Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN KASUS

UNIT GAWAT DARURAT


STROKE HEMORAGIK

Disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam


Mengikuti program Dokter Internsip Indonesia

Disusun Oleh :
dr. Indra Pramanasari

DokterPembimbing :
dr. Intan, Sp.S

Dokter Pendamping
dr.Arief Fadillah

RSUD DR. MOHAMAD SALEH


PROBOLINGGO
2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

Stroke adalah penyebabkematianyang ketiga setelah penyakit jantung dan


keganasan.Stroke diderita oleh ± 200 orang per 100.000 penduduk per tahunnya.
Strokemerupakan penyebab utama cacat menahun. Pengklasifikasiannya adalah
65-85% merupakanstroke non hemoragik (± 53% adalah stroke trombotik, dan
31% adalah stroke embolik)dengan angka kematian stroke trombotik ± 37%, dan
stroke embolik ± 60%. Presentasestroke non hemoragik hanya sebanyk 15-35%.±
10-20% disebabkan oleh perdarahan atauhematom intraserebral, dan ± 5-15%
perdarahan subarachnoid.Angka kematian strokehemoragik pada jaman sebelum
ditemukannya CT scan mencapai 70-95%, setelahditemukannya CT scan
mencapai 20-30%.
Meningkatnya usia harapan hidup yang didorong oleh keberhasilan
pembangunannasional dan modernisasi serta globalisasi di Indonesia akan
cenderung meningkatkan resikoterjadinya penyakit vascular (penyakit jantung
koroner, stroke, dan penyakit arteri perifer). Data di Indonesia menunjukkan
kecenderungan peningkatan kasus stroke baik dalam halkematian, kejadian,
maupun kecacatan. Angka kematian berdasarkan umur adalah sebesar 15,9%
(umur 45-55 tahun), 26,8% (umur 55-64 tahun) dan 23.5% (umur >65 tahun).
Prevalensi stroke di Indonesia ditemukan sebesar 8,3 per 1000penduduk
serta yang telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan adalah 6 per1000 penduduk.
Hal ini menunjukkan sekitar 72,3% kasus stroke dimasyarakat telah didiagnosis
oleh tenaga kesehatan. Prevalensi stroketertinggi dijumpai di NAD (16,6%) dan
terendah di Papua (3,8%).Terdapat 13 provinsi dengan prevalensi stroke lebih
tinggi dari angka nasional.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien


Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 40 tahun
Agama : Islam
Alamat : Probolinggo
Status : Menikah
Pekerjaan : IRT
Tanggal Pemeriksaan : 18-10-2019

2.2. Anamnesis (Alloanamnesis)


Keluhan Utama: Kelemahan tangan dan kaki kiri sejak 2,5 jam SMRS
Keluhan Tambahan: Nyeri kepala, mual dan muntah
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien dating ke IGD Rsud Dr. Moh Saleh dengan keluhan kelemahan
tangan dan kaki kiri sejak 2,5 jam SMRS. Keluhan dirasakan tiba-tiba oleh pasien
saat mandi. Keluhan tidak dirasakan memberat atau membaik sampai dibawa ke
IGD. Selain kelemahan, pasien juga mengeluhan nyeri kepala yang juga timbul
tiba-tiba dan terus menerus bersamaan dengan kelemahan tangan dan kaki, yaitu
saat mandi. Pasien mengatakan nyeri kepala dirasakan di seluruh kepala, nyeri
kepala tidak memberat dan tidak membaik meskipun sudah istirahat dan minum
“bodrex”. Pasien juga merasakan mual dan muntah 1x setelah mandi.
Pasien masih dapat beraktivitas dan diajak bicara seperti biasa sebelum
mandi. Pasien selama ini hanya mengeluhkan rasa berat di pundak dan hanya
berobat saat rasa berat itu muncul. Makan dan minum baik. BAB dan BAK lancar.
Kepala terbentur, kejang, gangguan kesadaran dan demam disangkal.

3
Riwayat Penyakit Dahulu :
 Pasien tidak pernah mengalami hal serupa sebelumnya.
 Hipertensi : (+) sejak lebih dari 5 tahun, tidak terkontrol
 Diabetes Melitus : disangkal
 Asma : disangkal
 Penyakit Jantung : disangkal
 Alergi : disangkal

Riwayat Keluarga:
 Tidak pernah ada mengalami hal serupa sebelumnya.
 Hipertensi : (+) ayah pasien
 Diabetes Melitus : disangkal
 Asma : disangkal
 Penyakit Jantung : disangkal
 Alergi : disangkal

Riwayat pribadi/kebiasaan:
Pasien menyangkal penggunaan rokok maupun alkohol. Pengunaan obat-
obatan terlarang juga disangkal oleh pasien dan keluarga pasien.

2.3. Pemeriksaan Fisik Umum


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran/GCS : CM (E4M5V6)
Tekanan darah : 247/122 mmHg
Nadi : 83 kali/menit, teratur, kuat, penuh
Suhu aksila : 36,2oC
Pernafasan : 22 kali/menit, teratur

Kepala:
Kalvarium : Tidak ada kelainan
Wajah : Simetris
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

4
Hidung : simetris, deviasi septum -, tidak ada sekret
Mulut : mukosa oral basah, faring tidak dapat dinilai
Telinga : sekret (-/-), membran timpani tidak dinilai

Leher:
A. karotis : teraba pulsasi teratur, kuat, penuh
Kelenjar tiroid : tidak membesar
Trakea : tidak terdapat deviasi
Kelenjar : tidak ada pembesaran KGB servikalis

Thoraks:
Paru-paru:
I : Simetris, tidak ada penggunaan otot napas tambahan
P : fremitus taktil kiri dan kanan sama
P : sonor pada kedua lapang paru
A : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung:
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : ictus cordis teraba pada ICS V linea mid-aksilaris sinistra
P : dalam batas normal
A : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen:
I : Distensi (-)
P : supel, NT (-), undulasi (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)
P : timpani, shifting dullness tidak dinilai
A : Bising usus (+) 8 kali/menit

Genitalia eksterna: tidak dinilai


Ekstremitas: CRT <2 detik, akral hangat, edema -/-/-/-
Sendi dan otot: rigiditas (-), spastis (-)
Kolumna vertebra: tidak dinilai

5
2.4. Pemeriksaan Neurologis
1. Tanda perangsangan selaput otak
Kaku kuduk :-
Kernig :-
Brudzinski I :-
Brudzinski II : -

2. Tanda peningkatan tekanan intrakranial


Sakit kepala : skala nyeri 6/10
Penglihatan kabur :-
Bradikardia :-
Papilledema : tde

