Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PROFESI KEGURUAN

Tentang

Tokoh Tokoh Pendidikan Ki Hajar Dewantara , Mohammad Sjafei


Dan Kh Ahmad Dahlan

Disusun oleh

Lelita fitri : 2114070057

Dosen pengampu

Dr. Hj. Sasmi Nelwati, M.Pd

PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

IMAM BONJOL PADANG

1445 H / 2024 M
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan
Rahmat dan Hidayah-Nya, sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada
NabiMuhammad SAW. Kami bersyukur kepada Ilahi Rabbi yang telah
memberikankesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini .

Dengan tersusunnya makalah ini, kami berharap dapat lebih memahami


secaramendalam tentang Tokoh Tokoh Pendidikan, Ki Hajar Dewantara Dan
Mohammad Sjafei, Kh Ahmad Dahlan , Kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritikdan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun sangat kami harapkan demikesempurnaan makalah atau
penyusunan makalah berikutnya menjadi lebih baik.

Akhir kata saya ucapkan kepada dosen pengampu Buk Sasmi Nelwati MP,d
semoga selalu dalam lindungan allah subhanahu ta’ala dan Penulis menyadari bahwa
dalam menyusun makalah ini masih banyak terdapat kesalahan, maka dari itu dengan
penuh rasa hormat penulis mohon maaf apabila dalam penulisan masih banyak
kekhilafan. Untuk itu penulis menerima kritik dan saran yang membangun dari
pembaca agar bisa memperbaiki penulisan makalah ini dimasa yang akan datang. Akhir
kata penulis ucapkan terimakasih semoga makalah ini berguna bagi penulis pada
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Padang 19 mei 2024

Penulis
DAFTAS ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................... 2


BAB I .................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ................................................................................................................................ 4
A. ........................................................................................................................... 4
B. ...................................................................................................................... 4
C. Tujuan masalah ......................................................................................................................... 4
BAB II................................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ................................................................................................................................... 5
A. Ki Hajar Dewantara .................................................................................................................. 5
B. Muhammad Syafei .................................................................................................................... 8
C. KH Ahmad Dahlan.................................................................................................................. 11
BAB III ............................................................................................................................................... 15
PENUTUP .......................................................................................................................................... 15
KESIMPULAN............................................................................................................................... 15
SARAN ........................................................................................................................................... 15
Daftar Pustaka ..................................................................................................................................... 16
A.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah, penggalan kalimat ini
populer disampaikan oleh Ir. Soekarno sebagai founding father bangsa Indonesia. Historis
dalam kejadian apa pun adalah hal yang harus dikenang dengan mengambil segala nilai-nilai
baik di dalamnya dan dijadikan refleksi untuk menghadapi kejadian di masa sekarang dan
masa yang akan datang. Kajian historis hadir dalam setiap aspek, termasuk pendidikan. Aspek-
aspek historis tersebut hadir dalam beragam hal salah satunya adalah dari segi pendidikan.
Sebagai salah satu sektor yang berperan penting dalam kemajuan suatu bangsa dan negara,
peran pendidikan adalah sebagai salah satu fondasi utama dalam pembangunan kualitas
sumber daya manusia secara utuh di negara dengan cepat.

Pendidikan merupakan salah satu usaha yang dapat dilakukan dalam membangun
sektor kemajuan negara tersebut secara cepat dan tepat. Standar nasional pendidikan
diciptakan untuk membatasi kriteria minimum tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah
Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh desentralisasi sistem pendidikan dalam kerangka
pemerintahan Indonesia yang menganut asas otonomi daerah. Terciptanya mekanisme ini
tidak lepas dari perjalanan pendidikan Indonesia yang dipengaruhi oleh berbagai kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah. Hal ini menyebabkan mengarah pada historis pendidikan
Indonesia yang menganut berbagai paham, aliran, dan konsep-konsep Pendidikan dari
berbagai tokoh-tokoh Indonesia sendiri.

