Pembimbing :
Disusun Oleh :
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses penyusunan referat ini
dengan judul “Diabetes Melitus, Vertigo, Dyspepsia”.Penyelesaian referat ini banyak
bantuan dari berbagai pihak,oleh karena itu adanya kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa terimakasih yang sangat tulus kepada dr.Lita Septina Chaniago
Sp.PD-KEMD selaku pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, petunjuk,
nasehat dan memberi kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini tentu tentu tidak lepas dari kekurangan
karena kebatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Maka sangat diperlukan
masukan dan saran yang membangun. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan referat ini adalah untuk mengetahui hal-
hal yang berkaitan tentang Diabetes Melitus, Vertigo, Dyspepsia dan sebagai
salah satu pemenuhan tugas kepanitraan anak Fakltas Kedokteran Universitas
Malahayati.
C. Manfaat
1. Menambah pengetahuan tentang menentukan Diabetes Melitus, Vertigo,
Dyspepsia
2. Sebagai lini pertama dalam kesehatan untuk dapat menentukan diagnosis
pada Diabetes Melitus, Vertigo, Dyspepsia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
genetik, imunologik, lingkungan dan gaya hidup. Diabetes mellitus adalah suatu
kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh adanya
peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin progresif dilatar
belakangi oleh resistensi insulin. Pernyataan ini selaras dengan IDF (2017) yang
menyatakan bahwa diabetes mellitus merupakan kondisi kronis yang terjadi saat
meningkatnya kadar glukosa dalam darah karena tubuh tidak mampu memproduksi
banyak hormon insulin atau kurangnya efektifitas fungsi insulin. Menurut American
Diabetes Association (ADA) diabetes sangatlah kompleks dan penyakit kronik yang
perlu perawatan medis secara berlanjut dengan strategi pengontrolan indeks glikemik
2.1.2. Epidemiologi
dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja dan atau
dunia adalah 1,9% dan telah menjadikan DM sebagai penyebab kematian urutan
melitus tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang menderita diabetes mellitus.
2.1.3. Etiologi
Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus
a) Autoimun
b) Idiopathik
Tipe Lain
d) Endokrinopati
f) Infeksi
2.1.4. Patofisiologi
Pada DM tipe 1, sistem imunitas menyerang dan menghancurkan sel yang
memproduksi insulin beta pankreas. Kondisi tersebut merupakan penyakit autoimun
yang ditandai dengan ditemukannya anti insulin atau antibodi sel anti islet dalam
darah (Soelistijo et al., 2015). Kerusakan pankreas menyebabkan penurunan sekresi
insulin sehingga regulasi glukosa terganggu. Selain hilangnya sekresi insulin,
kerusakan akibat autoimun ini mengakibatkan abnormalitas sel sel alpha pankreas
dimana terjadi sekresi glukagon yang berlebihan. Kedua hal ini menyebabkan kondisi
hiperglikemia yang berkepanjangan dan mulai terjadi gangguan metabolik (Suyono,
2006). Berikut patogenesis DM tipe 1:
Pada diabetes melitus tipe 2, disebabkan oleh kekurangan insulin namun tidak
terjadi defisiensi absolut seperti diabetes mellitus tipe 1. Pada DM tipe 2 terjadi
defisiensi insulin relatif. Tubuh tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan yang ditandai dengan kurangnya sel beta atau defisiensi insulin
perifer (Soelistijo et al., 2015). Defisiensi insulin relatif terjadi melalui dia mekanisme
yaitu, gangguan sekresi insulin akibat disfungsi sel beta pankreas dan gangguan kerja
insulin pada tingkat sel akibat kerusakan reseptor insulin (resistensi insulin) (Suyono,
2006).
Beberapa kondisi menjadi faktor risiko terjadinya DM tipe 2 seperti stress,
gaya hidup yang menetap, asupan gula yang berlebih, merokok, obesitas, konsumsi
alcohol, penuaan serta genetik berkontribusi dalam pathogenesis DM tipe 2. Berikut
adalah patogenesis DM tipe 2:
a. Usia
b. Berat Badan
Berat badan lebih BMI >25 atau kelebihan berat badan 20% meningkatkan dua
kali risiko terkena DM. Prevalensi Obesitas dan diabetes berkolerasi positif, terutama
obesitas sentral Obesitas menjadi salah satu faktor resiko utama untuk terjadinya
penyakit DM. Obesitas dapat membuat sel tidak sensitif terhadap insulin (retensi
insulin). Semakin banyak jaringan lemak dalam tubuh semakin resisten terhadap kerja
insulin, terutama bila lemak tubuh terkumpul di daerah sentral atau perut.
c. Riwayat Keluarga
Orang tua atau saudara kandung mengidap DM. Sekitar 40% diaebetes terlahir dari
keluarga yang juga mengidap DM, dan + 60%-90% kembar identic merupakan
penyandang DM.
d. Gaya Hidup
Gaya hidup adalah perilaku seseorang yang ditujukkan dalam aktivitas sehari-
hari. Makanan cepat saji (junk food), kurangnya berolahraga dan minum-minuman
yang bersoda merupakan faktor pemicu terjadinya diabetes melitus tipe 2. Penderita
DM diakibatkan oleh pola makan yang tidak sehat dikarenakan pasien kurang
pengetahuan tentang bagaimanan pola makan yang baik dimana mereka
mengkonsumsi makanan yang mempunyai karbohidrat dan sumber glukosa secara
berlebihan, kemudian kadar glukosa darah menjadi naik sehingga perlu pengaturan
diet yang baik bagi pasien dalam mengkonsumsi makanan yang bisa diterapkan dalam
kehidupan sehari-harinya.
