Anda di halaman 1dari 43

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK

NY.R DENGAN DIABETES MELITUS DI DESA BANJAREJO

RT 02 RW 01 KECAMATAN PAKIS KABUPATEN MALANG

(Untuk Memenuhi Tugas Stase Gerontik Profesi Ners)

Disusun Oleh :

Farradiska Febriani Putri Pangarso

202310461011035

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2023
LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETES MELITUS

1. Gerontik

1.1 Definisi

Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun

keatas. Lansia akan mengalami proses penuaan secara degeneratif,

perubahan yang terjadi pada lanjut usia salah satunya yaitu pada sistem

kardiovaskuler (Khasanah, 2020).

1.2 Klasifikasi

Klasifikasi lansia dibagi menjadi 5 yaitu lansia pra, lansia,

lansia berisiko tinggi, lansia potensial, dan lansia tidak potensial.

Prelansia (presenelis) adalah seseorang yang berusia antara 45-59

tahun. Lansia adalah seseorang yang berusia 60 tahun ke atas, bagi

lanjut usia yang berisiko tinggi, yaitu seseorang yang berusia 70 tahun

atau lebih dan memiliki gangguan kesehatan seperti menderita rematik,

pikun, mengalami kelemahan dan lain-lain, sedangkan lansia potensial

adalah: lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan

yang dapat menghasilkan barang atau jasa, lansia tidak potensial yaitu

lansia yang tidak berdaya untuk mencari nafkah, sehingga hidupnya

tergantung pada bantuan orang lain (Alvianti, 2021).

2. Diabetes Melitus

2.1 Definisi

Diabetes Melitus adalah penyakit kronis progresif yang ditandai

dengan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolisme


karbohidrat, lemak dan protein, mengarah ke hiperglikemia (kadar

glukosa darah tinggi). Diabetes Mellitus adalah suatu gangguan

kesehatan berupa kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang

disebabkan oleh peningkatan kadar gula darah dalam darah akibat

kekurangan insulin ataupun retensi insulin dan gangguan metabolik

pada umumnya (Sapitri, 2023).

2.2 Etiologi

Penyebab Diabetes Melitus berdasarkan klasifikasi menurut

WHO tahun 1995 adalah :

a. Diabetes Melitus Tipe I (IDDM : DM tergantung insulin)

1) Faktor genetik / herediter

Faktor herediter menyebabkan timbulnya DM melalui

kerentanan sel-sel beta terhadap penghancuran oleh virus atau

mempermudah perkembangan antibodi autoimun melawan sel-

sel beta, jadi mengarah pada penghancuran sel-sel beta.

2) Faktor infeksi virus Berupa infeksi virus coxakie dan

Gondogen yang merupakan 11 pemicu yang menentukan

proses autoimun pada individu yang peka secara genetik

b. Diabetes Melitus Tipe II (DM tidak tergantung insulin = NIDDM)

Terjadi paling sering pada orang dewasa, dimana terjadi

obesitas pada individu obesitas dapat menurunkan jumlah resoptor

insulin dari dalam sel target insulin diseluruh tubuh. Jadi membuat

insulin yang tersedia kurang efektif dalam meningkatkan efek

metabolik yang biasa.


c. Diabetes Melitus Malnutrisi

1) Fibro Calculous Pancreatic Diabetes Melitus (FCPD) Terjadi

karena mengkonsumsi makanan rendah kalori dan rendah

protein sehingga klasifikasi pangkreas melalui proses mekanik

(Fibrosis) atau toksik (Cyanide) yang menyebabkan sel-sel beta

menjadi rusak.

2) Protein Defisiensi Pancreatic Diabetes Melitus (PDPD) Karena

kekurangan protein yang kronik menyebabkan hipofungsi sel

Beta pancreas

d. Diabetes Melitus Tipe Lain

1. Penyakit pankreas seperti : pancreatitis, Ca Pancreas dll

2. Penyakit hormonal seperti : Acromegali yang meningkat GH

(growth hormon) yang merangsang sel-sel beta pankeras yang

menyebabkan sel-sel ini hiperaktif dan rusak.

2.3 Tanda dan Gejala Diabetes Melitus

Gejala dari penyakit DM yaitu antara lain:

1. Poliuri (sering buang air kecil)

Buang air kecil lebih sering dari biasanya terutama pada

malam hari (poliuria), hal ini dikarenakan kadar gula darah

melebihi ambang ginjal (>180mg/dl), sehingga gula akan

dikeluarkan melalui urine. Guna menurunkan konsentrasi urine

yang dikeluarkan, tubuh akan menyerap air sebanyak mungkin ke

dalam urine sehingga urine dalam jumlah besar dapat dikeluarkan

dan sering buang air kecil. Dalam keadaan normal, keluaran urine
harian sekitar 1,5 liter, tetapi pada pasien DM yang tidak terkontrol,

keluaran urine lima kali lipat dari jumlah ini. Sering merasa haus

dan ingin minum air putih sebanyak mungkin (poliploidi). Dengan

adanya ekskresi urine, tubuh akan mengalami dehidrasi atau

dehidrasi. Untuk mengatasi masalah tersebut maka tubuh akan

menghasilkan rasa haus sehingga penderita selalu ingin minum air

terutama air dingin, manis, segar dan air dalam jumlah banyak.

