Anda di halaman 1dari 40

FARMASI INDUSTRI

Kelompok 2:
Arini Eka Pratiwi
Myra Kharisma Izzati
Nurul Rohmanisari
Riza Wernawati
Sani Asmi Ramdani L

Sejarah CGMPs
190
5

190
6

196
3

Muckraker dan Upton Sinclair membuat sebuah buku berjudul


The Jungle. Di dalam bukunya, mereka menulis tentang
kondisi tidak sehat di industri tempat penjagalan hewan
daging Chicago serta praktek penjualan daging busuk atau
berpenyakit untuk masyarakat

Pembentukan Peraturan Obat dan Makanan


Pembentukan Lembaga Pemerintahan Peraturan pertama (sekarang
dikenal sebagai FDA (Food and Drug Administration)) dimana FDA
mengatur penjaminan kualitas dan kontrol keselamatan dalam
pembuatan obat dan makanan.

FDA pertama kali memperkenalkan Pedoman cGMP (current Good


Manufacturing Practice).

196
7196
8

Tahun 1967, World Health Organization (WHO) merancang teks GMP dan
diterima oleh Twentieth World Health Assembly dengan draft berjudul Good
Manufacturing Practice in The Manufacture and Quality Control of Medicines
and Pharmaceutical Specialities.
Teks kemudian direvisi dan dibahas oleh Komite Ahli WHO Spesifikasi Sediaan
Farmasi pada tahun 1968.

197
0197
1

Tahun 1970, The European Free Trade Association (EFTA) membentuk


Pharmaceutical Inspection Convetion (PIC/S) dengan 10 negara bergabung
sebagai anggota awal.
Tahun 1971 Good Manufacturing Practice in The Manufacture and Quality
Control of Medicines and Pharmaceutical Specialities dalam bentuk tambahan
di edisi kedua dari The International Pharmacopoeia.

197
8197
9

Tahun 1978 GMPs yang telah direvisi diterbitkan pada bulan


September dan menjadi resmi pada bulan Maret 1979.

Uni
Ero
pa

Aus
trali
a
Kan
ada
cGM
P

Cin
a
Jepa
ng

Am
erik
a
Seri
kat

a) Peralatan dan fasilitas yang dirancang


dengan baik, dipelihara, dan dibersihkan
b) Standar Operasional Prosedur (SOP)
ditulis dan disetujui
c) Sebuah unit kualitas independen
(seperti Quality Control dan / atau
Quality Assurance)
d) Personil terlatih dan dalam manajemen
yang baik

Negara Uni Eropa


Aspek

1. Manajemen mutu
2. Personalia
3. Bangunan &
peralatan
4. Dokumentasi
5. Produksi
6. Pengendalian
kualitas
7. Kontrak pembuatan
& analisis
8. Pengaduan &
penarikan kembali
produk
9. Inspeksi diri

Good
Manufacturing
Practice

Good
Laboratory
Practice

Kanada
Introduction
(Pendahulua
n)

Purpose
(Tujuan)

cGM
P

Manajemen
Mutu

Dirilis oleh Health


Canada

Interpretasi
Regulasi

(Health Canada, 2013)

Jepang
Pharmaceuticals and
Medical Devices Agency
Bertanggung jawab
pada

MinistryofHealthLabou
r and Welfare

Ruang Lingkup
cGMP
Kontrol pembuatan
dan pengawasan
mutu bahan aktif
farmasi
Bentuk sediaan
Inspeksi bangunan
dan peralatan

Amerika Serikat

Komponen GMP
General Provisions (Ketentuan Umum)
Organization and Personnel (Organisasi dan Personalia)
Building and Facilities (Bangunan dan Fasilitas)
Equipment (Peralatan)
Control of Components and Drug Product Containers and Closures
(Pengendalian Komponen dan Produk Obat Wadah dan Penutup)
Production and Process Controls (Pengendalian Produksi dan Proses)
Packaging and Labeling Control (Pengendalian Pengemasan dan Pelabelan)
Holding and Distribution (Penanganan dan Distribusi)
Laboratory Control (Pengendalian Laboratorium)
Records and Reports (Catatan dan Laporan)
Returned dan Salvaged Drug Products (Produk Obat yang dikembalikan dan
ditarik kembali)

