Harta Benda Koruptor Dan Pengembaliannya Kepada Negara
Harta Benda Koruptor Dan Pengembaliannya Kepada Negara
Disusun oleh:
KELOMPOK IX
Muhamad HusniThamrin NIP : 22142012023
Moh Fauzi Rizal NIP : 22142012022
Tita Hardyanti NIP : 22142012038
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikumWr. Wb.
Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah mata kuliah Pendidikan
Budaya Anti Korupsi (PBAK) untuk memenuhi tugas judul “MAKALAH HARTA
BENDA KORUPTOR DAN PENGEMBALIANNYA KEPADA NEGARA” dengan
lancer.
Penyusunan laporan ini tidak lain dengan adanya bantuan dari berbagai
pihak, oleh karena itu saya mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak H. Ujang Permana, S.Sos.,M.Si selaku dosen pengampu mata kuliah
Pendidikan Budaya Anti Korupsi (PBAK).
2. Orang tua, keluarga dan teman-teman yang senantiasa memberikan
dukungan dan dorongan kepada saya.
3. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan makalah ini.
Wassalamu’alaikumWr. Wb.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
COVER...................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR..................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
1.1. Latar Belakang.........................................................................................1
1.2. Permasalahan..........................................................................................8
1.3. Tujuan Penelitian......................................................................................8
1.4. Kegunaan Penelitian................................................................................9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI.........................................10
2.1. Tinjauan Pustaka....................................................................................10
2.1.1. Tindak Pidana Korupsi.....................................................................10
2.1.2. Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi....................................................12
2.1.3. Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi............................14
iii
iv
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
perdata. Aset hasil Tipikor baik yang ada di dalam maupun di Luar Negeri
dilacak, dibekukan, dirampas, disita, diserahkan dan dikembalikan
kepada negara yang diakibatkan oleh Tipikor dan untuk mencegah
pelaku Tipikor menggunakan aset hasil Tipikor sebagai alat atau sarana
tindak pidana lainnya dan memberikan efek jera bagi pelaku/calon
pelaku.5
UU Tipikor mengatur mekanisme atau prosedur yang dapat
diterapkan dapat berupa pengembalian aset melalui jalur pidana, dan
pengembalian aset melalui jalur perdata. Di samping UU Tipikor,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi Konvensi Anti
Korupsi (UNCAC) 2003 yang mengatur juga bahwa pengembalian aset
dapat dilakukan melalui jalur pidana (aset recovery secara tidak langsung
melalui criminal recovery) dan jalur perdata (aset recovery secara
langsung melalui civil recovery). Secara teknis, UNCAC mengatur
pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi dapat melalui
pengembalian secara langsung dari proses pengadilan yang dilandaskan
kepada sistem ―negotiation plea” atau ―plea bargaining system” dan
melalui pengembalian secara tidak langsung yaitu dengan proses
penyitaan berdasarkan keputusan pengadilan.6
aset hasil tindak pidana. Sistem dan mekanisme yang ada mengenai
perampasan aset tindak pidana pada saat ini belum mampu mendukung
upaya penegakan hukum yang berkeadilan dan meningkatkan
kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.12 Selain itu juga menjadi
sebabnya adalah belum adanya kerja sama internasional yang memadai,
dan kurangnya pemahaman terhadap mekanisme perampasan aset hasil
tindak pidana oleh aparat penegak hukum, serta lamanya waktu yang
dibutuhkan sampai dengan aset hasil tindak pidana dapat disita oleh
negara, yaitu setelah mendapatkan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.13
Sebagai perwujudan dari keinginan parlemen untuk mendukung
upaya pengembalian aset, saat ini muncul wacana untuk melakukan
pengaturan mengenai perampasan aset hasil tindak pidana dalam
undangundang tersendiri. Usulan untuk membentuk undangundang
mengenai perampasan aset hasil tindak pidana terlihat dengan adanya
persetujuan untuk memasukkan Rancangan Undang-Undang tentang
Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana tersebut terdapat paradigma baru
terkait dengan mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana yang
