Anda di halaman 1dari 79

COVER

MAKALAH HARTA BENDA KORUPTOR DAN


PENGEMBALIANNYA KEPADA NEGARA

Mata Kuliah : Pendidikan Budaya Anti Korupsi (PBAK)


Dosen : Bapak H. Ujang Permana, S.Sos.,M.Si

Disusun oleh:
KELOMPOK IX
Muhamad HusniThamrin NIP : 22142012023
Moh Fauzi Rizal NIP : 22142012022
Tita Hardyanti NIP : 22142012038

FAKULTAS ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


KELAS NONREGULER
UNIVERSITAS YPIB MAJALENGKA
2022/2023

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikumWr. Wb.
Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah mata kuliah Pendidikan
Budaya Anti Korupsi (PBAK) untuk memenuhi tugas judul “MAKALAH HARTA
BENDA KORUPTOR DAN PENGEMBALIANNYA KEPADA NEGARA” dengan
lancer.
Penyusunan laporan ini tidak lain dengan adanya bantuan dari berbagai
pihak, oleh karena itu saya mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak H. Ujang Permana, S.Sos.,M.Si selaku dosen pengampu mata kuliah
Pendidikan Budaya Anti Korupsi (PBAK).
2. Orang tua, keluarga dan teman-teman yang senantiasa memberikan
dukungan dan dorongan kepada saya.
3. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan makalah ini.

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan berkah, rahmat, dan


perlindungan-Nya atas semua budi luhur dan nama baik dari semua pihak
tersebut diatas, akhirnya penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah
ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan
kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca.

Wassalamu’alaikumWr. Wb.

Subang, 15 Oktober 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER...................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR..................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
1.1. Latar Belakang.........................................................................................1
1.2. Permasalahan..........................................................................................8
1.3. Tujuan Penelitian......................................................................................8
1.4. Kegunaan Penelitian................................................................................9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI.........................................10
2.1. Tinjauan Pustaka....................................................................................10
2.1.1. Tindak Pidana Korupsi.....................................................................10
2.1.2. Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi....................................................12
2.1.3. Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi............................14

2.2. Landasan Teori...................................................................................... 17


2.2.1. Teori Negara Hukum........................................................................17
2.2.2. Teori Kebijakan Hukum Pidana........................................................20
2.2.3. Teori Asset Recovery.......................................................................23

BAB III METODE PENELITIAN...............................................................................27


3.1. Jenis Penelitian......................................................................................27
3.2. Pendekatan Penelitian............................................................................27
3.3. Data Penelitian.......................................................................................29
3.4. Analisis Data.......................................................................................... 30
BAB IV HASIL PEMBAHASAN...............................................................................32
4.1. Pengaturan Mengenai Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi
Dalam Hukum Positif..............................................................................32
4.2. Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi......................................35
4.3. Pembuktian Terbalik Dalam Rangka Optimalisasi Pengembalian Aset
Hasil Tindak Pidana Korupsi..................................................................38

iii
iv

4.4. Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Melalui Gugatan


Perdata.................................................................................................. 40
4.5. Pidana Pembayaran Uang Pengganti Dalam Rangka Pengembalian Aset
Hasil Tindak Pidana Korupsi..................................................................43
4.6. Kendala Dalam Pelaksanaan Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana
Korupsi...................................................................................................47
4.7. Urgensi dan Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi
Dalam Ius Constituendum......................................................................55
4.8. RUU Perampasan Aset Masih Menggantung..........................................64
4.9. Seumlah Pasal penting dalam RUU Perampasan Aset...........................66
BAB V PENUTUP................................................................................................... 69
5.1. Kesimpulan.............................................................................................69
5.2. Saran......................................................................................................71
BAB VI DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 72

iv
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang merajalela di tanah air selama


ini tidak saja merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara,
tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat, menghambat pertumbuhan dan kelangsungan
pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Tipikor tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa, tetapi telah
menjadi kejahatan luar biasa.1 Metode konvensional yang selama ini
digunakan terbukti tidak bisa menyelesaikan persoalan korupsi yang ada
di masyarakat, maka penanganannya pun juga harus menggunakan
cara-cara luar biasa.2
Mengingat bahwa salah satu unsur Tipikor di dalam Pasal 2 dan
Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)
adalah adanya unsur kerugian keuangan negara, unsur tersebut memberi
konsekuensi bahwa pemberantasan Tipikor tidak hanya bertujuan untuk
membuat jera para Koruptor melalui penjatuhan pidana penjara yang
berat, melainkan juga memulihkan keuangan negara akibat korupsi
sebagaimana ditegaskan dalam konsideran dan penjelasan umum UU
Tipikor.3 Kegagalan pengembalian aset hasil korupsi dapat mengurangi
‗makna‘ penghukuman terhadap para koruptor.4
Pada dasarnya pengembalian aset adalah sistem penegakan
hukum yang dilakukan oleh negara korban Tipikor untuk mencabut,
merampas, menghilangkan hak atas aset hasil Tipikor dari pelaku Tipikor
melalui rangkaian proses dan mekanisme baik secara pidana dan

1
2

perdata. Aset hasil Tipikor baik yang ada di dalam maupun di Luar Negeri
dilacak, dibekukan, dirampas, disita, diserahkan dan dikembalikan
kepada negara yang diakibatkan oleh Tipikor dan untuk mencegah
pelaku Tipikor menggunakan aset hasil Tipikor sebagai alat atau sarana
tindak pidana lainnya dan memberikan efek jera bagi pelaku/calon
pelaku.5
UU Tipikor mengatur mekanisme atau prosedur yang dapat
diterapkan dapat berupa pengembalian aset melalui jalur pidana, dan
pengembalian aset melalui jalur perdata. Di samping UU Tipikor,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi Konvensi Anti
Korupsi (UNCAC) 2003 yang mengatur juga bahwa pengembalian aset
dapat dilakukan melalui jalur pidana (aset recovery secara tidak langsung
melalui criminal recovery) dan jalur perdata (aset recovery secara
langsung melalui civil recovery). Secara teknis, UNCAC mengatur
pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi dapat melalui
pengembalian secara langsung dari proses pengadilan yang dilandaskan
kepada sistem ―negotiation plea” atau ―plea bargaining system” dan
melalui pengembalian secara tidak langsung yaitu dengan proses
penyitaan berdasarkan keputusan pengadilan.6

Pengembalian aset Tipikor melalui jalur perdata terdapat pada


ketentuan-ketentuan pada Pasal 32 ayat (1), Pasal 34, Pasal 38B ayat
(2) dan (3) UU Tipikor. Pertama, Ketentuan Pasal 32 ayat (1) mengatur
bahwa dalam hal penyidik berpendapat tidak terdapat cukup bukti pada
satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi sedangkan secara nyata telah
ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan
berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara
Negara. Jaksa Pengacara Negara berdasarkan berkas yang diserahkan
oleh penyidik melakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada
instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatannya. Kedua,
3

penguatan pengembalian kerugian negara dilakukan dengan mewajibkan


pelaku untuk membuktikan harta benda miliknya yang belum
didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Pada
kondisi dimana terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda
yang diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi maka hakim atas
dasar kewenangannya dapat memutus seluruh atau sebagian harta
benda tersebut dirampas untuk negara. Ketiga tuntutan perampasan
harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh
penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara
pokok.
Pengajuan gugatan perdata dinilai seperti senjata yang sangat
ampuh untuk langsung menyerang para pelaku tindak pidana dalam
upaya pengembalian asetaset hasil tindak pidana korupsi selain
mendapatkan hukuman pidana. Hal tersebut harus dilaksanakan apabila
aset yang disebutkan dalam putusan sebelumnya ditemukan lagi adanya
aset lain yang belum teridentifikasi sebagai hasil tindak pidana korupsi. 7
Gugatan perdata dalam rangka perampasan aset hasil tipikor, memiliki
karakter yang spesifik, yaitu hanya dapat dilakukan ketika upaya pidana
tidak lagi memungkinkan untuk digunakan dalam upaya pengembalian
kerugian negara pada kas negara. Keadaan dimana pidana tidak dapat
digunakan lagi antara lain tidak ditemukan cukup bukti; meninggal
dunianya tersangka, terdakwa, terpidana; terdakwa diputus bebas;
adanya dugaan bahwa terdapat hasil korupsi yang belum dirampas untuk
negara walaupun putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap.
Dengan adanya pengaturan gugatan perdata untuk perampasan aset
dalam Undang-Undang Tipikor dalam Pasal 32, 33, 34, 38C, Undang-
Undang Tipikor dapat disimpulkan bahwa tanpa adanya pengaturan
tersebut maka perampasan aset hasil tipikor dengan menggunakan
mekanisme perdata tidak dapat dilakukan.8
4

Pengembalian aset dari jalur kepidanaan dilakukan melalui proses


persidangan dimana hakim di samping menjatuhkan pidana pokok juga
dapat menjatuhkan pidana tambahan. Menurut Lilik Mulyadi, apabila
diperinci maka pidana tambahan dapat dijatuhkan hakim dalam
kapasitasnya yang berkorelasi dengan pengembalian aset melalui
prosedur pidana ini dapat berupa:9
1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud
atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik
terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga
dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut. (Pasal 18
ayat (1) huruf a UU Tipikor);
2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya
sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam
waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa
dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal
terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar
uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi
ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan
ketentuan dalam UU ini lamanya pidana tersebut sudah ditentukan
dalam putusan pengadilan. (Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2), (3)
UU Tipikor);
3. Pidana denda dimana aspek ini dalam UU Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi mempergunakan perumusan sanksi pidana
(strafsoort) bersifat kumulatif (pidana penjara dan atau pidana
denda), kumulatif-alternatif (pidana penjara dan/atau pidana denda)
5

dan perumusan lamanya sanksi pidana (strafmaat) bersifat


determinate sentence dan indifinite sentence;

4. Penetapan perampasan barang-barang yang telah disita dalam hal


terdakwa meninggal dunia (peradilan in absentia) sebelum putusan
dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa pelaku telah
melakukan tindak pidana korupsi. Penetapan hakim atas
perampasan ini tidak dapat dimohonkan upaya hukum banding dan
setiap yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada
pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan tersebut dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman.
(Pasal 38 ayat (5), (6), (7) UU Tipikor);
5. Putusan perampasan harta benda untuk negara dalam hal terdakwa
tidak dapat membuktikan bahwa harta benda tersebut diperoleh
bukan karena tindak pidana korupsi yang dituntut oleh Penuntut
Umum pada saat membacakan tuntutan dalam perkara pokok.
(Pasal 38B ayat (2), (3) UU Tipikor).

Pada prakteknya tindakan perampasan yang dilakukan berdasarkan


putusan peradilan pidana itu dapat menemui beberapa kendala bahkan
penghentian dalam rangka tindakan perampasan tersebut. Perkara
tersebut diantaranya :10
1. Pelaku kejahatan melakukan pelarian (buronan). Pengadilan pidana
tidak dapat dilakukan jika si tersangka adalah buron atau dalam
pengejaran;
2. Pelaku kejahatan telah meninggal dunia atau meninggal sebelum
dinyatakan bersalah. Kematian menghentikan proses sistem
peradilan pidana yang berlangsung;
3. Pelaku kejahatan memiliki kekebalan hukum (immune);
6

4. Pelaku kejahatan memiliki kekuatan dan kekuasaan sehingga


pengadilan pidana tidak dapat melakukan pengadilan terhadapnya;
5. Si pelaku kejahatan tidak diketahui akan tetapi aset hasil
kejahatannya diketahui/ditemukan;
6. Aset kejahatan dikuasai oleh pihak ketiga yang dalam kedudukan
secara hukum pihak ketiga tidak bersalah dan bukan pelaku atau
tidak terkait dengan kejahatan utamanya;
7. Tidak adanya bukti yang cukup untuk diajukan dalam pengadilan
pidana.

Setelah berlakunya UU Tipikor selama 17 tahun, telah banyak


pelaku Tipikor yang diajukan ke persidangan dan memperoleh putusan
dari pengadilan. Berdasarkan Laporan Kinerja Mahkamah Agung
mencatat pemulihan aset negara sepanjang tahun 2016 sebesar Rp.1,5
Triliun diantaranya berasal dari 356 perkara korupsi, berupa uang
pengganti sebesar Rp.647.373.468.339,- (enam ratus empat puluh tujuh
miliar tiga ratus tujuh puluh tiga juta empat ratus enam puluh delapan ribu
tiga ratus tiga puluh sembilan rupiah) dan denda senilai
Rp.75.956.400.000,- (tujuh puluh lima miliar sembilan ratus lima puluh
enam juta empat ratus ribu rupiah), jika dibandingkan dengan kerugian
keuangan yang diderita negara sepanjang tahun 2015 akibat Tindak
Pidana Korupsi adalah sebesar Rp.31.077.000.000.000,- (tiga puluh satu
triliun tujuh puluh tujuh miliyar rupiah), sebagaimana disampaikan oleh
Indonesia Corruption Watch (ICW)11 maka sesungguhnya perampasan
aset hasil Tipikor dalam rangka pengembalian kerugian keuangan negara
tidak cukup berhasil.
Aparat penegak hukum sangat sulit untuk melakukan perampasan
aset hasil tindak pidana yang telah dikuasai oleh pelaku tindak pidana.
Kesulitan yang ditemui dalam upaya perampasan aset hasil tindak pidana
sangat banyak, seperti kurangnya instrumen dalam upaya perampasan
7

aset hasil tindak pidana. Sistem dan mekanisme yang ada mengenai
perampasan aset tindak pidana pada saat ini belum mampu mendukung
upaya penegakan hukum yang berkeadilan dan meningkatkan
kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.12 Selain itu juga menjadi
sebabnya adalah belum adanya kerja sama internasional yang memadai,
dan kurangnya pemahaman terhadap mekanisme perampasan aset hasil
tindak pidana oleh aparat penegak hukum, serta lamanya waktu yang
dibutuhkan sampai dengan aset hasil tindak pidana dapat disita oleh
negara, yaitu setelah mendapatkan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.13
Sebagai perwujudan dari keinginan parlemen untuk mendukung
upaya pengembalian aset, saat ini muncul wacana untuk melakukan
pengaturan mengenai perampasan aset hasil tindak pidana dalam
undangundang tersendiri. Usulan untuk membentuk undangundang
mengenai perampasan aset hasil tindak pidana terlihat dengan adanya
persetujuan untuk memasukkan Rancangan Undang-Undang tentang
Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana tersebut terdapat paradigma baru
terkait dengan mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana yang
mengacu pada beberapa konvensi internasional, khususnya UNCAC
yang di dalamnyamenggunakan mekanisme perampasan aset tanpa
pemidanaan. Hal ini tentu saja adalah berbeda dengan ketentuan
penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana yang dipraktekan di
Indonesia selama ini. Karena selama ini perampasan aset di dalam
sistem hukum Indonesia dapat dilakukan setelah proses penegakan
hukum memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan tetap. 14 Dalam
konteks ini maka perlu dikaji tentang urgensi dan mekanisme
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
8

I.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang penelitian tentang ―Urgensi dan


Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi‖ tersebut
maka ada tiga permasalahan dalam pengkajian ini, sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan mengenai pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi dalam hukum positif?
2. Bagaimanakah kendala dalam pelaksanaan pengembalian aset
hasil tindak pidana korupsi selama ini?
3. Bagaimanakah urgensi dan mekanisme pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi dalam ius constituendum?