Diawasi oleh

Food Drug Administrator


(Karmacharya,

Australia
Therapeutic Good
Administration (TGA)
Komponen kunci dari keseluruhan
regulasi TGA mengenai obat-obatan
dan alat kesehatan adalah inspeksi
dari fasilitas manufaktur untuk
memastikan proses produksi
dijalankan sesuai dengan prinsip
manufaktur yang dilegalisasi,
termasuk Code of Good Manufacturing
Practice (GMP).
(Therapeutic Good Administration,

Cina
Struktur
1. General Provisions GMP
Regulasi Good
Manufacturing Practice
(GMP) di negara Cina
pertama kali dipublikasikan
pada tahun 1988 oleh
Chinas State Food and
Drug Administration
(SFDA).

2. Quality Management
3. Organization and Personnel
4. Premises and Facilities
5. Equipment
6. Materials and Products
7. Qualification and Validation
8. Documentation Management
9. Production Management
10. Quality Control and Quality
Assurance
11. Contract Manufacture and
Analysis
12. Product Distribution and
Recalls
13. Self Inspections
14. Supplementary Provisions
(ECA Foundation, 2011; The

3 aspek kualitas
obat (khasiat,
keamanan, dan
kenyamanan
dalam dosis yang
digunakan sesuai
tujuan
penggunaannya).

Di Indonesia,
pemerintah telah
mengeluarkan
Perlu parameter
kebijakan Cara
kualitas yang
Pengaturan
Pembuatan Obat
konstan (identitas,
tersebut sifatnya
yang Baik (CPOB)
kekuatan,
nasional di masingmelalui Surat
kemurnian, dan
masing negara.
Keputusan Menteri
karakteristik
Kesehatan RI No.
lainnya)
43/MENKES/SK/II/1
988 pada tanggal 2
Februari 1988.

Sejarah perkembangan CPOB di Indonesia dari tahun ke tahun adalah sebagai berikut:

1969 WHO memperkenalkan konsep Good Practises in Manufacture and


Quality Control of Drug
1971 Penerapan CPOB di Indonesia secara sukarela
1988 Pedoman CPOB Edisi 1 dikeluarkan dan mulai diterapkan
1989-1994 Batas waktu pemenuhan CPOB
1990 Sertifikasi CPOB
2001 Pedoman CPOB Edisi 2 dikeluarkan dan mulai diterapkan
2005 Draft Pedoman CPOB Edisi 3
2006 Finalisasi Pedoman CPOB Edisi 3
2007 Batas waktu pemenuhan CPOB Edisi 3
2012 Resertifikasi CPOB Edisi 3

Aspek dan ruang lingkup CPOB


1. Manajemen mutu
2. Personalia
3. Bangunan dan fasilitas
4. Peralatan
5. Sanitasi dan higiene
6. Produksi
7. Pengawasan mutu
8. Inspeksi diri dan audit mutu & persetujuan pemasok
9. Peanganan keluhan terhadap produk dan penarikan kembali produk
10.Dokumentasi
11.Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak
12.Kualifikasi dan validasi

1. Manajemen mutu
terdapat berbagai poin meliputi:
Unsur dasar
manajemen
mutu

Sistem
Pemastian
Mutu yang
benar dan
tepat bagi
pembuatan
obat

Pengkajian
mutu produk

Syarat dasar
pengawasan
mutu

Manajemen
risiko mutu

2.
Personalia
struktur organisasi dengan tugas yang
spesifik dan
kewenangan dari personil pada berbagai
posisi yang dicantumpkan dalam uraian
tugas tertulis.
organisasi, kualifikasi dan tanggung
jawab.
pelatihan terhadap personel

3. Bangunan dan fasilitas


AREA PENIMBANGAN

AREA PRODUKSI

KUALIFIKASI KEBERSIHAN RUANG PEMBUATAN OBAT

AREA PENYIMPANAN

AREA PENGAWASAN MUTU


SARANA PENDUKUNG SEPERTI RUANG ISTIRAHAT
MAUPUN KANTIN

N
I
A
S
S
K
N U
E
A
D D R
T
S
N I
KO

PEMASANG
AN DAN
PENEMPATA
N

4.
PERALATAN

PE
RA
W
AT
AN

5. Sanitasi dan higiene


HIGIENE PERORANGAN
SANITASI BANGUNAN DAN FASILITAS
PEMBERSIHAN DAN SANITASI PERALATAN
VALIDASI PROSEDUR PEMBERSIHAN DAN
SANITASI