B.
a. Mengeetahui Pendidikan indonesi Ki Hajar Dewantara
b. Mengeetahui Pendidikan indonesi Muhammad Syafei
c. Mengeetahui Pendidikan indonesi KH Ahmad Dahlan

C.
a. Untuk Mengeetahui Pendidikan indonesi Ki Hajar Dewantara
b. Untuk Mengeetahui Pendidikan indonesi Muhammad Syafei
c. Untuk Mengeetahui Pendidikan indonesi KH Ahmad Dahlan
A.
Tokoh filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara terlahir dengan nama Raden Mas
Suwardi Suryaningrat pada tanggal 2 Mei 1889. KHD berasal dari keluarga keraton, pura
Pakualaman, Yogyakarta. Ayahnya beliau bernama K.P.H. Suryaningrat dan Ibunya
bernama Raden Ayu Sandiyah. Ibunya merupakan buyut dari Nyai Ageng Serang, seorang
keturunan dari Sunan Kalijaga. Ki Hajar Dewantara merupakan cucu dari Sri Paku Alam
III. Raden Mas Suwardi Suryaningrat mengganti namanya di usia 39 tahun, dengan nama
Ki Hadjar Dewantara yang kita kenal sampai saat ini.

Lingkungan hidup Ki Hajar Dewantara di masa kecil bepengaruh besar terhadap


perkembangan jiwanya yang sangat lekat terhadap kesenian dan nilai-nilai kultur serta
religius. Setelah berganti nama KHD dapat leluasa bergaul dengan rakyat kebanyakan.
Sehingga pada masa itu, perjuangannya lebih mudah diterima oleh rakyat. Pada tanggal 4
November 1907, R.M. Soewardi Soeryaningrat melangsungkan “Nikah Gantung” dengan
R.A. Soetartinah. Keduanya tokoh ini adalah satu garis ketururnan yang sama-sama
merupakan cucu dari Sri Paku Alam III. Pada akhir Agustus 1913 beberapa hari sebelum
berangkat ke tempat pengasingan di negeri Belanda, pernikahan keduanya diresmikan
secara adat dan sederhana di Puri Suryaningratan Yogyakarta.

Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia pada tanggal 26 Apri 1959, di rumahnya


Mujamuju Yogyakarta. Tanggal 29 April, jenazah Ki Hadjar Dewantara dipindahkan ke
pendopo Taman Siswa yang kemudian diserahkan kepada Majelis Luhur Taman Siswa.
Dari pendopo Taman Siswa, jenazah diberangkatkan ke makan Wijaya Brata Yogyakarta.
Dalam upacara pemakaman Ki Hadjar Dewantara dipimpin oleh Panglima Kodam
Diponegoro Kolonel Soeharto. Tanggal 28 November 1959, Ki Hadjar Dewantara
ditetapkan sebagai “Pahlawan Nasional”. Tanggal 16 Desember 1959, pemerintah
menetapkan tanggal 2 Mei sebagai “Hari Pendidikan Nasional” yang merupakan tanggal
lahir Ki Hadjar Dewantara berdasarkan keputusan Presiden RI Nomor: 316 tahun 1959.
Sebagai tokoh nasional yang dihormati dan disegani baik oleh kawan maupun lawan, Ki
Hadjar Dewantara sangat kreatif, dinamis, jujur, sederhana, konsisten, konsekuen dan juga
berani. Beliau memiliki wawasan yang sangat luas dan selalu tidak berhenti berjuang
untuk bangsa hingga akhir hayat. Perjuangan beliau dilandasi dengan rasa ikhlas yang
mendalam, disertai rasa pengabdian dan pengorbanan yang tdengan tujuan mengantarkan
bangsanya ke dalam kemerdekaan. Selain mendapat pendidikan di lingkungan Istana Paku
Alam, Ki Hajar Dewantara juga mendapatkan pendidikan agama dari pesantren Kalasan
di bawah asuhan KH. Abdurahman. Setelah itu, Ki Hadjar Dewantara juga mendapat
pendidikan formal antara lain: 1. ELS (Europeesche Legere School), sekolah Dasar
Belanda III. 2. Kweek School (Sekolah Guru) di Yogyakarta. 3. STOVIA (School Tot
Opvoeding Van Indische Artsen) yaitu sekolah kedokteran STOVIA yang berada di
Jakarta. Pendidikan ini tak dapat diselesaika KHD, karena Ki Hadjar Dewantara
mengalami sakit selama 4 bulan Banyaknya karya-karya Ki Hadjar Dewantara yang
diketahuiantara lain adalah:

1) Buku bagian pertama: tentang Pendidikan


2) Buku bagian kedua: tentang Kebudayaan
3) Buku bagian ketiga: tentang Politik dan Kemasyarakatan
4) Buku bagian keempat: tentang Riwayat dan Perjuangan Hidup Penulis: Ki
Hadjar Dewantara.