3. Saraf kranial
1. Saraf-saraf Otak (Nervus Cranialis)
a. N. Olfactorius (N. I)
Kanan Kiri
Hiposmia/Anosmia Tde Tde
Parosmia Tde Tde
Halusinasi Tde Tde

b. N. Opticus (N.II)
Kanan Kiri
Visus Dbn
Lapang Pandang Dbn
Membedakan warna Tde
Funduscopy Tde

c. N. Oculomotorius (N. III), N. Trochlearis (N. IV), N. Abducens


(N. VI)
Kanan Kiri
Kedudukan Bola Mata Ditengah Ditengah

6
Pergerakan Bola Mata Ke Nasal Positif Positif
Ke Temporal Positif Positif
Ke Atas Positif Positif
Ke Bawah Positif Positif
Ke Temporal
Positif Positif
Bawah
Ke Nasal Atas Positif Positif
Exophthalmus Negatif Negatif
Celah Mata (Ptosis) Negatif Negatif
Pupil Bentuk Bulat simetris
Lebar 3 mm 3 mm
Perbedaan
Isokor
Lebar
Reaksi Cahaya
Positif Positif
Langsung
Reaksi Cahaya
Positif Positif
Konsensual
Reaksi
Positif Positif
Akomodasi
Reaksi
Positif Positif
Konvergensi

d. N. Trigeminus (N. V)
Kanan Kiri
Cabang Motorik Otot Masseter Dbn dbn
Otot Temporal Dbn dbn
Cabang Sensorik I Dbn dbn
II Dbn dbn
III Dbn dbn
Reflek Kornea Langsung Positif Positif
Reflek Kornea Tak Langsung Positif Positif

7
e. N. Facialis (N. VII)
Kanan Kiri
Waktu Diam Kerutan dahi Simetris
Tinggi alis Simetris
Sudut mata Simetris
Lipatan nasolabial Simetris
Waktu gerak Mengerutkan dahi Simetris
Menutup mata Simetris
Bersiul Simetris
Meringis Simetris
Pengecapan 2/3 depan lidah Dbn
Hiperakusis Negatif Negatif
Sekresi air mata Dbn Dbn

f. N. Vestibulocochlearis (N. VIII)


Kanan Kiri
Vestibular Vertigo Negatif
Nystagmus ke Negatif Negatif
Tinnitus Negatif Negatif
Tes kalori Sde

8
Cochlear Weber Lateralisasi (-)
Schwabach Dbn Dbn
Rinne Dbn Dbn
Tuli konduksi Negatif Negatif
Tuli persepsi Negatif Negatif

g. N. Glossopharingeus (N. IX), N. Vagus (N. X)


Bagian Motorik Suara Biasa
Menelan Dbn
Kedudukan arcus Simetris
Kedudukan uvula/pharynx Tengah
Pergerakan arcus pharynx/uvula Dbn
Vernet-Redeau phenomen Dbn
Detak jantung Regular
Bising usus (+) normal
Bagian Sensorik Pengecapan 1/3 belakang lidah Dbn
Reflek Muntah Dbn
Reflek Palatum Molle Dbn
h. N. Accessorius (N. XI)
Kanan Kiri
Mengangkat bahu Positif Positif
Memalingkan kepala Positif Positif

i. N. Hipoglossus (N. XII)


Kanan Kiri
Kedudukan lidah waktu istirahat ke Ditengah
Kedudukan lidah waktu bergerak ke Ditengah
Atrofi Negatif
Fasikulasi Negatif
Kekuatan lidah menekan bagian dalam pipi Positif Positif

4. Motorik

9
A. Besar otot
Atrofi : negatif
Pseudoatrofi : negatif
B. Palpasi otot
Konsistensi : padat, kenyal
Kontraktur : negatif
Nyeri : negatif
C. Tonus otot
Lengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Hipotoni Negatif Negatif Negatif Negatif
Spastik Negatif Negatif Negatif Negatif
Rigid Negatif Negatif Negatif Negatif
Rebound phenomen Negatif Negatif Negatif Negatif

E. Kekuatan Otot
Tubuh : Otot perut Dbn
Otot pinggang Dbn
Kedudukan diafragma Simetris
Lengan : Kanan Kiri
M. Deltoid 5 3
M. Biceps 5 3
M. Triceps 5 3
Flexi sendi pergelangan
5 3
tangan
Extensi sendi pergelangan
5 3
tangan
Membuka jari-jari tangan 5 3
Menutup jari-jari tangan 5 3
Tungkai :
Flexi artic-coxae 5 3
Extensi artic-coxae 5 3

10
Flexi sendi lutut 5 3
Extensi sendi lutut 5 3
Flexi plantar kaki 5 3
Extensi dorsal kaki 5 3
Gerakan jari-jari 5 3

Refleks Fisiologis
Biseps : +2/+2
Triseps : +2/+2
Patella : +2/+2
Tumit : +2/+2
Kulit dinding perut : tidak diperiksa
Otot dinding perut : tidak diperiksa
Refleks Patologis
Hoffman Trommer :-
Babinski :-
Chaddock :-
Gordon :-
Oppenheim :-
Schaeffer :-
Klonus
Lutut : tidak ada
Tumit : tidak ada
5. Sensibilitas
Pemeriksaan sensibilitas tidak dilakukan kecuali dengan rangsang sternum

6. Fungsi luhur
Afasia :-
Daya ingat, menghitung :-
Apraksia :-

7. Tanda regresi

11
Refleks glabella :-
Refleks mencucu (snout) :-
Refleks genggam :-

2.5.Resume Medis
Anamnesis:
Pasien datang dengan keluhan kelemahan ekstremitas kiri sejak 2,5 jam
SMRS disertai dengan, nyeri kepala, mual dan muntah sejak 2,5 jam SMRS.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan:


 Kesadaran: CM (E4M5V6)
 Tekanan darah: 247/122 mmHg
 Nyeri kepala : Skala nyeri 6/10
 Motorik : 5/3
5/3

SKOR STROKE SIRIRAJ :


[(2,5 x Derajat Kesadaran) + (2 x Muntah) + (2 x Nyeri Kepala) + (0,1 x
Tekanan Darah Diastol) - (3 x Atheroma Marker) - 12]
= [(2,5 x 0) + (2 x 1) + (2 x 1) + (0,1 x 122) - (3 x 0) - 12]
= 4,2 (stroke hemoragik)

2.6. Diagnosis
Workingdiagnosis: ICH
Klinis: Hemiparese
Topis: Putamen, globus padlidus dan corona radiate dextra
Etiologi: gangguan vascular (ICH)

Diagnosis Tambahan: Hipertensi Eemergensi tidak terkontrol

Tata Laksana:
Non farmakologi:

12
O2 masker 6-10 Lpm
IVFD NaCl 0,9% 1500 cc/24 jam
Pasang DC kateter
Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan Ro thorax AP dan CT Scan Kepala non-kontras
Pemeriksaan laboratorium (DL, LFT, RFT, SE, GDA)

Farmakologi:
Pantoprazole injeksi 2x40 mg IV
Citicolin injeksi 3x250 mg IV
Mecobalamin 3x1 amp IV
Paracetamol 3x1 g IV

13
Follow up Pemeriksaan Penunjang

CT Scan Kepala non kontras Ny. S

14
Ro thorax AP Ny. S

15
Hasil Laborat Ny. S

16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Menurut World Health Organization (WHO), stroke adalah gangguan
fungsional otak yang terjadi mendadak dengan tanda dan gejala klinis baik fokal
maupun global, berlangsung lebih dari 24 jam atau dapat menimbulkan kematian,
disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak.
Stroke hemoragik adalah stroke yang diakibatkan oleh perdarahan arteri
otak didalam jaringan otak (intracerebral hemorrhage) dan/atau perdarahan arteri
diantara lapisan pembungkus otak, piamater dan arachnoidea.