mengacu pada beberapa konvensi internasional, khususnya UNCAC
yang di dalamnyamenggunakan mekanisme perampasan aset tanpa
pemidanaan. Hal ini tentu saja adalah berbeda dengan ketentuan
penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana yang dipraktekan di
Indonesia selama ini. Karena selama ini perampasan aset di dalam
sistem hukum Indonesia dapat dilakukan setelah proses penegakan
hukum memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan tetap. 14 Dalam
konteks ini maka perlu dikaji tentang urgensi dan mekanisme
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
8
I.2. Permasalahan
10
11
27
28
Terdapat dua jenis data dalam suatu penelitian yaitu data primer
dan data sekunder. Adapun untuk penelitian tentang ―Urgensi dan
Mekanisme Perampasan Aset Terpidana Korupsi Sebagai Upaya
Pengembalian Kerugian Negara‖ menggunakan sumber utama berupa
data sekunder atau bahan pustaka.60 Data sekunder yang dimaksud
meliputi bahan hukum. Adapun sumber bahan hukum dapat
diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:61
1. Bahan hukum primer (primary resource atau authooritative records),
berupa UUD 1945, Ketetapan MPR, peraturan perundang-
undangan dan peraturan pelaksanaanya;
2. Bahan hukum sekunder (secondary resource atau not authoritative
records), berupa bahan-bahan hukum yang dapat memebrikan
kejelasan terhadap bahan hukum primer, seperti literatur, hasil-hasil
penelitian, makalah-makalah dalam seminar, artikelartikel dan lain
sebagainya; dan
3. Bahan hukum tersier (tertiary resource), berupa bahan-bahan
hukum yang dapat memberi petunjuk dan kejelasan terhadap bahan
hukum primer maupun bahan hukum sekunder seperti berasal dari
kamus/leksikon, ensiklopedia dan sebagainya.
Melalui data dan bahan hukum di atas tim peneliti berupaya untuk
menemukan hukum inconcerto yang bertujuan untuk menemukan hukum
30
32
33
dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa pelaku telah
melakukan tindak pidana korupsi. Penetapan hakim atas perampasan ini
tidak dapat dimohonkan upaya hukum banding dan setiap orang yang
berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang
telah menjatuhkan penetapan tersebut dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal pengumuman. (Pasal 38 ayat (5), (6), (7) UU
Tipikor).
Peran dari penyitaan aset sangat penting dalam proses
pembayaran uang pengganti, yaitu untuk mengunci harta kekayaan
pelaku agar tidak dipindahtangankan sampai dengan putusan inkracht.
Melalui penerapan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti
dengan diperkuat penyitaan tersebut maka diharapkan mampu
memberikan deterent effect secara konkret, karena tidak akan ada lagi
terpidana yang masih dapat berfoyafoya menggunakan hasil korupsinya
di dalam penjara.73 Dalam konteks ini UU Tipikor mengatur secara relatif
lebih melengkapi aturan mengenai penyitaan dan perampasan hasil dan
instrumen tindak pidana korupsi.
terbalik dalam UU Tipikor ini dilakukan dalam proses perkara pidana dan
dikaitkan dengan proses pidana itu sendiri. Apabila terdakwa dibebaskan
atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok,
maka tuntutan perampasan harta benda harus ditolak oleh hakim (Pasal
37 B).
Adapun terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan
tetapi diduga berasal dari tindak pidana korupsi maka juga harus pula
dibuktikan sebaliknya. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan
bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan karena tindak pidana
korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana
korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta
benda tersebut dirampas untuk negara (Pasal 38 B ayat (1) dan (2) UU
Tipikor). Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala
tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta
benda tersebut harus ditolak oleh hakim (Pasal 38 B ayat (6) UU Tipikor).
Pada dasarnya pembuktian terbalik merupakan bentuk
penyimpangan dari pembuktian dalam KUHAP. Namun demikian,
pembuktian terbalik tersebut masih memiliki sifat terbatas dimana Jaksa
Penuntut Umum masih diwajibkan untuk melakukan pembuktian atas
dakwaan yang diajukannya (vide Pasal 37 A ayat (3) UU Tipikor). Jadi
undang-undang tidak semata-mata memberikan Terdakwa kesempatan
untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Perumusan pembuktian
terbalik dalam pembuktian tindak pidana korupsi ini sendiri telah
mengalami penyempurnaan dari rumusan semula, sehingga
menunjukkan sifat berimbang antara pembuktian yang dilakukan dengan
akibat hukum dari pembuktian bagi si Terdakwa itu sendiri.