I.3. Tujuan Penelitian

Atas perumusan beberapa masalah sebagaimana tersebut di atas


maka tujuan penelitian tentang ―Urgensi dan Mekanisme Pengembalian
Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi‖, diantaranya:
1. Untuk mengetahui, menganalisis dan menjawab masalah tentang
pengaturan mengenai
2. pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam hukum positif;
3. Untuk mengetahui, menganalisis dan menjawab masalah kendala
dalam pelaksanaan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi
selama ini; dan Untuk mengetahui, menganalisis dan menjawab
masalah tentang urgensi dan mekanisme pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi dalam ius constituendum.
9

I.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian tentang ―Urgensi dan Mekanisme Pengembalian Aset


Hasil Tindak Pidana Korupsi‖ ini memiliki dua aspek kegunaan yaitu
secara teoritis dan praktis.
Secara teoritis, penelitian ini berguna bagi kalangan akademisi
dalam hal pengembangan ilmu hukum pidana khususnya yang terkait
dengan perampasan aset terpidana korupsi sebagai upaya pengembalian
kerugian negara.
Adapun secara praktis, penelitian ini dapat digunakan sebagai
tambahan referensi bagi para penegak hukum maupun para hakim pada
peradilan Tipikor, baik pada tingkat pertama, banding dan Mahkamah
Agung RI.
Selain itu juga dapat dimanfaatkan sebagai referensi bagi Dewan
Perwakilan Rakyat dalam menyusun dan membahas Rancangan
Undang-Undang tentang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

II.1. Tinjauan Pustaka

II.1.1. Tindak Pidana Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio‖ atau corruptus‖,


yang kemudian muncul dalam banyak bahasa Eropa, Inggris,
Prancis corruption‖ bahasa Belanda corruptie‖ yang kemudian
muncul pula dalam bahasa Indonesia korupsi‖.15 Di Indonesia, kita
menyebut korupsi dalam satu tarikan nafas sebagai KKN‖ (korupsi,
kolusi, nepotisme). Korupsi‖ selama ini mengacu kepada berbagai
tindakan gelap dan tidak sah‖ (illicit or illegal activities) untuk
mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Definisi ini
kemudian berkembang sehingga pengertian korupsi menekankan
pada ―penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk
keuntungan pribadi‖.16
Philip mengidentifikasi tiga pengertian luas yang paling sering
digunakan dalam berbagai pembahasan tentang korupsi:17
1. Korupsi yang berpusat pada kantor publik (public Office
centered corruption). Philip mendefinisikan korupsi sebagai
tingkah laku dan tindakan pejabat publik yang menyimpang
dari tugas-tugas publik formal. Tujuannya untuk
mendapatkan keuntungan pribadi, atau orang-orang tertentu
yang berkaitan erat dengannya seperti keluarga, kerabat dan
teman. Pengertian ini juga mencakup kolusi dan nepotisme:

10
11

pemberian patronase karena alasan hubungan kekeluargaan


(ascriptive), bukan merit.
2. Korupsi yang berpusat pada dampaknya terhadap
kepentingan umum (public interest-centered). Dalam
kerangka ini, korupsi sudah terjadi ketika pemegang
kekuasaan atau fungsionaris pada kedudukan publik,
melakukan tindakan-tindakan tertentu dari orangorang
dengan imbalan (apakah uang atau materi lain). Akibatnya,
tindakan itu merusak kedudukannya dan kepentingan publik.
3. Korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) yang
berdasarkan analisa korupsi menggunakan teori pilihan
publik dan sosial, dan pendekatan ekonomi dalam kerangka
analisa politik. Menurut pengertian ini, individu atau kelompok
menggunakan korupsi sebagai ―lembaga‖ ekstra legal untuk
mempengaruhi kebijakan dan tindakan birokrasi. Hanya
individu dan kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan
keputusan yang lebih mungkin melakukan korupsi daripada
pihak-pihak lain.

Menurut ACFE, korupsi terbagi ke dalam pertentangan


kepentingan (conflict of interest), suap (bribery), pemberian ilegal
(illegal gratuity), dan pemerasan (economic extortion). Pengertian
korupsi ini tentu saja berbeda dengan pengertian korupsi yang
terkandung dalam UU Tipikor. Dalam bahasa hukum positif
tersebut, pengertian korupsi secara umum, adalah perbuatan yang
diancam dengan ketentuan pasal-pasal UU Tipikor. Misalnya salah
satu pasal, korupsi terjadi apabila memenuhi tiga kriteria yang
merupakan syarat bahwa seseorang bisa dijerat dengan undang-
undang korupsi, ketiga syarat tersebut adalah: 1) melawan hukum;
2) memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi; 3)
12

merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Dengan


kriteria tersebut maka orang yang dapat dijerat dengan undang-
undang korupsi, bukan hanya pejabat Negara saja melainkan
pihak swasta yang ikut terlibat dan badan usaha/korporasi pun
dapat dijerat dengan ketentuan UU Tipikor.18
Pengertian korupsi dapat diperluas dengan perbuatan
pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang karena
jabatannya menerima sesuatu (gratifikasi) dari pihak ketiga,
sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf B ayat (1) UU Tipikor
dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Definisi secara
lengkap, telah dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU Tipikor.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam
tiga puluh bentuk atau jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal
tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang
bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi. Ketiga puluh
bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat
dikelompokkan menjadi: Kerugian keuangan Negara; Suap
menyuap; Penggelapan dalam jabatan; Pemerasan; Perbuatan
curang; Benturan kepentingan dalam pengadaan; dan Gratifikasi.19

II.1.2. Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi

Kata aset‖ berasal dari bahasa Inggris, yaitu asset, yang


berarti 1) mutable person or quality, 2) thing owned, esp property,
that can be sold to pay I debt. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, aset adalah, 1) sesuatu yang mempunyai nilai tukar
modal. Kata aset‖ dalam bahasa Indonesia sinonim dengan kata
modal, kekayaan‖. Menurut Black‘s Law Dictionary, asset‖ berarti
13

1) An item that is owned and has value. 2. (pl.) The entries of


property owned, including cash, inventory, real estate, accounts
receivable, and goodwill. 3. (pl.). All the property of a person (esp.
A bankrupt or defeased person) available for paying debts‖.20
Pada dasarnya lingkup pengertian aset diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) pasal 499 yang
dinamakan kebendaan, yaitu tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak,
yang dapat dikuasai oleh hak milik. Kebendaan menurut
bentuknya, dibedakan menjadi benda bertubuh dan tak bertubuh.
Sedangkan menurut sifatnya, benda dibedakan menjadi benda
bergerak yaitu yang dihabiskan dan tidak dapat dihabiskan, serta
benda tidak bergerak. Hal ini sesuai dengan pengertian harta
kekayaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang, yaitu Harta kekayaan adalah semua benda
bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun
yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun
tidak langsung.‖21
Aset hasil kejahatan biasanya diartikan sebagai setiap harta
kekayaan, baik yang berwujud atau tidak berwujud, baik benda
bergerak maupun tidak bergerak, yang merupakan hasil tindak
pidana, atau diperoleh dari hasil tindak pidana, atau sebagai
bentuk keuntungan dari suatu tindak pidana. Lebih jauh dari itu,
harta kekayaan yang dapat dirampas tidak hanya terbatas pada
sesuatu yang diperoleh atau suatu bentuk keuntungan yang
diperoleh dari suatu tindak pidana. Harta kekayaan yang
digunakan untuk membiayai (sebagai modal), atau sebagai alat,
sarana, atau prasarana, bahkan setiap harta kekayaan yang terkait
dengan tindak pidana atau seluruh harta kekayaan milik pelaku
tindak pidana juga dapat dirampas, sesuai dengan jenis tindak
14

pidana yang terkait dengan harta kekayaan tersebut. Dengan


demikian, pelaku tindak pidana atau setiap orang yang terlibat atau
yang ingin melibatkan diri dalam suatu kejahatan atau organisasi
kejahatan akan menyadari bahwa selain kemungkinan keuntungan
yang akan mereka peroleh, ternyata mereka juga berhadapan
dengan besarnya risiko kehilangan harta kekayaan mereka.22

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan


dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
menggunakan istilah hasil tindak pidana‖ untuk mendeskripsikan
aset yang diperoleh dari tindak pidana maupun aset yang terkait
dengan tindak pidana, meskipun istilah yang lebih tepat adalah
aset tindak pidana‖. Penggunaan istilah hasil tindak pidana‖
sebenarnya terkesan membatasi ruang lingkup dari aset yang
terkait dengan tindak pidana‖, karena sebenarnya asset yang
terkait dengan tindak pidana itu mempunyai makna yang lebih luas
dari sekedar hasil tindak pidana.23 Dalam konteks yang sama, juga
dapat diberlakukan pengertian yang demikian terhadap aset hasil
tindak pidana korupsi.

II.1.3. Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi

Pengembalian aset yang diperoleh dari tindak pidana korupsi


menurut Purwaning juga dilandaskan atas prinsip-prinsip keadilan
sosial sehingga institusi negara dan institusi hukum mendapat
tugas dan tanggung jawab menjamin terwujudnya kesejahteraan
bagi setiap individuindividu atau masyarakat. Atas dasar itu, dalam
konteks tindak pidana korupsi yang menghilangkan kemampuan
negara untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya maka
15

negara wajib menuntut pemulihan atas kekayaan yang diambil


secara melawan hak.24
Fleming dalam bukunya Asset Recovery and Its Impact on
Criminal Behavior, An Economic Taxonomy: Draft for Comments,
melihat pengembalian aset sebagai: pertama, pengembalian aset
sebagai proses pencabutan, perampasan, penghilangan; kedua,
yang dicabut, dirampas, dihilangkan adalah hasil atau keuntungan
dari tindak pidana; ketiga, salah satu tujuan pencabutan,
perampasan, penghilangan adalah agar pelaku tindak pidana tidak
dapat menggunakan hasil serta keuntungankeuntungan dari tindak
pidana sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana
lainnya.25
Pengembalian aset menurut Paku Utama adalah sistem
penegakan hukum yang dilakukan oleh negara korban (victim
state) tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas,
menghilangkan hak atas aset hasil tindak pidana korupsi dari
pelaku tindak pidana korupsi melalui rangkaian proses dan
mekanisme. Baik secara pidana maupun perdata, aset yang
berada di dalam maupun disimpan di luar negeri, yang dilacak,
dibekukan, dirampas, disita, dan dikembalikan kepada negara
korban hasil tindak pidana korupsi, sehingga dapat
mengembalikan kerugian keuangan akibat tindak pidana korupsi.
Juga termasuk untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan/
atau calon pelaku tindak pidana korupsi.26
Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-013/A/JA/06/2014
menggunakan nomenklatur istilah Pemulihan Aset yang berarti
yaitu proses yang meliputi penelusuran, pengamanan,
pemeliharaan, perampasan, pengembalian, dan pelepasan aset
tindak pidana atau barang milik Negara yang dikuasai pihak lain
16

kepada korban atau yang berhak pada setiap tahap penegakan


hukum. Pemulihan aset yang dimaksudkan dalam

Peraturan Jaksa Agung ini dilakukan terhadap:


1. Aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari
tindak pidana termasuk yang telah dihibahkan atau
dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain,
atau korporasi baik berupa modal, pendapatan maupun
keuntungan ekonomi lainnya yang diperoleh dari kekayaan
tersebut atau aset yang diduga kuat digunakan atau telah
digunakan untuk melakukan tindak pidana;
2. Barang temuan;
3. Aset Negara yang dikuasai pihak yang tidak berhak;
4. Aset-Aset lain sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan termasuk yang pada hakikatnya merupakan
kompensasi kepada korban dan/atau kepada yang berhak.
Sangat disadari bahwa dalam strategi pemberantasan
korupsi, upaya pemidanaan bukan merupakan satu-satunya jalan
efektif, tetapi perlu disusun strategi yang lebih progresif. Pidana
penjara yang merupakan jenis pidana pokok yang paling popular di
antara pidana pokok lainnya (berdasarkan Pasal 10 KUHP)
memang dapat memberi pembalasan kepada para terpidana atas
tindak pidana korupsi yang terbukti dilakukannya. Akan tetapi,
pidana penjara tidak selalu menyelesaikan masalah, malah dapat
menimbulkan masalah seperti over capacity, ketidakjeraan
koruptor, dan kerugian negara tidak kunjung terselesaikan. Konsep
tujuan pemidanaan yang berkembang selama ini dianggap
memiliki berbagai kelemahan terutama karena dianggap sama
sekali tidak memberikan keuntungan apapun bagi korban dan
masyarakat.27
17

Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi telah


menempati posisi penting dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Artinya, keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi
tidak hanya diukur berdasarkan keberhasilan memidana pelaku
tindak pidana korupsi, namun juga ditentukan oleh tingkat
keberhasilan mengembalikan aset negara yang telah dikorupsi.
Tindakan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi
sebagai upaya meminimalisasi kerugian negara yang disebabkan
oleh tindak pidana korupsi merupakan upaya yang tidak kalah
penting dibanding pemberantasan tindak pidana korupsi dengan
vonis seberat-beratnya bagi pelaku.
Langkah untuk meminimalkan kerugian negara tersebut di
samping harus dilakukan sejak awal penanganan perkara juga
mutlak dilakukan melalui kerja sama dengan berbagai lembaga
negara.28

II.2. Landasan Teori

II.2.1. Teori Negara Hukum

Indonesia telah mendasarkan dirinya sebagai Negara hukum.


Sebagaimana yang tercantum pada Pasal 1 ayat (3) Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menyebutkan, “Negara
Indonesia adalah Negara Hukum”.
Dalam kepustakaan Indonesia istilah rechtsstaat dan the rule
of law sering diterjemahkan dengan negara hukum. Secara historis
kedua istilah rechtsstaat dan the rule of law lahir dari sistem
hukum yang berbeda.
18

Istilah rechtsstaat mulai populer di Eropa sejak abad XIX,


meskipun pemikiran tentang itu sudah lama ada. 29 Sedangkan
istilah rule of the law mulai populer dengan terbitnya sebuah buku
dari Albert Van Diceytahun 1885, dengan judul Introduction to the
Study of the Law of the Constitution.30 Paham rechtsstaat lahir dari
suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya
revolusioner dan bertumpu pada Civil law system dengan
karakteristik administratif. Sebaliknya paham the rule of law
berkembang secara evolusioner dan bertumpu pada Common law
sistem dengan karakteristik judisial.31 Perbedaan karakteristik
tersebut disebabkan karena pada zaman Romawi, kekuasaan
yang menonjol dari raja adalah membuat peraturan melalui dekrit.
Kekuasaan itu kemudian didelegasikan kepada pejabatpejabat
administratif sehingga pejabat-pejabat administratif yang membuat
pengarahan-pengarahantertulis bagi hakim tentang bagaimana
memutus suatu sengketa.
Sebaliknya di Inggris kekuasaan utama dari Raja adalah
memutus perkara. Peradilan oleh Raja kemudian berkembang
menjadi suatu sistem peradilan sehingga hakim-hakim peradilan
adalah delegasi dari raja, akan tetapi bukan melaksanakan
kehendak Raja.
Walaupun demikian, perbedaan keduanya dalam
perkembangan selanjutnya tidak dipersoalkan lagi karena
mengarah pada tujuan yang sama, yaitu perlindungan terhadap
hak asasi manusia.32
Pada konsep negara hukum secara umum, diidealkan bahwa
yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan
kenegaraan adalah hukum.33
19

Karena hukum pada dasarnya sangat berkaitan dengan


sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan dan
merupakan dasar utama berdirinya suatu negara.
Hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi hukum)
dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum
antara negara dan masyarakat atau antar anggota masyarakat
yang satu dengan yang lain.34
Hakikat negara hukum adalah menjunjung tinggi sistem
hukum yang menjamin kepastian hukum (rechts zekerheids) dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia (human rights).
Suatu negara yang berdasarkan atas hukum harus
menjamin persamaan (equality) setiap individu, termasuk
kemerdekaan individu untuk menggunakan hak asasinya Hal ini
merupakan conditio sine quanon, mengingat bahwa negara hukum
lahir sebagai hasil perjuangan individu untuk melepaskan dirinya
dari keterikatan serta tindakan sewenang-wenang penguasa. Atas
dasar itulah, penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang
terhadap individu dan kekuasaannya pun harus dibatasi.35
Sri Soemantri Martosoewignjo menyebutkan empat unsur
Negara hukum yaitu: Pertama, pemerintah dalam melaksanakan
tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau
peraturan perundang-undangan; Kedua, adanya jaminan terhadap
hak-hak asasi manusia (warga negara); Ketiga, adanya
pembagian kekuasaan dalam negara; dan Keempat, adanya
pengawasan dari badanbadan peradilan (rechtsterlijke controle).36
Adapun Bagir Manan tentang ciri suatu negara berdasarkan atas
hukum, yaitu:37
1. Semua tindakan harus berdasarkan atas hukum;
2. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak
lainnya;
20

3. Ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan


penguasa terhadap masyarakat (badan peradilan yang
bebas);
4. Ada pembagian kekuasaan.