3.2. Epidemiologi
Stroke merupakan penyebab kematian ketiga dan penyebab utama
kecacatan. Sekitar 0,2% dari populasi pada negara maju terkena stroke setiap
tahunnya yang mana sepertiganya akan meninggal pada tahun berikutnya dan
sepertiganya bertahan hidup dengan kecacatan. Sisa sepertiganya dapat sembuh
kembali seperti semula. Angka mortalitas stroke di dunia mencapai 9% dari total
kematian per tahun.
9-27% dari seluruh kasus stroke disebabkan oleh karena ICH non-
traumatik. Insidensi ICH sendiri berkisar antara 12-31 per 100.000 penduduk.
Insidensi ICH meningkat 2 kali lipat setiap dekadenya diatas 35 tahun. Tingkat
kejadian tertinggi terdapat pada suku Asia, kemudian Afrika-Amerika, dan paling
jarang pada suku Kaukasia.

3.3. Etiologi
Vaskulopati hipertensi merupakan penyebab utama perdarahan
intraserebral (Intracerebral hemorrhage, ICH). Pada usia yang lebih tua,
angiopati yang disebabkan oleh penumpukan amiloid merupakan penyebab yang

17
sering pada ICH non-traumatik, sedangkan pada kelompok usia anak-anak, ICH
disebabkan terutama oleh malformasi vaskuler.

3.3.1. Vaskulopati hipertensi


Perdarahan akibat hipertensi terjadi pada arteri yang merupakan
cabang dari arteri intraserebral mayor, seringkali pada posisi 90 o dari arteri
mayor tersebut. Arteri cabang yang kecil ini sangat dipengaruhi oleh
hipertensi, karena arteri-arteri kecil ini terpapar langsung terhadap tekanan
yang dialami oleh arteri mayor.
Pembuluh darah yang menyebabkan perdarahan biasanya merupakan
arteri yang sama yang menyebabkan penyakit oklusif dan vaskulopati
diabetikum dan menyebabkan stroke lakunaris. Pembuluh-pembuluh darah ini
memberikan pendarahan ke:
 pons dan mesencephalon (cabang dari arteri basilaris),
 thalamus (cabang dari arteri serebri posterior),
 putamen dan nukleus kaudatus (cabang dari arteri serebri media)
Pemeriksaan patologis pembuluh darah pada pasien dengan hipertensi
kronik dan pasien dengan ICH telah membuahkan hasil bagaimana
perdarahan tersebut dapat terjadi. Awalnya terjadi hiperplasia dari tunika
intima dengan hyalinosis pada dinding pembuluh darah yang menyebabkan
nekrosis fokal. Nekrosis ini menyebabkan kelemahan/robekan kecil pada
dinding pembuluh darah. Hal ini menyebabkan terjadinya pengumpulan darah
di luar dinding tersebut. Hal ini disebut sebagai pseudoaneurisma. Perdarahan
masif dapat terjadi apabila sistem pembekuan darah tidak dapat
mengompensasi perubahan yang terjadi pada pembuluh darah.

3.3.2. Angiopati amiloid serebral (Cerebral amyloid angiopathy, CAA)


Keadaan ini merupakan penyebab utama ICH pada usia lanjut. CAA
dikarakterisasi dengan adanya deposisi bahan congofilik pada arteri kaliber
kecil hingga sedang pada otak dan leptomeninges. Hal ini membuat dinding
dari pembuluh darah menjadi lemah dan rentan terhadap perdarahan. CAA
biasanya bermanifestasi sebagai perdarahan lobaris. Lokasi ini dapat

18
membantu membedakan ICH akibat CAA dengan ICH akibat hipertensi yang
lebih sering menyerang putamen, talamus dan pons.

3.3.3. Etiologi lainnya


 Trauma
 Malformasi arteriovenosus
 Fistula arteriovenosus
 Cerebral venous thrombosis
 Emboli
 Tumor otak
 Gangguan perdarahan, termasuk penggunaan trombolitik
 Infeksi CNS
 Vaskulitis

3.4 Klasifikasi Stroke


Klasifikasi modifikasi Marshall:
1) Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya
 Stroke Iskemik
o Transient Ischemic Attack (TIA)
o Trombosis Serebri
o Emboli Serebri
 Stroke Hemoragik
o Perdarahan Intraserebral
o Perdarahan Subarakhnoid
2) Berdasarkan stadium.pertimbangan waktu
 Transient Ischemic Attack (TIA)
 Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND)
 Stroke in Evolution
 Completed Stroke
3) Berdasarkan sistem pembuluh darah
 Sistem Karotis

19
 Sistem Vertebro-basilar

3.5. Patogenesis
3.4.1. Perdarahan mikro serebral
Data dari pencitraan neurologi menunjukkan pseudoaneurisma dengan
perdarahan minimal merupakan proses yang sering terjadi pada pasien dengan
ICH dan sering kali merupakan awal dari terjadinya proses ICH tersebut.

3.4.2. Mekanisme cedera otak


Terdapat beberapa mekanisme cedera otak pad ICH, antara lain cedera
mekanis parenkim otak akibat bekuan darah yang meluas dan edema sitotoksik
perilesi. Kedua hal ini berkontribusi terhadap efek massa yang kemudian
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (intracranial pressure, ICP).
Peningkatan ICP akan menyebabkan penurunan perfusi serebral dan iskemia.
Bahkan pada ICH yang sangat besar, sering menyebabkan herniasi otak.
Cedera otak sekunder setelah kejadian perdarahan awal merupakan proses
yang penting, namun hal yang menyebabkan cedera otak ini masih belum dapat
ditentukan dengan jelas. Salah satu teori yang berkembang adalah proses
perdarahan menyebabkan terjadinya gangguan sawar darah otak secara
keseluruhan.
Edema perihematom akibat perdarahan mencapai volum maksimumnya
pada 7-12 hari setelah onset dan ekspansi edema tercepat terjadi pada 48 jam
pertama. Area perihematoma ini sering kali memperlihatkan perfusi yang lebih
rendah (edema vasogenik) dengan tingkat difusi yang meningkat (edema
sitotoksik).

