Makalah Qurdits
Makalah Qurdits
Disusun oleh:
Habibatul Muniroh (21070310028)
Fadila Afi Prameswari (210703110073)
Alya Maulidia Zahra (210703110116)
Candra Kusuma Dewi (210703110124)
JURUSAN FARMASI
KELAS A
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kitab-kitab hadis yang beredar di tengah-tengah masyarakat dan
dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam hubungannya dengan hadits
sebagai sumber ajaran Islam adalah kitab-kitab yang disusun oleh para
penyusunnya setelah lama Nabi wafat. Dalam jarak waktu antara kewafatan
Nabi dan penulisan kitab-kitab hadits tersebut telah terjadi berbagai hal yang
dapat menjadikan riwayat hadits tersebut menyalahi apa yang sebenarnya
berasal dari Nabi. Baik dari aspek kemurniannya dan keasliannya.
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak
dan beragam. Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah
melihat pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan
berbagai segi pandangan, bukan hanya segi pandangan saja. Misalnya hadits
ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau dari segi kualitas
sanad dan matan.
1. Hadits Mutawatir
2. Hadist Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti
“satu” jadi, kara ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai
sembilan. Menurut istilah hadits ahad berarti hadits yagn diriwayatkan oleh orang
perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk
dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits
yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir(Ibid, Hlm.90).
Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan
ghairu masyhur. Hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan ghairu
aziz.
a. Hadits Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan
popular”. Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi, antara lain :
“ مَـ اَر َو اُه ِم َن الَّص َح اَبِه َع َد ٌد ال َيْبُل ُغ َح َّد َتـَو اِتر َبْع َد الَّص َح اَبِه َوِم ْن َبْع ِدِهْمHadits yang
diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan
mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang
setelah mereka.” Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan
dhaif. Hadits masyhur yang berstatus shahih adalah yang memenuhi
syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun matannya.
Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang
memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad
maupun matannya.
Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak
memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun
pada matannya, seperti hadits : َطَلُب ْالِع ْلِم َفِر ْيَض ــٌه عـَــَلي ُك ِّل ُم ْس ِلٍم َوُم ْس ِلَم ــــٍه
“menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.”
a. Hadist Ghairu Masyhur
Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua
yaitu, Aziz dan Gharib. Aziz menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu,
artinya “sedikit atau jarang”. Menurut istilah hadits Aziz adalah hadits
yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tingkatan
sanad.”
Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian
Thabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal
dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya
dua orang. Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hadits
‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.”
Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid”
(menyendiri). Dalam tradisi ilmu hadits, ia adalah “hadits yang
diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah
“hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
1. Hadist Shahih
Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah,
beberapa ahli memberikan defenisi antara lain sebagai berikut :
Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya
bersambung (muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith dari
orang yang adil dan dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak
ber’illat”.
2. Hadist Hasan
Pengertian
Dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu ( ) الحسنbermakna al-jamal (
)الجمالyang berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan
defenisi hadits hasan secara beragam. Namun, yang lebih kuat
sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqolani dalam An-
Nukbah, yaitu : َو َخ َبُر ْاآلَح اَد ِبَنْقِل َع ْد ِل َت اُّم الَّض ْبِط ُم َّتِص ُل الَّس َنِد َغْي ُر ُمَع َّل ٍل َو َال َش اٍّذ ُه َو
َفاِء ْن َخَّف الَض ْبُط َفْلُحْس ُن ِلَذ اِت ِه. الَّص ِح ْيِح ِلَذ اِتِهkhabar ahad yang diriwayatkan oleh
orang yang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung sanadnya, tidak
ber’illat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit
kedhabitannya disebut hasan Lidztih.
Macam-Macam Hadist Hasan
Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadits
hasan pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih dan hasan
lighairih.
3. Hadist Dhaif
1. Pengertian
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (
)الضعيفberarti lemah lawan dari Al-Qawi ( )القويyang berarti kuat.
Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi
criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah.
a. Sanad
b. Matan
c. Rawi
Rawi adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-
apa yang pernah dia dengar dan diterimanya dariseseorang. Bentuk jamaknya
adalah ruwah dan perbuatannya menyampaikan hadis tersebut dinamakan me-rawi
(riwayatkan) hadis. Sebuah hadis kadangkadang mempunyai sanad banyak. Untuk
menghemat mencantumkan nama perawinya, penyusun kitab hadis biasanya tidak
mencantumkan nama keseluruhan, tapi hanya merumuskan dengan bilangan yang
menunjukkan banyak sedikitnya rawi hadis.
BAB 3
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
1. Hadits merupakan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang
sebagainya.
2. Pembagian hadits berdasarkan kuantitas perawi antara lain hadits mutawatir
dan hadits ahad. Hadits mutawatir merupakan hadits yang diriwayatkan oleh
orang banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan
sepakat untuk berdusta sedangkan hadits ahad merupakan hadits yang
diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi
belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir.
3. Pembagian hadits dari segi kualitas antara lain hadits shahih, hasan, dan
dhaif. Hadits shahih merupakan hadits yang sanadnya bersambung, perawinya
bersifat adil, perawinya bersifat dhabith, matannya tidak syaz, dan matannya
tidak mengandung ‘illat. Hadits hasan merupakan hadits yang bersambung
sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil, yang rendah tingkat kekuatan
daya hafalnya, tidak rancu dan tidak bercacat. Hadits dhaif merupakan hadist
yang lemah atau hadist yang tidak kuat karena sanad dan matannya tidak
memenuhi kriteria hadits kuat.
4. Struktur pembangun hadits antara lain sanad, matan, rawi. Sanad
merupakan sebuah rangkaian orang-orang yang meriwayatkan hadis. Matan
merupakan kalimat yang disebutkan setelah sanad (isi hadits). Rawi
merupakan orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-
apa yang pernah dia dengar dan diterimanya dari seseorang.
3.2 Saran
Di dalam mempelajari studi hadits hendaklah benar-benar mengetahui
pembagian hadits baik dari segi kuantitas maupun kualitas hadits itu sendiri,
supaya timbul ke ihtiyathan dalam menyampaikan hadits. Agar bisa
membedakan keshahihan suatu hadits harus mengetahui pembagian-
pembagian hadits. Ditakutkan nanti kita termasuk golongan orang-orang yang
menyebarkan hadits-hadits palsu.
Daftar Pustaka
Arifin, Studi Kitab..., 3.
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalah al- Hadis (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1974),
20.
Ibid.
Ibid. Hlm. 90
Ibid., 22.
M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008.
hlm. 86.