II.2.2. Teori Kebijakan Hukum Pidana

Tidaklah sah dan bertentangan dengan esensi negara


hukum, bilamana terdapat suatu kejahatan yang tidak ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan pengaturannya (khususnya
pemidanaannya) tetapi dilakukan penghukuman terhadapnya.
Pada asasnya, menjatuhkan pidana secara
sewenangwenang atau berlebihan merupakan suatu kekejian
terhadap hak asasi manusia38 dan sangat bertentangan dengan
nilai negara hukum. Ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu
tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan
pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu daripada
perbuatan itu.39 Olehnya diperlukan terlebih dahulu penetapan
proses kriminalisasi yang mengandung pertimbangan politik
hukum berupa kebijakan hukum pidana.
Termasuk dalam hal penanggulangan korupsi, kebijakan atau
upaya penanggulangannya melalui hukum pidana sangat strategis.
Pada dasarnya penanggulangan kejahatan korupsi melalu
kebijakan hukum pidana merupakan bagian integral dari upaya
perlindungan masyarakat (sosial defence) dan upaya mencapai
kesejahteraan masyarakat (sosial welfare). Dapat dikatakan,
bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah
―perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat‖.40 Wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum
pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik
21

sosial (sosial policy). Kebijakan sosial (sosial policy) dapat


diartikan sebagai usaha yang rasional untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan
masyarakat. Jadi di dalam pengertian ―sosial policy‖ sekaligus
tercakup di dalamnya ―sosial welfare‖ dan ―sosial defence
policy‖.41

Ditinjau dari sudut politik hukum, menjalankan politik hukum


pidana juga mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil
perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti
42
memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Selain itu usaha
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada
hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum
(khususnya penegakan hukum pidana). Sering pula dikatakan,
bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian
pula dari kebijakan penegakkan hukum (law enforcement policy).
A. Mulder berpendapat bahwa politik hukum pidana
(strafrechtpolitiek) adalah garis kebijakan untuk menentukan yaitu:
1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku
perlu diubah atau diperbaharui;
2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak
pidana; dan
3. Bagaimana cara penyidikan, penuntutan, peradilan dan
pelaksanaan pidana harus dilaksanakan43.
Dalam perspektif kebijakan, penggunaan hukum pidana
sebagai sarana penanggulangan kejahatan bukan suatu
keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan, karena
pada hakikatnya, dalam memilih sebuah kebijakan orang
dihadapkan pada berbagai macam alternatif. 44 Namun apabila
hukum pidana dipilih sebagai sarana penanggulangan kejahatan,
22

maka kebijakan penal harus dibuat secara terencana dan


sistematis ini berarti bahwa memilih dan menetapkan hukum
pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan harus
memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung
berfungsinya dan bekerjanya hukum pidana dalam
kenyataannya.45

Masalah kebijakan kriminal menurut Sudarto46 harus


memperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:
1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan
pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil
dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan
Pancasila. Dalam hal ini penggunaan hukum pidana
bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan
pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri,
demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau
ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan
perbuatan yang tidak dikehendaki‖, yaitu perbuatan yang
mendatangkan kerugian (material dan/atau spiritual) atas
warga masyarakat;
3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan
prinsip biaya dan hasil‖ (costbenefit principle). Untuk itu perlu
diperhitungkan antara besarnya biaya yang dikeluarkan
dengan hasil yang diharapkan akan dicapai;
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan
kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan
penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban
tugas (over blasting).
23

II.2.3. Teori Asset Recovery

Perspektif kebijakan kriminal menegaskan bahwa dalam hal


penanggulangan kejahatan, sangat penting untuk
mempertimbangkan hal utama terkait perbaikan dampak dari
kejahatan serta bentuk pencegahan yang efektif dan ekonomis.
Termasuk dalam hal penanggulangan Tipikor, pertimbangan
kebijakan berkaitan pemulihan dampak kejahatan berupa
pengembalian kerugian Negara harus diakselerasikan dalam
proses kriminalisasi. Merupakan tugas dan Tanggung jawab
negara untuk mewujudkan keadilan sosial dipandang dari sudut
teori keadilan sosial, memberikan justifikasi moral bagi negara
untuk melakukan upaya-upaya pengembalian aset hasil Tipikor.47
Cita-cita pemberantasan korupsi yang terkandung dalam
peraturan perundang-undangan, untuk saat ini setidaknya memuat
tiga isu utama, yaitu pencegahan, pemberantasan dan
pengembalian aset hasil korupsi (asset recovery). Amanat undang-
undang itu bermakna, pemberantasan korupsi tidak hanya terletak
pada upaya pencegahan maupun pemidanaan para koruptor saja,
tetapi juga meliputi pengembalian aset Tipikor. Tetapi, jika
kegagalan terjadi dalam pengembalian aset hasil Tipikor, maka
dapat mengurangi rasa jera terhadap para koruptor. 48 Dalam
konteks ini Romli Atmasasmita mengemukakan tindak pidana
korupsi sebagai kejahatan terhadap kesejahteraan bangsa dan
negara yang ditandai dengan hilangnya aset hasil Tipikor
merupakan bagian penting dan strategis dalam upaya
pemberantasan Tipikor.49
Upaya pengembalian aset negara ‗yang dicuri‘ (stolen asset
recovery) melalui Tipikor cenderung tidak mudah untuk dilakukan.
Para pelaku Tipikor memiliki akses yang luar biasa luas dan sulit
dijangkau dalam menyembunyikan maupun melakukan pencucian
24

uang (money laundering) hasil tindak pidana korupsinya.


Permasalahan menjadi semakin sulit untuk upaya recovery
dikarenakan tempat penyembunyian (safe heaven) hasil kejahatan
tersebut yang melampaui lintas batas wilayah negara dimana
Tipikor itu sendiri dilakukan. Bagi negara-
negara berkembang untuk menembus pelbagai
permasalahan pengembalian aset yang menyentuh ketentuan-
ketentuan hukum negara-negara besar akan terasa teramat sulit,
apalagi negara berkembang tersebut tidak memiliki hubungan
kerja sama yang baik dengan negara tempat aset curian
disimpan.50
Brenda Grantland menjelaskan bahwa perampasan aset
(asset forfeiture) adalah suatu proses dimana pemerintah secara
permanen mengambil properti dari pemilik tanpa membayar
kompensasi yang adil, sebagai hukuman untuk pelanggaran yang
dilakukan oleh properti atau pemilik. Dari definisi tersebut dapat
dilihat bahwa perampasan aset merupakan suatu perbuatan
permanen yang berbeda dengan penyitaan yang merupakan
perbuatan sementara, karena barang yang disita akan ditentukan
dalam putusan apakah akan dikembalikan pada yang berhak,
dirampas atau untuk negara dimusnahkan atau akan digunakan
bagi pembuktian perkara lain.51
Terminologi perampasan dalam KUHAP dikenal dengan kata
―rampas‖ yang diatur dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP bahwa
dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti
yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima
kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali
jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus
dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau
25

dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi. Menurut Marjono


Reksodiputro bahwa konsep hukum (Legal concept) perampasan
aset menurut hukum pidana Indonesia adalah tindakan
perampasan bentuk sanksi pidana tambahan yang dapat
dijatuhkan oleh hakim, bersama-sama dengan pidana pokok.52
Peraturan Jaksa Agung (PERJA) Nomor 013/A/JA/06/2014
tentang Pedoman Pemulihan Aset, menyatakan bahwa
perampasan adalah tindakan paksa yang dilakukan oleh negara
untuk memisahkan hak atas aset berdasarkan putusan
pengadilan, sedangkan penyitaan aset para pelaku korupsi
merupakan langkah antisipatif yang bertujuan untuk
menyelamatkan atau mencegah larinya harta kekayaan. Harta
kekayaan inilah yang kelak oleh pengadilan, apakah harus diambil
sebagai upaya untuk pengembalian kerugian keuangan negara
atau sebagai pidana tambahan berupa merampas hasil kejahatan.
Sehingga proses penyitaan adalah suatu upaya paksa yang
menjadi bagian dari tahap penyidikan, berkekuatan hukum tetap
(in kracht).
Terdapat dua jenis perampasan aset dalam kaitannya
dengan upaya pengembalian aset yang berasal dari tindak pidana,
yaitu perampasan aset dengan mekanisme hukum perdata (inrem)
dan perampasan aset secara pidana yang mendasar dalam hal
prosedur dan penerapannya dalam melakukan perampasan aset
yang merupakan hasil dari suatu tindak pidana. Kedua jenis
perampasan aset tersebut mempunyai dua tujuan yang sama,
pertama: mereka yang melakukan pelanggaran hukum tidak
diperbolehkan untuk mendapatkan keuntungan dari pelanggaran
hukum yang ia lakukan. Hasil dan instrumen dari suatu tindak
pidana harus dirampas dan digunakan untuk korban (negara atau
subjek hukum). Kedua, pencegahan pelanggaran hukum dengan
26

cara menghilangkan keuntungan ekonomi dari kejahatan dan


mencegah perilaku jahat.
BAB III
METODE PENELITIAN

III.1. Jenis Penelitian

Pada dasarnya, penelitian hukum terbagi dalam beberapa jenis


berdasarkan fokus penelitiannya diantaranya yaitu penelitian hukum
normatif, penelitian hukum normatif-empiris, dan penelitian hukum
empiris.53 Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian tentang
―Urgensi dan Mekanisme Perampasan Aset Terpidana Korupsi Sebagai
Upaya Pengembalian Kerugian Negara‖ ini adalah metode penelitian
hukum normatif.
Penelitian hukum normatif (normative law research) menggunakan
studi kasus hukum normatif berupa produk perilaku hukum, misalnya
mengkaji rancangan undang-undang. Pokok kajiannya adalah hukum
yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam
masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang.
Penelitian hukum normatif berfokus pada inventarisasi hukum
positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara in
konreto, sistematika hukum, taraf sinkronisasi, perbandingan hukum, dan
sejarah hukum.54

III.2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan adalah keseluruhan unsur yang dipahami untuk


mendekati suatu bidang ilmu dan memahami pengetahuan yang teratur,
bulat, mencari sasaran yang ditelaah oleh ilmu tersebut.55 Setiap

27
28

permasalahan yang ada mempunyai cara pendekatan masalah yang


berbeda-beda. Pada umumnya dalam penelitian hukum terdapat
beberapa pendekatan. Macammacam pendekatan yang digunakan di
dalam penelitian hukum diantaranya: (a). Pendekatan undang-undang
(statute approach); (b). Pendekatan kasus (case approach); (c).
Pendekatan historis (historical approach); (d). Pendekatan komparatif
(comparative approach); dan (e). Pendekatan konseptual (conseptual
approach).56
Sesuai dengan permasalahan penelitian yang ada maka digunakan
beberapa pendekatan masalah yaitu pendekatan perundang-undangan
(statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan
perundang-undangan (statute approach) digunakan dalam mengkaji
hierarki dan asas-asas untuk menjawab rumusan masalah pertama dan
ketiga. Pendekatan kasus (case approach) dimaksudkan untuk
menelusuri ratio legis dan dasar ontologis lahirnya peraturan perundang-
undangan.57 Dengan mempelajari ratio legis dan dasar ontologis suatu
undang-undang, maka peneliti akan mampu menangkap kandungan
filosofis yang ada di belakang undang-undang itu. Atas pemahaman dari
kandungan filosofis yang ada di belakang undang-undang itu, maka
peneliti akan dapat menyimpulkan mengenai ada tidaknya benturan
filosofis antara undang-undang dengan isi yang dihadapi.58
Adapun pendekatan kasus digunakan untuk menjawab
permasalahan kedua dalam penelitian ini yaitu terkait eksistensi dan
dinamika perkembangan hukum perampasan aset terpidana Tipikor
dalam hukum positif di Indonesia. Pendekatan Kasus (case approach)
digunakan dalam rencana penelitian ini adalah dengan menganalisis
putusan-putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
(inkracht van gewijsde) yang substansinya, baik secara langsung
maupun tidak langsung, menyangkut dan terkait dengan hukum
perampasan aset terpidana Tipikor. Melalui dokumen berupa putusan
29

pengadilan tersebut dapat ditemukan apakah hakim benar-benar


berperan sebagai corong undang-undang dan mengikatkan diri secara
teguh pada tata prosedural formal. Ataukah di dalamnya dapat ditemukan
juga adanya terobosan hukum, inisiatif baru dari hakim yang bertujuan
untuk dapat lebih memberi akses keadilan kepada para pihak.59

III.3. Data Penelitian

Terdapat dua jenis data dalam suatu penelitian yaitu data primer
dan data sekunder. Adapun untuk penelitian tentang ―Urgensi dan
Mekanisme Perampasan Aset Terpidana Korupsi Sebagai Upaya
Pengembalian Kerugian Negara‖ menggunakan sumber utama berupa
data sekunder atau bahan pustaka.60 Data sekunder yang dimaksud
meliputi bahan hukum. Adapun sumber bahan hukum dapat
diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:61
1. Bahan hukum primer (primary resource atau authooritative records),
berupa UUD 1945, Ketetapan MPR, peraturan perundang-
undangan dan peraturan pelaksanaanya;
2. Bahan hukum sekunder (secondary resource atau not authoritative
records), berupa bahan-bahan hukum yang dapat memebrikan
kejelasan terhadap bahan hukum primer, seperti literatur, hasil-hasil
penelitian, makalah-makalah dalam seminar, artikelartikel dan lain
sebagainya; dan
3. Bahan hukum tersier (tertiary resource), berupa bahan-bahan
hukum yang dapat memberi petunjuk dan kejelasan terhadap bahan
hukum primer maupun bahan hukum sekunder seperti berasal dari
kamus/leksikon, ensiklopedia dan sebagainya.