3.4.3. Pembesaran perdarahan


CT Scan serial pada pasien ICH menunjukkan bahwa perdarahan otak
akan melebar beberapa jam setelah onset. Pada mayoritas kasus, pembesaran
volume perdarahan terjadi pada 3 jam pertama. Pembesaran perdarahan ini

20
dihubungkan dengan prognosis yang lebih buruk. Ekspansi perdarahan ke rongga
intraventrikular (intraventricular hemorrhage, IVH) terjadi pada 40-60% dan
dihubungkan dengan komplikasi dan prognosis yang lebih buruk

3.5. Faktor risiko


Faktor risiko stroke terdiri dari :
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :
a. Usia
Risiko terkena stroke meningkat sejak usia 45 tahun.
Setiap penambahan usia tiga tahun akan meningkatkan
risiko stroke sebesar 11 – 20 %. Orang yang berusia > 65
tahun memiliki risiko stroke sebesar 71 %, sedangkat usia
65 – 45 tahun memiliki risiko 25 %, dan 4 % terjadi pada
orang berusia < 45 tahun.
b. Jenis Kelamin
Insiden stroke 1.25 kali lebih besar pada laki – laki
dibanding perempuan.
c. Ras / Bangsa
Orang kulit hitam lebih banyak menderita stroke daripada
orang kulit putih.
d. Hereditas
Riwayat stroke dalam keluarga, terutama jika dua atau
lebih anggota keluarga pernah mengalami stroke pada
usia < 65 tahun, meningkatkan risiko stroke
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi :
a. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya
stroke.Hipertensi meningkatkan risiko terjadinya stroke
sebanyak 4 sampai 6 kali.Makin tinggi tekanan darah
kemungkinan stroke makin besar karena terjadinya
kerusakan pada dinding pembuluh darah sehingga
memudahkan terjadinya penyumbatan/perdarahan

21
otak.Sebanyak 70% dari orang yang terserang stroke
mempunyai tekanan darah tinggi.
b. Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan faktor risiko untuk stroke,
namun tidaksekuat hipertensi.Diabetes melitus dapat
mempercepat terjadinya aterosklerosis (pengerasan
pembuluh darah) yang lebih berat sehinggaberpengaruh
terhadap terjadinya stroke.risiko terjadinya stroke pada
penderita diabetes mellitus 3,39kali dibandingkan dengan
yang tidak menderita diabetes mellitus.
c. Penyakit Jantung
Penyakit jantung yang paling sering menyebabkan stroke
adalah fibrilasiatrium/atrial fibrillation (AF), karena
memudahkan terjadinya penggumpalan darah di jantung
dan dapat lepas hingga menyumbatpembuluh darah di
otak.Di samping itu juga penyakit jantung
koroner,kelainan katup jantung, infeksi otot jantung, pasca
operasi jantung juga memperbesar risiko stroke.Fibrilasi
atrium yang tidak diobatimeningkatkan risiko stroke 4 – 7
kali.
d. Transient Ischemic Attack (TIA)
Sekitar 1 dari seratus orang dewasa akan mengalami
paling sedikit 1 kaliserangan iskemik sesaat (TIA) seumur
hidup mereka. Jika diobati denganbenar, sekitar 1/10 dari
para pasien ini kemudian akan mengalami stroke dalam
3,5 bulan setelah serangan pertama, dan sekitar 1/3 akan
terkenastroke dalam lima tahun setelah serangan pertama.
Risiko TIA untukterkena stroke 35-60% dalam waktu lima
tahun.
e. Obesitas
Obesitas berhubungan erat dengan hipertensi,
dislipidemia, dan diabetesmelitus. Obesitas meningkatkan

22
risiko stroke sebesar 15%. Obesitasdapat meningkatkan
hipertensi, jantung, diabetes dan aterosklerosis
yangsemuanya akan meningkatkan kemungkinan terkena
serangan stroke.
f. Hiperkolesterolemia
Kondisi ini secara langsung dan tidak langsung
meningkatkan faktor
risiko, tingginya kolesterol dapat merusak dinding
pembuluh darah danjuga menyebabkan penyakit jantung
koroner. Kolesterol yang tinggi terutama Low Density
Lipoprotein (LDL) akan membentuk plak di
dalampembuluh darah dan dapat menyumbat pembuluh
darah baik di jantungmaupun di otak. Kadar kolesterol
total > 200 mg/dl meningkatkan risikostroke 1,31-2,9 kali.
g. Merokok
Kebiasaan merokok meningkatkanrisiko terkena stroke
sebesar 4 kali.Merokok menyebabkan penyempitandan
pengerasan arteri di seluruh tubuh (termasuk yang ada di
otak danjantung), sehingga merokok mendorong
terjadinya aterosklerosis,mengurangi aliran darah, dan
menyebabkan darah mudah menggumpal.
h. Alkohol
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat mengganggu
metabolisme tubuh,sehingga terjadi dislipidemia, diabetes
melitus, mempengaruhi berat badandan tekanan darah,
dapat merusak sel-sel saraf tepi, saraf otak dan lain –
lain.Konsumsi alkohol berlebihan meningkatkan risiko
terkena stroke 2-3 kali.
i. Stres
Hampir setiap orang pernah mengalami stres.Stres
psiokososial dapatmenyebabkan depresi.Jika depresi
berkombinasi dengan faktor risikolain(misalnya,

23
aterosklerosis berat, penyakit jantung atau hipertensi)
dapatmemicu terjadinya stroke.Depresi meningkatkan
risiko terkenastroke sebesar 2 kali.
j. Penyalahgunaan Obat
Pada orang-orang yang menggunakan narkoba terutama
jenissuntikanakan mempermudah terjadinya stroke, akibat
dari infeksi dan kerusakandinding pembuluh darah otak.
Di samping itu, zat narkoba itu sendiri akanmempengaruhi
metabolisme tubuh, sehingga mudah terserang stroke.

3.6. Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala ICH bervariasi tergantung dari lokasi dan volum perdarahan.

3.6.1. Onset dan Progresi penyakit


Beberapa perdarahan akibat hipertensi terjadi akibat aktivitas berat atau
keadaan emosi yang intens. Namun, pada beberapa kasus terjadi saat aktivitas
rutin. Tanda dan gejala neurologis biasanya meningkat secara perlahan selama
beberapa menit hingga beberapa jam. Hal ini berkebalikan dengan emboli otak
dan perdarahan subarachnoid dimana tanda dan gejala paling berat ditemui saat
onset. Namun, beberapa pasien dengan ICH sering kali ditemukan dalam keadaan
koma saat pertama kali masuk ke IGD.