Pada asasnya, ditinjau dari dimensi filosofis mengapa kebijakan
legislasi menerapkan adanya eksistensi pembalikan beban pembuktian
dalam tindak pidana korupsi disebabkan ada kesulitan dalam sistem
hukum pidana Indonesia untuk melakukan pembuktian terhadap
40
negara ini baru menjadi kewajiban terpidana bila segala harta benda
yang diperoleh dari korupsi tidak dirampas.80
Selanjutnya pengaturan tentang pengembalian kerugian keuangan
negara juga terdapat di dalam Peraturan Penguasa Militer No.
Prt/Perpu/013/1958 tanggal 16 April 1958 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Pidana Korupsi dan Penilikan
Harta Benda. Jika ditilik lebih jauh, ketentuan ini tidak berbeda jauh
dengan ketentuan sebelumnya yang ada di dalam Peraturan Penguasa
Militer No. Prt/PM/06/1957, tanggal 9 April 1957 tentang Pemberantasan
Korupsi. Pada perkembangan berikutnya lagi, pengembalian kerugian
keuangan negara diatur di dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 34 menyatakan
bahwa selain ketentuan-ketentuan pidana yang dimaksud dalam KUHP,
maka sebagai hukuman tambahan, salah satunya adalah uang pengganti
yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang
diperoleh dengan korupsi. Kemudian di dalam penjelasan pasal tersebut,
disebutkan bahwa apabila pembayaran uang pengganti tidak dipenuhi
oleh terdakwa, maka berlaku ketentuan-ketentuan mengenai
pelaksanaan hukum denda.81
Dalam rangka penyelamatan keuangan negara akibat tindak pidana
korupsi, jaksa penyidik sejak dimulainya penyidikan wajib melakukan
penyitaan terhadap harta benda tersangka, istri/ suami, anak dan setiap
orang atau badan yang mempunyai hubungan dengan perkara
tersangka. Penyitaan ini dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang
cermat dari kegiatankegiatan penyidikan yang dilakukan sebelumnya.
Lebih lanjut mengenai hal ini dalam Surat Edaran Jaksa Agung No. SE-
04/JA/8/1998 tentang Pelaksanaan Pidana Tambahan Pembayaran Uang
Pengganti menjelaskan, dalam rangka melaksanakan putusan hakim, jika
pembayaran uang pengganti belum mencukupi, jaksa eksekutor
melakukan penyitaan terhadap harta benda lainnya dari terpidana tanpa
46
telah meninggal dunia dan mewajibkan ahli waris untuk membayar uang
pengganti tersebut. Dalam hal ini pelaksanaan putusan pidana yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, menurut Pasal 270 KUHAP serta
Pasal 30 huruf b UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, dilakukan oleh Jaksa selaku eksekutor, dalam hal tersebut
pihak kejaksaan masih mengalami kesulitan karena uang pengganti
dibebankan kepada ahli waris. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
keberadaan pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang
pengganti bagi terpidana korupsi dinilai berjalan kurang efektif.87
Adapun masalah lain daripada dalam menerapkan pidana
pembayaran uang pengganti, yaitu dihadapi oleh Jaksa dalam hal
gugatan perdata. Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor mengatur bahwa dalam
hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur
tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata
telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera
menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa
Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Meskipun
sudah ada landasan yang demikian, akan tetapi Jaksa selaku pengacara
negara dalam melakukan penuntutan pertanggung-jawaban perdata
terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan ahli warisnya sering kali
terkendala oleh 2 (dua) faktor, antara lain: Pertama, Faktor yuridis tindak
pidana korupsi, yaitu tidak adanya surat kuasa dari negara c/q instansi
yang dirugikan kepada Jaksa pengacara negara karena kesulitan dalam
pembuktian, terpidana pelaku korupsi mempergunakan upaya hukum dan