2.1.9. Komplikasi
Komplikasi diabetes mellitus dapat muncul secara angkut
maupun kronik , yaitu timbul beberapa bulan atau beberapa tahun setelah
mengidappenyakit Diabetes Mellitus. (Tjokroprawito,2006)Komplikasi akut
yang sering timbul adalah hipoglikemia dan koma diabetik. Hipoglikemia
adalah gejala yang timbul akibat tubuh kekurangan glukosa, dengan tanda-tanda
: rasa lapar, gemetar, keringat dingin, pusing.Berlawanan dengan koma
hipoglikemik, koma diabetin ini timbul karena kadar darah dalam tubuh
semakin tinggi, dan biasanya lebih dari 600 mg/dl. Gejala koma diabetik adalah
nafsu makan menurun, banyak minum, banyak kencing, mual dan muntah,
napas menjadi cepat dan berbau aseton, sering disertai panas karena terjadi
infeksi. .(Tjokroprawito,2006) Komplikasi kronik yang sering timbul adalah
bila penderita lengah, komplikasi Diabetes Mellitus dapat menyerang seluruh
alat tubuh, mulai rambut sampai ujung kaki termasuk semua alat tubuh di
dalamnya. Sebaliknya, komplikasi tersebut tidak akan muncul jika perawatan
Diabetes Mellitus dilaksanakan dengan tertib dan teratur. (Tjokroprawito,2006).
Pencegahan Diabetes Mellitus Program pencegahan diadetes dengan mengatur
pola makan dan olahraga yang teratur, termasuk penurunan 5 hingga 7 persen
dari berat badan total dapat menurunkan resiko terkena diabetes tipe 2 sebesar
60 %. Caranya adalah mengurangi asupan lemak serat dengan berjalan sekitar
30 menit dalam sehari, lima hari dalam seminggu.
2.1.10. Penatalaksanaan
1. Insulin Secretagogues (merangsang sel beta mengeluarkan insulin)
Sulfonilurea (Glibenclamide, Glipizide, Glikuidon)
Metiglinide (Repaglinide,= Novonorm)
2. Metformin (membantu insulin menghambat glukoneogenesis di hati/
mengurangi resistensi insulin di hati)
3. Thiazolidindione : Meningkatkan kepekaan jaringan periferal terhadp insulin =
meningkatkan ambilan – glukose oleh jaringan perifera (otot,adipos)
3.1. Dispepsia
3.1.1 . Definisi
Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein
(digestion= pencernaan). Jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion
yang berarti sulit atau ketidaksanggupan dalam mencerna. Jadi dispepsia
didefinisikan sebagai kesulitan dalam mencerna yang ditandai oleh rasa nyeri
atau terbakar di epigastrium yang persisten atau berulang atau rasa tidak nyaman
dari gejala yang berhubungan dengan makan (rasa penuh setelah makan atau
cepat kenyang – tidak mampu menghabiskan makanan dalam porsi normal)
(Talley & Holtmann, 2008). Pada dispepsia organik ditemukan adanya suatu
kelainan struktural setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi, Sedangkan definisi
dispepsia fungsional berdasarkan konsensus kriteria Roma III, harus memenuhi
satu atau lebih gejala tersebut, serta tidak ada bukti kelainan struktural melalui
pemeriksaan endoskopi, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir,
dengan awal gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis (Brun & Kuo,
2010). Definisi lain dari dispepsia fungsional adalah penyakit yang bersifat
kronik, gejala yang berubah-ubah, mempunyai riwayat gangguan psikiatrik, nyeri
yang tidak responsif dengan obat-obatan, dapat ditunjukkan letaknya oleh pasien,
serta secara klinis pasien tampak sehat, berbeda dengan dispepsia organik yang
gejala cenderung menetap, jarang mempunyai riwayat gangguan psikiatri, serta
secara klinis pasien tampak kesakitan (Abdullah & Gunawan, 2012).
3.1.2. Klasifikasi
Menurut Kriteria Roma III dispepsia fungsional dibagi menjadi 2
klasifikasi, yakni postprandial distres syndrome dan epigastric pain syndrome.
Postprandial distres syndrome mewakili kelompok dengan perasaan “begah”
setelah makan dan perasaan cepat kenyang sedangkan epigastric pain syndrome
merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu terkait
dengan makan seperti halnya postprandial distress syndrome.