24
Skema perjalanan penyakit ICH

Nyeri kepala, mual muntah, dan penurunan kesadaran muncul jika


perdarahan cukup besar. Nyeri kepala dan muntah terjadi pada kurang lebih 50%

dari pasien dengan ICH. Nyeri kepala dapat disebabkan akibat traksi pada
meninges, peningkatan ICP maupun darah pada cairan serebrospinal
(cerebrospinal fluid, CSF). Nyeri kepala paling sering ditemui pada perdarahan
lobaris dan cerebellum. Gejala ini tidak ditemui pada perdarahan yang kecil.
Pasien juga dapat menunjukkan gambaran meningismus dan kaku kuduk pada
pemeriksaan fisik apabila terdapat IVH.
Angka frekuensi nyeri kepala dan muntah pada SAH, perdarahan intraparenkim
dan stroke iskemik

Stupor maupun coma pada ICH merupakan tanda yang buruk karena
menggambarakan cedera otak yang difus. Terdapat 2 pengecualian terhadap
pernyataan tersebut. Pertama, apabila perdarahan terletak pada thalamus dimana
keterlibatan sistem RAS merupakan penyebab stupor. Pasien dengan perdarahan
pada thalamus dapat menjadi sadar saat darah telah di reabsorpsi. Kedua, pasien
dengan ICH dan muncul hidrosefalus akut. Kesadaran dapat membaik apabila
pasien dilakukan tindakan drainasi ventrikuler.

3.6.2. Tanda neurologis terkait lokasi ICH

25
Tanda neurologis dapat bervariasi tergantung dari lokasi perdarahan. Suatu
penelitian berskala besar (INTERACT) yang melibatkan 2000 subjek dengan ICH
dan hipertensi berhasil memberikan gambaran distribusi ICH sebagai berikut:
 Putamen/globus pallidus (56%): menyebabkan hemiplegia, hemiparesis,
hemianopsia hommonim, stupor dan koma
 Kapsula interna (posterior limb) (46%): disarthria, hemiparesis
kontralateral dan defisit sensorik
 Kapsula interna (anterior limb): disarthria, hemiparesis kontralateral dan
defisit sensorik
 Thalamus (31%): hemiparesis, hemianopsia homonim transien, upgaze
palsy, pupil miotikum yang tidak reaktif terhadap cahaya, aphasia (apabila
perdarahan terjadi pada hemisfer yang dominan), neglect (apabila
perdarahan terjadi pada hemisfer yang non-dominan)
 Kapsula eksterna 27%
 Lobaris (14%): lobus yang paling sering terkena adalah lobus oksipitalis
dan lobus parietalis. Perdarahan ini sering berhubungan dengan kejang.
Perdarahan oksipital sering menyebabkan hemianopsia homonim
kontralateral. Perdarahan pada lobus forntalis menyebabkan plegia
kontralateral dengan paresis ekstremitas bawah lebih berat dibandingkan
ekstremitas atas.
 Infratentorial 7%
 Caput nukleus caudatus 2%
 IVH 29%

3.7. Diagnosis
ICH merupakan suatu kegawatdaruratan dan berisiko menjadi perdarahan
berkepanjangan, penurunan status neurologis, kecacatan permanen dan kematian.
Kecurigaan terhadap ICH didasarkan pada gejala yang semakin memberat diikuti
dengan defisit neurologis yang semakin nyata, terutama apabila disertai dengan
nyeri kepala berat, muntah, hipertensi krisis dan penurunan kesadaran. Namun
membedakan perdarahan dengan proses iskemia tidak dapat hanya dibedakan
berdasarkan karakteristik klinis saja.

26
3.7.1. Tanda vital
Tanda vital yang menjadi parameter penting pada pasien dengan stroke
antara lain tekanan darah, laju napas dan suhu.
 Tekanan darah: MAP biasanya meningkat pada pasien dengan stroke akut.
Hal ini dapat disebabkan karena hipertensi kronis. Namun seringkali
peningkatan tekanan darah menggambarkan kompensasi tubuh untuk
mempertahankan perfusi otak. Keputusan untuk menurunkan tekanan
darah akan dibahas pada tulisan ini di lain tempat.
 Laju napas: pasien dengan peningkatan ICP akibat perdarahan sering kali
datang dengan bradipnea maupun obstruksi saluran napas. Hipoventilasi
dapat menyebabkan peningkatan kadar CO2 tubuh yang kemudian
menyebabkan vasodilatasi serebral dan meningkatkan ICP lebih jauh.
Intubasi dapat dilakukan untuk memperbaiki ventilasi dan melindungi
jalan napas. Hal ini sangat penting pada pasien dengan mual muntah, yang
sering terjadi pada pasien dengan ICH
 Demam: demam dapat terjadi pada pasien dengan stroke akut. Keadaan
normotermi penting dijaga minimal selama beberapa hari pasca onset.

3.7.2. Anamnesis
Dari anamnesa didapatkan gejala pada pasien biasanya bervariasi
tergantung dari area otak yang terkena dan seberapa luasnya perdarahan.
Stroke hemoragik biasanya menunjukkan gejala peningkatan tekanan
intrakranial dibandingkan daripada tipe lain dari stroke. Riwayat darah
tinggi, diabetes melitus dan penggunaan obat-obatan hipoglikemik oral,
kejang dan demam juga penting untuk ditanyakan
Pokok manifestasi dari stroke ini adalah hemiparese,
hemiparestesia, afasia, disartria, & hemianopsia. Hemiparese yang ringan
dapat dirasakan oleh penderita sebagai gangguan gerakan tangkas.
Hemiparestesia hampir selamanya dikemukakan secara jelas.
a. Pada Insufisiensi karotis biasanya didapatkan keluhan berupa:
 Tidak bisa menggerakkan separuh atau sebagian dari anggota tubuhnya

27
 Rasa kesemutan di sebagian tubuh
 Gangguan bicara (afasia) bila lesi pada daerah hemisfer dominan
 Kebutaan (amaurosis fugaks)
 Kesulitan bicara (disartria)
b. Pada insufisiensi vertebrobasiler dapat ditemukan keluhan berupa:
 Penglihatan ganda (diplopia)
 Mata sulit untuk membuka (ptosis) akibat parese otot otot ekstraokular
 Pusing seperti berputar (vertigo)
 Kesulitan untuk berbicara atau pelo (disartria)
 Kesulitan untuk menelan (disfagia)
 Kelumpuhan sebelah atau bahkan seluruh badan (hemiparese atau
tetraparese)
 Tidak merasakan anggota tubuhnya atau rasa baal (hemianestesia) baik
unilateral maupun bilateral

3.7.2. Pemeriksaan Fisik


Melakukan pemeriksaan neurologis lengkap. Beberapa pemeriksaan fisik
yang dapat membantu dalam menentukan etiologi stroke antara lain:
 Hilangnya pulsasi (a. carotis, a. radialis, arteri pada ekstremitas bawah)
mengarahkan diagnosis menuju atherosklerosis dengan thrombosis. Bruit
pada leher juga mengarahkan ke oklusi karotis komunis maupun arteri
vertebralis.
 Murmur dan kardiomegali dapat menjadi petunjuk ke suatu sumber
kardioembolik
 Pemeriksaan funduskopi dapat memperlihatkan kristal kolesterol, dan
emboli. Perdarahan subhyaloid dapat mengarahkan ke SAH. Iskemi retina
dapat terjadi seiring dengan oklusi arteri carotis interna.

