Anda di halaman 1dari 17

REKONSTRUKSI HUKUM KELUARGA ISLAM

DALAM RESPONSIF GENDER


Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Gender Dalam Hukum Islam
Dosen Pengampu: Sulung Najmawati, S. H., M. H.

Disusun Oleh:

Muhammad Alief Zulfiqri (2121508026)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


JURUSAN ILMU SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS
SAMARINDA
2024
DAFTAR ISI

Daftar Isi............................................................................................ II
Bab I Pendahuluan........................................................................... 1
A. Latar Belakang........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan..................................................................................... 2
D. Manfaat Penulisan................................................................................... 3
Bab II Pembahasan........................................................................... 4
A. Sistem Hukum Keluarga Di Indonesia.................................................... 4
B. Respon Masyarakat Terhadap Hukum Keluarga Islam di
Indonesia..................................................................................................5
C. Sistem Hukum Keluarga Islam di Indonesia Dalam Pandangan Responsif
Gender......................................................................................................8
Bab III Penutup................................................................................ 12
A. Simpulan................................................................................................. 12
B. Saran....................................................................................................... 13
Daftar Pustaka.................................................................................. 14

II
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam hukum keluarga Islam diatur mengenai perkawinan, kewarisan
dan hal-hal yang terkait kekeluargaan yang berdasarkan syari’at Islam. Hal
ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat muslim di Indonesia yang jumlahnya
87,1% dari total penduduk di Indonesia.1 Sehingga hukum keluarga Islam
harus dibuat dengan memyesuaikan situasi dan kondisi masyarakat muslim di
Indonesia, hal ini agar hukum keluarga Islam dapat terlaksana dengan efektif.
Salah satu hal yang dibahas dalam hukum keluarga Islam adalah
mengenai hukum perkawinan dan turunannya, perkawinan merupakan sebuah
peristiwa yang sangat penting, karena dalam perkawinan akan terjadi
pernyatuan antara dua orang yang berbeda latar belakang, berbeda karakter,
berbeda cara berfikir dan masih banyak perbedaan yang harus disatukan
dalam perkawinan. Hal itu menjadikan perkawinan harus dipersiapkan
dengan baik dan matang, agar perkawinan yang dijalani dapat memberikan
dampak positif bagi pasangan tersebut dan juga dapat memberikan dampak
yang baik bagi orang yang diluar pasangan tersebut. Oleh karena itu hukum
keluarga Islam mengatur perkawinan dan turunannya sedemikian rupa agar
pasangan yang menjalani perkawinan menjadi bahagia dalam kehidupannya.
Namun dalam perjalanannya tentu saja hukum keluarga Islam dalam
mengatur perkawinan dan turunannya akan mendapatkan dukungan dan juga
akan mendapatkan kritikan. Dukungan akan hadir jika hukum keluarga Islam
sesuai dengan keinginan seseorang. Namun jika hukum keluarga Islam tidak
sesuai dengan keinginan seseorang, maka orang tersebut akan berusaha

1
Statista Research Department, “Share of Indonesian Population In 2023, by Religion”,
dalam https://www.statista.com/statistics/1113891/indonesia-share-of-population-by-religion/
diakses pada 9 Mei 2024.

1
mengkritik hukum keluarga Islam.
Dalam hal hukum perkawinan yang diatur dalam hukum keluarga
Islam perlu dilihat dari sudut pandang responsif gender. Responsif gender
merupakan suatu upaya untuk mengetahui suatu hal telah respon terhadap
permsalahan gender atau belum merespon terkait permasalahan gender.
Sehingga hukum perkawinan dalam hukum keluarga Islam perlu untuk dinilai
dalam merespon permasalahan gender yang tejadi di Indonesia.
Dalam makalah ini penulis akan mengulas hukum perkawinan dalam
hukum keluarga Islam menurut responsif gender. Sehingga akan diketahui
peraturan yang belum merespon permasalahan gender dengan baik. Tentunya
jika peraturan yang terdapat dalam hukum perkawinan belum merespon
dengan baik permasalahan gender, maka hal tersebut bisa saja akan menjadi
suatu permasalahan gender baru pada masa yang akan datang. Oleh karena itu,
sekecil apapun tindakan akan pada masa sekarang akan sangat berarti pada
masa yang akan datang.