Pemikiran Ki Hadjar Dewantara bagi Pendidikan Indonesia Ki Hajar


Dewantara memberikan pemikirannya tentang Dasar-dasar Pendidikan. Menurut
KHD, Pendidikan bertujuan untuk menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak,
agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
KHD juga mengingatkan para pendidik untuk tetap terbuka dan mengikuti
perkembangan zaman yang ada namun tidak semua yang baru itu baik, jadi perlu
diselaraskan dulu. Indonesia juga memiliki potensi-potensi kultural yang dapat
dijadikan sebagai sumber belajar. KHD menjelaskan bahwa dasar pendidikan anak
berhubungan dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam berkaitan dengan
sifat dan bentuk lingkungan di mana anak berada, sedangkan kodrat zaman berkaitan
dengan isi dan irama. Artinya bahwa setiap anak sudah membawa sifat atau
karakternya masing-masing, jadi sebagai guru kita tidak bisa menghapus sifat dasar
tadi, yang bisa dilakukan adalah menunjukan dan membimbing mereka agar muncul
sifat-sifat baiknya sehingga menutupi atau mengaburkan sifat-sifat jeleknya. Hal
terpenting yang harus dilakukan seorang guru adalah menghormati dan
memperlakukan anak dengan sebaik-baiknya sesuai kodratnya, melayani mereka
dengan setulus hati, memberikan teladan (ing ngarso sung tulodho), membangun
semangat (ing madyo mangun karso) dan memberikan dorongan (tut wuri handayani)
bagi tumbuh kembangnya anak.

Menuntun mereka menjadi pribadi yang terampil, berakhlak mulia dan


bijaksana sehingga mereka akan mencapai kebahagiaan dan keselamatan. Sistemm
Paguron menurut pandangan Ki Hadjar Dewantara merupakan suatu sistem
pendidikan nasional karena sistem pendidikan ini berorientasi pada nilai-nilai kultural,
hidup kebangsaan serta kemasyarakatan Indonesia. Gagasan paguron mencakup
pengertian bahwa Paguron sebagai tri pusat pendidikan, yaitu sebagai tempat guru,
sebagai tempat belajar, dan sebagai tempat pendidikan dalam Masyarakat.

Pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan

Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan merupakan salah satu usaha pokok


untuk memberikan nilai-nilai kebatinan yang ada dalam hidup rakyat yang
berkebudayaan kepada tiap-tiap turunan baru (penyerahan kultur), tidak hanya berupa
“pemeliharaan” akan tetapi juga dengan maksud “memajukan” serta
“memperkembangkan” kebudayaan, menuju ke arah keseluruhan hidup kemanusiaan
(Dewantara, 2011: 344). Kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan bangsa
sendiri mulai dari Taman Indria, anak-anak diajarkan membuat pekerjaan tangan,
misalnya: topi (makuto), wayang, bungkus ketupat, atau barang-barang hiasan dengan
bahan dari rumput atau lidi, bunga dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar anak
jangan sampai hidup terpisah dengan masyarakatnya (Dewantara, 2011: 276).

Metode permainan yang masih terdapat di desa-desa dimaksudkan untuk


melatih ketangkasan, melihat, mendengar dan bertindak sebagai latihan panca indera.
Banyak permainan anak-anak yang berupa tarian, sandiwara-sandiwara yang amat
sederhana, tetapi cukup mengandung bahan-bahan untuk pendidikan, misalnya seni
suara, tari dan drama. Drama dari cerita-cerita rakyat seperti Timun Emas, Bawang
Putih, Jaka Kendil maupun cerita-cerita Wayang Purwa. Untuk anak-anak yang sudah
besar, misalnya Taman Dewasa atau Sekolah Menengah Pertama dan Taman Madya
atau Sekolah Menengah Atas, akan diberikan pelajaran olah gending. Hal tersebut
dimaksudkan untuk memperkuat dan memperdalam rasa kebangsaan. Tari Serimpi dan
tari Bedoyo diberikan kepada anak didik karena merupakan kesenian yang amat indah
yang mengandung rasa kebatinan, rasa kesucian dan rasa keindahan. Gending-gending
Keraton jaman dulu diwajibkan untuk dipelajari, juga Tari Serimpi. Di samping Tari
Serimpi juga diajarkan sandiwara atau drama yang dalam istilah Jawa disebut tonil,
misalnya: Srandul, Reog, Kethoprak, Wayang, Langendriyan, Langen Wanara, Langen
Asmara Suci (Dewantara, 2011: 347-348). Frobel dan Montessori adalah tokoh-tokoh
pendidikan anakanak yang banyak berpengaruh pada pandangan-pandangan
pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa kesenian
yang dipakai sebagai alat pendidikan dalam Taman Siswa tetap bermaksud
mempengaruhi perkembangan jiwa anak-anak ke arah keindahan pada khususnya,
namun keindahan di dalam rangkaiannya dengan keluhuran dan kehalusan sehingga
layak bagi hidup manusia yang beradab dan berbudaya. Jadi ada perkembangan jiwa
anak “dari natur ke kultur” (Dewantara, 2011: 353)

Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dibandingkan dengan filsafat


pendidikan esensialisme sangat mirip, karena esensialisme berpendapat bahwa
pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal
peradaban umat manusia. Kebudayaan yang diwariskan merupakan kebudayaan yang
telah teruji oleh segala jaman, kondisi dan sejarah (Noor Syam, 1983: 260). Nilai-nilai
kebudayaan bukanlah nilai-nilai yang statis tetapi juga mengalami kemajuan. Ki
Hadjar Dewantara mengatakan hendaknya usaha kemajuan ditempuh melalui petunjuk
“Trikon”, yaitu: kontinyu dengan alam masyarakat Indonesia sendiri. Artinya, secara
kontinyu kebudayaan harus diestafetkan atau diberikan kepada generasi penerus secara
terus-menerus. Kemudian konvergen dengan budaya luar. Artinya, penerima nilai-nilai
budaya dari luar dengan selektif dan adaptif dan akhirnya bersatu dengan alam
universal, dalam persatuan yang konsentris yaitu bersatu namun tetap mempunyai
kepribadian sendiri. Jadi dapat disimpulkan bahwa kebudayaan Indonesia adalah
kebudayaan yang maju tetapi tetap berkepribadian Indonesia (Dewantara, 1994: 371).
Nilai-nilai budaya yang digunakan Ki Hadjar Dewantara dalam pendidikan adalah
nilai budaya yang ada sejak beliau dilahirkan, yaitu pada masa Adipati Paku Alam III
tahun 1889, jadi nilai-nilai budaya sekitar abad ke-18 dan 19. Sedang filsafat
pendidikan esensialisme didasarkan pada jaman Renaisans yang muncul sekitar abad
ke-15 dan 16.

B.
Mohammad Syafei lahir tahun 1893 di Ketapang (Kalimantan Barat) dan diangkat
jadi anak oleh Ibrahim Marah Sutan dan ibunya Andung Chalijah, kemudian di bawah
pindah ke Sumatra Barat dan menetap Bukit Tinggi .Dia sudah mengajar di berbagai
daerah di nusantara, pindah ke Batavia pada tahun1912 dan disini aktif dalam kegiatan
penertiban dan Indische Partij. Pendidikan yang ditempuh Moh. Syafei adalah sekolah raja
di Bukit Tinggi, dan kemudian belajar melukis di Batavia (kini Jakarta), sambil mengajar
disekolah Kartini (Yusuf et al., 2021). Pada tahun 1922 Moh. Syafei menuntut ilmu di
Negeri Belanda dengan biaya sendiri. Disini ia bergabung dengan ”Perhimpunan
Indonesia “,sebagai ketua seksi Pendidikan. Di negeri Belanda ini ia akrab dengan Moh.
Hatta, yang memiliki banyak kesamaan dan karakteristik dan gagasan dengannya,
terutama tentang pendidikan bagi pengembangan nasionalisme di Indonesia (Daulay,
2007). Dia berpendapat bahwa agar gerakan nasionalis dapat berhasil dalam menentang
penjajahan Belanda, maka pendidikan rakyat haruslah diperluas dan diperdalam.