Sebuah sistem skoring untuk menilai keparahan stroke telah diformulasikan,


yang disebut sebagai NIH Stroke Scale. Sistem skoring ini terdiri dai 11
pertanyaan dengan skor total berkisar dari 0-42. NIHSS memiliki korelasi dengan

28
prognosis stroke. Beberapa gambaran defisit neurologis dapat tergambar dan
dapat merujuk pada sindrom stroke spesifik dan telah dibahas pada segmen
sebelumnya.

3.7.3. Pemeriksaan Penunjang


3.7.3.1. Pencitraan Neurologi
Pencitraan dengan CT scan non-kontras maupun MRI harus
dilakukan untuk melakukan konfirmasi diagnosis ICH dan
mengeksklusikan stroke infark maupun penyakit lainnya yang memiliki
kemiripan dengan stroke. Setelah ICH akut dikonfirmasi dengan
pencitraan, etiologi perlu ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan
radiologis.
 CT Scan kepala non kontras: merupakan pencitraan yang paling
banyak dilakukan untuk mengevaluasi adanya ICH. CT Scan
dapat mendefinisikan ukuran dan lokasi perdarahan yang ada.
Selain itu, CT Scan dapat memberikan informasi mengenai
ekstensi perdarahan ke sistem ventrikel, adanya edema perilesi,
dan pergesaran midline maupun herniasi yang mungkin terjadi.
Adanya darah dalam fase hiperakut akan terlihat sebagai lesi
hiperdens kecuali pada kasus kasus anemia berat diaman akan
terlihat sebagi lesi isodens. Selama beberapa minggu berikutnya,
lesi akan semakin isodens dan dapat memberikan gambaran ring
enhancement. Pada keadaan kronis, darah menjadi hipodens.
 MRI Otak: perdarahan hiperakut dapat diperlihatkan oleh MRI T2
weighted dengan gradient echo. Sekuens ini sangat sensitif
terhadap molekul paramagnetik seperti deoksihemoglobin dan
menghasilkan lesi hiperintens di tengah dengan gambaran
hipointens pada perifer pada ICH hieprakut. Studi Hemorrahage
and Early MRI Evaluation (HEME) menunjukkan bahwa seluruh
pasien yang tidak terdeteksi ICH pada CT Scan dapat terdeteksi
pada pencitraan MRI.

29
Volum ICH dapat diestimasi berdasarkan gambaran radiologis
yang dihasilkan. Estimasi ini dapat digunakan untuk menggambarkan
keparahan ICH dan prognosis pasien. Rumus yang digunakan adalah:
 A: diameter perdarahan terbesar pada slice CT yang dengan area
perdarahan terbesar (index slice)
 B: diameter terbesar 90o dari A pada index slice
 C: Perkiraan jumlah slice CT dengan hemorrhage dikalikan
dengan tebal slice (dalam cm). untuk menghitung C, setiap slice
CT dibandingkan dengan index slice. 1 slice dihitung penuh
apabila area perdarahan pada slice >75% dari area index slice.
Slice dihitung setengah apabila area perdarahan pada slice
berkisar antara 25-75% dari index slice. Slice tidak dihitung
apabila area perdarahan slice <25% index slice.
 ABC/2 menghasilakn volume ICH dalam satuan cm 3 atau mL.
Perhitungan perdarahan intrakranial pada anak menggunakan
rumus lain dan tidak dibahas dalam penulisan kali ini.

30
Contoh perhitungan A dan B untuk estimasi jumlah perdarahan

Selain estimasi volum, pencitraan dapat membantu dalam


menentukan kemungkinan ekspansi perdarahan. Spot sign dan swirl sign
merupakan marker yang dapat digunakan yang menunjukkan risiko
ekspansi yang lebih tinggi.
 Spot sign: merupakan gambaran enhancement kontras kecil fokal
pada CT angiografi. Tanda ini telah dihubungkan dengan
ekspansi perdarahan dan prognosis yang lebih buruk.

31
 Swirl sign: tanda ini dapat ditemukan pada CT scan non kontras
dengan gambaran regio hipodens maupun isodens dalam area
hiperdensitas yang biasanya menggambarkan perdarahan

Lokasi tersering ICH. A) Putamen, B) thalamus, C) substansia alba subkorteks, D)


pons, E) serebelum.

32
Perbandingan CT Scan dengan MRI 6 jam sejak onset ICH pada lobus frontalis
sinistra

3.7.3.2. Pemeriksaan laboratorium


Pemeriksaan penunjang lainnya yang dibutuhkan pada pasien
dengan ICH antara lain:
 Darah lengkap, elektrolit, BUN, kreatinin dan glukosa
 PT (atau INR) dan aPTT
 Troponin
 Toksikologi

33
 Urinalisis dan kultur urin

3.8. Tata Laksana Stroke Hemoragik


Tata laksana awal yang perlu dilakukan adalah memastikan airway paten,
ventilasi baik dan sirkulasi yang tidak terganggu. IGD bertanggung jawab
melakukan evaluasi dan diagnosis radiologis. Setelah stabilisasi dilakukan, pasien
dengan ICH akut perlu dimonitor di ruang ICU/Unit stroke. Pasien dapat
membutuhkan intubasi maupun ventilasi mekanik, reversal antikoagulasi, serta
kontrol tekanan darah.

3.8.1. Reversal antikoagulasi


Pada pasien yang sedang dalam terapi antikoagulan dan antiplatelet,
seluruh pengobatan harus segera dihentikan. Pemberian vitamin K intravena dan
faktor koagulasi dapat diberikan pada pasien dalam terapi warfarin. Penggunaan
protamine sulfat direkomendasikan untuk pengobatan pasien ICH dalam terapi
heparin. Protamin dapat diberikan dalam infus lambat (maks. 20 mg/menit).
Pasien dengan defisiensi faktor koagulasi maupun trombositopenia berat
disarankan untuk menerima transfusi platelet.