B. Rumusan Masalah
Penulis telah menyusun beberapa pembahasan yang akan diulas dalam
makalah ini, yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana sistem hukum keluarga Islam di Indonesia?
2. Bagaimana masyarakat merespon hukum keluarga Islam di Indonesia?
3. Bagaimana sistem hukum keluarga Islam di Indonesia dalam pandangan
responsif gender?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah susun, maka dapat diketahui
jika tujuan dari penulisan ini yaitu:
1. Untuk mengetahui sistem hukum keluarga Islam di Indonesia.
2. Untuk mengetahui masyarakat merespon hukum keluarga Islam di
Indonesia.
3. Untuk mengetahui sistem hukum keluarga Islam di Indonesia dalam

2
pandangan responsif gender.

D. Manfaat Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu sebagai bahan bacaan
bagi masyarakat umum mengenai rekonstruksi hukum keluarga Islam di
Indonesia. Selain itu, tujuan dari penulisan makalah ini sebagai bahan bacaan
bagi akademisi hukum terkait rekontruksi hukum keluarga Islam di Indonesia.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sistem Hukum Keluarga Islam di Indonesia


Kehadiran sistem dalam sebuah hukum merupakan suatu hal yang
penting, karena dengan adanya sistem maka peraturan tersebut lebih tertata
dan lebih mudah untuk dilaksanakan oleh pelaksananya.2 Begitupula dalam
hukum keluarga Islam di Indonesia, dibutuhkan suatu sistem agar peraturan
tersebut tertata dengan rapi dan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Hukum keluarga Islam dapat diartikan secara sempit dan secara luas.
Secara sempit hukum keluarga Islam adalah peraturan yang membahas
mengenai perkawinan dan perceraian. Sedangkan secara luas, hukum
keluarga Islam adalah aturan yang membahas mengenai hubungan pertalian
kekeluargaan. Hubungan kekeluargaan ini terbagi menjadi dua, yaitu
hubungan sedarah seperti hubungan orang tua dengan anak dan hubungan
perkawinan seperti hubungan yang tercipta bagi kedua orang yang tidak
sedarah namun mereka melaksanakan perkawinan. 3
Terdapat dua sumber yang digunakan dalam sistem hukum keluarga
Islam di Indonesia, yaitu pertama adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, UUP diperkuat dengan adanya Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.4 Selain UUP yang menjadi rujukan hukum
keluarga Islam, terdapat pula Kompilasi Hukum Islam, KHI diambil dari
hukum fikih klasik yang telah dimodifikasi atau disesuaikan dengan
perkembangan zaman pada saat ini, kemudian hasil modifikasi tersebut

2
Fajar Nurhardianto, “Sistem Hukum Dan Posisi Hukum Indonesia”, dalam Jurnal TAPIs,
edisi no. 1, Vol. 11, 2015, h. 35.
3
Holan Riadi, “Sistem Hukum Keluarga Islam Di Indonesia” dalam Jurnal Ilmu Syariah,
edisi no. 1, Vol. 2, 2021, h. 79-80.
4
Imron Rosyadi, “Rekontruksi Epistimologi Hukum Keluarga Islam”, Cet. Ke-1, (Jakarta:
Kencana, 2022), h. 19-20.