grasi, dan jaksa penyidik tidak melakukan penyitaan terhadap harta
benda pelaku tindak pidana korupsi; dan Kedua, Faktor non yuridis tindak
pidana korupsi, terdiri dari : harta terpidana tidak mencukupi untuk
membayar uang pengganti kerugian negara, tidak tersedianya anggaran
52
Kendala kepada Jaksa lainnya yaitu dalam hal pelacakan aset hasil
tindak pidana korupsi. Fungsi asset tracing adalah melacak dan
mengidentifikasi harta kekayaan tersangka maupun pihak yang terkait
dalam tindak pidana korupsi, serta memberikan dukungan data kepada
penyidik dalam upaya penyiapan pembayaran uang pengganti. Hal ini
sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Tipikor bahwa
pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. kegiatan
pelacakan aset ini diarahkan untuk mendeteksi sejak awal (sejak tahap
penyidikan) seluruh harta kekayaan tersangka dan atau keluarga yang
mencurigakan dan tidak sesuai dengan profilnya yang diduga sebagai
hasil tindak pidana korupsi.91 Pelacakan aset adalah hal yang kompleks
karena merupakan hal yang tidak mudah untuk melacak apalagi untuk
memperoleh kembali aset tersebut sehingga Negara-negara berkembang
dimana grand corruption umumnya terjadi sangat merasakan kenyataan
tersebut sebagai kesulitan dalam upaya memperoleh kembali aset yang
dicuri dan disembunyikan pada sentra-sentra finansial dunia.92
Tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah nasional,
melainkan sudah menjadi fenomena transnasional.93 Kerja sama
internasional menjadi hal yang esensial dalam mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi, khususnya dalam upaya koruptor
menyembunyikan hasil korupsinya melalui pencucian uang dengan
menggunakan transfer-transfer internasional yang efektif. Tidak sedikit
aset publik yang berhasil dikorup telah dilarikan dan disimpan pada
sentra finansial di Negara-negara maju yang terlindungi oleh sistem
hukum yang berlaku di negara tersebut dan oleh jasa para profesional
yang dibawa oleh koruptor.94
Upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang berada
di luar negeri ini lebih sulit pelaksanaannya. Purwaning berpendapat
bahwa berdasarkan pada sudut pandang keadilan sosial Internasional,
54
suatu negara yang menampung aset negara lain dari hasil tindak pidana
korupsi merupakan tanggung jawab eksternal dalam melaksanakan
kedaulatan suatu negara untuk menjaga hubungannya dengan negara
lain.95
Terdapat beberapa kendala dalam melaksanakan upaya
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar
negeri. Kejaksaan sebagai lembaga yang diberi tugas dan kewenangan
untuk melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Kejaksaan
telah melaksanakan tugas dan kewenangannya perihal pengembalian
aset hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri dengan
menempuh beberapa upaya diantaranya dengan membentuk tim khusus
untuk melacak dan mengembalikan aset dan meningkatkan hubungan
diplomasi dengan beberapa negara yang sering menjadi tujuan
pemindahan aset. Upaya yang dilakukan menemui kendala, kendala-
kendala yang dimaksud adalah perbedaan sistem hukum, adanya pihak
ketiga yang menghambat proses pengembalian, dan lambannya proses
hukum di Indonesia.96
Kesulitan yang dialami oleh penyidik ialah bagaimana melacak aset
ini, karena korupsinya dilakukan tidak pada saat ini, tapi dalam waktu
yang telah lama artinya cukup memakan waktu. Hampir rata-rata, tidak
ada kasus korupsi yang kita tangani yang baru 1-2 tahun dilakukan.
Sehingga menimbulkan kesulitan lebih lanjut, karena aset itu sudah
berganti nama, di antaranya dilarikan ke luar negeri. Karena kesulitan-
kesulitan yang ditempuh, tepatnya pada Hari anti korupsi sedunia,
tanggal 9 Desember 2004, dicetuskan langkah-langkah mengamankan
aset yang sudah dikorupsi dan mengoptimalkan mencari terpidananya.