Klasifikasi Dispepsia Fungsional menurut Roma III
a. Postprandial Distres Syndrome
Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1) Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah
makan dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali
seminggu
2) Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu
menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali
seminggu
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan
terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1). Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual
setelah makan atau bersendawa yang berlebihan
2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.
b. Epigastric Pain Syndrome
Kriteria diagnostik terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1). Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium
dengan tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi
sekali dalam seminggu.
2). Nyeri timbul berulang
3). Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain
daerah perut bagian atas/epigastrium
4). Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin
5). Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan
kandung empedu dan sfingter Oddi
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan
terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1). Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa
menjalar ke daerah retrosternal
2). Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan,
namun mungkin timbul saat puasa
3). Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan.
(Diambil dari Appendix B: Roma III. 2010)
3.1.3. Epidemiologi
Dispepsia merupakan masalah umum yang sering ditemukan pada klinik
pengobatan. Ketika pasien selama pengobatan mempunyai gejala tanpa penyebab
yang jelas sering didiagnosa non-ulcer dispepsia. Beberapa laporan menyebutkan
presentase dispepsia karena kelainan organik sekitar 25%-33% dan 67%-75%
tanpa penyebab yang jelas. Di seluruh dunia mempunyai prevalensi sekitar 10%-
40%. Hal itu menunjukan bahwa diagnosis dan evaluasi harus segera dilakukan.
Keterlambatan diagnosis akan menyebabkan pasien dalam penderitaan dan
peningkatan biaya pemeliharaan kesehatan (Randall dkk, 2014).
Prevalensi dispepsia fungsional bervariasi mulai 7%-45% di seluruh
dunia dan semua penelitian epidemiologi selalu mengacu pada klasifikasi
kriteria Roma III. Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007,
ditemukan peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun
1988 menjadi 3,3% pada tahun 2003. Sedangkan pada tahun 2010, dispepsia
fungsional dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh
kunjungan ke sarana layanan kesehatan primer (Lee dkk, 2014).
3.1.4. Patofisiologi
Mekanisme patofisiologi timbulnya dispepsia fungsional atau ulkus
peptikium masih belum seluruhnya dapat diterangkan secara pasti. Hal ini
menunjukan bahwa dispepsia fungsional merupakan sekelompok gangguan yang
heterogen, namun sudah terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang
dapat dijadikan pegangan. Beberapa studi menghubungkan mekanisme
patofisiologi dispepsia fungsional dengan terjadinya infeksi H. Pylori,
ketidaknormalan motilitas, gangguan sensori visceral, faktor psikososial, dan
perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang meliputi gangguan pada sistem saraf
otonom vegetatif, sistem neuroendokrin, serta sistem imun tubuh. Sedangkan
Patofisiologi ulkus peptikum diperkirakan akibat ketidak seimbangan antara
tekanan agresif (HCL dan pepsin) yang menyebabkan ulserasi dan tekanan
defensif yang melindungi lambung ( barier mukosa lambung, barier mukus
lambung, sekresi HCO3) (Yehuda, 2010).
Patofisiologi dispepsia fungsional dapat diterangkan melalui beberapa
teori dibawah ini (Yehuda, 2010) :
a. Infeksi H. Pylori
Peranan infeksi H. Pylori dengan timbulnya dispepsia fungsional sampai
saat ini masih terus diselidiki dan menjadi perdebatan dikalangan para ahli
Gastrohepatologi. Studi populasi yang besar telah menunjukan peningkatan
insiden infeksi H. Pylori pada pasien dengan dispepsia fungsional. Beberapa ahli
berpendapat H. Pylori akan menginfeksi lambung jika lambung dalam keadaan
kosong pada jangka waktu yang cukup lama. Infeksi H. Pylori menyebabkan
penebalan otot dinding lambung yang selanjutnya meningkatkan massa otot
sehingga kontraksi otot bertambah dan pengosongan lambung akan semakin
cepat. Pengosongan lambung yang cepat akan membuat lambung kosong lebih
lama dari biasanya dan H. Pylori akan semakin menginfeksi lambung tersebut,
dan bisa sebagai predictor timbulnya ulkus peptikum.
b).Ketidaknormalan Motilitas
Dengan studi Scintigraphic Nuclear dibuktikan lebih dari 50% pasien
dispepsia fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam
lambung. Demikian pula pada studi Monometrik didapatkan gangguan motilitas
antrum postprandial. Penelitian terakhir menunjukan bahwa fundus lambung
yang “kaku” bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan
normal seharusnya fundus lambung relaksasi, baik saat mencerna makanan
maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari
corpus lambung menuju ke bagian fundus lambung dan duodenum diatur oleh
refleks vagal. Pada beberapa pasien dispepsia fungsional, refleks ini tidak
berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat. Bila
berlangsung lama bisa sebagai predictor ulkus peptikum.