4
disahkan untuk menjadi bagian dalam hukum positif di Indonesia.5
Setelah berjalannya peraturan mengenai hukum keluarga Islam yang
bersumber dari UUP dan KHI. Pada tahun 2019, disahkan sebuah peraturan
mengenai revisi UUP No. 1 Tahun 1974, yaitu Undang-Undang No. 16
Tahun 2019. Adapun yang direvisi oleh UU No. 16 Tahun 2019 terhadap
UUP No. 1 Tahun 1974 yaitu mengenai batas usia seseorang yang
diperbolehkan untuk menikah. Pada UUP No. 1 Tahun 1974 batas usianya
adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan, kemudian
direvisi oleh UU No. 16 Tahun 2019 menjadi 19 tahun bagi laki-laki dan
perempuan.6

B. Respon Masyarakat Terhadap Hukum Keluarga Islam di


Indonesia
Dalam merespon suatu hal, pasti ada yang pihak yang mendukung dan
ada juga pihak yang menentang. Begitupula dalam penerapan hukum
keluarga Islam, terdapat pihak yang mendukung dan terdapat pihak yang
menentang. Tentunya pro dan kontra pasti selalu ada, namun yang perlu
diperhatikan yaitu cara agar menemukan jalan tengah bagi pertentangan
tersebut, sehingga peraturan tersebut dapat tetap dilaksanakan di kehidupan
masyarakat.
Dalam perjalanan hukum keluarga Islam di Indonesia terdapat pihak
yang mendukung hal tersebut, banyak cara yang menggambarkan dukungan
terhadap hukum keluarga Islam yang berlaku di tengah masyarakat, yaitu
diantaranya sebagai berikut:
1. Tentang mantan suami dapat melakukan pernikahan dengan perempuan

5
Holan Riadi, “Sistem Hukum Keluarga Islam Di Indonesia” dalam Jurnal Ilmu Syariah,
edisi no. 1, Vol. 2, 2021, h. 83-84.
6
Rabiatul Aadawiyah, dkk, “Analisis Batas Usia Perkawinan Pada UU No. 16 Tahun 2019
Atas Perubahan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan” dalam Jurnal Hukum Islam, edisi no.
2, Vol. 21, 2021, h. 260.

5
lain apabila telah selesai masa idah7 mantan isterinya. Dukungan ini
diberikan oleh Kementerian Agama kepada hukum keluarga Islam dalam
mencegah terjadinya poligami terselubung8 yang dilakukan oleh mantan
suami. Kementerian Agama mengeluarkan Surat Edaran9 dengan nomor :
P-005/DJ.III/Hk.00.7 /10/2021 tentang Pernikahan Dalam Masa Idah
Isteri.
2. Tentang batas usia perkawinan yang dianggap sebagai kemaslahatan
dalam perkawina. Hal itu disampaikan oleh Zulkarnaini10, beliau

7
KBBI mendefinisikan iddah atau idah sebagai masa tunggu bagi perempuan yang
berpisah dengan suami, baik karena ditalak maupun bercerai mati, dalam
https://www.hukumonline.com/berita/a/lama-masa-iddah-perempuan-jika-suami-meninggal-
lt61b02af2f1608/ diakses pada 11 Mei 2024.
8
Poligami Terselubung dapat terjadi dikarenakan, seorang mantan suami yang
menjatuhkan talak di pengadilan memiliki hak untuk rujuk kembali dengan mantan isterinya. Pada
kondisi tersebut, mantan suami bisa saja langsung menikah dengan perempuan lain karena status
mantan suami telah resmi bercerai dan memiliki akta cerai. Namun pada waktu yang bersamaan
pula, mantan suami dapat merujuk mantan isteri yang telah diceraikannya karena masih dalam
masa idah dan mantan suami memiliki hak untuk merujuk mantan isterinya. Hal ini akan membuat
mantan suami tersebut memiliki dua orang isteri secara sah yang caranya dilegalkan oleh
pemerintah tanpa harus meminta izin kepada pengadilan, dalam “Masa Iddah Bagi Suami Pasca
Perceraian” dalam https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/masa-iddah-bagi-
suami-pasca perceraian-oleh-a-syafiul-anam-lc-23-3 , 2022, diakses pada 11 Mei 2024.
9
berdasarkan Permendagri No. 55 Tahun 2010 pasal 1 butir 43 dijelaskan bahwa SE
adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan, dan/ atau petunjuk cara melaksanakan
hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak. Surat Edaran tidak juga dikategorikan sebagai
peraturan perundang-undangan, bukan juga suatu norma hukum sebagaimana norma dari suatu
peraturan perundang-undangan. Sehingga Surat edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk
menganulir peraturan menteri, apalagi peraturan berhierarki lainnya. Sehingga di dalam Surat
edaran, sebagaimana kita ketahui dari dasar pembentukan kebijakan di atas, dan untuk
memperjelas makna dari kebijakan yang dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan,
jelas dan seharusnya di dalam Surat Edaran tidak memiliki sanksi. Dalam
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/15099/Asas-lex-superior-derogate-legi-inferiori-
dan-Kedudukan-Surat-Edaran-dalam-Perundang-undangan.html#:~:text=Surat Edaran tidak juga
dikategorikan,menteri, apalagi peraturan berhierarki lainnya, diakses pada 11 Mei 2024.
10
Komisi Fatwa MUI dan Akademisi di UIN Padang.