3.8.2.Kontrol tekanan darah


Tekanan darah sering kali meningkat pada pasien dengan ICH, yang dapat
berkontribusi terhadap ekspansi hematoma. Terdapat risiko dan keuntungan yang
perlu ditimbang dalam koreksi hipertensi pada pasien dengan ICH:
 Tekanan darah yang sangat tinggi dapat memperburuk ICH akibat
ekspansi perdarahan yang meluas, dalam hal ini penurunan tekanan
dibutuhkan.
 Peningkatan tekanan darah diperlukan untuk mempertahankan
perfusi serebral pada beberapa pasien dengan ICH, dan
menurunkan tekanan tersebut dapat menyebabkan iskemia dan
memperburuk cedera otak yang ada. Namun, beberapa penelitian
telah menemukan bahwa penurunan tekanan darah tidak merusak
perfusi otak pada daerah perihematom.

34
Beberapa penelitian awal menyarankan untuk dilakukan penurunan tekanan
darah agresif untuk mengurangi ekspansi hematom. Namun studi terbesar terakhir
(INTERACT2) memperlihatkan angka mortalitas dan kecacatan yang sama baik
dengan jalur agresif maupun secara perlahan. Untuk menyelesaikan masalah ini,
terdapat Guidelineyang mengatur tekanan darah pada ICH spontan adalah sebagai
berikut:
1. Untuk pasien dengan ICH akut yang datang dengan tekanan darah sistolik
(systolic blood pressure, SBP) di antara 150-220 mmHg, penurunan
tekanan darah disarankan hingga 140 mmHg. Penurunan tekanan darah
ini aman dan dapat meningkatkan prognosis. Penurunan SBP dibawah
140 mmHg dalam jam pertama setelah onset ICH tidak menurunkan
angka mortalitas maupun kecacatan dan berisiko meningkatkan angka
gagal ginjal.
2. Untuk pasien yang datang dengan SBP >220 mmHg, disarankan untuk
menurunkan tekanan darah secara agresif dengan injeksi obat
antihipertensi dan monitoring tekanan darah yang ketat (setiap 5-10
menit). Target yang optimal masih diperdebatkan, namun SBP 140-160
mmHg merupakan target yang baik.
Agen intravena yang dapat digunakan antara lain nicardipin, clevidipin,
labetalol, esmolol, enalaprilat, fenoldopam, dan phentolamin. Pilihan agen
hipertensi harus memperhitungkan kecepatan dan sejauh mana penurunan tekanan
darah akan terjadi. Pertimbangan juga melibatkan injeksi bolus/infus pelan,
komorbiditas pasien, dan efek samping obat.

35
Obat antihipertensi yang dapat digunakan untuk menurunkan SBP pada ICH
3.8.2. Kontrol ICP
Peningkatan ICP akibat ICH dapat terjadi akibat hematom itu sendiri
maupun akibat efek massa dari edema dan hidrosefalus yang terjadi. Kedua hal ini
dapat menyebabkan cedera otak dan penurunan fungsi neurologis tambahan.
Beberapa cara untuk mengontrol ICP yang perlu dapat dilakukan dengan
sederhana untuk semua pasien antara lain:
 Elevasi bed sebesar 30o
 Menghindari pergerakan leher

36
 Penggunaan NS untuk cairan maintenance, cairan hipotonis
dikontraindikasikan
 Glukokortikoid tidak digunakan dalam penurunan ICP pada pasien ICH
Monitoring ICP dapat dilakukan pada pasien dengan GCS <8, pasien
dengan bukti klinis herniasi transtentorial, dan pasien dengan IVH signifikan.
Pengukuran ICP berguna dalam kontrol ICP secara langsung. ICP dipertahankan
pada CPP 50-70 mmHg. Namun hingga saat ini tidak ada penelitian besar yang
menunjukkan bahwa monitoring ICP akan meningkatkan prognosis pasien dengan
ICH.
Penggunaan mannitol maupun NaCl hipertonis dapat digunkakan untuk
menurunkan ICP. Tidak ada bukti nyata yang mendukung salah satu dari kedua
pilihan ini, namun beberapa penelitian kecil menyatakan bahwa NaCl hipertonis
lebih efektif dibandingkan mannitol.
 Mannitol: Agen ini dapat menurunkan ICP dengan cepat. Regimen yang
dapat digunakan antara lain bolus 0,5-1 g/kg dan diteruskan dengan infus
0,25-0,5 g/kg dapat diulang setiap 4-12 jam dengan monitoring
osmolalitas serum. Tujuan terapi adalah osmolalitas serum 300-310
mosmol/kg untuk mendorong air keluar dari otak, namun tetap
mempertahankan volum plasma yang cukup. Osmolal gap plasma tidak
boleh melebihi 55 mosmol/kg dan dosis mannitol tidak boleh melebihi 250
mg/kg dalam 4 jam. Dosis yang lebih tinggi dari ini dapat menyebabkan
gagal ginjal akut.
 NaCl hipertonis: agen ini telah digunakan dalam beberapa konsentrasi
yang berkisar dari 3% hingga 23,4%. Dalam konsentrasi 3%, agen ini
diberikan secara infus kontinu, sedangkan pada 23,4% diberikan secara
bolus intermiten. Pada penggunaan 3%, serum Na dioptimalkan dalam
kisaran 145-155 mEq/L. Efek samping yang dapat terjadi antara lain
overload cairan dan edema pulmo. Klorida yang terdapat dalam agen ini
dapat menyebabkan asidosis metabolik.

3.8.3. Terapi non-bedah lainnya

37
 NS merupakan cairan IV inisial yang diberikan. Cairan hipotonik
dikontraindikasikan karena dapat menyebabkan edema serebri dan
peningkatan ICP. Hipervolemia harus dihindari karena dapat
memperburuk edema serebral.
 Sumber demam perlu diterapi. Antibiotik profilaksis tidak meningkatkan
prognosis
 Disfagia merupakan hal yang sering terjadi dan dapat menyebabkan
pneumonia aspirasi. Pencegahan dapat dilakukan dengan status NPO
hingga fungsi menelan bisa dievaluasi ulang. Pasien dengan GCS <8 perlu
diintubasi untuk mengurangi risiko aspirasi
 Hiperglikemia setelah kejadian stroke memberikan prognosis yang lebih
buruk. Target glukosa pasien dengan hiperglikemia adalah 140-180
mg/dL. Hipoglikemia harus dihindari.
 Terapi kejang diberikan pada pasien dengan ICH spontan untuk mencegah
kejang berulang. Pilihan obat anti kejang tergantung keadaan pasien dan
kontraindikasi yang ada. AHA 2015 tidak merekkomendasikan
penggunaan profilaksis untuk kejang, terutama fenitoin karena dapat
memperburuk prognosis.