Melalui data dan bahan hukum di atas tim peneliti berupaya untuk
menemukan hukum inconcerto yang bertujuan untuk menemukan hukum
30

yang sesuai dan yang diterapkan di dalam suatu permasalahan tertentu, 62


terutama yang berkaitan dengan hukum pengembalian aset terpidana
Tipikor. Untuk menambahkan dan melengkapi data sekunder dibutuhkan
instrumen penelitian berupa wawancara dengan responden yang telah
ditentukan sesuai dengan keperluan dan tujuan penelitian, berdasarkan
kewenangan, pengetahuan, pengalaman dan pemahaman terhadap
permasalahan penelitian. Para responden terdiri dari para Hakim Agung
pada Mahkamah Agung, Hakim pada Pengadilan Tingkat Banding dan
Hakim pada Pengadilan Negeri di wilayah Jakarta, Bandung dan
Surabaya serta melibatkan juga para ahli di bidang hukum pidana
(akademisi) pada Fakultas Hukum Universitas di sekitar wilayah
penelitian.

III.4. Analisis Data

Analisis data merupakan upaya untuk menjelaskan dan memaknai


data, dengan menggunakan alat bantu berupa teori. Pada dasarnya
analisis data adalah pertama, kegiatan melakukan klasifikasi/kategorisasi
data berdasarkan tema-tema yang muncul dari catatan lapangan dan
temuan penelitian. Kedua, kegiatan melakukan konfirmasi antara teori
dan data.63
Secara teknis, beberapa bahan-bahan hukum dari berbagai
peraturan perundang-undangan dan konsep hukum serta hasil
wawancara yang relevan dengan penelitian ini akan dianalisis. Analisis
dilakukan dengan menelaah dasar ontologis dan ratio legis dari
ketentuan perundang-undangan untuk dapat memahami kandungan
filosofis yang menjiwai undang-undang yang terkait dan penafsiran hakim
dalam pemidanaan pencucian uang pada setiap putusan pengadilan
yang telah dikaji.
31

Penarikan kesimpulan dari hasil analisis pembahasan yang sudah


terkumpul dilakukan dengan metode analisis kualitatif-normatif, yaitu
dengan cara melakukan penafsiran, korelasi, dan perbandingan terhadap
bahan-bahan hukum dan perbandingan konstruksi hukum yang relevan
dengan kajian ini. Kemudian penarikan kesimpulan dari hasil penelitian
yang sudah terkumpul dilakukan dengan metode analisis normatif-
kualitatif64 dan disajikan secara deskriptif.
BAB IV
HASIL PEMBAHASAN

IV.1. Pengaturan Mengenai Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana


Korupsi Dalam Hukum Positif

Penegakan hukum melalui pengungkapan tindak pidana,


menemukan pelaku, serta memasukkan pelakunya ke dalam penjara
(follow the suspect) semata belum efektif dalam menekan terjadinya
kejahatan jika tidak dibarengi dengan upaya menyita dan merampas hasil
dan instrumen tindak pidana.65 Keadaan tersebut semakin menemukan
kebenarannya jika dihubungkan dengan kejahatan yang bermodus
ekonomi seperti korupsi. Dalam tindak pidana korupsi keuntungan
materiil merupakan salah satu karakteristik tindak pidananya. Hal itu
secara gamblang terlihat dari rumusan-rumusan pasal dalam
UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seperti
memperkaya, menguntungkan, menerima pemberian, menggelapkan
uang atau surat berharga serta beberapa terminologi lain yang
menunjukkan karakteristik modus ekonominya.66 Oleh karenanya,
penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi juga harus berfokus
pada sisi keuntungan ekonomi sehingga dapat memulihkan kerugian
yang dialami negara akibat korupsi.
Upaya menyita dan merampas hasil serta instrumen tindak pidana
yang khususnya dalam tindak pidana korupsi sebelumnya sudah
diinisiasi dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Antara lain
dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor:
PRT.PEPERPU/013/1958 Tentang Pengusutan, Penuntuan, dan
Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda yang

32
33

mengatur bahwa terdapat kekuasaan bagi pemilik harta benda untuk


menyita harta benda seseorang atau suatu badan apabila setelah
mengadakan penyelidikan yang seksama berdasarkan keadaan tertentu
dan bukti-bukti lainnya memperoleh dugaan yang kuat, bahwa harta
benda itu termasuk dalam harta yang dapat disita dan dirampas.67
Selain itu, pengaturan yang mendasarinya juga termuat dalam
Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 24 Tahun 1960
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi. Dalam perppu tersebut mengatur bahwa segala harta benda
yang diperoleh dari korupsi di rampas, dan terdakwa dapat juga
diwajibkan membayar uang pengganti yang jumlahnya sama dengan
harta benda yang diperoleh dari korupsi. Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga menjadi
salah satu dasar untuk melakukan perampasan aset atas seseorang
yang meninggal dunia, sebelum atas perkaranya ada putusan yang tidak
dapat diubah lagi telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim
atas tuntutan Penuntut Umum memutus perampasan atas barang-barang
yang telah disita melalui putusan pengadilan.68
Berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 merupakan
hukum positif sebagai landasan dalam upaya pemberantasan tindak
pidana korupsi di Indonesia. Undang-Undang ini telah mencakup pula
ketentuan-ketentuan terkait upaya pemulihan aset atas kerugian negara
akibat tindak pidana korupsi. Diantara upaya yang termuat dalam
pengaturan tersebut selain melalui penyitaan dan perampasan juga
terdapat ketentuan pembalikan beban pembuktian terhadap kekayaan
pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.69
Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam hukum positif
adalah sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara sebagai
korban tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas,
34

menghilangkan hak atas aset hasil tindak pidana korupsi melalui


rangkaian proses dan mekanisme, baik secara pidana dan perdata, aset
hasil tindak pidana korupsi, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri
dilacak, dibekukan, dirampas, disita, diserahkan dan dikembalikan
kepada negara sebagai korban tindak pidana korupsi, sehingga dapat
mengembalikan kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak
pidana korupsi, dan untuk mencegah pelaku tindak pidana korupsi
menggunakan aset hasil tindak pidana korupsi sebagai alat atau sarana
untuk melakukan tindak pidana lainnya dan memberikan efek jera bagi
pelaku dan/atau calon pelaku tindak pidana korupsi. 70 Pengembalian
aset-aset atau dapat dikatakan dengan pengembalian keuangan negara
dari hasil tindak pidana korupsi menarik untuk dicermati.
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, dijelaskan bahwa
pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak akan
menghapuskan pidana pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Meskipun begitu dalam Penjelasan Pasal 4
disebutkan bahwa pengembalian keuangan atau perekonomian negara
merupakan salah satu faktor yang meringankan pidana yang dapat
dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi. Namun pertanyaan yang
timbul adalah bagaimana proses pelaksanaan atau penegakan hukum
terhadap asset recovery tersebut. Terdapat beberapa bentuk langkah
penegakan hukum pidana yang bisa diarahkan untuk tujuan dan dalam
rangka mengembalikan aset atau harta kekayaan yang berasal dari
tindak pidana korupsi. Di antara langkah tersebut yaitu melalui
perampasan, pembuktian terbalik, gugatan perdata, dan penerapan
pidana pembayaran uang pengganti. Langkah-langkah tersebut dapat
diuraikan secara rinci sebagai berikut:
35

IV.2. Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi

Ketentuan mengenai Perampasan Aset sudah lama dikenal dalam


peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia.
Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor: PRT/PEPERPU/013/1958
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi
dan Pemilikan Harta Benda, yang merupakan ketentuan yang pertama
kali menggunakan istilah korupsi, terdapat pengaturan yang memberikan
kekuasaan kepada pemilik harta benda untuk menyita harta benda
seseorang atau suatu badan apabila setelah mengadakan penyelidikan
yang seksama berdasarkan keadaan tertentu dan buktibukti lainnya
memperoleh dugaan yang kuat, bahwa harta benda itu termasuk dalam
harta yang dapat disita dan dirampas.71
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun
1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi mengatur segala harta benda yang diperoleh dari korupsi
dirampas, dan terdakwa dapat juga diwajibkan membayar uang
pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari
korupsi. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, memberikan kewenangan kepada Hakim untuk
melakukan perampasan aset atas seorang yang meninggal dunia,
sebelum atas perkaranya ada putusan yang tidak dapat diubah lagi, telah
melakukan suatu tindak pidana korupsi, maka Hakim atas tuntutan
Penuntut Umum, dengan putusan Pengadilan dapat memutuskan
perampasan barang-barang yang telah disita.72
Pada dasarnya mengenai penyitaan telah diatur dalam KUHAP.
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih
dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau
tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan
36

pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan (Pasal 1 angka


16). Selain dalam rangka dijadikan alat operasionalisasi penyidikan dan
penuntutan serta peradilan, penyitaan dalam konteks pengembalian aset
tindak pidana merupakan bagian terpenting di awal proses penegakan
hukum pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebagaimana diketahui
begitu lihainya modus operandi korupsi yang dengan mudah
menyembunyikan asetasetnya dari tindak pidana korupsi. Jika penegak
hukum tidak secara cepat menyita maka ada kemungkinan aset tersebut
dilarikan ke suatu tempat atau bahkan dialihkan kepemilikannya kepada
pihak lain.
Tindakan penyitaan ini merupakan salah satu upaya paksa (dwang
middelen) yang dimiliki oleh Penyidik. Sebagai bagian dari upaya paksa,
maka keberadaannya sangat sensitif dan berpotensi disalahgunakan
atau berlebihan dalam penggunaannya sehingga menyebabkan
terganggunya hak asasi dari Tersangka atau Terdakwa. Oleh karenanya
KUHAP menentukan bahwa penyitaan hanya dilakukan oleh penyidik
dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat (Pasal 38 ayat (1).
Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana Penyidik
harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin
terlebih dahulu maka Penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas
benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua
Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuannya (Pasal 38
ayat (2)).
KUHAP merinci benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan
diantaranya yaitu: Pertama, benda atau tagihan tersangka atau terdakwa
yang seluruh atau sebagai diduga diperoleh dari tindak pidana atau
sebagian hasil dari tindak pidana; Kedua, benda yang telah dipergunakan
secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk
mempersiapkannya; Ketiga, benda yang dipergunakan untuk
menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana; Keempat, benda yang
37

khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; dan Kelima,


benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana
yang dilakukan. Adapun benda-benda yang berada dalam sitaan karena
perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan
penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana sepanjang
memenuhi kelima prasyarat yang ada tersebut (Pasal 39)
Benda-benda yang dikenakan penyitaan tersebut, dikembalikan
kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau
kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila: Pertama,
kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi; Kedua,
perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata
tidak merupakan tindak pidana; dan Ketiga, perkara tersebut
dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup
demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana
atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
selanjutnya apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan
penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut
dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu
dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan
sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau, jika benda tersebut masih
diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain (Pasal 46 KUHAP).
Namun, jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang bukti
yang dirampas untuk negara (selain pengecualian sebagaimana diatur
dalam Pasal 46), Jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor
lelang negara untuk dijual lelang, hasilnya dimasukkan ke kas negara
untuk dan atas nama Jaksa. (Pasal 273 ayat (3) KUHAP).
Pada perkembangannya, khusus tindak pidana korupsi yang
memiliki tambahan pengaturan terkait penyitaan yaitu dalam hal
penetapan perampasan barangbarang yang telah disita dalam hal
terdakwa meninggal dunia (peradilan in absentia) sebelum putusan
38

dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa pelaku telah
melakukan tindak pidana korupsi. Penetapan hakim atas perampasan ini
tidak dapat dimohonkan upaya hukum banding dan setiap orang yang
berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang
telah menjatuhkan penetapan tersebut dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal pengumuman. (Pasal 38 ayat (5), (6), (7) UU
Tipikor).
Peran dari penyitaan aset sangat penting dalam proses
pembayaran uang pengganti, yaitu untuk mengunci harta kekayaan
pelaku agar tidak dipindahtangankan sampai dengan putusan inkracht.
Melalui penerapan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti
dengan diperkuat penyitaan tersebut maka diharapkan mampu
memberikan deterent effect secara konkret, karena tidak akan ada lagi
terpidana yang masih dapat berfoyafoya menggunakan hasil korupsinya
di dalam penjara.73 Dalam konteks ini UU Tipikor mengatur secara relatif
lebih melengkapi aturan mengenai penyitaan dan perampasan hasil dan
instrumen tindak pidana korupsi.

IV.3. Pembuktian Terbalik Dalam Rangka Optimalisasi Pengembalian


Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi

Dihubungkan dengan upaya optimalisasi pengembalian aset hasil


tindak pidana korupsi, UU Tipikor memiliki instrumen pembuktian terbalik.
Pada dasarnya UU Tipikor telah mengatur ketentuan mengenai
pembalikan beban pembuktian terhadap perolehan harta kekayaan.
Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang
tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan
kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk
memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan
tindak pidana korupsi (Pasal 37 (4)). Ketentuan pembebanan bukti
39

terbalik dalam UU Tipikor ini dilakukan dalam proses perkara pidana dan
dikaitkan dengan proses pidana itu sendiri. Apabila terdakwa dibebaskan
atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok,
maka tuntutan perampasan harta benda harus ditolak oleh hakim (Pasal
37 B).
Adapun terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan
tetapi diduga berasal dari tindak pidana korupsi maka juga harus pula
dibuktikan sebaliknya. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan
bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan karena tindak pidana
korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana
korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta
benda tersebut dirampas untuk negara (Pasal 38 B ayat (1) dan (2) UU
Tipikor). Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala
tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta
benda tersebut harus ditolak oleh hakim (Pasal 38 B ayat (6) UU Tipikor).
Pada dasarnya pembuktian terbalik merupakan bentuk
penyimpangan dari pembuktian dalam KUHAP. Namun demikian,
pembuktian terbalik tersebut masih memiliki sifat terbatas dimana Jaksa
Penuntut Umum masih diwajibkan untuk melakukan pembuktian atas
dakwaan yang diajukannya (vide Pasal 37 A ayat (3) UU Tipikor). Jadi
undang-undang tidak semata-mata memberikan Terdakwa kesempatan
untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Perumusan pembuktian
terbalik dalam pembuktian tindak pidana korupsi ini sendiri telah
mengalami penyempurnaan dari rumusan semula, sehingga
menunjukkan sifat berimbang antara pembuktian yang dilakukan dengan
akibat hukum dari pembuktian bagi si Terdakwa itu sendiri.
Pada asasnya, ditinjau dari dimensi filosofis mengapa kebijakan
legislasi menerapkan adanya eksistensi pembalikan beban pembuktian
dalam tindak pidana korupsi disebabkan ada kesulitan dalam sistem
hukum pidana Indonesia untuk melakukan pembuktian terhadap
40

perampasan harta kekayaan pelaku (offender) apabila dilakukan dengan


menggunakan teori pembuktian negatif. Akibatnya, diperlukan ada aspek
yuridis luar biasa dan perangkat hukum luar biasa pula berupa sistem
pembalikan beban pembuktian sehingga tetap menjunjung tinggi asas
praduga tidak bersalah dengan tetap memperhatikan hak asasi
manusia.74