Selain itu Sistem hukum yang berbeda juga merupakan hambatan dalam
mengejar terpidana maupun aset hasil korupsi. Contoh: sulitnya
mengekstradisi Hendra Rahardja (terpidana korupsi) dan asetnya dari
55
Dalam hal pemilik, pihak yang menguasai aset, atau pihak ketiga tidak
hadir di persidangan atau menolak memberikan bukti, hakim
memutuskan aset tersebut dirampas untuk Negara atau dikembalikan
kepada yang berhak. 110
Pada dasarnya menyita dan merampas hasil dan instrumen tindak
pidana dari pelaku tindak pidana tidak saja memindahkan sejumlah harta
kekayaan dari pelaku kejahatan kepada masyarakat tetapi juga akan
memperbesar kemungkinan masyarakat untuk mewujudkan tujuan
bersama yaitu terbentuknya keadilan dan kesejahteraan bagi semua
anggota masyarakat. Hal ini yang pada akhirnya mendorong Pemerintah
Indonesia mengeluarkan kebijakan terkait upaya percepatan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Salah satu kebijakan yang
menjadi prioritas Pemerintah Indonesia adalah pembuatan instrumen
hukum yang mampu merampas seluruh harta kekayaan yang dihasilkan
dari suatu tindak pidana serta seluruh sarana yang memungkinkan
terlaksananya tindak pidana terutama tindak pidana bermotif ekonomi.
Penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana,
selain mengurangi atau menghilangkan motif ekonomi pelaku kejahatan
juga memungkinkan pengumpulan dana dalam jumlah yang besar yang
dapat digunakan untuk mencegah dan memberantas kejahatan. Secara
keseluruhan, hal tersebut akan menekan tingkat kejahatan di Indonesia.
Pendekatan untuk menekan tingkat kejahatan melalui penyitaan dan
perampasan hasil dan instrumen tindak pidana sejalan dengan prinsip
peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan.111
dibahas dalam rapat pimpinan (rapim) DPR. Namun menurut Dasco, saat
ini pimpinan DPR masih berkoordinasi dengan Sekretariat Jenderal DPR
mengenai jadwal dan materi yang akan dibahas dalam rapim.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan ”Kami akan
lakukan sesuai mekanisme. Saat ini kami lagi koordinasikan dengan
pihak Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR seberapa banyak bahan yang
kami harus rapim-kan. Kalau memang harus rapim, berarti kami akan
rapim langsung,” ujar Dasco.
RUU Perampasan Aset baru bisa dibahas setelah surpres
dibacakan di hadapan rapat paripurna yang dilanjutkan dengan
pembahasan di rapat Badan Musyawarah (Bamus) atau rapat konsultasi
pengganti Bamus. Dalam rapat yang diikuti pimpinan DPR dan pimpinan
fraksi-fraksi itu akan diputuskan alat kelengkapan DPR yang ditunjuk
untuk membahas RUU Perampasan Aset bersama pemerintah.
Ditemui secara terpisah, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto
mengatakan, sampai saat ini beleid RUU Perampasan Aset masih
berada di meja pimpinan DPR. Meski dokumen tersebut sudah
diserahkan oleh pemerintah ke DPR pada awal Mei, tidak bisa langsung
segera dibawa ke rapim dan bamus karena harus mengikuti jadwal yang
sudah ditentukan sebelumnya.
RUU ini, kata Bambang, memang harus dikawal hingga ditetapkan
menjadi undang-undang. Oleh karena itu, pembahasan harus dilakukan
secara terbuka dan melibatkan publik.
selama lebih dari 10 tahun. RUU Perampasan Aset sudah dua kali masuk
dalam daftar Prolegnas Prioritas 2008 dan 2014, tetapi gagal dibahas.
Suasana saat Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang juga
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam)
Mahfud MD memberikan keterangan pers seusai memimpin rapat
pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset di
Kemenkopolhukam, Jakarta, Jumat (14/3/2023).
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia Boyamin Saiman
mengatakan, pengesahan RUU Perampasan Aset penting untuk
memberikan dampak hukum lain, terutama bagi para pelaku korupsi.
Sebab, selama ini, ketentuan yang berlaku di Indonesia belum dapat
memberikan efek jera secara maksimal terhadap pelaku korupsi dan
kejahatan ekonomi lainnya.
BAB V
PENUTUP
V.1. Kesimpulan
69
70
V.2. Saran
72
73
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bebas dariKorupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.