c).Gangguan Sensori Visceral
Lebih 50% pasien dispepsia fungsional menunjukan sensitifitas terhadap
distensi lambung atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat : makanan yang
sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi
lambung intestinum atau distensi dini bagian antrum postprandial dapat
menginduksi nyeri pada bagian ini.
d). Faktor Psikososial
Faktor psikis dan stresor seperti depresi, cemas, dan stres ternyata
memang dapat menimbulkan peningkatan hormon kortisol yang berakibat kepada
gangguan keseimbangan sistem saluran cerna, sehingga terlihat bahwa pada
hormon kortisol yang tinggi ternyata memberikan manifestasi klinik dispepsia
yang lebih berat. Jadi semakin tinggi nilai kortisol akan menyebabkan semakin
beratnya klinis dispepsia. Begitu juga dengan perubahan gaya hidup seperti
kurang olahraga, merokok, dan gangguan tidur juga memiliki efek terhadap
peningkatan asam lambung dan perubahan aktivitas otot dinding lambung yang
meningkatkan kemungkinan terjadinya dyspepsia (Micut, 2012).
e). Gangguan Keseimbangan Neuroendokrin
Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur
endokrin melalui poros hipotalamus – pituitary – adrenal ( HPA axis). Pada
keadaan ini terjadi peningkatan kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan
dari korteks serebri diteruskan ke hipofisis anterior sehingga terjadi pengeluaran
hormone kortikotropin. Peningkatan kortisol ini akan merangsang produksi asam
lambung (Gene, 2012).
f). Gangguan Keseimbangan Sistem Saraf Otonom Vegetatif
Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui korteks
serebri ke sistem limbik kemudian ke hipotalamus dan akhirnya ke sistem saraf
otonom vegetatif. Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yaitu sistem
saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Konflik emosi akan meningkatkan
pelepasan neurotransmitter acetylcholine oleh Sistem saraf simpatis yang
mengakibatkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung. Sedangkan
sistem saraf parasimpatis hampir 75% dari seluruh serabut sarafnya didominasi
oleh nervus vagus (saraf kranial X). saraf dari parasimpatik meninggalkan sistem
saraf pusat melalui nervus vagus menuju organ yang dipersarafi secara langsung
yaitu : mempersarafi lambung dengan cara merangsang sekresi asetilkolin,
gastrin, dan histamine yang akhirnya memunculkan keluhan dispepsia bila terjadi
difungsi persarafan vagal. Disfungsi nervus vagal akan menimbulkan kegagalan
relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan, sehingga
menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang. Serat-serat
saraf simpatis maupun parasimpatis juga mensekresikan neurotransmiter sinaps
yaitu asetilkolin atau norepinefrin. Kedua neurotransmitter tersebut akan
mengaktivasi atau menginhibisi presinap maupun postsinap saraf simpatik dan
parasimpatik sehingga menimbulkan efek eksitasi pada beberapa organ tetapi
menimbulkan efek inhibisi pada organ lainnya salah satunya adalah organ
lambung.
3.1.6. Diagnosis
Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah
adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila
ditemukan adanya kelainan organik atau struktural organ lambung, perlu
dipikirkan kemungkinan diagnosis dispepsia organik, sedangkan bila tidak
ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia
fungsional. Penting diingat bahwa dispepsia fungsional merupakan diagnosis by
exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benar-benar dipastikan tidak
ada kelainan yang bersifat organik pada pemeriksaan endoskopi (Abdullah &
Gunawan, 2012).
Roma III memberikan kriteria diagnostik untuk dispepsia fungsional sebagai
berikut :
Memenuhi salah satu gejala atau lebih dari:
• Rasa penuh setelah makan yang mengganggu.
• Rasa cepat kenyang.
• Nyeri epigastrium.
• Rasa terbakar di epigastrium. dan
• Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk hasil endoskopi saluran
cerna bagian atas) yang mungkin dapat menjelaskan timbulnya gejala.
Kriteria terpenuhi selama minimal 3 bulan, dengan onset gejala minimal 6 bulan
sebelum diagnosis.
3.1.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dispepsia awal terdiri dari pengkajian riwayat penyakit
untuk mengetahui semua gejala dispepsia sangat penting untuk mengetahui apa
masalah utama dari pasien. Hal ini penting karena penatalaksanaan dispepsia
bertujuan untuk mengendalikan gejala daripada pengobatan permanen
penyakitnya.
a. Consultation Liaison Psychiatry (CLP)
Consultation Liaison Psychiatry (CLP) merupakan subspesialis dari
psikiatri yang berperan sebagai penghubung yang memungkinkan kerja sama
antara psikiater dengan spesialis medis lain. Dalam CLP seorang psikiater
berperan sebagai penyalur keahlian psikiatri dengan disiplin ilmu lainnya yaitu :
Ilmu Penyakit Dalam untuk membantu penanganan komorbiditas psikologik,
psikiatrik, dan psikofisiologik pada pasien yang mengalami keluhan dispepsia.