IV.4. Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Melalui Gugatan


Perdata

Pada dasarnya, penegakan tindak pidana korupsi melalui hukum


keperdataan lazim dilaksanakan di Italia, Irlandia dan Amerika Serikat
melalui penyitaan (confiscation) terhadap tindak pidana yang dilakukan
oleh pelaku. Dimensi ini secara tegas dikatakan Oliver Stolpe bahwa:
―Countries such as Italy, Ireland and the United States provide, under
varying contitions, for the possibility of civil or preventive confiscation of
assets suspected to be derived from certain criminal activity. Unlike
confiscation in criminal proceedings, such forfeiture laws do not require
proof of illicit origin “beyond reasonable doublt”. Instead, the consider
proof on a balance of pribabilities or demand a high probability of illicit
origin combined the inability of the owner to prove the contrary‖.75
Berkaitan dengan tindak pidana korupsi, UU Tipikor menentukan
bahwa dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu
atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti,
sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka
penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut
kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau
diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan
(Pasal 32 ayat (1)). Konstruksi ketentuan pasal ini banyak menimbulkan
problematika. Salah satu yang esensial adalah tidak jelasnya status dari
41

orang yang digugat perdata tersebut apakah sebagai pelaku, tersangka


atau terdakwa.76
Apabila mengikuti alur polarisasi pemikiran pembentuk Undang-
Undang maka berkas hasil penyidikan yang diserahkan kepada Jaksa
Pengacara Negara untuk digugat perdata adalah selain bagian inti delik
telah adanya kerugian keuangan negara yang telah terbukti maka
walaupun bagian inti delik lainnya ataupun putusan bebas walaupun tidak
terbukti tetap dapat dilakukan gugatan perdata. Selintas ketentuan pasal
tersebut mudah dilakukan akan tetapi pada prakteknya banyak
mengandung kompleksitas. Tegasnya, yang paling elementer apabila
dilakukan gugatan perdata tentu berdasarkan adanya perbuatan
melawan hukum dari tergugat, akan tetapi kompleksitasnya dapatkah
negara melalui Jaksa Pengacara Negara membuktikan tentang adanya
kerugian negara tersebut berdasarkan alat-alat bukti sebagaimana
ketentuan Pasal 164 HIR, 284 RBg dan Pasal 1866 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (KUHP).77
UU Tipikor mengatur bahwa apabila setelah putusan pengadilan
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta
benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari
tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara
(sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2)), maka negara dapat
melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya
(Pasal 38 C). Dasar pemikiran ketentuan dalam Pasal ini adalah untuk
memenuhi rasa keadilan masyarakat terhadap pelaku tindak pidana
korupsi yang menyembunyikan harta benda yang diduga atau patut
diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Harta benda tersebut diketahui
setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam
hal tersebut, negara memiliki hak untuk melakukan gugatan perdata
kepada terpidana dan atau ahli warisnya terhadap harta benda yang
diperoleh sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan tetap, baik
42

putusan tersebut didasarkan pada Undang-undang sebelum berlakunya


Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi atau setelah berlakunya Undang-undang tersebut. Untuk
melakukan gugatan tersebut negara dapat menunjuk kuasanya untuk
mewakili negara.
Ditegaskan dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004, Pasal 30
ayat (1) yaitu bahwa di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan
wewenang: a). melakukan penuntutan, b). Melaksanakan penetapan
hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, c). melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat,
d). Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang, e). Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu
dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke
pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan
penyidik. Lebih lanjut dalam Pasal 30 ayat (2) sudah jelas tertera tugas
dan wewenang lain selain dalam bidang pidana yaitu tugas dan
wewenang Kejaksaan dalam bidang perdata dan tata usaha negara.
Jaksa pengacara negara dalam pengembalian keuangan dan atau aset
negara hasil tindak pidana korupsi maupun atas dasar kerugian
keperdataan merupakan kegiatan jaksa dalam bidang bantuan hukum
yang diperuntukkan kepada instansi pemerintah atau lembaga negara,
BUMN/BUMD dalam kedudukan selaku penggugat. Jaksa mewakili
pemerintah/BUMN/BUMD menggugat pihak lain baik swasta maupun
masyarakat yang berkaitan dengan perdata, pendapatan/kekayaan
negara/daerah atau pemulihan hak-hak demi kesejahteraan rakyat.78
Penggunaan instrumen perdata oleh Jaksa Pengacara Negara
dalam pengembalian kerugian keuangan Negara mengakibatkan
prosedur pengembalian aset sepenuhnya tunduk kepada ketentuan
hukum perdata yang berlaku, baik materiil maupun formil. Hubungan
43

antara aset-aset dengan seseorang, apakah ia pelaku atau bukan pelaku


tindak pidana, diatur dalam hukum kebendaan yang masuk dalam
wilayah hukum perdata. Dengan meletakkan tanggung jawab perdata
kepada pelaku tindak pidana korupsi dan ahli warisnya diharapkan
kerugian keuangan negara yang terjadi akibat perbuatan tersebut dapat
dikembalikan seutuhnya dan sekaligus merupakan shok therapy bagi
calon–calon koruptor lainnya karena jika koruptor tersebut meninggal
dunia sebelum ia sempat melunasi dan mengembalikan uang negara
yang dikorupsinya maka pelunasannya masih dapat dituntut kepada ahli
warisnya.79

IV.5. Pidana Pembayaran Uang Pengganti Dalam Rangka Pengembalian


Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi

Selain mengatur pidana denda sebagai bagian dari upaya


penghukuman dan menjerakan pelaku tindak pidana korupsi, UU Tipikor
mengatur pula pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti
yang memiliki tujuan untuk memulihkan kerugian keuangan Negara yang
diakibatkan oleh adanya tindak pidana korupsi. Pasal 17 UU Tipikor
menyatakan bahwa ―selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, 3, 5 s/d Pasal 14. Terdakwa dapat dijatuhi
pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18‖. Selanjutnya
Pasal 18, menyebutkan bahwa:
1. Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam KUHP,
sebagai pidana tambahan adalah: (a). Perampasan barang
bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak
bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak
pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang
menggantikan barang-barang tersebut. (b). Pembayaran uang
pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta
44

benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. (c). Penutup


seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)
tahun. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang
telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
2. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu)
bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh
Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
3. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi
untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang
lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya
sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini lamanya pidana
tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Sesungguhnya jauh sebelum UU Tipikor (UU Nomor 31 Tahun 1999


Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001). Dasar hukum pengembalian keuangan
negara pertama kali diatur di dalam Peraturan Penguasa Militer No.
Prt/PM/06/1957, tanggal 9 April 1957 tentang Pemberantasan Korupsi.
Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa: Barang siapa melakukan korupsi
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun,
segala harta benda yang diperoleh dari korupsi itu dirampas atau
diwajibkan membayar uang pengganti sejumlah sama dengan harga
harta benda yang diperoleh dari korupsi‖. Dari pasal ini dapat diketahui
bahwa, undang-undang ini menggunakan asumsi bahwa hasil yang
dikorupsi adalah sebanding dengan segala harga benda yang diperoleh
dari korupsi, sehingga jumlah uang pengganti sama dengan segala harta
benda yang diperoleh dari korupsi. Pengembalian kerugian keuangan
45

negara ini baru menjadi kewajiban terpidana bila segala harta benda
yang diperoleh dari korupsi tidak dirampas.80
Selanjutnya pengaturan tentang pengembalian kerugian keuangan
negara juga terdapat di dalam Peraturan Penguasa Militer No.
Prt/Perpu/013/1958 tanggal 16 April 1958 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Pidana Korupsi dan Penilikan
Harta Benda. Jika ditilik lebih jauh, ketentuan ini tidak berbeda jauh
dengan ketentuan sebelumnya yang ada di dalam Peraturan Penguasa
Militer No. Prt/PM/06/1957, tanggal 9 April 1957 tentang Pemberantasan
Korupsi. Pada perkembangan berikutnya lagi, pengembalian kerugian
keuangan negara diatur di dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 34 menyatakan
bahwa selain ketentuan-ketentuan pidana yang dimaksud dalam KUHP,
maka sebagai hukuman tambahan, salah satunya adalah uang pengganti
yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang
diperoleh dengan korupsi. Kemudian di dalam penjelasan pasal tersebut,
disebutkan bahwa apabila pembayaran uang pengganti tidak dipenuhi
oleh terdakwa, maka berlaku ketentuan-ketentuan mengenai
pelaksanaan hukum denda.81
Dalam rangka penyelamatan keuangan negara akibat tindak pidana
korupsi, jaksa penyidik sejak dimulainya penyidikan wajib melakukan
penyitaan terhadap harta benda tersangka, istri/ suami, anak dan setiap
orang atau badan yang mempunyai hubungan dengan perkara
tersangka. Penyitaan ini dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang
cermat dari kegiatankegiatan penyidikan yang dilakukan sebelumnya.
Lebih lanjut mengenai hal ini dalam Surat Edaran Jaksa Agung No. SE-
04/JA/8/1998 tentang Pelaksanaan Pidana Tambahan Pembayaran Uang
Pengganti menjelaskan, dalam rangka melaksanakan putusan hakim, jika
pembayaran uang pengganti belum mencukupi, jaksa eksekutor
melakukan penyitaan terhadap harta benda lainnya dari terpidana tanpa
46

memerlukan campur tangan dari pihak pengadilan dalam bentuk izin


penyitaan yang dituangkan dalam bentuk penetapan dan lain-lain.
Apabila pengadilan menjatuhkan pidana tambahan pembayaran
uang pengganti, sekaligus ditetapkan juga maksimum penjara pengganti
yang harus dijalani terpidana jika tidak melunasi uang pengganti tersebut.
Tidak ada pengaturan yang jelas mengenai penentuan besaran penjara
pengganti dari uang pengganti tersebut sehingga terjadi disparitas
penentuan maksimum penjara pengganti. Berdasarkan hal tersebut maka
Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5
Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak
Pidana Korupsi. Perma ini mengatur bahwa dalam hal menentukan
jumlah pembayaran uang
pengganti dalam tindak pidana korupsi, adalah sebanyakbanyaknya
sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dan
bukan semata-mata sejumlah kerugian keuangan Negara yang
diakibatkan. Dalam hal harta benda yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi tidak dinikmati oleh Terdakwa dan telah dialihkan kepada pihak
lain, uang pengganti tetap dapat dijatuhkan kepada terdakwa sepanjang
terhadap pihak lain tersebut tidak dilakukan penuntutan, baik dalam
tindak pidana korupsi maupun tindak pidana lainnya, seperti tindak
pidana pencucian uang. Adapun lama penjara pengganti yang dapat
dijatuhkan adalah setinggi-tingginya ancaman pidana pokok atas pasal
yang dinyatakan terbukti.
Lebih lanjut Perma mengatur bahwa apabila dalam jangka waktu 1
(satu) bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, terpidana tidak
melunasi pembayaran uang pengganti maka Jaksa wajib melakukan
penyitaan terhadap harta benda yang dimiliki terpidana. Jika setelah
dilakukan penyitaan, terpidana tak kunjung melunasi pembayaran uang
pengganti maka Jaksa wajib melelang harta benda tersebut dengan
berpedoman pada Pasal 273 ayat (3) KUHAP. Penjara pengganti yang
47

harus dijalankan terpidana ditetapkan oleh Jaksa setelah


memperhitungkan uang pengganti yang telah dibayarkan sebelum pidana
penjara pokoknya selesai dijalani. Terpidana dapat melakukan pelunasan
sisa uang pengganti yang telah dibayarkan setelah selesai menjalankan
pidana penjara pokok maupun pada saat menjalankan penjara pengganti.
Adapun pelunasan tersebut mengurangi sisa penjara pengganti sesuai
dengan bagian yang dibayarnya.

IV.6. Kendala Dalam Pelaksanaan Pengembalian Aset Hasil Tindak


Pidana Korupsi

Korupsi adalah salah satu masalah terbesar yang dihadapi


Indonesia dewasa ini. Meski konon pemberantasannya semakin
meningkat dalam sepuluh tahun terakhir, belum terlihat tanda-tanda yang
meyakinkan bahwa masalah ini dapat segera diatasi. Indonesia tetap
negara yang paling tinggi tingkat korupsinya di seluruh dunia.
Memberantas korupsi tidak mudah, karena sudah menjadi budaya yang
berurat berakar dalam segala level masyarakat. Namun berbagai
pemberantasannya tetap dilakukan secara bertahap. Jika tidak bisa
dilenyapkan sama sekali, paling tidak dikurangi.82 Demikian halnya
dengan usaha-usaha memulihkan kerugian keuangan Negara akibat
perbuatan korupsi, juga harus diupayakan seoptimal mungkin dengan
menggunakan sarana-sarana normatif yang ada. Jika tidak bisa
dilaksanakan seluruhnya maka jangan pula ―patah arang‖ melepaskan
penjeratan penggantian atau pengejaran aset hasil tindak pidana korupsi.
Adanya beberapa pengaturan mengenai perampasan aset hasil
tindak pidana korupsi yang mengacu kepada KUHP, KUHAP, dan UU
Tipikor belum dirasa memadai untuk memberikan dasar pijakan dalam
melakukan perampasan dan pengembalian aset. Sehingga
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam sistem hukum di
Indonesia belum dapat diberlakukan dan dilakukan secara efektif. Sejauh
48

ini UU Tipikor hanya bisa menjatuhkan pidana perampasan kebebasan,


perintah pengembalian kerugian atau uang pengganti yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi sebagai diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b,
namun ketentuan ini tidak serta merta kita berharap uang hasil korupsi
bisa kembali karena adanya ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3).83
Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam
waktu 1 satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan
dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut (vide Pasal 18 ayat (2)
UU Tipikor). Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang
mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan
pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari
pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undangundang ini dan
lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan
(Pasal 18 ayat (3) UU Tipikor). Kedua ketentuan ini menjadi celah yang
sangat mudah disiasati oleh koruptor untuk tidak mengembalikan atau
membayar uang pengganti.
Pidana uang pengganti tidak memiliki pidana alternatif (subsidiary)
seperti pidana denda yang dapat disubsider dengan pidana kurungan,
dan karenanya menurut Nur Syarifah adalah bukan menjadi kesempatan
bagi terpidana untuk memilih pidana mana yang akan dijalankannya.
Parahnya, rumusan tersebut oleh Kejaksaan justru dimaknai sebagai
sebuah pilihan. Hal ini sebagaimana diakui oleh Direktur Upaya Hukum
dan Eksekusi Kejaksaan Agung Puji Basuki yang menegaskan bahwa
penggunaan kata ―subsider‖ pada pidana penjara pengganti dimaknai
Jaksa Penuntut Umum sebagai sebuah pilihan. Pendapat sejalan juga
diadopsi dalam peraturan internal Kejaksaan yaitu dalam Keputusan
Jaksa Agung (Kepja) Nomor KEP-518/J.A/11/2001. Dalam Kepja tersebut
disebutkan bahwa salah satu tahapan eksekusi uang pengganti adalah
49

menanyakan sanggup tidaknya terpidana membayar uang pengganti.