2. Polifagi (cepat merasa lapar)

Nafsu makan meningkat (polifagi) dan merasa kurang

tenaga. Insulin menjadi bermasalah pada penderita DM sehingga

pemasukan gula ke dalam sel-sel tubuh kurang dan energi yang

dibentuk pun menjadi kurang. Ini adalah penyebab mengapa

penderita merasa kurang tenaga. Selain itu, sel juga menjadi miskin

gula sehingga otak juga berfikir bahwa kurang energi itu karena

kurang makan, maka tubuh kemudian berusaha meningkatkan

asupan makanan dengan menimbulkan alarm rasa lapar.

3. Berat badan menurun

Ketika tubuh tidak mampu mendapatkan energi yang cukup

dari gula karena kekurangan insulin, tubuh akan bergegas mengolah

lemak dan protein yang ada di dalam tubuh untuk diubah menjadi

energi. Dalam sistem pembuangan urine, penderita DM yang tidak

terkendali bisa kehilangan sebanyak 500 gr glukosa dalam urine per

24 jam (setara dengan 2000 kalori perhari hilang dari tubuh).

Kemudian gejala lain atau gejala tambahan yang dapat timbul yang
umumnya ditunjukkan karena komplikasi adalah kaki kesemutan,

gatal-gatal, atau luka yang tidak kunjung sembuh, pada wanita

kadang disertai gatal di daerah selangkangan (pruritus vulva) dan

pada pria ujung penis terasa sakit (balanitis) (Lestari, 2021).

2.4 Faktor Resiko Diabetes Melitus

a. Faktor risiko yang dapat diubah

1) Gaya hidup

Gaya hidup merupakan perilaku seseorang yang ditunjukkan

dalam aktivitas sehari-hari. Makanan cepat saji, olahraga tidak

teratur dan minuman bersoda adalah salah satu gaya hidup yang

dapat memicu terjadinya DM tipe 2 (Widyaningrum, 2018).

2) Pola makan yang salah

Diet yang digunakan sebagai bahan penatalaksanaan DM

dikontrol berdasarkan kandungan energi, protein, lemak,

karbohidrat. Jenis makanan yang menyebabkan terjadinya DM

adalah jenis makanan yang mengandung banyak kolesterol,

lemak trans dan lemak jenuh serta makanan yang mengandung

tinggi natrium (Almatsier, 2008 dalam (Widyaningrum, 2018).

Menurut Suyono (2013), pola makan yang tinggi lemak, garam

dan gula mengakibatkan masyarakat cenderung mengkonsumsi

makanan secara berlebihan. Selain itu pola makanan yang serba

instan saat ini memang sangat digemari oleh sebagian

masyarakat, tetapi dapat mengakibatkan peningkatan kadar

glukosa darah (Widyaningrum, 2018).


3) Obesitas

Teori menjelaskan bahwa pada orang obesitas, makin banyak

jaringan lemak, jaringan tubuh dan otot akan makin resistensi

terhadap kerja insulin, terutama bila lemak tubuh atau kelebihan

berat badan terkumpul di daerah sentral atau perut (Central

Obesity). Lemak akan memblokir kerja insulin sehingga glukosa

tidak dapat di angkut kedalam sel dan menumpuk di dalam

peredaran darah (Tandra, 2008 dalam (Megasari, 2017)).

b. Faktor risiko yang tidak dapat diubah

1) Usia

Semakin bertambahnya usia maka semakin tinggi risiko

terkena diabetes melitus. Meningkatnya risiko DM seiring

dengan bertambahnya usia dikaitkan dengan terjadinya

penurunan fungsi fisiologis tubuh (Arlenia, 2019). Menurut

Budiyanto (2002), menyebutkan bahwa orang berumur diatas 40

tahun lebih banyak menderita penyakit DM dibandingkan orang

yang lebih muda (Suiraoka, 2012).

2) Riwayat keluarga diabetes melitus

Seorang anak dapat diwarisi gen penyebab DM orang

tua. Biasanya, seseorang yang menderita DM mempunyai

anggota keluarga yang juga terkena penyakit tersebut (Ehsa,

2010 dalam (Arlenia, 2019)). Fakta menunjukkan bahwa mereka

yang memiliki ibu penderita DM tingkat risiko terkena DM

sebesar 3,4 kali lipat lebih tinggi dan 3,5 kali lipat lebih tinggi
jika memiliki ayah penderita DM. Apabila kedua orangtua

menderita DM, maka akan memiliki risiko terkena DM sebesar

6,1 kali lipat lebih tinggi (Ehsan, 2010 dalam (Arlenia, 2019)).

3) Riwayat diabetes pada kehamilan

Mendapatkan diabetes selama kehamilan atau

melahirkan bayi lebih dari 4,5 kg dapat meningkatkan risiko DM

tipe 2 (Ehsan, 2010 dalam (Arlenia, 2019)).

2.5 Patofisiologi

Diabetes melitus adalah penyakit yang disebabkan karena

menurunnya insulin atau defisiensi insulin. Defisiensi insulin terjadi

karena :

c. Kerusakan

d. Menurunnya reseptor insulin pada jaringan perifer

e. Menurunnya reseptor glukosa di kelenjar pankreas Diabetes melitus

terjadi karena sel-sel insulin gagal karena tidak mampu merespons

dengan baik atau biasa disebut dengan resistensi insulin. Resistensi

insulin disebabkan karena faktor genetik dan lingkungan juga bisa

menjadi penyebab terjadinya DM. Pasien DM produksi glukosa

dalam hati berlebihan akan teteapi tidak terjadi kerusan sel beta

langerhans secara autoimun. Pada perkembangan awal DMsel beta

akan mengalami gangguan sekresi insulin, apabila tidak segera

ditangani makan akan menyebabkan kerusakan pada sel beta

pancreas (Sapitri, 2023).