Semasa di negeri Belanda ia pernah ditawari untuk mengajar dan menduduki


Jabatan disekolah pemerintah. Tapi Syafei menolak dan kembali ke Sumatra Barat pada
tahun1925.Ia bertekad mendirikan sebuah sekolah yang dapat mengembangkan bakat
murid-muridnya dan disesuaikan dengan kebutuhan rakyat Indonesia, baik yang hidup di
kota maupun di pedalaman (Mohamad Noor, 2021). Mohamad Syafei mendirikan sebuah
sekolah yang diberi nama Indonesische Nederland School (INS) pada tanggal 31 Oktober
1926. Di Kayu Tanam, sekitar 60 Km di sebelah Utara kota Padang. Sekolah ini didirikan
di atas lahan seluas 18 hektar dan dipinggir jalan raya Padang Bukit Tinggi. Ia menolak
subsidi untuk sekolahnya, seperti halnya Thalib dan Diniyah, tapi ia membiaya sekolah itu
dengan menerbitkan buku-buku kependidikan yang ditulisnya. Sumber keuangan juga
berasal dari sumbangan –sumbangan yang diberikan ayahnya dan simpatisan-simpatisan
serta dari berbagai acara pengumpulan dana seperti mengadakan pertunjukan teater,
pertandingan sepak bola, menerbitkan lotre dan menjual hasil karya seni buatan murid-
muridnya.

Mohammad Syafei mendasarkan konsep pendidikannya pada nasionalisme dalam


arti konsep dan praktik penyelenggara pendidikan INS kayu tanam didasarkan pada cita-
cita menghidupkan jiwa bangsa Indonesia dengan cara mempersenjatai dirinya dengan alat
daya upaya yang dinamakan aktif kreatif untuk menguasai alam. Semangat nasionalisme
Mohammad Syafei dipengaruhi oleh pandangan–pandangan Cipto Mangunkusumo dan
Douwes Dekker dan Perhimpunan di negeri Belanda. Semangat nasionalismenya yang
sedang tumbuh menimbulkan pertanyaan, mengapa bangsa Belanda yang jumlahnya
sedikit dapat menguasai bangsa Indonesia yang jumlahnya sangat besar. Jelas kiranya
bahwa nasionalisme Mohammad Syafei adalah nasionalisme pragmatis yang didasarkan
pada agama, yaitu nasionalisme yang tertuju pada membangun bangsa melalui pendidikan
agar menjadi bangsa yang pandai berbuat untuk kehidupan manusia atas segala sesuatu
yang diciptakan oleh Tuhan (Apriani et al., 2017). Mohammad Syafei menyatakan bahwa
Tuhan tidak sia –sia menciptakan manusia dan alam lainnya. Setiap halnya mesti berguna,
dan kalau ini tidak berguna hal itu disebabkan karena kita yang tidak pandai
menggunakannya.

Pandangan pendidikan Mohammad Syafei sangat dipengaruhi oleh aliran


Develomentalisme ,terutama oleh gagasan sekolah kerja yang dikembangkan John Dewey
dan George Kerschensteiner, serta pendidikan alam sekitar yang dikembangkan Jan
Lightar (Hamid et al., 2018). John Dewey berpendapat bahwa pendidikan bahwa
pendidikan terarah pada tujuan yang tidak berakhir, pendidikan merupakan sesuatu yang
terus berlangsung, suatu rekonstruksi pengalaman yang terus bertambah. Tujuan
pendidikan sebagaimana adanya, terkandung dalam proses pendidikan, dan seperti
cakrawala, tujuan pendidikan yang dibayangkan ada sebelum terjadinya proses pendidikan
ternyata tidak pernah dicapai seperti cakrawala yang tidak pernah terjangkau. Oleh karena
itu, seperti yang dinyatakan oleh John Dewey, rekonstruksi pengalaman kita harus
diarahkan pada mencapai efisiensi sosial, dengan demikian pendidikan harus merupakan
proses sosial. Sekolah yang baik harus aktif dan dinamis, dengan demikian anak belajar
melalui pengalamannya dalam hubungan dengan orang lain.

Pendapat Muhammad Syafei tentang Pendidikan Pemikiran Syafei tentang


pendidikan banyak dipengaruhi oleh pemikiran pendidikan awal abad 20 di Eropa, yaitu
pemikiran pendidikan yang dikembangkan berdasarkan konsep sekolah kerja atau sekolah
hidup atau sekolah masyarakat. Menurut konsep ini sekolah hendaknya tidak
mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat. Untuk itu Syafei mengutip pemikiran
Guning;”sebagian sekolah, karena kesalahannya sendiri dan ada pula sebagian yang tidak
salah ,telah mengasingkan diri dari kehidupan sejati dan telah membentuk dunianya
sendiri. Mengukur segala-galanya menurut pahamnya sendiri. Selama hal itu tidak
berubah, maka sekolah tidak dapat memenuhi kewajibannya. Ia selalu memaksakan
kehendaknya sendiri kepada masyarakat yang seharusnya ia mengabdi kepada
masyarakat. Pada tempatnyalah “Sekolah cara baru “bukan saja menghendaki sekolah
kerja, tetapi akan berubah menjadi “Sekolah hidup” atau “Sekolah Masyarakat”