6. Produksi
bahan awal,
validasi proses,
pencegahan pencemaran silang,
sistem penomoran bets/lot,
penimbangan dan penyerahan,
pengembalian,
operasi pengolahan-produk antara dan produk ruahan,
bahan dan produk kering (pencampuran dan granulasi, pencetakan tablet, penyalutan,
pengisian kapsul, penadaan tablet salut dan kapsul),
produk cair, krim, dan salep (nonsteril),
bahan pengemas, kegiata pengemasan (prakodifikasi bahan pengemas, kesiapan jalur,
praktik pengemasan, penyelesaian pengemasan),
pengawasan selama proses,
bahan dan produk yang ditolak, dipulihkan, dan dikembalikan,
karantina dan penyerahan produk jadi,
catatan pengendalian pengiriman obat, dan penyimpanan bahan awal,
bahan pengemas, produk antara, produk ruahan, dan produk jadi.

7. Pengawasan mutu
Mencak
up :

Pengambilan sampel
spesifikasi
Pengujian serta termasuk pengaturan
dokumentasi dan prosedur
bahan tidak diluluskan untuk dipakai atau produk
diluluskan untuk dijual, sampai mutunya telah
dibuktikan memenuhi persyaratan.

8. Inspeksi diri dan audit mutu &


persetujuan pemasok

Tujuan

mengevaluasi apakah semua


aspek produksi dan
pengawasan mutu industri
farmasi memenuhi ketentuan
CPOB

9. Penanganan keluhan terhadap produk


dan penarikan kembali produk

jika terjadi kerusakan obat harus dikaji dengan teliti


sesuai dengan prosedur tertulis, dari mulai keluhan
hingga penarikan kembali produk.

10. Dokumentasi

Spesifikasi, Dokumen Produksi Induk/Formula Pembuatan,


prosedur, metode dan instruksi, laporan dan catatan
harus bebas dari kekeliruan dan tersedia secara tertulis.
Keterbacaan dokumen adalah sangat penting.

11. Pembuatan dan analisis


berdasarkan kontrak
tanggung jawab industri farmasi terhadap Badan POM
dalam hal pemberian izin edar dan pembuatan obat

12. Kualifikasi dan validasi


Bab ini menguraikan prinsip kualifikasi dan validasi
yang dilakukan di industri farmasi.

Aneks dalam CPOB


Aneks
Aneks
Aneks
Aneks
Aneks
Aneks
Aneks
Aneks
Aneks
Aneks
Aneks
Aneks
Aneks
Aneks

1: pembuatan produk steril


2: pembuatan obat produk biologi
3: pembuatan gas medisinal
4: pembuatan inhalasi dosis terukur bertekanan (aerosol)
5: pembuatan prosuk dari drah atau plasma manusia
6: pembuatan obat investigasi untuk uji klinis
7: sistem komputerisasi
8: cara pembuatan bahan baku aktif obat yang baik
9: pembuatan radiofarmaka
10: peggunaan radiasi pengion dalam pembuatan obat
11: sampel pembanding dan sampel pertinggal
12: cara penyimpanan dan pengiriman obat yang baik
13: pelulusan parametris
14: manajemen risiko mutu