Kalimat ―menanyakan sanggup tidaknya terpidana membayar uang
pengganti‖ tersebut jelas menegaskan bahwa terpidana dapat memilih
antara menyatakan sanggup atau tidak sanggup membayar uang
pengganti. Pemilihan ini jelas telah menyimpang dari arti subsider yang
sebenarnya, yaitu dari sebuah pengganti apabila hal pokok tidak terjadi,
menjadi sebuah pilihan. Kondisi ini pun pada akhirnya dimanfaatkan oleh
para terpidana -yang didukung dengan kondisi dan keterbatasan
penanganan perkara korupsi- untuk dapat dengan mudahnya mengaku
tidak lagi mempunyai harta untuk membayar uang pengganti, dan
―memilih‖ pidana penjara pengganti sebagai yang lebih menguntungkan
baginya, terlebih didukung dengan adanya kemungkinan terpidana bebas
lebih cepat karena pemberian remisi pada waktu-waktu tertentu. Jika
penjatuhan uang pengganti dianggap sebagai sebuah pilihan, maka
upaya memulihkan keuangan Negara sebagai tujuan penegakan tindak
pidana korupsi tidak akan tercapai.84
Selain itu ketiadaan acuan dalam merumuskan pidana penjara
pengganti dalam hal uang pengganti tidak dibayar dalam jangka waktu
tertentu telah menimbulkan banyak disparitas dalam penjatuhan lamanya
pidana penjara pengganti. Misalnya pidana penjara pengganti selama 12
(dua belas) bulan dijatuhkan oleh Putusan Nomor 655 K/Pid.Sus/2010
sebagai pengganti jika tidak membayar uang sejumlah
Rp.378.116.230.813,-. Hal ini sangat timpang dengan Putusan Nomor 50
K/Pid.Sus/2010 yang juga menetapkan pidana penjara pengganti selama
12 (dua belas) bulan atas tidak terbayarkannya uang pengganti sejumlah
Rp.2.800.000,-. Disparitas ini memperlihatkan bahwa penjatuhan uang
pengganti dalam jumlah besar tidak serta merta diikuti dengan pidana
penjara pengganti dalam waktu yang sepadan dengan nilai uang
pengganti, begitu pula sebaliknya. Jika uang pengganti yang dijatuhkan
cukup besar namun penjara pengganti yang ditetapkan tidak terlalu besar
50

maka terdapat celah permainan antara jaksa eksekutor dengan terpidana


untuk berkolusi agar harta hasil korupsi tidak dieksekusi namun langsung
dikonversi menjadi pidana pengganti. Hal ini mengingat dalam perkara
yang pidana penjara penggantinya tidak sepadan dengan nilai uang
pengganti, akan lebih ekonomis untuk terpidana jika ia menjalani pidana
penjara pengganti tersebut dibanding membayar uang pengganti.85
Uang pengganti dalam perkara korupsi masih banyak mengandung
persoalan dalam proses pelaksanaannya oleh jaksa setelah
mendapatkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
mengikat, dimana belum lengkapnya tentang regulasi mengaturnya
dalam hal terdakwa meninggal dunia. Artinya belum ada aturan secara
jelas mengatur tentang apakah perbuatan korupsi dapat ditanggung oleh
ahli waris. Sebagai contoh Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 685K/Pid/2006 jo Putusan Pengadilan Tinggi Manado
Nomor 01/Pen.Pid/2005/PT.Mnd jo Putusan Pengadilan Negeri Tondano
Nomor 12/Pid.B/2001/PN.Tdo, dalam amar putusannya menerangkan
yang pada pokoknya: Menghukum pula terdakwa membayar uang
pengganti sebesar Rp.941.247.000,- (sembilan ratus empat puluh satu
juta dua ratus empat puluh ribu rupiah). Selanjutnya disebutkan juga
bahwa Penetapan Pengadilan Tinggi Manado Nomor 01/Pen.Pid/2005/
PT. Mnd tanggal 21 Februari 2005 yang amarnya menetapkan sebagai
berikut: a. Menyatakan gugur hak menuntut hukuman terhadap diri
terdakwa yang telah meninggal dunia; b. Menghukum ahli waris terdakwa
yang telah meninggal dunia membayar uang pengganti sebesar
Rp.941.247.000,- (sembilan ratus empat puluh satu juta dua ratus empat
puluh tujuh ribu rupiah).86
Berdasarkan putusan di atas terpidana wajib membayarkan
sejumlah uang pengganti terhadap kerugian negara yang ditimbulkan
oleh perbuatan korupsi yang dilakukan oleh terpidana akan tetapi
sebelum terpidana tersebut membayarkan uang pengganti, terpidana
51

telah meninggal dunia dan mewajibkan ahli waris untuk membayar uang
pengganti tersebut. Dalam hal ini pelaksanaan putusan pidana yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, menurut Pasal 270 KUHAP serta
Pasal 30 huruf b UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, dilakukan oleh Jaksa selaku eksekutor, dalam hal tersebut
pihak kejaksaan masih mengalami kesulitan karena uang pengganti
dibebankan kepada ahli waris. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
keberadaan pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang
pengganti bagi terpidana korupsi dinilai berjalan kurang efektif.87
Adapun masalah lain daripada dalam menerapkan pidana
pembayaran uang pengganti, yaitu dihadapi oleh Jaksa dalam hal
gugatan perdata. Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor mengatur bahwa dalam
hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur
tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata
telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera
menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa
Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Meskipun
sudah ada landasan yang demikian, akan tetapi Jaksa selaku pengacara
negara dalam melakukan penuntutan pertanggung-jawaban perdata
terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan ahli warisnya sering kali
terkendala oleh 2 (dua) faktor, antara lain: Pertama, Faktor yuridis tindak
pidana korupsi, yaitu tidak adanya surat kuasa dari negara c/q instansi
yang dirugikan kepada Jaksa pengacara negara karena kesulitan dalam
pembuktian, terpidana pelaku korupsi mempergunakan upaya hukum dan
grasi, dan jaksa penyidik tidak melakukan penyitaan terhadap harta
benda pelaku tindak pidana korupsi; dan Kedua, Faktor non yuridis tindak
pidana korupsi, terdiri dari : harta terpidana tidak mencukupi untuk
membayar uang pengganti kerugian negara, tidak tersedianya anggaran
52

biaya untuk mengajukan gugatan dan kurangnya sumber daya manusia


yang potensial.88
Mengingat juga bahwa gugatan perdata dalam rangka perampasan
aset hasil tipikor, memiliki karakter yang spesifik, yaitu hanya dapat
dilakukan ketika upaya pidana tidak lagi memungkinkan untuk digunakan
dalam upaya pengembalian kerugian negara pada kas negara. Keadaan
dimana pidana tidak dapat digunakan lagi antara lain tidak ditemukan
cukup bukti; meninggal dunianya tersangka, terdakwa, terpidana;
terdakwa diputus bebas; adanya dugaan bahwa terdapat hasil korupsi
yang belum dirampas untuk negara walaupun putusan pengadilan telah
berkekuatan hukum tetap. Dengan adanya pengaturan gugatan perdata
untuk perampasan aset dalam UndangUndang Tipikor dalam Pasal 32,
33, 34, 38C, UndangUndang Tipikor dapat disimpulkan bahwa tanpa
adanya pengaturan tersebut maka perampasan aset hasil tipikor dengan
menggunakan mekanisme perdata tidak dapat dilakukan.89
Pada sisi lain, tersedianya mekanisme perdata dalam upaya
perampasan aset hasil tipikor seperti yang terdapat dalam UU Tipikor
juga belum maksimal karena proses perdata menganut sistem
pembuktian formil yang dalam prakteknya bisa lebih sulit daripada
pembuktian materiil. Dengan demikian penerapan perampasan aset
berdasarkan UU Tipikor belum berhasil secara maksimal untuk
mengembalikan kerugian keuangan negara sehingga diperlukan suatu
alternatif kebijakan hukum dalam upaya pengembalian kerugian
keuangan Negara, antara lain pengadopsian ketentuan perampasan aset
tanpa tuntutan pidana sesuai dengan Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun
2003 dengan melakukan beberapa penyesuaian dengan kondisi yang
ada dalam sistem hukum di Indonesia.90
53

Kendala kepada Jaksa lainnya yaitu dalam hal pelacakan aset hasil
tindak pidana korupsi. Fungsi asset tracing adalah melacak dan
mengidentifikasi harta kekayaan tersangka maupun pihak yang terkait
dalam tindak pidana korupsi, serta memberikan dukungan data kepada
penyidik dalam upaya penyiapan pembayaran uang pengganti. Hal ini
sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Tipikor bahwa
pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. kegiatan
pelacakan aset ini diarahkan untuk mendeteksi sejak awal (sejak tahap
penyidikan) seluruh harta kekayaan tersangka dan atau keluarga yang
mencurigakan dan tidak sesuai dengan profilnya yang diduga sebagai
hasil tindak pidana korupsi.91 Pelacakan aset adalah hal yang kompleks
karena merupakan hal yang tidak mudah untuk melacak apalagi untuk
memperoleh kembali aset tersebut sehingga Negara-negara berkembang
dimana grand corruption umumnya terjadi sangat merasakan kenyataan
tersebut sebagai kesulitan dalam upaya memperoleh kembali aset yang
dicuri dan disembunyikan pada sentra-sentra finansial dunia.92
Tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah nasional,
melainkan sudah menjadi fenomena transnasional.93 Kerja sama
internasional menjadi hal yang esensial dalam mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi, khususnya dalam upaya koruptor
menyembunyikan hasil korupsinya melalui pencucian uang dengan
menggunakan transfer-transfer internasional yang efektif. Tidak sedikit
aset publik yang berhasil dikorup telah dilarikan dan disimpan pada
sentra finansial di Negara-negara maju yang terlindungi oleh sistem
hukum yang berlaku di negara tersebut dan oleh jasa para profesional
yang dibawa oleh koruptor.94
Upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang berada
di luar negeri ini lebih sulit pelaksanaannya. Purwaning berpendapat
bahwa berdasarkan pada sudut pandang keadilan sosial Internasional,
54

suatu negara yang menampung aset negara lain dari hasil tindak pidana
korupsi merupakan tanggung jawab eksternal dalam melaksanakan
kedaulatan suatu negara untuk menjaga hubungannya dengan negara
lain.95
Terdapat beberapa kendala dalam melaksanakan upaya
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar
negeri. Kejaksaan sebagai lembaga yang diberi tugas dan kewenangan
untuk melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Kejaksaan
telah melaksanakan tugas dan kewenangannya perihal pengembalian
aset hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri dengan
menempuh beberapa upaya diantaranya dengan membentuk tim khusus
untuk melacak dan mengembalikan aset dan meningkatkan hubungan
diplomasi dengan beberapa negara yang sering menjadi tujuan
pemindahan aset. Upaya yang dilakukan menemui kendala, kendala-
kendala yang dimaksud adalah perbedaan sistem hukum, adanya pihak
ketiga yang menghambat proses pengembalian, dan lambannya proses
hukum di Indonesia.96
Kesulitan yang dialami oleh penyidik ialah bagaimana melacak aset
ini, karena korupsinya dilakukan tidak pada saat ini, tapi dalam waktu
yang telah lama artinya cukup memakan waktu. Hampir rata-rata, tidak
ada kasus korupsi yang kita tangani yang baru 1-2 tahun dilakukan.
Sehingga menimbulkan kesulitan lebih lanjut, karena aset itu sudah
berganti nama, di antaranya dilarikan ke luar negeri. Karena kesulitan-
kesulitan yang ditempuh, tepatnya pada Hari anti korupsi sedunia,
tanggal 9 Desember 2004, dicetuskan langkah-langkah mengamankan
aset yang sudah dikorupsi dan mengoptimalkan mencari terpidananya.
Selain itu Sistem hukum yang berbeda juga merupakan hambatan dalam
mengejar terpidana maupun aset hasil korupsi. Contoh: sulitnya
mengekstradisi Hendra Rahardja (terpidana korupsi) dan asetnya dari
55

Australia, hingga yang bersangkutan meninggal dunia. Untuk kasus


David N. Widjaja, pemerintah Indonesia berhasil menangkap David N.
Widjaja di Amerika karena secara kebetulan hubungan kita baik dengan
Amerika yaitu karena Indonesia sering membantu informasi terkait
masalah teroris, jadi Amerika pun memberi kesempatan kepada
Indonesia untuk menangkap David N. Widjaja. Itu juga karena UU
Imigrasi mereka yang dilanggar. Kalau karena sekedar hubungan baik
kedua negara, tidak mungkin mereka mengizinkan.97

IV.7. Urgensi dan Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana


Korupsi Dalam Ius Constituendum

Adanya tindak pidana korupsi menyebabkan kerugian pada sektor


keuangan/kekayaan Negara yang berimplikasi terhadap program-
program pemerintah untuk menyejahterakan rakyat menjadi terhambat.
Penegakan korupsi yang sekarang diterapkan oleh penegak hukum di
Indonesia hanya menekankan kepada menjebloskan pelaku ke dalam
penjara, tidak menekankan kepada pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi. Ketiadaan aturan mengenai pemiskinan koruptor
menyebabkan lambatnya pengembalian aset dan turunannya yang sudah
dikuasai oleh para pelaku tindak pidana korupsi. Melihat dampak dari
perilaku serakah para pelaku tindak pidana korupsi seharusnya yang
menjadi fokus utama dari adanya penegak hukum pemberantasan
korupsi adalah pengembalian aset korupsi dan juga turunannya karena
banyak pelaku tindak pidana korupsi meskipun sudah mendekam akan
tetapi bisnis yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi semakin
berkembang seakan tidak ada efek jera.98
Berkembangnya pemahaman bahwa mencegah para pelaku tindak
pidana korupsi dapat mengubah dana hasil tindak pidana dari haram
menjadi halal serta menyita hasil tindak pidana korupsi, merupakan cara
yang efektif untuk memerangi tindak pidana korupsi itu sendiri
56

disandingkan dengan pencucian uang.99 Bilamana penegakan hukum


terhadap koruptor juga dijeratkan tindak pidana pencucian uang dan
penegak hukumnya profesional serta terjaga integritasnya maka peluang
untuk hilangnya uang pengganti sangat kecil, bahkan pelakunya pun
akan mendapatkan pidana yang jauh lebih berat dan semua pihak yang
menerima atau menikmati hasil korupsi tersebut juga terjerat hukum
sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang pasif.100
Mengenai pelaku pasif sendiri di dalam UndangUndang No. 8
Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang sudah diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) yang merumuskan:
―Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan,
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran,
atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).‖ Proses kriminalisasi terhadap tindak pidana pencucian uang
pasif adalah inisiasi Presiden selaku kepala pemerintahan dengan latar
belakang masih terlalu multi tafsirnya rumusan tindak pidana dalam
undang-undang yang lama dan adanya perluasan pihak yang berwajib
untuk melakukan pelaporan. Hal inidiperkuat dengan dasar yaitu;
1. Perbuatan tindak pidana pencucian uang pasif adalah kejahatan
yang dapat mengganggu tercapainya tujuan nasional terutama
dalam sektor ekonomi atau keuangan, hal ini berkaitan dengan
terganggunya tujuan negara yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
2. Tindak pidana pencucian uang pasif tidak dikehendaki oleh
masyarakat dan menimbulkan kerugian yang dapat mendatangkan
korban, sekalipun dalam hal ini korban tidak secara langsung
57

menyadari jika bagian dari korban tindak pidana pencucian uang


pasif (it seem to be a victimless crime).
3. Dengan dikiriminalisasinya tindak pidana pencucian uang pasif
maka negara mendapatkan banyak keuntungan (benefit)
dibandingkan biaya (cost), sebagaimana perubahan paradigma
penegakan hukum tindak pidana pencucian uang ialah follow the
money, sehingga negara melalui aparat penegak hukumnya dapat
melacak dan menindak pelaku tindak pidana pencucian uang
melalui aliran uangnya.
4. Kriminalisasi terhadap tindak pidana pencucian uang pasif tidak
akan menyebabkan overbelasting aparat penegak hukum, dalam
hal ini aparat penegak hukum dibantu oleh financial intelligence unit
(FIU) yaitu PPATK.101