Jadi CLP meliputi pelajaran, pelatihan, pengajaran komorbiditas medik (Aksis
III) dan Psikiatrik (Aksis I dan II). Seorang psikiater Consultation Liaison harus
mempunyai tehnik komunikasi yang baik, ilmu pengetahuan yang luas dalam hal
interaksi antara obat psikotropik dan medis lainnya (Loyd & McClelan, 2011).
b. Penanganan Secara Farmakologi
Setelah penerapan CLP dapat dijalankan dengan baik, penanganan
gangguan dispepsia fungsional dapat diberikan secara farmakologi berdasarkan
disiplin Ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu Psikiatri. Beberapa terapi farmakologi
yang bisa diberikan pada pasien dispepsia fungsional : antasida, Histamine H2
receptor antagonists (H2RA), Proton pump inhibitors (PPI), Cytoprotective or
mucoprotective agents, Prokinetic agents, obat-obat anti H. Pylori, dan obat-obat
psikotropik antara lain : antipsikotik, antidepressant, antianxiety, mood stablizer.
Walaupun pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan adanya suatu kelainan
struktural, tetapi pemberian farmakologi masih termasuk didalam penanganan
gangguan dispepsia fungsional. Penanganan ini lebih dikenal dengan nama
Somatoterapi(Kandulski dkk, 2011).
c. Penanganan Secara Psikoterapi
Penanganan selanjutnya sebagai bagian dari CLP adalah psikoterapi, ada
beberapa langkah yang bisa ditempuh. Pertama, terangkan pasien, yakinkan
bahwa tidak terdapat gangguan organik pada diri pasien, bila perlu lakukan
pemeriksaan fisik yang teliti disertai tes laboratorium. Beri kesempatan pasien
untuk bertanya dan terangkan mekanisme fisiologi serta keterangan tentang
gejala-gejala. Kedua, beri penjelasan kepada pasien bahwa keluhannya dapat
dimengerti dan gejala tersebut juga dijumpai pada orang lain yang pernah
berobat. Bantu pasien mengenali permasalahannya dan arahkan ke pola yang
lebih sehat yang akan bermanfaat. Beritahu bahwa gejala tersebut timbul karena
kecemasan dan ketegangan psikis namun dapat diobati setelah beberapa waktu.
Terapi cognitive-Behavior terbukti efektif pada pasien dengan dispepsia
fungsional. Terapi ini membantu pasien secara sadar mengenali gejala nyeri pada
daerah episgastrium dan keluhan cepat kenyang, mengubah cara berpikir
mengenai ide- ide penyebab nyeri dengan pola pikir yang lebih realitas,
memberikan tehnik relaksasi dan melakukan pengalihan perhatian (Soo dkk,
2004).
d. Penanganan Secara Manipulasi Lingkungan dan Sosioterapi
Terapi selanjutnya dalam penanganan dispepsia fungsional sebagai bagian
dari CLP adalah manipulasi lingkungan dan sosioterapi. Pada terapi ini akan
melibatkan orang-orang terdekat yang berpengaruh kepada pasien seperti
pasangan, keluarga dan kerabat untuk membantu mewujudkan pola therapeutic
community (Soo dkk, 2004).
4.1. Vertigo
4.1.1. Definisi
Definisi
Vertigo adalah sensasi rotasi tanpa adanya perputaran yang sebenarnya.
Atau adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau lingkungan
sekitarnya dengan gejala lain yang timbul yang disebabkan oleh gangguan alat
keseimbangan tubuh (AKT).
4.1.4. Patogenesis
Vertigo akan timbul bila terdapat gangguan pada alat-alat vestibular atau
pada serabut-serabut yang menghubungkan alat/nuklei vestibular dengan pusat-
pusat di cerebellum dan korteks cerebri. Vertigo ini akan timbul bila terdapat
ketidakcocokan dalam informasi yang oleh susunan-susunan aferen disampaikan
kepada kesadaran kita. Sususnan aferen yang terpenting dalam hal ini adalah
susunan vestibular atau keseimbangan yang secara terus-menerus menyampaikan
impuls-impuls ke serebellum. Namun demikian susunan-susunan lain, seperti
misalnya susunan optik dan susunan proprioseptif dalam hal ini pula memegang
peranan yang sangat penting. Penting pula sususnan yang mrnghubungkan nuklei
vestibularis dengan nuklei N.III, IV, dan VI, sususnan vestibulo-retikularis
susunan vestibulo-spinalis dll.
Gejala subjektif
• Mual
Gejala obkjektif
• Keringat dingin
• Pucat
• Muntah
• Nistagmus
kepala
4.1.6. Diagnosis
Pemeriksaan
• Tes Kalori
• Elektronistagmografi
• Tes Rombergpenderita berdiri dengan kaki yang satu di depan kaki yang
lain(tandem) tumit kaki yang satu berada di depan jari kaki lainnya. Lengan
dilipat pada dada dan mata lalu ditutup untuk menilai adanya disfungsi
vestibular. Pada orang normal mampu berdiri dalam sikap romberg selama 30
detik atau lebih.