2.6 Komplikasi Diabetes Melitus


Komplikasi diabetes mellitus terbagi menjadi 2 yaitu komplikasi akut

dan komplikasi kronis.

a. Komplikasi Akut

1. Hiperglikemia adalah kadar gula darah meningkat secara tiba-

tiba, dapat berkembang menjadi keadaan berbahaya, antara lain

ketoasidosis diabetic, koma hipersomoler non ketotik, dan

kemolakto asidosis

2. Hipoglikemia adalah kadar glukosa darah dalam tubuh

seseorang dibawah nilai 50 mg/dl – 60 mg/dl. Hipoglikemia

adalah ciri umum dari DM tipe 1 dan juga dijumpai didalam

klien dengan DM tipe 2 yang diobati dengan insulin atau obat

oral.

3. Ketoasidosis Diabetes (KAD) suatu komplikasi diabetes yang

ditandai dengan asam darah (keton) berlebihan.

b. Komplikasi Kronis

1) Komplikasi Makrovaskuler (penyakit pembuluh darah besar)

klien dengan DM yang hidup lebih lama dengan peningkatan

risiko untuk komplikasi kronis yaitu penyakit jantung coroner,

hipertensi, gagal jantung dan stroke.

2) Komplikasi Mikrovaskuler (penyakit pembuluh darah kecil)

penyakit ini mempengaruhi retinopati diabetic (kebutaan),

nefropati (komplikasi ginjal), neuropati (kerusakan saraf), dan

kelumpuhan.

2.7 Penatalaksanaan Diabetes Melitus


a. Penatalaksanaan umum

1) Riwayat penyakit : gejala yang dialami, pengobatan yang

mempengaruhi glukosa darah, factor risiko (merokok,

hipertensi, penyakit jantung coroner, obesitas, riwayat penyakit

keluarga), pengobatan, pola hidup, budaya, psikososial,

pendidikan, dan status ekonomi.

2) Pemeriksaan fisik : pengukuran TB, BB, tekanan darah, nadi,

pemeriksaan kaki secara komprehensif.

3) Evaluasi laboratorium : pemeriksaan glukosa darah puasa dan 2

jam setelah makan.

b. Penatalaksanaan Khusus

1) Edukasi : promosi hidup sehat

2) Terapi Nutrisi Medis (TNM) : penjelasan pentingnya

keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama

bagi penderita yang menggunakan obat penurun glukosa darah

dan insulin.

3) Latihan jasmani : dilakukan latihan jasmani secara teratur (3-5

hari seminggu selama 30-45 menit dengan total latihan 150

menit perminggu. Dengan jeda antar latihan tidak boleh lebih

dari 2 hari berturut-turut). Latihan jasmani bersifat aerobic

dengan intensitas sedang (50-70% denyut jantung maksimal)

seperti jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan renang (Intan,

2023).

.
Daftar Pustaka

II, B. A. Tinjauan Teori Diabetes Melitus 1. Definisi Diabetes Melitus. Asuhan

Keperawatan Ny. M Dengan Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi

Akibat Patologi Sistem Endokrin Diabetes Melitus, 9.

Intan, P. H. (2023). Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Diabetes Melitus Di Rsud

Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Tahun 2023.

Lestari, L., & Zulkarnain, Z. (2021, November). Diabetes Melitus: Review etiologi,

patofisiologi, gejala, penyebab, cara pemeriksaan, cara pengobatan dan

cara pencegahan. In Prosiding Seminar Nasional Biologi (Vol. 7, No. 1, pp.

237-241).

Sapitri, Y. (2023). Studi Literatur Perilaku Pola Makan Pada Penderita Diabetes

Melitus.
PENGARUH RELAKSASI OTOT PROGRESIF TERHADAP KADAR GULA
DARAH PASIEN DIABETES MELITUS TIPE II DI RSUD IBNU SUTOWO

Indah Juniarti 1, Meta Nurbaiti 2, Raden Surahmat 3


1,2,3
STIK Bina Husada, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia
meta.nurbaiti@gmail.com

ABSTRACT
Background: Diabetes Mellitus (DM) is a metabolic disorder in which the inability to oxidize
carbohydrates is found. One of the therapies that can be done is movement exercises. Progressive
muscle relaxation is a type of exercise that focuses on the tightening and relaxation of sequential
muscle groups. Progressive muscle relaxation can facilitate the body's oxygen consumption,
increase metabolism, speed up breathing, relax muscle tension, balance systolic and diastolic
blood pressure, and increase alpha brain waves. Objective: This study aims to determine the effect
of progressive muscle relaxation on reducing blood sugar levels in patients with type II diabetes
mellitus in RSUD Dr. H. Ibnu Sutowo Baturaja in 2021. The study was carried out in June 2021.
Methods: This study used a quasi-experimental quantitative method with a one-group pre-test -
post-test design approach. The population in this study were patients with type II diabetes mellitus
using the accidental sampling technique. Data analysis was carried out univariate and bivariate
using the Wilcoxon test. Results: The results of this study indicate that there is an effect of
progressive muscle relaxation on blood glucose levels in Type 2 Diabetes Mellitus patients at Dr.
Hospital. H. Ibnu Sutowo Baturaja in 2021 with p value (0.000). Conclusion: Progressive muscle
relaxation is effective in lowering blood sugar levels. It is hoped that the hospital will be able to
apply this progressive muscle relaxation therapy to interventions for treating type 2 diabetes
mellitus patients and provide information to the patient's family about the benefits of progressive
muscle relaxation.