Dasar pendidikan yang dikembangkan oleh Moh. Syafei adalah kemasyarakatan,


keaktifan, kepraktisan, serta berpikir logis dan rasional. Berkenan dengan itulah maka isi
pendidikan yang dikembangkannya adalah bahan yang dapat mengembangkan pikiran,
perasaan, dan ketrampilan atau yang dikenal dengan istilah 3 H, yaitu Head,Heart dan
Hand. Implikasi terhadap pendidikan adalah ; 1. Mendidik anak-anak agar mampu berpikir
secara rasional 2. Mendidik anak-anak agar mampu bekerja secara teratur dan bersungguh
sungguh. 3. Mendidik anak –anak agar menjadi manusia yang berwatak baik. 4.
Menanamkan rasa cinta tanah air. 5. Mendidik anak agar mandiri tanpa tergantung pada
orang lain. Dalam pelajaran, anak hendaknya menjadi subyek(pelaku) bukan dikenai
(obyek).Dengan menjadi subyek seluruh tubuh anak terlibat, juga emosi, dan pemikiran
dan daya khayalnya (Syaputra & Nasution, 2018). Keasyikan emosi ,dan spontanitas anak
ketika bermain hendaknya dapat dialihkan kedalam proses belajar mengajar.

Peranan guru adalah sebagai manajer belajar yang mengupayakan bagaimana


menciptakan situasi aga siswa menjadi aktif berbuat. Dengan demikian, guru juga
berperan sebagai fasilitator belajar yang memperlancar aktivitas anak dalam belajar. Guru
yang demikian dituntut untuk memahami anak sebagai makhluk yang selalu bergerak dan
memahami psikologi belajar, serta psikologi perkembangan.

C.
KH Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868 dan
Meninggal pada Tanggal 23 Februari 1923 dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya
KH Abu Bakar bin Kiai Sulaiman adalah imam dan Khatib Masjid Besar Kauman
Yogyakarta, sementara ibunya Siti Aminah adalah anak KH Ibrahim, penghulu besar di
Yogyakarta (Komala, 2021). Menurut salah satu silsilah, keluarga Muhammad Darwis
dapat dihubungkan dengan Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali penyebar agama
Islam yang telah dikenal di Pulau Jawa. KH Ahmad Dahlan menyelesaikan pendidikan
dasarnya pada Madrasah dan Pesantren di Yogyakarta dalam bidang nahu, Fiqih, dan tafsir.
Pada tahun 1888, Ahmad Dahlan disuruh oleh orang tuanya menunaikan ibadah haji. Ia
bermukim di Mekkah selama 5 Tahun untuk menuntut ilmu agama Islam, seperti qiraat,
tauhid, tafsir, Fiqih, tasawuf, ilmu mantik, dan ilmu falaq.

Pada tahun 1903 ia berkesempatan kembali pergi ke Makkah untuk memperdalam


ilmu agama selama 3 tahun . Kali ini ia banyak belajar dengan Syekh Ahmad Khatib
Minangkabau. Di samping itu, ia juga tertarik pada pemikiran Ibnu Taimiyah, Jamaluddin
al-Afgani, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Rida dan di antara kitab tafsir yang
menarik hatinya adalah Tafsir al- Manar (Zarkasyi et al., 2020). Dari tafsir inilah beliau
mendapatkan inspirasi dan motivasi untuk mengadakan perbaikan dan pembaruan umat
Islam di Indonesia. Selama tinggal di kota Makkah, Ahmad Dahlan bertemu dengan ide-
ide pembaharuan Islam yang dipelopori Jamaluddin Al- Afgani, Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha. Ahmad Dahlan mulai tertanam benih-benih ide yang ingin dia terapkan
tentang ide-ide pembaharuan. Olehnya itu, dia pun merasa perlu untuk mendirikan wadah
dalam bentuk organisasi untuk menghimpun orang-orang yang seide dengan dia.
Akhirnya, atas dorongan murid-muridnya serta teman-temannya, pada Tanggal 18
November 1912 (8 Zulhijjah 1330), KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah20.
Selain dirinya sendiri, pengurusnya adalah Abdullah Siradj (Penghulu), Haji Ahmad, Haji
Abdurrahman, R Haji Sarkawi, Haji Muhammad, R H Djaelani, Haji Anis, dan Haji
Muhammad Fakih.