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi
Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan
pembuatan obat atau bahan obat.
Regulasi izin Industri Farmasi dibahas pada pasal 2 bahwa proses pembuatan obat dan/atau bahan obat hanya
dapat dilakukan oleh Industri Farmasi. Selain Industri Farmasi, Instalasi Farmasi Rumah Sakit juga dapat melakukan
proses pembuatan obat untuk keperluan pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang bersangkutan,
tetapi rumah sakit tersebut harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan CPOB yang dibuktikan dengan sertifikat
CPOB.
Pada pasal 3 disebutkan jika Industri Farmasi dapat melakukan kegiatan proses pembuatan obat dan/atau bahan
obat untuk semua tahapan dan/atau sebagian tahapan dimana setiap tahapan obat harus dilakukan berdasarkan
penelitian dan pengembangan yang menyangkut produk sebagai hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pada pasal 4 mewajibkan setiap Industri Farmasi harus memperoleh izin Industri Farmasi
dari Direktur Jenderal, serta wajib memperoleh izin khusus untuk memproduksi obat
dan/atau bahan obat yang termasuk dalam golongan narkotika sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Persyaratan untuk memperoleh izin Industri Farmasi dijelaskan pada pasal 5 ayat 1 dan 2,
yaitu:
a.

berbadan usaha berupa perseroan terbatas;

b.

memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat;

c.

memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;

d.

memiliki secara tetap paling sedikit 3 orang apoteker WNI masing-masing sebagai
penanggung jawab pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu;

e.

komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung dalam
pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian.

Pengajuan Industri Farmasi diawali oleh:


Pengajuan permohonan persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) kepada Kepala Badan.
Kemudian dilanjutkan dengan permohonan persetujuan prinsip yang diajukan kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan kepada Kepala Badan dan kepala dinas kesehatan provinsi, seperti yang tercantum pada pasal 11.
Pada pasal 12, pemohon izin Industri Farmasi kemudian dapat melakukan pembangunan fisik dan dapat
menyampaikan surat permohonan impor mesin-mesin dan peralatan lainnya termasuk peralatan pengendalian
pencemaran selama persetujuan prinsip berlaku, yaitu selama 3 tahun.
Bila belum selesai, persetujuan prinsip dapat diperpanjang maksimal hingga 1 tahun. Persetujuan prinsip batal bila
selama 3 tahun ditambah dengan perpanjangan waktu 1 tahun, pembangunan fisik tidak dapat diselesaikan.
Selanjutnya berdasarkan pasal 13, bila telah selesai melakukan persetujuan prinsip, dilanjutkan dengan pengajuan
permohonan izin Industri Farmasi yang diajukan kepada Direktur Jenderal. Kepala badan kemudian akan melakukan
audit pemenuhan persyaratan CPOB.
Setelah dinyatakan memenuhi persyaratan CPOB dan kelengkapan persyaratan administratif, Direktur Jenderal
akan menerbitkan izin Industri Farmasi. Izin Industri Farmasi akan tetap berlaku seterusnya selama Industri Farmasi

Industri Farmasi wajib memenuhi


persyaratan CPOB dan dibuktikan
oleh sertifikat CPOB, dimana
sertifikat CPOB tersebut berlaku
selama
5
tahun
sepanjang
memenuhi persyaratan.

Pada pasal 20, Industri Farmasi yang


menghasilkan
obat
dapat
mendistribusikan atau menyalurkan hasil
produksinya langsung kepada pedagang
besar farmasi, apotek, IFRS, pusat
kesehatan masyarakat, klinik, dan toko
obat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Industri Farmasi wajib menyampaikan
laporan industri secara berkala mengenai
kegiatan usahanya sekali dalam 6 bulan
atau sekali dalam 1 tahun. Laporan yang
dibuat
harus
disampaikan
kepada
Direktur Jenderal, dapat secara elektronik
paling lambat tanggal 15 januari dan 15
juli. Hal ini tercantum dalam pasal 23.

Jika Industri Farmasi diketahui melakukan


pelanggaran, maka dapat dikenakan sanksi
administratif berdasarkan PERMENKES RI nomor
1799/MENKES/PER/XII/2010 pasal 26 adalah
berupa:

peringatan secara tertulis;


larangan mengedarkan untuk
sementara waktu dan/atau perintah
untuk penarikan kembali obat atau
bahan obat dari peredaran bagi obat
atau bahan obat yang tidak
memenuhi standar dan persyaratan
keamanan, khasiat/kemanfaatan,
atau mutu
perintah pemusnahan obat atau
bahan obat, jika terbukti tidak
memenuhi persyaratan keamanan,
khasiat/kemanfaatan, atau mutu

penghentian sementara kegiatan


pembekuan izin Industri Farmasi
ataupencabutan izin Industri
Farmasi

Jika Industri Farmasi diketahui melakukan pelanggaran, maka dapat dikenakan sanksi
administratif berdasarkan PERMENKES RI nomor 1799/MENKES/PER/XII/2010 pasal 26
adalah berupa:
a.

larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk penarikan


kembali obat atau bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan obat yang tidak
memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu;

b.

perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti tidak memenuhi
persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu;

c.

penghentian sementara kegiatan;

d.

pembekuan izin Industri Farmasi; atau

e.

pencabutan izin Industri Farmasi

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 16 tahun


2013 tentang perubahan atas peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi

Pada tahun 2013, muncullah peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 16 yang berisi terntang perubahan pasal 30 pada PERMENKES RI
nomor 1799/MENKES/PER/XII/2010, sehingga peraturan terbaru ialah pada
saat peraturan menteri ini mulai berlaku, persetujuan prinsip yang telah
dimiliki tetap berlaku sebagai salah satu tahap untuk memperoleh izin Industri
Farmasi berdasarkan peraturan menteri ini. Dan disisipkan pasal 30A tentang
syarat-syarat

yang

harus

dilengkapi

untuk

mengajukan

pembaharuan izin Industri Farmasi yang diajukan oleh pemohon.

permohonan

Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan kefarmasian

Pekerjaan
kefarmasian
adalah
pembuatan termasuk pengendalian
mutu
Sediaan
Farmasi,
pengamanan,
pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusi atau
penyaluran obat, pengelolaan obat,
pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat, bahan obat
dan obat tradisional. Pekerjaan
kefarmasian dilakukan oleh tenaga
kefarmasian
yang
terdiri
atas
Apoteker
dan
Tenaga
Teknis
Kefarmasian.
Pasal-pasal pada peraturan ini yang
berkaitan dengan Industri Farmasi
yaitu:
a. Pasal

menjelaskan

bahwa

b. Pasal 9 ayat 1 dan 2, yang menjelaskan:


(1) Industri Farmasi harus memiliki 3 (tiga)
orang Apoteker sebagai penanggung
jawab masing-masing pada bidang
pemastian
mutu,
produksi,
dan
pengawasan mutu setiap produksi
Sediaan Farmasi.
(2) Industri obat tradisional dan pabrik
kosmetika harus memiliki sekurangkurangnya 1 (satu) orang Apoteker
sebagai penanggung jawab.
c. Pasal 34 ayat 1, yang menjelaskan:
Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi berupa
industri farmasi obat, industri bahan baku
obat, industri obat tradisional, pabrik
kosmetika
dan
pabrik
lain
yang
memerlukan Tenaga Kefarmasian untuk
menjalankan tugas dan fungsi produksi

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik


Indonesia Nomor HK.03.1.23.12.11.10690 Tahun 2011 tentang
Penerapan Farmakovigilans Bagi Industri Farmasi
Farmakovigilans adalah seluruh kegiatan tentang pendeteksian, penilaian
(assessment), pemahaman, dan pencegahan efek samping atau masalah
lainnya terkait dengan penggunaan obat. Farmakovigilans dilakukan dengan
pelaporan dan pemantauan mengenai:
a. aspek keamanan obat dalam rangka deteksi,
penilaian, pemahaman, dan pencegahan efek
samping atau masalah lain terkait dengan
penggunaan;
b.

perubahan profil manfaat-risiko obat; dan/atau

c.

aspek

mutu

keamanan obat.

yang

berpengaruh

terhadap

Apabila dalam melakukan farmakovigilans, Industri Farmasi menemukan obat


dan/atau bahan obat hasil produksinya yang tidak memenuhi standar dan/atau
persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu, Industri Farmasi wajib
melakukan pelaporan hal tersebut kepada Kepala Badan. Kriteria kejadian yang
dilakukan pelaporan spontan meliputi kejadian medis yang menyebabkan:

kematian;

perpanjangan
waktu perawatan
rumah sakit;

keadaan yang
mengancam jiwa;

pasien memerlukan
perawatan rumah
sakit;

cacat tetap;

kelainan
kongenital;
dan/atau

kejadian medis
penting lainnya.

a.

peringatan secara tertulis;

b.