Keywords: Diabetes mellitus, progressive muscle relaxation, blood sugar levels

ABSTRAK

Latar Belakang: Diabetes Melitus (DM) adalah kelainan metabolik dimana ditemukan ketidak
mampuan untuk mengoksidasi karbohidrat. Salah satu terapi yang dapat dilakukan yaitu dengan
latihan pergerakan, Relaksasi otot progresif merupakan jenis latihan yang berfokus pada
pengencangan dan relaksasi kelompok otot berurutan. Relaksasi otot progresif dapat memfasilitasi
konsumsi oksigen tubuh, meningkatkan metabolisme, mempercepat pernapasan, mengendurkan
ketegangan otot, menyeimbangkan tekanan darah sistolik dan diastolik, dan meningkatkan
gelombang otak alfa. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh relaksasi otot
progresif terhadap penurunan kadar gula darah pasien diabetes melitus tipe II di RSUD Dr. H. Ibnu
Sutowo Baturaja Tahun 2021. Penelitian dilaksanakan pada Bulan Juni tahun 2021. Metode:
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif quasy eksperimental dengan pendekatan one group
pre test - post test desaign. Populasi dalam penelitian ini adalah pasiendiabetes melitus tipe II
dengan tehnik Accidental sampling. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat dengan
menggunakan uji Wilcoxon. Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan Ada pengaruh relaksasi otot
progresif terhadap kadar glukosa darah pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD Dr. H. Ibnu
Sutowo Baturaja Tahun 2021 dengan p value (0,000). Kesimpulan: Relaksasi otot progresif efektif
menurunkan kadar gula darah. Saran: Rumah Sakit untuk dapat menerapkan terapi Relaksasi otot
progresif ini pada intervensi untuk penanganan pasien diabetes melitus tipe 2 dan memberikan
informasi kepada keluarga pasien tentang manfaat relaksasi otot progresif.

Kata Kunci : Diabetes Melitus, relaksasi otot progresif, kadar gula darah

Jurnal Keperawatan Merdeka (JKM), Volume 1 Nomor 2, November 2021 115


PENDAHULUAN
Organisasi Internasional Diabetes Federation (IDF) memperkirakan sedikitnya terdapat 463
juta orang pada usia 20-79 tahun di Dunia menderita diabetes pada tahun 2019 atau setara dengan
angka prevalensi sebesar 9,3% dari total penduduk pada usia yang sama. Prevalensi diabetes
diperkirakan meningkat seiring penambahan umur penduduk menjadi 19,9% atau 111,2 juta orang
pada umur 65-79 tahun. Angka diprediksi terus meningkat hingga mencapai 578 juta ditahun 2030
dan 700 juta di tahun 2045. Wilayah Asia Tenggara dimana Indonesia berada, menempati peringkat
ke-3 dengan prevalensi sebesar 11,3% (Infodatin Kemenkes. 2020). Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) menunjukkan bahwa populasi penderita DM tipe II di Indonesia pada tahun 2018
mencapai 1,5 % atau sekitar 4,1 juta jiwa dari jumlah penduduk. Proporsi jumlah penderita DM
tipe II di Indonesia pada tahun 2018 masih didominasi oleh kaum perempuan dengan total sebesar
1,8 % daripada laki-laki sebesar 1,2 %. Diperkirakan pada tahun 2030 dengan asumsi tanpa adanya
perbaikan, angka DM tipe II di Indonesia akan meningkat sebesar 21,3 juta jiwa. Provinsi Sumatera
Selatan berada di peringkat ke 32 untuk kasus DM tipe II di Indonesia (Kemenkes RI, 2019).
Penderita DM di kabupaten Ogan Komering Ulu Tahun 2019 sebesar 22.343 orang. Jumlah
penderita DM yang mendapat pelayanan sesuai standar sebanyak 6.224 (27,9%), terjadi
peningkatan cakupan pelayanan DM jika dibandingkan dengan tahun 2018 sebesar 17,9% (sebesar
10%) (Dinkes OKU, 2020).
Kasus diabetes yang paling banyak di Indonesia adalah kasus diabetes tipe-2 yang disebabkan
oleh gaya hidup yang tidak sehat. Diabetes memang tidak bisa disembuhkan, tetapi manajemennya
sangat perlu diperhatikan. Selain itu dukungan dari support system di sekitar diabetes juga sangat
diperlukan (Kompas, 2020). Penatalaksanaan pengobatan dan penanganan penderita diabetes
melitus tipe 2 difokuskan pada pola makan, gaya hidup dan aktivitas fisik. Pada penderita diabetes
tipe 2, pengontrolan kadar gula darah dapat dilakukan dengan beberapa tindakan seperti diet,
penurunan berat badan dan berolahraga (Rudi & Suli, 2013).
Sebagian besar manajemen DM di rumah sakit masih terkonsentrasi pada pengobatan dan diet,
sedangkan perhatian terhadap pemenuhan aktivitas fisik masih rendah.Aktivitas fisik akan
membuat metabolisme tubuh bekerja lebih optimal yang mengakibatkan kadar glukosa darah akan
terkontrol sehingga penanganan holistik diperlukan (Akbar et al, 2018) Salah satu aktivitas fisik
yang dapat diterapkan yaitu relaksasi otot progresif. Relaksasi otot progresif adalah jenis latihan
yang berfokus pada pengencangan dan relaksasi kelompok otot berurutan. PMR pertama kali
diperkenalkan oleh Jacobson pada tahun 1938 dan masih banyak digunakan saat ini. Jacobson
menjelaskan bahwa relaksasi otot progresif dapat memfasilitasi konsumsi oksigen tubuh,
meningkatkan metabolisme, mempercepat pernapasan, mengendurkan ketegangan otot,
menyeimbangkan tekanan darah sistolik dan diastolik, dan meningkatkan gelombang otak alfa
(Lindquist et al, 2018). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Karokaro (2019) dengan topik
penelitian yang berjudul pengaruh tehnik relaksasi otot progresif terhadap penurunan kadar gula
darah pada pasien diabetes melitus Tipe 2 di Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam, dengan hasil
penelitian yaitu rata-rata kadar gula darah pada pasien diabetes mellit us tipe 2 sebelum dan
sesudah dilakukan teknik relaksasi otot progresif sebesar 43,100, dengan standar deviasi (SD) 27,
795 dan standar error (SE) 8,789. Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,001 ≤ α = 0,05 maka
dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh teknik relaksasi otot progresif terhadap kadar gula
darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di rumah sakit Grandmed Lubuk Pakam tahun 2019.
Kemudian hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Safitri (2019) dengan topik penelitian yaitu
pengaruh terapi relaksasi progresif terhadap kadar gula darah pasien diabetes mellitus Tipe 2.
Dengan hasil penelitian yaitu Hasil penelitian menunjukkan kadar gula darah sebelum perlakuan
didapatkan rata-rata sebesar 173,07 mg/dL hasil pengukuran kadar gula darah sesudah perlakuan
didapatkan data rata-rata sebesar 161,68 mg/dL.
Study pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti dari 10 orang pasien mengatakan tidak tahu
tentang latihan relaksasi otot progresif. Dari 10 orang pasien terdapat 6 orang yang yang
melakukan aktivitas fisik selama dirumah sakit dengan melakukan jalan pagi atau sore di sekitar
ruang rawat. Sementara itu, 4 orang pasien mengatakan mereka hanya beristirahat di tempat tidur.
Dari ke 10 pasien tersebut, 7 orang diantaranya memiliki gula darah ≥200mg/dL walaupun sudah