Selain penting untuk dilakukan upaya pengembalian aset hasil


tindak pidana korupsi melalui penjeratan tindak pidana pencucian uang,
tak kalah penting juga mengambil langkah teknis untuk mengatasi
persoalan kemandekan eksekusi pembayaran uang pengganti.
Mandeknya eksekusi pembayaran uang pengganti pada kenyataannya
disebabkan oleh faktor kebijakan selain karena faktor komitmen penegak
hukum. Untuk mengoptimalkan pembayaran uang pengganti tersebut
diperlukan perubahan dan/atau penyempurnaan kebijakan dalam
penanganan perkara korupsi yaitu dengan menyeragamkan tujuan
pembayaran uang pengganti dan acuan dalam menetapkan uang
pengganti.
Penyeragaman ini perlu ditegaskan dalam UU Tipikor agar tidak
menimbulkan kerancuan dan dualisme dalam penerapannya. Misalnya
dalam hal tujuan dan acuan yang didasarkan pada faktor kerugian
negara, dibandingkan harta hasil korupsi yang dinikmati, dengan
pertimbangan menghindari kesulitan dalam pemilahan harta dan
58

kemudahan dalam penghitungan. Demikian halnya dengan perlunya


menetapkan acuan dalam menghitung pidana penjara pengganti dalam
hal uang pengganti tidak dibayar atau dibayar sebagian oleh terpidana.
Selain itu perlu juga meluruskan kembali sifat dan makna pidana
tambahan yang melekat dalam pidana pembayaran uang pengganti
untuk menghindari misinterpretasi dalam memahami dan menjatuhkan
pidana uang pengganti, serta menyebabkan keragu-raguan dalam
mengeksekusi uang pengganti. Pelurusan ini dilakukan melalui putusan
pengadilan yang konsisten dan perbaikan kebijakan internal yang lebih
memperlihatkan komitmen penegak hukum.102
Sangat penting juga adanya upaya memperbaiki mekanisme
pengembalian aset melalui jalur gugatan perdata. Pada realitanya,
kesulitan yang dihadapi adalah penerapan hukum acara perdata yang
digunakan sepenuhnya tunduk pada hukum acara perdata biasa yang
menganut asas pembuktian formal. Beban pembuktian terletak pada
pihak yang mendalilkan (jaksa pengacara negara yang harus
membuktikan) kesetaraan para pihak, kewajiban hakim untuk
mendamaikan para pihak, dan sebagainya. Sedangkan jaksa pengacara
negara (JPN) sebagai penggugat harus membuktikan secara nyata
bahwa telah ada kerugian negara. Yakni, kerugian keuangan negara
akibat atau berkaitan dengan perbuatan tersangka, terdakwa, atau
terpidana, adanya harta benda milik tersangka, terdakwa, atau terpidana
yang dapat digunakan untuk pengembalian kerugian keuangan negara,
Selain itu, seperti umumnya penanganan kasus perdata, membutuhkan
waktu yang sangat panjang sampai ada putusan hukum yang
berkekuatan hukum tetap. Hambatan tersebut harus segera diatasi untuk
mengoptimalkan pengembalian kerugian negara melalui pembuatan
hukum acara perdata khusus perkara korupsi, yang keluar dari pakem-
pakem hukum acara konvensional.103
59

Gugatan perdata perlu ditempatkan sebagai upaya hukum yang


utama di samping upaya secara pidana, bukan sekedar bersifat fakultatif
atau komplemen dari hukum pidana, sebagaimana diatur dalam UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu, diperlukan
konsep pengembalian keuangan negara yang progresif, misalnya dengan
mengharmonisasikan pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Menentang Korupsi (United Nations Convention Against
Corruption/UNCAC) Tahun 2003.104 Sayangnya, Selama ini menurut
Eddy OS Hiariej, Pemerintah kurang tanggap dengan amanat konvensi
PBB mengenai Anti Korupsi yang meminta Negara pihak a quo Indonesia
yaitu menyesuaikan perubahan undang-undang pemberantasan korupsi
setelah satu tahun diratifikasi. Pergeseran fundamental menurut konvensi
adalah mengidentifikasi korupsi tidak hanya di sektor publik tapi juga
swasta. Salah satu tujuan konvensi tersebut adalah pengembalian aset
hasil korupsi.105
Menurut UNCAC, pengembalian aset hasil korupsi sendiri terbagi
dalam empat tahap, yaitu tahap pelacakan aset, tahap tindakan
pencegahan untuk menghentikan perpindahan aset-aset melalui
mekanisme pembekuan dan penyitaan, tahap penyitaan, dan tahap
penyerahan aset darinegara penerima kepada negara korban tempat
aset diperoleh secara tidak sah. Dalam rangkaian pengembalian aset
hasil korupsi, maka dapat ditempuh beberapa tahapan, yaitu:106
1. Tahap pelacakan aset. Tahap ini merupakan tahap dimana
dikumpulkannya informasi mengenai aset yang dikorupsi dan alat-
alat bukti. Untuk menjaga lingkup dan arah tujuan investigasi
menjadi fokus, menurut John Conyngham, otoritas yang
melakukan investigasi atau melacak aset-aset tersebut bermitra
dengan firma-firma hukum dan firma akuntansi. Untuk kepentingan
investigasi dirumuskan praduga bahwa pelaku tindak pidana akan
60

menggunakan dana-dana yang diperoleh secara tidak sah untuk


kepentingan pribadi dan keluarganya.
2. Tahap pembekuan atau perampasan aset. Kesuksesan investigasi
dalam melacak aset-aset yang diperoleh secara tidak sah
memungkinkan pelaksanaan tahap pengembalian aset berikutnya,
yaitu pembekuan atau perampasan aset. Menurut UNCAC 2003,
pembekuan atau perampasan berarti larangan sementara untuk
mentransfer, mengkonversi, mendisposisi atau memindahkan
kekayaan atau untuk sementara dianggap sebagai ditaruh di
bawah perwalian atau di bawah pengawasan berdasarkan perintah
pengadilan atau badan yang berwenang lainnya. Mengingat tindak
pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan transnasional atau
tidak jarang terjadi melibatkan atau antara negara lain karena aset
hasil korupsi disimpan di negara lain, maka kerja sama antar
negara dalam proses perampasan aset sangat perlu diperhatikan.
Jika aset-aset yang dikorupsi berada di luar yurisdiksi Negara
korban maka pelaksanaan perintah pembekuan dan perampasan
hanya dapat dilakukan melalui otoritas yang berkompeten dari
negara penerima
3. Tahap penyitaan aset-aset. Penyitaan merupakan perintah
pengadilan atau badan yang berwenang untuk mencabut hak-hak
pelaku tindak pidana korupsi atas aset-aset hasil tindak pidana
korupsi. Biasanya perintah penyitaan dikeluarkan oleh pengadilan
atau badan yang berwenang dari negara penerima setelah ada
putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana pada pelaku tindak
pidana. Penyitaan dapat dilakukan tanpa adanya putusan
pengadilan dalam hal pelaku tindak pidana telah meninggal atau
menghilang atau tidak ada kemungkinan bagi jaksa selaku
penuntut umum melakukan penuntutan.
61

4. Tahap penyerahan aset-aset hasil tindak pidana korupsi kepada


korban atau negara korban. Agar dapat melakukan pengembalian
aset-aset, baik negara penerima maupun negara korban perlu
melakukan tindakan legislatif dan tindakan lainnya menurut
prinsip-prinsip hukum nasional masingmasing negara sehingga
badan yang berwenang dapat melakukan pengembalian aset-aset
tersebut. Kebanyakan negara tidak mengatur secara khusus
ketentuan pembagian aset-aset yang dibekukan dan disita,
sehingga pada umumnya masalah pembagian aset-aset yang
diatur dalam perjanjian bantuan hukum timbal balik antara negara
korban dengan negara penerima.

Kebijakan nasional di bidang perampasan aset tindak pidana harus


memiliki visi holistik berdasarkan kebutuhan yang nyata dan memenuhi
standar internasional, baik yang telah ditentukan oleh PBB, FATF,
maupun lembaga atau organisasi internasional lain yang kompeten di
bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana. Untuk dapat
mewujudkan peraturan perundang-undangan yang efektif di bidang
perampasan aset tindak pidana maka diperlukan komitmen politik,
peraturan perundang-undangan yang proporsional, intelijen di bidang
keuangan yang kuat, pengawasan sektor keuangan, penegakan hukum,
dan kerja sama internasional.107 Mengingat perampasan aset
merupakan bagian penting dalam pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana, khususnya tindak pidana korupsi, dan juga pertimbangan
akan kebutuhan perangkat hukum yang memadai dalam memerangi
tindak pidana korupsi, serta kebutuhan penyelarasan paradigma dan
ketentuanketentuan serta instrumen internasional secara maksimal
dalam peraturan perundang-undangan, maka perlu disusun dan segera
disahkannya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.108
62

Menurut Romli Atmasasmita, kebutuhan atas Rancangan Undang-


Undang Perampasan Aset, berdasarkan kenyataan upaya penegakan
hukum khususnya terhadap tindak pidana korupsi tidak juga
membuahkan hasil yang signifikan terhadap kas negara. Selain itu, Romli
menyatakan juga bahwa perangkat hukum yang berlaku di Indonesia
saat ini belum mampu secara maksimal mengatur dan menampung
kegiatankegiatan dalam rangka pengembalian aset hasil korupsi dan
kejahatan di bidang keuangan dan perbankan pada umumnya. Senada
dengan itu, Mudzakkir, menyatakan Rancangan Undang-Undang
Perampasan Aset perlu disahkan karena cukup strategis untuk
memberantas tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Selain itu,
Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset juga berguna untuk
pemulihan kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana yang dilakukan
oleh pelaku. Lebih lanjut Mudzakkir juga menegaskan bahwa Rancangan
UndangUndang Perampasan Aset harus disusun secara proporsional
dan tetap mengedepankan unsure keadilan.109
Pada RUU Perampasan Aset dijawab sejumlah persoalan dan
kendala sebagaimana dijelaskan sebelumnya khususnya terkait dengan
kepastian hukum atas belum adanya putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap. Dalam Pasal 17 diatur bahwa sebelum
terdapat putusan Perampasan Aset yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, Menteri (yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan di
bidang keuangan) dapat memberikan izin sementara kepada pihak ketiga
yang telah menggunakan atau memanfaatkan Aset tersebut dengan
persyaratan sebagai berikut: (a). tidak mengubah bentuk fisik Aset; (b).
tidak dialihkan penggunaan atau pemanfaatannya; (c). dilakukan
pemeliharaan dan perawatan; dan (d). tidak dipergunakan untuk
melakukan perbuatan melawan hukum. Adapun segala biaya perawatan,
pajak, rekening tagihan, dan pengeluaran lain yang diperlukan selama
63

menggunakan atau memanfaatkan Aset tersebut, dibebankan kepada


pihak ketiga yang menggunakan atau memanfaatkan Aset tersebut.
Secara terperinci RUU Perampasan Aset mengatur perampasan
aset dilakukan dalam hal: (a). tersangka atau terdakwanya meninggal
dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui
keberadaannya; atau (b). terdakwanya diputus lepas dari segala tuntutan
hukum. Untuk perampasan aset dari keduanya, dapat juga dilakukan
terhadap aset yang perkara pidananya dimana tidak dapat disidangkan
atau telah diputus bersalah oleh pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, dan di kemudian hari ternyata diketahui terdapat
aset dari tindak pidana yang belum dinyatakan dirampas. Adapun
perampasan aset tersebut tidak berlaku terhadap kekayaan yang tidak
wajar yang akan dirampas. Perampasan Aset tidak menghapuskan
kewenangan untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak
pidana. Aset yang telah dirampas berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dijadikan sebagai alat
bukti dalam penuntutan terhadap pelaku tindak pidana.
Diterangkan dalam Naskah Akademik RUU Perampasan Aset
bahwa dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan, hakim memerintahkan
pemilik, pihak yang menguasai aset, atau pihak ketiga yang keberatan
terhadap permohonan perampasan aset agar membuktikan bahwa harta
kekayaan yang terkait dengan permohonan perampasan aset dimaksud
bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana. Pemilik, pihak yang
menguasai aset, atau pihak ketiga yang keberatan terhadap permohonan
perampasan aset membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait
dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana dengan
cara mengajukan alat bukti yang cukup. Dalam hal pemilik, pihak yang
menguasai aset, atau pihak ketiga yang tidak dapat membuktikan bahwa
aset tersebut bukan berasal dari tindak pidana, hakim memutuskan aset
tersebut dirampas untuk Negara atau dikembalikan kepada yang berhak.
64

Dalam hal pemilik, pihak yang menguasai aset, atau pihak ketiga tidak
hadir di persidangan atau menolak memberikan bukti, hakim
memutuskan aset tersebut dirampas untuk Negara atau dikembalikan
kepada yang berhak. 110
Pada dasarnya menyita dan merampas hasil dan instrumen tindak
pidana dari pelaku tindak pidana tidak saja memindahkan sejumlah harta
kekayaan dari pelaku kejahatan kepada masyarakat tetapi juga akan
memperbesar kemungkinan masyarakat untuk mewujudkan tujuan
bersama yaitu terbentuknya keadilan dan kesejahteraan bagi semua
anggota masyarakat. Hal ini yang pada akhirnya mendorong Pemerintah
Indonesia mengeluarkan kebijakan terkait upaya percepatan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Salah satu kebijakan yang
menjadi prioritas Pemerintah Indonesia adalah pembuatan instrumen
hukum yang mampu merampas seluruh harta kekayaan yang dihasilkan
dari suatu tindak pidana serta seluruh sarana yang memungkinkan
terlaksananya tindak pidana terutama tindak pidana bermotif ekonomi.
Penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana,
selain mengurangi atau menghilangkan motif ekonomi pelaku kejahatan
juga memungkinkan pengumpulan dana dalam jumlah yang besar yang
dapat digunakan untuk mencegah dan memberantas kejahatan. Secara
keseluruhan, hal tersebut akan menekan tingkat kejahatan di Indonesia.
Pendekatan untuk menekan tingkat kejahatan melalui penyitaan dan
perampasan hasil dan instrumen tindak pidana sejalan dengan prinsip
peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan.111

IV.8. RUU Perampasan Aset Masih Menggantung

Nasib Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Hasil


Tindak Pidana yang diusulkan pemerintah masih menggantung.
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat belum juga membacakan surat
presiden yang berisi usulan pembahasan bersama RUU tentang
65