6
mengatakan “Perlu dilakukan pembatasan usia perkawinan itu. Karena
terkait dengan maslahah yang situasinya berbeda di berbagai bangsa.
Karena itu pihak ulil amri (pemerintah) perlu menetapkannya.”
Zulkarnaini sangat mendukung pembatasan usia kawin dalam undang-
undang. Ia bahkan memasukkan pembatasan usia kawin dalam UUP
sebagai suatu tindakan maslahah yang perlu dilakukan oleh pemerintah.
Menurutnya tindakan pengaturan batas usia kawin tersebut sangat terkait
dengan situasi dan kondisi masyarakat di setiap negara yang berbeda-
beda, sehingga kemungkinan batas usia kawin akan berbeda pula antara
satu negara dengan negara lain.11
Namun dalam perjalanan hukum keluarga Islam di Indonesia juga pasti
terdapat pihak yang kontra terkait aturan tersebut, baik sebagian maupun
secara keseluruhan. Diantaranya contoh yang terjadi dalam masyarakat yaitu
sebagai berikut:
1. Dalam perancangan salah satu sumber hukum perkawinan yaitu UUP
terjadi penolakan yang dilakukan oleh kalangan umat Islam, dikarenakan
sebagian isi dari R-UUP bertentangan dengan hukum Islam. Diantaranya
yaitu pencatatan perkawinan sebagai syarat sah perkawinan, perbedaan
agama tidak menghalangi perkawinan, dan jangka waktu masa idah bagi
mantan isteri. Kemudian pasal-pasal yang bertentangan dengan syariat
Islam dan tidak mungkin dilakukan kompromi terhadap hal tersebut,
maka pasal tersebut dihapuskan.12
2. Batas usia perkawinan yang dinilai kurang tepat pada usia 19 tahun bagi
laki-laki dan perempuan, seharusnya usia perkawinan laki-laki dan
perempuan adalah 21 tahun. pendapat ini dikemukan oleh Rabiatul

11
Rabiatul Aadawiyah, dkk, “Analisis Batas Usia Perkawinan Pada UU No. 16 Tahun
2019 Atas Perubahan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan” dalam Jurnal Hukum Islam,
edisi no. 2, Vol. 21, 2021, h. 264.
12
Imron Rosyadi, “Rekontruksi Epistimologi Hukum Keluarga Islam”, Cet. Ke-1, (Jakarta:
Kencana, 2022), h. 16-19.