Jurnal Keperawatan Merdeka (JKM), Volume 1 Nomor 2, November 2021 116


diberikan terapi pengobatan. Data rekam medik RSUD Dr. H. Ibnu Sutowo Baturaja didapatkan
data pasien dengan diabetes melitus pada tahun 2018 yaitu sebanyak 250 orang pasien, meningkat
pada tahun 2019 yaitu sebanyak 358 orang pasien dan pada tahun 2020 yaitu sebanyak 223 orang
pasien dengan diabetes melitus. Selanjutnya untuk data tahun 2021 dari bulan januari sampai
dengan maret didapatkan sebanyak 38 orang pasien (Data RSUD Dr. H. Ibnu Sutowo Baturaja,
2021). Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan perawat yang bekerja di ruang penyakit dalam
RSUD Dr. H. Ibnu Sutowo Baturaja untuk mengetahui penatalaksanaan DM tipe II menyatakan
bahwa belum adanya intervensi relaksasi otot progresifyang dilakukan oleh perawat sebagai
alternatif pemenuhan kebutuhan aktivitas atau latihan fisik untuk pasien DM yang sedang dirawat
inap di RSUD Dr. H. Ibnu Sutowo Baturaja sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
pengaruh relaksasi otot progresif terhadap kadar gula darah pasien DM tipe II di RSUD Dr. H. Ibnu
Sutowo Baturaja Tahun 2021.

METODE
Desain penelitian adalah quasy eksperimental dengan pendekatan one group pre test-post test
desaign. Populasi seluruh pasien DM tipe II yang dirawat di Ruangan Penyakit Dalam RSUD Dr.
H. Ibnu Sutowo Baturaja sebanyak 38 orang pasien. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 32
orang pasien dengan Kriteria sampel dalam penelitian ini sebagai berikut: Kriteria inklusi ; pasien
bersedia menjadi responden, pasien DM Tipe II tanpa penyakit penyerta yang dirawat di Ruangan
Penyakit Dalam RSUD Dr. H. Ibnu Sutowo Baturaja, Mendapatkan program pengobatan
(farmakologi dan diet) yang dijalankan di rumah sakit, Memiliki gurah darah sewaktu ≥ 200 mg/dl,
Pasien berada dalam status compos mentis. Kriteria eksklusi; menolak menjadi responden, pasien
pulang sebelum mencapai 6 kali perlakuan PMR selama 3 hari berturut-turut, pasien meninggal.
Instrumen penelitian berupa SOP latihan PMR dan lembar chek list kadar gula darah sebelum dan
sesudah. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kadar gula darah pasien DM tipe II,
sedangkan teknik PMR sebagai variabel independen.
Prosedur penelitian diperoleh langsung dari pasien DM tipe II dengan menggunakan
observasi pelaksanaan latihan relaksasi otot progresif dan melakukan pemeriksaan kadar gula darah
sebelum latihan PMR dan setelah melakukan latihan PMR sebanyak 6 kali. Analisis pada penelitian
ini menggunakan software SPSS versi 22 untuk melihat analisa univariat yang digunakan untuk
mengetahui distribusi frekuensi dari tiap variabel yang diteliti dan analisa bivariat untuk melakukan
uji normalitas (uji Shapiro-Wilk dengan interprestasi kemaknaan (p) > 0,05) dan melakukan
analisis uji alternatif menggunakan uji wilcoxon