4.1.7. Penatalaksanaan
Terapi kausal : sesuai dengan penyebab
• Terapi simptomatik :
KESIMPULAN
ANAMNESA PRIBADI
Nama : Erlina
Agama : Islam
Pekerjaan : Mengurus rumah tangga
ANAMNESA PENYAKIT
Telaah :
Pasien datang diantar ke RSU Haji Medan dengan keluhan lemas sejak 3 hari ini, lemas
dirasakan saat pasien melakukan aktivitas sehari-hari, keluhan ini tidak berkurang sewaktu
beristirahat. Pasien mengatakan pegal-pegal pada seluruh tubuh, tetapi yang paling sering
dirasakan pasien pegal hingga nyeri pada pinggang. Pasien juga mengeluhkan kebas pada kedua
tangan dan kaki (kanan-kiri). Kebas dirasakan hampir setiap saaat dan tidak membaik saat
istirahat.
Pasien mengeluhkan sakit kepala sejak 3 hari ini, sakit kepala dirasakan seperti
berputar/oyong. Pasien mengatakan sakit kepala berputar memberat saat pasien bangun dari
kasur dan bangun dari tempat duduk dan membaik saat pasien istirahat.
Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah sejak 3 hari ini. Muntah dirasakan 2x/hari.
Muntah yang dikeluarkan berupa ampas makanan yang dimakan. Saat pasien muntah
diperkirakan 1/3 gelas aqua (240 ml). Pasien merasakan cepat mual hingga muntah apabila ada
makanan yang tidak cocok dan merasakan penurunan nafsu makan sejak 3 hari ini.
Pasien mengeluhkan batuk sudah lebih dari 2 minggu ini, dan merasakan sesak hanya pada saat
batuk
RPT : DM Tipe 2
RPK :-
ANAMNESA ORGAN
1. COR
Dyspnoe d’effort : tidak Cyanosis : tidak
Dyspnoe d’repos : tidak Angina pectoris : tidak
Oedema : tidak Palpasi cordis : tidak
Nocturia : tidak Asma cardial : tidak
2. SIRKULASI PERIFER
Claudicatio intermitten : tidak Gangguan alergi : tidak
Sakit waktu istirahat : tidak Kebas-kebas : ya
Rasa mati ujung jari : tidak
3. TRACTUS RESPIRATORIUS
Batuk : ya Stridor : ya
Berdahak : tidak Sesak nafas : ya
Haemaptoe : tidak Pernapasan cuping hidung : tidak
Sakit dada waktu bernapas : tidak Suara parau : tidak
4. TRAKTUS DIGESTIVUS
a. LAMBUNG
Sakit di epigastrium Ructus : tidak
sebelum/sesudah makan Sendawa : tidak
: ya Anoreksia : ya
Rasa panas di epigastrium : tidak Mual-mual : ya
Muntah (freq,warna,isi,dll): 1x/hari Dysphagia : tidak
( ampas makan) Foetor ex ore : tidak
Hematemesis : tidak Pyrosis : tidak
b. USUS
Sakit diabdomen : ya Diare : tidak
Bobrborygmi : tidak Malena : tidak
Obstupasi : tidak Tanesmi : tidak
Defekasi : 1x/sehari, Flatulensi : tidak
cokelat kehitaman Haemorrhoid : tidak
c. HATI DAN SALURAN EMPEDU
Sakit perut kanan memancar ke : Gatal dikulit : tidak
tidak Asites : tidak
Kolik : tidak Oedema : tidak
Icterus : tidak Berak dempul : tidak
5. GINJAL DAN SALURAN KENCING
Muka sembab : tidak Miksi : 7x/hari
Kolik : tidak (kuning jernih)
Polyuria : ya Anuria : tidak
Sakit pinggang memancar ke : tidak Polakisuria : tidak
Oliguria : tidak
6. SENDI
Sakit : tidak Sakit digerakkan : tidak
Sendi kaku : tidak Bengkak : tidak
Merah : tidak Stand abnormal : tidak
7. TULANG
Sakit : tidak Fraktur spontan : tidak
Bengkak : tidak Deformitas : tidak
8. OTOT
Sakit : tidak Kejang-kejang : tidak
Kebas-kebas : ya Atrofi : tidak
(tangan dan kaki)
9. DARAH
Sakit dimulut dan lidah : tidak Muka pucat : ya
Mata berkunang-kunang : tidak Bengkak : tidak
Pembengkakan kelenjar : tidak Penyakit darah : tidak
Merah dikulit : tidak Kendaraan subkutan : tidak
10. ENDOKRIN
a. Pancreas
Polidipsi : ya Pruritus : tidak
Polifagi : tidak Pyorrhea : tidak
Poliuri : ya
b. Tiroid
Nervositas : tidak Struma : tidak
Exoftalmus : tidak Miksodem : tidak
c. Hipofisis
Akromegali : tidak Ditrifi adipos kongenital : tidak
11. FUNGSI GENITALIA
