E. (2020). Penyimpangan Seksual, Jenis, Penyebab, dan


Penanganannya. www.esterlianawati.wordpress.com

Martiasari, A. (2019). Kajian Tentang Perilaku Kejahatan Dan Penyimpangan


Seksual Dalam Sudut Pandang Sosiologis Dan Hukum Positif Indonesia.
Yurispruden, 2(1), 103. https://doi.org/10.33474/yur.v2i1.958

Masmuri, & Kurniawan, S. (2016). Penyimpangan Seksual: Sebuah Interpretasi


Teologi, Psikologi dan Pendidikan Islam. 100–112.

Seto, M. C., Kingston, D. A., & Bourget, D. (2014). Assessment of the Paraphilias.
In Psychiatric Clinics of North America (Vol. 37, Issue 2, pp. 149–161). W.B.
Saunders. https://doi.org/10.1016/j.psc.2014.03.001

Sujana, I. N., Setyawati, K. A., & Ujanti, N. M. P. (2018). The Existence Of The
Lesbian, Gay, Bisexual And Transgender (LGBT) Community In The
Perspective Of A State Based On Pancasila. Mimbar Hukum - Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, 30(1), 126. https://doi.org/10.22146/jmh.28655
BIODATA PENULIS

1. Nama lengkap Retno Wulan Seroja


2. Jenis kelamin Perempuan
3. Program studi S-1 Kedokteran
4. NIM/NPM H1A020051
5. Tempat dan tanggal lahir Indramayu, 05 Maret 2002
6. E-mail retnowsj@gmail.com
7. Nomor telepon/HP 082211213435

Anda mungkin juga menyukai