HASIL

Analisa Univariat

Tabel 1. Distribusi FrekuensiKadar Glukosa Darah Sebelum Dilakukan Relaksasi


Otot Progresif di RSUD Dr. H. Ibnu Sutowo Baturaja Tahun 2021

No Kadar Glukosa Darah Frekuensi (n) Persentase (%)


1 ≥ 200 mg/dl 23 71,9
2 ≤ 200 mg/dl 9 28,1
Jumlah 32 100

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 32 orang responden didapatkan


sebagian besar responden memiliki Glukosa darah yang tinggi ≥ 200 mg/dl sebanyak 23 responden
(71,9%) dan kadar glukosa darah ≤ 200 mg/dl sebanyak 9 responden (28,1%)

Jurnal Keperawatan Merdeka (JKM), Volume 1 Nomor 2, November 2021 117


Tabel 4.2
Distribusi FrekuensiKadar Glukosa Darah Setelah Dilakukan Relaksasi Otot Progresif di
RSUD Dr. H. Ibnu Sutowo Baturaja Tahun 2021

No Kadar Glukosa Darah Frekuensi (n) Persentase (%)


1 ≥ 200 mg/dl 8 25,0
2 ≤ 200 mg/dl 24 75,0
Jumlah 32 100

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 32 orang responden didapatkan sebagian
besar responden memiliki Glukosa darah ≤ 200 mg/dl sebanyak 24 responden (75,0%), dan
responden dengan glukosa darah ≥ 200 mg/dl yaitu sebanyak 8 responden (25,0%).

Analisis Bivariat

Hasil analisis uji beda rata rata kadar Glukosa darah sebelum dan setelah dilakukan Relaksasi otot
progresif dilakukan memalui uji Wilcoxon dengan α = 0,05, diperoleh nilai p value 0,0001, hal ini
menggambarkan terdapat perbedaan signifikan rata-rata kadar Glukosa darah pasien diabetes
mellitus TIpe II sebelum dan setelah dilakukan latihan Relaksasi Otot Progresif di RSUD
Dr.H.Ibnu Sutowo Baturaja.

PEMBAHASAN
Kadar Glukosa Darah Pasien Diabetes Melitus Tipe II Sebelum dilakukan Relaksasi Otot
Progresif
Diabetes mellitus (DM) atau dikenal juga di masyarakat sebagai penyakit kencing manis
atau penyakit gula darah adalah golongan penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar
gula dalam darah sebagai akibat adanya gangguan sistem metabolik dalam tubuh, dimana organ
pankreas tidak mampu memproduksi hormon insulin sesuai kebutuhan tubuh (Rudi & Suli 2013).
Seseorang yang menderita DM dapat memiliki gejala antara lain poliuria (sering kencing),
polidipsia (sering merasa haus), dan polifagia (sering merasa lapar), serta penurunan berat badan
yang tidak diketahui penyebabnya. Selain hal-hal tersebut, gejala penderita DM lain adalah
keluhkan lemah badan dan kurangnya energi, kesemutan di tangan atau kaki, gatal, mudah terkena
infeksi bakteri atau jamur, penyembuhan luka yang lama, dan mata kabur. Namun, pada beberapa
kasus, penderita DM tidak menunjukkan adanya gejala (Ratih et al, 2020).
Penatalaksanaan pengobatan dan penanganan penderita diabetes melitus tipe 2 difokuskan
kepada pola makan, gaya hidup dan aktivitas fisik. Pada penderita diabetes melitus tipe 2,
pengontrolan kadar gula darah dapat dilakukan dengan beberapa tindakan seperti diet, penurunan
berat badan, dan berolah raga. Jika hal ini tidak mencapai hasil yang diharapkan, maka pemberian
obat tablet diabetik akan diperlukan. Bahkan pemberian suntikan insulin turut diperlukan apabila
tablet diabetik tidak berhasil mengatasi pengontrolan kadar gula darah (Akbar et al, 2018). Hasil
penelitian diatas sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh oleh Safitri (2019) dengan
topik penelitian yaitu pengaruh terapi relaksasi progresif terhadap kadar gula darah pasien diabetes
mellitus Tipe 2. Dengan hasil penelitian yaitu Hasil penelitian menunjukkan kadar gula darah
sebelum perlakuan didapatkan rata-rata sebesar 173,07 mg/dL hasil pengukuran kadar gula darah
sesudah perlakuan didapatkan data rata-rata sebesar 161,68 mg/dL.
Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang ada, peneliti berpendapat bahwa bahwa kadar gula
darah pada responden sebelum dilakukan relaksasi otot progresif sebagian besar memiliki kadar
gula darah yang tinggi.