Perampasan Aset dalam rapat paripurna DPR. Lambannya tindak lanjut


usulan pembahasanRUU perampasan asset kian menegaskan spekulasi
tentang adanya upaya aktor politik untuk menjegal pembentukan regulasi
tersebut.
Presiden Joko Widodo telah mengirimkan surat presiden (surpres)
berisi pembahasan RUU Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana
kepadaPimpinan DPR pada 4 Mei 2023. Pemerintah mengharapkan DPR
segera menindaklanjuti usulan pembahasan RUU tersebut begitu
memasuki masa persidangan setelah reses.
Namun, hingga rapat paripurna kedua pada Masa Persidangan V
Tahun Sidang 2022-2023 yang digelar pada Jumat (19/5/2023), pimpinan
DPR belum juga membacakan surpres RUU Perampasan Aset. Wakil
Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengungkapkan, sesuai jadwal yang
sudah disusun, DPR belum mengagendakan membacakan surpres RUU
Perampasan Aset pada tiga rapat paripurna pertama di Masa
Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023.
Agenda sekarang ini sudah terjadwal dari April sehingga rapat
paripurna Selasa kemarin, hari ini, dan Selasa pekan depan memang
sudah terjadwal agendanya.
Politikus Partai Gerindra itu menjelaskan bahwa agenda tiga rapat
paripurna pertama sudah dijadwalkan sejak bulan April lalu. Rapat
paripurna pada Jumat ini, misalnya, sudah dijadwalkan untuk membahas
penyampaian pemerintah terhadap kerangka ekonomi makro dan pokok-
pokok kebijakan fiskal RAPBN 2024.
”Agend sekarang ini sudah terjadwal dari April sehingga rapat
paripurna Selasa kemarin, hari ini, dan Selasa pekan depan memang
sudah terjadwal agendanya,” kata Dasco rapat paripurna di Gedung
Nusantara II, Senayan, Jakarta, Jumat siang.
Sesuai dengan mekanisme yang berlaku, surpres usulan
pembahasan RUU akan dibacakan dalam rapat paripurna setelah
66

dibahas dalam rapat pimpinan (rapim) DPR. Namun menurut Dasco, saat
ini pimpinan DPR masih berkoordinasi dengan Sekretariat Jenderal DPR
mengenai jadwal dan materi yang akan dibahas dalam rapim.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan ”Kami akan
lakukan sesuai mekanisme. Saat ini kami lagi koordinasikan dengan
pihak Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR seberapa banyak bahan yang
kami harus rapim-kan. Kalau memang harus rapim, berarti kami akan
rapim langsung,” ujar Dasco.
RUU Perampasan Aset baru bisa dibahas setelah surpres
dibacakan di hadapan rapat paripurna yang dilanjutkan dengan
pembahasan di rapat Badan Musyawarah (Bamus) atau rapat konsultasi
pengganti Bamus. Dalam rapat yang diikuti pimpinan DPR dan pimpinan
fraksi-fraksi itu akan diputuskan alat kelengkapan DPR yang ditunjuk
untuk membahas RUU Perampasan Aset bersama pemerintah.
Ditemui secara terpisah, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto
mengatakan, sampai saat ini beleid RUU Perampasan Aset masih
berada di meja pimpinan DPR. Meski dokumen tersebut sudah
diserahkan oleh pemerintah ke DPR pada awal Mei, tidak bisa langsung
segera dibawa ke rapim dan bamus karena harus mengikuti jadwal yang
sudah ditentukan sebelumnya.
RUU ini, kata Bambang, memang harus dikawal hingga ditetapkan
menjadi undang-undang. Oleh karena itu, pembahasan harus dilakukan
secara terbuka dan melibatkan publik.

IV.9. Sejumlah Pasal penting dalam RUU Perampasan Aset

1. Pasal 3 Ayat 1: perampasan asset tidak menghapuskan


kewenangan penuntutan terhadap pelaku piana.
2. Pasal 5 Ayat 1 an 2 : Aset tindak piana yang dirampas:
 Aset hasil tinak pidana yang didapat langsung atau tidak
langsung
67

 Asset yang diduga digunakan / telah digunakan melakukan


tindak pidana
 Asset lain yang sah milik pelaku tindak pidana sebagai
pengganti asset yang telah dinyatakan dirampas
 Aset yang merupakan barang temuan yang diduga berasal dari
tindak pidana
 Asset yang tiak seimbang dengan penghasilan atau
penambahan kkayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul
perolehannya secara sah
 Asset yang merupakan benda sitaan yang dilakukan untuk
tindak pidana
3. Pasal 6 ayat 1 :asset yang dapat dirampas terdiri dari :
 Bernilai paling seikit Rp 100 juta
 Terkait tindak pidana yang diancam piana empat tahun atau
lebih
Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola
berpendapat, lambatnya pembahasan RUU Perampasan Aset di DPR
semakin menguatkan spekulasi mengenai adanya penolakan dari aktor-
aktor politik. Penolakan kemungkinan terjadi karena instrumen undang-
undang tersebut memuat prosedur penelusuran, pemblokiran, penyitaan,
dan perampasan aset hasil tindak pidana.
”Kita tahu instrumen RUU Perampasan Aset yang diatur berkaitan
erat dengan penelusuran aset para kelompok yang punya porsi
kekuasaan besar seperti anggota DPR. Saat ini pelaku kejahatan
dihukum dengan pidana badan, maka dengan adanya UU Perampasan
Aset, akan ada alternatif hukuman berupa perampasan aset.” katanya.
Menurut Alvin, pembahasan RUU Perampasan idealnya rampung
sebelum Pemilu 2024. Selain kebutuhan akan regulasi itu sudah sangat
mendesak, perumusan UU Perampasan Aset juga sudah mangkrak
68

selama lebih dari 10 tahun. RUU Perampasan Aset sudah dua kali masuk
dalam daftar Prolegnas Prioritas 2008 dan 2014, tetapi gagal dibahas.
Suasana saat Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang juga
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam)
Mahfud MD memberikan keterangan pers seusai memimpin rapat
pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset di
Kemenkopolhukam, Jakarta, Jumat (14/3/2023).
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia Boyamin Saiman
mengatakan, pengesahan RUU Perampasan Aset penting untuk
memberikan dampak hukum lain, terutama bagi para pelaku korupsi.
Sebab, selama ini, ketentuan yang berlaku di Indonesia belum dapat
memberikan efek jera secara maksimal terhadap pelaku korupsi dan
kejahatan ekonomi lainnya.
BAB V
PENUTUP

V.1. Kesimpulan

Penegakan hukum melalui pengungkapan tindak pidana,


menemukan pelaku, serta memasukkan pelakunya ke dalam penjara
(follow the suspect) semata belum efektif menekan terjadinya tindak
pidana korupsi jika tidak dibarengi dengan upaya menyita dan merampas
hasil dan instrumen kejahatannya. Selain itu, penanganan tindak pidana
korupsi tidak semata untuk memidana pelaku namun juga harus
memulihkan keuangan negara. Upaya yang telah termuat dalam
peraturan perundang-undangan untuk menjamin terpulihkannya kerugian
negara antara lain melalui: 1) perampasan aset hasil tindak pidana
korupsi; 2) pembuktian terbalik dalam rangka optimalisasi pengembalian
aset hasil tindak pidana korupsi 3) pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi melalui gugatan perdata serta 4) pidana pembayaran uang
pengganti dalam rangka pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
Upaya-upaya yang telah diakomodir dalam peraturan perundang-
undangan untuk memaksimalkan pemulihan kerugian negara terkendala
beberapa aspek baik dari sisi personal penegak hukum maupun
pengaturan. Dari sisi regulasi, aturan terkait perampasan aset hasil tindak
pidana korupsi yang mengacu kepada KUHP, KUHAP maupun dalam UU
Tipikor belum dirasa memadai untuk memberikan dasar pijakan dalam
melakukan perampasan dan pengembalian aset. Sehingga
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam sistem hukum di
Indonesia belum dapat diberlakukan dan dilakukan secara efektif.
Sedangkan pada sisi personal penegak hukum masih terjadi
misinterpretasi. Diantaranya dalam memaknai Pasal 18 Ayat (1) huruf a

69
70

UU Tipikor. Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa perampasan


dilakukan terhadap barang yang digunakan untuk atau yang diperoleh
dari tindak pidana korupsi. Karenanya penyidik maupun hakim
terperangkap ketentuan tersebut sehingga sangat berhati-hati melakukan
penyitaan. Padahal dalam rangka penyelamatan keuangan negara akibat
tindak pidana korupsi, jaksa penyidik sejak dimulainya penyidikan telah
diwajibkan melakukan penyitaan terhadap harta benda tersangka,
istri/suami, anak dan setiap orang atau badan yang mempunyai
hubungan dengan perkara tersangka. Imbas tidak adanya penyitaan
selama proses peradilan berlangsung menjadikan putusan uang
pengganti menjadi tumpul saat eksekusinya. Terdapatnya ketentuan
Pasal 18 ayat (3) UU Tipikor menjadi celah untuk mengkonversi
pembayaran uang pengganti menjadi pidana badan dengan alasan
terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti.
RUU sangat penting untuk mengurangi TIPIKOR apabila dilakukan
secara professional dan berpihak kepada kepentingan rakyat, pada saat
ini harta hasil korupsi sulit untuk dikembalikan ke negara karena proes
peradilan yang berbelit-belit sehingga seseorang pelaku TIPIKOR dapat
menghilangkan barang bukti, lari keluar negri dan apabila terbukti
bersalah masih bisa menggunakan hartanya dalam penjara sehingga
penjara Bagai hotel bintang 5
Namun apabila disahkan RUU ini dapat menjadi senjata bagi
oligarki ditengah hukum yang tebang pilih, apat seenang-wenang
merampas asset, menghancurkan bisnis seseorang yang melanggar hak-
hak lawan politik, lawan akan dicari-cari kesalahan dan kawan akan
bebas korupsi, jual beli hukum akan semakin banyak
71

V.2. Saran

Penekanan pada pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi


sebagai bentuk memulihkan kerugian negara sudah seharusnya
dimaksimalkan. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dapat
melalui beberapa cara yaitu perampasan aset hasil tipikor, beban
pembuktian terbalik, melalui gugatan perdata, dan optimalisasi
pembayaran uang pengganti serta upaya penjeratan melalui ketentuan
tindak pidana pencucian uang. Selain itu yang tak kalah penting juga
mengatasi persoalan kemandekan eksekusi pembayaran uang pengganti
dengan pembaruan kebijakan dan penguatan komitmen penegak hukum
untuk mengoptimalkan pengembalian akibat kerugian negara dari tindak
pidana korupsi.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

A, Dyah Dwi. ―ICW: Korupsi 2015 Rugikan Negara Rp31,077 Triliun.‖


Antara News. Last modified 2016. Accessed February 16, 2016.
http://www.antaranews.com/berita/546929/icwkorupsi-2015-rugikan-
negara-rp31077-triliun.
Abdussalam, H.R., and Andri Desasfuryanto. Sistem Peradilan Pidana.
Jakarta: PTIK, 2012.
Anwar, Yesmil, and Adang. Pembaharuan Hukum Pidana (Reformasi Hukum
Di Indonesia). Jakarta: Grasindo, 2008.
Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1996.
Arief, Basrief. Korupsi Dan Upaya Penegakan Hukum (Kapita Selekta).
Jakarta: Adika Remaja Indonesia, 2006.
Asshiddiqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007.
Azra, Azyumardi. ―Korupsi Dalam Perspektif Good Governance.‖ Jurnal
Kriminologi Indonesia Vol. 2, no. 1 (2002).
Busro, Ahmad. ―Optimalisasi Peran Jaksa Pengacara Negara Dalam
Pengembalian Keuangan Dan Atau Aset Negara Hasil Tindak Pidana
Korupsi Maupun Atas Dasar Kerugian Keperdataan.‖ Universitas
Diponegoro, 2011.
Ganarsih, Yenti. Penegakan Hukum Anti Pencucian Uang Dan
Permasalahannya Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Gautama, Sudargo. Pengertian Tentang Negara Hukum. Bandung: Alumni,
1983.

72
73

Gie, The Liang. Ilmu Politik: Suatu Pembahasan Tentang Pengertian,


Kedudukan, Lingkup Metodologi. Yogyakarta: UGM Press, 1982.
Ginting, Jamin. ―Perjanjian Internasional Dalam Pengembalian Aset Hasil
Tindak Korupsi Di Indonesia.‖ Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11, no3
(2011).
Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia Sebuah
Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan
Dalam Lingkungan Peradilan Umum Dan Pembentukan Peradilan
Administrasi Negara. Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
Hafiludin Saledi, Wahyudi. ―Implikasi Perampasan Aset Terhadap Pihak
Ketiga Yang Terkiat Dengan Tindak Pidana Korupsi.‖ Universitas
Indonesia, 2010.
Hamdan, M. Politik Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers, 1997.
Hamzah, Andi. Delik- Delik Tersebar Di Luar KUHP. Jakarta: Pradnya
Paramita, 1982.
Harefa, Beniharmoni. ―Upaya Pengembalian Aset (Asset Recovery) Hasil
Tindak Pidana Korupsi Yang Berada Di Luar Negeri.‖ Universitas
Gadjah Mada, 2011.
Irianto, Sulistyowati, and Shidarta. Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan
Refleksi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.
Isra, Saldi. Aset Recovery Tindak Pidana Korupsi Melalui Kerjasama
Internasional. Lokakarya tentang Kerjasama Internasional dalam
Pemberantasan Korupsi. Semarang, 2008. https://www.saldiisra.
web.id/index.php/21makalah/makalah1/47-asset-recovery-
tindakpidana-korupsi-melalui-kerjasamainternasional.html#_ftn1.
KPK. ―Aset Koruptor, Mengapa Harus Disita?‖ Last modified 2016.
https://acch.kpk.go.id/id/ragam/fokus/asetkoruptor-mengapa-harus-
disita.
74

Latifah, Marfuatul. ―Urgensi Pembentukan UndangUndang Perampasan


Aset Hasil Tindak Pidana Di Indonesia.‖ Jurnal Negara Hukum Vol. 6,
no. 1 (2015).
Manan, Bagir. ―Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia
Menurut UUD 1945.‖ Bandung, 1994. Teori Dan Politik Konstitusi.
Jakarta: UII Press, 2003.
Manan, Bagir, and Susi Harijanti, Dwi. Memahami Konstitusi: Makna Dan
Aktualisasi. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Martosoewignjo, Sri Soemantri. Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia Menurut UUD 1945. Bandung: Alumni, 1992.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2014.
Melani. ―Problematika Prinsip Double Criminality Dalam Hubungannya
Dnegan Kerjasama Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan
Transnasional.‖ Jurnal Ilmu Hukum Litigasi Vol. 6, no. 2 (2005).
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2004.
Muladi, and Barda Nawawi Arief. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana.
Bandung: Alumni, 1992.
Mulyadi, Lilik. ―Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak
Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan
Dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi.‖ Jurnal
Hukum dan Peradilan Vol. 4, no. 1 (2015). Pengembalian Aset (Aset
Recovery) Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang
Korupsi Indonesia Pasca Konvensi PBB Anti Korupsi 2003.‖ Last
modified 2009.http://halamanhukum.blogspot.co.id/2009/08/asse t-
recovery.html. Nurmalawaty. ―Faktor Penyebab Terjadinya Tindak
Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Dan Upaya
Pencegahannya.‖ Jurnal Equality Vol. 11, no. 1 (2006).
75

Oktaviani, Indri. ―Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam Tentang


Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan
Nomor: 01/ Pid.sus/ 2011/ PN.Tipikor.SMG).‖ UIN Walisongo, 2014.
Priyatno, Dwidja. Kebijakan Legislasi Tentang System Pertanggung Jawaban
Pidana Korporasi Indonesia. Bandung: CV Utomo, 2004.
Ramelan. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang. Jakarta,
2012.
Reksodiputro, Mardjono. Masukan Terhadap RUU Tentang Perampasan
Aset. Sosialisasi RUU. Jakarta, 2009.
Rustam. ―Asset Recovery Hasil Tindak Pidana Korupsi.‖ Opini Cendekia
(n.d.).
Sanusi, Himawan Ahmed. ―Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak
Pidana Korupsi.‖ Majalah Keadilan, 2012.
Sinulingga, Evans Emanuel. ―Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana
Korupsi Melalui Mekanisme Gugatan Perdata.‖ Jurnal Lex
Administratum Vol. 5, no. 4 (2017).

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bebas dariKorupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.

Anda mungkin juga menyukai