larangan

mengedarkan

untuk

sementara waktu dan/atau perintah


untuk penarikan kembali obat atau
bahan obat dari peredaran bagi obat
Industri

Farmasi

yang

atau

tidak

keamanan,

farmakovigilans
sanksi

administratif berupa:

obat

yang

tidak

memenuhi standar dan persyaratan

melaksanakan
dikenai

bahan

khasiat/kemanfaatan,

atau mutu;
c.

perintah
bahan

pemusnahan
obat,

jika

obat

terbukti

atau
tidak

memenuhi persyaratan keamanan,


khasiat/kemanfaatan,

atau

mutu;

dan/atau
d.

penghentian sementara kegiatan.

CPOB
Peraturan yang mengatur CPOB yaitu :
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012 Tentang
Obat yang Baik. Yang

merupakan

Penerapan Pedoman Cara Pembuatan

peraturan

paling baru

setelah mengalami

perubahan dari Keputusan Kepala BPOM Nomor HK.00.05.3.0027 Tahun 2006 tentang
Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik Tahun 2006 dan Peraturan
Kepala BPOM Nomor HK.03.01.23.09.10.9030 Tahun 2010.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.23.10.11.08481
Tahun 2011 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.04.1.33.12.11.09937
Tahun 2011 tentang Tata Cara Sertifikasi Cara Pembuatan Obat yang Baik.

CPKB (Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik)


Keputusan

BPOM

PeraturanIndonesia
yang mengatur
CPKB:
Republik
Nomor

:
HK.00.05.4.3870 Tentangyaitu
Pedoman
cara pembuatan

kosmetik yang baik.


Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik.
Peraturan Kepala BPOM Republik Indonesia Nomor
HK.03.1.23.08.11.07517

Tentang

persyaratan teknis

bahan kosmetik.
Permenkes

Republik

1176/MENKES/PER/VIII/2010
kosmetik.

Indonesia
Tentang

Nomor
notifikasi

CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik)


Peraturan

yang

mengatur CPOTB

yaitu :
Peraturan kepala BPOM Republik Indonesia Nomor: HK.00.05.4.1380 tentang
Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik.
Peraturan Kepala BPOM Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.06.11.5629 Tahun
2011 tentang Persyaratan teknis cara pembuatan obat tradisional yang baik.
Peraturan kepala BPOM Nomor HK.00.05.41.1384 Tahun 2005 tentang kriteria
dan tata laksana pendaftaran Obat tradisional, Obat herbal terstandar, dan
Fitofarmaka.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 006 tahun 2012 tentang
Industri dan Usaha Obat Tradisional.

Daftar
pustaka

Immel, Barbara K. 2005. A Brief History of the GMPs. US: GMP Labeling, Inc.
Brhlikova P., et. al. 2007. Good Manufacturing Practice In the Pharmaceutical Industry. Scotland:
University of Edinburgh
ECA Foundation. 2011. GMP News. Available online at http://www.gmpcompliance.org/eca_news_2490_6804,6863,6888,6850.html [diakses pada tanggal 3 September
2015].
European Medicines Agency. 2015. Co-ordination of Good-Manufacturing-Practice Inspections. Available
online at http://www.ema.europa.eu/ema/index.jsp?curl=pages/
regulation/document_listing/document_listing_000171.jsp [diakses pada tanggal 1 September 2015].
Health Canada. 2013. Good Manufacturing Practices (GMP) Guidelines for Active Pharmaceutical
Ingredients (APIs). Available online at http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-mps/alt_formats/pdf/compliconform/info-prod/drugs-drogues/actingre-gui-0104-eng.pdf [diakses pada tanggal 1 September 2015].
Karmacharya. Jaya Bir. 2012. Good Manufacturing Practices for Medicinal Products. Available online at
http://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/37170.pdf [diakses pada tanggal 1 September 2015].
BPOM RI. 2011. Tentang Penerapan Farmakovigilans Bagi Industri Farmasi. Jakarta:Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik Indonesia.
BPOM RI. 2012. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta:Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Tentang Industri Farmasi. Jakarta: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Tentang perubahan atas peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi. Jakarta: Kementrian Kesehatan R4I.

Anda mungkin juga menyukai