Jurnal Keperawatan Merdeka (JKM), Volume 1 Nomor 2, November 2021 118


Kadar Glukosa Darah Pasien Diabetes Melitus Tipe II Sesudah dilakukan Relaksasi Otot
Progresif
Diabetes Melitus Tipe II atau Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) yaitu DM
yang tidak tergantung pada insulin. Hal ini terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin
(resistensi insulin) atau akibat dari penurunan produksi insulin. Normalnya insulin terikat oleh
reseptor khusus pada permukaan sel dan mulai terjadi rangkaian reaksi termasuk metabolisme
glukosa. Pada DM tipe II reaksi dalam sel kurang efektif karena kurangnya insulin yang berperan
dalam menstimulasi glukosa masuk ke jaringan dan pengaturan pelepasan glukosa dihatat.11
Diagnosa Diabetes dapat ditegakkan jika hasil pemeriksaan gula darah puasa mencapai level 126
mg/dL atau bahkan lebih, dan pemeriksaan gula darah 2 jam setelah puasa (minimal 8 jam)
mencapai level 200 mg/dL. Sedangkan pemeriksaan gula darah secara random (sewaktu) dapat
membantu diagnosa diabetes jika nilai kadar gula darah mencapai level antara 140 mg/dL dan 200
mg/dL, terlebih lagi bila diatas 200 mg/dL (Rudi & Suli, 2013).
Hasil penelitian diatas sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2020)
dengan topik penelitian yang berjudul pengaruh terapi relaksasi otot progresif terhadap kadar
glukosa darah dan ankle brachial index diabetes mellitus II, dengan hasil penelitian yaitu Terdapat
perbedaan yang signifikan nilai kadar gula darah sebelum dan setelah dilakukan tindakan (pvalue
0,000). Sedangkan nilai ABI tidak memiliki perbedaan yang signifikan baik sebelum dan setelah
tindakan (0,187).
Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang ada, peneliti berpendapat bahwa bahwa kadar gula
darah sewaktu yang diperiksa setelah dilakukan latihan otot progresif terlihat terdapat penurunan
dari kadar gula darah sebelum latihan dan hal ini menunjukkan bahwa ada manfaat yang dihasilkan
ketika responden rutin melakukan latihan otot progresif.

Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Kadar Glukosa darah Pasien Diabetes Melitus
Tipe II
Penatalaksanaan pengobatan dan penanganan penderita diabetes melitus tipe 2 difokuskan
kepada pola makan, gaya hidup dan aktivitas fisik. Pada penderita diabetes melitus tipe 2,
pengontrolan kadar gula darah dapat dilakukan dengan beberapa tindakan seperti diet, penurunan
berat badan, dan berolah raga. Jika hal ini tidak mencapai hasil yang diharapkan, maka pemberian
obat tablet diabetik akan diperlukan. Bahkan pemberian suntikan insulin turut diperlukan apabila
tablet diabetik tidak berhasil mengatasi pengontrolan kadar gula darah (Rudi & Suli, 2013).
Latihan otot progresif merupakan salah satu intervensi keperawatan yang dapat diberikan
kepada pasien DM untuk meningkatkan relaksasi dan kemampuan pengelolaan diri. Latihan ini
memberikan tegangan pada suatu kelompok otot, dan menghentikan tegangan tersebut kemudian
memusatkan perhatian terhadap bagaimana otot tersebut menjadi rileks, merasakan sensasi rileks,
dan ketegangan menghilang. Latihan ini dapat membantu mengurangi ketegangan otot, stres,
menurunkan tekanan darah, meningkatkan toleransi terhadap aktivitas sehari-hari, meningkatkan
imunitas, sehinga status fungsional dan kualitas hidup meningkat. 13 Tujuan dari relaksasi otot
progresif yaitu dapat menurunkan ketegangan otot, kecemasan, nyeri leher dan punggung, tekanan
darah tinggi, frekuensi jantung, dan laju metabolik, mengurangi disritmia jantung dan kebutuhan
oksigen, meningkatkan gelombang alfa otak yang terjadi ketika klien sadar dan tidak memfokuskan
perhatian serta relaks, meningkatkan rasa kebugaran dan konsentrasi, memperbaiki kemampuan
untuk mengatasi stress, mengatasi insomnia, depresi, kelelahan, irritabilitas, spasme otot, fobia
tingan, gagap ringan, membangun emosi positif dari emosi negatif (Akbar et al, 2018).
Hasil penelitian dilakukan oleh Puspitasari (2020) dengan topik penelitian yang berjudul
pengaruh terapi relaksasi otot progresif terhadap kadar glukosa darah dan ankle brachial index
diabetes mellitus II, dengan hasil penelitian yaitu Terdapat perbedaan yang signifikan nilai kadar
gula darah sebelum dan setelah dilakukan tindakan (pvalue 0,000). Sedangkan nilai ABI tidak
memiliki perbedaan yang signifikan baik sebelum dan setelah tindakan (0,187). Penelitian lainnya
yang juga sejalan dilakukan oleh Khusnaini (2019) dengan judul pengaruh relaksasi otot progresif
terhadap kadar gula darah pasien DM tipe 2 di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, dengan hasil
penelitian yaitu berdasarkan hasil Wilcoxon t-test menunjukkan hasil pada kelompok intervensi
Jurnal Keperawatan Merdeka (JKM), Volume 1 Nomor 2, November 2021 119
dengan nilaiAsymp. Sig (2-taileD)= .000 dan pada kelompok kontrol dengan nilai Asymp. Sig (2-
taileD)= .530. dan berdasarkan uji Mann Whitnney menunjukkan nilai signifikasi lebih kecil dari
0,05(0,00).