3.8.4. Terapi bedah


Indikasi pembedahan pada pasien ICH tergantung dari lokasi perdarahannya.
Secara umum, kraniektomi dekompresi dapat dilakukan pada pasien GCS <8,
midline shift, hematoma yang besar, dan peningkatan ICP yang refrakter.
 Perdarahan cerebellum: dekompresi hematoma serebelum perlu dilakukan
secepat mungkin pada pasien dengan perdarahan >3 cm, pasien dengan
perdarahan serebelum yang semakin memburuk, pasien dengan kompresi
batang otak, pasien dengan obstruksi ventrikel.
 Perdarahan supratentorial: perdarahan supratentorial hanya dilakukan
untuk menyelamatkan nyawa dan menbenahi peningkatan ICP yang
refrakter, beberapa guideline untuk terapi antara lain:

38
o Pembedahan tidak perlu dilakukan pada pasien yang compos
mentis atau koma. Pasien dengan penurunan kesadaran yang lain
dapat menjadi kandidat operasi
o Perdarahan onset akut, penurunan fungsi neurologis yang semakin
parah, lokasi hematoma dekat dengan permukaan korteks
 Perdarahan lobaris: ICH yang menyebabkan efek massa/herniasi pada
pasien yang masih bisa diselamatkan
 Perdarahan intraventrikular: pasien dengan hidrosefalus dan penurunan
fungsi neurologis yang memberat.

3.9. Prognosis
Mortalitas ICH dalam 30 hari berkisar dari 35-52%. Setengah dari angka
tersebut terjadi pada 2 hari pertama. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
perdarahan akibat malformasi vasa memiliki mortalitas yang lebih rendah
dibandingkan ICH. Walaupun tidak ada terapi yang spesifik untuk ICH, angka
mortalitas terus menurun dalam beberapa dekade terakhir, kemungkinan akibat
terapi suportif dan pencegahan sekunder yang membaik.
Faktor yang menyebabkan prognosis yang memburuk antara lain:
 Usia yang lebih tua
 Penurunan GCS
 Ekspansi ICH
 Adanya perdarahan intraventrikular
 Lokasi ICH infratentorial
 Penggunaan terapi antithrombotik sebelumnya

39
Referensi

1. Beslow LA, Licht DJ, Smith SE, et al. Predictors of outcome in childhood
intracerebral hemorrhage: a prospective consecutive cohort study. Stroke
2010; 41:313.
2. Gofir A. Manajemen Stroke Evidence Based Medicine. Yogyakarta:
Pustaka Cendekia Press. 2009; pg.19-29, 46-52, 55-61, 64-7085-95, 121-
31, 151-8, 165-66.

3. Misbach. Stroke Aspek diagnostik, Patofisiologi, Manajemen. Jakarta:


Balai Penerbit FKUI Jakarta. 1999; pg.1-9, 19-25, 46-58, 59-85

4. Rasyid Al. Updates on Neuroemergency 2011. Jakarta: FKUI. 2011; PG


40-6, 54.

5. Bras LM.Stroke.Available at
http://www.med.yale.edu/library/heartbk/18.pdf. Accessed on 10th
January 2012.

6. Smith WS, Johnston SC. Cerebrovascular Diseases. In: Harrison’s


Neurology in Clinical Medicine. California: University of California, San
Framsisco, 2006: 233-271.

7. Primary Prevention of Stroke, AHA/ASA Guideline, Stroke, June 2006;


1583-1633.

8. Goldszmidt AJ, Caplan LR. Stroke Essentials. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran, 2009.

9. Guidelines Stroke 2004. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia,


Seri Ketiga. Jakarta, 2004.

10. Rasyid A, Soertidewi L. Unit Stroke: Manajemen Stroke Secara


Komprehensif. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.

11. Misbach J, Tobing SML (ed). Guidelines Stroke 2004. Jakarta: Perdossi.
2004; pg.3-11

40
12. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Adams and Victor’s Principles of
Neurology. 10th edition. Mc Graw Hill Education ; 2014.
13. Liebeskind DS, Schraga ED, O’Connor RE, Huff JS, Kirshner HS, Krause
RS, et al. Hemorrhagic Stroke. Accessed; July 25 th 2017. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/1916662-overview#a3.
14. Feigin VL, Lawes CM, Bennett DA, Anderson CS. Stroke epidemiology: a
review of population-based studies of incidence, prevalence, and case-
fatality in the late 20th century. Lancet Neurol. 2003 Jan. 2(1):43-53.
15. Broderick J, Connolly S, Feldmann E, Hanley D, Kase C, Krieger D, et al.
Guidelines for the management of spontaneous intracerebral hemorrhage
in adults: 2007 update: a guideline from the American Heart
Association/American Stroke Association Stroke Council, High Blood
Pressure Research Council, and the Quality of Care and Outcomes in
Research Interdisciplinary Working Group. Circulation. 2007 Oct 16.
116(16):e391-413.
16. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Available from:
www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%202013.pdf
17. Truelsen T, Begg S, Mathers C. The global burden of cerebrovascular
disease. 2000.
18. Drislane FW, Benatar M, Chang BS, Acosta J, Tarulli A, Caplan LR.
Blueprints Neurology. 3rd edition. Philadelphia : Lippincott Williams &
Wilkins ; 2009.
19. Lemonick DM. Subarachnoid hemorrhage: state of the artery. American
Journal of Clinical Medicine. 2010, vol 7 No 2.
20. Caceres JA, Goldstein JN. Intracranial Hemorrhage. Emerg Med Clin
North Am. 2012 August ; 30(3): 771–794. doi:10.1016/j.emc.2012.06.003
21. Magistris F, Bazak S, Martin J. Intracerebral Hemorrhage:
Pathophysiology, Diagnosis and Management. McMaster University
Medical Journal Vol 10 No 1. Available from:

41
https://pdfs.semanticscholar.org/dd6e/3f675e5f91884-
115c3df2c48d53de4e284af.pdf
22. Nasissi, Denise. Hemorrhagic Stroke Emedicine. Medscape, 2010.
Available at: http://emedicine.medscape.com/article/793821-overview.
Access on : July 26, 2017.
23. MERCK, 2007. Hemorrhagic Stroke. Accessed; July 25 2017. Available
from : http://www.merck.com/mmhe/sec06/ch086/ch086d.html
24. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia.Guideline Stroke 2011. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia: Jakarta, 2011.
25. Poungvarin, N. Skor Siriraj stroke dan studi validasi untuk membedakan
perdarahan intraserebral supratentorial dari infark. Accessed; July 24
2017. Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1670347/
26. Balami JS, Buchan AM. Complication of intracerebral hemorrhage.
Lancet Neurol. 2012 Jan;11(1):101-18. doi: 10.1016/S1474-
4422(11)70264-2.
27. Al-shahi R, White PM, Davenport RJ, Lindsay KW. Clinical Review:
Subarachnoid Hemorrhage. British Med J. Vol 333. 2006

42

Anda mungkin juga menyukai