K.H Ahmad Dahlan merupakan tokoh nasional yang memiliki tipe man of action
(Agustang et al., 2021) artinya K.H Ahmad Dahlan lebih menonjol ke urusan masalah
praktik maka dari ini warisan dari K.H Ahmad Dahlan lebih condong ke kegiatan-kegiatan
di luar kelas yang lebih banyak ke teori, sehingga ia tidak banyak memiliki karya tulisan.
Cita- cita pendidikan yang digagas oleh K.H Ahmad Dahlan adalah lahirnya manusia-
manusia baru yang mampu tampil sebagai "intelektual” memiliki keteguhan iman dan
berpikiran luas. Maka dari itu, ide pendidikan yang digagas K.H Ahmad Dahlan
menyelamatkan umat Islam dari cara berpikir statis menuju pemikiran yang dinamis,
kreatif dan inovatif, itu merupakan satu-satunya jalan mencapai tujuan tersebut dan
melalui pendidikan dan pengolahan pendidikan agama Islam secara modern dan
profesional, sehingga pendidikan yang dilaksanakan mampu memenuhi atau menghadapi
dinamika pada zamannya. Menurut Ahmad Dahlan, pendidikan yang baik adalah
pendidikan yang sesuai dengan tuntunan zaman. seperti contoh, pada awal abad 20-an,
Ahmad Dahlan melihat umat Muslim di Indonesia tertinggal secara ekonomi oleh
kolonialisme Belanda. Ketika itu ekonomi Muslim sangat tidak mempunyai akses ke
sektor-sektor pemerintahan atau perusahaan-perusahaan swasta.

Bahwa penyebab utama kemunduran umat Islam disebabkan pola pikir yang
dimiliki dan cara pandang terhadap masa yang akan datang, sehingga pada masa tersebut
umat Islam tertinggal jauh dengan umat yang lain (Al Faruq, 2020). Oleh karena itu,
kebebasan berpikirlah menjadikan atribut penting yang menjadikan manusia sebagai
pedoman dalam perbuatan dan sedangkan kemauanlah yang menjadi pendorong perbuatan
manusia.
Pada tahun 1918, di sekolah Muhammadiyah yaitu Mulo met de Qur'an Ahmad
Dahlan memasukkan pelajaran bahasa Arab sebagai mata pelajaran wajib, yang bertujuan
peserta didik mampu untuk memahami arti dan makna Al- Quran dan Hadits secara ilmiah
sehingga peserta didik itu sendiri tidak hanya sekedar ikut dan terhanyut pada pendapat
orang lain. Dengan demikian, para peserta didik diharapkan mampu memperoleh
kemampuan untuk memahami maksud dan arti dari Al-Quran dan Hadits.

Dunia Pendidikan menurut Ahmad Dahlan Pendidikan juga tidak cukup hanya
sekedar kecerdasan intelektual, tetapi pembentukan karakter sangat penting pada peserta
didik di kehidupan sehariharinya. Maka dari itu melalui pendidikan para peserta didik
dapat memenuhi kepribadian yang utuh baik jasmani maupun rohani dan memiliki jiwa
sosial yang baik juga. Ahmad Dahlan sendiri menekankan pembentukan karakter harus
diawali dengan iman, ilmu dan amal. Karena setiap perbuatan yang dilakukan dengan
tujuan baik, kepercayaan diri dan ikhlas maka Allah akan memberikan kemudahan pada
perbuatannya. Dengan adanya ilmu yang kita miliki, setiap manusia wajib mengamalkan
ilmunya, ilmu dan amal adalah dasar dari pendidikan pembentukan karakter yang
diterapkan oleh Ahmad Dahlan.