Menarche : 12 tahun G/P/Ab : 3/5/2
Siklus haid : teratur Ereksi : tidak
setiap bulan Libido seksual : tidak
Menopause : belum Coitus : tidak
12. SUSUNAN SYARAF
Hipoastesia : tidak Sakit kepala : ya
Parastesia : tidak (oyong)
Paralisis : tidak Gerakan tics : tidak
13. PANCA INDRA
Penglihatan : normal Pengecapan : normal
Pendengaran : normal Perasaan : normal
Penciuman : normal
14. PSIKIS
Mudah tersinggung : tidak Takut : tidak
Gelisah : tidak Lekas marah : tidak
Pelupa : tidak
15. KEADAAN SOSIAL
Keadaan sosial :Ibu rumah Hygiene : baik
tangga
ANAMNESA PENYAKIT TERDAHULU
DM Tipe 2
Tidak Ada
ANAMNESA MAKANAN
ANAMNESA FAMILY
Penyakit-penyakit family : Tidak ada
Penyakit seperti orang sakit : Tidak ada
Anak-anak 5, Hidup 3, Mati 2
ANAMNESA PRAESENS
KEADAAN UMUM
Sensorium : composmentis
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Temperature : 36,6ºC
Pernapasan : 24x/menit
Nadi : 106x/menit
KEADAAN PENYAKIT
TB : 152 cm
BB BB
RBW = x 100% = =28
TB−100 IMT = TB 2 ,1kg/cm2
125%
( )
100
Kesan : obesitas ringan Kesan : obesitas
PEMERIKSAAN FISIK
1. KEPALA
Pertumbuhan rambut : normal
Sakit jika dipegang : tidak
Perubahan lokak : tidak
a. Muka
Sembab : tidak Parase : tidak
Pucat : ya Gangguan local : tidak
Kuning : tidak
b. Mata
Stand mata : normal Icterus : tidak
Gerakan : normal Anemia : ya
Exoftalmus : tidak Reaksi pupil : isokor
Ptosis : tidak Gangguan local : tidak
c. Telinga
Secret : tidak Bentuk : normal
Radang : tidak Atrofi : tidak
d. Hidung
Secret : tidak Benjolan-benjolan : tidak
Radang : tidak
e. Bibir
Sianosis : Kering : tidak
tidak Radang : tidak
Pucat : ya
f. Gigi
Karies : tidak Jumlah : tidak
Pertumbuhan : tidak dihitung
Pyorroe alveolaris : tidak
g. Lidah
Kering : tidak Beslag : tidak
Pucat : tidak Tremor : tidak
h. Tonsil
Merah : tidak Membrane : tidak
Bengkak : tidak Angina lacunaris : tidak
Beslag : tidak
2. LEHER
Inspeksi
Palpasi
4. THORAX BELAKANG
Inspeksi
Pekak hati : ya
Nyeri di Pekak beralih :
epigastrium tidak
Auskultasi
Peristaltic usus :
20x/menit
6. GENITALIA
Luka :
tidak
5. ABDOMEN Sikatrik :
Inspeksi tidak
Nanah :
tidak
Hernia :
tidak
7. EKSTREMITAS
a. Atas
Dextra
Sinistra
Bengkak : tidak
tidak
Merah : tidak
tidak
Stand abnormal : tidak
tidak
Gangguan fungsi : tidak
tidak
Tes rumpelit : tidak
tidak
Refleks : biceps +
+
Triceps + +
Radio periost +
b. Bawah
Dextra
Sinistra
Bengkak : tidak
tidak
Merah : tidak
tidak
Oedema : tidak
tidak
Pucat : tidak
tidak
Gangguan fungsi : tidak
tidak
Varises : tidak
tidak
Refleks : KPR +
+
APR + +
Struple +
PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN
Darah
Hasil Satuan
Darah Rutin
Hemoglobin 10.60 g/dl
Eritrosit 5.19 10^3/uL
Leukosit 7,4 uL
Hematokrit 32,8 %
Trombosit 273 uL
Index Eritrosit
MCV 63,2 F1
MCH 20,3 Pg
MCHC 32,2 %
Jenis Leukosit
Eosinofil% 0 %
Basofil 4 %
N. Seg 67,1 %
Neutrofil %
Limfosit 23.9 %
Monosit 6 %
LED mm/jam
Fungsi Hati
Bilirubin Total mg/dl
Bilirubin Direk mg/dl
SGOT U/l
SGPT U/l
Protein Total g/dl
Fungsi Ginjal
Creatinin 0.9 mg/dl
Ureum 18 mg/dl
Telaah :
Lemas (+) pegal seluruh tubuh (+) sakit kepala berputar (+) mual (+) muntah (+)
batuk (+) sesak saat batuk (+)
RPT : DM Tipe 2
RPK :-
Status present :
Pemeriksaan Fisik
Kepala : pucat pada wajah, anemi pada konjungtiva (mata)
Leher : dalam batas normal
Thoraks : dalam batas normal
Abdomen : nyeri tekan (+) pada umbilikal, hipogastrik, hipokandrium dan
epigastrik
Ekstremitas : dalam batas normal
Pemeriksaan Laboratorium
- Darah : Hb turun, eritrosit naik, hematokrit turun, MCV turun, MCH turun,
basofil turun.