7
Adawiyah, Asasriwarni, dan Hamda Sulfinadia.13 Alasan dari peneliti
tersebut yaitu karena pada usia 21 tahun organ reproduksi perempuan
sudah sempurna sehingga kehamilan dan kelahiran pada usia tersebut
tidak akan beresiko membahayakan jiwa ibu dan anak.14
3. Belum diaturnya mengenai masa tunggu bagi mantan suami yang ingin
menikah ketika masa idah mantan isteri belum selesai. Hal ini belum
diatur secara resmi dalam hukum keluarga Islam yang berstatus sebagai
hukum positif. Sehingga hal ini menimbulkan celah bagi mantan suami
untuk melakukan poligami terselubung, seorang mantan suami yang
menjatuhkan talak di pengadilan memiliki hak untuk rujuk kembali
dengan mantan istrinya.15

C. Sistem Hukum Keluarga Islam di Indonesia Dalam


Pandangan Responsif Gender
Dalam hukum keluarga Islam terdapat suatu konsep yang disebut
sebagai nusyuz. Secara bahasa, nusyuz adalah bentuk masdar dari kata
nasyadza yang memiliki arti tempat yang tinggi. Sedangkan secara istilah
nusyuz adalah pembangkangan atas perintah suami yang dilakukan oleh
istrinya, hal ini terjadi salah satunya disebabkan karena istri merasa lebih
daripada suaminya. Ibnu Qudamah16 mendefinisikan istri yang nusyuz yaitu
apabila istri menolak tidur bersama suami dan istri yang keluar rumah tanpa

13
Ketiga orang tersebut melakukan penelitian terkait “Batas Usia Perkawinan Pada UU
No.16 Tahun 2019”, yang kemudian hasilnya dipublikasikan dalam Jurnal Hukum Islam edisi no.
2, Vol. 21, Desember 2021.
14
Rabiatul Aadawiyah, dkk, “Analisis Batas Usia Perkawinan Pada UU No. 16 Tahun
2019 Atas Perubahan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan” dalam Jurnal Hukum Islam,
edisi no. 2, Vol. 21, 2021, h. 267.
15
A. Syaiful Anam, “Masa Iddah Bagi Suami Pasca Perceraian” dalam
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/masa-iddah-bagi-suami-pasca
perceraian-oleh-a-syafiul-anam-lc-23-3 , 2022, diakses pada 11 Mei 2024.
16
Ulama Madzhab Hanbali.

8
izin suami.17
Sehingga dapat dipahami jika nusyuz ini adalah suatu tuntutan bagi
istri untuk menjalankan perintah suami, hal ini berdasarkan dari penjelasan
fikih klasik. Tuntutan bagi istri untuk menjalankan perintah suami secara
totalitas merupakan sebagai timbal balik dari adanya mahar dan nafkah dalam
perkawinan. Fikih klasik menginginkan kesetaraan atau keadilan dalam
perkawinan. Suami memberi mahar dan nafkah, sedangkan istri memenuhi
keinginan suami dengan totalitas.18
Nusyuz sepertinya diakui keberadaanya dalam Kompilasi Hukum
Islam, dalam pasal 80 ayat (5) yang maknanya kewajiban suami kepada
istrinya baru berlaku jika istri menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada
suami. Hal itu menunjukkan secara tidak langsung jika KHI mengamini
adanya kepatuhan istri atas suami secara totalitas. Kemudian diperkuat lagi
dengan adanya pasal 80 ayat (7) yang mengatakan “Kewajiban suami
sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz”.19 Dapat dilihat
jika nusyuz hanya diberlakukan bagi istri yang tidak melaksanakan kewajiban
terhadap suaminya. Namun dalam KHI, suami yang tidak melaksanakan
kewajibannya tidak disebut nusyuz. Padahal dalam Al-Qur’an pada surah An-
Nisa ayat 128 dalam terjemahannya dapat dipahami jika nusyuz juga dapat
disematkan kepada suami. Walaupun pada An-Nisa ayat 34 dalam
terjemahannya dapat dipahami jika nusyuz juga disematkan kepada istri.20
Sehingga menurut penulis seharunya KHI mencantumkan peraturan
mengenai nusyuz bagi kedua belah pihak. Bukan hanya disematkan kepada
istri, hal itu akan menguntungkan suami, sehingga terjadi ketimpangan