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh Relaksasi
otot progresif terhadap kadar gula darah pasien diabetes melitus tipe II, hal ini sejalan dengan teori
yang menyatakan bahwa dengan menerapkan latihan otot progresif pada pasien diabetes melitus
dapat menurunkan ketegangan otot, kecemasan, nyeri leher dan punggung, tekanan darah tinggi,
frekuensi jantung, dan laju metabolik, mengurangi disritmia jantung dan kebutuhan oksigen,
meningkatkan gelombang alfa otak yang terjadi ketika klien sadar dan tidak memfokuskan
perhatian serta relaks, meningkatkan rasa kebugaran dan konsentrasi, memperbaiki kemampuan
untuk mengatasi stress, mengatasi insomnia, depresi, kelelahan, irritabilitas, spasme otot, fobia
tingan, gagap ringan, membangun emosi positif dari emosi negative. Berdasarkan hasil penelitian,
teori serta penelitian terkait maka peneliti berasumsi bahwa latihan otot progresif yang dilakukan
secara teratur dapat memberikan efek positif berupa relaksasi berupa menurunnya ketegangan,
stres pada pasien, memperbaiki laju metabolik, dan meningkatkan gelombang alfa diotak yang
dapat memberikan berbagai manfaat pada pasien yang melakukannya secara teratur. Sehingga akan
berimbas pada penurunan kadar gula darah pasien secara berkala dan membuat pasien menjadi
lebih bugar.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan pada penelitian ini adalah ada
pengaruh relaksasi otot progresif terhadap kadar glukosa darah pasien Diabetes Melitus Tipe 2
dengan p value 0,000.

Saran
Diharapkan kepada pihak Rumah Sakit untuk dapat menerapkan terapi Relaksasi otot
progresif ini pada intervensi untuk penanganan pasien diabetes melitus tipe 2 selama masa
perawatan di Rumah Sakit dan memberikan informasi kepada keluarga pasien tentang manfaat
relaksasi otot progresif. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tambahan bagi
peneliti serta tambahan ilmu pengetahuan bagi peneliti untuk dapat menerapkan latihan otot
progresif ini kepada keluarga serta teman dan kenalan yang mengalami penyakit Diabetes melitus
tipe 2.

KONFLIK KEPENTINGAN
Penulis menyatakan bahwa tidak ada konflik kepentingan

DAFTAR PUSTAKA
Akbar, M. A., Malini, H., & Afiyanti, E (2018). Progressive Muscle Relaxation (PMR) Is Effectice
To Lower Blood Glucose Levels of Patiens With Type 2 Diabetes Mellitus. Jurnal
keperawatan Soedirman, 13(2), 22-88. doi:10.20884/1.jks.2018.13.2.808
Avianti, N., & Rumarhobo, H. 2016. Progressive Muscle Relaxation Effectiveness of the Blood
Sugar Patients with Type 2 Diabetes. Open Journal of Nursing, 6, 248-254.
doi:10.4236/ojn.2016.63025
Dinkes Kabupaten OKU (2020). Profil Kesehatan Ogan Komering Ulu. Kompas. 2020.
Febrinasari Puspita Ratih, dkk. 2020. Buku Saku Diabetes Melitus Untuk Awam. Cetakan 1 Edisi 1.
Surakarta : UNS Press.
Haryono Rudi, Setianingsih Suli (2013). Awas Musuh-Musuh Anda Setelah Usia 40 Tahun.
Yogyakarta : Gosyen Publishing
Infodatin Kemenkes (2020). Pusat Data & Informasi Kementerian Kesehatan RI.
www.Pusdatin.Kemkes.go.id
Jurnal Keperawatan Merdeka (JKM), Volume 1 Nomor 2, November 2021 120
Karakoro Murni Tati, Muhammad Riduan, 2019. Pengaruh Tehnik Relaksasi Ptot Progresif
Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Rumah
Sakit Gramed Lubuk Pakam. Jurnal Keperawatan dan Fisioterapi (JFK) Volume 1 Nomor 2.
https://ejuournal.medistra.ac,id/index. php.JFK
Kemenkes RI (2019). Hasil Utama Riskesdas 2018. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Kompas (2020). Naik 6,2 Persen Selama Pandemi, Pasien Diabetes Indonesia Peringkat 7 di Dunia.
https://www.kompas.com.
.Khusnaini al Agustina Nur, Widiastuti, Ruhyana. 2019. Pengaruh Relaksasi Otot Progresif
Terhadap Kadar Gula Darah Pasien DM Tipe 2 di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
Dspace UNISA Yogyakarta. Http://digilib2.Unisayogya.ac.id.
Lindquist, R., Tracy, M. F., & Snyder, M. (2018). Complementary & alternative therapies in
nursing. New York: Springer Publishing Company.
Safitri Wahyuningsih, Rahajeng Putriningrum, 2019. Pengaruh Terapi Relaksasi Progresif
Terhadap Kadar Gula Darah Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2. Profesi (Profesional Islam)
Media Publikasi Penelitian Volume 16 Nomor 2.
http://ejournal.stikespku.ac.id/index.php/mpp/article/view/275.
PERKENI. (2015). Konsesus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia
2015. Jakarta: PB Perkeni.
Puspitasari Nengke, Deno Hermanto. 2020. Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap
Kadar Glukosa Darah dan Ankle Brachial Index Diabetes Melitus II. Journal of Nursing and
Public Health Volume 8 Nomor 2. Hrrps://jurnal.unived.ac.id.
.

Jurnal Keperawatan Merdeka (JKM), Volume 1 Nomor 2, November 2021 121

Anda mungkin juga menyukai