- Urin :-
- Tinja :-
TERAPI :
PEMERIKSAAN ANJURAN :
2. Status Present
Teori Kasus
Keadaan Penyakit
Anemia Tidak Ya
Ikterus Tidak Tidak
Sianosis Tidak Tidak
Dyspnea Tidak Ya
Edema Tidak Tidak
Eritema Tidak Tidak
Turgor Baik Baik
Gerakan aktif Ya Tidak
Sikap tidur paksa Tidak Tidak
Keadaan Gizi
TB TB 152 cm
BB BB 65 kg
RBW : X 100% 90-100 % 90%
Kesan Normoweight Obesitas
IMT 18,5-22,9 kg/m² 28,1 kg/cm²
Kesan Normoweight Obesitas
3. Pemeriksaan Fisik
Teori Kasus
Kepala Dalam Batas Normal Pucat pada wajah, anemi
pada konjungtiva
4. Pemeriksaan Penunjang
Teori Kasus
- GDS Normal <200 mg/dL 320 mg/dL
5. Diagnosis Banding
Teori Kasus
1. Diabetes Melitus 1. Diabetes melitus
2. Diabetic ketoasidosi
3. Diabetes gestasional
4. Hiperglikemia
5. TGT
6. Diagnosis Kerja
Teori Kasus
Diabetes Melitus Diabetes Melitus
7. Terapi
Teori Kasus
Aktivitas : Tirah baring Aktivitas : Tirah Baring
Diet : Diet kalori harian Diet : Makanan lunak
Terapi Medikamentosa : Terapi Medikamentosa :
- Insulin Secretagogues
- Metglinide • IVFD RL 20 GTT/I
- Metformin • Apidra 12-12-12 unit
-
4.2. Dispepsia
1. Anamnesa TEORI KASUS
- Nyeri epigastrium (+) (+)
- Rasa cepat kenyang (+) (-)
- Rasa penuh setelah (+) (+)
makan
- Rasa terbakar di (+) (-)
epigastrium
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang
Teori Kasus
Aktivitas : Tirah baring Aktivitas : Tirah Baring
Diet : MB Diet : MB
Terapi Medikamentosa : Terapi Medikamentosa :
-Antasida • IVFD RL 20 GTT/I
- H2 Blocker • Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
- Proton Pump Inhibitoe • Curcuma 3x1 tab
- Domperidone
• Vit D 3x1 tab
- Psikoterapi
• Inj Ketorolac 1 amp kalau nyari
• Zinc 1x1 tab
• Vit C 2x1 tab
-
4.3. Vertigo
2. Pemeriksaan fisik
4. Terapi
Teori Kasus
Aktivitas : Tirah baring Aktivitas : Tirah Baring
BAB V
KESIMPULAN
Telah dilaporkan satu kasus diabetes melitus. Diagnosa ditegakkan secara
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pasien ini didiagnosa
diabetes melitus yang karena mengalami frekuensi kencing yang sering, sering merasa
haus dan GDS yang melebihi >200 .
Pasien ini juga dilaporkan mengalami Dispepsia. Keluhan utama yang menjadi
kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman
pada perut bagian atas. Apabila ditemukan adanya kelainan organik atau struktural
organ lambung, perlu dipikirkan kemungkinan diagnosis dispepsia organik, sedangkan
bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia
fungsional.
Vertigo merupakan kondisi yang diakibatkan karena adanya gangguan pada
telinga atau pada saraf ocousticus yang mengakibatkan nyeri dan kelemahan otot leher
serta keseimbangan tubuh pasien.
Dengan adanya pemeriksaan fisioterapi yang teliti maka seseorang dapat mengetahui
penyebab dari vertigo tersebut, sehingga fisioterapi dapat melakukan intervensi pada
kasus tersebut dengan tepat walaupun dalam pemeriksaan manajemenn pelayanan di
Rumah Sakit harus memberikan aplikasi terapi sesuai dengan konsultan darai dokter
Rehabilitasi Medik pada kasus vertigo ini yang disebabkan oleh trauma.
DAFTAR PUSTAKA
1. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition page 1653. The McGraw
– Hill Companies. 2005
2. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. 2014. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid I. VI. Jakarta: Interna Publishing.
3. Murdani Abdullah, Jeffri Gunawan. Dispepsia. Akreditasi IDI – 4 SKP. Divisi
Gastroenterologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, Indonesia
4. Pritt BS, Clark CG. Amebiasis. Mayo Clin Proc. Oct 2008;83(10):1154-9; quiz
1159- 60.
5. Eva Decroli. Konsultan Endokrin Metabolik Diabetes, Bagian Ilmu Penyakit