17
Muwafiquddin Ibn Qudamah Al-Maqdisi, “Al-Mughni”, Juz VI, (Beirut: Dar Al-Fikr), h.
295.
18
Imron Rosyadi, “Rekontruksi Epistimologi Hukum Keluarga Islam”, Cet. Ke-1, (Jakarta:
Kencana, 2022), h. 171.
19
Mahkamah Agung, “Himpunan Perundang-Undnagan Yang Berkaitan Dengan
Kompilasi Hukum Islam Serta Pengertian Dalam Pembahasannya”, (Jakarta: Mahkamah Agung,
2011), h. 84.
20
Al-Qur’an.

9
mengenai hak dan kewajiban antara suami istri. Suami dapat menyematkan
nusyuz kepada istrinya jika tidak melaksanakan kewajiabannya, namun istri
tidak bisa menyematkan nusyuz kepada suaminya.
Hal tersebut akan memancing suatu pergolakan dipihak aktivis gender.
Mereka akan menganggap hal tersebut adalah salah satu bentuk
ketidaksetaraan gender dalam kehidupan perkawinan. Sehingga dibutuhkan
responsif gender mengenai kasus nusyuz ini. Menurut Rasyid Ridha, hukum
itu dapat bebeda, hal itu disebabkan oleh perbedaan zaman, tempat, dan
situasi. Suatu hukum jika dibuat dengan berdasarkan situasi dan kondisi pada
saat itu, maka ketika situasi dan kondisinya berubah dan hukum tersebut tidak
relevan serta tidak dibutuhkan lagi, maka mengganti hukum tersebut dengan
hukum yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi terkini adalah perbuatan
yang bijaksana.21
Dengan berdasarkan pendapat Rasyid Ridha, maka menurut penulis
peraturan nusyuz yang hanya diberikan kepada Istri dalam KHI jika
diberlakukan pada zaman sekarang, maka itu sudah tidak relevan lagi,
sehingga diperlukan suatu hukum yang baru mengenai nusyuz. Hal itu
disebabkan pada zaman sekarang banyak suami yang tidak menjalankan
kewajibannya kepada istrinya, sehingga diperlukan peraturan yang membuat
suami dengan model seperti itu juga dapat dikatakan nusyuz, dengan
konsekuensi yang juga sama. Jika konsekuensi istri yang nusyuz tidak
mendapatkan nafkah dan sebagainya, maka konsekuensi jika suami yang
nusyuz juga bisa diberlakukan hal tersebut, seperti istri tidak perlu mengurus
rumah tangganya dan istri dapat meninggalkan rumah suami untuk kembali
ke rumah orang tuanya hingga suaminya berubah menjadi tanggung jawab
terhadap kewajibannya kepada istri. Pendapat penulis juga sesuai dengan
surah An-Nisa ayat 34 dan 128 yang mengenai nusyuz itu dapat dilakukan
oleh suami ataupun istri.
Sehingga menurut penulis, dalam kasus nusyuz yang diatur dalam

21
Muhammad Rasyid Ridho, “Tafsir Al-Manar”, Juz 1, (Kairo: Isa Al-Bab Al-Halabi), h.
414.

10
Kompilasi Hukum Islam pada saat ini belum menunjukkan responsif gender
dengan baik. Walaupun suami telah “Membayar”22 untuk mendapatkan
istrinya. Oleh karena itu diharapkan pemerintah dapat merevisi ulang
peraturan yang ada didalam Kompilasi Hukum Islam dengan menyesuaikan
situasi dan kondisi zaman sekarang, dengan memperhatikan kesetaraan
gender.

22
Membayar disini maksudnya yaitu menyiapkan uang mahar ketika perkawinan dan
memberikan nafkah ketika dalam kehidupan perkawinan.