Sebagaimana pada tahun 1910 Ahmad Dahlan pernah mengajarkan pendidikan


agama Islam kepada para calon guru di Kweekschool Yogyakarta. Ia berharap bahwa
pendidikan para calon guru diharapkan dapat mempercepat proses transmisi ide-ide yang
di gagas oleh Ahmad Dahlan, karena mereka setelah menjadi guru akan mempunya peserta
didik yang banyak dan mengajarkannya kepada peserta didik. Selain itu para guru kelak
akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas dan besar kepada peserta didik.
Maksudnya peserta didik akan mempunyai akhlak yang baik tergantung pada pendidik
yang mendidiknya (Al Faruq, 2020). Berdasarkan kajian di atas, terlihat bahwa K.H.
Ahmad Dahlan menggunakan pendekatan self corrective terhadap umat Islam. Dalam
pandangannya muslim tradisional terlalu menitikberatkan pada aspek spiritual dalam
kehidupan sehari-hari. Sikap semacam ini mengakibatkan terjadinya kelumpuhan dan
bahkan kemunduran Dunia Islam, sementara kelompok yang lain telah mengalami
kemajuan di bidang ekonomi.

K.H. Ahmad Dahlan terobsesi dengan kekuatan sistem pendidikan Barat seperti
terlihat pada sekolah-sekolah Belanda. Sistim pendidikan yang dikembangkan oleh K.H.
Ahmad Dahlan mengikuti pola Barat dengan memberikan penguatan pada nilai-nilai Islam
yang berkemajuan. Dengan demikian, peran K.H. Ahmad Dahlan dalam bidang
pendidikan adalah upaya mengompromikan beberapa unsur positif dari sistem pendidikan
Islam dan sistem pendidikan Barat. Model pendidikan ini, dibuktikan dengan karyanya
yang nyata, yaitu lahirnya lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah di seluruh
Nusantara ini, yang kini jumlahnya mencapai puluhan ribu, mulai PAUD, Pendidikan
Dasar dan Menengah, sampai dengan Pendidikan Tinggi Muhammadiyah.
Pendidikan merupakan salah satu usaha yang dapat dilakukan dalam membangun
sektor kemajuan negara tersebut secara cepat dan tepat. Standar nasional pendidikan
diciptakan untuk membatasi kriteria minimum tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah
Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh desentralisasi sistem pendidikan dalam kerangka
pemerintahan Indonesia yang menganut asas otonomi daerah. Terciptanya mekanisme ini
tidak lepas dari perjalanan pendidikan Indonesia yang dipengaruhi oleh berbagai kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah. Hal ini menyebabkan mengarah pada historis pendidikan
Indonesia yang menganut berbagai paham, aliran, dan konsep-konsep Pendidikan dari
berbagai tokoh-tokoh Indonesia sendiri

Dengan di buatnya makalah ini, penulis mengharap kritik dan saran yang bisa
membuat makalah ini menjadi lebih sempurna. Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh
dari kata sempurna. Saran dari penulis , agar pembaca bisa mempelajari materi yang telah
penulis buat ini.
Syarifudin, Tatang. 2009. Landasan Pendidikan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam Departemen Agama RI.

Eka Yanuarti. 2017. “Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Relevansinya dengan
Kurikulum 13”. Jurnal Penelitian Henricus Suparlan. “Filsafat Pendidikan Ki Hajar
Dewantara dan Sumbangannya Bagi Pendidikan Indonesia” I Made Sugiarta, Ida
Bagus Putu Mardana,

Agus Adiarta, I Wayan Artanayasa. 2019. “Filsafat Pendidikan Ki Hajar Dewantara (Tokoh
Timur)”. Jurnal Filsafat Indonesia Sukri, Trisakti Handayani, Agus Tinus. 2016. “

Analisis Konsep Pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam Perspektif Pendidikan Karakter”


Jurnal Civic Hukum Vincentius Gitiyarko. 2021. “ Pendidikan Ala Ki Hajar
Dewantara: Pendidikan yang Memerdekakan”.https://kompas
pedia.kompas.id/baca/paparantopik/pendidikan- ala-ki-hadjardewantara-pendidikan-
yangmemerdekakan (diakses pada tanggal 20 juni 2022)

Abuddi, Nata. Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.) A.A
Navis. 1996. Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei.Jakarta: PT. Grasindo
A.Shamad,

Irhas. 2003. Imu Sejarah. Jakarta: Hayfa Press Abdurrahman, Dudung. Metodologi Penelitian
Sejarah Islam. Yogyakarta:

Ombak Arifin, Imbron. 1996. Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-ilmu Sosial dan Keagamaan.
Malang: Kalimasahada

Anda mungkin juga menyukai