11
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
1. Dibutuhkannya suatu sistem agar peraturan hukum keluarga Islam di
Indonesia tertata dengan rapi dan dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya. Hukum keluarga Islam dapat diartikan secara sempit dan
secara luas. Secara sempit hukum keluarga Islam adalah peraturan yang
membahas mengenai perkawinan dan perceraian. Sedangkan secara luas,
hukum keluarga Islam adalah aturan yang membahas mengenai
hubungan pertalian kekeluargaan. Sumber hukumnya yaitu UUP No.1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
2. Respon masyarkat terkait hukum keluarga Islam di Indonesia terbagi
menjadi dua, yaitu mendukung dan menentang. Seperti contoh yang
mendukung yaitu mengenai batas usia perkawinan dan pemberlakuan
larangan menikah bagi mantan suami selama masa idah mantan istri
belum selesai. Sementara contoh yang menentang yaitu mengenai ketika
proses pembuatan UUP, batas usia perkawinan, dan larangan menikah
bagi mantan suami selama masa idah mantan istri belum selesai.
3. Salah satu contoh tidak responsif gendernya hukum keluarga Islam di
Indonesia yaitu adanya peraturan dalam KHI yang hanya mengatur
mengenai istri yang nusyuz, namun tidak ada diatur mengenai suami
yang nusyuz. Padahal dalam Al-Qur’an disebutkan jika nusyuz itu bisa
terjadi dari suami maupun istri. Sehingga harus disesuaikan peraturan
tersebut agar sesuai dengan situasi kondisi zaman sekarang dan harus
mepertimbangkan kesetaraan gender sehingga peraturan yang baru
mampu menjadi responsif gender.

12
B. Saran
Diharakan bagi pembaca yang berminat mengangkat tema responsif
gender dalam hukum keluarga Islam agar terus menggali peraturang-
peraturan yang dirasa kurang dalam menanggapi responsif gender. Sehingga
peraturan yang ada dalam hukum keluarga Islam bisa menjadi responsif
gender.

13
DAFTAR PUSTAKA

 Buku
Al-Maqdisi, Muwafiquddin Ibn Qudamah. .Al-Mughni. Juz VI. Beirut: Dar
Al-Fikr.
Ridho, Muhammad Rasyid. Tafsir Al-Manar. Juz 1. Kairo: Isa Al-Bab Al-
Halabi.
Rosyadi, Imron. Rekontruksi Epistimologi Hukum Keluarga Islam. Cet.
Ke-1.Jakarta: Kencana, 2022.
Mahkamah Agung. Himpunan Perundang-Undnagan Yang Berkaitan
Dengan Kompilasi Hukum Islam Serta Pengertian Dalam
Pembahasannya. Jakarta: Mahkamah Agung. 2011.
 Jurnal
Adawiyah, Rabiatul, dkk. “Analisis Batas Usia Perkawinan Pada UU No.
16 Tahun 2019 Atas Perubahan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan” dalam Jurnal Hukum Islam, edisi no. 2, Vol. 21, 2021.
Nurhardianto, Fajar. “Sistem Hukum Dan Posisi Hukum Indonesia”, dalam
Jurnal TAPIs, edisi no. 1, Vol. 11, 2015.
Riadi, Holan. “Sistem Hukum Keluarga Islam Di Indonesia”, dalam Jurnal
Ilmu Syariah, edisi no. 1, Vol. 2, 2021.
 Website
Tatista Research Department, “Share of Indonesian Population In 2023, by
Religion”, dalam
https://www.statista.com/statistics/1113891/indonesia-share-of-
population-by-religion/ diakses pada 9 Mei 2024.
Anam, A Syaiful. “Masa Iddah Bagi Suami Pasca Perceraian”, dalam
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/mas
a-iddah-bagi-suami-pasca perceraian-oleh-a-syafiul-anam-lc-23-3 ,
2022, diakses pada 11 Mei 2024.
 Sumber Hukum

14
Al-Qur’an
KBBI

15

Anda mungkin juga menyukai